Roshidere Jilid 7 Bab 1 Bahasa Indonesia

Chapter 1 — Pertemuan Kembali

 

Setelah acara perayaan Festival Sekolah berakhir, Akademi Seirei kembali ke jadwal pelajaran reguler setelah jeda libur. Meski demikian, ada banyak di antara para murid yang kelihatannya tidak bisa berkonsentrasi pada pelajaran sama sekali dan gelisah, seakan-akan mereka ingin berbicara dengan teman baik dan teman sekelasnya. Sebagian dari mereka tidak tahan dan bahkan terlihat secara diam-diam mengobrol melalui smartphone mereka.

Sebagian besar perhatian mereka dipenuhi oleh satu kejadian yang terjadi pada upacara pagi di gedung olahraga, atau mungkin bisa dibilang sebagai konferensi pers permintaan maaf.

[Aku benar-benar mohon maaf atas kejadian ini]

Dengan mengucapkan kata-kata tersebut, Kiryuuin Yushou, seorang siswa yang terkenal di sekolah sebagai salah satu dari tiga pria paling populer, melakukan dogeza yang luar biasa dengan bertekuk lutut di atas panggung di depan seluruh siswa. Dia adalah putra dari seorang konglomerat, terkenal dengan keahlian piano yang luar biasa dan wajah tampannya, sering disebut-sebut sebagai “Pangeran Piano”, dan dikenal memiliki rasa harga diri yang tinggi. Tindakan yang ia tunjukkan itu mengejutkan seluruh siswa dan membuat banyak siswi berteriak. Tidak, mungkin hal yang paling mengejutkan adalah... kepala Yushou yang sedang duduk bersujud itu terlihat berkilauan dengan cemerlang.

Rambutnya yang selalu rapi dan mempesona, sehingga membuat para siswi menghela nafas dengan penuh kegelisahan, tiba-tiba menghilang dengan bersih dari kepala Yushou. Selain itu, tampaknya orang yang mencukurnya kurang mahir, karena ada plester yang ditempel di sana-sini, membuat penampilannya terlihat tragis atau mungkin konyol...terus terang saja itu cukup lucu. Wajahnya masih tetap tampan seperti biasa. Sejujurnya, penjelasan dari Touya tentang situasi tersebut masih sulit dimengerti.

Namun, seiring pemahaman yang semakin menyebar luas, suara-suara penuh kemarahan pun mulai bermunculan, terutama dari para siswa yang menderita kerugian dalam insiden tersebut. Kemudian Sumire, yang berada di atas panggung bersama Yushou, tiba-tiba mengeluarkan gunting dan mencoba memotong rambut gulungnya yang indah sebagai “tanggung jawab bersama”. Namun, tindakan itu justru memicu kekacauan lagi, dan beberapa anggota klub kendo wanita menerobos ke atas panggung untuk menghentikannya. Akibatnya, terjadi keributan yang tidak masuk akal yang mengingatkan mereka pada sandiwara pemainan pedang yang baru-baru ini terjadi, tapi…. Berkat teriakan keras Chisaki, semua anggota kendo wanita dipaksa untuk duduk bersimpuh, sehingga keributan tersebut hanya dianggap sebagai lakonan yang dibuat-buat.

Ketika semua siswa tidak tahu apakah harus tertawa atau marah atas kejadian ini, kepala sekolah memberikan hukuman skorsing satu bulan kepada Yushou. Setelah upacara pagi selesai, seluruh siswa membicarakan kejadian itu. Di antara mereka, tentu saja perhatian tertuju pada Masachika, yang diyakini sebagai orang yang menggagalkan konspirasi Yushou.

“Hey Kuze! Apa kejadian pagi ini terjadi karena pertandingan piano saat festival sekolah kemarin ?!”

“Apa kamu benar-benar mengalahkan Pangeran Piano dalam pertandingan piano ?!”

“Bagaimana kamu bisa tahu kalau Kiryuuin adalah pelaku dari kejadian keributan itu?”

Setelah jam pelajaran pertama berakhir, teman sekelasnya mendekati Masachika satu per satu dan ia merasa sangat terganggu. Meski begitu, Masachika menjawab pertanyaan sebisa mungkin untuk menghindari rumor dan spekulasi yang salah.

“Alasan kenapa aku bisa yakin kalau Kiryuuin yang menjadi pelakunya adalah karena jika insiden itu bertujuan untuk menjatuhkan Dewan OSIS saat ini, maka pelakunya pasti akan mencalonkan diri dalam pemilihan ketua OSIS berikutnya. Ada juga kemungkinan bahwa orang yang menyimpan dendam terhadap ketua dan wakil ketua OSIS periode sebelumnya yan melakukan hal ini... Tapi bagaimanapun juga, setelah membuat keributan besar semacam itu, kupikir pelakunya akan mencoba menghubungi Raikoukai untuk memberikan penjelasan. Jadi aku mencari orang yang mendekati ruang tunggu Raikoukai dan menunggunya….”

“Hee~! Jadi, bagaimana kamu bisa membawa masalah ini ke dalam perdebatan?”

“Nah, kalau itu sih rahasia.”

“Ehh~, jangan gitu dong, aku jadi sangat penasaran!”

“Bener banget! Sebenarnya aku ingin tahu yang itu juga!"

Masachika didesak terus-menerus oleh teman sekelasnya, tetapi ada hal-hal yang tidak dapat ia ceritakan... atau lebih tepatnya, hal-hal yang tidak ingin dirinya ceritakan. Oleh karena itu, Masachika dengan senyum masam mengucapkan kata-kata yang menghentikan mereka.

“Ya ampun, yang benar saja, ada hal-hal yang tidak bisa aku ceritakan mengenai Raikoukai.”

Setelah mendengar balasannya, ekspresi teman-teman sekelasnya yang sebelumnya antusias langsung berubah menjadi “ugh”.

“Ah, jadi begitu ya...”

“Jika kamu mengatakannya seperti itu...”

Ada alasan mengapa mereka semua memiliki ekspresi yang sulit dijelaskan. Pada hari festival Shureisai, perintah untuk menjaga kerahasiaan segera diberlakukan setelah kejadian. Hal ini dilakukan oleh para anggota Raikoukai yang hadir di festival Shureisai.

Walau begitu, meskipun tidak ada yang diucapkan secara terbuka, beberapa orang dari luar sekolah membagikan video dan gambar tentang insiden tersebut di media sosial. Namun, postingan-postingan tersebut langsung dihapus kurang dari satu menit setelah diunggah. Bahkan akun-akun pengunggahnya pun dihapus. Di media, hanya ada berita singkat yang menyebutkan “Orang mencurigakan masuk ke dalam festival Shureisai dan ditangkap oleh petugas keamanan”, yang mana hal itu tidak sesuai dengan skala kejadian yang sebenarnya. Berita yang singkat dan seolah-olah pelaku segera ditangkap tersebut tidak menarik perhatian banyak orang dan diabaikan begitu saja dari kalangan publik….. Bahkan para siswa Akademi Seirei yang mengetahui seberapa menakutkannya organisasi Raikoukai, hanya bisa berkata dengan serius, “Eh, nyeremin banget.”

Ngomong-ngomong, meskipun polisi dan lainnya tidak terlibat dalam kejadian tersebut... para perusuh yang dibawa ke ruang Komite Kedisiplinan tiba-tiba menghilang tanpa jejak. Mungkin lebih baik tidak mencari tahu kemana mereka pergi atau apa yang mereka alami.

“Ada teori konspirasi lama yang mengatakan bahwa ada organisasi rahasia yang mengendalikan sebuah negara di balik layar... Aku mulai merasa kalau Raikoukai mungkin adalah salah satunya.”

“Yah, itu sebenarnya bukan organisasi rahasia sih... Tapi aku benar-benar merasakan bahwa semua orang yang berkuasa berkumpul di sana.”

“Sebenarnya, Kiryuuin cukup beruntung hanya dihukum skorsing selama sebulan.”

“Itu mungkin karena kampanye pemilihan... Tidak, bukannya itu lebih seperti pengampunan?”

Teman sekelas berbicara dengan rasa takut campur aduk. Sambil menghadapinya dengan senyuman pahit, Masachika melirik ke belakang ruang kelas... Di sana, kerumunan lainnya telah terbentuk.

“Pertunjukan konser tempo hari sungguh luar biasa sekali! Hei, ada rekaman suaranya enggak? Orang-orang dari kelas lain juga ingin memilikinya, tau.”

“Oh, rekaman suara? Ahh~ aku tidak memikirkannya...”

“Kami punya rekaman untuk latihan, tapi yang direkam di atas panggung sepertinya tidak ada.”

“““““Ehh!””””

Mereka disambut dengan suara kekecewaan, Takeshi dan Hikaru menunjukkan ekspresi sedikit kesulitan tetapi dengan wajah bangga.

“Kujou-san, meskipun ini sudah terlalu telat, terima kasih telah memberi tahu kami saat kejadian petasan itu. Aku juga hampir panik, tapi kamu sangat dapat diandalkan.”

“Oh? Kalau begitu... syukurlah.”

“Ahh, padahal aku ingin melihat kostum Elf Kujou-san lagi....”

“Oh, itu sih... hanya terbatas untuk saat itu saja...”

“Ehhh~, sayang sekali~.”

“Kostum band-nya juga keren banget! Meski aku melihatnya dari jauh... Di mana kamu membelinya?”

“Kostum itu diproduksi oleh Nonoa-san, jadi aku tidak terlalu tahu...”

Di tengah-tengah pandangan yang campur aduk antara rasa kagum dan keakraban, Alisa tersenyum sedikit canggung.

Saat mereka menatap ke arah Alisa, guru untuk jam pelajaran kedua masuk ke dalam kelas dan para siswa yang berkumpul akhirnya kembali ke tempat duduk masing-masing dengan enggan. Pada saat yang sama, Alisa juga kembali ke tempat duduknya.

“Kerja bagus.”

Ketika Masachika memberikan senyum yang sedikit lelah pada Alisa, dia mengangguk dengan sedikit cemas dan membiarkan matanya melihat ke sekeliling.

“... Kamu juga.”

Masachika tertawa masam pada Alisa, yang mengucapkan kata-kata itu dengan suara pelan, dan kemudian duduk di kursinya seraya menghadap ke depan.

(Ahh….. kelihatannya dia masih kepikiran tentang festival kemarin. Yah, ketegangan festival sekolah kemarin... lumayan besar.)

Setelah memikirkan hal tersebut, Masachika pun menggelengkan kepalanya untuk mengusir kejadian yang hampir diingatnya dan mulai fokus pada pelajaran.

Namun, selama pelajaran berlangsung, perhatian Masachika tetap tertuju pada sekitarnya dan membuatnya merasa tidak nyaman.

(Ugh... Meskipun kita berdua menjadi terkenal melalui festival sekolah ini, tapi rasanya lebih melelahkan daripada yang aku pikirkan...)

Jika hanya memikirkan kampanye pemilu, situasi saat ini adalah seperti impian yang menjadi kenyataan. Awalnya, alasan utama mengapa Masachika membujuk Alisa untuk bergabung dengan sebuah band ialah sebagai bagian dari upaya perubahan citranya dan peningkatan kemampuan sosialnya. Pada kenyataannya, setelah festival sekolah, pandangan orang-orang terhadap Alisa mulai berubah. Sebelumnya, dia hanya dijauhi dan dipandang dari kejauhan sebagai sosok penyendiri, tetapi sekarang dia dikelilingi oleh orang-orang yang ingin mendekatinya. Dan Alisa sendiri, meskipun agak bingung, menunjukkan sikap yang responsif terhadap hal tersebut.

(Jika hanya melihat hasilnya saja, ini merupakan keberhasilan yang besar... Tapi, masalahnya adalah aku juga mendapat banyak perhatian dari mereka.)

Sebenarnya, bahkan sekarang, justru Masachika lah yang lebih sering menjadi bahan perbincangan. Hal tersebut bukan dalam arti negatif, jadi dalam konteks kampanye pemilihan, itu merupakan hal yang baik... Namun, tetap saja, dirinya masih merasa tidak nyaman.

(Yah, mungkin itu cuma topik pembicaraan sementara di pagi tadi. Jika penjelasanku tadi tersebar, semuanya akan kembali normal...)

Atau begitulah yang Masachika pikirkan. Namun, pemikiran itu ternyata salah.

“Eh, apa benar kalau kamu menendang petasan yang dilemparkan ke arah Kujou-san dengan tendangan lompat?”

“Kuze-kun, tak kusangka kamu sangat pandai bermain piano. Dari mana kamu belajar?”

“Ngomong-ngomong, apa yang terjadi dengan orang-orang yang mengganggu festival sekolah?”

“Yang lebih penting lagi, aku ingin mendengar cerita tentang pertandingan kuis!”

Setiap kali ada jeda istirahat, orang-orang terus berdatangan dan bertanya, bertanya, dan terus bertanya. Pandangan iri dan pujian yang ditujukan padanya. Akibatnya, bahkan saat istirahat, pikirannya tidak bisa tenang sama sekali. Ketika akhirnya tiba waktu istirahat siang...

“Aaaahhh~”

Masachika ditemukan terbaring lesu di ruang OSIS, di mana tidak ada orang lain di sana.

“Ughh~~~~~hmm~~~~~~”

Masachika berbaring telungkup di atas sofa, menggeliat-geliatkan tubuhnya sambil mengeluarkan suara aneh. Di mana pun itu berada, ia orang yang lumayan memalukan dan cukup berbahaya.

Memanfaatkan kesempatan bahwa dirinya sedang sendirian di ruangan OSIS, Masachika yang sedang berguling-guling dengan bebas tiba-tiba berhenti dan bergumam.

“...aku terlalu bersemangat.”

Ucapan itu keluar dari mulutnya yang penuh penyesalan dan rasa malu.

Tindakannya pada festival sekolah tempo hari, yang dibicarakan oleh orang-orang di sekitarnya sebagai kisah kepahlawanan, semuanya telah menjadi setengah sejarah hitam bagi Masachika. Suasana hatinya yang sekarang adalah “Jangan lihat. Jangan bicarakan. Tolong tinggalkan aku sendirian.”

(... Menendang petasan di atas panggung. Meninju wajah para berandalan. Dan ditambah lagi ...)

Masachika mengingat kembali percakapannya dengan Yushou, di mana dirinya menunjukkan gerakan dramatis dengan sikap santai. Dirinya merasa sangat malu dan tiba-tiba meronta-ronta dengan perasaan malu yang mendalam.

(Ugh, ughooooooooooooooooo….Aku akan mati ... Benar-benar mati ...)

Kabar baiknya adalah, selain acara di atas panggung di halaman sekolah dan aula, hanya ada sedikit saksi mata yang menyaksikannya.

Gerakan dramatis yang memalukan yang dilakukan oleh Masachika untuk menggoda Yushou tidak diketahui oleh orang lain selain Yushou. Karena ia berpikir Yushou takkan menceritakan hal itu pada orang lain, percakapan itu adalah hal paling memalukan bagi Masachika dan tidak akan diketahui oleh siapa pun lagi.

Meskipun beberapa orang menyaksikan Masachika menghajar para berandalan dengan tinju, tetapi kejadian itu tidak terlalu penting karena perbuatan brutal teman-teman Nonoa yang mengikuti setelahnya lebih menonjol. Yang paling banyak diperbincangkan tentang Masachika adalah aksi akrobatiknya yang menendang petasan dan pertandingan piano. Meskipun Masachika tidak merasa malu tentang dua hal ini, tapi ketika orang lain membicarakannya….. dirinya selalu teringat akan perilaku konyolnya sebelum dan sesudah kejadian itu.

(Tidak, aku paham, kok? Tidak ada yang menganggap kalau itu kejadian yang memalukan, dan pada dasarnya tidak begitu banyak orang yang tahu tentang itu. Tapi tetap sajaaaaaaaaaaaa~~~~~~~~)

Masachika adalah tipe orang yang jika memiliki pengalaman baik dan buruk terjadi pada saat yang bersamaan, kenangan buruk tersebut akan lebih menonjol. Sama seperti sebelumnya, ia telah memperlakukan kenangannya tentang Ma-chan sebagai kenangan buruk, dan hanya menyisakan ucapan selamat tinggal yang menyedihkan. Kali ini pun, ia mengalami situasi yang sama persis.

(Ugh…Kalau dipikir-pikir lagi, semua hal yang aku lakukan kepada Shiratori dan kejutan yang aku berikan pada Alya juga terlihat sangat memalukan)

Setelah memikirkan hal tersebut, itu menjadi rantai kesialan yang lengkap. Wajah menangis Nao terlintas di pikirannya. Dan senyum nakal Alisa dan lembah yang mempesona…..

“Guhaaaa!!!”

Masachika mulai menggerakkan pinggulnya lagi saat kenangan yang sangat tidak menyenangkan kembali menghantuinya. Meski begitu, bertentangan dengan keinginan Masachika, kenangan yang telah tertanam kuat di otaknya secara otomatis diputar ulang dalam reaksi berantai.

Sentuhan lembut tubuh Alisa dalam pelukannya. Dengan senyum mempesona yang hampir merenggut hati, dia menunjukkan kepada Masachika dua gunung kenyal nan lembut dan bergoyang-goyang──

“Nnnngh!”

Masachika membenturkan dahinya ke sofa dan memaksa otaknya untuk tidak mengingat itu lagi. Namun, meski dirinya berbuat begitu, kenangan yang terukir di dalam panca inderanya tidak akan hilang begitu saja.

(Yah, habisnya, Alya kelihatan sangat cantik dan aromanya juga sangat harum. Ditambah lagi, payudaranya benar-benar menekan kepadaku! Tapi aku merasa sangat tidak enak ketika melihat wajahnya yang sulit dipahami dan suasana hatinya sedang sangat baik, lalu aku tidak tahan dengan diriku yang mempunyai motif tersembunyi. Tapi payudaranya sangat besar dan dia benar-benar merangkulku dengan lembut ... Tapi sepertinya Alya tidak menyadarinya saat dia menarik bajunya dan aku sempat melihat sebentarrrrrrrrr!)

Setelah menggeliat-geliat karena hal yang berbeda dari sebelumnya, Masachika kemudian bergumam di dalam kepalanya.

(Haa…. Aku jadi ingin ada seseorang yang memujiku karena tetap mempertahankan akal sehat dalam situasi seperti itu ...)

[Apa biar aku saja yang memujimu?]

(Pergilah sana, dasar setan bodoh!)

Masachika menampar setan kecil yang muncul tiba-tiba di pikirannya. Setan itu menghilang menjadi asap. Namun, asap segera berkumpul dan setan itu hidup kembali.

[Setan tidak akan mati ~♪]

(Mengganggu sekali~)

Sambil merasa kesal karena setan kecil itu pergi sambil tertawa cekikikan, Masachika menghela nafas dalam-dalam dan melemah.

Meskipun ia berhasil keluar dari spiral negatif dengan kenangan yang mengejutkan, situasinya tidak berubah sama sekali. Jika ia keluar dari sini, dirinya akan diperhatikan oleh siswa yang lewat dengan rasa ingin tahu. Ketika memikirkannya, Masachika menjadi depresi lagi.

(Ah ... Sekarang aku mengerti. Sebenarnya, aku tidak suka menjadi pusat perhatian.)

Meskipun Masachika samar-samar sudah menyadari hal itu sejak lama, alasan mendasar mengapa ia menjadi wakil ketua yang berada di balik layar selama masa SMP mungkin terletak di sana. Karena ia merasa dirinya sebagai orang yang jahat, jadi ia merasa tidak nyaman ketika  menjadi pusat perhatian karena merasa perhatian itu akan mengungkapkan sifat aslinya. Itulah sebabnya Masachika berusaha untuk tidak menarik perhatian dan bergerak di balik layar…..

(Namun, karena aku sudah berjanji untuk mendukung Alya di sampingnya, aku harus terbiasa dengan hal-hal seperti ini ...)

Masachika sendiri sudah memutuskan untuk siap berdiri di depan umum dalam pemilihan kali ini. Karena Alisa membutuhkan seseorang yang akan mendukungnya di sampingnya, yang berbeda dari Yuki yang memiliki kualitas sebagai ketua OSIS…..

──Apa benar seperti itu?

Suara keraguan muncul di dalam pikiran Masachika. Yang muncul di dalam benaknya adalah banyak aksi pemberani yang ditunjukkan oleh Alisa akhir-akhir ini.

Mengingat penampilannya saat bertanding kuis, sikap bangga yang dia tunjukkan untuk berdiri sendiri. Penampilannya yang diakui oleh teman-temannya sebagai pemimpin band. Penampilannya saat memimpin di atas panggung untuk menenangkan keributan petasan. Dan kemudian ... baru saja, dia tersenyum canggung saat orang-orang yang menyerbu datang untuk mendekatinya.

Ketika mengingat semua itu, Masachika merasa ada sebuah firasat di dalam dirinya.Ia merasakannya bahkan pada saat festival sekolah. Yaitu ...

(Mungkin hari dimana Alya tidak membutuhkanku lagi sudah lebih dekat dari yang aku duga ...)

Setidaknya, dia mungkin tidak lagi membutuhkan dukungan setiap kali ada sesuatu seperti dulu. Kecepatan pertumbuhan Alisa telah melebihi imajinasi Masachika. Mungkin karena ia terlalu protektif, sehingga dirinya membatasi lingkaran pertemanan Alisa──

“Lah, malah mencari-cari alasan untuk melupakan tugas hanya karena merasa kasihan pada diri sendiri, bukannya itu akan membuatku menjadi sampah?”

Setelah mengingatkan dirinya sendiri dengan keras, Masachika bangkit dengan semangat. Ia duduk kembali di sofa dan melihat jam dinding di ruangan itu, menyadari bahwa waktu istirahat sudah hampir berakhir.

“Ah ...”

Karena dirinya tidak membawa bekal hari ini, jadi ia harus pergi ke toko atau kantin sekolah jika ingin makan siang. Namun demikian, membayangkan kemungkinan dikelilingi oleh banyak orang lagi, membuat Masachika merasa enggan untuk pergi.

(... Yah, aku juga tidak terlalu lapar, jadi mungkin aku bisa melewatkan makan siang ... Bagaimanapun juga, waktunya lumayan mepet jika aku pergi sekarang)

Sambil memikirkan hal itu dengan keadaan linglung, tiba-tiba pintu ruang OSIS terbuka dengan keras. Tanpa terlalu terkejut, Masachika menatap pintu dengan wajah tidak bersemangat ... dan bertemu dengan wajah Maria yang membuka pintu. Seketika itu juga, Maria tersenyum dengan cerah.

(Wow, senyumnya begitu indah)

Ketika Masachika tanpa sadar memicingkan matanya, Maria mendekatinya dengan cepat dan menempatkan dokumen yang dia pegang di atas meja, lalu duduk di sofa dan menatap Masachika dengan pandangan penuh kasih sayang.

“Apa Sa-kun yang sedang galau sedang ada di sini?”

“Apa kamu seorang Bunda Maria yang asli?”

Ketika Maria mulai mengatakan sesuatu seperti seorang biarawati, Masachika menegurnya dengan nada datar. Maria duduk di samping Masachika dan membuka kedua tangannya tanpa berkata apa-apa. Pada saat itu juga, kenangan yang kuat tentang kekuatan penghancur aura keibuan muncul di benak Masachika.

“... Tidak, bahkan jika kamu mengambil pose seperti itu, aku tidak akan datang atau membiarkanmu datang, oke?”

Masachika menunjukkan kewaspadaan dengan menunjukkan kedua tangan di depan dadanya untuk menahan Maria…..Alhasil, Maria menurunkan alisnya dengan wajah sedih.

“... Kuze-kun, apa kamu tidak suka berciuman pipi denganku?”

“Hah? A-Ahh ya, ciuman di pipi ... ciuman di pipi ya.”

Ekspresi sedih Maria menimbulkan rasa bersalah, ditambah dengan rasa malu karena salah memahaminya, membuat Masachika menurunkan tangannya dengan ekspresi canggung. Masachika tidak bisa menatap wajah Maria secara langsung karena merasa bersalah, jadi ia memalingkan wajahnya——dan begitu Masachika sedang lengah, tiba-tiba Maria bergerak.

“Hah?”

Masachika merasa lengan Maria melilit leher dan kepalanya ... tapi kemudian dirinya ditarik ke depan, dan pita seragam Maria muncul di depan matanya.

“?!?!?”

“Cup, cup, cup, apa yang terjadi?”

Sebuah pertanyaan lembut datang dari atas kepalanya, tapi Masachika tidak punya waktu untuk menjawabnya.

(Bukannya kamu bilang ciuman di pipi! Kamu sendiri yang bilang ciuman di pipi! Dasar pembohong!!!)

Masachika memprotes di dalam kepalanya, tapi ia tidak bisa mengatakannya dengan lantang. Karena ada sesuatu yang lembut menutupi hidungnya dan mulutnya. Dirinya bahkan tidak bisa bernapas, apalagi untuk berbicara. Tidak, bukannya berarti ia tidak bisa bernapas secara fisik, tetapi secara mental ia tidak bisa bernapas.

Karena jika Masachika mengambil napas melalui hidungnya dalam situasi ini, dirinya terlihat seperti sedang mengendus, dan itu terlihat seperti perilaku cabul. Jika dirinya memuntahkan napas, itu akan menjadi tindakan cabul untuk menghembuskan napas kasar ke arah wanita dalam jarak dekat. Jika dirinya bernapas melalui mulut ... hal tersebut akan terlihat seperti dirinya sedang menghisap sesuatu dan itu tetap saja terlihat cabul ... pada akhirnya,

(Bagaimana caranya bernapas di situasi ini~ ...? Bernapas melalui kulit? Apa aku harus bernapas melalui kulit?)

Hanya itu kesimpulan yang bisa diambil.

Ketika Masachika menepuk-nepuk bahu Maria untuk memberitahu bahwa ia kesulitan bernapas, tapi Maria justru tidak merespons. Sementara itu, oksigen di dalam otak Masachika mulai menipis──

(Padahal aku sudah menepuknya berkali-kali ... kurasa apa boleh buat. Itu karena payudara Masha-san yang bergoyang-goyang. Ahh, jadi ini ya yang namanya kebahagiaan hidup dan kematian yang berdampingan ...)

Dan kemudian, Masachika kehilangan kesadaran──

“Baiklah, selanjutnya lumpia ini. Ahh~n ...”

“Ahh ... mmm ...”

“Enak?”

“... Ya, rasanya enak.”

Masachika terkejut saat menyadari bahwa dirinya sedang disuapi makan oleh Maria. Dan dia juga menyuapi makan dengan cara “ahh~n”.

“Kenapa??”

“Hah?”

“Hah? Eh? Kenapa malah jadi begini??”

“Kamu tanya kenapa…. Kuze-kun, karena kamu kelihatan lapar jadi aku membagikan makanan siap saji ini denganmu. Ini adalah satu-satunya sumpit yang ada, jadi aku memberimu makanan dengan ini.”

“…Dan aku setuju dengan itu?”

“Kamu mengangguk dengan jelas, kok?”

“Serius ...?”

Hal itu sulit dipercaya. Namun, kenyataannya, Masachika baru saja disuapi makan oleh Maria tanpa perlawanan. Dan ketika dirinya melihat kotak makan siang Maria, setengah dari isinya memang sudah habis.

(Apa maksudnya ini ... apa yang terjadi? Apa aku kehilangan ingatan?..... Apa aku mengalami kemunduran menjadi bayi sementara karena terpesona oleh kemolekan Masha-san? Sungguh kekuatan keibuan yang menakutkan ...)

Sambil gemetar karena ketakutan, Masachika kembali mendengar,

“Baik, ayo ahh~n.”

Mulutnya terbuka dengan sendirinya ketika disodori sumpit. Masachika lalu mengunyah dan menelannya.

“Enak?”

“Ya, rasanya enak sekali.”

Dirinya sudah dilatih dengan sempurna.

“Tidak, bukan itu!”

“Kyaaa, apa yang terjadi?”

“Aku bahkan tidak tahu apa yang terjadi pada diriku sendiri ...”

Ketika Masachika menunduk dengan lelah, Maria berkedip beberapa kali dan mengangguk dengan wajah yang penuh pengertian.

“Filosofi, ya?”

“Tidak, aku sangat terkejut.”

“Memang benar kalau sekolah kita ini adalah sekolah campuran* ...” (TN: Jawaban Masachika tadi ‘é©šæ„•/Kyougaku’ yang artinya terkejut, kaget, dan sebagainya. Sedangkan Maria mengira itu maksudnya ‘共学/Kyougaku’ yang artinya sekolah campuran. Beda kanji tapi cara pengucapannya sama.)

“Bukan tentang itu.”

“... Bahasa Jepang tuh memang sulit, ya.”

“Tapi ini bukan masalah bahasa ...”

“Sekarang, ahh~n.”

“Apa kamu sudah menganggap kalau sudah terlalu merepotkan untuk berpikir?”

Meskipun Masachika menatapnya dengan mata tajam, tapi Maria tetap menyodorkan sumpit ke mulutnya. Ia lalu mengunyah dan menelannya.

“Enak?”

“Rasanya sangat enak, tapi…uhmm, aku sudah cukup kenyang sekarang.”

“Ehh~ kenapa? Kamu ‘kan anak cowok, jadi ayo makan lebih banyak lagi.”

“Habisnya, bukannya nanti bagian Masha-san akan habis?”

“Hmm~? Tidak apa-apa, kok~. Aku sudah merasa bahagia dan kenyang hanya dengan melakukan ini.”

Maria tertawa polos saat dia mengatakan itu, dan Masachika memalingkan wajahnya dengan cepat.

(Ba-Bagaimana dia bisa mengatakan hal yang memalukan semudah itu ...)

Masachika merasakan sensasi geli di seluruh tubuhnya dan menggaruk lengannya sambil mengecilkan bahunya. Kemudian, sumpit itu masih disodorkan kepadanya.

“Ayo, ahh~n.”

“Tidak, aku benar-benar sudah cukup kenyang sekarang ... Aku juga merasa kenyang dalam arti lain.”

“Eh~? Masa~?Bukannya kamu hanya merasa sungkan saja?”

“Tidak sama sekali. Terima kasih banyak atas makanannya. Sisa makanannya silakan dimakan oleh Masha-san.”

Masachika meletakkan tangannya di depan sumpit yang disodorkan dan dengan tegas menolaknya, dan Maria menariknya kembali dengan ekspresi sedikit tidak puas di wajahnya. Kemudian, dia berkedip-kedip seolah tiba-tiba memikirkan sesuatu, lalu tersenyum dan menyerahkan kotak bento itu kepada Masachika.

“Kalau begitu, sebagai gantinya, kali ini biar Kuze-kun yang akan menyuapiku makan, ya?”

“Hah?”

“Sebagai ucapan terima kasih untuk makanannya, kali ini giliran Kuze-kun yang menyuapiku dengan ‘Ahh~n’, oke?”

Setelah mengatakan itu, dia menempatkan kotak makan siang dan sumpit di atas pangkuan Masachika, Maria lalu membungkuk ke depan dan menutup mata kecilnya sambil membuka mulutnya.

"Ya, Ahh~n.”

“Hw-Hweh? Se-Serius?”

“Ahh~n.”

Tanpa memedulikan kegelisahan Masachika, Maria tetap menunggunya.

(Tidak, saling melakukan suapan ‘Ahh~n’ terlihat mirip seperti sepasang kekasih yang bodoh ... atau lebih tepatnya, bukannya kami sudah melakukan ciuman tidak langsung sekarang!!?)

Setelah berpikir seperti itu, Masachika kembali melihat wajah Maria yang menghadapnya dengan mata terpejam dan menelan ludah. Bulu matanya yang panjang dan lentik. Pipi yang terlihat lembut dan penuh dengan kesan kekanak-kanakan dan kedewasaan.

“Hm?”

“!”

Pada saat itu, Maria membuka matanya seakan-akan sedang mengintip, Masachika sedikit mundur.

Meski dari kejauhan mata Maria terlihat berwarna cokelat muda, tetapi dari jika dilihat dari dekat, pupil matanya bersinar dengan warna hijau dan biru. Hati Masachika bergejolak dengan aneh saat menatap matanya.

“!!”

Seakan-akan ingin menghindari tatapan Maria yang menatapnya, Masachika mengambil tomat ceri dengan sumpit dan menyodorkannya ke arah Maria sambil menggunakan tangan kirinya sebagai penadah.

“A-Ahh~n.”

“Ahh~n.”

Saat Masachika dengan canggung mengulurkan tomat mini dan mencoba memasukkannya ke dalam mulut Maria──

“Ah!”

Tomat mini itu jatuh dengan mulus di antara sumpit dan bibir Maria, lalu jatuh ke tangan kiri Masachika.

Masachika cepat-cepat menghentikan tomat mini yang hendak menggelinding ke sofa dengan menangkupkan tangannya. Kemudian, Maria mengangkat tangannya dari bawah dan membenamkan mulutnya sendiri di sana.

“Hugh!?”

Maria memakan tomat mini yang jatuh di tangan Masachika, dan bibirnya menyentuh telapak tangan Masachika saat dia melakukan itu.

Hanya sekejap. Jika dikatakan hanya khayalan saja, tapi ada sesuatu yang membuat Masachika merinding di tulang belakangnya. Entah dia sadar akan reaksi Masachika atau tidak, Maria tersenyum malu-malu sambil mengunyah tomat mini.

“Nfufufu~, rasanya sedikit tidak sopan ya.”

Masachika tanpa berkata apa-apa langsung menyerahkan sumpit dan kotak makan siang kepada Maria yang tersenyum malu-malu menelan tomat mini tadi.

“Umm, silahkan, Masha-san bisa menikmati sisanya sendiri.”

“Ehh~ kenapa?”

“Tidak, mohon maafkan aku.”

Setelah melihat Masachika yang menggelengkan kepalanya dengan tegas, Maria sepertinya telah merasakan sesuatu, dia lalu mengambil sumpit dan kotak makan tanpa berkata apa pun, kemudian duduk kembali dengan wajah menghadap ke depan. Ketika pandangan Maria tidak lagi tertuju padanya, Masachika merasa lega dalam hatinya──

“...Uhmm….”

“Ada apa~?”

“...Bukannya duduk Masha-san terlalu dekat?”

Meskipun ia bertanya dengan bentuk pertanyaan, kenyataannya mereka benar-benar terlalu dekat. Lengan dan kaki mereka sudah saling bersentuhan.

“Karena sepertinya Kuze-kun sedang merasa sedih, jadi kupikir aku akan mencoba membuatmu tenang dengan sedikit kontak fisik.”

“Yahh, mungkin itu justru tidak akan membuatku tenang.”

Sebaliknya, Masachika justru semakin khawatir. Bisa dibilang ia tidak punya waktu untuk merasa sedih berkat hal tersebut.

“...Apa kamu merasa berdebar-debar?”

“Eh, ah, yahh...”

Masachika berpikir dalam hati, “Mengapa dia sangat peka dalam situasi seperti ini?” sambil mengalihkan pandangannya. Kemudian, Maria, yang sudah menatap wajah Masachika dengan penuh perhatian, mulai tersenyum lebar.

“Begitu ya, syukurlah. Aku juga sangat berdebar-debar, tau.”

“E-Ehh~? Benarkah?”

Masachika tanpa sadari mengungkapkan keraguan dalam suaranya, dan Maria yang terlihat seperti anak kecil menggembungkan pipinya dengan kesal.

“Benar lho... Mau coba buktikan?”

“Hah?”

Mau coba membuktikannya ...? Memastikan apakah dia merasa berdebar-debar. Apa maksudnya itu…?

“Ca-Caranya?”

Tanpa sadar, Masachika mengeluarkan kata-kata itu. Kemudian, harapan dan penyesalan muncul secara bersamaan dan membuat Masachika ingin memukul keras kepalanya. Namun, kata-kata yang telah terucap tidak bisa ditarik kembali begitu saja. Di hadapan Masachika yang terlihat gelisah—— Maria berbalik dan menunjukkan punggungnya.

“Hmm?”

“Ini, silakan?”

“??”

“Coba dengarkan detak jantungku.”

“.......Ahh~.”

Setelah beberapa detik terdiam, Masachika akhirnya mengerti.

(Ah, begitu rupanya. Jika mempunyai ukuran sebesar Masha-san, mendengarkan detak jantung dari belakang lebih mudah didengarkan daripada dari depan, ya ... Ahahaha!)

Dengan tawa palsu yang bergema di otaknya, Masachika langsung jatuh ke sampingnya. Dengan menggunakan sandaran lengan sofa sebagai bantal, ia meringkuk di sofa sambil memegangi lututnya.

(Aku jadi ingin mati saja...)

Apa yang sebenarnya ia harapkan? Ia merasa malu dengan pemikiran kotor yang tidak bisa dijaga.

“Kuze-kun? Ehh~ ada apa? Jangan tidur setelah makan ... Etto, hewan ternak? Kalau kamu tidur setelah makan, kamu akan menjadi hewan ternak, loh?”

“Hewan ternak apanya.”

“Hehehe, aku penasaran akan berubah jadi yang mana, babi atau sapi?"

“....Umumnya sih menjadi sapi.”

“Benarkah? Kalau begitu,  sapi! Kamu akan menjadi sapi dan aku akan memeliharamu, oke?”

“Mengapa kamu tiba-tiba berubah menjadi ratu sadis? Tidak, jika kamu ratu, seharusnya kamu memilih babi, mungkin...”

“Hmm? Jika aku ratu, bukannya aku menjadi kucing?”

“Mungkin kamu salah memahami sesuatu.”

Karena itu, Masachika juga bingung untuk menjawab ketika ditanya mengapa yang dipilih malah seekor babi jika dia seorang ratu, jadi Masachika duduk tanpa melanjutkan pertanyaannya. Kemudian, saat ia merebahkan diri di sofa dan sekali lagi terbuai ke dalam kondisi tertidur, Maria, yang telah menghabiskan makanannya, tiba-tiba bertanya.

“Jadi, apa sebenarnya yang membuatmu sedih?”

“!!!”

Tubuh Masachika menegang sejenak pada pertanyaan yang tiba-tiba menyentuh inti permasalahan... kemudian ia menyerah dan menjawab dengan sedikit pasrah.

“Bukan apa-apa... Aku hanya berpikir kalau aku benar-benar seorang karakter antagonis sejati.”

Masachika mengatakan itu sedikit sikap acuh tak acuh, kemudian ia menyadari bahwa penjelasannya kurang memadai dan memberikan penjelasan tambahan.

“Seorang antagonis yang dipenuhi dengan bakat ... sosok yang mengejek usaha sang protagonis. Seseorang yang tidak melakukan usaha apa pun, tidak memiliki gairah khusus, tetapi tetap menjadi karakter yang dibenci karena hasil yang dicapai.”

“... Apa maksudmu tentang debat kemarin?”

“Mungkin termasuk dalam itu juga ....”

“Tapi ... Kuze-kun, kamu juga pasti telah berusaha keras, bukan? Bukannya dulu kamu sering bercerita denganku. Aku masih mengingatnya dengan baik.”

“!”

Ketika disinggung mengenai kenangannya tentang Ma-chan, Masachika tetap memasang wajah datar sejenak ....... tetapi kemudian ia langsung tersenyum sinis.

“Yah, aku memang berusaha untuk disukai oleh orang tuaku, sih.”

“…...”

“Bagiku, entah itu piano, karate, dan belajar, semua itu hanyalah hanyalah alat untuk mencapai tujuan tersebut. Aku melakukannya bukan karena aku menyukainya, dan aku tidak pernah benar-benar berusaha sejauh itu.”

Masachika hanya berlatih dengan tekun seperti yang diajarkan oleh gurunya.

“Tanpa mengalami kesulitan maupun kekhawatiran, hanya mengandalkan bakat untuk mencapai hasil ... bagaimana aku bisa merasa senang dengan pujian orang-orang yang tidak tahu apa-apa?”

Setelah memuntahkan kata-kata sinis tersebut, Masachika langsung menyesalinya. Dirinya tahu bahwa orang-orang di sekitarnya tidak memiliki niat jahat. Itu hanya masalah di pihak Masachika saja yang tidak bisa menerima pujian dengan tulus hati. Apa yang ia katakan tadi hanyalah ejekan.

“Apakah mengalami kesulitan dan penderitaan….baru dinamakan sebagai upaya keras?”

Sebuah pertanyaan pelan dari Maria terdengar di telinga Masachika, yang sedang dilanda penyesalan. Dengan sedikit mengerutkan keningnya, Masachika menjawab dengan hati-hati.

“... Yah, bukannya itu yang dinamakan dengan upaya yang sesungguhnya? Terus berusaha maju sambil merenungkan kelemahan dan kekurangan diri sendiri. Bukannya hal tersebut jauh lebih indah?”

“Begitu... jadi Kuze-kun berpikir begitu, ya.”

Setelah mengangguk perlahan, Maria berkata dengan suara cerah.

“Kalau begitu, bukannya Kuze-kun sudah berusaha sangat keras?”

“…Hah?”

Mendengar kata-kata tak terduga itu, Masachika berpikir kasar, “Apa dia bertingkah dungu lagi?” Namun, Maria menatap tajam ke arah tatapan skeptis Masachika dan berkata.

“Karena kamu menderita seperti ini sekarang.”

“!!!”

“Kamu sudah banyak khawatir dan menderita... tapi kamu masih terus bergerak maju, bukan? Untuk mendukung Alya-chan. Bukankah itu yang disebut Kuze-kun sebagai 'usaha nyata'?”

Masachika mencoba untuk menyangkalnya, tetapi tidak ada kata-kata yang keluar. Dengan mulut yang sedikit terbuka, tubuh Masachika membeku saat Maria memeluknya.

“Jangan khawatir. Kamu sudah berusaha keras. Kamu….sudah bekerja sangat keras, Kuze-kun.”

Itulah kata-kata yang pernah diucapkan Maria sebelumnya.

“Jangan khawatir. Suatu hari nanti, kamu akan bisa mencintai dirimu sendiri.”

Seperti biasa, kata-kata yang selalu lembut dan penuh perhatian itu merasuk ke dalam relung hati Masachika. Hatinya tiba-tiba terasa ringan seolah-olah itu adalah kebohongan, dan pikiran yang tak biasa optimis, “Mungkin benar-benar begitu.” muncul di benaknya.

“...Jadi, begitu ya.”

Saat dirinya mengatakan hal itu dengan suara berbisik, Maria melepaskan pelukannya dan tersenyum padanya. Seakan-akan terbujuk oleh senyuman itu, Masachika juga tersenyum tipis. Namun, dibandingkan dengan senyuman Maria, senyuman itu jauh terlihat lebih pahit.

“Entah kenapa, aku benar-benar minta maaf, karena selalu bergantung padamu.”

“Tidak apa-apa, kok? Seperti yang sudah kukatakan sebelumnya, aku ingin memanjakan Kuze-kun karena aku menyukaimu.”

Maria tertawa ringan seolah-olah itu adalah hal yang biasa. Begitu lugu, polos, dan tulus seperti senyum seorang gadis yang tidak tahu apa-apa mengenai kesulitan. Namun, dari sudut pandang Masachika, senyumannya itu terlihat lebih kuat dan dapat diandalkan daripada siapa pun.

“Oleh karena itu, jangan sembunyikan kelemahanmu dariku, ya? Kamu boleh memanjakan dirimu sendiri sesukamu padaku, oke?”

Kata-katanya yang berat dan penuh kebenaran, diiringi dengan senyum seorang gadis yang sedikit terlihat dewasa.

“Jika Alya-chan menarik tanganmu, maka aku akan mendorongmu dari belakang. Karena aku ingin melakukannya begitu.”

Tiba-tiba, senyuman Maria ...... entah bagaimana secara tak terduga tumpang tindih dengan senyuman gadis itu, yang bayangannya tidak pernah bisa Masachika hubungkan.

Seketika itu juga, Masachika merasakan detak jantungnya berdegup kencang dan tidak bisa melepaskan pandangannya dari mata Maria.

(H-Hah? Apa ini? Jangan-jangan... tidak, tidak, itu sama sekali tidak benar, ‘kan?)

Meskipun Masachika mencoba menolak dengan pikirannya, namun hati dan tubuhnya memberitahukan kebenaran. Perasaan yang sama seperti yang pernah dirasakannya kepada Alisa beberapa bulan yang lalu... dan perasaan yang pernah dirasakan kepada gadis itu beberapa tahun yang lalu.

(Enggak, enggak, enggak, seriusan nih oi, bukannya itu terlalu tidak konsisten? Tidak, karena Masha-san = Ma-chan, jadi itu bisa dianggap sebagai satu cinta...?)

Masachika terkejut dengan fakta bahwa ia secara alami menerima pola pikir bahwa [Masha-san = Ma-chan]. Ia tidak tahu alasannya. Namun, pada saat ini, Masachika merasa bersatu kembali dengan ‘gadis itu’ untuk pertama kalinya.

Sosok Maria yang ada di depannya sangat berbeda dengan gadis yang ada di dalam kenangan Masachika. Namun... pada saat ini, Masachika mulai tidak bisa membayangkan kalau mereka sebagai orang yang berbeda.

(Eh, ahh…. seriusan...?)

Sesuatu yang besar dan asing mulai tumbuh di dalam hatinya. Masachika secara naluriah merasa takut pada perasaan asing tersebut.  

Perasaannya terhadap gadis itu…. perasaannya kepada Ma-chan baru saja berakhir beberapa waktu lalu. Jadi, dirinya berpikir bahwa gadis itu sudah menjadi masa lalu dan perasaannya tidak akan kembali seperti dulu... namun ternyata dirinya salah.

Jika ada yang namanya perpisahan, maka ada pertemuan kembali. Karena Masachika sudah bisa menghadapinya dengan baik dan menyelesaikan masalah, maka ada beberapa kenangan yang bisa diingat kembali.

Perasaan yang selama ini dianggap hilang, kini tiba-tiba kembali muncul dengan sangat jelas sehingga Masachika tidak bisa memahami mengapa perasaan itu hilang begitu saja.

(Ya, maaf. Aku terlalu meremehkan cinta pertamaku.)

Maria menambahkan sedikit kejahilan pada senyumnya ketika Masachika terus-menerus disibukkan oleh perasaannya sendiri.

“Tapi, yahh~? Jika Kuze-kun masih khawatir tentang itu… Sebagai ucapan terima kasih, bagaimana jika aku memintamu untuk memberiku ciuman di pipi?”

“Eh?”

“Sejauh ini, Kuze-kun belum pernah memberiku ciuman di pipi, ‘kan? Itulah sebabnya, oke?”

Segera setelah mengatakan itu, Maria langsung mengambil posisi 'menunggu' dengan kedua tangan yang terbuka. Pipi Masachika berkedut keras di hadapan Maria, yang matanya berbinar-binar penuh kegembiraan dan antisipasi seperti anak kecil.

(Ke-Kenapa harus sekarang? Jika aku memberikan ciuman di pipinya sekarang... Aku merasa ada sesuatu yang akan meluap keluar!)

Situasi ini sangat tidak menguntungkan. Jika Masachika membiarkan dirinya terbawa suasana sebelum ia bisa mengatur perasaannya, ia khawatir…. Dirinya akan hanyut oleh sesuatu yang panas, sesuatu yang ingin membuatnya menangis atau berteriak, dan ia akan melakukan sesuatu yang tidak semestinya.

(Namun, jika aku melarikan diri sekarang... Pasti ada sesuatu, sesuatu yang bisa dilakukan untuk menyiasati...)

Di tengah kekacauan emosinya, Masachika berusaha keras untuk memikirkan cara untuk keluar dari situasi ini…. dan tiba-tiba teringat dengan kejadian beberapa saat yang lalu.

(Ah, itu dia!)

Dengan ide aneh yang muncul tiba-tiba, Masachika mencoba untuk tetap serius dan berkata,

“Baiklah, aku mengerti... ciuman di pipi ya?”

“Ya.”

“Baiklah, kalau begitu.”

Setelah mengangguk dengan serius, Masachika sedikit bangkit dari sofa…. lalu memeluk kepala Maria dengan kedua lengannya, dan memeluknya erat-erat ke dadanya.

(Ah, gawat. Yang begini juga sama...)

Masachika langsung merasa panik karena dirinya seperti hendak berteriak “Aku merindukanmu, Ma-chan!”. Namun, ia berhasil menahan dorongannya dan melepaskan pelukan itu setelah lima detik.

“Apa kamu mengira aku akan memberikanmu ciuman di pipi? Haha, itu hanya balasan dari sebelumnya, kok...”

Sambil tersenyum dengan ekspresi yang tampak puas, Masachika lalu menatap Maria ….. dan melihat bahwa wajahnya terlihat memerah sampai ke telinga, hal itu membuat Masachika membeku.

Senyum penuh harap yang dimiliki Maria beberapa saat yang lalu telah hilang, diganti dengan ekspresi kosong tanpa emosi. Mata cokelatnya yang besar terbuka lebar dan dia berkedip berulang kali sambil menatap ke bawah. Meskipun begitu, uap panas tampak mengepul dari wajahnya yang memerah.

“Uh, ehm...”

“!!”

Ketika melihat reaksi tak terduga, Masachika hendak berbicara dengan senyuman yang mengeras di wajahnya, dan Maria tersentak kaget.

“Uh, ya, ehm...”

Dia kemudian sibuk memasukkan kotak makan siang ke dalam tas tangan sambil mengeluarkan suara yang tidak jelas. Setelah itu dia berdiri dan berkata,

“Ka-Kalau begitu, aku mau kembali ke kelasku dulu sekarang, ya?”

“Ah ya, baiklah.”

“Uh-huh, sampai jumpa.”

Setelah mengatakan hal yang sama dua kali sambil melihat ke arah yang salah, Maria berjalan ke pintu yang mengarah ke lorong. Tapi kemudian dia mencoba membuka pintu tanpa memutar gagang dan tentu saja terpental dengan bunyi gedebuk.

“Ah!”

Suara ringan dari pintu yang terbuka dengan keras bercampur dengan teriakan kecil Maria. Namun, Maria kembali membuka pintu seolah-olah tidak terjadi apa-apa dan dengan cepat meninggalkan ruang OSIS.

Setelah melihat punggungnya yang pergi menghilang di balik pintu….. Masachika menjerit keras lagi setelah membenamkan wajahnya di sandaran sofa.

“Apa-apaan dengan reaksinya itu tadi?!”

 

◇◇◇◇

 

(Bi-Bikin aku kaget saja...)

Maria berjalan menyusuri lorong yang sepi dengan gaya berjalan yang terasa sedang mengambang. Yang mengisi pikirannya hanyalah sensasi ketika Masachika memeluknya dengan kuat beberapa saat yang lalu.

Sensasi dari dada besar dan keras yang terasa di dekat hidung dan pipinya. Rasa kekuatan dari pelukan yang kuat dan kasar. Jika dia ditekan dengan kekuatan seperti itu, dirinya merasa tidak akan bisa melawan... Sensasi tubuh yang jelas-jelas terasa dari lawan jenis.

(Lu-Luar biasa sekali...Ia memang seorang pria.)

Ketika menggumamkan itu dalam pikirannya, Maria merasakan kalau tubuhnya semakin panas.

Meskipun hal ini terdengar aneh, tapi Maria tidak pernah menganggap bahwa Masachika adalah seorang ‘pria’. Bagi Maria, Masachika merupakan keberadaan perpanjangan dari Sa-kun. Oleh karena itu, perasaan cintanya kepada Masachika masih tetap sama seperti ketika dia masih lugu dan polos.

Pelukan dan ciuman pipi merupakan tindakan wajar karena dia menyukainya. Itu hanyalah bentuk ekspresi kasih sayang. Meskipun dia merasa sedikit merasa malu... Tapi tidak ada rasa takut. Atau itulah yang Maria pikirkan.

“…....”

Setelah dipeluk oleh Masachika beberapa saat yang lalu, Maria punya firasat tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Dia merasa tak bisa menolak kekuatan dan kekasaran yang ada di depan matanya, dan jantungnya berdegup kencang sambil berguncang ketakutan. Maria mulai menyadari bahwa Masachika adalah seorang “pria”….dan pada yang sama dia menyadari kalau dia adalah seorang “wanita”.

(Ah, tidak, entah kenapa, ini sangat memalukan...)

Setelah sekian lama, Maria akhirnya merasa malu dengan perilakunya sebelumnya. Entah itu saat dia memeluk Masachika di dadanya, atau saat Masachika secara tidak sengaja melihatnya mengenakan celana dalam, dari sudut pandang Maria, tidak ada makna seksual dalam hal-hal itu. Karena bagaimanapun juga, Masachika adalah Sa-kun. Kenyataannya, Masachika hanya tersipu dan merasa malu, dan itu tidak ada bedanya ketika dia masih dekat dengan Sa-kun. .........

(Tapi... mungkin, itu berbeda? Ap-Apa jangan-jangan ia merasa terangsang?)

Maria tahu bahwa tubuhnya itu menarik perhatian sebagai lawan jenis. Namun... dia tidak pernah menyangka kalau dirinya menjadi objek nafsu.

(Ta-Tapi... memang begitu, ‘kan? Sa-kun... karena Kuze-kun adalah seorang anak laki-laki di masa pubertas? Alasan kenapa ingin menyentuh tubuh seorang gadis itu bukan karena penasaran semata, tapi juga maksudnya yang begituan...)

Namun, Maria selama ini tidak pernah memikirkan hal seperti itu, dan berpelukan erat satu sama lain seolah-olah dia melakukannya pada anak kecil....

“~~~~~~~!!”

Tiba-tiba, tindakan itu terasa sangat memalukan, dan Maria berjongkok di sudut tangga.

Di dalam hatinya, Maria sangat senang dengan sisi kejantanan yang ditunjukkan oleh Masachika, sekaligus sedih karena Sa-kun telah berubah.

 

◇◇◇◇

 

Pada saat ini, Masachika dan Maria secara bersamaan menyadari fakta yang berlawanan satu sama lain.

“Masha-san... tuh benar-benar Ma-chan ya...”

“Kuze-kun ... tuh memang Sa-kun, tapi juga bukan Sa-kun...”

Setelah bertahun-tahun, mereka berdua kembali ke titik awal dan mengucapkan kata-kata yang sama dengan jarak beberapa meter di antara mereka.

““Ketika bertemu lagi nanti, wajah seperti apa yang harus aku tunjukkan kepadanya...””

Sementara itu, beberapa puluh meter jauhnya dari kedua orang yang sedang merasa galau.....

“Hah! Entah kenapa sekarang, aku merasa kalau Onii-chan sedang merasa sedih lagi!”

Rambut jambul seorang adik Brocon diam-diam berdiri tegak ketika merasakan firasat aneh semacam itu.



Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya 

 

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama