Otonari no Tenshi-sama Jilid 7 Bab 10 Bahasa Indonesia

Bab 10 — Tenshi-sama dan Tur Festival Budaya

 

Amane dan Mahiru berganti ke seragam sekolah mereka dan menyimpan kostum mereka di dalam loker, dan berkeliling sekolah untuk menikmati suasana festival.

Walaupun waktunya sudah lewat jam makan siang, tapi masih ada sejumlah besar kios makanan dan minuman yang buka untuk berbisnis. Jam kerja yang bertugas biasanya diganti saat ini, sehingga jumlah pelanggan mungkin akan bertambah.

Mereka berdua merasa kelelahan karena peran tak biasa dalam layanan pelanggan dan sekarang perut mereka keroncongan, jadi mereka berjalan-jalan di sekitar sekolah untuk mencoba menemukan tempat makan yang cocok, tapi... keberadaan Mahiru masih sangat menonjol. Amane bisa mendengar beberapa suara di sana-sini berkata, “Lihat, bukannya gadis itu yang jadi pelayan?,”jadi dirinya berasumsi bahwa penjualan kelasnya sukses besar — ​​ada banyak pelanggan yang datang. Dari sudut pandang Amane, itu sangat tidak nyaman, tapi karena Mahiru sudah pasrah atau sudah terbiasa, Amane tidak terlalu mengkhawatirkannya.

“Kamu ingin memakan apa, Mahiru?”

“Aku ingin mencicipi sesuatu yang biasanya tidak aku makan.”

“Hmm, meski kamu mengatakan itu… mungkin yakisoba atau takoyaki?”

Bukannya dia tidak pernah membuat yakisoba, tapi Mahiru tidak menyukai rasa tradisionalnya yang kuat, dan biasanya lebih berfokus pada rasa asin atau membuatnya dengan bumbu pasta kacang merah. Sedangkan takoyaki, mereka tidak memiliki peralatan yang tepat untuk memasaknya sejak awal. Amane tidak sering makan di luar, jadi dirinya tidak tahu banyak tentang makanan yang biasa dijual di pameran.

Karena Amane juga jarang memakannya, jadi ia mengambil kesempatan untuk berjalan menuju kelas yang menjual yakisoba dengan saus, tetapi ia mendengar suara yang familiar dari tangga di sepanjang jalan. Suara tersebut berasal dari arah tangga yang menuju ke atap sekolah, yang menurut Amane tetap tertutup, tetapi begitu menaiki tangga dan melihat ke arah tangga... orang yang duduk di sana merupakan teman sekelas yang baru saja ia ajak bicara.

“Hah? Fujimiya-kun dan Shiina-san?”

Amane berkedip saat melihat Ayaka memanggil namanya dengan kebingungan. Karena tidak banyak tempat duduk di sekolah, jadi ia tidak terkejut dengan lokasinya, tapi… dia lebih penasaran dengan posisi duduknya. Di sebelahnya ada seorang cowok dengan mulut penuh yakisoba, dan Ayaka menempel padanya dan meletakkan tangannya di bawah dagunya. Amane bisa melihat cowok itu hampir menumpahkan yakisoba-nya.

“…Apa yang sedang kamu lakukan di sini?”

“Eh? Persis seperti apa yang kamu lihat. Makan siang, kami sedang makan siang. Lihat tuh, Sou-chan, ini Fujimiya-kun yang kusebutkan sebelumnya.”

“Nm.”

Cowok itu memandang Amane dengan erangan teredam dan menelan yakisoba-nya, terlihat seperti ia tidak mengunyah dengan benar sebelum menelan. Namun… Mungkin karena terburu-buru, ekspresinya menjadi gelap dan dia mulai memukuli dadanya. Ayaka pasti sudah menduga hal tersebut sembari berkata, “Kamu harus mengunyah dengan benar,” dan memberinya sebotol teh. Setelah cowok itu minum sekitar sepertiga dari botol, Ayaka menyeka mulutnya dengan tisu basah saat potongan makanan terlepas dari tenggorokannya, dan murid itu menunjukkan ekspresi lega. Karena ia sedang makan yakisoba, tisunya ternoda saus.

Cowok yang diasuh tampak tidak puas dan bergumam, “Bisa enggak jangan memperlakukanku seperti anak kecil?” Ayaka mulai tersenyum dan menyeka mulutnya lebih banyak lagi. Cowok itu tidak menolak meskipun ia ngedumel, kemungkinan besar merupakan bukti rasa saling percaya mereka.

“Umm, jadi cowok ini pacarmu, Kido?”

“K-Kamu benar. Dia adalah teman masa kecil sekaligus pacarku. Ayo, Sou-chan, perkenalkan dirimu.”

“Jadi kamu pikir aku tidak akan melakukan apapun kecuali didesak seperti anak kecil…?”

“Karena kamu pemalu sih, Sou-chan. Ayolah, mereka bukan orang jahat.”

“Aku tidak berpikir kamu akan memperkenalkan aku kepada orang jahat sejak awal. … Namaku Kayano Souji.”

Souji dengan sopan membungkuk, dan Ayaka mencoba menepuk kepalanya dan memujinya dengan “Hebat sekali,” tapi ia dengan halus menepisnya. Terkesan dengan kekuatan mental Ayaka yang kuat, Amane hanya bisa menatap Souji. Mungkin ini adalah interaksi mereka yang biasa. Yang dia dengar dari Ayaka adalah bahwa ia memiliki otot yang luar biasa, jadi Amane berharap Souji akan memiliki fisik yang lebih berotot… Dirinya tahu bahwa Souji lebih tinggi dari dirinya, tapi Amane tidak bisa melihat adanya otot di balik seragamnya. Faktanya, Hiiragi Kazuya tampaknya memiliki fisik yang lebih baik di antara mereka.

Amane mengamati mereka tanpa mengucapkan sepatah kata pun, berusaha untuk tidak bersikap kasar, tapi Ayaka sepertinya mengerti apa yang dia pikirkan dan tersenyum menggoda.

“Sou-chan adalah tipe yang terlihat luar biasa saat telanjang.”

“A-Akan luar biasa jika telanjang…”

“Itu benar, Shiina-san. Pacarku sangat luar biasa. Ehehehe.”

Ayaka membalas sambil menyeringai. Amane berpikir kalau lebih baik tidak membiarkan Mahiru mendengarnya lagi, tapi Souji sendirilah yang menyelanya.

“Berhentilah membual tentang itu. Rasanya memalukan… Hei, apa yang kamu bicarakan saat tidak ada aku? Kamu membual tentang ototku lagi?”

'Pacarku memiliki otot yang luar biasa,' kataku.”

“Aku berharap kalau kamu tidak membualnya… itu bukan sesuatu yang harus kamu banggakan.”

“Itu sama sekali tidak benar! Kamu yang terbaik di dunia untukku!”

“Padahal kamu ngiler di acara khusus binaragawan di TV tempo hari, jadi apa yang kamu bicarakan…?”

“I-Itu hanya camilan untuk dimakan dari waktu ke waktu… Sou-chan adalah makanan pokok dan hidangan mewahku, jadi kamu penting! Sou-chan adalah spesial!”

Ayaka berbicara dengan sangat serius dan jelas, tapi menurut Amane, dia terlalu penasaran dengan omong kosong binaragawan itu untuk berpikir jernih.

(Dia menyukai otot sampai sejauh itu… Itu adalah dunia yang tidak begitu kumengerti)

Sebenarnya, bahkan Mahiru memiliki fetish bau, jadi Amane berpikir bahwa dia bisa bergaul dengan Ayaka. Dirinya mempunyai perasaan campur aduk ketika mendengar mereka membicarakan tentang bagian mana dari pacar mereka yang mereka sukai, jadi Amane berharap bahwa mereka akan melakukannya saat dirinya tidak ada.

Itu luar biasa dalam banyak hal, pikirnya, dan mundur selangkah untuk mengamati Ayaka dengan jarak yang sangat dibutuhkan. Souji rupanya menebak apa yang Amane pikirkan dan menampar kepalanya sebelumnya tanpa berusaha menyembunyikan kekesalannya.

“Cukup. Kamu harus berhenti di situ.”

“Itu sih karena kamu mengatakan sesuatu yang aneh, Sou-chan.”

“… Aku minta maaf tentang Ayaka-ku.”

“Jadi itu salahku?!”

Dia menatap pacarnya dengan ekspresi yang mengatakan dia tidak adil, tetapi itu kemungkinan merupakan perpanjangan dari interaksi kemesraan mereka. Amane hanya bisa menertawakan Ayaka, yang cemberut mencela dan dengan santai membelai otot-ototnya dengan “Dasar ih...” Souji juga tidak menolaknya — atau lebih tepatnya, membiarkannya melakukan apa yang dia suka, seperti biasanya— dan menundukkan kepalanya ke arah Amane, lalu Amane tidak bisa melakukan apapun selain menggaruk kepalanya.

Adapun Mahiru, dia hanya diam, seolah-olah dia sedang memikirkan sesuatu, tetapi untuk beberapa alasan, dia tiba-tiba mendekat dan mulai menyentuh perut Amane.

“…Kamu akan luar biasa jika kamu melepasnya juga, Amane-kun.”

“Kamu tidak perlu bersaing dengannya, dan aku tidak punya banyak otot, semakin sulit bagiku untuk menambahnya.”

“Segitu saja sudah cukup untukku.”

Pipinya memerah saat Mahiru menyentuh badan Amane, dan senyum pahit muncul di wajahnya, bertanya-tanya bagaimana ini bisa terjadi.

“Ngomong-ngomong, kalian berdua sudah makan belum?”

Saat Amane menenangkan Mahiru, Ayaka tiba-tiba bergumam seolah mengingat sesuatu.

Karena mereka memiliki shift yang sama, shift mereka berakhir pada waktu yang sama dengan Ayaka. Namun, sepertinya dia segera bersiap-siap dan pergi karena pacarnya sudah menunggunya. Bahkan teman-teman sekelasnya pada giliran kerja yang sama tidak mungkin makan secepat dirinya.

“Tidak, kami baru saja akan membeli yakisoba.”

“Ah, yakisoba? Rasanya enak loh. Kelas Sou-chan yang membuatnya.”

“Tapi Sou-chan makan paling banyak,” kata Ayaka, yang tersenyum, dan Souji membalas, “Kamulah yang memaksaku makan begitu banyak.”

“Jadi begitu ya. Pokoknya, kalian berdua mau yakisoba, ‘kan? Kalau begitu, aku akan memberimu ini.”

Sayaka tertawa sembari menyerahkan tiket kepada Mahiru dengan kata-kata: 100¥ Diskon Yakisoba tertulis di atasnya untuk beberapa alasan.

“Ini tiket khusus untuk kerabat. Sou-chan bilang aku bisa memberikannya kepada orang lain yang dekat denganku. …Apa itu boleh, Sou-chan?”

“Jika kamu ingin memberikannya kepada mereka, Ayaka, silakan saja. Itu tidak akan mengubah fakta kalau produk kami akan laku.”

“Yay!”

Ayaka tersenyum dan memberi mereka kupon diskon dua lembar. Amane berterima kasih dan juga minta maaf. Ketika ia melihat wajahnya, ia melihat bahwa pipinya rileks.

“Ah, jangan khawatir tentang itu. Kami sudah mulai bosan dengan yakisoba setelah ini, jadi kami tidak akan menggunakannya lagi. Lagipula, aku ingin makan sosis sekarang.”

“Saat ini aku membutuhkan lebih banyak protein daripada karbohidrat,” kata Ayaka sambil tersenyum. Amane yakin bahwa sosis akan memiliki lebih banyak lemak ketimbang itu, tetapi ia tidak berani mengatakannya dengan lantang dan malah memberikan kata-kata penghargaan yang jujur.

“Terima kasih banyak, Kido-san. Aku akan berterima kasih padamu suatu hari nanti.”

“Jangan khawatir. Aku tidak melakukannya untuk imbalan… Ah ya, Shiina-san, Shiina-san.”

“Y-Ya?”

“Seberapa banyak otot yang dimiliki, Fujimiya-kunmu?”

Apa sih yang gadis ini katakan dengan wajah serius seperti itu? Amane berpikir sebanyak itu dan mau tak mau merasa tercengang, tapi untuk Mahiru, yang ditanyai, dia berkedip berulang kali sebelum mulai panik karena suatu alasan.

“Ja-Jangan, Amane-kun adalah milikku!”

“Oh, sungguh menggemaskannya dirimu. Jangan khawatir, Sou-chan adalah yang terbaik untukku. Aku hanya penasaran saja.”

“Bukannya sekarang kamu sedang mengarahkan pandanganmu pada orang lain?”

“I-Itu tidak benar! Percayalah padaku, Sou-chan!”

Terperangkap pada saat itu, Ayaka melambaikan tangannya, tetapi Souji menggembungkan pipinya dengan cara yang mudah dimengerti, dan dia tampaknya menyadari bahwa pacarnya hanya setengah bercanda.

“Sou-chan no baka,” gumam Ayaka dengan suara manis, sebelum beralih ke Mahiru, yang masih sedikit waspada dengan niatnya. “Bukan begitu. Dia punya bahan yang bagus… Aku ingin membantunya membesarkannya apa adanya… Ini akan sia-sia, bukan? Fujimiya-kun mempunyai badan yang tinggi dan ramping, jadi penampilannya akan terlihat bagus jikadia membangun lebih banyak otot.”

“… Aku tidak ingin ia menjadi lebih keren. Itu meresahkanku.”

“Ah. Lagipula, Fujimiya-kun bekerja keras untuk acara itu. Popularitasnya mungkin meroket.”

“Aku paham,” Ayaka mengangguk padanya dengan tatapan penuh pengertian, yang membuat Mahiru cemberut.

Amane tidak yakin apakah dirinyaa harus senang karena Mahiru bisa sedikit terbuka pada Ayaka, atau harus mengomentari alasan aneh kecemburuan Mahiru. Amane berpikir kalau kekhawatirannya tidak berdasar. Menjadi sepopuler Mahiru tidak akan terjadi pada Amane. Jika ada seorang gadis yang mendekatinya setelah dirinya mulai berpenampilan bagus sepanjang waktu, mereka pasti sudah memiliki banyak peluang. Tentu saja, meski mereka melakukannya, mana mungkin Amane akan membuka hatinya kepada mereka.

Ada banyak orang dengan wajah yang lebih tampan darinya, dan Amane tidak percaya bahwa dirinya setampan yang dipikirkan Mahiru. Meski begitu, Mahiru terlihat khawatir, jadi Amane tersenyum canggung dan mengelus kepalanya.

“Aku hanya tertarik padamu, Mahiru. Bahkan jika ada seorang gadis yang menyukaiku, dia tidak akan disukai saat mencoba memisahkan kita, jadi jangan khawatir.”

“Meski begitu, itu tetap mengkhawatirkan.”

“Yah, aku juga merasakan hal yang sama. Apa pun itu, kamu tidak perlu terlalu khawatir, Mahiru.”

“… Aku merasa kamu tidak mengerti…”

Amane mencoba meyakinkannya, tetapi untuk beberapa alasan, Mahiru mengerutkan kening dengan ketidakpuasan sekali lagi, dan ketika Amane dibuat bingung, Ayaka tersenyum menggoda dan berkata, “Kamu pasti mengalami banyak kesulitan ya, Shiina-san.”

 

   

 

Amane dan Mahiru, yang dengan senang hati menerima kupon diskon dari Ayaka dan Souji, membaginya di antara mereka, lalu segera membeli yakisoba dan memutuskan untuk memakannya di halaman belakang.

Tidak ada tempat kosong di rest area yang telah disiapkan, dan mereka tidak bisa tinggal di ruang tunggu dengan semua perlengkapannya, jadi mereka malah datang ke halaman belakang, yang sepertinya akan bebas melalui proses eliminasi. Karena orang luar tidak bisa masuk ke belakang halaman belakang, meskipun ada beberapa siswa di sana, tapi masih ada tempat duduk.

Amane meletakkan handuk tempat Mahiru akan duduk dan duduk di bangku di bawah bayangan pohon, lalu bersandar di sandaran dengan sepenuh hati.

“Semuanya begitu bersemangat dan meriah. Aku tidak bisa tenang.”

“Fufu, karena kamu lebih suka lingkungan yang tenang sih, Amane-kun.”

“Ditambah lagi, aku tidak suka kalau semua orang menatapmu, Mahiru. Sepertinya mereka menggosok garam pada lukaku.”

“Aku yakin kalau bukan itu saja masalahnya, tapi ...”

“Pikiranku lelah sekali.”

Tidak ada yang bisa Amane lakukan tentang itu, jadi ia menahannya, tetapi dia tidak bisa mengabaikannya begitu saja. Mahiru mengenakan seragamnya, jadi tatapan mereka tidak seintens saat menjadi pelayan, tapi gadis cantik pasti akan tetap menarik perhatian. Gadis yang dimaksud sudah menyerah, dan dia sepertinya sudah terbiasa, jadi Amane tidak bisa berkomentar banyak, dan hanya bergumam sedikit.

Mahiru sepertinya mengerti itu juga, saat dia menepuk kepala Amane dengan senyum bermasalah, dan Amane menerimanya sembari mendesah pelan.

“Aku yakin kalau besok pengunjungnya akan jauh lebih banyak. Tidak diragukan lagi bahwa kita memiliki semacam reputasi di antara para pelanggan, dan kita akan bekerja pada sore hari.”

“Yah, begitu kita bertahan besok, semuanya akan berakhir... Omong-omong, di mana Shihoko-san dan Shuuto-san?”

Amane menggaruk pipinya dan mengangkat bahu ke arah Mahiru, yang tampaknya merasa aneh bahwa orang tuanya, yang sangat antusias untuk datang menemuinya dan Amane dengan pakaian pelayan mereka, tidak terlihat di mana pun.

“Mereka akan berada di sini besok. Dan karena mereka sedang istirahat, mereka telah memesan untuk menginap di hotel selama dua hari.”

“Benarkah?!”

“Mengapa kamu terlihat sangat bahagia?”

“Aku punya janji dengan Shuuto-san bahwa ia akan mengajariku rasa masakan keibuan, jadi kupikir kesempatan itu datang agak cepat.”

“Jadi ayah adalah pria dengan selera keibuan… Yah, memang sih, aku lebih akrab dengan masakan Ayahku.”

Baik Shihoko dan Shuuto telah memutuskan giliran memasak berdasarkan tanggal dan waktu, jadi Amane sudah familiar dengan rasa masakan Ibu dan Ayahnya. Namun, masakan Shihoko terutama berfokus pada bumbu, kuantitas, dan lebih disesuaikan dengan selera pria, jadi meskipun tidak berbeda dengan masakan rumahan, itu tidak sepenuhnya memberikan perasaan itu.

Shuuto lebih baik dalam memasak dan memiliki rasa yang lembut namun menenangkan, jadi jika ia harus menggambarkan selera keluarganya, itu mungkin milik Shuuto.

Hanya saja Mahiru sendiri sangat ahli dalam memasak sehingga dia tidak perlu belajar dari ayahnya... tetapi fakta bahwa dia mencoba belajar bagaimana melayani cara keluarga Fujimiya tampaknya penting, dan orangnya sendiri justru sedikit antusias tentang hal itu.

“Bukannya aku tidak puas dengan seleramu, Mahiru.”

“Itu ya itu, dan ini ya ini. Aku ingin membuatnya untukmu jika kamu menginginkannya, Amane-kun.”

“Itulah masalahnya… Sejauh yang aku ketahui, rasa makananmu adalah rasa keluarga kita. Jadi, kamu tidak perlu memaksakan diri untuk mempelajarinya.”

“… Saat kamu lengah, kamu selalu mengatakan sesuatu seperti itu!”

Akhirnya, atau lebih tepatnya, Mahiru sudah menguasai perut Amane dan memberinya makanan lezat setiap hari, jadi tidak ada keraguan dalam benaknya bahwa masakan Mahiru adalah cita rasa keluarganya. Rasanya unik bagi mereka berdua, berbeda dari Fujimiya.

Pipi Mahiru memerah karena kata-kata Amane, dan sekarang dengan penampilan yang mirip seperti bunga sakura, Mahiru mendorong handuk basahnya ke pipi Amane, menginginkan warna yang sama dengannya. Amane membelai rambutnya untuk menenangkan Mahiru saat ia mengamankan yakisoba yang hampir jatuh di pangkuannya.

Saat dia menata rambutnya menjadi kepang di pagi hari, rambutnya yang agak bergelombang tertiup angin, dan bahkan pipinya menggembung.

“… Apa kamu masih berpikir kamu bisa membodohiku dengan elusan kepala, Amane-kun?”

“Tidak juga, tapi aku tahu kamu akan meraa senang.”

“Bagian dari dirimu yang begitu sangat tidak adil.”

Amane diam-diam tersenyum pada Mahiru, yang berpura-pura bersikap ketus tetapi dirusak oleh rona kemerahan di pipinya, dan kali ini ia membelai rambutnya dengan lembut.

 

   

 

Setelah makan siang, Amane dan Mahiru melanjutkan jalan-jalan mereka, tapi setelah dihujani suara dan tatapan ke mana pun mereka pergi, Mahiru tampak sedikit lelah. Salah satu alasan mengapa mereka mendapat perhatian adalah karena mereka berpegangan tangan supanya tidak terpisah, tetapi dia sepertinya tidak ingin melepaskannya. Jari-jari Mahiru, yang dengan lembut namun kuat melingkari jari Amane, bersikeras untuk tidak melepaskannya.

Ketika Amane melihat ke arah Mahiru setelah dicemooh oleh seorang siswa tahun pertama yang lewat, dia memberikan senyum sopan layaknya wanita dewasa dan bersandar lebih dekat dengan Amane, jadi dia mungkin tidak berniat untuk pergi. Bahkan, dia tampaknya bertekad untuk tetap dekat.

(...Aku tidak terlalu keberatan, tapi kupikir semua siswa tahu bahwa kami resmi berpacaran.)

Kemungkinan besar, para siswa di sekolah ini tahu bahwa Mahiru sudah berpacaran dengan Amane—dia secara terbuka berbicara tentang dia sebagai orang penting di festival olahraga dan menyatakan bahwa mereka mulai berpacaran setelah minggu berikutnya dimulai.

Mahiru terkenal tidak hanya di antara teman-teman sekelasnya tetapi juga di antara senior dan juniornya, yang tampaknya telah menyebar lebih jauh, tetapi pada saat itu, kekecewaan para cowok terlihat jelas dan mereka sedih. Amane bahkan telah didekati oleh kakak kelas yang tidak dikenal tanpa kehadiran Mahiru. Setelah itu, Mahiru, yang berlari setelah diberitahu oleh teman sekelasnya, menghabisi cowok itu dengan senyuman.

Karena mereka masih berpacaran setelah mengatasi itu, Amane berpikir bahwa mana mungkin masih ada cowok yang begitu naif untuk percaya bahwa mereka memiliki kesempatan untuk mengganggu hubungan mereka. Bahkan jika Amane tidak menghadapi mereka secara langsung dan bersikeras, hanya berjalan di samping Mahiru sudah cukup untuk menyampaikan pesannya. Namun, sepertinya Mahiru punya rencana tersendiri, dan dia takkan meninggalkan sisi Amane. Bahkan setelah berpisah dengan teman sekelasnya, dia tetap meringkuk bersama dengannya.

“Apa ada masalah?” Amane bertanya dan menoleh ke arah Mahiru.

“Kamu terlihat sangat mempesona, Amane-kun.”

“Hah? Apa maksudmu?”

“Aku berbicara tentang gaya rambutmu, dan caramu membawa diri.”

“Yah, gaya rambut ini sengaja aku pakai untuk melayani di kafe.”

“Ya. Itulah yang aku maksud,” Mahiru menegaskan.

“Aku benar-benar tidak paham maksudmu...”

Jika hanya perlu mengubah gaya rambutnya saja bisa menjadi populer, itu akan terjadi ketika Amane mulai berpacaran dengan Mahiru, dan tidak ada banyak alasan baginya untuk bersikeras tetap dekat dengannya. Tentu saja, pada kenyataannya, Amane sangat senang karena Mahiru menempel erat padanya, tapi di sisi lain, Amane tidak bisa menahan diri untuk tidak menikmati sensasi yang menempel di lengannya, jadi dirinya berharap agar Mahiru menjauh sedikit. Amane membiarkannya melakukan apa yang diinginkannya, karena Mahiru sendiri tampaknya berniat melakukannya. Meski bisa dibilang kalau dirinya merasa sedikit gelisah, sih.

Sebagian karena Mahiru, dia mulai terbiasa dengan perhatian. Amane mengalihkan pandangannya dari kenyataan di hadapannya saat dia perlahan berjalan melewati sekolah. Amane sedang memeriksa pamflet yang dibagikan untuk mengetahui acara yang diselenggarakan oleh setiap kelas, tetapi Mahiru dengan jelas memimpin jalan—atau lebih tepatnya, membimbingnya—dan di hadapannya berdiri wahana rumah berhantu.

(Kalau tidak salah, Mahiru tidak terlalu menyukai hal horor…)

Mereka berdua kebetulan pernah menonton film horor suatu kali, namun Mahiru terus memegangi tangannya dengan wajah pucat, dan dia memasang wajah pemberani pada saat itu. Kata-kata dan ekspresinya menceritakan kisah yang sangat berbeda, jadi kengerian kemungkinan besar berada di luar zona nyamannya. Namun, rumah berhantu di sini diadakan oleh siswa, dan kekurangan anggaran dibandingkan dengan horor yang digambarkan di TV, jadi mungkin Mahiru memutuskan kalau keseramannya tidak terlalu horor.

“Apa kamu saking ngebetnya ingin memasuki wahana rumah hantu?”

“Eh?”

Mahiru tiba-tiba berhenti dan dengan malu-malu menatap Amane, seolah dia tidak memikirkannya sama sekali. Dia mungkin berencana untuk berjalan-jalan secara acak, jadi dia tidak berpikir sejauh itu. Matanya berputar-putar, ekspresinya berubah canggung seperti mesin yang rusak. Benar saja, Mahiru tidak berpikir untuk memasuki rumah berhantu.

“Ak-Aku tidak berniat begitu.”

“Kupikir kamu ingin pergi. Yah, kamu memang tidak menyukai hal horor, Mahiru, jadi itu pasti tidak mungkin.”

“…Itu sama sekali tidak benar, kok.”

“Tatap mataku dan coba katakan itu sekali lagi. Kamu memalingkan matamu seperti orang gila.”

Mahiru, yang berusaha menyembunyikan kelemahannya darinya, buru-buru menutupinya, tetapi ekspresi dan sikapnya berkata sebaliknya. Amane tidak cukup naif untuk memercayainya ketika dia jelas-jelas ketakutan.

(Kupikir itu bukan hal yang memalukan untuk mengaakui kalau dia tidak menyukai hal-hal yang menakutkan.)

Yang ada justru sebaliknya, Amane pikir itu menggemaskan, tetapi dia tampaknya tidak berpikiran sama. Mahiru menatap Amane dengan tatapan sedikit tidak puas di matanya, mungkin menyadari bahwa dia menganggapnya menawan. Matanya tetap sedikit lembab, namun tatapannya tidak intens. Kejutan sebelumnya belum memudar dari pikirannya.

“Aku tidak akan takut. Ayo kita pergi ke rumah hantu.”

“Kamu serius? Kalau begitu, ayo menonton film horor bersama kapan-kapan.”

“… I-I-I-Itulah yang aku inginkan.”

“Suaramu bergetar seperti robot rusak.”

Amane mengatakannya sebagai lelucon, tapi Mahiru justru memasang sikap sok berani dan membual dengan sikap sombong yang keras kepala, yang membuat Amane gelisah.

“Kamu yakin ingin terus keras kepala begitu? Aku tidak peduli jika kamu tidak bisa tidur sendirian.”

“Aku bisa melakukannya, dan jika terjadi sesuatu... aku akan membuatmu bertanggung jawab."

“Daging dan darah bisa lebih menakutkan daripada hantu.”

“Kamu tidak terlalu menakutkan, Amane-kun. Lagi pula, kitu berdua sudah tidur bersama berkali-kali sebelumnya. ”

Mahiru bersandar di dekat lengannya dan menatapnya, jadi Amane dengan lembut menutup mulut Mahiru dengan jarinya dan mendesah pelan. Memang benar bahwa Mahiru sering tertidur dan menginap di kamarnya sebelum mereka mulai berpacaran, dan mereka tidur bersama di rumah selama liburan musim panas. Jadi bisa dibilang, mereka berdua memang sudah tidur bersama beberapa kali. Tapi, pemilihan katanya sangat mengundang kesalahpahaman. Para siswa di sekitar mereka mulai bergumam sedikit. Sebagai seseorang yang belum memasuki hubungan semacam itu, Amane merasa rumit karena disalahpahami karenanya.

“… Kedengarannya seperti ajakan.”

“Tolong jangan salah paham. Kamulah yang mengundangku sejak awal.”

“Aku tidak punya motif tersembunyi. Aku hanya ingin melihatmu gemetar ketakutan.”

“Itu juga motif tersembunyi.”

Mahiru menyoleknya di samping, jadi Amane menyesuaikan cengkeramannya di tangannya untuk menghentikannya.

Mungkin dia merasa senang digenggam, karena wajahnya yang sedikit tidak puas melunak bersamaan dengan itu. Amane balas tersenyum dan menarik tangan Mahiru—

“… Umm?”

—Menuju ke arah rumah hantu.

“Karena kita sudah sampai sejauh ini, kupikir kita akan mencobanya. Lagipula, kamu bilang kamu akan memasuki rumah berhantu, Mahiru.”

“A-Aku memang mengatakan itu, tapi… K-Kamu sangat jahat…”

Saat Mahiru menggeliat dan menatapnya dengan mata yang sedikit lembab, Amane tersenyum kecil dan tanpa ampun menarik tangannya kembali ke arah rumah hantu. Amane memutuskan untuk tidak memberitahu Chitose untuk melindungi kehormatan Mahiru. Oleh karena itu, Mahiru terus menempel di lengannya sepanjang waktu di dalam rumah berhantu.

 

   

 

Setelah meninggalkan rumah berhantu, Amane mendukung Mahiru, yang tampak agak lelah karena terkejut dan ketakutan, saat dia menuju tempat istirahat, tapi ketika dia tiba-tiba melihat sosok yang dikenalnya di belakangnya... “Ah,” mau tidak mau dia membiarkan mengeluarkan keterkejutannya dengan suara yang dalam.

“…Hah? Ayah Itsuki…?”

Amane memanggil punggungnya dengan nada malu-malu, karena ia tidak terlalu mengenalnya, dan pria itu berbalik, berdiri tegak seperti sebelumnya.

Ia memiliki wajah yang tampan, tapi tidak ada kelembutan atau kelonggaran dalam ekspresinya. Dia adalah pria yang seumuran dengan Shihoko dan Shuuto, namun dia memiliki ekspresi yang mirip dengan batu besar. Merasa karena dirinya tidak salah mengingat wajahnya, Amane menegakkan punggungnya lagi. Mahiru, yang berada di sebelahnya, menatapnya dengan rasa ingin tahu, jadi ia berbisik pelan, “Beliau adalah ayah Itsuki,” dengan cara yang tidak akan diperhatikan.

“Sudah lama tdaik bertemu. Mungkin sulit untuk mengenalinya karena saya sedikit mengubah gaya rambut saya, tapi ini saya, Fujimiya.”

Daiki, ayah Itsuki, memperhatikan baik-baik wajah Amane dan wajahnya sedikit melembut, ekspresi sebelumnya sepertinya membuat orang menjauh darinya.

“Ah, Fujimiya-kun, ya? Aku sampai tidak mengenalimu.”

“Ahaha. Yah, saya cukup murung terakhir kali.”

“Bukan itu maksudku… Aku senang kamu terlihat sangat percaya diri sekarang. Kamu tidak perlu meremehkan dirimu sendiri seperti itu.”

Itsuki sering menggerutu pada seberapa sering ayahnya memarahinya, tapi Daiki agak menyukai Amane, dan ia sepertinya menerima perubahan sikap Amane dengan baik. Ketika berkaitan dengan putranya, bahkan Amane harus mengakui bahwa ia orang yang keras kepala, tapi selain itu, ia tipe orang yang  tenang dan masuk akal, bahkan Amane tidak merasa sulit untuk berbicara dengannya, dan justru menyukai percakapan mereka.

Amane sedikit malu mendengar kata-kata pujian Daiki yang jujur, karena nadanya menunjukkan betapa terkesannya dia. Tatapan pria itu beralih ke Mahiru.

“Bagaimana dengan nona muda ini?”

“Ah, um. Dia gadis yang saya pacari.”

Amane tidak bisa memahami jarak sosial antara dirinya dan Daiki, dan karena itulah dia akhirnya memperkenalkannya dengan cara yang tidak terikat. Agak sulit untuk berinteraksi dengan orang tua teman, jadi Amane tidak punya pilihan selain melakukan begini. Amane tahu bahwa tubuh Mahiru menegang secara halus karena kecanggungan dan rasa malu, tapi dia memasang senyum malaikat dan sedikit menundukkan kepalanya. Sejauh menyangkut Mahiru, dia adalah pria yang tidak dikenal, jadi dia memberikan tanggapan yang dimaksudkan untuk orang asing, tetapi mengingat kepribadian Daiki, ini mungkin pilihan yang tepat.

“Senang berkenalan dengan anda. Nama saya Shiina Mahiru. Seperti yang diperkenalkan tadi, saya berpacaran dengan Amane-kun.”

“Betapa sopannya kamu. Namaku Akazawa Daiki, dan aku ayah Itsuki.”

Daiki membungkukkan pinggulnya dengan sopan ke arah Mahiru, lalu melirik Amane sekilas. Amane merasa ada implikasi di baliknya yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, tapi Amane pura-pura tidak menyadarinya dan hanya balas tersenyum padanya.

“Begitu ya… Nah, bagaimana aku harus mengatakannya? Aku tidak menyadari bahwa Kamu berkencan dengan seorang gadis. Aku terkejut karena aku tidak mendengar apa-apa.”

“Tidak pernah mendengarnya dari Itsuki?”

“Anak itu pada dasarnya tidak berbicara denganku. Aku berasumsi kalau ia berpikir tidak perlu memberitahuku.”

“Yah, saya wajar saja karena tidak perlu repot-repot berbicara tentang hubungan temannya.”

Amane hampir menghela nafas, berpikir bahwa Itsuki masih canggung dengan ayahnya, tapi ia memutuskan untuk tidak menunjukkannya.

“Kamu berpacaran dengan Fujimiya-kun… Yang berarti kamu juga menjaga kebodohan anakku. Aku selalu minta maaf untuk itu.”

“Tidak, saya lah yang berhutang budi pada Akazawa-san.”

“Kamu tidak berpikir dia telah menyebabkan masalah bagimu?”

“Tentu saja tidak. Ia adalah pria yang baik dan perhatian, dan selalu membantu. Saya juga ingin terus berteman dengan Akazawa-san.”

Daiki menghela nafas kagum saat Amane mendengarkan pujian Mahiru. Amane menahan diri untuk tidak berkomentar bahwa Itsuki cenderung ikut campur dari waktu ke waktu.

“… Fujimiya-kun, aku senang kamu menemukan gadis yang luar biasa.”

“Yah, Mahiru-saya benar-benar gadis yang baik.”

“T-Tolong jangan membuat lelucon seperti itu sekarang!”

Mahiru tidak menyangka kalau Amane akan mulai memujinya di depan ayah temannya, dan pipi putihnya mulai memerah dengan jelas.

Amane memberinya senyum diam, dan Mahiru mengarahkan pandangannya ke bawah karena malu dan dengan santai menyoleknya dari belakang menjauh dari Daiki. Mahiru tidak menggunakan banyak kekuatan, jadi itu tidak menyakitinya sama sekali dan hanya menyisakan rasa gatal. Sebaliknya, itu membawa senyum ke wajahnya sebagai gantinya.

“Aku senang melihat kalian berdua rukun, tapi aku merasa seperti diperlihatkan sesuatu yang sangat menyilaukan. Namun, ini adalah momen untuk berbahagia.”

“Maaf, saya akan berhati-hati. Ngomong-ngomong, apa anda sudah mampir ke kelas kami?”

“Tidak, aku sudah merencanakannya, namun...bagaimana mengatakannya...suasananya membuatnya agak sulit untuk dimasuki.”

“Ahh…”

Daiki tidak terlalu tertarik dengan acara seperti ini. Dia bukan tipe orang yang menunjukkan minat pada manga atau game, jadi akan sulit baginya untuk dipandu oleh kelas Amane.

“Tentu saja, aku akan menyusahkan para siswa jika aku masuk sendirian. Lagi pula, ada masalah penampilan.”

“Saya rasa itu bukan masalah penampilan anda, Daiki-san. Apa anda bersedia bergabung dengan kami? Kami berada di kelas kami sendiri, tetapi saya ingin memasukinya sebagai pelanggan.”

“Tidak, aku tidak tahan untuk menghalangi jalanmu. Tidak selama waktu luangmu sebagai pasangan, yaitu. Lagipula… dia ada di kelas sekarang, bukan?”

“…Ya itu benar.”

“Aku tidak ingin membuatnya gelisah atau membuatnya canggung begitu dia memperhatikanku. Jika dia melihatku secara langsung sekarang, itu mungkin akan membuatnya terpukul.”

Amane menurunkan alisnya pada senyum bermasalah Daiki, tapi dia tidak melanjutkan masalah itu lebih jauh. Amane tidak memiliki perasaan yang baik tentang hubungan antara Chitose dan Daiki, tetapi dia tahu bahwa Daiki tidak memiliki niat jahat terhadapnya. Amane juga tahu kalau dia menolak Chitose karena ia punya pemikiran tersendiri soal itu.

Walaupun dirinya mengetahui hak itu, sebagai teman, Amane ingin membantunya mengatasi masalahnya jika bisa.

“Maaf mengganggu. Aku akan pergi sekarang.”

“Tetapi…”

“Aku tidak ingin merusak suasana pesta. Kalian berdua, bersenang-senanglah.”

Saat Daiki pergi sebelum Amane dan yang lainnya bisa menghentikannya, Amane mendesah pelan.

“… Ia masih tidak mau menerima… Chitose-san?”

"Ya. ...Begitulah adanya, tapi Daiki-san sendiri bukanlah orang jahat. Ini hanya kasus klasik dari orang-orang yang tidak bisa akur satu sama lain. Sejak awal kepribadian Itsuki, Chitose, dan Daiki-san sama sekali tidak cocok.”

Bahkan Amane, yang hanya sedikit berinteraksi dengannya, dapat mengetahui bahwa Daiki pada dasarnya adalah orang yang kolot dan keras kepala, tipe yang berpegang teguh pada metodenya.

Di sisi lain, Itsuki dan Chitose, meskipun mereka tidak tulus, mereka tidak mengikuti akal sehat kebanyakan orang—mereka adalah orang-orang yang fleksibel yang tidak bertindak seperti yang diharapkan pada awalnya. Mereka bukan tipe orang yang akan sangat menyesuaikan diri ketika dipaksa, jadi wajar jika mereka tidak patuh mendengarkan tuntutan Daiki. Mereka tidak serasi. Tetapi jika diminta untuk mengatakan apakah Daiki salah, itu juga tidak sepenuhnya benar, karena meskipun standar Daiki agak tinggi, mereka masih dalam ranah akal sehat.

“Hanya saja tuntutan Daiki-san terlalu banyak rintangan saat ini. Ia tidak mencoba untuk menyakiti Chitose karena kedengkian, tapi… Aku hanya bermasalah karena tidak ada yang bisa aku lakukan.”

Jika Daiki dengan mudah diyakinkan dan akan mengakui Chitose, masalah tersebut takkan berlarut-larut.

Amane berpikir bahwa orang tua memang tidak berhak terlalu mengganggu masalah percintaan anak mereka, tetapi perasaan ingin anak mereka memiliki pasangan yang lebih baik adalah perasaan yang dapat diempati oleh Amane. Itsuki bukan orang yang banyak membicarakannya, dan Amane tidak terlalu memikirkannya, tetapi keluarga Akazawa adalah keluarga yang terpandang di mata publik, yang kemungkinan membutuhkan campur tangan yang lebih keras dari orang tuanya.

“Alangkah baiknya jika kita bisa membuatnya menyetujuinya, tapi itu bukan sesuatu yang bisa kita selesaikan.”

"Kamu benar. …Aku pikir keduanya benar-benar cocok satu sama lain, dan mereka sangat mencintai satu sama lain. Aku tidak ingin mereka dipisahkan, atau lebih tepatnya… Aku berharap ayahnya tidak mencoba memisahkan mereka.”

“Ya. …Daiki-san juga bisa merasakannya, itu sebabnya ia berpikir lebih baik tidak ikut campur secara langsung sekarang. Hal-hal tidak akan membaik sampai satu pihak menyerah atau kompromi dibuat.”

Ketika Amane menghela nafas lagi, Mahiru juga menurunkan alisnya dengan bingung, menyandarkan kepalanya di lengan atas Amane, dan bergumam pelan, “Kuharap kita bisa melakukan sesuatu.”

 

   

 

Setelah berpisah dengan Daiki, Amane membeli beberapa makanan untuk dibawa dan menuju ke kelasnya sendiri sambil istirahat. Dibandingkan dengan kelas lain, antrian di meja resepsionis cukup panjang. Bahkan ketika mereka sedang bergiliran, mereka akan melihat keluar dari waktu ke waktu, tetapi Amane tahu bahwa sekarang lebih populer daripada di pagi hari. Mereka pasti mendapatkan reputasi yang cukup tinggi.

Meskipun itu adalah kelasnya sendiri, tapi Amane datang berkunjung sebagai pelanggan, dan ketika dengan patuh tiba di meja resepsionis bersama Mahiru, ia menemukan teman-teman sekelasnya sedang sibuk memeriksa daftar.

“Hah? Fujimiya dan Tensh– …Shiina-san. Jangan bilang kamu di sini untuk membantu.”

“Sayangnya, enggak. Walaupun aku tetap akan mengawasi pelanggan. Selain itu, aku di sini untuk melihat bagaimana kinerja Itsuki dan Chitose.”

“Ah, mereka baik-baik saja. Yah, bisa dibilang begitu.”

“Ada apa dengan nada mengelak itu?”

“Tidak peduli apa yang aku lakukan, Itsuki selalu menunjukkan kesembronoannya.”

“Itu juga salah satu ciri khasnya, kita tidak bisa berbuap apa-apa mengenai hal itu.”

“Itu sangat buruk.”

Itu normal bagi Itsuki untuk bertindak ceria dan main-main, dan mereka tidak bisa mengharapkan sebaliknya kecuali sesuatu yang serius terjadi. Dan dengan kejadian seperti ini, Itsuki menanggapinya dengan agak serius, tetapi kepribadiannya yang tidak terkendali mulai muncul ke permukaan. Sifatnya yang sembrono tidak akan hilang dalam waktu dekat.

Beberapa siswa menikmati bagian dirinya itu, jadi ia merupakan butler yang populer dengan caranya sendiri. Lagi pula, itu adalah acara yang diselenggarakan oleh siswa, dan dirinya tidak harus bertindak disiplin seperti butler sungguhan.

“Meja untuk dua orang, ‘kan? Kamu mungkin harus menunggu sebentar lagi.”

“Mau bagaimana lagi karena disini sangat ramai, aku sudah siap untuk itu. ... kamu tidak masalah ‘kan, Mahiru? Apa kamu tidak lelah?”

“Aku baik-baik saja. A-Aku hanya lelah karena apa yang kita lakukan sebelumnya…”

“Itu karena kamu bertingkah sok berani dan masuk.”

“… Aku tidak ingat melakukan itu.”

Mahiru mengalihkan pandangannya. Tingkahnya benar-benar membuatku ingin menggodanya, pikir Amane, tapi jika dirinya bertindak terlalu jauh, Mahiru akan mulai merajuk, jadi ia memutuskan untuk tidak mengungkitnya lagi. Sebaliknya, Amane berbisik pelan, “Kamu berjanji untuk menonton film horor bersamaku, ingat?” dan Mahiru memelototinya dengan mata yang sedikit sembab, tapi kali ini Amane pura-pura tidak tahu.

Bahkan resepsionis memelototinya dengan mengatakan, “Lakukan itu di tempat lain,” tapi yang bisa dilakukan Amane hanyalah mengalihkan pandangannya.

 

   

 

Beberapa saat kemudian, giliran mereka akhirnya tiba, dan karena desakan resepsionis, mereka masuk ke kelas mereka sendiri... tapi karena mereka berdua tahu bagaimana mereka merotasi pelayan untuk menyapa pelanggan, Amane mengernyit dengan jengkel.

Resepsionis pasti menyampaikan pesan, dan Itsuki serta Chitose bertindak sebagai pelayan mereka. Pasangan itu tersenyum jauh lebih profesional daripada yang mereka lakukan selama latihan, tetapi mulut mereka berkedut melihat wajah Amane yang agak tidak senang. Mereka memandangnya seolah-olah lelucon kecil mereka berhasil, dan bahkan ekspresi Amane pun mulai bergetar—tentu saja dalam arti merinding.

“Selamat datang kembali, Tuan, Nyonya!”

“Oi, Itsuki. Mana mungkin sapaan semacam itu ada di dalam panduan.”

Mereka pada dasarnya adalah kafe pelayan dan butler, tetapi para tamu harus disebut sebagai 'pelanggan,' dan Amane tidak bisa menahan ekspresi tegang karena mereka sengaja memanggilnya 'tuan'. Mahiru mungkin tersipu malu karena dipanggil 'Nyonya' dan menurunkan matanya dengan malu-malu.

“Tidak, tidak, tidak sama sekali, kok. Semuanya sudah tertulis di manual rahasia kami, di halaman yang disediakan hanya untuk kalian berdua.”

“Jangan mengada-ada.”

“Sudah, sudah. Izinkan kami untuk memandu kalian berdua ke tempat duduk kalian.”

“Tidak baik memberi kami perlakuan khusus di depan semua pelanggan ini,” Amane menegurnya dengan tatapannya, tapi Itsuki tidak mempedulikan protesnya.

Tidak peduli apa yang Amane katakan, sepertinya tidak ada gunanya, jadi dirinya dengan enggan duduk di kursi yang diantar.

Dia terganggu oleh sikap anggun Mahiru saat dia duduk di kursi yang telah ditarik Itsuki. Chitose tersenyum dan bertanya, “Apa kamu menikmati istirahatmu?” dan mengulurkan menu (yang sudah lama dihafal Amane) sambil mengikuti prosedur di manual.

“Hm? Yah, itu menyenangkan. Masih ada tempat yang ingin kami kunjungi, jadi kami akan terus berkeliling setelah ini.”

“Begitu ya, begitu ya, aku senang mendengarnya. Aku berharap Mahirun akan datang dan istirahat dalam waktu dekat.”

“Benarkah?”

“Itu benar. Dia mengatakan kepadaku bahwa dia ingin melihat-lihat ke berbagai tempat.”

Amane melirik ke arah Mahiru, yang pipinya sedikit memerah, “satu paket A,” saat dia mencoba mengalihkan topik. Dia tidak menunjukkan banyak kegembiraan tentang festival budaya ketika mereka berada di rumah, tapi dengan caranya sendiri, dia sepertinya ingin menghabiskan waktu bersama Amane. Ia tersenyum sedikit pada Mahiru yang menggemaskan dan bersumpah untuk menanyakan detail lebih lanjut nanti saat dirinya memesan hal yang sama. Menyadari apa yang dipikirkan Amane, Mahiru memelototinya sedikit, tapi sepertinya dia tidak menentangnya, jadi Amane merasa lega.

Chitose tidak berusaha menyembunyikan senyum cerahnya ketika mendengar pesanan tersebut dan pergi untuk menyampaikan pesanan itu ke belakang. Saat itulah Amane tiba-tiba teringat sesuatu. Di pangkuannya ada sekantong donat, yang kemudian ia serahkan kepada Itsuki. Ukurannya seukuran sekali gigit dan digoreng bulat-bulat, sehingga mudah disantap saat istirahat sebentar. Jika ia ingat dengan benar, mereka memiliki tusuk gigi di belakang, sehingga staf lain bisa makan tanpa membuat tangan mereka kotor.

“Ah, itu benar. Ini, aku membawakanmu makanan ringan dari kelas lain. Biarkan yang di belakang juga ikutan makan ketika mereka sedang istirahat.”

“Oh, hei, hei, hei!”

“Aku sendiri yang ingin melakukannya, jadi jangan khawatir. Tetapi jika kamu ingin berterima kasih, lakukanlah seperti yang dilakukan butler…”

“Terima kasih atas kebaikan anda, tuanku…”

“Jangan bercanda terus napa. Juga, sudah cukup lelucon itu.”

“Aku sudah makan siang, tapi aku masih sedikit lapar,” Amane tertawa, melihat Itsuki menyeringai dengan ekspresi ceria. Namun, dalam benaknya, ia meminta maaf sebelumnya atas apa yang akan dirinya katakan padanya.

“Hei, Itsuki.”

“Hm?”

“Aku bertemu Daiki-san.”

Amane tahu tubuh Itsuki sedikit menegang mendengar kata-kata itu. Prioritasnya adalah melaporkannya saat Chitose tidak ada, jadi ia mengatakannya sekarang, tetapi Amane tidak yakin untuk memberitahunya, karena itu dapat menurunkan motivasinya untuk melayani pelanggan.

Senyum Itsuki yang biasanya tidak langsung menghilang, ia hanya tersenyum tipis dalam diam, digantikan oleh tatapan masam sesaat, dan kemudian ia memaksakan seringai untuk menyembunyikannya.

“Ya, Ayahmu tidak menyebutkan apapun tentang Chitose. Ia memang mengatakan bahwa sulit untuk masuk kelas, dan pergi ke tempat lain.”

“Ah… sudah kuduga. Dia tidak terlalu suka dengan hal semacam ini. Dan bahkan jika dia benar-benar datang, itu hanya akan menyusahkan Chi, jadi itu mungkin yang terbaik.”

Itsuki mengangkat bahu dan bergumam, "Aku mungkin memberinya undangan karena kewajiban, tapi aku tidak menyangka kalau ia beneran datang.”

“Aku akan berbicara dengannya ketika aku di rumah. Aku ragu dia akan bertahan hari ini untuk mencariku.”

Melihat senyum ambigu Itsuki yang menyembunyikan pikirannya yang sebenarnya, Amane mendesah pelan saat Itsuki kembali ke belakang, dengan tas makanan ringan di satu tangan.

(Aku harap semua berjalan dengan baik…)

Meskipun tidak semudah itu, yang bisa Amane lakukan hanyalah berharap bahwa dirinya dapat membuat perbedaan kecil, tidak peduli berapa lama waktu yang dibutuhkan.

Chitose, yang bertukar tempat dengan Itsuki dan membawa menu yang dia pesan, memiringkan kepalanya dengan bingung saat melihat ekspresi Amane dan Mahiru, yang sedikit depresi karena Daiki.

“Hah? Apa ada sesuatu terjadi? Apa kalian sedang marahan?”

“Menurutmu kami sedang bertengkar?”

“Aku pikir pasangan mana pun akan melakukannya. Biasanya, sih… tapi dalam kasusmu, kamu mendengarkan dengan cermat satu sama lain, jadi sungguh menakjubkan bahwa aku tidak bisa mengatakannya dengan pasti.”

Chitose dengan sungguh-sungguh bergumam dengan suara yang bercampur dengan kekesalan dan kekaguman, tapi Amane tidak menganggap itu semua aneh. Secara umum, Mahiru berwatak halus dan agak toleran, jadi jarang sekali melihatnya marah. Selain itu, mana mungkin dia marah demi dirinya sendiri. Dia pernah marah atas nama orang lain sebelumnya, tapi Mahiru sendiri tidak terlalu sering marah, dan itu berasal dari kepribadiannya.

Jika dirinya bertengkar dengan Mahiru, itu hampir pasti kesalahan Amane karena membuatnya marah, dan dalam hal itu, itu akan mengarah ke diskusi daripada pertengkaran. Mereka akan membahas apa yang salah dan mengapa dia kesal, dan mengidentifikasi akar penyebab serta solusi yang ideal. Amane tidak perlu membuatnya marah, dan dirinya hampir jarang melakukannya. Jika ia memang melakukannya, Amane akan segera meminta maaf begitu itu terjadi. Itu sebabnya tidak pernah berubah menjadi pertengkaran.

Begitu Mahiru mendengar kata 'bertengkar', matanya yang berwarna karamel berkedip dan dia tersenyum kecil, seolah-olah argumen adalah sesuatu yang tidak ada di dunianya. Tidak perlu baginya untuk marah pada Amane. Dia merasa frustrasi ketika Amane meremehkan dirinya sendiri, tetapi dia lebih menegurnya daripada benar-benar marah, dan hal terpenting yang harus diperhatikan adalah dia mempercayai itu demi Amane sendiri.

“Pokoknya, kami tidak bertengkar. Kami baru saja memikirkan sesuatu, dan kami sedikit terganggu karenanya.”

"Hmm? Yah, syukurlah kalau kalian tidak sedang bertengkar. Lebih penting lagi, apa orang tuamu tidak datang, Amane?”

Tubuhnya sejenak menegang saat menyebut 'orang tua', tetapi Chitose sepertinya tidak menyadari kekhawatirannya saat mendekat.

Amane merasa lega bahwa keberadaan Daiki sepertinya tersimpan di benaknya untuk saat ini.

“Yah, Mahirun pernah berkata bahwa ibumu dan aku adalah tipe orang yang sama, jadi aku sangat penasaran. Pastikan untuk membiarkanku menyapa.”

“Aku yakin bisa melihat kalian berdua rukun. Kamu pasti akan klop dengannya, sedemikian rupa sehingga Mahiru akan terjebak dalam baku tembak.”

Tidak hanya mereka berdua mungkin akan klop, tetapi alur pemikiran mereka juga agak mirip. Ketika Amane pertama kali bertemu Chitose, ia menyadari betapa miripnya dia dengan ibunya, dan mengenang betapa sedihnya dia saat itu. Kecintaan mereka pada hal-hal lucu, kontak fisik yang intens, dan kesukaan mereka yang ekstrim pada Mahiru adalah salinan karbon yang tepat satu sama lain, dan mereka hampir pasti akan menyayangi dan menggodanya sesuai keinginan hati mereka.

Senyum Mahiru goyah sejenak saat dia dengan mudah membayangkan pembantaian di masa depan, tapi Amane pura-pura tidak sadar.

(Mereka akan mengubahnya menjadi boneka rias, atau menghujaninya dengan skinship yang berlebihan. Bertahanlah.)

Mereka tidak benar-benar membahayakan, jadi tidak perlu khawatir. Amane merasakan tatapan mencari bantuan dari Mahiru, tapi itu adalah takdir bahwa Amane terlalu lemah untuk mengubah keadaan, dan ia tidak bisa berbuat apa-apa selain berharap Mahiru cukup kuat untuk melewatinya.

“Pokoknya, jangan terlalu berlebihan saja. Ditambah lagi, kamu yakin tidak perlu segera kembali?”

“Whoa, pelototan Makochin nyeremin banget~”

Makoto, yang berada di shift yang sama dengannya, sepertinya memiliki banyak hal untuk dikatakan kepada Chitose, jadi Amane memotong pembicaraan mereka. Makoto memberi Chitose tatapan dingin saat dia menjulurkan lidah sebagai alasan, dan dia mendesaknya untuk kembali bekerja.

Dia menatap punggung Chitose saat dia dengan enggan kembali bekerja dan menghela nafas pelan.

“Mendukungmu adalah satu-satunya hal yang bisa kulakukan, tapi semoga berhasil, Mahiru.”

“Seolah-olah itu masalah orang lain.”

“Tidak, aku tidak bisa menghentikan keduanya dan hasrat mereka yang meluap. Tetap bertahan. Jika kamu benar-benar tidak menginginkannya, maka kamu harus tegas mengatakan hal itu.”

“Bu-Bukannya aku tidak mau… umm… tapi mereka pasti akan mendandaniku dengan banyak pakaian yang berbeda, bukan?”

“Tidak diragukan lagi, ya.”

Shihoko sudah suka mendandani Mahiru, tapi begitu dia bertemu Chitose, dia mungkin akan menjadi lebih heboh dalam kejenakaannya. Mengingat ibunya, yang sudah menganggap Mahiru sebagai putrinya, sepertinya dia akan membawanya ke butik dan mengubahnya menjadi berbagai pakaian sebelum membelinya untuknya. Amane punya firasat bahwa Chitose dengan senang hati akan menemaninya dalam usaha seperti itu.

Amane tidak bisa menghentikan kasih sayang ibunya yang mengakar pada Mahiru. Ia tahu bagaimana ibunya selalu ingin punya anak perempuan, dan dia juga menyukai Mahiru sebagai pribadi.

“Yah, selama kamu siap untuk berdandan, kamu tidak perlu menolaknya.”

“Ketika kamu mengatakannya seperti itu, kamu tahu aku tidak bisa menolak.”

“Aku tidak keberatan, kau tahu? Aku bisa membantumu mendandanimu jika kamu benar-benar mau.”

Bukannya Amane memiliki model baju khusus untuk dikenakan Mahiru, tapi ia merasa akan menyenangkan untuk memilih pakaian yang menurutnya cocok untuknya.

“… Yah, meski mengesampingkan keduanya, aku ingin melakukan itu. Jika itu sesuatu yang kamu sukai, aku akan dengan senang hati menemanimu.”

Mahiru bergumam pelan dan menurunkan matanya karena malu, tapi mengingat lokasinya, Amane tidak bisa mulai mengatakan bahwa dirinya mengagumi Mahiru tidak peduli apa yang dia kenakan, jadi Amane hanya tersenyum bahagia melihat kelucuannya sambil menyesap kopinya.

 

   

 

Amane terus menikmati kopinya sambil menunggu pipi malu Mahiru mereda, tetapi begitu melihat sekeliling, dirinya menjadi sangat sadar betapa bagusnya reputasi yang baik untuk menarik pelanggan. Kelas mereka bermaksud menyiapkan banyak kursi untuk berjaga-jaga, tetapi ia belum melihat satu pun dari kursi itu kosong. Tidak ada bedanya dengan saat dirinya sedang shift, tapi sepertinya mereka selalu penuh dengan pelanggan.

Tanpa bias, Mahiru dan Yuuta adalah orang-orang yang paling menonjol, tetapi pelanggan masih membanjiri saat mereka sedang istirahat, jadi pastilah pilihan pakaianlah yang membantu menarik banyak penonton yang merasa penasaran. Fakta bahwa anak laki-laki dan perempuan muda, yang biasanya mengenakan seragam sekolah, mengenakan seragam pelayan dan butler seperti yang terlihat membuat orang yang memakainya merasa tidak nyaman.

Bagi Amane sendiri, hal itu sangat asing baginya. Ambil saja contohnya Chitose mengenakan pakaian yang digunakan untuk melayani orang lain. Amane tidak pernah membayangkan dia akan melakukannya. Ia melirik ke arahnya dan menemukan dia berurusan dengan pelanggan sambil menyebarkan senyumnya ke seluruh kafe, tapi dia tidak tampak seberani yang orang pikirkan dari pakaiannya. Dia mengenakan rok mini bertema pembantu, dan suasana Chitose yang hidup dan ramah melengkapi penampilannya dengan sangat baik.

“… Apa ada yang salah dengan Chitose-san?”

Dia kelihatan sangat bersemangat sekali, pikir Amane sambil menatapnya, dan Mahiru, yang tampaknya mampu menekan rasa malunya di dalam, memanggilnya dengan rasa ingin tahu.

“Hm, yah… Aku tidak terlalu menyadarinya saat kami bekerja bersama, tapi menurutku rasanya aneh melihat teman sekelas memakai pakaian seperti itu. Aku seharusnya sudah terbiasa dengan itu, sih.”

“Fufu, lagipula pakaian seperti ini bukanlah sesuatu yang kamu kenakan setiap hari.”

“Rasa penasaran lah yang menjadi salah satu faktor menarik pelanggan, ‘kan? Selain itu, pelanggan mengatakan bahwa mereka terlihat menggemaskan dan menawan. Lagipula, pakaian itu benar-benar terlihat bagus untuk semua orang.”

Para pengunjung kafe kelas mereka terdiri dari campuran antara siswa dan pengunjung luar, tetapi Amane dapat mendengar sebagian besar pemikiran dan pendapat mereka, bertanya-tanya siapa yang imut atau tampan, dan apakah mereka ingin merayu seorang pelayan atau tidak. Meski bukan berarti mereka tidak memahami perasaan mereka, para pelayan dan butler itu sendiri dapat mendengarnya dengan jelas dan harus menahan senyum pahit. Amane melirik ke arah anggota staf yang bermasalah, dan begitu dia melihat kembali ke arah Mahiru, da melihat ekspresi bermasalah, dan dia tampak memaksakan lebih banyak kekuatan ke dalam kelopak matanya.

“Apa ada yang salah?”

“Tidak apa-apa… Amane-kun, menurutmu semua orang… atau lebih tepatnya, gadis-gadis itu, apa mereka kelihatan manis?”

“Mereka normal, kurasa.” Amane mulai menebak apa yang Mahiru coba katakan, jadi dia tersenyum dan menyembunyikan bibirnya dengan ujung jarinya. “Secara objektif, aku berpendapat kalau merek kelihatan imut, entah itu dari kecantikan dan tingkah laku mereka. Tapi jangan khawatir, kamu satu-satunya yang membuatku ingin mencintai dan menyayangimu karena kamu imut, Mahiru.”

“L-Lagi-lagi kamu mengatakan itu…”

“Hanya merasa seperti kamu ingin aku mengatakannya, itu saja. Kamu mungkin tetap cemburu jika aku tidak melakukannya.”

Kali ini, saat Amane berbisik pelan agar tidak ada orang lain yang bisa mendengarnya, Mahiru menutup rapat bibirnya, lalu menurunkan matanya karena malu lagi.

“… Aku merasa seperti orang bodoh karena merasa cemas sendiri.” Mahiru bergumam.

“Kamu bisa memastikan perasaanku kapan pun kamu mau, Mahiru. Sampai kamu merasa yakin dan puas.”

“Aku akan sangat malu jika aku melakukan itu…”

“Namun, bukannya kamu akan merasa nyaman jika kamu melakukan itu?"

“Apa kamu mencoba untuk mengakhiriku?”

“Sungguh terlalu berlebihan.”

“Sama sekali tidak. Kaulah yang selalu menyiksa hatiku, Amane-kun… itu terlalu membebaniku.”

“Yah, jika kamu tidak mau, maka ...”

“Bukannya aku tidak menyukainya, tapi… umm, aku hanya ingin kamu bersikap lunak padaku.”

Saat bahu Mahiru menyusut, Amane tergoda untuk menggodanya begitu dia mengucapkan kata-kata seperti itu, tetapi juga mencatat bahwa dirinya harus berhati-hati agar pacarnya tidak menggeliat malu jika ia melanjutkannya. Bagaimanapun juga, ketika Amane menjawab, “Aku akan melakukan yang terbaik," Mahiru memelototinya dengan sedikit ketidakpuasan. Amane tahu dia tidak terlalu percaya padanya.

“…Lain kali kamu menggodaku, aku akan menggodamu kembali.” Mahiru mengolok-oloknya sebagai pembalasan.

"Oh?" Amane menjawab dengan main-main. “Aku jadi penasaran tentang itu.”

“… Aku mungkin mulai mengabaikanmu sebagai pembalasan.” Mahiru berbalik dan tersenyum sangat manis sehingga Amane tidak bisa menahan senyumnya, dan dia menyambar beberapa kuenya dengan segala ketidaksenangannya; Mahiru berbalik untuk menunjukkan lebih jelas ekspresi cemberutnya.

 

   

 

Amane tahu mereka berdua tidak bisa melakukan percakapan dengan nyaman saat suasana semakin ramai, jadi ia mengakhiri percakapan pada waktu yang tepat dan meninggalkan kafe sambil menghela nafas, bertanya-tanya ke mana tujuan mereka selanjutnya.

Festival budaya berlangsung hingga pukul 16.00. Itu akan ditutup dalam waktu sekitar satu setengah jam lagi. Setelah itu, mereka akan sibuk lagi menghitung penjualan, melaporkan, dan mempersiapkan hari berikutnya, jadi Amane ingin bersenang-senang sebelum itu, tetapi mereka sudah mengunjungi tempat-tempat yang diminati.

“Apa ada tempat lain yang ingin kamu kunjungi, Mahiru?”

“Hmm… kita sudah melihat-lihat sedikit. Bagaimana kalau kita pergi ke gedung olahraga? Kalau tidak salah di sana ada panggung hiburan.”

“Panggung hiburan, ya? Apa yang mereka lakukan sekarang?”

Ada bagian panggung di sore hari selama festival budaya, dan siswa relawan melakukan segala macam hal untuk festival tersebut. Menurut ingatan Amane, seharusnya ada konser dan pentas drama yang ditulis di jadwal.

Amane memeriksa pamflet dan melihat bahwa Klub Musik Ringan saat ini sedang mengadakan konser mereka.

“Mereka sedang mengadakan konser sekarang. Apa kamu tertarik?”

“Aku tidak sering mendengarkan musik.”

“Yah, karena kamu tidak memainkan banyak musik latar, Mahiru. Dan jika kamu mendengarkan musik, itu selalu musik Barat.”

Mahiru peka terhadap tren, tapi dia tidak tahu banyak tentang musik. Sebaliknya, dia lebih suka mendengarkan musik Barat yang dibuat bertahun-tahun yang lalu, daripada musik Jepang, alasannya hanya karena kesukaannya. Bahkan jika seorang idola pria terkenal yang sering tampil di TV ditampilkan, dia hanya cukup tahu untuk mencocokkan nama dan wajah mereka.

“Jika kamu penasaran, Mahiru, ayo kita coba menonton. Aku sedikit tertarik juga.”

“Kamu benar.”

Karena tidak ada kios tertentu yang ingin ia kunjungi, jadi Amane menggandeng tangan Mahiru dan menuju gedung olahraga, baik karena penasaran maupun untuk menghabiskan waktu. Bagian dalam gedungg telah mematikan sebagian besar lampu, dan pencahayaan fungsional menerangi panggung dengan kuat. Amane bisa mendengar suara itu bahkan dari luar gym, tetapi ketika masuk ke dalam, suaranya jauh lebih keras dari yang ia kira. Merasa geli dari suara yang bergema di perutnya, Amane menutup pintu dengan lembut agar tidak mengganggu penonton lainnya dan menyelinap ke ruang kosong.

Ketika mendongak, ia melihat sekelompok sukarelawan sedang berdiri di atas panggung membawakan sebuah lagu. Ada wajah familiar di antara mereka, jadi Amane menyipitkan matanya dan menatapnya. Berdiri di depan dudukan mikrofon adalah wajah yang sering dilihat Amane sejak pagi.

“…Hah? Bukannya itu Kadowaki? Orang itu tidak pernah menyebutkan kalau dirinya akan tampil.”

Mereka pernah ke karaoke bersama beberapa kali, jadi Amane sangat menyadari betapa bagusnya Yuuta dalam bernyanyi, tapi ia sama sekali tidak menyangka temannya akan berada di atas panggung seperti ini. Terutama karena Amane belum pernah mendengar desas-desus tentang itu. Selain aktivitas klubnya, Amane juga dikejutkan dengan vitalitas yang dimilikinya untuk berdiri di atas panggung sembari mempersiapkan festival budaya.

Yuuta sendiri sepertinya tidak terlalu menikmati menonjolkan diri, jadi itu mengejutkan Amane.

“Kadowaki-san benar-benar bisa melakukan apa saja.”

“Itu bukan sesuatu yang bisa kau katakan, Mahiru.”

Mahiru tampak terkesan, tetapi Mahiru sendiri adalah spesies yang sama. Dia bisa melakukan segalanya; belajar, berolahraga, pekerjaan rumah, dan sampai k tingkat mahir pada saat itu. Sulit menemukan seseorang sebaik Mahiru dalam segala hal.

“Ada beberapa hal yang bahkan tidak bisa kulakukan.”

“Contohnya?”

“… Bagaimana dengan berenang?”

“Aku rasa begitu. Ujung-ujungnya, kamu tidak bisa berenang.”

“Jika kamu pikir aku akan bisa berenang dalam sehari, maka kamu terlalu naif. Tidak peduli berapa banyak aku berlatih, aku tidak pernah meningkat ...”

“Aku minta maaf.”

Mahiru dengan ringan membenturkan tinju kecilnya ke lengan atas Amane, tampaknya tidak puas dengan anggapan tidak bisa berenang, jadi dia tersenyum kecut dan melihat kembali ke panggung. Dia sepertinya tidak suka menonjol, tetapi Yuuta, yang tampaknya sudah terbiasa meskipun begitu, tidak terlihat malu-malu ketika di depan begitu banyak penonton, dan benar-benar bertindak berani. Dirinya memiliki nyali untuk menanggapi dengan layanan penggemar, memberikan senyuman lembut dan lambaian tangan. Setelah itu, karena Amane kebetulan memilih tempat tanpa penghalang sehingga dia bisa melihat lebih baik, tatapan Yuuta bertemu dengan Amane, dan pipinya sedikit berkedut.

Tampaknya Yuuta tidak mengharapkan temannya untuk muncul. Amane melambaikan tangannya dengan acuh saat ia bersumpah pada dirinya sendiri bahwa ia akan mendengarkan apa yang Yuuta katakan nanti, dan Yuuta berkedip sebelum memberikan senyuman yang berbeda dari sebelumnya. Gadis-gadis yang menonton berteriak kegirangan pada senyumannya, jadi baik Amane maupun Mahiru tidak bisa menahan tawa mereka, berpikir bahwa semuanya sama seperti sebelumnya dalam hal itu.

 

   

 

“Kenapa kamu tidak pernah bilang kalau kamu akan tampil di panggung?”

Yuuta menuju ke dinding tempat Amane dan Mahiru menonton setelah penampilannya berakhir dan memberi mereka ekspresi bermasalah. Ia kemudian mengencangkan kembali dasinya seperti yang dia kendurkan sebelum bernyanyi.

“Sejak awal aku tidak ada rencana untuk tampil, tapi gadis vokalis itu mengalami cedera kaki di klubnya seminggu yang lalu… Sepertinya dokter menyuruhnya untuk beristirahat karena dia terluka, jadi aku menggantikannya.”

Karena juga pertunjukan di mana seseorang harus menggerakkan tubuhnya, jadi pasti tidak mungkin jika dia terluka.

“Jadi begitu. Apa gadis itu baik-baik saja?”

“Ya. Dia benar-benar frustrasi karena dia tidak bisa tampil, jadi aku merasa tidak enak. Tapi dia sepertinya menikmati menonton. ”

“Yah, kurasa itu tidak bisa dihindari… Tetap saja, aku terkejut kamu bisa bernyanyi sebagus itu sebagai pemain pengganti. Itu sempurna.”

“Kamu pikir begitu? Syukurlah.”

Amane tahu dari waktu mereka di karaoke kalau Yuuta lumayan berbakat dalam bernyanyi, tapi masih terkejut melihat keterampilan Yuuta dari dekat. Ia sama sekali tidak kewalahan oleh penonton, justru sebaliknya; ia berhasil memikat penonton dan membuat mereka terpesona.

Dirinya terkesan dengan betapa bagus penampilannya dari mendengarkan keceriaan gadis-gadis itu, tapi Yuuta sepertinya juga melihatnya, saat ia menggaruk pipinya karena malu.

“… Ini benar-benar memalukan. Sangat memalukan ketika seorang teman melihatmu.”

“Memangnya seburuk itu bagiku untuk datang menonton?”

“Tidak, itu tidak benar. Aku sedikit lega melihatmu dan Shiina-san terlihat sama seperti biasanya. Rasanya angat meyakinkan untuk memiliki seseorang yang biasa kamu kenal.”

“Jika ada, aku terselamatkan dalam hal itu,” Yuuta berkata dengan malu-malu, dan gadis-gadis di sekitarnya, yang diam-diam mengawasinya, bergumam.

Ia selalu menjadi pusat perhatian seperti biasa, pikir Amane dengan senyum masam di wajahnya, dan  menggoda Yuuta, yang tersenyum seolah rasa malu dan harga dirinya telah memukulnya sekaligus. Mahiru hanya berterima kasih padanya dengan senyum tenang dan berkata, “Kerja bagus,” mengambil sikap menemani Amane sampai akhir. Sepertinya itu adalah langkah yang disengaja untuk mencegah orang lain dari kecemburuan yang tidak perlu, bahkan jika diketahui bahwa dia dan Amane berpacaran. Meski begitu, bersikap terlalu ramah dengannya di depan orang lain akan meninggalkan kesan buruk bagi mereka yang menonton Yuuta, dan bisa menimbulkan masalah.

“Tetap saja, rasanya sangat disayangkan. Aku berharap Itsuki bisa melihat ini.”

“Apa? Aku berharap kamu tidak akan mengatakan itu. Aku yakin dia tidak puas atau mulai mengolok-olokku karena tidak memberitahunya sebelumnya.”

“Yah, setidaknya bertahan sebanyak itu. Itu sih salahmu sendiri karena menyembunyikannya darinya.”

“Itu diputuskan dengan terburu-buru, jadi mau bagaimana lagi. Itu darurat.”

“Hentikan itu”, katanya sambil tertawa, jadi Amane bersumpah pada dirinya sendiri bahwa ia akan menyebutkannya ketika mereka berkumpul di kelas nanti, jadi ia merilekskan pipinya dan menepuk bahu Yuuta dengan ringan, berkata, “Heh, tidak mungkin .”

 

   

 

“Kerja yang menakjubkan, semuanya! Kita semua bekerja sangat keras di hari pertama!”

Amane terus menonton penampilan bersama Mahiru dan Yuuta hingga panggung ditutup dan mereka kembali ke kelas. Hari pertama festival budaya telah berakhir, dan semua orang di kelas berkumpul untuk istirahat dan giliran kerja. Masing-masing dari mereka memasang ekspresi puas dan menunjukkan betapa menyenangkan pengalaman mereka.

Ketika anggota panitia pelaksana, Itsuki, mengungkapkan rasa terima kasihnya kepada semua orang, teman-teman sekelasnya mulai berteriak kegirangan. Setelah keributan mereda sampai batas tertentu, Itsuki berdeham dan sekali lagi menarik perhatian pada dirinya sendiri.

“Oke, mari kita bersihkan sedikit untuk persiapan besok. Bendahara; pastikan untuk mengitung total penjualan, jumlah pesanan, dan jumlah uang yang kita punya cocok dengan benar, dan pastikan untuk melaporkan setiap ketidaksesuaian. Masukkan uang ke dalam tas yang ditunjuk dan serahkan kepadaku. Aku akan menyerahkannya kepada manajemen. Mereka yang bekerja di belakang, siapkan ruang untuk besok, dan setelah selesai, atur semua peralatannya. Mereka yang menangani layanan pelanggan akan membersihkan kelas secara mendalam.”

“Siaapppp.”

Setiap siswa memiliki pekerjaan yang ditentukan, dan semua orang mengangguk dengan patuh saat mereka melakukan peran mereka.

Karena Amane juga bertugas membersihkan, jadi dirinya menggulung lengan bajunya untuk menyelesaikannya dan pergi mengambil ember dan air. Setahun yang lalu, bersih-bersih adalah salah satu kelemahannya, tetapi berkat bimbingan Mahiru dan kehidupan sehari-harinya yang baru, ia dapat melakukannya pada tingkat rata-rata, meskipun tidak mahir. Lebih tepatnya, dia setidaknya bisa menjaga semuanya tetap rapi dan teratur.

“… Kamu sangat cepat.”

Ayaka terdengar terkesan saat Amane membersihkan dengan sinkron sempurna dengan Mahiru.

“Tidak, Mahiru lebih terampil dariku. Dia seperti guruku. Aku benar-benar tidak bisa membersihkan pada awalnya.”

“Aku tidak menyangka kamu begitu metodis, Fujimiya-kun.”

“Amane-kun bisa tetap menjaga kebersihannya saat dia tidak berada di rumahnya sendiri.”

Mahiru yang sedang melipat dan melepas taplak meja yang kotor, sepertinya mendengarkan percakapan mereka, dan nada suaranya yang menggoda, tentu saja, ditujukan pada Amane.

Amane hanya bisa memasang wajah masam ketika secara implisit diberitahu bahwa dia ceroboh di rumahnya sendiri. Karena itu memang fakta, dan dirinya tahu ia tidak bisa mengeluh, tapi Amane tidak senang digoda.

“Mau bagaimana lagi. Itulah artinya menjadi pria yang hidup sendiri.”

“Meski begitu, itu sangat mengerikan. Bahkan tidak ada tempat untuk berdiri saat berjalan.”

“...Begitulah adanya.”

“Apa? Dia tidak tinggal sendiri, tapi kamar Sou-chanku selalu bersih, tahu? Dia bilang dia membersihkannya karena dia tahu kapan aku datang. Berkat itu, tidak pernah ada yang disembunyikan di bawah tempat tidurnya.”

“Jangan mengendus-endus untuk itu.”

Hanya memikirkan pacar mereka mencari hal-hal seperti itu sudah cukup untuk membuat anak laki-laki merinding. Amane hanya bisa berharap pacar di seluruh negeri akan lebih lunak dalam upaya mereka untuk mengungkap apa yang disembunyikan pacar mereka. Dalam kasus Amane, tidak ada yang perlu dicari; atau ditemukan, jadi ia tidak terlalu memikirkannya, tetapi sebagian besar pasangan akan menyimpan sesuatu, dan penyelidikan tanpa henti dari pasangan mereka pasti akan menyebabkan beberapa masalah.

“Ah, yah, aku tidak bermaksud mencarinya, tapi aku hanya ingin tahu apakah dia punya. Kamu tahu, hal semacam itu sering terjadi di manga, kan?”

“Kamu terlalu banyak membaca manga.”

“Itu masalahnya. Sou-chan jengkel, mengatakan bahwa aku sangat blak-blakan tentang itu. …Ngomong-ngomong, bagaimana denganmu, Fujimiya-kun?”

“Aku bersih. Tidak peduli seberapa dalam kamu mencari, kamu tidak akan menemukan apa pun.”

“Ahaha.”

Mendengar Ayaka tertawa terbahak-bahak, Amane bersimpati dengan Souji, berpikir bahwa cowok itu mengalami kesulitannya tersendiri. Bingung, Mahiru memiringkan kepalanya dengan kaku.

“Apa yang kalian berdua bicarakan?”

Mahiru pasti bekerja keras untuk membersihkan dan tidak bisa mendengar apa yang dia katakan, dan dia terlihat bingung. Amane dengan cepat mengalihkan pandangannya, berharap terlihat sealami mungkin.

“Bukan apa-apa.”

“Hmm, kurasa kamu tidak membutuhkan semua itu, Fujimiya-kun, karena kamu membawa Shiina-san bersamamu.”

"Kido." Amane memelototi Ayaka, Jangan mengatakan hal yang aneh. Dia tersenyum nakal sementara Amane menahan rasa malu yang perlahan merembes keluar dari dalam dirinya.

Berbeda dengan Ayaka, yang semakin tersenyum padanya, Mahiru mengedipkan matanya dengan rasa penasaran yang meningkat, dan karena Amane tidak tahan, jadi ia memegang tangannya dan menariknya menjauh dari Kido.

 


 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama