Bab 10 — Tenshi-sama dan Tur Festival Budaya
Amane dan Mahiru berganti ke
seragam sekolah mereka dan menyimpan kostum mereka di dalam loker, dan berkeliling
sekolah untuk menikmati suasana festival.
Walaupun waktunya sudah lewat
jam makan siang, tapi masih ada sejumlah besar kios makanan dan minuman yang
buka untuk berbisnis. Jam kerja yang bertugas biasanya diganti saat ini,
sehingga jumlah pelanggan mungkin akan bertambah.
Mereka berdua merasa kelelahan
karena peran tak biasa dalam layanan pelanggan dan sekarang perut mereka
keroncongan, jadi mereka berjalan-jalan di sekitar sekolah untuk mencoba
menemukan tempat makan yang cocok, tapi... keberadaan Mahiru masih sangat
menonjol. Amane bisa mendengar beberapa suara di sana-sini berkata, “Lihat, bukannya gadis itu yang jadi
pelayan?,”jadi dirinya berasumsi bahwa penjualan kelasnya sukses besar — ada
banyak pelanggan yang datang. Dari sudut pandang Amane, itu sangat tidak
nyaman, tapi karena Mahiru sudah pasrah atau sudah terbiasa, Amane tidak
terlalu mengkhawatirkannya.
“Kamu ingin memakan apa, Mahiru?”
“Aku ingin mencicipi sesuatu
yang biasanya tidak aku makan.”
“Hmm, meski kamu mengatakan
itu… mungkin yakisoba atau takoyaki?”
Bukannya dia tidak pernah membuat
yakisoba, tapi Mahiru tidak menyukai rasa tradisionalnya yang kuat, dan
biasanya lebih berfokus pada rasa asin atau membuatnya dengan bumbu pasta
kacang merah. Sedangkan takoyaki, mereka tidak memiliki peralatan yang tepat untuk
memasaknya sejak awal. Amane tidak sering makan di luar, jadi dirinya tidak
tahu banyak tentang makanan yang biasa dijual di pameran.
Karena Amane juga jarang memakannya,
jadi ia mengambil kesempatan untuk berjalan menuju kelas yang menjual yakisoba
dengan saus, tetapi ia mendengar suara yang familiar dari tangga di sepanjang
jalan. Suara tersebut berasal dari arah tangga yang menuju ke atap sekolah,
yang menurut Amane tetap tertutup, tetapi begitu menaiki tangga dan melihat ke
arah tangga... orang yang duduk di sana merupakan teman sekelas yang baru saja ia
ajak bicara.
“Hah? Fujimiya-kun dan
Shiina-san?”
Amane berkedip saat melihat
Ayaka memanggil namanya dengan kebingungan. Karena tidak banyak tempat duduk di
sekolah, jadi ia tidak terkejut dengan lokasinya, tapi… dia lebih penasaran
dengan posisi duduknya. Di sebelahnya ada seorang cowok dengan mulut penuh yakisoba,
dan Ayaka menempel padanya dan meletakkan tangannya di bawah dagunya. Amane
bisa melihat cowok itu hampir menumpahkan yakisoba-nya.
“…Apa yang sedang kamu lakukan
di sini?”
“Eh? Persis seperti apa yang
kamu lihat. Makan siang, kami sedang makan siang. Lihat tuh, Sou-chan, ini
Fujimiya-kun yang kusebutkan sebelumnya.”
“Nm.”
Cowok itu memandang Amane
dengan erangan teredam dan menelan yakisoba-nya, terlihat seperti ia tidak
mengunyah dengan benar sebelum menelan. Namun… Mungkin karena terburu-buru,
ekspresinya menjadi gelap dan dia mulai memukuli dadanya. Ayaka pasti sudah
menduga hal tersebut sembari berkata, “Kamu
harus mengunyah dengan benar,” dan memberinya sebotol teh. Setelah cowok
itu minum sekitar sepertiga dari botol, Ayaka menyeka mulutnya dengan tisu
basah saat potongan makanan terlepas dari tenggorokannya, dan murid itu menunjukkan
ekspresi lega. Karena ia sedang makan yakisoba, tisunya ternoda saus.
Cowok yang diasuh tampak tidak
puas dan bergumam, “Bisa enggak jangan memperlakukanku seperti anak kecil?”
Ayaka mulai tersenyum dan menyeka mulutnya lebih banyak lagi. Cowok itu tidak
menolak meskipun ia ngedumel, kemungkinan besar merupakan bukti rasa saling
percaya mereka.
“Umm, jadi cowok ini pacarmu,
Kido?”
“K-Kamu benar. Dia adalah teman
masa kecil sekaligus pacarku. Ayo, Sou-chan, perkenalkan dirimu.”
“Jadi kamu pikir aku tidak akan
melakukan apapun kecuali didesak seperti anak kecil…?”
“Karena kamu pemalu sih,
Sou-chan. Ayolah, mereka bukan orang jahat.”
“Aku tidak berpikir kamu akan
memperkenalkan aku kepada orang jahat sejak awal. … Namaku Kayano Souji.”
Souji dengan sopan membungkuk,
dan Ayaka mencoba menepuk kepalanya dan memujinya dengan “Hebat sekali,” tapi ia dengan halus menepisnya. Terkesan dengan
kekuatan mental Ayaka yang kuat, Amane hanya bisa menatap Souji. Mungkin ini
adalah interaksi mereka yang biasa. Yang dia dengar dari Ayaka adalah bahwa ia
memiliki otot yang luar biasa, jadi Amane berharap Souji akan memiliki fisik
yang lebih berotot… Dirinya tahu bahwa Souji lebih tinggi dari dirinya, tapi
Amane tidak bisa melihat adanya otot di balik seragamnya. Faktanya, Hiiragi
Kazuya tampaknya memiliki fisik yang lebih baik di antara mereka.
Amane mengamati mereka tanpa
mengucapkan sepatah kata pun, berusaha untuk tidak bersikap kasar, tapi Ayaka
sepertinya mengerti apa yang dia pikirkan dan tersenyum menggoda.
“Sou-chan adalah tipe yang
terlihat luar biasa saat telanjang.”
“A-Akan luar biasa jika
telanjang…”
“Itu benar, Shiina-san. Pacarku
sangat luar biasa. Ehehehe.”
Ayaka membalas sambil menyeringai.
Amane berpikir kalau lebih baik tidak membiarkan Mahiru mendengarnya lagi, tapi
Souji sendirilah yang menyelanya.
“Berhentilah membual tentang
itu. Rasanya memalukan… Hei, apa yang kamu bicarakan saat tidak ada aku? Kamu
membual tentang ototku lagi?”
“'Pacarku memiliki otot yang luar biasa,' kataku.”
“Aku berharap kalau kamu tidak
membualnya… itu bukan sesuatu yang harus kamu banggakan.”
“Itu sama sekali tidak benar!
Kamu yang terbaik di dunia untukku!”
“Padahal kamu ngiler di acara
khusus binaragawan di TV tempo hari, jadi apa yang kamu bicarakan…?”
“I-Itu hanya camilan untuk
dimakan dari waktu ke waktu… Sou-chan adalah makanan pokok dan hidangan
mewahku, jadi kamu penting! Sou-chan adalah spesial!”
Ayaka berbicara dengan sangat
serius dan jelas, tapi menurut Amane, dia terlalu penasaran dengan omong kosong
binaragawan itu untuk berpikir jernih.
(Dia
menyukai otot sampai sejauh itu… Itu adalah dunia yang tidak begitu kumengerti)
Sebenarnya, bahkan Mahiru
memiliki fetish bau, jadi Amane berpikir bahwa dia bisa bergaul dengan Ayaka.
Dirinya mempunyai perasaan campur aduk ketika mendengar mereka membicarakan
tentang bagian mana dari pacar mereka yang mereka sukai, jadi Amane berharap bahwa
mereka akan melakukannya saat dirinya tidak ada.
Itu
luar biasa dalam banyak hal, pikirnya, dan mundur selangkah untuk
mengamati Ayaka dengan jarak yang sangat dibutuhkan. Souji rupanya menebak apa
yang Amane pikirkan dan menampar kepalanya sebelumnya tanpa berusaha
menyembunyikan kekesalannya.
“Cukup. Kamu harus berhenti di
situ.”
“Itu sih karena kamu mengatakan
sesuatu yang aneh, Sou-chan.”
“… Aku minta maaf tentang
Ayaka-ku.”
“Jadi itu salahku?!”
Dia menatap pacarnya dengan
ekspresi yang mengatakan dia tidak adil, tetapi itu kemungkinan merupakan
perpanjangan dari interaksi kemesraan mereka. Amane hanya bisa menertawakan
Ayaka, yang cemberut mencela dan dengan santai membelai otot-ototnya dengan “Dasar ih...” Souji juga tidak
menolaknya — atau lebih tepatnya,
membiarkannya melakukan apa yang dia suka, seperti biasanya— dan
menundukkan kepalanya ke arah Amane, lalu Amane tidak bisa melakukan apapun
selain menggaruk kepalanya.
Adapun Mahiru, dia hanya diam,
seolah-olah dia sedang memikirkan sesuatu, tetapi untuk beberapa alasan, dia
tiba-tiba mendekat dan mulai menyentuh perut Amane.
“…Kamu akan luar biasa jika
kamu melepasnya juga, Amane-kun.”
“Kamu tidak perlu bersaing
dengannya, dan aku tidak punya banyak otot, semakin sulit bagiku untuk
menambahnya.”
“Segitu saja sudah cukup
untukku.”
Pipinya memerah saat Mahiru
menyentuh badan Amane, dan senyum pahit muncul di wajahnya, bertanya-tanya
bagaimana ini bisa terjadi.
“Ngomong-ngomong, kalian berdua
sudah makan belum?”
Saat Amane menenangkan Mahiru,
Ayaka tiba-tiba bergumam seolah mengingat sesuatu.
Karena mereka memiliki shift
yang sama, shift mereka berakhir pada waktu yang sama dengan Ayaka. Namun,
sepertinya dia segera bersiap-siap dan pergi karena pacarnya sudah menunggunya.
Bahkan teman-teman sekelasnya pada giliran kerja yang sama tidak mungkin makan
secepat dirinya.
“Tidak, kami baru saja akan
membeli yakisoba.”
“Ah, yakisoba? Rasanya enak
loh. Kelas Sou-chan yang membuatnya.”
“Tapi Sou-chan makan paling
banyak,” kata Ayaka, yang tersenyum, dan Souji membalas, “Kamulah yang
memaksaku makan begitu banyak.”
“Jadi begitu ya. Pokoknya,
kalian berdua mau yakisoba, ‘kan? Kalau begitu, aku akan memberimu ini.”
Sayaka tertawa sembari
menyerahkan tiket kepada Mahiru dengan kata-kata: 100¥ Diskon Yakisoba tertulis di atasnya untuk beberapa alasan.
“Ini tiket khusus untuk
kerabat. Sou-chan bilang aku bisa memberikannya kepada orang lain yang dekat
denganku. …Apa itu boleh, Sou-chan?”
“Jika kamu ingin memberikannya
kepada mereka, Ayaka, silakan saja. Itu tidak akan mengubah fakta kalau produk
kami akan laku.”
“Yay!”
Ayaka tersenyum dan memberi
mereka kupon diskon dua lembar. Amane berterima kasih dan juga minta maaf.
Ketika ia melihat wajahnya, ia melihat bahwa pipinya rileks.
“Ah, jangan khawatir tentang
itu. Kami sudah mulai bosan dengan yakisoba setelah ini, jadi kami tidak akan
menggunakannya lagi. Lagipula, aku ingin makan sosis sekarang.”
“Saat ini aku membutuhkan lebih
banyak protein daripada karbohidrat,” kata Ayaka sambil tersenyum. Amane yakin
bahwa sosis akan memiliki lebih banyak lemak ketimbang itu, tetapi ia tidak
berani mengatakannya dengan lantang dan malah memberikan kata-kata penghargaan
yang jujur.
“Terima kasih banyak, Kido-san.
Aku akan berterima kasih padamu suatu hari nanti.”
“Jangan khawatir. Aku tidak
melakukannya untuk imbalan… Ah ya, Shiina-san, Shiina-san.”
“Y-Ya?”
“Seberapa banyak otot yang
dimiliki, Fujimiya-kunmu?”
Apa
sih yang gadis ini katakan dengan wajah serius seperti itu? Amane
berpikir sebanyak itu dan mau tak mau merasa tercengang, tapi untuk Mahiru,
yang ditanyai, dia berkedip berulang kali sebelum mulai panik karena suatu
alasan.
“Ja-Jangan, Amane-kun adalah
milikku!”
“Oh, sungguh menggemaskannya
dirimu. Jangan khawatir, Sou-chan adalah yang terbaik untukku. Aku hanya
penasaran saja.”
“Bukannya sekarang kamu sedang
mengarahkan pandanganmu pada orang lain?”
“I-Itu tidak benar! Percayalah
padaku, Sou-chan!”
Terperangkap pada saat itu,
Ayaka melambaikan tangannya, tetapi Souji menggembungkan pipinya dengan cara
yang mudah dimengerti, dan dia tampaknya menyadari bahwa pacarnya hanya setengah
bercanda.
“Sou-chan no baka,” gumam Ayaka
dengan suara manis, sebelum beralih ke Mahiru, yang masih sedikit waspada
dengan niatnya. “Bukan begitu. Dia punya bahan yang bagus… Aku ingin
membantunya membesarkannya apa adanya… Ini akan sia-sia, bukan? Fujimiya-kun mempunyai
badan yang tinggi dan ramping, jadi penampilannya akan terlihat bagus jikadia
membangun lebih banyak otot.”
“… Aku tidak ingin ia menjadi
lebih keren. Itu meresahkanku.”
“Ah. Lagipula, Fujimiya-kun
bekerja keras untuk acara itu. Popularitasnya mungkin meroket.”
“Aku paham,” Ayaka mengangguk
padanya dengan tatapan penuh pengertian, yang membuat Mahiru cemberut.
Amane tidak yakin apakah dirinyaa
harus senang karena Mahiru bisa sedikit terbuka pada Ayaka, atau harus
mengomentari alasan aneh kecemburuan Mahiru. Amane berpikir kalau kekhawatirannya
tidak berdasar. Menjadi sepopuler Mahiru tidak akan terjadi pada Amane. Jika
ada seorang gadis yang mendekatinya setelah dirinya mulai berpenampilan bagus
sepanjang waktu, mereka pasti sudah memiliki banyak peluang. Tentu saja, meski
mereka melakukannya, mana mungkin Amane akan membuka hatinya kepada mereka.
Ada banyak orang dengan wajah yang
lebih tampan darinya, dan Amane tidak percaya bahwa dirinya setampan yang
dipikirkan Mahiru. Meski begitu, Mahiru terlihat khawatir, jadi Amane tersenyum
canggung dan mengelus kepalanya.
“Aku hanya tertarik padamu,
Mahiru. Bahkan jika ada seorang gadis yang menyukaiku, dia tidak akan disukai
saat mencoba memisahkan kita, jadi jangan khawatir.”
“Meski begitu, itu tetap
mengkhawatirkan.”
“Yah, aku juga merasakan hal
yang sama. Apa pun itu, kamu tidak perlu terlalu khawatir, Mahiru.”
“… Aku merasa kamu tidak
mengerti…”
Amane mencoba meyakinkannya,
tetapi untuk beberapa alasan, Mahiru mengerutkan kening dengan ketidakpuasan
sekali lagi, dan ketika Amane dibuat bingung, Ayaka tersenyum menggoda dan
berkata, “Kamu pasti mengalami banyak kesulitan ya, Shiina-san.”
✧ ✦ ✧
Amane dan Mahiru, yang dengan
senang hati menerima kupon diskon dari Ayaka dan Souji, membaginya di antara
mereka, lalu segera membeli yakisoba dan memutuskan untuk memakannya di halaman
belakang.
Tidak ada tempat kosong di rest
area yang telah disiapkan, dan mereka tidak bisa tinggal di ruang tunggu dengan
semua perlengkapannya, jadi mereka malah datang ke halaman belakang, yang
sepertinya akan bebas melalui proses eliminasi. Karena orang luar tidak bisa
masuk ke belakang halaman belakang, meskipun ada beberapa siswa di sana, tapi
masih ada tempat duduk.
Amane meletakkan handuk tempat
Mahiru akan duduk dan duduk di bangku di bawah bayangan pohon, lalu bersandar
di sandaran dengan sepenuh hati.
“Semuanya begitu bersemangat
dan meriah. Aku tidak bisa tenang.”
“Fufu, karena kamu lebih suka
lingkungan yang tenang sih, Amane-kun.”
“Ditambah lagi, aku tidak suka
kalau semua orang menatapmu, Mahiru. Sepertinya mereka menggosok garam pada
lukaku.”
“Aku yakin kalau bukan itu saja
masalahnya, tapi ...”
“Pikiranku lelah sekali.”
Tidak ada yang bisa Amane
lakukan tentang itu, jadi ia menahannya, tetapi dia tidak bisa mengabaikannya
begitu saja. Mahiru mengenakan seragamnya, jadi tatapan mereka tidak seintens
saat menjadi pelayan, tapi gadis cantik pasti akan tetap menarik perhatian.
Gadis yang dimaksud sudah menyerah, dan dia sepertinya sudah terbiasa, jadi
Amane tidak bisa berkomentar banyak, dan hanya bergumam sedikit.
Mahiru sepertinya mengerti itu
juga, saat dia menepuk kepala Amane dengan senyum bermasalah, dan Amane
menerimanya sembari mendesah pelan.
“Aku yakin kalau besok
pengunjungnya akan jauh lebih banyak. Tidak diragukan lagi bahwa kita memiliki
semacam reputasi di antara para pelanggan, dan kita akan bekerja pada sore
hari.”
“Yah, begitu kita bertahan
besok, semuanya akan berakhir... Omong-omong, di mana Shihoko-san dan
Shuuto-san?”
Amane menggaruk pipinya dan
mengangkat bahu ke arah Mahiru, yang tampaknya merasa aneh bahwa orang tuanya,
yang sangat antusias untuk datang menemuinya dan Amane dengan pakaian pelayan
mereka, tidak terlihat di mana pun.
“Mereka akan berada di sini
besok. Dan karena mereka sedang istirahat, mereka telah memesan untuk menginap
di hotel selama dua hari.”
“Benarkah?!”
“Mengapa kamu terlihat sangat
bahagia?”
“Aku punya janji dengan
Shuuto-san bahwa ia akan mengajariku rasa masakan keibuan, jadi kupikir
kesempatan itu datang agak cepat.”
“Jadi ayah adalah pria dengan
selera keibuan… Yah, memang sih, aku lebih akrab dengan masakan Ayahku.”
Baik Shihoko dan Shuuto telah
memutuskan giliran memasak berdasarkan tanggal dan waktu, jadi Amane sudah
familiar dengan rasa masakan Ibu dan Ayahnya. Namun, masakan Shihoko terutama
berfokus pada bumbu, kuantitas, dan lebih disesuaikan dengan selera pria, jadi
meskipun tidak berbeda dengan masakan rumahan, itu tidak sepenuhnya memberikan
perasaan itu.
Shuuto lebih baik dalam memasak
dan memiliki rasa yang lembut namun menenangkan, jadi jika ia harus
menggambarkan selera keluarganya, itu mungkin milik Shuuto.
Hanya saja Mahiru sendiri
sangat ahli dalam memasak sehingga dia tidak perlu belajar dari ayahnya...
tetapi fakta bahwa dia mencoba belajar bagaimana melayani cara keluarga Fujimiya
tampaknya penting, dan orangnya sendiri justru sedikit antusias tentang hal
itu.
“Bukannya aku tidak puas dengan
seleramu, Mahiru.”
“Itu ya itu, dan ini ya ini. Aku
ingin membuatnya untukmu jika kamu menginginkannya, Amane-kun.”
“Itulah masalahnya… Sejauh yang
aku ketahui, rasa makananmu adalah rasa keluarga kita. Jadi, kamu tidak perlu
memaksakan diri untuk mempelajarinya.”
“… Saat kamu lengah, kamu
selalu mengatakan sesuatu seperti itu!”
Akhirnya, atau lebih tepatnya,
Mahiru sudah menguasai perut Amane dan memberinya makanan lezat setiap hari,
jadi tidak ada keraguan dalam benaknya bahwa masakan Mahiru adalah cita rasa
keluarganya. Rasanya unik bagi mereka berdua, berbeda dari Fujimiya.
Pipi Mahiru memerah karena
kata-kata Amane, dan sekarang dengan penampilan yang mirip seperti bunga
sakura, Mahiru mendorong handuk basahnya ke pipi Amane, menginginkan warna yang
sama dengannya. Amane membelai rambutnya untuk menenangkan Mahiru saat ia
mengamankan yakisoba yang hampir jatuh di pangkuannya.
Saat dia menata rambutnya
menjadi kepang di pagi hari, rambutnya yang agak bergelombang tertiup angin,
dan bahkan pipinya menggembung.
“… Apa kamu masih berpikir kamu
bisa membodohiku dengan elusan kepala, Amane-kun?”
“Tidak juga, tapi aku tahu kamu
akan meraa senang.”
“Bagian dari dirimu yang begitu
sangat tidak adil.”
Amane diam-diam tersenyum pada
Mahiru, yang berpura-pura bersikap ketus tetapi dirusak oleh rona kemerahan di
pipinya, dan kali ini ia membelai rambutnya dengan lembut.
✧ ✦ ✧
Setelah makan siang, Amane dan
Mahiru melanjutkan jalan-jalan mereka, tapi setelah dihujani suara dan tatapan
ke mana pun mereka pergi, Mahiru tampak sedikit lelah. Salah satu alasan
mengapa mereka mendapat perhatian adalah karena mereka berpegangan tangan
supanya tidak terpisah, tetapi dia sepertinya tidak ingin melepaskannya.
Jari-jari Mahiru, yang dengan lembut namun kuat melingkari jari Amane,
bersikeras untuk tidak melepaskannya.
Ketika Amane melihat ke arah
Mahiru setelah dicemooh oleh seorang siswa tahun pertama yang lewat, dia
memberikan senyum sopan layaknya wanita dewasa dan bersandar lebih dekat dengan
Amane, jadi dia mungkin tidak berniat untuk pergi. Bahkan, dia tampaknya
bertekad untuk tetap dekat.
(...Aku
tidak terlalu keberatan, tapi kupikir semua siswa tahu bahwa kami resmi
berpacaran.)
Kemungkinan besar, para siswa
di sekolah ini tahu bahwa Mahiru sudah berpacaran dengan Amane—dia secara
terbuka berbicara tentang dia sebagai orang penting di festival olahraga dan
menyatakan bahwa mereka mulai berpacaran setelah minggu berikutnya dimulai.
Mahiru terkenal tidak hanya di
antara teman-teman sekelasnya tetapi juga di antara senior dan juniornya, yang
tampaknya telah menyebar lebih jauh, tetapi pada saat itu, kekecewaan para
cowok terlihat jelas dan mereka sedih. Amane bahkan telah didekati oleh kakak
kelas yang tidak dikenal tanpa kehadiran Mahiru. Setelah itu, Mahiru, yang
berlari setelah diberitahu oleh teman sekelasnya, menghabisi cowok itu dengan senyuman.
Karena mereka masih berpacaran
setelah mengatasi itu, Amane berpikir bahwa mana mungkin masih ada cowok yang
begitu naif untuk percaya bahwa mereka memiliki kesempatan untuk mengganggu hubungan
mereka. Bahkan jika Amane tidak menghadapi mereka secara langsung dan
bersikeras, hanya berjalan di samping Mahiru sudah cukup untuk menyampaikan
pesannya. Namun, sepertinya Mahiru punya rencana tersendiri, dan dia takkan
meninggalkan sisi Amane. Bahkan setelah berpisah dengan teman sekelasnya, dia
tetap meringkuk bersama dengannya.
“Apa ada masalah?” Amane
bertanya dan menoleh ke arah Mahiru.
“Kamu terlihat sangat
mempesona, Amane-kun.”
“Hah? Apa maksudmu?”
“Aku berbicara tentang gaya rambutmu,
dan caramu membawa diri.”
“Yah, gaya rambut ini sengaja
aku pakai untuk melayani di kafe.”
“Ya. Itulah yang aku maksud,”
Mahiru menegaskan.
“Aku benar-benar tidak paham
maksudmu...”
Jika hanya perlu mengubah gaya
rambutnya saja bisa menjadi populer, itu akan terjadi ketika Amane mulai
berpacaran dengan Mahiru, dan tidak ada banyak alasan baginya untuk bersikeras
tetap dekat dengannya. Tentu saja, pada kenyataannya, Amane sangat senang
karena Mahiru menempel erat padanya, tapi di sisi lain, Amane tidak bisa
menahan diri untuk tidak menikmati sensasi yang menempel di lengannya, jadi dirinya
berharap agar Mahiru menjauh sedikit. Amane membiarkannya melakukan apa yang
diinginkannya, karena Mahiru sendiri tampaknya berniat melakukannya. Meski bisa
dibilang kalau dirinya merasa sedikit gelisah, sih.
Sebagian karena Mahiru, dia
mulai terbiasa dengan perhatian. Amane mengalihkan pandangannya dari kenyataan
di hadapannya saat dia perlahan berjalan melewati sekolah. Amane sedang
memeriksa pamflet yang dibagikan untuk mengetahui acara yang diselenggarakan
oleh setiap kelas, tetapi Mahiru dengan jelas memimpin jalan—atau lebih tepatnya,
membimbingnya—dan di hadapannya berdiri wahana rumah berhantu.
(Kalau
tidak salah, Mahiru tidak terlalu menyukai hal horor…)
Mereka berdua kebetulan pernah
menonton film horor suatu kali, namun Mahiru terus memegangi tangannya dengan
wajah pucat, dan dia memasang wajah pemberani pada saat itu. Kata-kata dan
ekspresinya menceritakan kisah yang sangat berbeda, jadi kengerian kemungkinan
besar berada di luar zona nyamannya. Namun, rumah berhantu di sini diadakan
oleh siswa, dan kekurangan anggaran dibandingkan dengan horor yang digambarkan
di TV, jadi mungkin Mahiru memutuskan kalau keseramannya tidak terlalu horor.
“Apa kamu saking ngebetnya
ingin memasuki wahana rumah hantu?”
“Eh?”
Mahiru tiba-tiba berhenti dan
dengan malu-malu menatap Amane, seolah dia tidak memikirkannya sama sekali. Dia
mungkin berencana untuk berjalan-jalan secara acak, jadi dia tidak berpikir
sejauh itu. Matanya berputar-putar, ekspresinya berubah canggung seperti mesin
yang rusak. Benar saja, Mahiru tidak berpikir untuk memasuki rumah berhantu.
“Ak-Aku tidak berniat begitu.”
“Kupikir kamu ingin pergi. Yah,
kamu memang tidak menyukai hal horor, Mahiru, jadi itu pasti tidak mungkin.”
“…Itu sama sekali tidak benar,
kok.”
“Tatap mataku dan coba katakan
itu sekali lagi. Kamu memalingkan matamu seperti orang gila.”
Mahiru, yang berusaha
menyembunyikan kelemahannya darinya, buru-buru menutupinya, tetapi ekspresi dan
sikapnya berkata sebaliknya. Amane tidak cukup naif untuk memercayainya ketika
dia jelas-jelas ketakutan.
(Kupikir
itu bukan hal yang memalukan untuk mengaakui kalau dia tidak menyukai hal-hal
yang menakutkan.)
Yang ada justru sebaliknya,
Amane pikir itu menggemaskan, tetapi dia tampaknya tidak berpikiran sama.
Mahiru menatap Amane dengan tatapan sedikit tidak puas di matanya, mungkin
menyadari bahwa dia menganggapnya menawan. Matanya tetap sedikit lembab, namun
tatapannya tidak intens. Kejutan sebelumnya belum memudar dari pikirannya.
“Aku tidak akan takut. Ayo kita
pergi ke rumah hantu.”
“Kamu serius? Kalau begitu, ayo
menonton film horor bersama kapan-kapan.”
“… I-I-I-Itulah yang aku
inginkan.”
“Suaramu bergetar seperti robot
rusak.”
Amane mengatakannya sebagai
lelucon, tapi Mahiru justru memasang sikap sok berani dan membual dengan sikap
sombong yang keras kepala, yang membuat Amane gelisah.
“Kamu yakin ingin terus keras
kepala begitu? Aku tidak peduli jika kamu tidak bisa tidur sendirian.”
“Aku bisa melakukannya, dan
jika terjadi sesuatu... aku akan membuatmu bertanggung jawab."
“Daging dan darah bisa lebih menakutkan
daripada hantu.”
“Kamu tidak terlalu menakutkan,
Amane-kun. Lagi pula, kitu berdua sudah tidur bersama berkali-kali sebelumnya.
”
Mahiru bersandar di dekat lengannya
dan menatapnya, jadi Amane dengan lembut menutup mulut Mahiru dengan jarinya dan
mendesah pelan. Memang benar bahwa Mahiru sering tertidur dan menginap di
kamarnya sebelum mereka mulai berpacaran, dan mereka tidur bersama di rumah
selama liburan musim panas. Jadi bisa dibilang, mereka berdua memang sudah
tidur bersama beberapa kali. Tapi, pemilihan katanya sangat mengundang
kesalahpahaman. Para siswa di sekitar mereka mulai bergumam sedikit. Sebagai
seseorang yang belum memasuki hubungan semacam itu, Amane merasa rumit karena
disalahpahami karenanya.
“… Kedengarannya seperti ajakan.”
“Tolong jangan salah paham. Kamulah
yang mengundangku sejak awal.”
“Aku tidak punya motif
tersembunyi. Aku hanya ingin melihatmu gemetar ketakutan.”
“Itu juga motif tersembunyi.”
Mahiru menyoleknya di samping,
jadi Amane menyesuaikan cengkeramannya di tangannya untuk menghentikannya.
Mungkin dia merasa senang
digenggam, karena wajahnya yang sedikit tidak puas melunak bersamaan dengan
itu. Amane balas tersenyum dan menarik tangan Mahiru—
“… Umm?”
—Menuju ke arah rumah hantu.
“Karena kita sudah sampai
sejauh ini, kupikir kita akan mencobanya. Lagipula, kamu bilang kamu akan
memasuki rumah berhantu, Mahiru.”
“A-Aku memang mengatakan itu,
tapi… K-Kamu sangat jahat…”
Saat Mahiru menggeliat dan
menatapnya dengan mata yang sedikit lembab, Amane tersenyum kecil dan tanpa
ampun menarik tangannya kembali ke arah rumah hantu. Amane memutuskan untuk
tidak memberitahu Chitose untuk melindungi kehormatan Mahiru. Oleh karena itu,
Mahiru terus menempel di lengannya sepanjang waktu di dalam rumah berhantu.
✧ ✦ ✧
Setelah meninggalkan rumah
berhantu, Amane mendukung Mahiru, yang tampak agak lelah karena terkejut dan
ketakutan, saat dia menuju tempat istirahat, tapi ketika dia tiba-tiba melihat
sosok yang dikenalnya di belakangnya... “Ah,” mau tidak mau dia membiarkan
mengeluarkan keterkejutannya dengan suara yang dalam.
“…Hah? Ayah Itsuki…?”
Amane memanggil punggungnya
dengan nada malu-malu, karena ia tidak terlalu mengenalnya, dan pria itu
berbalik, berdiri tegak seperti sebelumnya.
Ia memiliki wajah yang tampan,
tapi tidak ada kelembutan atau kelonggaran dalam ekspresinya. Dia adalah pria
yang seumuran dengan Shihoko dan Shuuto, namun dia memiliki ekspresi yang mirip
dengan batu besar. Merasa karena dirinya tidak salah mengingat wajahnya, Amane
menegakkan punggungnya lagi. Mahiru, yang berada di sebelahnya, menatapnya
dengan rasa ingin tahu, jadi ia berbisik pelan, “Beliau adalah ayah Itsuki,” dengan cara yang tidak akan
diperhatikan.
“Sudah lama tdaik bertemu.
Mungkin sulit untuk mengenalinya karena saya sedikit mengubah gaya rambut saya,
tapi ini saya, Fujimiya.”
Daiki, ayah Itsuki,
memperhatikan baik-baik wajah Amane dan wajahnya sedikit melembut, ekspresi
sebelumnya sepertinya membuat orang menjauh darinya.
“Ah, Fujimiya-kun, ya? Aku sampai
tidak mengenalimu.”
“Ahaha. Yah, saya cukup murung
terakhir kali.”
“Bukan itu maksudku… Aku senang
kamu terlihat sangat percaya diri sekarang. Kamu tidak perlu meremehkan dirimu
sendiri seperti itu.”
Itsuki sering menggerutu pada
seberapa sering ayahnya memarahinya, tapi Daiki agak menyukai Amane, dan ia
sepertinya menerima perubahan sikap Amane dengan baik. Ketika berkaitan dengan
putranya, bahkan Amane harus mengakui bahwa ia orang yang keras kepala, tapi
selain itu, ia tipe orang yang tenang
dan masuk akal, bahkan Amane tidak merasa sulit untuk berbicara dengannya, dan
justru menyukai percakapan mereka.
Amane sedikit malu mendengar
kata-kata pujian Daiki yang jujur, karena nadanya menunjukkan betapa
terkesannya dia. Tatapan pria itu beralih ke Mahiru.
“Bagaimana dengan nona muda
ini?”
“Ah, um. Dia gadis yang saya
pacari.”
Amane tidak bisa memahami jarak
sosial antara dirinya dan Daiki, dan karena itulah dia akhirnya
memperkenalkannya dengan cara yang tidak terikat. Agak sulit untuk berinteraksi
dengan orang tua teman, jadi Amane tidak punya pilihan selain melakukan begini.
Amane tahu bahwa tubuh Mahiru menegang secara halus karena kecanggungan dan
rasa malu, tapi dia memasang senyum malaikat dan sedikit menundukkan kepalanya.
Sejauh menyangkut Mahiru, dia adalah pria yang tidak dikenal, jadi dia
memberikan tanggapan yang dimaksudkan untuk orang asing, tetapi mengingat
kepribadian Daiki, ini mungkin pilihan yang tepat.
“Senang berkenalan dengan anda.
Nama saya Shiina Mahiru. Seperti yang diperkenalkan tadi, saya berpacaran
dengan Amane-kun.”
“Betapa sopannya kamu. Namaku
Akazawa Daiki, dan aku ayah Itsuki.”
Daiki membungkukkan pinggulnya
dengan sopan ke arah Mahiru, lalu melirik Amane sekilas. Amane merasa ada
implikasi di baliknya yang tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata, tapi Amane
pura-pura tidak menyadarinya dan hanya balas tersenyum padanya.
“Begitu ya… Nah, bagaimana aku
harus mengatakannya? Aku tidak menyadari bahwa Kamu berkencan dengan seorang
gadis. Aku terkejut karena aku tidak mendengar apa-apa.”
“Tidak pernah mendengarnya dari
Itsuki?”
“Anak itu pada dasarnya tidak
berbicara denganku. Aku berasumsi kalau ia berpikir tidak perlu memberitahuku.”
“Yah, saya wajar saja karena
tidak perlu repot-repot berbicara tentang hubungan temannya.”
Amane hampir menghela nafas,
berpikir bahwa Itsuki masih canggung dengan ayahnya, tapi ia memutuskan untuk
tidak menunjukkannya.
“Kamu berpacaran dengan
Fujimiya-kun… Yang berarti kamu juga menjaga kebodohan anakku. Aku selalu minta
maaf untuk itu.”
“Tidak, saya lah yang berhutang
budi pada Akazawa-san.”
“Kamu tidak berpikir dia telah
menyebabkan masalah bagimu?”
“Tentu saja tidak. Ia adalah
pria yang baik dan perhatian, dan selalu membantu. Saya juga ingin terus
berteman dengan Akazawa-san.”
Daiki menghela nafas kagum saat
Amane mendengarkan pujian Mahiru. Amane menahan diri untuk tidak berkomentar
bahwa Itsuki cenderung ikut campur dari waktu ke waktu.
“… Fujimiya-kun, aku senang
kamu menemukan gadis yang luar biasa.”
“Yah, Mahiru-saya benar-benar
gadis yang baik.”
“T-Tolong jangan membuat
lelucon seperti itu sekarang!”
Mahiru tidak menyangka kalau
Amane akan mulai memujinya di depan ayah temannya, dan pipi putihnya mulai
memerah dengan jelas.
Amane memberinya senyum diam,
dan Mahiru mengarahkan pandangannya ke bawah karena malu dan dengan santai menyoleknya
dari belakang menjauh dari Daiki. Mahiru tidak menggunakan banyak kekuatan,
jadi itu tidak menyakitinya sama sekali dan hanya menyisakan rasa gatal.
Sebaliknya, itu membawa senyum ke wajahnya sebagai gantinya.
“Aku senang melihat kalian
berdua rukun, tapi aku merasa seperti diperlihatkan sesuatu yang sangat
menyilaukan. Namun, ini adalah momen untuk berbahagia.”
“Maaf, saya akan berhati-hati.
Ngomong-ngomong, apa anda sudah mampir ke kelas kami?”
“Tidak, aku sudah
merencanakannya, namun...bagaimana mengatakannya...suasananya membuatnya agak
sulit untuk dimasuki.”
“Ahh…”
Daiki tidak terlalu tertarik
dengan acara seperti ini. Dia bukan tipe orang yang menunjukkan minat pada
manga atau game, jadi akan sulit baginya untuk dipandu oleh kelas Amane.
“Tentu saja, aku akan
menyusahkan para siswa jika aku masuk sendirian. Lagi pula, ada masalah
penampilan.”
“Saya rasa itu bukan masalah
penampilan anda, Daiki-san. Apa anda bersedia bergabung dengan kami? Kami
berada di kelas kami sendiri, tetapi saya ingin memasukinya sebagai pelanggan.”
“Tidak, aku tidak tahan untuk
menghalangi jalanmu. Tidak selama waktu luangmu sebagai pasangan, yaitu.
Lagipula… dia ada di kelas sekarang, bukan?”
“…Ya itu benar.”
“Aku tidak ingin membuatnya
gelisah atau membuatnya canggung begitu dia memperhatikanku. Jika dia melihatku
secara langsung sekarang, itu mungkin akan membuatnya terpukul.”
Amane menurunkan alisnya pada
senyum bermasalah Daiki, tapi dia tidak melanjutkan masalah itu lebih jauh.
Amane tidak memiliki perasaan yang baik tentang hubungan antara Chitose dan
Daiki, tetapi dia tahu bahwa Daiki tidak memiliki niat jahat terhadapnya. Amane
juga tahu kalau dia menolak Chitose karena ia punya pemikiran tersendiri soal
itu.
Walaupun dirinya mengetahui hak
itu, sebagai teman, Amane ingin membantunya mengatasi masalahnya jika bisa.
“Maaf mengganggu. Aku akan
pergi sekarang.”
“Tetapi…”
“Aku tidak ingin merusak
suasana pesta. Kalian berdua, bersenang-senanglah.”
Saat Daiki pergi sebelum Amane
dan yang lainnya bisa menghentikannya, Amane mendesah pelan.
“… Ia masih tidak mau menerima…
Chitose-san?”
"Ya. ...Begitulah adanya,
tapi Daiki-san sendiri bukanlah orang jahat. Ini hanya kasus klasik dari
orang-orang yang tidak bisa akur satu sama lain. Sejak awal kepribadian Itsuki,
Chitose, dan Daiki-san sama sekali tidak cocok.”
Bahkan Amane, yang hanya
sedikit berinteraksi dengannya, dapat mengetahui bahwa Daiki pada dasarnya
adalah orang yang kolot dan keras kepala, tipe yang berpegang teguh pada
metodenya.
Di sisi lain, Itsuki dan
Chitose, meskipun mereka tidak tulus, mereka tidak mengikuti akal sehat
kebanyakan orang—mereka adalah orang-orang yang fleksibel yang tidak bertindak
seperti yang diharapkan pada awalnya. Mereka bukan tipe orang yang akan sangat
menyesuaikan diri ketika dipaksa, jadi wajar jika mereka tidak patuh
mendengarkan tuntutan Daiki. Mereka tidak serasi. Tetapi jika diminta untuk
mengatakan apakah Daiki salah, itu juga tidak sepenuhnya benar, karena meskipun
standar Daiki agak tinggi, mereka masih dalam ranah akal sehat.
“Hanya saja tuntutan Daiki-san
terlalu banyak rintangan saat ini. Ia tidak mencoba untuk menyakiti Chitose
karena kedengkian, tapi… Aku hanya bermasalah karena tidak ada yang bisa aku
lakukan.”
Jika Daiki dengan mudah
diyakinkan dan akan mengakui Chitose, masalah tersebut takkan berlarut-larut.
Amane berpikir bahwa orang tua
memang tidak berhak terlalu mengganggu masalah percintaan anak mereka, tetapi
perasaan ingin anak mereka memiliki pasangan yang lebih baik adalah perasaan
yang dapat diempati oleh Amane. Itsuki bukan orang yang banyak membicarakannya,
dan Amane tidak terlalu memikirkannya, tetapi keluarga Akazawa adalah keluarga
yang terpandang di mata publik, yang kemungkinan membutuhkan campur tangan yang
lebih keras dari orang tuanya.
“Alangkah baiknya jika kita
bisa membuatnya menyetujuinya, tapi itu bukan sesuatu yang bisa kita
selesaikan.”
"Kamu benar. …Aku pikir
keduanya benar-benar cocok satu sama lain, dan mereka sangat mencintai satu
sama lain. Aku tidak ingin mereka dipisahkan, atau lebih tepatnya… Aku berharap
ayahnya tidak mencoba memisahkan mereka.”
“Ya. …Daiki-san juga bisa
merasakannya, itu sebabnya ia berpikir lebih baik tidak ikut campur secara
langsung sekarang. Hal-hal tidak akan membaik sampai satu pihak menyerah atau
kompromi dibuat.”
Ketika Amane menghela nafas
lagi, Mahiru juga menurunkan alisnya dengan bingung, menyandarkan kepalanya di
lengan atas Amane, dan bergumam pelan, “Kuharap kita bisa melakukan sesuatu.”
✧ ✦ ✧
Setelah berpisah dengan Daiki,
Amane membeli beberapa makanan untuk dibawa dan menuju ke kelasnya sendiri
sambil istirahat. Dibandingkan dengan kelas lain, antrian di meja resepsionis
cukup panjang. Bahkan ketika mereka sedang bergiliran, mereka akan melihat
keluar dari waktu ke waktu, tetapi Amane tahu bahwa sekarang lebih populer
daripada di pagi hari. Mereka pasti mendapatkan reputasi yang cukup tinggi.
Meskipun itu adalah kelasnya
sendiri, tapi Amane datang berkunjung sebagai pelanggan, dan ketika dengan
patuh tiba di meja resepsionis bersama Mahiru, ia menemukan teman-teman
sekelasnya sedang sibuk memeriksa daftar.
“Hah? Fujimiya dan Tensh–
…Shiina-san. Jangan bilang kamu di sini untuk membantu.”
“Sayangnya, enggak. Walaupun
aku tetap akan mengawasi pelanggan. Selain itu, aku di sini untuk melihat
bagaimana kinerja Itsuki dan Chitose.”
“Ah, mereka baik-baik saja.
Yah, bisa dibilang begitu.”
“Ada apa dengan nada mengelak
itu?”
“Tidak peduli apa yang aku
lakukan, Itsuki selalu menunjukkan kesembronoannya.”
“Itu juga salah satu ciri
khasnya, kita tidak bisa berbuap apa-apa mengenai hal itu.”
“Itu sangat buruk.”
Itu normal bagi Itsuki untuk
bertindak ceria dan main-main, dan mereka tidak bisa mengharapkan sebaliknya
kecuali sesuatu yang serius terjadi. Dan dengan kejadian seperti ini, Itsuki
menanggapinya dengan agak serius, tetapi kepribadiannya yang tidak terkendali
mulai muncul ke permukaan. Sifatnya yang sembrono tidak akan hilang dalam waktu
dekat.
Beberapa siswa menikmati bagian
dirinya itu, jadi ia merupakan butler yang populer dengan caranya sendiri. Lagi
pula, itu adalah acara yang diselenggarakan oleh siswa, dan dirinya tidak harus
bertindak disiplin seperti butler sungguhan.
“Meja untuk dua orang, ‘kan? Kamu
mungkin harus menunggu sebentar lagi.”
“Mau bagaimana lagi karena
disini sangat ramai, aku sudah siap untuk itu. ... kamu tidak masalah ‘kan,
Mahiru? Apa kamu tidak lelah?”
“Aku baik-baik saja. A-Aku
hanya lelah karena apa yang kita lakukan sebelumnya…”
“Itu karena kamu bertingkah sok
berani dan masuk.”
“… Aku tidak ingat melakukan
itu.”
Mahiru mengalihkan pandangannya.
Tingkahnya benar-benar membuatku ingin
menggodanya, pikir Amane, tapi jika dirinya bertindak terlalu jauh, Mahiru
akan mulai merajuk, jadi ia memutuskan untuk tidak mengungkitnya lagi.
Sebaliknya, Amane berbisik pelan, “Kamu
berjanji untuk menonton film horor bersamaku, ingat?” dan Mahiru
memelototinya dengan mata yang sedikit sembab, tapi kali ini Amane pura-pura
tidak tahu.
Bahkan resepsionis
memelototinya dengan mengatakan, “Lakukan itu di tempat lain,” tapi yang bisa
dilakukan Amane hanyalah mengalihkan pandangannya.
✧ ✦ ✧
Beberapa saat kemudian, giliran
mereka akhirnya tiba, dan karena desakan resepsionis, mereka masuk ke kelas
mereka sendiri... tapi karena mereka berdua tahu bagaimana mereka merotasi
pelayan untuk menyapa pelanggan, Amane mengernyit dengan jengkel.
Resepsionis pasti menyampaikan
pesan, dan Itsuki serta Chitose bertindak sebagai pelayan mereka. Pasangan itu
tersenyum jauh lebih profesional daripada yang mereka lakukan selama latihan,
tetapi mulut mereka berkedut melihat wajah Amane yang agak tidak senang. Mereka
memandangnya seolah-olah lelucon kecil mereka berhasil, dan bahkan ekspresi
Amane pun mulai bergetar—tentu saja dalam arti merinding.
“Selamat datang kembali, Tuan,
Nyonya!”
“Oi, Itsuki. Mana mungkin
sapaan semacam itu ada di dalam panduan.”
Mereka pada dasarnya adalah
kafe pelayan dan butler, tetapi para tamu harus disebut sebagai 'pelanggan,' dan Amane tidak bisa
menahan ekspresi tegang karena mereka sengaja memanggilnya 'tuan'. Mahiru mungkin tersipu malu karena dipanggil 'Nyonya' dan
menurunkan matanya dengan malu-malu.
“Tidak, tidak, tidak sama
sekali, kok. Semuanya sudah tertulis di manual rahasia kami, di halaman yang
disediakan hanya untuk kalian berdua.”
“Jangan mengada-ada.”
“Sudah, sudah. Izinkan kami
untuk memandu kalian berdua ke tempat duduk kalian.”
“Tidak baik memberi kami
perlakuan khusus di depan semua pelanggan ini,” Amane menegurnya dengan
tatapannya, tapi Itsuki tidak mempedulikan protesnya.
Tidak peduli apa yang Amane
katakan, sepertinya tidak ada gunanya, jadi dirinya dengan enggan duduk di
kursi yang diantar.
Dia terganggu oleh sikap anggun
Mahiru saat dia duduk di kursi yang telah ditarik Itsuki. Chitose tersenyum dan
bertanya, “Apa kamu menikmati istirahatmu?” dan mengulurkan menu (yang sudah lama dihafal Amane) sambil
mengikuti prosedur di manual.
“Hm? Yah, itu menyenangkan.
Masih ada tempat yang ingin kami kunjungi, jadi kami akan terus berkeliling
setelah ini.”
“Begitu ya, begitu ya, aku
senang mendengarnya. Aku berharap Mahirun akan datang dan istirahat dalam waktu
dekat.”
“Benarkah?”
“Itu benar. Dia mengatakan
kepadaku bahwa dia ingin melihat-lihat ke berbagai tempat.”
Amane melirik ke arah Mahiru,
yang pipinya sedikit memerah, “satu paket
A,” saat dia mencoba mengalihkan topik. Dia tidak menunjukkan banyak kegembiraan
tentang festival budaya ketika mereka berada di rumah, tapi dengan caranya
sendiri, dia sepertinya ingin menghabiskan waktu bersama Amane. Ia tersenyum
sedikit pada Mahiru yang menggemaskan dan bersumpah untuk menanyakan detail
lebih lanjut nanti saat dirinya memesan hal yang sama. Menyadari apa yang dipikirkan
Amane, Mahiru memelototinya sedikit, tapi sepertinya dia tidak menentangnya,
jadi Amane merasa lega.
Chitose tidak berusaha
menyembunyikan senyum cerahnya ketika mendengar pesanan tersebut dan pergi untuk
menyampaikan pesanan itu ke belakang. Saat itulah Amane tiba-tiba teringat
sesuatu. Di pangkuannya ada sekantong donat, yang kemudian ia serahkan kepada
Itsuki. Ukurannya seukuran sekali gigit dan digoreng bulat-bulat, sehingga
mudah disantap saat istirahat sebentar. Jika ia ingat dengan benar, mereka
memiliki tusuk gigi di belakang, sehingga staf lain bisa makan tanpa membuat
tangan mereka kotor.
“Ah, itu benar. Ini, aku
membawakanmu makanan ringan dari kelas lain. Biarkan yang di belakang juga ikutan
makan ketika mereka sedang istirahat.”
“Oh, hei, hei, hei!”
“Aku sendiri yang ingin
melakukannya, jadi jangan khawatir. Tetapi jika kamu ingin berterima kasih,
lakukanlah seperti yang dilakukan butler…”
“Terima kasih atas kebaikan
anda, tuanku…”
“Jangan bercanda terus napa.
Juga, sudah cukup lelucon itu.”
“Aku sudah makan siang, tapi
aku masih sedikit lapar,” Amane tertawa, melihat Itsuki menyeringai dengan
ekspresi ceria. Namun, dalam benaknya, ia meminta maaf sebelumnya atas apa yang
akan dirinya katakan padanya.
“Hei, Itsuki.”
“Hm?”
“Aku bertemu Daiki-san.”
Amane tahu tubuh Itsuki sedikit
menegang mendengar kata-kata itu. Prioritasnya adalah melaporkannya saat
Chitose tidak ada, jadi ia mengatakannya sekarang, tetapi Amane tidak yakin
untuk memberitahunya, karena itu dapat menurunkan motivasinya untuk melayani
pelanggan.
Senyum Itsuki yang biasanya
tidak langsung menghilang, ia hanya tersenyum tipis dalam diam, digantikan oleh
tatapan masam sesaat, dan kemudian ia memaksakan seringai untuk menyembunyikannya.
“Ya, Ayahmu tidak menyebutkan
apapun tentang Chitose. Ia memang mengatakan bahwa sulit untuk masuk kelas, dan
pergi ke tempat lain.”
“Ah… sudah kuduga. Dia tidak
terlalu suka dengan hal semacam ini. Dan bahkan jika dia benar-benar datang, itu
hanya akan menyusahkan Chi, jadi itu mungkin yang terbaik.”
Itsuki mengangkat bahu dan
bergumam, "Aku mungkin memberinya undangan karena kewajiban, tapi aku
tidak menyangka kalau ia beneran datang.”
“Aku akan berbicara dengannya
ketika aku di rumah. Aku ragu dia akan bertahan hari ini untuk mencariku.”
Melihat senyum ambigu Itsuki
yang menyembunyikan pikirannya yang sebenarnya, Amane mendesah pelan saat
Itsuki kembali ke belakang, dengan tas makanan ringan di satu tangan.
(Aku
harap semua berjalan dengan baik…)
Meskipun tidak semudah itu,
yang bisa Amane lakukan hanyalah berharap bahwa dirinya dapat membuat perbedaan
kecil, tidak peduli berapa lama waktu yang dibutuhkan.
Chitose, yang bertukar tempat
dengan Itsuki dan membawa menu yang dia pesan, memiringkan kepalanya dengan
bingung saat melihat ekspresi Amane dan Mahiru, yang sedikit depresi karena
Daiki.
“Hah? Apa ada sesuatu terjadi?
Apa kalian sedang marahan?”
“Menurutmu kami sedang
bertengkar?”
“Aku pikir pasangan mana pun
akan melakukannya. Biasanya, sih… tapi dalam kasusmu, kamu mendengarkan dengan
cermat satu sama lain, jadi sungguh menakjubkan bahwa aku tidak bisa
mengatakannya dengan pasti.”
Chitose dengan sungguh-sungguh
bergumam dengan suara yang bercampur dengan kekesalan dan kekaguman, tapi Amane
tidak menganggap itu semua aneh. Secara umum, Mahiru berwatak halus dan agak
toleran, jadi jarang sekali melihatnya marah. Selain itu, mana mungkin dia
marah demi dirinya sendiri. Dia pernah marah atas nama orang lain sebelumnya,
tapi Mahiru sendiri tidak terlalu sering marah, dan itu berasal dari
kepribadiannya.
Jika dirinya bertengkar dengan
Mahiru, itu hampir pasti kesalahan Amane karena membuatnya marah, dan dalam hal
itu, itu akan mengarah ke diskusi daripada pertengkaran. Mereka akan membahas
apa yang salah dan mengapa dia kesal, dan mengidentifikasi akar penyebab serta
solusi yang ideal. Amane tidak perlu membuatnya marah, dan dirinya hampir
jarang melakukannya. Jika ia memang melakukannya, Amane akan segera meminta
maaf begitu itu terjadi. Itu sebabnya tidak pernah berubah menjadi pertengkaran.
Begitu Mahiru mendengar kata 'bertengkar', matanya yang berwarna
karamel berkedip dan dia tersenyum kecil, seolah-olah argumen adalah sesuatu
yang tidak ada di dunianya. Tidak perlu baginya untuk marah pada Amane. Dia
merasa frustrasi ketika Amane meremehkan dirinya sendiri, tetapi dia lebih
menegurnya daripada benar-benar marah, dan hal terpenting yang harus diperhatikan
adalah dia mempercayai itu demi Amane sendiri.
“Pokoknya, kami tidak
bertengkar. Kami baru saja memikirkan sesuatu, dan kami sedikit terganggu
karenanya.”
"Hmm? Yah, syukurlah kalau
kalian tidak sedang bertengkar. Lebih penting lagi, apa orang tuamu tidak
datang, Amane?”
Tubuhnya sejenak menegang saat
menyebut 'orang tua', tetapi Chitose
sepertinya tidak menyadari kekhawatirannya saat mendekat.
Amane merasa lega bahwa
keberadaan Daiki sepertinya tersimpan di benaknya untuk saat ini.
“Yah, Mahirun pernah berkata
bahwa ibumu dan aku adalah tipe orang yang sama, jadi aku sangat penasaran.
Pastikan untuk membiarkanku menyapa.”
“Aku yakin bisa melihat kalian
berdua rukun. Kamu pasti akan klop dengannya, sedemikian rupa sehingga Mahiru
akan terjebak dalam baku tembak.”
Tidak hanya mereka berdua
mungkin akan klop, tetapi alur pemikiran mereka juga agak mirip. Ketika Amane
pertama kali bertemu Chitose, ia menyadari betapa miripnya dia dengan ibunya,
dan mengenang betapa sedihnya dia saat itu. Kecintaan mereka pada hal-hal lucu,
kontak fisik yang intens, dan kesukaan mereka yang ekstrim pada Mahiru adalah
salinan karbon yang tepat satu sama lain, dan mereka hampir pasti akan
menyayangi dan menggodanya sesuai keinginan hati mereka.
Senyum Mahiru goyah sejenak
saat dia dengan mudah membayangkan pembantaian di masa depan, tapi Amane
pura-pura tidak sadar.
(Mereka
akan mengubahnya menjadi boneka rias, atau menghujaninya dengan skinship yang
berlebihan. Bertahanlah.)
Mereka tidak benar-benar
membahayakan, jadi tidak perlu khawatir. Amane merasakan tatapan mencari
bantuan dari Mahiru, tapi itu adalah takdir bahwa Amane terlalu lemah untuk mengubah
keadaan, dan ia tidak bisa berbuat apa-apa selain berharap Mahiru cukup kuat
untuk melewatinya.
“Pokoknya, jangan terlalu
berlebihan saja. Ditambah lagi, kamu yakin tidak perlu segera kembali?”
“Whoa, pelototan Makochin
nyeremin banget~”
Makoto, yang berada di shift
yang sama dengannya, sepertinya memiliki banyak hal untuk dikatakan kepada
Chitose, jadi Amane memotong pembicaraan mereka. Makoto memberi Chitose tatapan
dingin saat dia menjulurkan lidah sebagai alasan, dan dia mendesaknya untuk
kembali bekerja.
Dia menatap punggung Chitose
saat dia dengan enggan kembali bekerja dan menghela nafas pelan.
“Mendukungmu adalah
satu-satunya hal yang bisa kulakukan, tapi semoga berhasil, Mahiru.”
“Seolah-olah itu masalah orang
lain.”
“Tidak, aku tidak bisa
menghentikan keduanya dan hasrat mereka yang meluap. Tetap bertahan. Jika kamu
benar-benar tidak menginginkannya, maka kamu harus tegas mengatakan hal itu.”
“Bu-Bukannya aku tidak mau…
umm… tapi mereka pasti akan mendandaniku dengan banyak pakaian yang berbeda,
bukan?”
“Tidak diragukan lagi, ya.”
Shihoko sudah suka mendandani
Mahiru, tapi begitu dia bertemu Chitose, dia mungkin akan menjadi lebih heboh
dalam kejenakaannya. Mengingat ibunya, yang sudah menganggap Mahiru sebagai
putrinya, sepertinya dia akan membawanya ke butik dan mengubahnya menjadi
berbagai pakaian sebelum membelinya untuknya. Amane punya firasat bahwa Chitose
dengan senang hati akan menemaninya dalam usaha seperti itu.
Amane tidak bisa menghentikan
kasih sayang ibunya yang mengakar pada Mahiru. Ia tahu bagaimana ibunya selalu
ingin punya anak perempuan, dan dia juga menyukai Mahiru sebagai pribadi.
“Yah, selama kamu siap untuk
berdandan, kamu tidak perlu menolaknya.”
“Ketika kamu mengatakannya
seperti itu, kamu tahu aku tidak bisa menolak.”
“Aku tidak keberatan, kau tahu?
Aku bisa membantumu mendandanimu jika kamu benar-benar mau.”
Bukannya Amane memiliki model
baju khusus untuk dikenakan Mahiru, tapi ia merasa akan menyenangkan untuk
memilih pakaian yang menurutnya cocok untuknya.
“… Yah, meski mengesampingkan
keduanya, aku ingin melakukan itu. Jika itu sesuatu yang kamu sukai, aku akan
dengan senang hati menemanimu.”
Mahiru bergumam pelan dan
menurunkan matanya karena malu, tapi mengingat lokasinya, Amane tidak bisa
mulai mengatakan bahwa dirinya mengagumi Mahiru tidak peduli apa yang dia kenakan,
jadi Amane hanya tersenyum bahagia melihat kelucuannya sambil menyesap kopinya.
✧ ✦ ✧
Amane terus menikmati kopinya
sambil menunggu pipi malu Mahiru mereda, tetapi begitu melihat sekeliling, dirinya
menjadi sangat sadar betapa bagusnya reputasi yang baik untuk menarik
pelanggan. Kelas mereka bermaksud menyiapkan banyak kursi untuk berjaga-jaga,
tetapi ia belum melihat satu pun dari kursi itu kosong. Tidak ada bedanya
dengan saat dirinya sedang shift, tapi sepertinya mereka selalu penuh dengan
pelanggan.
Tanpa bias, Mahiru dan Yuuta
adalah orang-orang yang paling menonjol, tetapi pelanggan masih membanjiri saat
mereka sedang istirahat, jadi pastilah pilihan pakaianlah yang membantu menarik
banyak penonton yang merasa penasaran. Fakta bahwa anak laki-laki dan perempuan
muda, yang biasanya mengenakan seragam sekolah, mengenakan seragam pelayan dan
butler seperti yang terlihat membuat orang yang memakainya merasa tidak nyaman.
Bagi Amane sendiri, hal itu
sangat asing baginya. Ambil saja contohnya Chitose mengenakan pakaian yang
digunakan untuk melayani orang lain. Amane tidak pernah membayangkan dia akan
melakukannya. Ia melirik ke arahnya dan menemukan dia berurusan dengan
pelanggan sambil menyebarkan senyumnya ke seluruh kafe, tapi dia tidak tampak seberani
yang orang pikirkan dari pakaiannya. Dia mengenakan rok mini bertema pembantu,
dan suasana Chitose yang hidup dan ramah melengkapi penampilannya dengan sangat
baik.
“… Apa ada yang salah dengan
Chitose-san?”
Dia
kelihatan sangat bersemangat sekali, pikir Amane sambil
menatapnya, dan Mahiru, yang tampaknya mampu menekan rasa malunya di dalam,
memanggilnya dengan rasa ingin tahu.
“Hm, yah… Aku tidak terlalu
menyadarinya saat kami bekerja bersama, tapi menurutku rasanya aneh melihat
teman sekelas memakai pakaian seperti itu. Aku seharusnya sudah terbiasa dengan
itu, sih.”
“Fufu, lagipula pakaian seperti
ini bukanlah sesuatu yang kamu kenakan setiap hari.”
“Rasa penasaran lah yang
menjadi salah satu faktor menarik pelanggan, ‘kan? Selain itu, pelanggan
mengatakan bahwa mereka terlihat menggemaskan dan menawan. Lagipula, pakaian itu
benar-benar terlihat bagus untuk semua orang.”
Para pengunjung kafe kelas
mereka terdiri dari campuran antara siswa dan pengunjung luar, tetapi Amane
dapat mendengar sebagian besar pemikiran dan pendapat mereka, bertanya-tanya
siapa yang imut atau tampan, dan apakah mereka ingin merayu seorang pelayan
atau tidak. Meski bukan berarti mereka tidak memahami perasaan mereka, para
pelayan dan butler itu sendiri dapat mendengarnya dengan jelas dan harus
menahan senyum pahit. Amane melirik ke arah anggota staf yang bermasalah, dan
begitu dia melihat kembali ke arah Mahiru, da melihat ekspresi bermasalah, dan
dia tampak memaksakan lebih banyak kekuatan ke dalam kelopak matanya.
“Apa ada yang salah?”
“Tidak apa-apa… Amane-kun,
menurutmu semua orang… atau lebih tepatnya, gadis-gadis itu, apa mereka
kelihatan manis?”
“Mereka normal, kurasa.” Amane
mulai menebak apa yang Mahiru coba katakan, jadi dia tersenyum dan
menyembunyikan bibirnya dengan ujung jarinya. “Secara objektif, aku berpendapat
kalau merek kelihatan imut, entah itu dari kecantikan dan tingkah laku mereka.
Tapi jangan khawatir, kamu satu-satunya yang membuatku ingin mencintai dan
menyayangimu karena kamu imut, Mahiru.”
“L-Lagi-lagi kamu mengatakan
itu…”
“Hanya merasa seperti kamu
ingin aku mengatakannya, itu saja. Kamu mungkin tetap cemburu jika aku tidak
melakukannya.”
Kali ini, saat Amane berbisik
pelan agar tidak ada orang lain yang bisa mendengarnya, Mahiru menutup rapat
bibirnya, lalu menurunkan matanya karena malu lagi.
“… Aku merasa seperti orang
bodoh karena merasa cemas sendiri.” Mahiru bergumam.
“Kamu bisa memastikan
perasaanku kapan pun kamu mau, Mahiru. Sampai kamu merasa yakin dan puas.”
“Aku akan sangat malu jika aku
melakukan itu…”
“Namun, bukannya kamu akan
merasa nyaman jika kamu melakukan itu?"
“Apa kamu mencoba untuk
mengakhiriku?”
“Sungguh terlalu berlebihan.”
“Sama sekali tidak. Kaulah yang
selalu menyiksa hatiku, Amane-kun… itu terlalu membebaniku.”
“Yah, jika kamu tidak mau, maka
...”
“Bukannya aku tidak
menyukainya, tapi… umm, aku hanya ingin kamu bersikap lunak padaku.”
Saat bahu Mahiru menyusut,
Amane tergoda untuk menggodanya begitu dia mengucapkan kata-kata seperti itu,
tetapi juga mencatat bahwa dirinya harus berhati-hati agar pacarnya tidak
menggeliat malu jika ia melanjutkannya. Bagaimanapun juga, ketika Amane
menjawab, “Aku akan melakukan yang terbaik," Mahiru memelototinya dengan
sedikit ketidakpuasan. Amane tahu dia tidak terlalu percaya padanya.
“…Lain kali kamu menggodaku,
aku akan menggodamu kembali.” Mahiru mengolok-oloknya sebagai pembalasan.
"Oh?" Amane menjawab
dengan main-main. “Aku jadi penasaran tentang itu.”
“… Aku mungkin mulai
mengabaikanmu sebagai pembalasan.” Mahiru berbalik dan tersenyum sangat manis
sehingga Amane tidak bisa menahan senyumnya, dan dia menyambar beberapa kuenya
dengan segala ketidaksenangannya; Mahiru berbalik untuk menunjukkan lebih jelas
ekspresi cemberutnya.
✧ ✦ ✧
Amane tahu mereka berdua tidak
bisa melakukan percakapan dengan nyaman saat suasana semakin ramai, jadi ia
mengakhiri percakapan pada waktu yang tepat dan meninggalkan kafe sambil
menghela nafas, bertanya-tanya ke mana tujuan mereka selanjutnya.
Festival budaya berlangsung
hingga pukul 16.00. Itu akan ditutup dalam waktu sekitar satu setengah jam
lagi. Setelah itu, mereka akan sibuk lagi menghitung penjualan, melaporkan, dan
mempersiapkan hari berikutnya, jadi Amane ingin bersenang-senang sebelum itu,
tetapi mereka sudah mengunjungi tempat-tempat yang diminati.
“Apa ada tempat lain yang ingin
kamu kunjungi, Mahiru?”
“Hmm… kita sudah melihat-lihat
sedikit. Bagaimana kalau kita pergi ke gedung olahraga? Kalau tidak salah di
sana ada panggung hiburan.”
“Panggung hiburan, ya? Apa yang
mereka lakukan sekarang?”
Ada bagian panggung di sore
hari selama festival budaya, dan siswa relawan melakukan segala macam hal untuk
festival tersebut. Menurut ingatan Amane, seharusnya ada konser dan pentas drama
yang ditulis di jadwal.
Amane memeriksa pamflet dan
melihat bahwa Klub Musik Ringan saat ini sedang mengadakan konser mereka.
“Mereka sedang mengadakan
konser sekarang. Apa kamu tertarik?”
“Aku tidak sering mendengarkan
musik.”
“Yah, karena kamu tidak
memainkan banyak musik latar, Mahiru. Dan jika kamu mendengarkan musik, itu
selalu musik Barat.”
Mahiru peka terhadap tren, tapi
dia tidak tahu banyak tentang musik. Sebaliknya, dia lebih suka mendengarkan
musik Barat yang dibuat bertahun-tahun yang lalu, daripada musik Jepang,
alasannya hanya karena kesukaannya. Bahkan jika seorang idola pria terkenal
yang sering tampil di TV ditampilkan, dia hanya cukup tahu untuk mencocokkan
nama dan wajah mereka.
“Jika kamu penasaran, Mahiru,
ayo kita coba menonton. Aku sedikit tertarik juga.”
“Kamu benar.”
Karena tidak ada kios tertentu
yang ingin ia kunjungi, jadi Amane menggandeng tangan Mahiru dan menuju gedung
olahraga, baik karena penasaran maupun untuk menghabiskan waktu. Bagian dalam
gedungg telah mematikan sebagian besar lampu, dan pencahayaan fungsional menerangi
panggung dengan kuat. Amane bisa mendengar suara itu bahkan dari luar gym,
tetapi ketika masuk ke dalam, suaranya jauh lebih keras dari yang ia kira.
Merasa geli dari suara yang bergema di perutnya, Amane menutup pintu dengan
lembut agar tidak mengganggu penonton lainnya dan menyelinap ke ruang kosong.
Ketika mendongak, ia melihat
sekelompok sukarelawan sedang berdiri di atas panggung membawakan sebuah lagu.
Ada wajah familiar di antara mereka, jadi Amane menyipitkan matanya dan
menatapnya. Berdiri di depan dudukan mikrofon adalah wajah yang sering dilihat
Amane sejak pagi.
“…Hah? Bukannya itu Kadowaki? Orang
itu tidak pernah menyebutkan kalau dirinya akan tampil.”
Mereka pernah ke karaoke bersama
beberapa kali, jadi Amane sangat menyadari betapa bagusnya Yuuta dalam
bernyanyi, tapi ia sama sekali tidak menyangka temannya akan berada di atas
panggung seperti ini. Terutama karena Amane belum pernah mendengar desas-desus
tentang itu. Selain aktivitas klubnya, Amane juga dikejutkan dengan vitalitas
yang dimilikinya untuk berdiri di atas panggung sembari mempersiapkan festival
budaya.
Yuuta sendiri sepertinya tidak
terlalu menikmati menonjolkan diri, jadi itu mengejutkan Amane.
“Kadowaki-san benar-benar bisa
melakukan apa saja.”
“Itu bukan sesuatu yang bisa
kau katakan, Mahiru.”
Mahiru tampak terkesan, tetapi
Mahiru sendiri adalah spesies yang sama. Dia bisa melakukan segalanya; belajar,
berolahraga, pekerjaan rumah, dan sampai k tingkat mahir pada saat itu. Sulit
menemukan seseorang sebaik Mahiru dalam segala hal.
“Ada beberapa hal yang bahkan
tidak bisa kulakukan.”
“Contohnya?”
“… Bagaimana dengan berenang?”
“Aku rasa begitu.
Ujung-ujungnya, kamu tidak bisa berenang.”
“Jika kamu pikir aku akan bisa
berenang dalam sehari, maka kamu terlalu naif. Tidak peduli berapa banyak aku
berlatih, aku tidak pernah meningkat ...”
“Aku minta maaf.”
Mahiru dengan ringan
membenturkan tinju kecilnya ke lengan atas Amane, tampaknya tidak puas dengan
anggapan tidak bisa berenang, jadi dia tersenyum kecut dan melihat kembali ke
panggung. Dia sepertinya tidak suka menonjol, tetapi Yuuta, yang tampaknya
sudah terbiasa meskipun begitu, tidak terlihat malu-malu ketika di depan begitu
banyak penonton, dan benar-benar bertindak berani. Dirinya memiliki nyali untuk
menanggapi dengan layanan penggemar, memberikan senyuman lembut dan lambaian
tangan. Setelah itu, karena Amane kebetulan memilih tempat tanpa penghalang
sehingga dia bisa melihat lebih baik, tatapan Yuuta bertemu dengan Amane, dan
pipinya sedikit berkedut.
Tampaknya Yuuta tidak
mengharapkan temannya untuk muncul. Amane melambaikan tangannya dengan acuh saat
ia bersumpah pada dirinya sendiri bahwa ia akan mendengarkan apa yang Yuuta
katakan nanti, dan Yuuta berkedip sebelum memberikan senyuman yang berbeda dari
sebelumnya. Gadis-gadis yang menonton berteriak kegirangan pada senyumannya,
jadi baik Amane maupun Mahiru tidak bisa menahan tawa mereka, berpikir bahwa
semuanya sama seperti sebelumnya dalam hal itu.
✧ ✦ ✧
“Kenapa kamu tidak pernah
bilang kalau kamu akan tampil di panggung?”
Yuuta menuju ke dinding tempat
Amane dan Mahiru menonton setelah penampilannya berakhir dan memberi mereka
ekspresi bermasalah. Ia kemudian mengencangkan kembali dasinya seperti yang dia
kendurkan sebelum bernyanyi.
“Sejak awal aku tidak ada
rencana untuk tampil, tapi gadis vokalis itu mengalami cedera kaki di klubnya
seminggu yang lalu… Sepertinya dokter menyuruhnya untuk beristirahat karena dia
terluka, jadi aku menggantikannya.”
Karena juga pertunjukan di mana
seseorang harus menggerakkan tubuhnya, jadi pasti tidak mungkin jika dia
terluka.
“Jadi begitu. Apa gadis itu
baik-baik saja?”
“Ya. Dia benar-benar frustrasi
karena dia tidak bisa tampil, jadi aku merasa tidak enak. Tapi dia sepertinya
menikmati menonton. ”
“Yah, kurasa itu tidak bisa
dihindari… Tetap saja, aku terkejut kamu bisa bernyanyi sebagus itu sebagai pemain
pengganti. Itu sempurna.”
“Kamu pikir begitu? Syukurlah.”
Amane tahu dari waktu mereka di
karaoke kalau Yuuta lumayan berbakat dalam bernyanyi, tapi masih terkejut
melihat keterampilan Yuuta dari dekat. Ia sama sekali tidak kewalahan oleh
penonton, justru sebaliknya; ia berhasil memikat penonton dan membuat mereka
terpesona.
Dirinya terkesan dengan betapa
bagus penampilannya dari mendengarkan keceriaan gadis-gadis itu, tapi Yuuta sepertinya
juga melihatnya, saat ia menggaruk pipinya karena malu.
“… Ini benar-benar memalukan.
Sangat memalukan ketika seorang teman melihatmu.”
“Memangnya seburuk itu bagiku
untuk datang menonton?”
“Tidak, itu tidak benar. Aku
sedikit lega melihatmu dan Shiina-san terlihat sama seperti biasanya. Rasanya angat
meyakinkan untuk memiliki seseorang yang biasa kamu kenal.”
“Jika ada, aku terselamatkan
dalam hal itu,” Yuuta berkata dengan malu-malu, dan gadis-gadis di sekitarnya,
yang diam-diam mengawasinya, bergumam.
Ia
selalu menjadi pusat perhatian seperti biasa, pikir Amane dengan
senyum masam di wajahnya, dan menggoda
Yuuta, yang tersenyum seolah rasa malu dan harga dirinya telah memukulnya
sekaligus. Mahiru hanya berterima kasih padanya dengan senyum tenang dan
berkata, “Kerja bagus,” mengambil
sikap menemani Amane sampai akhir. Sepertinya itu adalah langkah yang disengaja
untuk mencegah orang lain dari kecemburuan yang tidak perlu, bahkan jika
diketahui bahwa dia dan Amane berpacaran. Meski begitu, bersikap terlalu ramah
dengannya di depan orang lain akan meninggalkan kesan buruk bagi mereka yang
menonton Yuuta, dan bisa menimbulkan masalah.
“Tetap saja, rasanya sangat
disayangkan. Aku berharap Itsuki bisa melihat ini.”
“Apa? Aku berharap kamu tidak
akan mengatakan itu. Aku yakin dia tidak puas atau mulai mengolok-olokku karena
tidak memberitahunya sebelumnya.”
“Yah, setidaknya bertahan
sebanyak itu. Itu sih salahmu sendiri karena menyembunyikannya darinya.”
“Itu diputuskan dengan
terburu-buru, jadi mau bagaimana lagi. Itu darurat.”
“Hentikan
itu”, katanya sambil tertawa, jadi Amane bersumpah pada dirinya
sendiri bahwa ia akan menyebutkannya ketika mereka berkumpul di kelas nanti,
jadi ia merilekskan pipinya dan menepuk bahu Yuuta dengan ringan, berkata, “Heh,
tidak mungkin .”
✧ ✦ ✧
“Kerja yang menakjubkan,
semuanya! Kita semua bekerja sangat keras di hari pertama!”
Amane terus menonton penampilan
bersama Mahiru dan Yuuta hingga panggung ditutup dan mereka kembali ke kelas.
Hari pertama festival budaya telah berakhir, dan semua orang di kelas berkumpul
untuk istirahat dan giliran kerja. Masing-masing dari mereka memasang ekspresi
puas dan menunjukkan betapa menyenangkan pengalaman mereka.
Ketika anggota panitia
pelaksana, Itsuki, mengungkapkan rasa terima kasihnya kepada semua orang,
teman-teman sekelasnya mulai berteriak kegirangan. Setelah keributan mereda
sampai batas tertentu, Itsuki berdeham dan sekali lagi menarik perhatian pada
dirinya sendiri.
“Oke, mari kita bersihkan
sedikit untuk persiapan besok. Bendahara; pastikan untuk mengitung total
penjualan, jumlah pesanan, dan jumlah uang yang kita punya cocok dengan benar,
dan pastikan untuk melaporkan setiap ketidaksesuaian. Masukkan uang ke dalam
tas yang ditunjuk dan serahkan kepadaku. Aku akan menyerahkannya kepada
manajemen. Mereka yang bekerja di belakang, siapkan ruang untuk besok, dan
setelah selesai, atur semua peralatannya. Mereka yang menangani layanan
pelanggan akan membersihkan kelas secara mendalam.”
“Siaapppp.”
Setiap siswa memiliki pekerjaan
yang ditentukan, dan semua orang mengangguk dengan patuh saat mereka melakukan
peran mereka.
Karena Amane juga bertugas
membersihkan, jadi dirinya menggulung lengan bajunya untuk menyelesaikannya dan
pergi mengambil ember dan air. Setahun yang lalu, bersih-bersih adalah salah
satu kelemahannya, tetapi berkat bimbingan Mahiru dan kehidupan sehari-harinya
yang baru, ia dapat melakukannya pada tingkat rata-rata, meskipun tidak mahir.
Lebih tepatnya, dia setidaknya bisa menjaga semuanya tetap rapi dan teratur.
“… Kamu sangat cepat.”
Ayaka terdengar terkesan saat
Amane membersihkan dengan sinkron sempurna dengan Mahiru.
“Tidak, Mahiru lebih terampil
dariku. Dia seperti guruku. Aku benar-benar tidak bisa membersihkan pada
awalnya.”
“Aku tidak menyangka kamu
begitu metodis, Fujimiya-kun.”
“Amane-kun bisa tetap menjaga
kebersihannya saat dia tidak berada di rumahnya sendiri.”
Mahiru yang sedang melipat dan
melepas taplak meja yang kotor, sepertinya mendengarkan percakapan mereka, dan
nada suaranya yang menggoda, tentu saja, ditujukan pada Amane.
Amane hanya bisa memasang wajah
masam ketika secara implisit diberitahu bahwa dia ceroboh di rumahnya sendiri.
Karena itu memang fakta, dan dirinya tahu ia tidak bisa mengeluh, tapi Amane
tidak senang digoda.
“Mau bagaimana lagi. Itulah
artinya menjadi pria yang hidup sendiri.”
“Meski begitu, itu sangat
mengerikan. Bahkan tidak ada tempat untuk berdiri saat berjalan.”
“...Begitulah adanya.”
“Apa? Dia tidak tinggal
sendiri, tapi kamar Sou-chanku selalu bersih, tahu? Dia bilang dia
membersihkannya karena dia tahu kapan aku datang. Berkat itu, tidak pernah ada
yang disembunyikan di bawah tempat tidurnya.”
“Jangan mengendus-endus untuk
itu.”
Hanya memikirkan pacar mereka
mencari hal-hal seperti itu sudah cukup untuk membuat anak laki-laki merinding.
Amane hanya bisa berharap pacar di seluruh negeri akan lebih lunak dalam upaya
mereka untuk mengungkap apa yang disembunyikan pacar mereka. Dalam kasus Amane,
tidak ada yang perlu dicari; atau ditemukan, jadi ia tidak terlalu memikirkannya,
tetapi sebagian besar pasangan akan menyimpan sesuatu, dan penyelidikan tanpa
henti dari pasangan mereka pasti akan menyebabkan beberapa masalah.
“Ah, yah, aku tidak bermaksud
mencarinya, tapi aku hanya ingin tahu apakah dia punya. Kamu tahu, hal semacam
itu sering terjadi di manga, kan?”
“Kamu terlalu banyak membaca
manga.”
“Itu masalahnya. Sou-chan
jengkel, mengatakan bahwa aku sangat blak-blakan tentang itu. …Ngomong-ngomong,
bagaimana denganmu, Fujimiya-kun?”
“Aku bersih. Tidak peduli
seberapa dalam kamu mencari, kamu tidak akan menemukan apa pun.”
“Ahaha.”
Mendengar Ayaka tertawa
terbahak-bahak, Amane bersimpati dengan Souji, berpikir bahwa cowok itu
mengalami kesulitannya tersendiri. Bingung, Mahiru memiringkan kepalanya dengan
kaku.
“Apa yang kalian berdua
bicarakan?”
Mahiru pasti bekerja keras
untuk membersihkan dan tidak bisa mendengar apa yang dia katakan, dan dia
terlihat bingung. Amane dengan cepat mengalihkan pandangannya, berharap
terlihat sealami mungkin.
“Bukan apa-apa.”
“Hmm, kurasa kamu tidak
membutuhkan semua itu, Fujimiya-kun, karena kamu membawa Shiina-san bersamamu.”
"Kido." Amane
memelototi Ayaka, Jangan mengatakan hal
yang aneh. Dia tersenyum nakal sementara Amane menahan rasa malu yang
perlahan merembes keluar dari dalam dirinya.
Berbeda dengan Ayaka, yang
semakin tersenyum padanya, Mahiru mengedipkan matanya dengan rasa penasaran
yang meningkat, dan karena Amane tidak tahan, jadi ia memegang tangannya dan
menariknya menjauh dari Kido.