Bab 1 — Tenshi-sama dan Semester Baru
Amane yang bangun lebih awal
untuk memulai semester baru, merasa sedikit kecewa karena tidak ada orang di
sampingnya.
Pertemuan tatap muka dengan
ayah Mahiru, Asahi, dan ledakan emosi Mahiru. Itu semua terjadi pada hari
terakhir liburan musim panas, tapi hal tersebut tidak terlalu buruk. Perasaan
ayah Mahiru yang diselimuti misteri hingga saat itu mulai terungkap dalam
bagian-bagian kecil. Amane menyatakan bahwa dirinya ingin melindungi Mahiru selama
sisa hidupnya, dan memutuskan untuk terus berjalan di sampingnya.
Mahiru sepertinya menerimanya.
Amane belum membuat janji yang jelas padanya, tapi meski begitu, ia ingin
percaya bahwa Mahiru akan menerimanya ketika saatnya tiba. Amane bahkan dengan
berckamu bertanya kepada Mahiru apa dia ingin tinggal bersamanya semalaman,
tetapi pada akhirnya, Mahiru tidak melakukannya.
Amane bermaksud memaksanya untuk
menginap jika Mahiru benar-benar akan dihancurkan oleh rasa sakitnya yang tak
tertahankan, tetapi tampaknya kata-kata Amane membuatnya nyaman, dan dia pergi
dengan senyum tipis yang kurang kuat, tetapi dia sepertinya tidak begitu patah
hati.
(Semoga saja dia tidak terlalu memaksakan
dirinya...)
Ketika sedang berganti ke
seragamnya, Amane memikirkan kembali apa yang terjadi pada Mahiru sehari
sebelumnya, tapi Mahiru tampaknya sudah jauh lebih tenang melalui
penghiburannya.
Meski ada sedikit kegelisahan
ketika Amane mengingat bahwa dia sendiri menghabiskan sebagian besar hidup
Mahiru, karena ada hal-hal yang dia sendiri tidak bisa bantu. Ekspresinya
menjadi sedikit muram seraya menerka-nerka apa yang bisa ia lakukan jika
kekasihnya masih merasa sedih, tetapi saat ia mengencangkan ikat pinggangnya,
Amane mendengar suara seseorang membuka kunci pintu depan. Itu adalah hari
pertama mereka di sekolah setelah liburan musim panas, jadi dia pasti datang
lebih awal dari biasanya.
Amane segera meninggalkan kamar
tidurnya sambil membawa dasi di tangan, dan menemukan Mahiru berdiri di pintu
masuk dapur mengenakan celemeknya.
“Selamat pagi.”
Mahiru menyapanya dengan
senyumnya yang biasa, dan Amane diam-diam merasa lega di dalam hatinya.
“Pagi juga. Apa kamu bisa tidur
dengan nyenyak?”
“Aku tidak terlalu tertekan
hingga membuatmu mengkhawatirkanku, dan aku baik-baik saja sekarang. Aku sudah
menjernihkan pikiranku.”
“Bahkan jika kamu mengatakannya
dengan sangat jelas, tapi kondisi emosimu merupakan sesuatu yang berbeda. Yah, kamu
mungkin berpikir kalau aku terlalu khawatiran, tetapi beri tahu aku jika itu menyakitkan.
Aku akan mendukungmu dengan sekuat tenaga.”
“Terima kasih banyak… aku akan
mengandalkanmu.”
Raut wajah Mahiru berubah
menjadi sedikit malu dan dia terlihat benar-benar merasa begitu dengan apa yang
dia katakan, jadi Amane tersenyum ringan padanya dan pergi ke kamar mandi untuk
berpakaian.
✧ ✦ ✧
“Apa kamu tidak melupakan
sesuatu?”
Mahiru memanggilnya setelah
Amane selesai menyantap sarapan yang dibuat pacarnya, dan baru saja akan keluar
rumah.
Bahkan jika Mahiru bertanya apa
dirinya melupakan sesuatu, Amane sudah menyiapkan semuanya sebelumnya, jadi
mungkin tidak ada yang ketinggalan. Ia sudah memasukkan semua yang dibutuhkan
ke dalam tasnya sebelumnya untuk memastikan, dan seharusnya tidak memiliki
masalah.
“Kurasa aku tidak melupakan apa
pun.”
“Yang bener?”
“Ya, mengapa kamu meragukanku?”
“… Bukannya melupakan ini?”
Mahiru tampak sedikit jengkel
ketika menunjuk ke seragamnya. Itu adalah dasi khusus sekolah yang ingin Amane
ikat nanti karena cuaca sangat panas. Ketika Mahiru mengingatkannya bahwa ia
meninggalkannya di kamar mandi setelah mencuci muka, Amane akhirnya mengingatnya.
“Ahhh,” katanya tanpa berpikir,
dan bisa mendengar helaan nafas panjang Mahiru.
“Ada upacara pembukaan nanti,
jadi kamu harus berpakaian bagus.”
“Astaga, kamu ini,” kata Mahiru
saat dia mencoba melingkarkan dasi di lehernya, dan Amane berjongkok dengan
ringan, merasa agak malu.
Tentu saja, Amane bisa
melakukannya sendiri, karena pada dasarnya itu adalah sesuatu yang ia lakukan
setiap hari sebelum liburan musim panas, tetapi ia tidak ingin menghentikannya
jika Mahiru akan melakukannya untuknya.
Dia tersenyum kecil saat
melihat Mahiru dengan teliti memakaikan dasinya.
(Tidak
diragukan lagi, dia pasti akan merasa malu begitu dia menyadarinya nanti.)
Tindakan ini sangat
menghangatkan hati Amane ketika melihat Mahiru bertingkah layaknya seorang
istri sebagai pengantin baru. Amane bersyukur bahwa dia melakukannya secara
alami tanpa berpikir, tetapi lebih dari itu, dirinya menantikan wajahnya yang
memerah ketika menyadarinya nanti, jadi semuanya merupakan hal menyenangkan.
Saat Amane menatap Mahiru, yang
masih mengikat dasinya dengan hati-hati, dia menyadari bahwa gaya tatapan Amane
berbeda dari biasanya, jadi Mahiru memberinya tatapan curiga.
“Apa ada yang salah?”
“Tidak, bukan apa-apa. Aku
hanya merenungi seberapa bahagianya diriku.”
“Kalau itu sih tidak apa-apa,
tapi terkadang kau sangat ceroboh, Amane-kun.”
“Aku rasa begitu. Bisa dibilang
aku lengah karena kamu ada di sini, Mahiru.”
“Ya ampun. Kamu ini benar-benar
tak bisa tertolong, ya.”
Mahiru mengerang senang saat
dia selesai mengikat dasinya, tampak puas. Karena semua itu terjadi di depan
pintu, Amane mengira dia seperti seorang istri yang mengantar suaminya pergi
bekerja, tapi Mahiru akan mengabaikannya untuk sementara waktu jika dirinya
mengungkit hal tersebut, jadi Amane memilih untuk tetap diam.
Sebaliknya, Amane menepuk
kepalanya dan memegang tangannya dengan kuat.
“Oke, ayo pergi berangkat.”
“Ya.”
Tanpa ragu, Amane tersenyum
pada Mahiru dan meraih tangannya seolah sudah terbiasa, dan membuka pintu
sambil memegang tasnya. Mahiru bermaksud untuk membawanya sendiri, tapi karena
dia melakukan banyak hal untuk Amane, setidaknya Amane ingin melakukan hal ini
untuknya. Pipi Mahiru mengendur dan dia sedikit senang dengan penolakan keras
Amane untuk mundur dan dengan ringan menyundul lengan atasnya.
“Apa ada yang salah?” tanya
Amane penasaran.
“…Bukan apa-apa.”
“Jika kamu berkata begitu, maka
itu baik-baik saja.”
Amane tidak terlalu bodoh untuk
menerima apa yang dia katakan begitu saja, tetapi jika Mahiru tidak ingin mengatakan
apa-apa lagi, dirinya takkan mendesak lebih jauh.
“Aku berangkat.”
Ketika Amane bergumam pada
dirinya sendiri, Mahiru menatapnya dan menimpali, “Aku berangkat,” seolah mengikuti panduannya.
Saat memikirkan bahwa
apartemennya adalah tempat dirinya pulang bersama Mahiru membuatnya tersipu,
dan Amane mengendurkan pipinya dengan campuran rasa malu dan bahagia, tetapi
Mahiru tidak mempertanyakan perubahan ekspresinya.
Lagi pula, Mahiru berseri-seri
dengan gembira, wajahnya sudah menjadi warna merah samar, jadi mana mungkin dia
menyadari rasa malu Amane.
Amane meraih tangannya yang sedang
berbunga-bunga, dan Mahiru meremasnya kembali dengan cara yang sama.
✧ ✦ ✧
Walaupun sekarang sudah
memasuki bulan September, tetapi suhu panas masih belum menunjukkan tanda-tanda
akan surut. Bahkan di pagi hari, panasnya terik matahari maish bersinar terang.
Terlepas dari itu, begitu
mereka sampai di halaman sekolah, mereka bisa mendinginkan diri di AC kelas.
“… Apa kamu berniat membakar
kami di pagi-pagi begini?”
"Apa maksudmu?"
Amane yang sudah tiba di ruang
kelas, sedang mengobrol dengan Mahiru, tapi karena suatu alasan, Itsuki menegurnya
dengan ekspresi tegang.
“Ayolah… Kalian terang-terangan
bermesraan seperti itu seolah sedang pamer…”
“Pamer? Kamu tahu kalau kami
cuma melakukan percakapan normal, loh.”
“Ya, percakapan itu menunjukkan
bahwa kalian berdua adalah siswa yang serius, tapi cobalah sadar diri dengan suasana, sikapmu,
dan tatapan yang kalian berikan satu sama lain.”
Setelah memasuki ruang kelas
dan menyapa teman sekelas mereka, mereka berdua mulai meninjau bagaimana mereka
akan mengerjakan ujian terakhir, tapi bahkan itu membuat mereka terlihat
seperti sedang bermesraan.
Menurut Amane, mereka hanya
rajin mempersiapkan ujian berikutnya, jadi rasanya tidak benar untuk dicap
pamer.
“Sudah waktunya kamu berhenti
bersikap naif ketika melibatkan Shiina-san. Setidaknya jangan di depan umum.”
“Aku bahkan tidak melakukan apa-apa
kali ini. Kami hanya memeriksa ruang lingkup pertanyaan dan menghafal kuis.”
“… Inilah sebabnya kamu
begitu…”
“Aku sama sekali tidak paham
maksudmu.”
Ketika Amane menatapnya,
bertanya-tanya apa yang ia bicarakan, Itsuki memberinya tatapan yang sama
sekali lagi.
“Lihatlah sekelilingmu.”
Amane melakukan apa yang
diperintahkan dan melihat sekelilingnya, ia lalu bertemu dengan tatapan
membunuh yang ditujukan padanya dari anak laki-laki. Sedang kan gadis-gadis
menatapnya dengan senyum tipis dan sedikit iri.
Yuuta, Kazuya, dan Makoto, yang
menikmati obrolan mereka, tersenyum kecut dan juga memberinya senyuman hangat,
yang membuat pipi Amane sedikit berkedut.
“Akhir-akhir ini, kalian berdua
kesulitan melihat hal-hal di sekitar kalian. Apa kamu mengerti?”
“… Kamu dan Chitose juga sama seperti
itu, tahu.”
“Seenaknya saja kalau ngomong.
Kami sengaja menggoda seperti itu. Bukannya kami sudah menikah seperti kalian
berdua, Amane.”
“Aku juga tidak begitu yakin
tentang itu.”
Rupanya, semua adegan
bermesra-mesraan mereka sampai sekarang dilakukan dengan sengaja, jadi
sepertinya masalah yang lebih besar, tapi opini keseluruhan kelas lebih
bermasalah.
Pipi Mahiru sedikit memerah
karena perkataan Itsuki, terlihat gelisah dan tidak nyaman, jadi dia mungkin
menyadarinya sendiri. Jika itu masalahnya, Amane berharap dia memberitahunya
sebelumnya.
“… Apa aku benar-benar sering
menyeringai padanya?”
“Aku takkan benar-benar
menyebutnya seringai, tapi ada perbedaan besar dalam sikap antara caramu memperlakukan
orang lain dan caramu memperlakukannya… Kamu bisa tahu hanya dari pandanganmu
dan aliran percakapan bahwa kamu menyayanginya. ”
“…Aku tidak bisa menyangkal apa
yang dikatakan Akazawa-san.”
“Apa seburuk itu?”
Tentu saja, Amane berhati-hati
untuk tidak bertindak seperti biasanya ketika mereka menghabiskan waktu
bersama, tapi dari cara Mahiru memalingkan mukanya, sepertinya ia tidak
melakukannya dengan baik.
Amane menyentuh pipinya,
bertanya-tanya apakah ekspresinya benar-benar terlihat sangat lembut, tetapi ia
sendiri tidak benar-benar memahaminya.
✧ ✦ ✧
Hari ini merupakan hari pertama
masuk sekolah setelah liburan musim panas, jadi setelah upacara sekolah selesai
dan wali kelas memberitahu pengumuman, mereka bebas untuk langsung pulang.
Biasanya, tidak aneh jika ada
jam pelajaran setelah upacara selesai, tetapi berkat ujian mendatang, kelas
dibubarkan lebih awal.
“Aku tidak ingin melakukan
tes~”
Setelah jam wali kelas
berakhir, Chitose berjalan mendekati kursi Itsuki dan merosot di atas mejanya,
bergumam dengan mengeluh yang sepertinya datang dari lubuk hatinya.
“Masa? Jika kamu belajar setiap
hari, kamu bisa merevisi dengan baik, jadi kamu akan pulang lebih awal daripada
ketika ada jadwal pelajaran normal, jadi itu cukup mudah.”
“Itu sih cuma sesuatu yang bisa
dikatakan oleh murid teladan seperti Amane dan Mahirun. Biasanya, ujian itu
tidak menyenangkan. Iya ‘kan, Yuu-chan?”
“Ahaha. Yah, kurasa aku bisa
mengerti bagaimana perasaan kalian berdua. Secara pribadi, aku merasa kesepian
tanpa aktivitas klub, tetapi aku juga merasa nyaman untuk beristirahat. Kurasa
tidak banyak yang perlu dipikirkan mengenai ujian itu sendiri.”
“Kuh, Yuu-chan juga murid
teladan…”
Yuuta adalah anggota andalan
dari klub lari, tapi dirinya tidak hanya jago dalam olahraga. Nyatanya, otaknya
lumayan pintar juga. Jika dilihat secara peringkat, ia akan diklasifikasikan sebagai
salah satu penerima peringkat tertinggi.
Chitose mungkin berada di klub
langsung-pulang ke rumah, tapi dia adalah mantan anggota klub atletik dan lebih
suka berolahraga daripada menggunakan kepalanya, jadi dia tampaknya tidak pandai
dalam bidang akademik terutama ketika belajar hariannya meninggalkannya dengan
banyak hal untuk digumamkan. Meskipun alasan utamanya mungkin karena dia tidak
suka belajar sejak awal.
“Ikkuuun, semua orang malah
membully-ku.”
“Meski kamu bilang begitu,
tapi… Yah, kita harus melakukan yang terbaik, Chi.”
“Ikkun, dasar pengkhianat. Kamu
belajar bahkan selama liburan musim panas.”
“Jika nilaiku mulai turun, aku
tidak akan bisa melakukan apa pun yang kuinginkan.”
Itsuki terkekeh dan berkata
bahwa ayahnya terus memperingatinya untuk mendapatkan nilai yang lebih baik.
Sejak awal Itsuki merupakan
pelajar yang rajin, tetapi dia cenderung memprioritaskan Chitose, jadi da hanya
mendapat nilai rata-rata. Mungkin karena alasan itulah yang tidak disukai ayah
Itsuki.
Keluarganya
pasti mengalami banyak kesulitan, pikir Amane simpatik saat dia
bersiap untuk pulang, tepat ketika Mahiru, yang sepertinya sudah selesai
bersiap, mendatanginya dengan membawa tas di tangan.
“Maaf sudah membuatmu menunggu.
Aku tadi sedang berbicara dengan guru ...”
“Jangan khawatir, aku juga baru
saja mengobrol dengan Itsuki. Chitose hanya mengeluh bahwa dia tidak akan bisa
mengerjakan ulangan besok.”
“Tidak ada yang bisa aku
lakukan tentang itu.”
“Aku sudah ditelantarkan!”
“Rasanya terlalu ceroboh kalau
kamu berusaha mengingat semua materi pelajaran sehari sebelum ujian, jadi… aku
ingin tahu untuk apa liburan panjang kita.”
Chitose, yang melihat ke arah
Mahiru mendengar logikanya, lalu merosot ke atas mejanya sekali lagi.
“Kamu menuai apa yang kamu
tabur,” katanya sambil meliriknya dengan tatapan kasihan. Bahkan Amane tidak
bisa berbuat apa-apa tentang ingatan Chitose dan kurangnya usaha hariannya.
Hanya saja, terlepas dari
kekhawatirannya, pernyataan Mahiru cukup kasar, tetapi dengan senyum
bermasalah, dia mengeluarkan file bening dari tasnya dan dengan lembut
menyerahkannya kepada Chitose.
“Kupikir inilah yang akan
terjadi, jadi aku menyusun ringkasan dari bagian-bagian penting yang
kemungkinan akan muncul dalam ujian nanti. Kupikir kamu bisa menghindari ujian
remedial.”
“Mahirun, kamu memang seorang
Bidadari!”
“Sudah kubilang berhenti memanggilku
seperti itu…”
Mahiru tersenyum kecut pada
Chitose, yang tiba-tiba melompat berdiri dan memeluknya.
Amane juga ikut membantu
membuat catatan dan memilah topik yang kemungkinan besar akan dibahas dalam
ujian.
Amane dan Mahiru, yang memahami
kebiasaan guru saat membuat soal ujian, mendiskusikannya dan mengambil poin
utamanya. Ia akan merasa tidak enak jika melewatkan poin menjadi seorang guru,
tetapi meskipun demikian, Amane bisa menebak materi mana saja yang akan diuji,
jadi da seharusnya bisa mendapatkan nilai yang bagus.
“Ia juga membantuku, jadi
tolong jangan hanya berterima kasih padaku tapi juga Amane-kun.”
“Oh, Amane-sama, hamba ini
sangat berterima kasih. Apa engkau ingin foto Mahirun makan crepe dengan krim
kocok di pipinya, atau Mahirun menonton film horor dengan air mata berlinang?”
“Chitose-san?!”
“Kurasa, dua-duanya.”
“Jangan kamu juga, Amane-kun!”
Amane hanya bisa menertawakan
Mahiru, yang tersipu dan mengerutkan kening karena Chitose telah mengambil
fotonya sebelum dia menyadarinya.
“Aku bercanda kok.”
“…Benarkah?”
“Yah, jika kamu akan
memberikannya kepadaku, aku akan menerimanya.”
Tidak ada yang salah dengan foto
itu sendiri, dan jika Amane bisa mendapatkan foto penampilan imut Mahiru dari
temannya, ia akan dengan senang hati menerimanya.
Mahiru terlihat tidak puas dengan
jawaban Amane, tapi saat Chitose terkekeh, dia tidak mengalihkan kemarahannya
pada Amane tapi malah mencibir, “Chitose-san no baka.”
“Menjadi dekat adalah hal yang
baik, Mahirun. Itu berarti Amane sangat tergila-gila padamu jadi mau tak mau ia
menginginkan fotomu.”
“Masalah itu dan ini adakah dua
hal yang berbeda.”
Amane dan Chitose sama-sama
menertawakan pernyataan datar Mahiru dan berbalik dengan gusar, yang membuat
Mahiru semakin merajuk.
✧ ✦ ✧
"Jadi, apa kamu sudah
mendapatkannya?"
Mahiru memanggilnya dengan nada
cemberut saat mereka hendak pulang. Dia tampaknya tidak keberatan dengan fakta
bahwa dia diam-diam difoto, tetapi dia tampaknya enggan menunjukkannya kepada
Amane, jadi dia memberinya tatapan tajam.
“Aku tidak tahu.”
“… Aku akan menambahkan banyak
wasabi* ke dalam kaldu terlebih dahulu, hanya khusus untuk sobamu. Rasanya
pasti akan sangat lezat sehingga kamu ingin menangis.” (TN: Wasabi adalah nama bumbu dalam masakan
yang rasanya lumayan pedas, kalau di Indonesia sih mungkin mirip-mirip dengan
sambal?)
“Aku minta maaf. Aku belum
mendapatkannya.”
Dengan mempertaruhkan makan
siangnya, menghindari pertanyaan itu pasti merupakan pilihan yang salah, jadi
Amane diam-diam mengaku.
Mahiru tidak suka mendengarnya
jadi Amane memutuskan untuk tidak menanyakannya tanpa izin. Tentu saja, ia
berencana agar Chitose menunjukkannya begitu dirinya mendapat izin.
Mahiru, tampak lega dengan
kata-kata Amane, menjawab dengan suara yang agak mengembalikan suasana hatinya,
“Baiklah, kalau begitu,” dan mulai
mengikat rambutnya untuk mulai memasak.
“Kamu sangat tidak menyukainya?”
“Bu-Bukannya aku tidak
menyukainya… Um, aku terlihat menyedihkan, dan itu memalukan… Aku benar-benar
tidak kelihatan manis.”
“Kurasa tidak begitu. Kupikir
setiap ekspresimu akan kelihatan menarik, menarik.”
“… Kamu mengatakan itu lagi.”
Mahiru dengan malu-malu
mengalihkan wajahnya saat dia mengikat rambutnya ke belakang menjadi sanggul,
mengenakan celemeknya, dan mulai mencuci tangannya.
Amane juga berencana membantu
bumbu dan menyiapkan piring, jadi ia mulai mencuci tangannya di sebelahnya,
tapi dari sudut matanya, Amane melihat pipi Mahiru agak merah.
“Apa yang akan kamu lakukan
jika Akazawa-san mengirimiku fotomu yang tampak menyedihkan?”
"Hmm. Tergantung pada
situasinya mungkin, tapi aku akan memaafkanmu jika itu selain foto yang tidak
dapat kamu tampilkan di depan umum. Yah, aku tidak berpikir Itsuki akan
mengirim sesuatu yang aneh-aneh, dan aku takkan membiarkan diriku difoto
seperti itu sejak awal. Juga, aku tidak ingat mengekspos diriku seperti itu.”
“… Apa itu termasuk foto yang
bertelinga kucing?”
“Waktu itu aku terpaksa
memakainya di karaoke, ‘kan? Aku tidak keberatan.”
Itu mungkin foto saat mereka
bertiga pergi ke karaoke dan Itsuki membawa telinga kucing karena suatu alasan,
memaksa Amane untuk memakainya. Yuuta juga menahan tawanya, jadi ia langsung
melepasnya, tapi ternyata, penampilannya tersebut diam-diam difoto.
Mahiru menundukkan kepalanya
dengan tidak nyaman karena penerimaan cepat Amane.
“…Seharusnya aku yang meminta
maaf karena mengambil gambar itu tanpa seizinmu, Amane-kun.”
“Yah, toh Itsuki yang harus
disalahkan. Ia mungkin mengirimnya entah dari mana. Aku akan memintanya
mentraktirku hamburger lain kali.”
Amane takut kalau masih ada
lebih banyak foto yang tersimpan di folder Itsuki, tapi tidak ada yang salah
dengan itu. Ia menyeka tangannya dengan handuk lembut yang baru saja dikeluarkan
dan tersenyum pada Mahiru yang meminta maaf.
“Ayolah, jangan khawatir
tentang itu. Aku akan lebih senang jika kamu menyiapkan mangkuk kecil dan
banyak bumbu daripada terlihat menyesal.”
“… Wasabi juga?”
“Tolong jangan menambahkan
terlalu banyak.”
Mahiru tersenyum kecil dan
memasukkan lebih banyak sayuran biasa ke dalam mangkuk kecil dari biasanya
seolah-olah dia kehilangan fokus begitu Amane menjawab dengan tatapan serius.
✧ ✦ ✧
“Besok ada ujian, tapi bukannya
berarti kita bisa menundanya.”
Seyelah menghabiskan sobanya,
Amane mengusap perutnya dengan puas dan bergumam.
Amane suka belajar dan berusaha
keras setiap hari, jadi ia sama sekali tidak khawatir dengan ujian itu sendiri.
Bahkan, dia lebih mengkhawatirkan nilai Chitose.
“Yah, kamu benar. Yang harus
kita lakukan hanyalah menggunakan pengetahuan kita yang biasa.”
“Jika Chitose mendengar itu,
dia mungkin akan merajuk dan berkata,
'Kamu bisa mengatakan itu karena kamu adalah murid teladan.'”
“Fufu. Terlebih lagi karena
Chitose-san tampaknya memiliki kelemahan kali ini. Aku akan mengajarinya secara
menyeluruh lain kali.”
Aku
sudah bisa mendengar teriakan Chitose, pikir Amane dalam hati, tapi ia
mengingatnya dan menatap Mahiru, yang masih terlihat tenang bahkan sehari
sebelum ujian.
“Ngomong-ngomong, apa yang
harus kita lakukan tentang hadiah kali ini?”
“Eh? Hadiah?”
“Bahkan jikahal yang wajar bagimu untuk menempati peringkat
pertama, kamu masih membutuhkan hadiah. Aku akan melakukan apapun yang aku
bisa.”
“Kamu biasa membaringkan
kepalamu di pangkuanku sebagai hadiah, bukan? Kalau begitu, bukankah kamu
membutuhkan hadiah juga? ”
“Membuatmu bahagia adalah
hadiahku.”
“… Itu tidak adil, meskipun aku
juga sama.”
Mahiru menepuk pahanya sambil
terlihat sedikit cemberut, jadi Amane dengan lembut meraih tangannya sambil
tersenyum masam.
“Aku ingin melakukan sesuatu
untukmu, Mahiru, jadi biarkan aku melakukannya kali ini.”
“Um... ka-kalau begitu, ada
sesuatu.”
“Apa yang kamu inginkan?”
Mahiru, yang biasanya tidak
memiliki banyak keinginan, rupanya menginginkan sesuatu, dan sangat jarang
baginya untuk memintanya, jadi ketika Amane menatap matanya yang berwarna
karamel, dia memalingkan pandangannya dengan malu-malu.
“…Um, ada bantal di kamarmu,
kan?”
“Eh, ya.”
“Itu saja yang aku mau.”
Mata Amane berkedip berulang
kali atas permintaannya yang tak terduga, dan Mahiru menggerakkan tubuhnya,
tidak berusaha menyembunyikan rona merah di pipinya.
“Hah? Aku biasanya
menggunakannya ketika aku tidur, jadi cukup usang. Kamu yakin itu saja tidak
apa-apa?”
“Yanga ada justru lebih baik
yang sudah digunakan… um… karena baumu membuatku tenang.”
“… Apa kamu memiliki fetish bau,
Mahiru?”
“Fweh, itu bukan fetish atau semacamnya!
Aku mencintaimu, jadi aku suka baumu, dan aku akan senang jika kamu berada di
sisiku!”
“Y-Ya.”
Amane merasa kalau Mahiru baru
saja mengatakan sesuatu yang memalukan. Itu jauh lebih memalukan daripada
diberitahu bahwa dia menyukainya secara langsung, jadi ia menggaruk pipinya dan
mengingat bantal di kamarnya.
Biasanya Mahiru memeluk bantal
itu saat dia memasuki kamar Amane. Dirinya pikir itu karena akan menenangkannya
jika Mahiru memegang sesuatu, tapi mungkin karena Amane yang selalu memeluknya.
“Kamu tidak perlu membuat
alasan atau apa pun …”
“Yah, um… ini tidak semenarik
dirimu yang sebenarnya, Amane-kun.”
“Apa begitu?”
“Begitulah adanya! Maksudku,
baumu harum, kamu hangat, dan tubuhmu kencang dan maskulin… Itu membuat
jantungku berdebar kencang. Itu tidak baik untuk bersantai.”
Mahiru memeluk bantal yang
ditinggalkannya, mungkin menyadari kebiasaannya memeluk bantal jika terjadi
sesuatu.
Saat Mahiru membungkus bantal
dengan ekspresi agak malu di wajahnya, seolah-olah memeluk boneka binatang,
Amane tersenyum pelan dan menepuk-nepuk kepalanya dengan ringan.