Otonari no Tenshi-sama Jilid 7 Bab 6 Bahasa Indonesia

Bab 6 — Demi Siapa Dirimu Tersenyum?

 

 

Di bawah kepemimpinan Itsuki, persiapan festival budaya berjalan lancar. Karena ini sudah kedua kalinya mereka mempersiapkan festival budaya, jadi mereka sudah terbiasa dengan prosedurnya, tapi yang lebih penting, para anak cowok dan gadis di kelas semuanya jelas-jelas fokus dan bekerja sama untuk memenuhi keinginan egois mereka.

Amane sibuk mempersiapkan diri sambil juga mengurus jadwal kelas hariannya, tapi untuk kali ini, ia merasa sangat puas dengan pekerjaannya sehingga dirinya tidak merasa sibuk sama sekali.

“Hei, ada salah ketik di pamflet ini. Untung saja belum dicetak, jadi buat lagi. Bakalan kacau jika kita salah memasukkan alamat sekolah.”

“Apa ada yang tahu letak di mana taplak mejanya? Aku dengar kita sudah membeli beberapa, tapi tidak ada di mana pun!”

“Bahkan jika biayanya ditetapkan rendah, jumlahnya akan sebanyak ini…”

Amane dan yang lainnya juga merasakan keributan dari teman sekelas mereka, yang masing-masing melakukan tugas yang dipercayakan kepada mereka, dan juga menerima instruksi dari pelayan yang bertugas mengajar mereka.

“Fujimiya-kun, umm, tersenyumlah!”

*…senyum*

“Senyummu masih kaku, masih kaku.”

Amane, yang hanya bisa memasang senyum palsu, melihat ke arah Kido Ayaka, seorang gadis dari kelas yang bekerja paruh waktu di sebuah kafe, bertugas menyiapkan kostum dan melatih mereka yang melayani pelanggan. Tapi dia memberi Amane ekspresi canggung setelah melihat caranya tersenyum.

Mereka berdua penah mengobrol sebentar sebelum liburan musim panas, tetapi mereka tidak melakukan kontak khusus sejak saat itu, dan sekarang setelah mereka berinteraksi seperti ini lagi, Amane kesulitan berurusan dengannya. Dia melakukan yang terbaik untuk mengajarinya dasar-dasar layanan pelanggan, meskipun Amane tampaknya anti-sosial, tetapi dia masih tidak bisa terbiasa dengan hal-hal yang membuatnya tidak nyaman.

Dari sudut pandang Amane, bukan berarti dirinya tidak bisa tersenyum, tapi dari sudut pandang Ayaka, ekspresinya itu masih terlihat canggung dan kaku.

“Hmm. Padahal senyummu yang biasa jauh lebih baik. Kamu tersenyum canggung karena terlalu menyadarinya. Ayo bersikap santai dan tenang.”

“Meski kamu bilang begitu, tapi ketika aku berpikir untuk melayani pelanggan, ekspresiku jadi kaku sendiri.”

“Anggap saja mereka sebagai kentang.”

“Kentang, ya?”

“Sepertinya kamu lebih suka telur, Amane-kun.” Mahiru, yang juga menerima instruksi cara melayani pelanggan, terkekeh dan menggodanya.

Mengingat bahwa dia telah memasak untuknya selama hampir setahun, Mahiru sangat menyadari kesukaannya pada telur. Padahal, bukan berarti dirinya akan mulai tersenyum pada telur, jadi pada akhirnya tidak ada yang berubah.

Bukan begitu masalahnya di sini, pikirnya, tapi Mahiru sepertinya bersenang-senang, jadi Amane memutuskan untuk tetap diam dan hanya menggaruk pipinya.

“Yah, aku pernah mendengar kalau lebih baik tersenyum secara alami daripada ketika kamu memaksakannya, jadi mari kita coba dan temukan caranya supaya kamu bisa rileks.”

“Dan siapa yang bilang kalau aku lebih baik bertingkah natural?”

“Gadis-gadis dari kelas kita? Kamu tahu, senyuman yang kamu berikan saat bersama Shiina-san.”

“Tidak bisa mengatakan aku senang diawasi.”

“Kamu tidak membualnya?”

“Mana mungkinlah.”

Amane memelototi Itsuki, yang menganggap itu sengaja, tetapi yang terakhir jengkel dan berkata, “Kamu tidak menyadarinya, kan?” jadi Amane hanya menjawab, “Berisik.”

Pipi Mahiru sedikit memerah saat dia tersenyum kecil. Matanya yang malu diarahkan padanya, dan pipinya bahkan lebih memerah dari sebelumnya. Sepertinya, Mahiru menyadarinya sendiri. Dimulai dengan Ayaka, gadis-gadis lain mengangguk setuju.

“Meskipun aku yakin kalau kamu merasa paling santai saat bersama Shiina-san, Fujimiya-kun.”

“Apa maksudmu…?”

“Suasanamu. Asal kamu tahu saja, nuansa yang kamu pancarkan saat bersamanya.”

“Nuansaku?”

“Ya, nuansanmu. Aku kadang-kadang terpana karena hal itu.”

Amane tidak terlalu yakin apa yang Ayaka katakan, tapi Mahiru tahu apa yang dia maksud dan mencoba yang terbaik untuk menyembunyikan rasa malunya. Hanya saja matanya tampak sedikit bergetar di tengah rasa malu tersebut, dan Ayaka, yang sepertinya menyadari perubahan itu, tersenyum dan melambaikan tangannya dengan acuh.

“Shiina-san, Jangan khawatir, jangan khawatir. Aku juga sudah punya pacar, kok. Aku tidak tertarik untuk merebut pacar orang lain.”

“A-Aku tidak khawatir tentang itu.”

“Kamu tidak perlu menyembunyikannya. Aku juga akan khawatir jika pacarku mendapat perhatian dari gadis lain. Tapi aku tidak akan tertarik pada seseorang kecuali mereka punya otot. Fujimiya-kun terlalu kurus, jadi ia tidak sesuai dengan tipeku!”

“Aku merasa seperti baru saja diejek menjadi cowok letoy.”

Amane merasa kalau dirinya lebih sedikit berotot baru-baru ini, tetapi reputasinya yang terlalu kurus membuatnya sedikit tertekan. Itsuki telah memujinya karena memiliki lebih banyak otot daripada sebelumnya, tapi bisa jadi ia memiliki standar pujian yang rendah.

“A-Amane-kun itu bukan cowok letoy. Kupikir ia hanya sedikit kurus, tapi… umm… k-ketika ia telanjang, ia memiliki… banyak otot.”

“Eh? Ia terlihat luar biasa saat telanjang?”

“Jangan mengatakannya seperti itu, Mahiru! Kamu tidak ingin orang salah paham!”

“… Tapi memang benar kalau kamu sedikit kekar.”

“Baiklah, terserah apa katamu. Tapi kamu akan sangat malu nanti, Mahiru.”

Mahiru baru saja mengkonfirmasi di depan orang lain bahwa dia memiliki kesempatan untuk menyentuh kulit telanjangnya setidaknya sekali sebelumnya, dan Amane berharap dia menyadari kesalahan kecilnya. Kenyataannya, mereka hanya berpelukan satu sama lain dalam pakaian renang, jadi bukannya berarti ada sesuatu yang mesum terjadi, tetapi tergantung pada siapa yang mendengarnya, tidak aneh bagi orang lain untuk membayangkan kalau hubungan mereka sudah melangkah lebih jauh. Meski demikian, Mahiru menyebutkan bahwa Amane sangat jantan, jadi mereka mungkin menyadari bahwa Amane tidak melakukan apa-apa.

Mahiru menjadi tenang setelah ia menunjukkannya, dan Amane merasa lega. Dia melihat sekeliling dan banyak tatapan hangat diarahkan pada mereka, jadi dia mendecakkan lidahnya; dan menatap tajam ke arah Itsuki.

“Hah? Kenapa kamu melihatku seperti itu?”

“Senyummu membuatku kesal, tau.”

“Hei, jangan menyalahkanku terus-terusan. Ayo, mari kita berhenti bermain-main dan berlatih.”

Mengesampingkan masalahnya, Amane mendecakkan lidahnya pada Itsuki yang provokatif sekali lagi, dan ketika ia melihat ke arah Ayaka dengan ekspresi cemberut, dia mulai tertawa.

“Yah, aku mengerti seberapa mesranya kalian berdua, tidak ada masalah di sana. Ini akan baik-baik saja selama Kkmu menyapa pelanggan dengan senyuman. Sejak awal tingkah lakumu elegan, jadi kupikir tidak akan ada masalah jika aku mengajakmu berkeliling seperti yang kuajarkan padamu.”

“Aku tidak pernah menyangka kalau ada orang yang mengira kalau tingkah lakuku elegan.”

Amane berpikir kalau dirinya memang tidak pernah bertindak kasar, tapi ia tidak akan menyebutnya sebagai elegan, jadi ia hanya bisa memiringkan kepalanya dengan bingung ketika diberitahu demikian, tetapi Mahiru mengerti dan tersenyum padanya.

“Amane-kun, itu pasti karena kamu tumbuh dengan memperhatikan orang tuamu. Karena tingkah laku mereka sangat sopan.”

“Aku tidak yakin apakah Ibu bersikap elegan atau tidak, tapi gerakannya memang tidak membosankan.”

“Jadi kamu pergi bersamaFujimiya-kun dan seluruh keluarganya, Shiina-san.”

“K-Kido-san…”

“Maaf, maaf.”

Amane menoleh padanya dengan ekspresi masam di wajahnya saat Ayaka terkikik padanya, tapi itu hanya membuatnya lebih geli, dan pada akhirnya, baik Amane maupun Mahiru tidak bisa lepas dari senyuman hangat teman-teman sekelas mereka.

 

   

 

Sekitar dua minggu sebelum perayaan festival budaya diadakan, mereka mendapat kabar bahwa pakaian pesanan mereka telah tiba.

“Oke, ini kostum yang datang. Aku akan membagikannya kepada semua orang, jadi tunggu sebentar! Aku akan memberi mu petunjuk tentang cara memakainya dengan benar, jadi pegang erat-erat, oke~”

Ayaka tersenyum lebar saat dia menyerahkan pakaian kepada masing-masing orang, dan dia menghampiri Amane untuk menyerahkan pakaiannya kepadanya sambil tersenyum ceria dan berkata, "Ini dia."

“Ah, Fujimiya-kun, ada ruang kelas yang berbeda untuk dijadikan kamar ganti. Pergilah ke sana nanti.”

“Kenapa cuma aku sendiri?”

“Hmm. PPelrakuan khusus?”

“Apa maksudmu dengan itu?”

“Itu hanya permintaan kecil dari Shiina-san, dan aku ingin mengabulkannya. Shiina-san bilang dia ingin menunjukkannya padamu dulu, Fujimiya-kun, jadi...”

“Tentu saja, semua gadis lain juga setuju,.” Amane merasa sedikit bersalah karena mereka mengabulkan permintaannya, bahkan jika mereka tidak perlu terlalu khawatir tentang hal itu. Namun, pada saat yang sama, Amane sangat senang karena Mahiru telah berusaha sejauh itu untuk memastikan dia adalah orang pertama yang melihatnya.

Amane tersenyum, “Terima kasih,” sambil berterima kasih kepada gadis-gadis itu, dimulai dengan Ayaka, yang dengan senang hati menerima permintaan Mahiru.

 

   

 

Begitulah, pada waktu khusus yang hanya diberikan kepadanya, Amane menunggu di depan pintu ruang kelas tempat Mahiru terlihat sedang berganti pakaian.

Tentu saja tirainya ditutup rapat. Dari penjelasan yang diberikan, rencana awalnya adalah meminta semua orang pergi ke ruang ganti, tetapi mereka meminjam ruang kelas cadangan untuk mengenakan kostum mereka dan berlatih menyajikan makanan pelanggan. Selain itu, mereka tidak hanya menonjol dalam gaun pelayan dan rok lembut jika mereka pergi ke lorong, tapi tempat lorong juga dipenuhi dengan berbagai peralatan dan cat, mereka dapat dengan mudah merobek atau menodai pakaian mereka, yang akan menjadi masalah besar.

(Entah kenapa, aku jadi sedikit gugup.)

Rasanua sangat canggung sekaligus menegangkan ketika membayangkan bahwa ada seorang gadis yang sedang berganti pakaian di sisi lain tembok. Dia adalah pacarnya, dan memang benar Amane pernah melihatnya dalam penampilan seperti pakaian dalam sebelumnya, tapi selain itu, dirinya masih tidak bisa tenang.

Saat sedang bersandar ke pintu dan menunggu dalam diam, Amane mendengar suara yang agak kaku dari ruang kelas berkata, “Kamu boleh masuk sekarang.”

“Mungkin Mahiru juga gugup dengan caranya sendiri,” gumamnya dengan senyum kecil dan mengikuti desakannya ke dalam kelas; dirinya kemudian menemukan Mahiru berdiri tidak jauh dari pintu.

Setelah menutup pintu di belakangnya, Amane menatap Mahiru, yang berdiri tepat di depannya. Gaun pelayan yang dikenakan Mahiru adalah tipe dengan rok panjang yang mencapai pergelangan kakinya, dan juga berlengan panjang. Itu adalah tipe klasik dari gaun maid yang juga menggabungkan gaya yang cukup modern. Kombinasi lengan panjang, gaun one-piece panjang berwarna biru tua, dan celemek yang mengembang di sekitar lengan atasnya, terlihat seakan-akan ada udara di dalamnya.

Kido pernah menyebutkan bahwa ketika memakai rok mini, mereka sering memakai rok lain di bawahnya agar tidak bergoyang ke atas; tetapi karena Mahiru mengenakan rok panjang, dia tidak perlu melakukannya, dan gaun itu membentuk siluet sosoknya yang indah dan rapi.

Meskipun dia memakai embel-embel di celemeknya sebagai hiasan, hampir tidak ada kulit yang terpapar, memberi nuansa yang polos dan lugu. Amane bisa melihat bahwa pergelangan kakinya tertutup celana ketat hitam melalui ujung rok panjangnya. Celana ketat hitam itu sendiri pastilah milik pribadi Mahiru. Di sekolah, dia memakainya sepanjang tahun agar dia bisa menyembunyikan kulitnya, dan itulah yang dia lakukan di sini.

“Bagaimana menurutmu?”

Mahiru memiringkan kepalanya dengan bebas, dan rambut depannya yang terurai bergoyang dengan lembut mengikuti gerakan kepalanya.

Tugas Mahiru adalah melayani pelanggan dan membawa makanan ke meja pembeli, jadi dia mengikat rambut panjangnya yang berwarna kuning muda menjadi sanggul agar tidak menimbulkan masalah saat dia bekerja.

Rambutnya yang ditata didukung oleh chignon bertema pelayan untuk ukuran yang baik.

“… Kamu terlihat jauh lebih baik daripada yang kubayangkan.”

“Benarkah? Aku senang mendengarnya. Baru pertama kalinya aku memakai kostum seperti ini…”

Amane memujinya dengan penuh ketulusan, dan dia menjawab dengan malu-malu.

Kecantikan bawaan Mahiru merupakan alasan utama mengapa penampilan itu cocok untuknya, tetapi lebih dari itu, suasana Mahiru cocok dengan gaun pelayan lebih dari yang diharapkan. Dia selalu menjadi tipe orang yang mengurus orang lain, dan sifatnya itu semakin melengkapi penampilannya.

Saat Mahiru tersenyum padanya dengan lembut, Amane mau tidak mau percaya kalau rasanya lebih dieal jika dia tidak dikirim untuk melayani pelanggan.

“Amane-kun?”

"Hah…? Oh maaf. Kostum itu terlihat sangat bagus padamu sampai-sampai aku tidak ingin memamerkannya kepada orang lain. Itu terlalu efektif.”

“Hehe, apa itu efektif?”

“Kewarasanku?”

“Aku akan memberimu hiburan nanti, jadi tolong bersabarlah untuk saat ini. Aku juga tidak ingin orang lain melihatmu dalam seragam butler…”

“Mereka tidak akan datang untukku, jadi jangan khawatir.”

“Itu masih tetap mengkhawatirkan!”

Untuk beberapa alasan, Mahiru menjadi terlalu memaksa, jadi Amane dengan patuh meminta maaf, “Maaf,” dan Mahiru sepertinya berpikir dia bertindak terlalu jauh, “Seharusnya aku yang meminta maaf,” dan dengan lembut memberikan permintaan maafnya sendiri.

“…Kamu menjadi lebih mudah bergaul sejak kamu mengubah citramu, dan, um, aku pernah mendengar gadis-gadis lain berbicara tentang betapa tampannya kamu sekarang.”

“Baru pertama kali aku mendengar sesuatu tentang itu.”

“Tentu saja, mereka tidak akan memberitahumu. Itu adalah sesuatu yang hanya akan dibicarakan di antara gadis-gadis… Karena aku di sini bersamamu, jadi mereka tidak bisa terlalu terbuka tentang itu.”

Sensasi menggigil menjalar di punggungnya, bertanya-tanya apa yang dibicarakan gadis-gadis ketika mereka berkumpul, tetapi jika dilihar dari penuturan Mahiru, tampaknya ia secara umum disukai secara positif. Meski begitu, Amane tidak berani berpikir mereka menyukainya. Paling-paling, mereka hanya memberi mereka tatapan hangat. Pertama-tama, sulit untuk menerima gadis yang mencoba merayu pria yang sudah berpacaran dengan seseorang; atau lebih tepatnya, ia sudah pasti akan menolaknya. Namun, tidak ada siswa perempuan seperti itu dari pengamatannya, jadi kata-kata Mahiru tidak mengejutkannya sebagai kenyataan.

Mahiru mengerutkan bibirnya dengan manis, tampaknya merasakan dari ekspresinya bahwa Amane tidak menganggap semua kata-katanya begitu saja.

“Tahu enggak jika ada sekelompok gadis berkumpul, mereka dapat berbicara dengan sangat blak-blakan? Mereka mengobrol tentang laki-laki mana yang memiliki hubungan dengan perempuan mana, kepribadian, dan pengalaman mereka. Sejujurnya, itu semua adalah hal-hal yang tidak ingin didengar pria.”

“Seriusan, pacarku sudah terlibat dengan grup nyeleneh mana sih?”

“Begitulah cara perempuan berbicara. Mereka cenderung sangat jujur, tanpa banyak lapisan gula. …Aku pernah mendengar mereka mengatakan kamu adalah orang yang luar biasa, Amane-kun, jadi aku merasa tidak nyaman.”

Mahiru mulai gelisah dan kesulitan mengatakannya. Bagi Amane, dia mirip dengan gambaran seorang maid yang cantik dan menggemaskan, dan muncul pemikiran sedikit sadis mengenai itu, tapi ia juga merasa bersalah.

“Ngomong-ngomong, apa yang mereka katakan tentangku?”

“Umm, mereka bilang kalau kamu baik, atau kelihatan begitu jantan… Dan ketika kamu mencintai seseorang, kamu tidak akan memperhatikan orang lain.”

“Yah, itu mungkin benar. Aku hanya akan melihatmu, Mahiru.”

Wajar jika dirinya hanya melihat pacarnya. Tidak sopan dan tidak setia untuk tertarik pada lawan jenis ketika kamu sudah berpacaran dengan orang lain.

Amane takkan berpacaran dengan Mahiru dengan perasaan setengah-setengah begitu. Dirinya pernah mendengar dari para tetangganya bahwa kepribadian orang-orang di keluarga Fujimiya sering kali bersifat penyayang, dan mereka hanya akan tertarik pada satu orang; dan ternyata, Amane juga tidak berniat melihat siapa pun selain Mahiru.

“Hal yang sama berlaku untukmu, bukan, Mahiru? Apa kamu pernah mencuri pandang pada anak laki-laki lain?”

“Itu sih tidak mungkin!”

“Kalau begitu, kita tidak perlu mengkhawatirkannya. Hanya Kamu satu-satunya untukku, Mahiru, dan satu-satunya gadis yang pernah kuinginkan. Tapi kesampingkan itu, aku masih tidak ingin orang lain melihatmu dengan cara yang sama, dan itulah mengapa aku menentang membiarkan anak laki-laki lain melihatmu mengenakan pakaian ini.”

Mahiru sedikit mengernyit saat Amane kembali ke topik awal. Dia kemudian menempelkan dahinya ke lengan atasnya beberapa kali, seolah-olah ingin menyundulnya.

“… Mari kita berdua sama-sama menahannya.”

“Ya, ayo.”

“Tapi tetap saja—aku ingin memonopolimu, Amane-kun.”

“Sama untukku,” Amane dengan lembut menepuk punggung Mahiru saat dia menekan dahinya ke arahnya, Mahiru lalu mendongak dan menatapnya.

“…Aku ingin melihatmu dengan kostum butlermu sesegera mungkin, Amane-kun.”

“Anak laki-laki akan menyewa kamar untuk pembukaan berikutnya, jadi harap tunggu sebentar.”

Kali ini, berkat kebaikan Itsuki, Chitose, dan Ayaka, Amane diizinkan untuk menjadi orang pertama yang melihat Mahiru dengan kostum pelayannya, tetapi rencana awalnya adalah pembukaan secara bersamaan.

Sudah waktunya bagi anak laki-laki untuk mengenakan pakaian yang mereka pinjam juga.

“… Tidak ada yang istimewa, oke?”

“Itu sama sekali tidak benar. Aku sangat menantikannya.”

Mahiru bukan sekedar menyanjungnya; dia benar-benar merasa seperti itu, dan terlihat jelas dari cara dia tersenyum padanya. Amane merasakan perasaan geli yang tak terlukiskan dan menggaruk pipinya, “Jangan terlalu berharap, dan tunggu saja nanti,” dan menjawab demikian.

 

   

 

“Shiina-san… bagaimana penampilannya?”

“Apa maksudmu…? Tentu saja itu terlihat bagus untuknya.”

Sudah diputuskan bahwa anak laki-laki yang melayani pelanggan juga akan berganti pakaian, tetapi para cowok tersebut tampaknya lebih tertarik pada Amane, yang pertama kali melihat Mahiru dengan pakaian pelayannya. Ketika ditanya bagaimana penampilannya, yang bisa ia balas hanyalah kostum tersebut terlihat bagus untuknya. Teman sekelasnya jelas kecewa dengan kesan acuh tak acuh Amane, dan menanggapi balik dengan tatapan jengkel.

“Pasti ada yang lebih dari itu, ‘kan? Jadi gimana?”

“Apa lagi yang bisa kukatakan,?” Amane mencoba memilih kata-katanya dengan hati-hati. “… Mana mungkin kostum itu tidak terlihat luar biasa padanya.”

"Benar sekali. Karena kita sedang membicarakan Shiina-san di sini.”

“Aku jadi kepengen dilayani olehnya, bung,” teman sekelas lainnya menimpali.

“Aku berharap dia memanggilku tuan dan memberiku senyum lebar ...”

“Tapi aku takkan pernah membiarkan Mahiru melayani kalian. Aku bisa mengatakan itu dengan pasti.”

“Sungguh kejam sekali…! Kamu memang tidak ada ampun… Setidaknya biarkan kami bermimpi, bro.”

“Mimpimu itu tidak akan pernah menjadi kenyataan, aku akan menghancurkannya demi dirimu sendiri.”

“Caramu terlalu brutal, woy.”

Selama masa persiapan, Amane sudah cukup terbuka kepada teman-teman sekelasnya untuk bercanda dengan mereka. Beberapa dari mereka benar-benar berkubang dalam keputusasaan. Dirinya mulai berbicara dengan anak laki-laki lain dan bisa bersenda gurau dengan mereka; sesekali ia mendengar ucapan, “Aku sangat cemburu,” dan tepukan di punggung, dan dia akan menanggapi dengan cara yang sama. Pada dasarnya, Amane enggan menjalin hubungan baru dengan mereka karena lingkaran pertemanannya kecil, tapi jauh di lubuk hati teman-teman sekelasnya adalah siswa yang baik hati, jadi ia secara alami berteman dengan mereka saat bekerja bersama mereka untuk festival.

Ketika mereka berbicara dengan santai, Amane sesekali digoda dan dengan sengaja menjawab dengan kata-kata blak-blakan saat berganti pakaian yang disiapkan untuknya. Kostum untuk para cowok terdiri dari jas biru tua sederhana, celana panjang, dan rompi abu-abu tua yang hampir mendekati warna hitam murni. Itu adalah desain ramping yang cocok dengan masing-masing fisik mereka, memberi mereka suasana yang halus. Sebagai bonus tambahan, sarung tangan putih yang mereka kenakan membuat mereka terlihat seperti itu. Tentu saja, mereka meminjam kostum maid dan butler dari tempat yang sama, jadi kostum terlihat serasi dengan pakaian maid para perempuan. Mereka memancarkan atmosfir yang sama dan cocok, dan ketika dilihat bersama, mereka akan tampak lebih seperti pramusaji sejati.

Sekilas, Amane mengira akan sulit untuk bergerak, tetapi begitu ia benar-benar memakainya, kainnya ternyata lebih elastis dari yang diduga, dan dirinya tidak memiliki masalah dengan mobilitas pakaian tersebut.

“Luar biasa, entah bagaimana Itsuki terlihat flamboyan bahkan sebagai butler. Persis seperti yang sering kamu lihat di manga.”

“Hah? Apa-apaan dengan ocehan itu?”

Itsuki tampaknya juga telah selesai berganti pakaian, dan anak laki-laki lain dengan cepat mulai menggodanya.

Setelah melihat sekilas, Amane melihat bahwa dia tampak serampangan seperti yang dikatakan anak laki-laki lain, tapi sepertinya dia memiliki aura yang agak sembrono tentang dirinya.

“Ya, kamu pasti terlihat sembrono.”

“Kamu jahat sekali, Amane! Caramu… Sial, kamu punya gaya yang sangat apik di sana, yang kamu tunjukkan pada Shiina-san.”

“Tentu sajalah. Mengapa kamu mengatakan sesuatu yang begitu jelas?”

Tentu saja, jika Amane akan dilihat oleh Mahiru, ia akan memastikan untuk berdandan dengan baik dan rapi. Dengan sisir, dirinya menata sebagian rambutnya ke belakang dan itu membuatnya terlihat sangat halus dan segar. Penampilannya memberikan kesan yang lebih berbeda dari biasanya. Meski begitu, ia tidak berniat menata semuanya ke belakang, mirip dengan apa yang biasanya ia tunjukkan, tapi bahkan Amane bisa melakukan ini tanpa ragu-ragu.

“Ia benar-benar tidak sedang bercanda… Orang ini sedang serius…”

“Lihat noh, kamu jadi termotivasi sekarang. Dan tak disangka kalau kamu sama sekali tidak antusias sebelumnya.”

“Untuk beberapa alasan, ekspektasi Mahiru terhadapku sangat tinggi saat ini,” jelas Amane. “Jadi tentu saja, sudah saatnya aku mengerahkan segalanya.”

“K-Kamu begitu santai tentang itu semua …”

“Nah, coba bayangkan saja. Aku yakin kalian akan mencoba yang terbaik jika pacarmu juga terlalu berharap.”

“Cukup sampai di situ, Fujimiya. Tunjukkan belas kasihan pada kami, bung. Kami semua kebanyakan masih jomblo, oi.”

"Hah…? Maafkan aku, kalau begitu…” Amane meminta maaf, meski sedikit bingung.

“Jangan minta maaf untuk itu. Sekarang aku jadi merasa sengsara…”

Amane menerima senggolan samping santai dari teman-teman sekelasnya, tetap diam. Ia kemudian melihat ke atas dan mengangkat bahu ke arah Itsuki, yang masih menyeringai sedih karena dicap sembrono.

“Aku yakin Chitose akan cengengesan saat melihat pakaianmu, Itsuki.”

“Tak diragukan lagi. Meskipun ini juga merupakan kesempatan sempurna baginya untuk pergi, Ikkun sangat sembrono, dan menertawakanku.”

“Aku tidak bisa menyangkal itu.”

Amane bisa membayangkan Chitose mengatakan itu tanpa rasa permusuhan, dan tertawa sendiri dalam diam. Kali ini, waktunya Itsuki untuk menyenggol sisi Amane, jadi ia membalasnya dengan tepukan di punggung untuk menghiburnya.

“Tetap saja, sepertinya mereka akan populer setelah Kadowaki.”

“Tidak. Rupanya, 'Ada permintaan untuk tipe pangeran, tipe sembrono, tipe keren, dan shota,' atau begitulah yang kudengar dari para gadis.”

“Aku sangat kasihan pada Kokonoe. Ia selalu dicap sebagai shota. Juga, tipe sembrono pasti diambil olehmu.”

Makoto dikirim secara paksa karena penampilannya. Dalam hal itu, ia sangat unik. Badannya lebih pendek dibandingkan dengan anak laki-laki lain, tapi orangnya sendiri agak tidak puas ketika diberitahu bahwa ia adalah tipe yang imut, tetapi kali ini ia jauh lebih bersemangat tentang hal itu. Melirik ke arah Makoto, Amane langsung menyadari wajahnya yang tidak puas. Dalam artian baik atau buruk, ia kelihatan mungil dan memiliki wajah bayi; jadi ia mungkin bisa memuaskan orang dengan beberapa fetish tertentu.

Kebetulan, Kazuya yang berhubungan baik dengannya bekerja di bagian dapur. Alasannya karena badannya yang besar dan memiliki fisik yang lebih kencang dibandingkan dengan anak laki-laki lainnya. Diputuskan bahwa lebih baik ia melakukan pekerjaan manual daripada berada di depan melayani pelanggan.

“… Kazuya, dasar pengkhianat… Sialan…”

Amane berpura-pura tidak mendengar kutukan yang datang dari cowok shota tertentu.

 

   

 

“Oh, Ikkun, kamu terlihat hebat memakainya! Tapi sangat sembrono!”

Sudah waktunya bagi orang-orang yang bertanggung jawab atas layanan pelanggan untuk berkumpul di ruang kelas dan memperlihatkan pakaian mereka, tapi tentu saja, Chitose menggambarkannya sebagai hal yang remeh dengan senyum cerah. Bahkan Itsuki sendiri tampaknya agak menyadarinya, tapi ia menatap ke arah kejauhan, berkata, “Jadi begitu…” Tapi karena ia biasanya bertindak seperti itu, Amane tidak menyangkalnya.

 Kebetulan, Chitose akan melayani pelanggan, jadi dia juga mengenakan seragam pelayan. Pasti ada dua desain yang berbeda, karena seragamnya berbeda dari pakaian maid bergaya tradisional Mahiru, roknya selutut dan dirancang agar modis dan menonjolkan keimutan. Ada isian yang menyembul dari kelimannya, dan kakinya yang ramping ditutupi kaus kaki selutut putih. Dikombinasikan dengan perawakannya yang pendek dan celemek berenda, dia memberikan kesan seorang pelayan bergaya modern.

“Ngomong-ngomong, bagaimana menurutmu? Apa aku terlihat bagus memakainya?”

“Tentu saja. Kamu terlihat hebat dalam segala pakaian, Chi.”

“Kaulah yang tertawa ketika aku meminjam pakaian Mahirun dan menunjukkannya kepadamu tempo hari.”

“Yah, itu karena ukurannya…”

“Ikkun.”

“Aku minta maaf.”

Bahkan Itsuki yang (diduga) sembrono menjadi penurut ketika menyangkut Chitose. Itu semua salah Itsuki yang memicu kompleksnya, dan Amane tidak berniat mendukungnya. Yah, sebagian karena ia bisa membayangkan Chitose akan mencercanya dengan berbagai omongan jika ia benar-benar campur tangan.

Selain Chitose, Amane bisa melihat gadis-gadis lain yang bertugas melayani pelanggan mengenakan seragam pelayan, dan mau tak mau merasa terkesan dengan betapa menakjubkannya hal-hal yang didapat untuk acara mereka sendiri. Jika kafe yang mereka jalankan dipenuhi karyawan cantik seperti mereka, itu pasti akan menjadi topik hangat.

Ayaka, yang bertanggung jawab atas pembukaan, mengenakan seragam maid yang sama dengan Mahiru, dan dia berjalan ke arah Amane sambil tersenyum.

“Ah, Fujimiya-kun, kamu terlihat keren dengan gaya itu. Kamu benar-benar bersemangat.”

“Mahiru menaruh harapan besar padaku, itu sebabnya.”

“Hehe, kamu pacar yang baik, bukan? Lihat, Shiina-san, pacarmu mengenakan kostum butler.”

“Ayo ayo.” Ayaka memberi isyarat padanya dengan senyum ceria, dan untuk beberapa alasan, Mahiru tidak mendekatinya. Amane mengira dia tidak mau pada awalnya, tapi saat dia tersipu dan gelisah, sepertinya bukan itu masalahnya.

Melihat perilaku Mahiru, Ayaka tersenyum dan mengatakan kepadanya, “Dia sangat menantikannya, tapi sekarang dia gelisah. Mungkin ternyata lebih baik dari yang dia bayangkan.” Dia kemudian kembali ke sisi Mahiru.

“Baiklah, Shiina-san. Rasanya akan sia-sia jika kamu tidak melihatnya dari dekat. Selain itu, kalian berdua berada di shift yang sama, jadi kalian harus membiasakan diri selagi bisa!”

Menurut pengaturan yang dibuat oleh teman-teman sekelasnya — terutama Itsuki — giliran kerjanya ditetapkan pada waktu yang sama dengan giliran Mahiru. Amane khawatir dia berpotensi mendapat pelecehan secara seksual, dan ia ingin mereka berdua bisa berjalan-jalan di sekitar sekolah bersama saat giliran kerja mereka berakhir.

Ayaka mendorong Mahiru, dan Mahiru mendekatinya, meski dengan perasan ragu-ragu.

“Kelihatannya kostum ini tidak terlihat bagus untukku, ya?”

“I-Itu tidak benar! Penampilanmu sangat luar biasa, sepertinya kamu bukan Amane-kun yang biasa…”

“Sampai segitunya? Bagaimana penampilanku di matamu?”

“… Kamu lebih tampan dari biasanya.”

“Yang ada justru aku memakai lebih dari biasanya. Aku biasanya tidak memakai begitu banyak kain, dan pastinya tidak saat kita di rumah.”

“Ada kalanya lebih baik memakai lebih banyak!”

Amane bingung dengan penekanan kata-katanya dan desakannya, tapi untuk beberapa alasan, gadis-gadis lain mengangguk dengan ekspresi pengertian, itu bukanlah suasana di mana ia bisa menyangkal penilaiannya.

Seperti biasa, Mahiru tersipu dan pandangan mata yang berkeliaran kemana-mana, dan anak laki-laki itu berjatuhan seperti lalat di hadapan kelucuannya, jadi Amane harus segera menghentikan mereka.

“…Mahiru, jangan biarkan siapapun melihat wajahmu seperti itu. Nantinya akan ada korban.”

“Kamu juga, Amane-kun.”

“Ya, ya.”

“Ka-Kamu kelihatan santai sekali…”

Mahiru tampak tidak puas dengan tanggapannya, tapi ketika sampai pada ekspresi mereka, ada perbedaan besar dalam kekuatan antara Mahiru dan Amane. Mustahil bagi Amane untuk memikat baik perempuan maupun laki-laki seperti yang dilakukan Mahiru.

Dalam hal itu, tidak ada yang perlu dikhawatirkan, dan ia mengabaikan perasaannya. Namun, Mahiru terus menyenggol lengan atas Amane sedikit, seolah dia masih belum puas.

 

   

 

“Selamat datang.”

“Ugh…”

Setelah pembukaan, mereka mempraktikkan layanan pelanggan mereka, tetapi itu tidak bisa disebut praktik.

Pandanga mata mereka terbakar dari cahaya terang. Cahaya itu, tentu saja, adalah senyuman profesional Mahiru. Hal tersebut membuat para anak cowok tidak bisa bergerak — mereka dianggap tidak berguna. Semua anak laki-laki yang secara sukarela menjadi pelanggannya dibuat tak berkutik di hadapan senyumnya. Seperti yang diharapkan, senyum bidadarinya sangat menakutkan. Mereka yang bertahan dari serangan pertama akhirnya menyerah setelah ditunjukkan ke tempat duduk mereka dan diberi senyuman lagi. Ketika melihat pemandangan ini, pipi Amane mulai berkedut, berpikir bahwa keadaan akan menjadi lebih buruk jika dia tidak menahan diri.

“Pesona sang bidadari terlalu menakutkan… Amane, kamu harus menghentikan Shiina-san. Cepat.”

“Senyum Mahiru masih belum sepenuhnya maksimal.”

“Mustahil! Kamu bilang ini bukan kekuatan penuhnya...?”

“Bukan waktunya untuk terhibur, bung. Aku tidak bercanda.”

Dari sudut pandang Amane, yang menonton dari pinggiran, senyum Mahiru masih dibuat-buat. Dia tersenyum ramah. Tentu saja, itu adalah senyuman profesional, senyuman elegan yang dibuat khusus untuk melayani pelanggan. Amane merasa para anak cowok tidak akan bisa terus berfungsi dengan serius jika Mahiru tersenyum lebih tulus.

Bahkan gadis-gadis lain jadi terpikat oleh situasi saat ini, sehingga efek dari senyuman Mahiru terlihat jelas bagi semua orang yang melihatnya.

“… Ini sih bukan praktik layanan pelanggan.”

Bahkan Ayaka, yang mengawasi situasinya, tersenyum pahit.

Mungkin karena Amane sudah terbiasa berada di sisinya sepanjang waktu, ia meremehkan kekuatan penghancurnya, tapi Mahiru selalu memiliki kecantikan dan atmosfir yang memikat penonton. Jadi Amane sudah mengharapkan hal ini akan terjadi.

“Aku rasa tidak akan ada masalah dengan layanan pelanggan itu sendiri, tapi… akan menjadi masalah jika pelanggan mulai kepanasan.”

“Maaf, Kido.”

“Yah, bukan berarti kamu atau Shiina-san melakukan kesalahan, Fujimiya-kun…”

Saat Ayaka mengatakan itu dan melihat ke kejauhan, dia merasa sangat kasihan padanya, tapi tidak ada yang bisa ia lakukan juga.

“… Mungkin aku harus menyiapkan banyak minuman dingin.”

“Ya... Mari kita tenangkan semuanya.”

Efek Mahiru tampaknya menyelimuti seluruh ruang kelas dalam panas yang menyengat, jadi mereka berdua memutuskan untuk mengawasi suhu AC juga.

“Tetap saja, itu akan menjadi masalah jika dia tidak menahan diri,” renung Amane.

“Ya, pikirkan para korban yang malang…,” kata Ayaka.

“Yah, ada bagian dari itu, tapi… harus melihat hal ini membuatku frustasi.”

Ayaka memberinya tatapan bingung ketika dia menumpahkan kacang dan mengatakan padanya bagaimana perasaannya yang jujur.

“Aku merasa jengkel melihatnya tersenyum pada laki-laki lain, walaupun itu dengan cara yang ramah. Kamu bebas memanggilku berpikiran sempit, tapi hanya itu saja.”

Jika berbicara secara logis, Amane sadar dengan alasannya. Mahiru hanya memenuhi tanggung jawabnya untuk pekerjaan yang dipercayakan kepadanya, dan senyum yang dikenakan Mahiru adalah senyum yang dia tunjukkan kepada mayoritas. Bukan senyum murni dan polos yang hanya akan dia tunjukkan pada Amane, atau senyum iblis kecil yang menawan dan menawan. Meski begitu, dirinya sadar bahwa alasan ia merasakan kegundahan di dalam dadanya adalah karena kecemburuannya.

Sungguh menyedihkan. Amane mengangkat bahunya dengan mencela diri sendiri, dan Ayaka memberinya tatapan kosong tanpa maksud apapun.

“Kamu benar-benar sangat menyayangi Shiina-san, ya?”

“… Bisa tidak jangan mengatakan hal-hal seperti itu secara langsung?”

“Ehehe. Aku bisa tahu dari melihatnya bahwa dia sangat mencintaimu, tapi kamu juga tidak kalah darinya dalam hal itu... Kupikir kamu bukan tipe orang yang terlalu terikat pada sesuatu, Fujimiya-kun, tapi saat berkaitan dengan Shiina-san, kamu benar-benar berubah.”

“Pikirkan tentang bagaimana perasaanku ketika kamu menceritakan semua ini padaku.”

“Maksudku, ketika aku melihatmu, aku tahu dia sangat penting bagimu dan kamu menghargainya, bukan? Fujimiya-kun, kamu bisa sedikit menakutkan saat kamu tanpa emosi, tapi saat kamu bersama Shiina-san, kamu tersenyum sangat bahagia sehingga mudah untuk mengatakan bahwa dia adalah seseorang yang spesial untukmu.”

Ayaka tidak berbicara seolah-olah sedang menggodanya, tetapi dia mengatakannya dengan sungguh-sungguh, jadi Amane tidak bisa menolak kata-katanya. Ayaka menyapanya dengan senyum yang benar-benar ceria saat pandangannya melesat ke sekeliling.

“Yah, itu sebabnya melihatmu cemburu membuatku tersenyum ketika aku menyadari bahwa kamu juga anak laki-laki, dan kamu mencintai Shiina-san. Bagaimanapun, aku hanya berpikir itu bagus. …Aku sama sekali tidak mencintaimu, jadi jangan khawatir, oke?”

“Apa-apaan dengan penggalan akhir itu?”

“Tidak, maksudku. Shiina-san menatap tepat ke arahku.”

“Kamu sedang melihat kami, bukan?” Suara riangnya membuatnya menyadari bahwa Mahiru sedang melihat ke arah mereka.

Mahiru bukannya memandang ke arah mereka dengan tatapan ragu, tapi sedikit ketidakpuasan. Amane tidak mengira dia mencurigainya tidak setia. Sama seperti Amane yang memiliki perasaan campur aduk tentang senyum yang diarahkan Mahiru pada orang lain, Mahiru tidak senang karena Amane bertingkah begitu ramah dengan gadis-gadis lain di sekitarnya.

Di sisi lain, Mahiru sepertinya menjadi dekat dengan Ayaka, jadi tatapannya hanya sedikit gelisah.

“Kamu benar-benar sangat dicintai, Amane.” Itsuki muncul entah dari mana dan sepertinya mendengarkan percakapan mereka.

“Dia sangat mencintaimu, Fujimiya-kun,” seolah menimpalinya, Ayaka mengikutinya dengan senyum ceria, dan Amane mengerutkan kening sejenak sebelum berbalik ke arah Mahiru dengan senyum santai.

 

   

 

Jadi, ketika para gadis menyelesaikan pelatihan layanan pelanggan mereka, sekarang baru giliran anak laki-laki.

“Aku ingin menjadi pelanggan Kadowaki-kun!”

“Eh?! Enggak adil!” Kata teman sekelas lainnya.

"Tahan di sana! Jangan membuat keputusan itu sendiri! Jika itu masalahnya, maka aku juga!”

“Sejak kapan ini berdasarkan nominasi?”

Gadis-gadis itu secara sukarela menjadi rekan latihan Yuuta terlebih dahulu, dan Amane mengagumi mereka dari kejauhan, memikirkan betapa menakjubkannya gadis-gadis itu. Yuuta yang saat ini masih jomblo mungkin adalah salah satu alasan ketertarikannya yang antusias.

Sejauh menyangkut dirinya, Amane, yang memperlakukannya sebagai seorang teman, tahu bahwa Yuuta adalah pemuda yang baik hati, dan bahwa ia menarik baik sebagai seorang teman maupun sebagai seorang pria, meskipun begitu, melihat betapa populernya Yuuta membuatnya merasa kagum sekaligus sedikit kasihan. Amane telah menonton dari samping, bertanya-tanya apakah ada waktu untuk bersantai.

Orang yang dimaksud, Yuuta, memasang ekspresi bermasalah dan lelah di matanya saat ia tersenyum.

“Pemandangan yang luar biasa,” komentar Ayaka.

Ayaka tidak bergabung dengan perebutan tersebut. Dia hanya menatapnya di waktu luangnya. Sepertinya dia sedang menonton suatu acara dari jauh, seolah-olah itu semua adalah masalah orang lain. Ia menatap Yuuta dengan sedikit rasa kasihan di matanya, lebih seperti tatapan Amane daripada geli.

“Kido, kamu… sudah punya pacar, kan?” tanya Amane. Mengingat bagaimana dia memberi tahu Mahiru untuk tidak salah paham karena dia punya pacar, Amane bisa melihat mengapa dia tidak tertarik pada Yuuta.

“Ya memang.” Ayaka menegaskan. “Tapi kami berada di kelas yang berbeda. Dan kami adalah teman masa kecil. Ia sebenarnya punya otot yang sangat besar.”

“Sungguh cara memperkenalkan yang luar biasa.”

“Yah, karena ia cowok idealku. Aku pikir ia luar biasa, jadi aku harus memujinya setiap ada kesempatan.” desak Ayaka. “…Ah, tentu saja aku suka ototnya, tapi tidak hanya ototnya. Asal kamu tahu saja, ia cowok yang kikuk, tapi baik dan tenang.” Ayaka tersenyum saat dia berkata begitu. “Jika ada kesempatan, Fujimiya-kun, aku akan memperkenalkanmu,” jadi Amane hanya mengangguk sebagai jawaban.

Tanpa disadari, kesan Amane tentang pacar Ayaka adalah cowok yang macho. Ayaka tersenyum dan menepukkan telapak tangannya dengan keras untuk menenangkan perebutan peran pelanggan yang menjadi keributan ringan yang menarik perhatian.

“Oke, oke, jangan berebut begitu! Mitra latihan Kadowaki-kun akan dilakukan sesuai urutan. Aku akan membuat daftar urutannya, jadi bicarakan di antara Kamu sendiri dan putuskan pesanannya. Kamu harus berlatih beberapa kali, jadi ayo bergiliran. Yang begitu lebih adil, bukan? Sebenarnya, Akazawa-kun, kamu yang bertanggung jawab, jadi inilah saatnya kamu menunjukkan keahlianmu sebagai laki-laki.”

“Yah, ini bukan sesuatu yang harus dilakukan seorang pria." Itsuki menjawab. “Aku pikir kamu mungkin bisa menanganinya dengan lebih baik.”

“Eh? Jangan menyerahkan semuanya pada Kadowaki-kun! Dan Chi-chan, jangan hanya berdiri dan menonton!” kata Ayaka.

“Apa maksudmu dengan ‘Eh?’

“Itu bertentangan dengan intinya. Untuk saat ini, mari putuskan urutan pelamar dan laporkan kepada mereka nanti. Ayo, anak laki-laki yang lain juga bebas, jadi ayo berlatih!”

Saat Amane tersenyum kecut pada Ayaka, yang jauh lebih bisa diandalkan daripada Itsuki, yang seharusnya memimpin di saat-saat seperti ini, Mahiru diam-diam mendekatinya dan berdiri di sampingnya.

“Sepertinya aku pelanggan pertamamu, Amane-kun.”

“Sepertinya begitu.” Jawab Amane. “Dan mengapa semua orang mencalonkan diri untuk Kadowaki?”

“Mungkin semua orang mengira ia melakukan pekerjaan yang luar biasa?”

“Yah, penampilan Kadowaki cukup menyegarkan sebagai butler. Itu salah satu sifat baiknya, menurutku.”

Yuuta, yang masih memiliki senyum bermasalah, dikerumuni oleh gadis-gadis dengan mata berbinar, dan juga mengenakan kostum butler. Ia merupakan cowok tampan yang tenang, lembut, dan ceria dengan aura menyegarkan di sekelilingnya. Keberadaannya merupakan gambaran sosok seorang pangeran, yang mana orangnya sendiri tidak menyukai julukan tersebut. Pakaiannya sangat cocok untuknya. Seakan-akan kostum tersebut hanya dibuat untuknya.

Yuuta sendiri tidak melakukannya dengan sengaja, tapi ia melakukannya dengan sangat baik sehingga terkadang aura di sekelilingnya tampak bersinar. Sejauh perimbangan Amane, dirinya akan merasa terganggu jika dia akan dibandingkan dengan Yuuta nanti.

“Itu cocok untuk Kadowaki-san…,” Mahiru menjelaskan. “Tapi bukan itu yang kumaksud.”

“Jika kamu berbicara tentang preferensi, itu akan menjadi masalah jika kamu tidak memilihku Mahiru… aku sebenarnya yang kamu inginkan, kan?”

“Tentu saja,” dia langsung berkata, yang membuat Amane merasa sedikit malu. Tapi kemudian dia dengan halus mengikutinya dengan, “Kamu adalah cowok yang terbaik untukku, Amane-kun,” jadi dia kehilangan kata-kata.

(... Itu bukti bahwa dia menyukaiku.)

Meski itu memalukan, tetapi pada saat yang sama, hal tersebut membuatnya bahagia, jadi mungkin tak terhindarkan bahwa wajahnya akan sedikit mengendur. Mahiru menutupi mulutnya dengan tangan bersarung putih untuk menutupi rasa malunya, tapi kemudian tersenyum sangat anggun, seolah dia bisa melihat semuanya.

Jadi, saat keributan tentang rekan latihan Yuuta mereda, Amane dan yang lainnya juga mulai berlatih layanan pelanggan. Tak perlu dikatakan bahwa rekan latihan Amane adalah Mahiru.

“Selamat datang. Izinkan saya untuk memandu anda ke tempat duduk.”

Amane mencoba untuk tersenyum secara alami pada Mahiru saat dia memasuki kelas, sebagai pelanggan, tetapi untuk beberapa alasan, Mahiru justru tertegun di tempat. Dia tidak tersenyum dengan cara yang sama seperti yang dia lakukan di rumah, sebaliknya dia menunjukkan senyum yang ditujukan untuk orang asing, tapi entah kenapa tatapan Mahiru berkeliaran kemana-mana.

“Pelanggan yang terhormat, apa ada masalah?”

“T-Tidak, bukan apa-apa.”

Mahiru menggelengkan kepalanya dengan kuat, dan rambutnya yang dikepang panjang bergoyang seperti cambuk. Amane menyadari bahwa dia menjaga jarak yang sesuai darinya, pelayannya, agar tidak mengenainya. Jika dia menjaga jarak seperti biasa, itu kemungkinan besar akan terjadi.

Merasa karena dirinya punya cukup waktu untuk memikirkan hal-hal seperti itu, Amane membimbing Mahiru ke tempat duduknya. Ia memastikan untuk memeriksa jumlah pelanggan sebelumnya di resepsionis yang terletak di pintu masuk ruang kelas untuk memastikan bahwa ada kursi yang tersedia.

“Silakan duduk dan tunggu sebentar.”

Mahiru berkedut saat ia menarik kursinya ke belakang dan tersenyum padanya. Itu mungkin karena malu dan gugup, tapi yang memalukan adalah Amane mengiriminya senyum layanan pelanggan yang disiapkan oleh Ayaka. Amane tidak tahu kenapa Mahiru merasa malu, sebaliknya Amane-lah yang merasa malu.

Karena ini hanya baru sekedar latihan, untuk saat ini, ia memutuskan untuk mengabaikan reaksi Mahiru, dan memberitahunya apa yang ia rekomendasikan di menu. Kemudian Amane menuliskan pesanannya di catatan, dan menuju ke dapur sederhana, yang disembunyikan oleh tirai di ruangan itu.

 

   

 

“… Ini sih mirip seperti penyergapan.”

“Aku tidak yakin apa yang kamu maksud.”

Setelah mereka mengambil pesanan mereka, praktik layanan pelanggan berlanjut, dan setelah mengawasi mereka sampai mereka meninggalkan toko, latihan pun akhirnya selesai.

Ketika Amane selesai berlatih dengan Mahiru dan menuju ke instrukturnya, Ayaka, dia mengangguk dengan sungguh-sungguh. Kebetulan, Mahiru tampak gelisah sepanjang waktu, jadi Amane khawatir jika dirinya mungkin telah melakukan kesalahan di suatu tempat.

“Oh, tidak ada masalah dengan tanggapanmu dan cara pelayananmu.”

“Bagaimana dengan Mahiru? Kenapa dia malah bertingkah seperti itu?”

“Bukankah itu karena kamu kelihatan keren? Kamu terlihat sangat jago, Fujimiya-kun. Ingin bekerja paruh waktu di kafe kami? Manajer pasti akan senang.”

“Aku akan memikirkannya ketika aku membutuhkan uang.”

Ayaka tersenyum menyesal saat Amane menyiratkan bahwa ia tidak berniat melakukannya saat ini, lalu melirik Mahiru, yang mengipasi dirinya dengan file Chitose.

“Sepertinya Shiina-san juga akan mengalami masa sulit selama festival budaya nanti~”

“Yah, tidak diragukan lagi akan ada banyak pelanggan yang datang untuknya.”

“Padahal bukan itu yang aku maksud.”

“Apa maksudmu?”

“Pacarnya mungkin menarik banyak perhatian, tahu? Aku pikir kamu akan menjadi populer jika selalu tersenyum seperti itu, Fujimiya-kun.”

Ayaka menyodok pipinya dengan ujung bolpoinnya, dan dia menyekanya dengan jari-jarinya.

“Secara pribadi, aku tidak kepikiran kalau aku populer atau semacamnya.”

“Fujimiya-kun, tau enggak? Memang benar bahwa orang menilai orang dari penampilannya, tetapi penampilan mereka bukan hanya tentang struktur wajah mereka… Ada kerapihan, lalu suasananya, gerakannya, dan ekspresinya. Mungkin kedengarannya tidak sopan bagiku untuk mengatakannya, tetapi aku pikir ada orang yang lebih baik darimu dalam masalah tampang. Tapi aku rasa itu tidak cukup untuk memutuskan siapa yang disukai.”

“Yah, aku mengerti apa yang ingin kamu katakan, dan aku juga berpikir begitu.”

Ketika Amane pertama kali berinteraksi dengan Mahiru, dirinya tidak terlalu menyukainya. Amane menyadari bahwa dia adalah gadis yang cantik, tetapi dia tidak memiliki perasaan apa pun padanya. Namun, sebagian karena ia tidak terlalu tertarik pada lawan jenis pada saat itu.

“Setidaknya kamu setuju bahwa kamu bisa menjadi populer. Senyummu terlalu menakjubkan.”

“Tidak, jika aku setuju dengan itu, itu akan membuatku terlihat membual.”

“Ahaha. Tetapi memang benar bahwa kamu harus lebih banyak tersenyum. Tapi kamu bukan tandingan pacarku!”

“Kamu dengan santai mengatakan itu padaku setelah semua itu?”

“Jika kamu mengatakan sebanyak itu, aku memilihmu untuk bertemu pacarku.”

“Hm… Yah, itu mungkin saja.”

Bahkan Amane yang baru mengenalnya dalam waktu singkat karena sifatnya yang jujur, ceria, dan perhatian, tertarik pada pacarnya. Dirinya ingin melihat cowok seperti apa yang berhasil menaklukan hati Ayana. Yang Amane ketahui saat ini adalah bahwa ia adalah orang yang baik dan memiliki tubuh yang baik.

“Yah, tidak apa-apa. Bagaimanapun, lamu lulus tes layanan pelanggan. Ini tanda bunga untuk kerja bagusmu.”

Ayaka mengeluarkan stiker dengan gambar lingkaran bunga dari celemeknya sebagai bukti bahwa dia telah lulus, dan menyerahkannya kepada Amane.

Itsuki menonton dari pinggir dan menempelkan stiker “Gagal” di dahinya. Namun, itu tidak terlalu banyak ditempelkan daripada yang diberikan kepadanya oleh Ayaka. Seolah-olah, Itsuki terlalu banyak bermain-main, dan itu membuatnya gagal. Ia diperingatkan untuk tidak tersenyum terlalu genit.

“Ngomong-ngomong, aku akan mengurus gadis-gadis lain sekarang, jadi kenapa kamu tidak pergi menemui Shiina-san dulu?”

“… Aku akan melakukannya, kalau begitu.”

“Dan jika kamu mulai saling bermesraan...”

“Aku tidak akan melakukan itu.”

Amane menyampaikan niatnya dengan tatapannya, bertanya-tanya siapa yang akan melakukan hal seperti itu di depan begitu banyak orang, tetapi Ayaka menepisnya dengan senyum ceria yang biasa.

Ia kehabisan ketidakpuasan yang dimiliki, dan merasakan perasaan gatal yang tak terlukiskan dan menggaruk pipinya saat berjalan ke arah Mahiru.

“Mahiru.”

“Uu, ah, Amane-kun…”

“Oh, jadi ini dia penyebab demam Mahirun.”

Yang dimaksud demam, Chitose pasti mengartikan bahwa pipi Mahiru yang memerah tampak seperti demam. Pipi putihnya kelihatan merah merona bahkan saat dia melayani pelanggan.

Seorang pelayan dengan pipinya yang merah bersandar di kursinya saat dia menatapnya, yang sangat buruk untuk jantungnya.

“Kamu tahu, Amane memiliki kemampuan untuk menjadi Penakluk Mahirun, jadi jangan terlalu sering menggertaknya, oke?”

“Apa-Apaan dengan kemampuan itu...?”

“Kemampuan serangan khusus yang hanya efektif terhadap Mahirun?”

“… Kurasa aku bukan satu-satunya target Amane-kun saat ini,” Mahiru bergumam pada dirinya sendiri, dan dia tersenyum canggung saat Amane duduk di sampingnya, tubuhnya bergetar.

“Apa aku benar-benar terlihat sebagus itu?”

“…Ya.”

“Untung aku pacarmu. … Yah, setidaknya pahamilah bahwa aku tidak bermaksud untuk melihat orang lain selain kamu, Mahiru.”

“A-Aku tahu itu, tapi… hatiku masih merasa rumit.”

Mahiru gelisah tak terkendali dan menyusut, jadi Amane menepuk kepalanya untuk menenangkannya, dan dia semakin tersipu.

“… Mungkin itu lebih seperti serangan yang sangat efektif pada Mahirun, atau kemampuan pemusnahan area luas. Dengan membuat Mahirun tersipu, dia bisa menyebabkan kerusakan besar di sekitarnya.”

“Apa kamu baru saja mengatakan sesuatu?”

“Tidak, bukan apa-apa.”

Amane menatap tajam ke arahnya ketika dia mulai mengatakan hal-hal yang aneh, dan Chitose memalingkan muka seolah berpura-pura tidak tahu.

 

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama