Otonari no Tenshi-sama Jilid 7 Bab 2 Bahasa Indonesia

Bab 2 — Goyah Di Hadapan Sandiwara Tenshi-sama

 


Masa ujian pun berakhir dalam sekejap mata.

Amane dan Mahiru, yang sejak awal tidak pernah malas belajar untuk ujian, mampu menghadapinya dengan tenang, dan mereka menyelesaikannya tanpa kesulitan sama sekali.

Chitose, yang telah mengatasi masa ujian yang mengerikan dan sebagai mayat hidup mulai berteriak, “Aku bebas~!” dan mengangkat kedua tangannya penuh kegembiraan ke udara saat ujian selesai.

“Ya ampun, aku lelah banget! Berkat kalian berdua, aku berhasil melewatinya dengan selamat!”

“Tapi, kamu takkan tahu apakah kamu berhasil selamat atau enggak setelah mendapatkan hasilnya.”

“Jangan ngomong sembarangan! Kamu harus dipenuhi dengan rasa kebebasan! Mahirun, Mahirun, ayo minum teh di kafe sebagai perayaan atas kerja keras kita!”

“Aku tidak keberatan. Um, Amane-kun…”

“Aku akan jalan-jalan dengan Itsuki, jadi jangan khawatir. Bersenang-senang lah. Jika kamu akan terlambat, kamu bisa menghubungiku dan aku akan menjemputmu.”

Chitose, yang tenaganya sudah terkuras selama beberapa hari berturut-turut, telah mendapatkan kembali sikap cerianya, dan ia tidak terlalu posesif untuk membuat Mahiru terus bersamanya. Bahkan jika mereka berdua sepasang kekasih, mereka tahu bagaimana menghargai waktu satu sama lain, dan mereka tidak berpikiran sempit untuk mencampuri hal-hal sepele yang mereka lakukan saat bersama teman, jadi Amane membiarkan Mahiru bersenang-senang.

Mahiru merasa lega melihat Amane mengangguk begitu saja, dan dia tersenyum ragu-ragu dan setuju untuk pergi jalan-jalan dengan Chitose, dia lalu berkata, “Kalau begitu, aku akan menerima tawaran itu.”

Saat Amane menatap punggung Mahiru dan Chitose yang meninggalkan kelas dengan senyum di wajahnya, Itsuki tersenyum dan menepuk punggungnya.

“Sejak kapan kamu kamu mau nongkrong denganku?”

“Sejak sekarang.”

Amane tidak benar-benar punya janji dengan Itsuki, tapi dia ingin Mahiru bersenang-senang tanpa terlalu khawatir, jadi ia memutuskan untuk mengatakan itu. Itsuki pasti sudah menebak apa yang ia coba lakukan, karena dirinya tetap diam.

“Ya, ya. Yah, toh tidak ada orang di rumahku, jadi itu tidak masalah.”

“Selain itu, aku akan memintamu mentraktirku hamburger.”

“Kenapa?”

“Telinga kucing di karaoke.”

“Akhirnya kepergok juga, ya? Shiina-san juga terlalu jujur.”

Amane menampar punggung Itsuki yang tersenyum tanpa sedikit pun rasa bersalah, sedikit lebih keras, dan mencelanya seraya berkata, “Aku tidak keberatan, tapi setidaknya minta izin dulu napa.”

Bukan karena dirinya marah, tapi lebih karena dia terkejut karena fotonya disebar. Jika itu membuat Mahiru bahagia, maka dia sangat menyukainya sehingga dia tidak akan menganggap itu masalah besar.

“Aku akan melakukannya lagi lain kali. Aku penasaran apa yang harus aku lakukan selanjutnya.”

“Kamu sama sekali tidak pernah kapok dengan tindakanmu.”

Itsuki, yang masih memiliki foto dirinya di folder ponselnya, menyeringai, jadi Amane sedikit mengernyitkan alisnya tetapi tidak menyalahkannya. Ia hanya memberinya tatapan tajam sekilas.

 

   

 

Sekitaran waktu Mahiru dan yang lainnya sedang minum teh di kafe, Amane mengunjungi toko hamburger bersama Itsuki.

Tempatnya berjenis restoran cepat saji yang sering dikeluhkan anak-anak SMA, dan selain Amane dan Itsuki, ada siswa dari sekolah yang sama dan mereka yang mengenakan seragam dari sekolah lain.

Amane mengambil tempat duduknya sambil membawa pesanannya dan mengangkat bahu dengan ringan sambil melihat sekeliling.

“Rupanya ada banyak anak SMA lain juga.”

“Ya. Dengar-dengar ada ujian di sekolah lain juga. Aku sedang berbicara dengan seorang teman dari sekolah lain kemarin, dan dia berkata begitu… ”

“Jadi itu sebabnya semua orang begitu ceria.”

“Kalian berdua saja yang bertingkah tenang sejak awal, tapi kamu bertingkah aneh, Amane… Baiklah, kesampingkan itu, ayo makan sebelum makanannya dingin.”

Itsuki memberinya tatapan jengkel, tetapi ia tampaknya telah menyerah, karena ia dengan cepat mengesampingkannya dan meraih kentang goreng yang ia pesan.

Mengikuti contoh Itsuki, Amane membuka bungkus hamburgernya dan mulai makan. Itu memiliki rasa yang akrab, tetapi dibandingkan dengan masakan Mahiru, rasanya membuat Amane kurang puas. Tentu saja, makanan cepat saji memiliki cita rasanya sendiri, tetapi masakan Mahiru benar-benar yang terbaik, dan Amane sekali lagi menyadari hal ini dengan menyakitkan.

“… Kamu terlihat seperti merindukan masakan Shiina-san, padahal kamu yang memesannya, Amane.”

“Bukannya begitu… Yah, memang sih, tapi menurutku tetap enak. Hanya saja masakannya adalah yang terbaik. Aku bersyukur kamu mentraktirku.”

“Ya, ya. Kalian berdua benar-benar dekat… Cepatlah menikah saja sana.”

“Ketika waktunya tiba. Aku baru enam belas tahun, jadi aku tidak bisa melakukannya di usiaku yang sekarang.”

“Kamu benar-benar menjawabnya dengan serius. Sebenarnya, kamu benar. Shiina-san sudah memiliki suasana seperti itu tentang dirinya.”

“Cerewet. Memangnya itu buruk?”

“Yah, aku justru sedikit lega. Sangat menggembirakan mengetahui bahwa ada orang lain di sekitarku yang berpacaran dengan asumsi bahwa mereka akan menikah.”

Itsuki berpacaran dengan Chitose karena pertimbangan ingin menikahinya, jadi dalam hal itu, Amane mungkin adalah rekan seperjuangan.

Jika ada satu perbedaan, apa orang tuanya merestuinya atau tidak, jadi Itsuki juga berpikir alangkah baiknya jika ayahnya merestuinya suatu hari nanti dan ia bisa menikahi Chitose tanpa perlu bertengkar.

“…Ngomong-ngomong, apa-apaan dengan semua itu?”

“Aku penasaran apakah keadaan akan berubah di sana. Untuk berjaga-jaga, aku akan mengejar nilaiku dengan cukup serius sehingga ia tidak memiliki hak untuk mengeluh, tetapi aku akan tetap bersikeras. Aku satu-satunya yang bisa melakukan apa saja tentang ini, jadi apa boleh buat. Bagaimana denganmu? Bagaimana dengan perkembangan kalian? Kamu pulang ke rumah orang tuamu bersamanya, bukan?”

Itsuki menyeringai dan dengan ringan menendangnya dengan ujung sepatunya, jadi Amane melakukan hal yang sama sebelum meneguk jus jeruknya lagi.

“Bukannya berarti ada sesuatu yang terjadi.”

“Apa yang kamu lakukan selama musim panas lalu ini…? Kamu terlalu pengecut untuk tidak melakukan apa-apa ketika pacarmu bersama denganmu selama 24/7.”

“Kami memiliki tempo kami sendiri.”

“Jadi kalian bisa berciuman, tapi tidak bisa melangkah lebih dari itu. Bagaimana aku harus mengatakannya? Kamu sangat lugu dan polos.”

Suaranya lembut dan mengharukan bukannya jengkel, jadi Amane sedikit kesal dan menendang kakinya lagi.

“…Aku mengundangnya untuk menginap. Tapi kami belum melakukannya.”

“Serius, kamu belum melakukannya? Di satu sisi, rasanya sungguh menakjubkan bahwa kamu belum menginap di rumahnya setelah membiarkan dia menyapa orang tuamu.”

“Diam… aku tidak benar-benar ingin melakukan apapun… aku hanya ingin tidur bersamanya saja.”

Bohong rasanya jika Amane mengatakan kalau ia tidak ingin itu terjadi, tetapi yang lebih penting, ia menginginkan kenyamanan tidur dengan damai bersamanya dalam selimut yang sama.

Mahiru sepertinya suka tidur bersama, jadi ada juga fakta bahwa dia akan senang jika mereka tidur bersama.

“Sebagai sepasang kekasih, kupikir itu bukan ide yang bagus. Bukannya menurutmu Shiina-san mungkin tiba-tiba ingin menghabiskan malam bersamamu?"

“Tapi aku tidak terlalu asertif. Aku yakin akan ada perlawanan psikologis dari pihaknya.”

“Mana mungkin kamu berani menyentuhnya. Kamu adalah tipe pria yang akan kehilangan hatinya hanya karena sedikit takut. Aku tidak akan terkejut jika kamu tiba-tiba mundur saat melihat sedikit penolakan.”

“Berisik.”

Rasanya tidak lucu kalau Itsuki menyebutnya pengecut, tapi Amane sadar bahwa dari sudut pandang orang lain, itu benar adanya, jadi ia tidak bisa menyangkalnya.

“… Yah, bahkan jika kamu tidak mendorongnya, tidak apa-apa. Lagipula Shiina-san akan melakukan yang terbaik dengan saran Chi.”

“Hei, lakukan sesuatu tentang pacarmu itu. Aku merasa dia pasti menyebarkan beberapa pengetahuan yang tidak perlu di dalam Mahiru.”

“Kurasa Chi tidak mengatakan apa pun yang tidak perlu dia ketahui. Kalian terlalu pemalu untuk kebaikan kalian sendiri.”

“Mungkin dia sedang diberi beberapa ide aneh saat ini,” kata Itsuki sambil tertawa, yang membuat Amane mengangkat alisnya sebelum berdoa kepada Chitose, Jangan beri dia ide aneh-aneh, karena dia tidak bersama mereka sekarang.

 

   

 

Mahiru sudah pulang duluan sekitar malam hari tanpa menghubunginya, jadi Amane tidak menjemputnya. Dirinya tidak terlalu mencemaskan hal itu karena ada hal lain yang perlu dicemaskan, Amane menyadari ada sesuatu yang salah dengan perilaku Mahiru ketika dia kembali.

“Apa yang dia katakan padamu?”

Chitose pasti mengatakan sesuatu padanya, jadi Amane menatapnya saat mengajukan pertanyaan, dan Mahiru, yang duduk di sebelahnya di sofa, dengan canggung mengalihkan wajahnya darinya, hampir mirip seperti robot.

Tebakannya ternyata tepat sasaran.

Amane tidak berniat membiarkannya lolos begitu saja, jadi ia meluncur ke samping Mahiru dan mendekatkan wajahnya ke wajahnya, dan Mahiru mencoba melarikan diri, tubuh dan semuanya.

“...Tidak ada apa-apa.”

“Aku tidak berpikir itu bukan apa-apa. Jika bukan apa-apa, ayo lihat wajahku dan beri tahu aku lagi. Kamu seharusnya bisa melakukan sebanyak itu,” katanya dengan lembut kepada Mahiru, tapi dia tetap tidak berani memandangnya.

Melihat tanggapannya yang begini, Amane memeluk perut Mahiru; saat ia membelakanginya, Amane mendekatkan bibirnya ke telinga Mahiru,

“Mahiru.”

Amane tahu bahwa jika dia membisikkan namanya dengan lembut dengan nafasnya, Mahiru akan gemetar dengan cara yang mudah dimengerti.  Amane tahu kelemahan Mahiru, jadi ia sengaja melakukannya. Sepertinya itu cukup  ampuh, jadi Amane memeluknya erat-erat saat memanggilnya lagi, dan tubuhnya rileks seolah-olah Mahiru meleleh sampai ke intinya.

Melihat wajah Mahiru dari atas saat dia bersandar di dadanya, pipinya yang memerah dan mata karamel yang basah menatapnya dengan ketidakpuasan.

“… Itu tidak adil, Amane-kun.”

“Apa maksudmu?”

“Rasanya tidak adil melakukan itu saat kamu tahu kalau telingaku adalah kelemahanku.”

“Bukan hanya telingamu saja.”

Amane juga tahu bahwa Mahiru lemah untuk digelitik, tapi… tentu saja, jika dirinya bertindak sejauh itu, suasana hati Mahiru tidak akan menjadi lebih baik. Kali ini, Amane hanya memaksanya dengan suaranya untuk mendapatkan informasi darinya, karena dia tidak mau bicara. Jika Amane menggodanya dengan senyuman... Mahiru akan menutup rapat bibirnya.

Dia sepertinya tidak ingin mengatakan apapun, jadi Mahiru terus bersandar pada Amane tapi melakukan yang terbaik untuk memalingkan muka. Jika dia benar-benar tidak mau, dia akan lari dari tempat ini, jadi dia tidak terlalu ingin mengatakannya karena dia memiliki banyak perlawanan.

“Ayolah, jika kamu tidak buru-buru mengatakannya, secara fisik aku akan membuatmu berbicara.”

“…Se-Secara fisik?”

Tanpa sadar, wajah Mahiru langsung menjadi merah padam, dan ketika dia bertemu dengan tatapan Amane, dia menurunkan matanya dengan lebih malu-malu. Dirinya cuma bercanda tentang menggelitiknya dengan ringan untuk mendesaknya berbicara, tetapi Amane bertanya-tanya apakah Mahiru berpikir ia akan melecehkannya secara s*ksual.

Ketika tubuh Mahiru gemetar, Amane menopangnya dengan telapak tangannya untuk membangunkannya, bertanya-tanya apakah ia seharusnya tidak terlalu menggodanya, dan membalikkan tubuhnya untuk menghadapinya. Tatapan Mahiru sedikit lembap dan demam, jadi Amane mengacak-acak kepalanya, hampir menggeram sesaat.

“Aku cuma bercanda Aku tidak akan memaksamu.”

“…Bercanda?”

“Aku takkan melakukan apa pun yang tidak kamu sukai, Mahiru. Kamu tidak harus mengatakannya jika kamu tidak mau, tapi jangan terlalu menganggap serius perkataan Chitose.”

Mahiru mungkin menyuruhnya untuk bersikap proaktif, tapi ia tidak ingin dia kehilangan akal sehatnya, jadi Amane berharap dia membiarkannya berada di bawah kendali.

Mengesampingkan kekhawatiran mental dan fisik Amane, karena mereka akan bersama untuk waktu yang lama, mereka berdua tidak perlu terburu-buru, pikirnya saat berbicara, tetapi Mahiru mengangkat alisnya dengan halus.

“…Setidaknya, aku telah diajari sesuatu yang berguna dalam hubungan antara pria dan wanita.”

“Hah, misalnya?”

“A-Aku tidak bisa mengatakan itu, tapi… Chitose-san agak berpengalaman, jadi dia mengajariku beberapa hal berguna.”

“...Kurasa kamu tidak membutuhkan pengetahuan yang tidak perlu.”

“Aku sendiri yang akan memutuskan apakah itu perlu atau tidak.”

Ketika dia mengatakannya seperti itu, Amane tidak bisa membantahnya, tetapi meskipun demikian, dirinya ingin melanjutkan perlahan dan sedikit demi sedikit daripada dengan canggung terburu-buru oleh pengetahuan  dari orang lain.

“Itu menggangguku,” Amane mengangkat bahu dan Mahiru tampak sedikit tertunduk.

“… Aku ingin orang yang kucintai lebih menyukaiku. Memangnya aku tidak boleh ingin memperdalam hubungan kita dengan berbagai cara?”

Suara sedihnya membuat Amane sadar bahwa ia mengatakannya dengan cara yang salah.

Dari sudut pandangnya, Mahiru mendapatkan nasihat Chitose justru karena dia ingin lebih dekat dengan kekasihnya, tapi rasanya akan sangat menyedihkan untuk memotongnya sebagai pengetahuan yang tidak perlu dan membuangnya.

Amane tidak bermaksud menyakiti Mahiru atau membuatnya sedih, tapi memang benar kata-kata Amane telah menyakitinya. Saat ia mengulurkan tangan padanya untuk meminta maaf, Amane merasakan kejutan menjalari tubuhnya. Amane terhuyung-huyung karena kejadiannya terlalu mendadak dan ambruk di sofa, dan untuk alasan yang tidak diketahui, Mahiru bersandar di atasnya seolah-olah sedang menungganginya. Atau lebih tepatnya, Mahiru sedang mengangkanginya. Itu adalah sudut yang sangat berbahaya, jadi Amane mendongak untuk mengalihkan pandangannya ke tempat lain, dan matanya bertemu dengan mata Mahiru.

Ada sesuatu yang nakal tentang matanya yang mengintip dari poninya, yang berayun-ayun karena gravitasi.

“...Ide Chitose?”

“Sepertinya aku tidak memberikan tekanan yang cukup.”

“Kamu sangat kasar. Apa itu semua hanya akting, nona muda?”

“Tidak, memang benar aku sedih.”

Permintaan maaf mengalir dari dadanya saat kata-kata itu berubah menjadi senyuman masam, dan Amane secara naluriah memeluk punggung Mahiru.

Mahiru membenamkan wajahnya di area sekitar tulang selangka Amane, tidak mempedulikan suara aneh yang dibuatnya, dan memeluknya dengan penuh kasih. Merasakan kelembutannya membuat batinnya merasa bersemangat, dan aroma sampo yang samar-samar menyebar membuat jantungnya berdetak kencang, tetapi keinginannya untuk menghargai dan mencintainya lebih kuat dari itu.

“Maaf karena mengatakan itu tidak perlu. Um, bagaimana aku harus mengatakannya? Chitose sepertinya telah mengajarimu sesuatu yang sangat merangsang.”

“A-Aku tidak berpikir itu seburuk itu, masih belum.”

“Aku masih penasaran, tapi biarkan saja begitu… Terserah kamu untuk menerima saran Chitose, Mahiru. Tapi bagiku, rasanya tidak lucu bagi Chitose untuk memberimu nasihat tentang ini dan itu.”

“Kamu tidak menyukainya?”

“Ini hanya pendapat pribadiku, tapi… umm, aku berharap kita bisa lebih mengenal satu sama lain sedikit demi sedikit, dan berharap kita bisa melanjutkan sesuai keinginan kita. Ini sedikit berbeda dari tidak bisa menikmati waktu dan suasana saat ini sambil melihat apa yang ada di depan.”

“Jika kau menyebutku pengecut untuk itu, aku tidak bisa menyangkalnya…” imbuhnya dengan senyum pahit dan menghela nafas pelan.

Amane tahu dia menggunakan nasihat Chitose untuk mempercepat laju hubungan mereka, dan ia mengerti bahwa itu karena Mahiru mencintainya dari lubuk hatinya. Dia sangat senang mendengarnya berkata demikian.

Mengesampingkan itu, menurutnya tidak benar untuk terburu-buru dan memaksakannya.

“Maaf, aku mengatakan sesuatu yang menyedihkan. Aku cuma seorang pengecut.”

“… Tidak, aku mengerti betul bahwa kamu mencintaiku dan peduli padaku… Um, bagaimana aku mengatakannya… Bukannya aku ingin terburu-buru, hanya saja… kamu tidak membenciku, kan?”

“Kenapa aku malah membencimu?”

“…Um, i-itu karena aku sudah membuatmu menahan diri.”

Mahiru menggeliat pelan karena malu saat dia menekan dirinya ke tubuh Amane, dan ia tahu persis apa yang ingin Mahiru katakan, jadi dirinya tidak bisa menahan senyum pahit yang tidak biasa. Itu tidak diarahkan pada Mahiru, tetapi pada dirinya sendiri.

Bereaksi terhadap hal sekecil apa pun yang dilakukan adalah tanda masa mudanya, tetapi juga merupakan pertanda buruk dari apa yang akan datang. Amane tenggelam dalam pikirannya seolah-olah itu adalah masalah orang lain, dan perlahan-lahan membiarkan panasnya menghilang dari tubuhnya, menjernihkan pikirannya.

Rasanya akan kejam bagi Mahiru untuk membuatnya lebih sadar akan kehadirannya.

“Bukannya aku tidak menyukainya. Yah, karena aku juga laki-laki, jadi banyak yang kupikirkan, tapi bukannya aku ingin memaksakan diri untuk maju. Selain itu, kamu sendiri juga takut, kan?”

“…Ya.”

“Kalau begitu tidak apa-apa. Kita bisa melakukannya dengan kecepatan kita sendiri.”

Amane mengacak-acak kepalanya, dan Mahiru tersenyum meyakinkan, menggosokkan pipinya ke dada Amane.

Dalam posisi seperti itu dengan Mahiru bersandar padanya dari atas membuat Amane memiliki banyak hal untuk dipikirkan, tetapi perasaan cintanya diutamakan dan ia menghindari niat untuk melakukan sesuatu yang aneh. Sebaliknya, Amane diam-diam menepuk punggungnya.

“Selain itu, aku ingin kamu melepaskanku secepat mungkin.”

“Apa aku berat?”

“Kamu tidak berat, tapi ... tolong mengertilah.”

Amane dengan lembut menepuk punggungnya seolah berkata, Tolong sadari maksudku, tapi Mahiru tidak menunjukkan tanda-tanda mundur. Sebaliknya, dia beringsut lebih dekat dengannya dan menatap tepat ke arahnya. Amane secara naluriah menunjukkan ekspresi getir dan mengerutkan bibirnya, dan Mahiru menurunkan matanya karena malu, tapi sepertinya dia tidak berniat membiarkannya pergi.

“Bisakah aku tetap seperti ini sedikit lebih lama lagi?”

“…Lakukan apapun yang ingin kamu lakukan.”

Dirinya bisa saja memaksanya untuk mundur, tapi Mahiru tetap dekat dengannya karena dia menginginkannya, jadi Amane bermaksud untuk menghormati keinginannya.

“Apa boleh buat.” Amane menelan kebahagiaan dan rasa malunya dan menghela nafas kecil, lalu meletakkan tangannya di atas kepala Mahiru, yang sepertinya bergesekan dengannya, dan menyisir rambut halusnya dengan lembut.

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama