Bab 12 — Ikatan yang Memberkati Tenshi-sama
“Ya ampun, Mahiru-chan, pakaian
yang kamu kenakan sangat imut sekali.”
Orang tua Amane datang lebih
awal ketika tiba shift mereka. Amane, bersama dengan Mahiru, menyapa mereka
saat mereka masuk. Amane memaksa pipinya yang kaku berubah menjadi senyuman.
Ketika melihat pakaian pelayan Mahiru, mata Shihoko bersinar terang seperti
siang hari dan dengan antusias mengamati pakaiannya, bahkan menyentuhnya untuk
memeriksanya.
Mahiru tersenyum kecut seolah-olah
dia sudah terbiasa, tapi sejauh menyangkut aturan, itu adalah sesuatu yang
harus mereka tolak. Bahkan jika mereka mengenal satu sama lain, begitu mereka
membuat contoh di depan umum, orang lain akan salah paham dan mulai
melakukannya juga. Itulah yang harus mereka hindari. Mahiru tersesat dalam
ritmenya dan membiarkan Shihoko menyentuh sesuka hatinya, jadi Amane menghela
nafas dan mengulurkan tangannya untuk menghentikannya.
“Pelanggan yang terhormat,
tolong jangan sembarangan menyentuh pelayan kami.”
“Astaga. Jadi dia adalah
pelayan pribadi Amane, ya.”
“Jika kamu memikirkannya secara
normal, memang begitulah yang namanya pelayan!”
Pipi Amane semakin menegang
saat ia menyatakan Mahiru sebagai 'pelayan
pribadinya', tapi Shihoko sepertinya tidak keberatan. Amane, yang juga
menyadari bahwa tidak ada gunanya mencoba memperingati ibunya, memutuskan untuk
menangani situasi ini dengan jujur.
“Ya ampun, dasar pelayan yang
berlidah tajam ... Ngomong-ngomong, dengan mengatakan aku tidak bisa
menyentuhnya, apa kamu mencoba memonopolinya untuk dirimu sendiri?”
“Tidak, itu sudah aturannya di
sini. Menyentuh sangat dilarang. Kami tidak memberikan layanan seperti itu. Aku
tidak bisa memberi contoh untuk pelanggan lain, jadi tolong jangan.”
“Bahkan jika aku adalah ibunya?”
“Tetap tidak boleh. Dan juga,
kamu belum menjadi ibunya.”
Sepertinya, Shihoko sudah
menganggap dirinya sebagai ibu Mahiru. Sebaliknya, dia tampak lebih seperti
seorang ibu daripada orang tua Mahiru sendiri, dan jika dia mau, dia bisa
disayangi lebih dari Amane, putra Shihoko sendiri, tetapi meskipun demikian,
hubungannya sekarang masih dengan pacar putranya.
Amane ingin menunjukkan orang
tuanya ke tempat duduk mereka sesegera mungkin daripada meladeni ejekan mereka,
terutama karena beberapa kelompok orang telah meliriknya untuk sementara waktu
sekarang. Bahkan teman sekelasnya melihat ke arahnya dan itu jelas membuatnya
malu.
“Apa masalahnya? Bagaimanapun,
hasilnya sama. ”
“Jadi… itu sudah cukup. Biarkan
aku menunjukkan jalannya.”
“Ya, masih ada pelanggan di
sini. Mungkin kamu harus menunjukkan jalannya. Senang bertemu denganmu,
pelayan.”
Sudut mulut Shihoko berkedut
saat dia tersenyum, tapi Shuuto yang pendiam meminta maaf dengan tatapannya,
jadi Amane diam-diam menghela nafas dan mengubah ekspresinya ke arah pelanggan.
“Saya minta maaf. Saya akan
memandu anda ke tempat duduk anda.”
Sambil berusaha menahan
tawanya, Shihoko mencoba menenangkan suasana dengan Amane, tapi dia
mengabaikannya dan membawa mereka ke kursi kosong. Mahiru telah kembali
melayani pelanggan dan menerima pesanan dari meja lain. Hampir mendesah karena
malu, Amane bertanya-tanya mengapa ia harus menunjukkan sisi dirinya yang ini
kepada orang tuanya, tetapi ia menahan diri dan menyerahkan menu kepada mereka.
“Silakan lihat menu kami. Anda
hanya dapat memesan menu sebagai bagian dari satu paket; Saya harap anda
memahami hal tersebut.”
“Oh begitu. Apa yang akan kamu
pilih, Shuuto-san?”
“Mari kita lihat… Apa yang kamu
rekomendasikan, pelayan?”
“Jika anda menginginkan kopi,
saya sarankan untuk memilih paket A. Jika anda ingin mencoba teh hitam, saya
merekomendasikan paket C.”
Shuuto
tidak menggodanya seperti yang dilakukan Shihoko, tapi masih sedikit membingungkan
bagi Amane melihat Ayahnya tersenyum padanya. Dia baik-baik saja melayani teman
sekelasnya, tetapi dia merasa malu untuk melayani keluarganya. Adapun Shihoko,
ekspresinya sudah menyeringai dari tadi, jadi dia jauh lebih menyusahkan.
“Hei,
pelayan.” Shihoko berbicara dengan main-main. “Apa aku boleh membawa pulang
pembantu?”
“Kami
tidak menawarkan layanan seperti itu di tempat kami,” jawab Amane.
“Tapi
kamu membawanya pulang, Amane.”
“Saya
tidak mengerti apa yang anda katakan. Apa yang akan anda pesan?”
Dengan menjawab sambil tersenyum,
Shihoko mengatupkan bibirnya kecewa atas penolakan tegas Amane untuk
melanjutkan pembicaraan. Ia tidak yakin bagaimana perasaannya melihat gerakan
kekanak-kanakan dari Shihoko di usianya, tapi di satu sisi, sungguh menakjubkan
bahwa dia bisa membuatnya terlihat begitu menyenangkan, tidak menunjukkan tanda-tanda
rasa sakit atau ketidaknyamanan meskipun dia adalah ibunya.
“Ya, kurasa aku akan memilih
masing-masing paket A dan C, kalau begitu. Itu saja tidak masalah ‘kan,
Shihoko-san?”
"Ya. Sekarang kita bisa
menikmati keduanya. Seperti yang diharapkan dari Shuuto-san.”
“Seleramu tidak berubah sejak
saat itu, Shihoko-san.”
“Tentu. Silakan tunggu beberapa
saat.”
Amane mengambil pesanan orang
tuanya dan segera meninggalkan mereka. Bagaimanapun juga, Amane tahu betul
bahwa mereka akan segera mulai menggoda. Benar saja, ia bisa mendengar
percakapan ramah mereka dari belakangnya, jadi dengan menghela nafas lembut,
Amane pergi untuk menyampaikan pesanan mereka kepada tim dapur di belakang,
hanya untuk menemukan teman-teman sekelasnya menatapnya dari belakang.
“Masing-masing satu paket A dan
C… Apa?”
“Eh? Mereka orang tuamu, Fujimiya?”
Salah satu teman sekelasnya melihat situasi.
“…Sayangnya begitu,” komentar
Amane.
“Apa maksudmu, sayangnya? …Yah, kamu dan ibumu
benar-benar memiliki kepribadian yang berbeda, sih.”
Teman sekelas Amane pasti juga
melihat keceriaan Shihoko. Membandingkannya dengan Amane, mereka berdua sama
sekali mirip. Teman-teman sekelasnya melirik ke arah orang tuanya yang sedang
mengobrol dengan gembira dan bertukar senyum, lalu kembali menatap Amane.
“… Ahh, aku mengerti bagaimana
keadaannya sekarang.”
“Apa-apaan dengan ‘ahh?’ itu”
"Tidak banyak. Aku hanya
berpikir bahwa kamu mirip dengan ayahmu.”
"Benarkah? Yah, kurasa aku
memang lebih mirip ayahku daripada ibuku…”
“Ya, ya, tentu saja. Persis
seperti yang kumaksud.”
Tatapan matanya menyipit saat mengangguk
seolah ada hal lain yang ingin dia katakan, tapi sebelum Amane bisa bertanya
apa itu, teman sekelasnya buru-buru pergi sambil berkata, “Ada yang harus aku lakukan!” Amane kembali ke posnya,
bertanya-tanya apa yang terjadi dengannya.
✧ ✦ ✧
Berkat cara aneh teman
sekelasnya untuk perhatian, Amane akhirnya menjadi orang yang melayani pesanan
orang tuanya, tetapi dengan cepat menyadari bahwa Yuuta telah ditangkap oleh
mereka. Dari raut wajahnya, mereka tampak berbicara dengan damai, Amane mau tak
mau menjadi khawatir kalau mereka akan beralih ke beberapa topik aneh. Dirinya
dapat mengandalkan Shuuto untuk menahannya, jadi ia tidak berpikir bahwa
sesuatu yang buruk yang mungkin mempengaruhi masa depannya akan terungkap,
tetapi Shuuto kadang-kadang membiarkan semuanya keluar secara alami, jadi tidak
ada jaminan bahwa Ayahnya tidak akan mengatakan sesuatu yang tidak perlu.
Sambil menjaga nampan di
tangannya tetap stabil, Amane dengan cepat bergerak menuju meja mereka dan
dengan datar menyatakan, “Ini pesanan
anda,” sebelum meletakkannya di atas meja. Ia memelototi orang tuanya tanpa
menyembunyikan tatapannya, keheranan dengan apa yang mereka lakukan, tetapi
mereka hanya balas tersenyum padanya, jadi sepertinya tatapan tajamnya tidak
berpengaruh sama sekali.
Yuuta berkedip saat melihat
Amane, lalu tersenyum cerah.
“Apa yang kamu lakukan,
Kadowaki...?”
“Kupikir aku akan menyapa mereka
sambil menyajikan makanan.”
Dia memiliki sebotol air dan es
di tangannya, jadi apa yang dia katakan bukanlah kebohongan.
“Tetap saja, aku tidak tahu kalau
ibu Fujimiya sangat cantik sekali.”
“Ara, kamu pandai dalam hal
ini, Yuuta-kun. Kamu masih kalah dari Shuuto-san, tapi kamu juga tampan, kok.”
“Ahaha, aku merasa tersanjung.”
Karena Ibunya dengan santai
memanggil nama Yuuta, Amane berkeringat dingin bertanya-tanya kapan mereka bisa
saling mengenal, tapi suasana di antara mereka damai seolah-olah tidak ada dari
ketiganya yang menyadari kegelisahan Amane yang semakin meningkat.
“Terima kasih sudah berteman
dengan anakku. Tapi dia orang yang blak-blakan dan terkadang memiliki omongan
yang tajam, bukan?”
“Itu tidak benar. Meski memang
benar kalau ia tidak banyak tersenyum, ia masih berhasil mengekspresikan
emosinya dengan sangat baik, dan bahkan dengan lidahnya yang tajam, dirinya
tidak pernah menjelek-jelekkan orang lain. Aku bisa melihat bahwa dirinya adalah orang yang baik
dan lembut. Selain itu, akhir-akhir ini ia membuat begitu banyak ekspresi
hangat, dan kupikir itu semua berkat Shiina-san.”
“Astaga, ya ampun…”
“H-Hei, tolong hentikan. Itu
memalukan.”
“Hah? Padahal itu benar, kok…”
“Mengesampingkan apakah itu
benar atau tidak, jangan katakan itu tepat di depan wajahku.”
Yuuta tidak mengejeknya dan
serius dengan semua yang dikatakannya, tapi masih memalukan baginya untuk
mengatakannya saat Amane ada di sana, terutama karena itu untuk orang tuanya.
Bahkan Itsuki memiliki percakapan yang sama dengan Shuuto, sepertinya hari ini
adalah hari di mana teman-teman Amane berusaha membuatnya benar-benar malu.
“Tapi Fujimiya, kamu takkan
menerimanya kecuali aku menatap langsung ke matamu dan mengatakannya. Sesekali saja
tidak ada salahnya, bukan begitu?
“Tidak secepat itu. Jika itu
masalahnya, Kamu harus memberitahuku secara langsung, bukan kepada orang tuaku.”
“Kamu pikir begitu? Terima
kasih seperti biasa. Aku senang berteman denganmu, Fujimiya.”
“…Terima kasih.”
Amane tidak bisa menolak ketika
Yuuta mengatakannya dengan senyum polos dan lugu, ia hanya bisa memberikan erangan sebagai jawaban.
Orang tuanya tertawa ceria saat mereka memperhatikan percakapan di antara mereka
berdua.
“Aku senang kalian berdua
tampak akur.”
“Diam.” Amane membalas. “Kadowaki,
ayo kembali bekerja.”
“Tentu saja. Maaf telah menyita
waktu kalian, semuanya. Sampai jumpa lain waktu.”
Amane sedikit terganggu dengan
kata-kata tersebut, tapi Yuuta tersenyum dan kembali seraya membawa botol di
tangannya. Punggung Amane lemas karena kelelahan sepanjang hari mulai
menghampirinya.
“Kamu diberkati dengan
teman-teman tang baik, Amane,” kata Shuuto.
“Ya. Kamu benar…”
Amane terlalu lelah untuk
menyisihkan tenaga untuk melawan dan dengan santai menyetujui kata-kata Shuuto.
Sebenarnya, ia benar-benar diberkati dengan teman-teman yang baik, tapi itu
soal lain. Dibuat merasa sangat malu adalah sesuatu yang tidak begitu disukai
Amane.
Shuuto tersenyum kecut pada
ekspresi cemberut Amane dan mengambil kopi di atas meja.
“Yah, mungkin aku tidak perlu
ikut campur, tapi aku khawatir. Sudah satu setengah tahun sejak kamu
meninggalkan kampung halamanmu, tapi aku senang kamu terlihat baik-baik saja.”
Shuuto tampaknya sangat peduli
dengan situasi dan lingkungan Amane dengan caranya sendiri, tapi Amane masih
berharap Ayahnya tidak terlalu penasaran dengan lingkaran teman-temannya.
Terlepas dari itu, ia semakin dekat dengan teman-temannya itu, jadi tidak ada
yang bisa Amane lakukan untuk itu.
“Ia terbuka untuk teman sekelasnya,
tapi lebih dari apapun ia selalu tersenyum pada Shiina-san.”
“Aku pikir hari ini pasti
salahmu.”
“Maaf tentang itu. Yah, kupikir
ini agak terlambat untuk itu.”
“Diam.”
Akhir-akhir ini, Amane selalu
tersenyum hanya dengan berada di samping Mahiru dan mengawasinya dari jauh, jadi
mungkin hal tersebut sudah agak terlambat. Tapi meski begitu, Amane merasa dirinya
tidak pantas menerima tatapan yang ia terima. Bahkan ketika memberikan tatapan
tajam pada Shuuto yang riang, Amane hanya mendapat balasan senyum yang lembut
dan perhatian, jadi Amane membalikkan badannya sebagai protes.