Bab 7 — Siapa yang Ingin Kami Undang
Di sekolah Amane, perayaan festival
budaya tidak dibuka untuk umum dan hanya kerabat serta kenalan yang diizinkan
untuk berpartisipasi. Selain itu, formulir kunjungan akan diminta untuk
diserahkan sebelumnya sebagai persiapan. Hal tersebut digunakan sebagai
seberapa banyak pembagian tiket kepada siswa yang kemudian mereka gunakan untuk
memasuki festival.
Tak perlu dikatakan, ada jumlah
maksimum tamu yang dapat diundang oleh satu orang siswa. Tindakan tersebut
diambil dalam beberapa tahun terakhir karena meningkatnya bahaya selama
festival sebelumnya dan kasus pelanggan yang melakukan kekerasan di sekolah
pada tahun-tahun sebelumnya. Bahkan selama festival budaya, keselamatan para
siswa diprioritaskan, jadi sudah diputuskan setelah pertimbangan matang dari
pihak sekolah.
“Aku tidak punya siapa-siapa
untuk diundang, kan?”
Gumam Mahiru sambil menatap formulir
pengajuan jumlah tamu yang dibagikan setelah makan siang. Jelas bahwa dia
berpura-pura tidak ada yang salah.
Mahiru disebut-sebut sebagai
bidadari dan semua orang menyukainya, tapi dia cenderung tidak mempunyai teman
dekat. Hal yang sama terjadi di sekolah SMP-nya, dan tidak ada orang yang bisa
dia sebut sebagai teman yang sangat dekat. Jika kamu tidak mengundang teman, kamu
pasti akan mengundang orang tuamu, tetapi hal tersebut tidak berlaku untuk Mahiru.
Dalam keadaan apa pun ia tidak ingin mengundang orang tuanya, dan menyimpulkan
bahwa dia tidak memiliki siapa pun untuk diundang.
“Aku tidak memiliki siapa pun
di luar sekolah yang aku sebut teman, jadi ini tidak memengaruhiku. Orang-orang
yang dekat denganku berada di sekolah, jadi tidak perlu khawatir.”
“Yah, sama… Sebenarnya, jika
aku tidak mengundang mereka, Ibu dan Ayahku mungkin akan merasa kesal…”
“Shihoko-san dan Shuuto-san
juga akan datang kemari?”
“Aku tidak memberitahunya tahun
lalu, dan Ibuku punya banyak hal untuk dikatakan kepadaku sesudahnya.”
Shihoko merajuk saat
mengetahuinya, dan masa cemberut ibunya itu merupakan siksaan yang mengerikan.
Dia mengiriminya pesan ketidakpuasan untuk sementara waktu, dan sampai pada
titik di mana bahkan Shuuto menelepon dan mengatakan kepadanya, “Ibumu
benar-benar sedih, tau.”
Bagi Amane, ia merasa enggan
untuk memanggilnya jauh-jauh dan merasa tidak masalah karena itu hanya sekedar
festival budaya. Mengetahui kepribadian ibunya, Amane tahu bahwa dia akan memanjakannya
bahkan di depan semua orang, dan Amane tidak ingin teman-teman sekelasnya tahu
bahwa ia masih sangat akrab dengan orang tuanya bahkan sebagai anak SMA. Selain
itu, ia tidak ingin orang lain melihat orang tuanya saling menggoda.
Seperti yang sudah diduga,
Shihoko masih mengingat hal itu. Dia mengiriminya pesan yang mengatakan, “Sudah
hampir waktunya untuk festival budaya, bukan?” Amane tahu kalau Ibunya
mengisyaratkan untuk membelikan mereka tiket. Setelah kejadian tahun lalu,
Amane tidak punya pilihan untuk tidak mengundangnya. Meski begitu, Amane masih
khawatir.
“Aku perlu mengingatkan mereka
untuk tidak main mata di depan semua orang.”
“Ah, Ahaha.”
Mahiru tahu betul bahwa Shihoko
dan Shuuto merupakan sepasang burung cinta alami dan melontarkan senyum masam.
“Yah, kurasa itu sebabnya aku
hanya akan mengundang mereka berdua. Mereka cukup jauh, tapi toh tidak ada
orang yang lebih dekat untuk aku undang.”
“Jadi begitu ya…”
Mahiru, yang telah mengetahui
kekacauan masa lalunya dan melihatnya berpisah dengan mantan temannya, tidak
ingin melangkah lebih jauh.
Sedangkan Amane, dirinya jauh
lebih mengkhawatirkan Mahiru. Dia memiliki lebih banyak masalah dengan orang
tuanya daripada dirinya. Dari apa yang dipelajari Amane, ia tidak peduli dengan
kepribadian Asahi itu sendiri. Namun, ia tidak berniat bertemu dengan Mahiru. Hal
yang sama berlaku untuk ibunya, kedua belah pihak tidak ingin berhubungan
dengannya. Bahkan Amane, yang hanya mendengar percakapan mereka satu kali, bisa
merasakannya—Mahiru tidak pernah bisa mengundang salah satu dari mereka ke
festival. Meski begitu, ia tidak tahu tentang kehidupan Mahiru sebelum sekolah
SMA, jadi Amane berpikir dia tidak bisa mengatakan apa-apa.
“Ngomong-ngomong, kamu bilang
kamu tidak akan mengundang siapa pun, Mahiru. Bagaimana dengan pembantu rumah
tanggamu yang dulu?”
Mahiru pernah ditelantarkan
oleh orang tuanya, tapi Amane ingat kalau ada seorang wanita yang memberi kasih
sayang dan mendidiknya seperti orang tua. Pekerjaan rumah tangga dan
keterampilan memasak Mahiru diajarkan kepadanya oleh pembantu rumah tangga itu,
dan wajah Mahiru terlihat lembut ketika berbicara tentangnya. Tidaklah berlebihan
untuk mengatakan bahwa wanita itu adalah orang tua pengganti Mahiru.
Mata Mahiru melebar mendengar
kata-kata Amane.
“Kamu masih mengingat
Koyuki-san? Kupikir aku hanya menyebutkannya secara singkat.”
“Karena itu tentang dirimu, Mahiru.
Apa kamu tidak ingin mengundangnya?”
“...Aku tidak bisa.”
Dirinya pikir itu saran yang
bagus, tapi wajah Mahiru sedikit berubah dengan serius. Amane menyadari kalau
ia telah salah bicara.
“…Maaf.”
Amane menunduk, berpikir kalau
is sudah mengatakan sesuatu yang seharusnya tidak dia katakan. Ia menyimpulkan
bahwa sesuatu pasti telah terjadi pada Koyuki. Mahiru, yang sepertinya telah
menyadari apa yang dia bayangkan, melambaikan tangannya dengan panik untuk
menghilangkan asumsinya.
“Tidak, bukan begitu!
Koyuki-san berhenti menjadi pembantu rumah tangga sedikit setelah aku mulai
sekolah SMP, tapi… umm, semua pekerjaan mempengaruhi punggungnya.”
“...Ahh.”
“Meski itu pekerjaannya, tapi
aku membuatnya mengelola rumah besar sendirian, dan aku merasa tidak enak karena
memaksanya melakukannya.”
Begitu Amane mendengar kalau
punggungnya mengalami cedera, ia pikir itu mustahil. Setelah pinggulmu cedera, tidak
mudah untuk kembali melakukan pekerjaan yang serupa bahkan setelah pulih. Hal
itu mirip dengan hidup dengan membawa bom yang menempel di pinggul mu. Kamu tidak
dapat melakukan pekerjaan berat, dan kamu tidak dapat gegabah dengan pekerjaanmu.
Amane mengerti mengapa Mahiru
ragu-ragu. Membuatnya hadi di festival sekolah seyelah perjalanan panjang tidak
akan mudah baginya dengan kondisinya.
“Saat ini, dia tinggal bersama
putri dan suaminya. Bahkan jika mereka akan datang, aku masih mengkhawatirkan
kesehatannya. Karena tidak banyak tempat istirahat santai untuk para tamu, jadi
aku merasa tidak enak mengundangnya. Lagi pula, tempat ini jauh dari rumahnya.”
“Jadi begitu. Itu sangat
disayangkan.”
“Memang.”
Mahiru menghormati pembantu
rumah tangga lamanya. Amane bisa mengetahuinya dari ekspresinya. Dirinya ingin
bertemu dan berterima kasih kepada wanita yang membantu Mahiru bertahan dan
tumbuh sebagai pribadi yang tegar. Namun, karena kesehatannya kurang baik,
tidak ada yang bisa mereka lakukan.
“Aku merasa kalau itu sangat disayangkan.
Aku tidak bisa memberikan salamku kepada Koyuki-san, meskipun dia banyak
membantumu. Saat kita mendapat kesempatan, aku harus menyapa beliau.”
“Eh? Ah, menyapa?”
“Ya. Dia sudah seperti orang
tuamu, bukan, Mahiru?”
Sepertinya Koyuki memiliki
pengaruh besar pada kepribadian Mahiru saat ini. Dialah yang mengajar Mahiru,
dan dengan sikap yang lebih seperti orang tua daripada orang tua kandungnya.
Bahkan Amane berhutang budi pada Koyuki. Tanpa kehadirannya, mungkin Mahiru
tidak akan tumbuh seperti sekarang, dan tidak akan terlibat sama sekali dengan
Amane.
“…Kamu…. benar.”
“Kalau begitu aku harus
menyapa.”
Amane telah menyatakan kepada
ayah kandung Mahiru bahwa ia akan menjadikan putrinya sebagai miliknya sendiri,
dan diterima. Meski begitu, Amane merasa itu tidak cukup. Ia ingin memberi tahu
orang yang dianggap sebagai orang tua asuh Mahiru juga.
Hanya dari apa yang dikatakan
Mahiru kepadanya, ia tahu bahwa Koyuki telah melampaui batas dalam merawatnya,
melebihi bidang tugasnya. Tampaknya tidak sopan bagi Amane untuk mengambil
Mahiru tanpa memintanya, terutama karena dia berhutang budi padanya. Sama seperti
sebelumnya, ia ingin menemui orang yang bertanggung jawab untuk membesarkannya,
dan ingin menyatakan niatnya dengan jelas dan jujur.
“Yah, mari kita pikirkan
tentang itu nanti ketika kita sudah tenang. Tidak sopan juga kalau kiya
mengunjungi begitu tiba-tiba, jadi aku ingin membuat janji ketika waktu yang
tepat tiba. Kamu sepertinya memiliki informasi kontaknya, jadi mungkin surat
atau panggilan telepon… Tunggu, Mahiru?”
Mahiru bisa dibilang sudah dianggap
seperti putri kandung Koyuki sendiri, dan Amane pada dasarnya menculiknya. Amane mencoba memikirkan
cara terbaik untuk memperkenalkan dirinya secara formal, tapi Mahiru yang
dimaksud melihat sekeliling dengan canggung.
“T-Tidak, bukan apa-apa.”
“Itu terlihat seperti tidak bukan apa-apa bagiku.”
“Sudah kubilang, bukan apa-apa.”
Mahiru menekan wajahnya ke
bantal favoritnya, menghalangi pandangannya. Dengan Mahiru yang tidak ingin
menjelaskan lebih lanjut, Amane membiarkannya melakukan apa yang dia suka dan hanya
tersenyum tak berdaya padanya.