Chapter 6
[Sudut Pandang Ayana]
Aku, Otonashi Ayana, memiliki
seorang anak laki-laki yang sangat dekat denganku sejak aku masih kecil.
Namanya Sasaki Shu, dan dia
adalah tipe anak laki-laki yang selalu mengikutiku kemanapun aku pergi.
Tidak membutuhkan waktu lama
bagi Shu-kun dan aku untuk menjadi teman, sebagian karena ibu kami sangat
dekat.
[Ayana,
ayo main bareng!]
[Ya
tentu.]
Pada waktu itu, aku berpikir kalau
Shu-kun terlihat lucu saat ia mengikuti di belakangku, dan merasa penasaran apa
begini rasanya memiliki adik laki-laki.
Sangat mengherankan di awal
sekolah SD aku mulai menyadari bahwa dunia aku, ibuku, Shu-kun dan keluarganya
...... adalah dunia yang sangat kecil.
Aku tidak keberatan mengurus
Shu-kun sendiri, dan jika aku tidak punya urusan tertentu, itu sudah menjadi hal
yang normal, jadi aku tidak keberatan——
tapi, jika itu tidak berlangsung selamanya.
[Kamu
mau pergi kemana? Kamu tidak bisa, aku sudah berbicara dengan ibu Shu-kun
tentang kamu yang pergi kepadanya.]
[Eh?
Tapi aku berjanji untuk bermain dengan teman-temanku. ……]
[Kamu
harus melakukannya lain kali. Teman masa kecilmu Shu-kun lebih penting, ‘kan?]
[Tapi
……]
[Apa
kamu mengerti?]
[……
Ya]
Aku tidak punya rencana
apa-apa, itulah sebabnya aku berencana untuk pergi bermain dengan teman-temanku.
Tapi ibuku menyuruhku untuk
membatalkannya dan pergi ke Shu-kun, dan pada akhirnya aku tidak bisa membantahnya.
Untungnya, teman-temanku hanya
menertawakanku dan mengatakan kalau itu mau bagaimana lagi, tetapi aku sangat
menyesal.
[…..
Apa itu teman masa kecil?]
Meskipun aku masih duduk di
bangku sekolah SD, aku punya pertanyaan seperti itu.
Orang-orang di sekitarku telah
mengatakan banyak hal tentang aku yang tumbuh lebih cepat daripada anak-anak
normal, dan aku berpikir sendiri kalau itu mungkin benar adanya.
Dan di sinilah …… aku mulai
mempertanyakan keberadaan teman masa kecil.
[Ayana
adalah teman masa kecil Shu-kun, jadi utamakan lah dia.]
[Shu-kun
adalah anak yang baik, ‘kan? Itu sebabnya Ayana harus bergaul dengannya.]
Setiap hari aku pergi ke rumah
Shu-kun untuk menghabiskan waktu bersamanya dan adik perempuannya, lalu pulang
ke rumah untuk menyelesaikan hari.
Pada hari-hari ketika sekolah
sedang berlangsung, aku pulang ke rumah untuk membangunkannya dan kami pergi ke
sekolah bersama, berdampingan.
Jika kupikir-pikir lagi, semua
hal ini hanyalah aku yang melakukan apa yang ibu aku suruh, tanpa
memikirkannya.
[Aku
senang kamu ada di sini, Ayana-san. Apa kamu akan menjadi istri Shu?]
[Ayana,
ayo lakukan! Istri Onii-chan!]
[Jangan
bicara omong kosong!]
Aku menyaksikan dengan hati
yang agak dingin pada adegan haha-hihi
mereka yang berlangsung di depan mataku, di mana ibuku bergabung dan berbicara
dengan gembira tentang masa depan.
[….Aku]
Aku merasa muak dengan ibuku
yang selalu mengatakan “Shu-kun, Shu-kun”
dalam segala hal yang dia lakukan.
Aku juga merasa tertekan karena
ibu dan adik perempuannya akan memujiku karena merawat Shu-kun, mengungkitnya
dengan cara yang tidak penting bagi aku. …… Dan di atas semua itu, aku mulai
berpikir bahwa bahkan Shu-kun, yang kupikir tampak lucu belum lama ini, menjadi
sosok yang menggangguku.
Ya, aku mulai berpikir bahwa
semua yang ada di sekitarku tidak menyenangkan.
[Siapa
aku …… Aku ini apa?]
Aku
ini apa? Aku ingin meneriakkan itu pada seseorang.
Aku ingin seseorang
memberitahuku,….. Aku ingin bertanya pada siapapun yang mau mendengarkan
tentang keberadaan Otonashi Ayana.
Tapi sebagai seorang gadis
kecil, aku hanya bisa memendam perasaan tersebut di dalam batinku, dan tanpa
disadari, aku memasang senyum palsu kepada mereka.
[Ayana
dan aku bersenang-senang bersama.]
[Jadi
begitu ya. Aku juga.]
[Hei,
hei, Ayana-chan. Ayo bermain denganku juga!]
[Ya.
Apa yang harus kita lakukan?]
[Ayana,
apakah kamu sudah belajar memasak? Itu luar biasa.]
[Terima
kasih.]
Ketika aku berurusan dengan
mereka, aku merasa nyaman ketika aku mulai menganggap diriku sebagai orang
asing.
Aku bukan seorang individu, dan
aku bisa dengan mudah memainkan peran sebagai Otonashi Ayana yang mereka ingin aku
mainkan tanpa memikirkan hal lain.
Jika aku mengangguk setuju
dengan apa yang mereka katakan dan tidak melakukan apa pun untuk tidak mematuhi
mereka, mereka takkan mengeluh.
Hanya aku yang tahu apa yang
sebenarnya kupikirkan, dan jika aku membangun tembok di dalam dan di luar
diriku seperti ini, tidak ada yang bisa masuk ke dalam diriku …… dan duniaku
terlindungi dengan cara begitu.
[Kamu
suka manga itu, ya!]
[Ya
ya! Ini sangat lucu!]
[Aku
berharap aku punya anak laki-laki keren seperti itu di sisiku!]
[Kamu
menyebut mereka teman masa kecil? Aku pikir itu bagus!]
Saat itu, ada manga perempuan
yang populer, aku tidak mengingat judulnya, sih.
Salah satu temanku biasa
memberitahuku bahwa dia tidak pernah puas dengan pengalaman manis sekaligus
asam, mengasyikkan, dan terkadang menyakitkan yang mereka lalui untuk bisa
bersatu dengan teman cowok masa kecil mereka.
[Apa
benar begitu? Kedengarannya menarik]
Pada akhirnya, aku tidak
meminjam manga apa pun dari teman-temanku setelah itu, tetapi lebih nyaman bagiku
—- aku tidak merasakan apa-apa tentang manga yang mereka bicarakan.
[…… Teman masa kecil bukanlah
hal yang menyenangkan.]
Aku tidak menyukai manga yang
menggambarkan percintaan dengan teman masa kecil.
Satu-satunya hal yang bisa aku
lihat tentang lawan jenis yang mengabdi pada teman masa kecil mereka adalah
bahwa mereka hanyalah boneka tanpa kemauan yang melakukan tindakan yang
ditentukan, dan aku hanya merasa muak tentang cowok teman masa kecil keren yang
disukai semua orang.
Ketika aku membaca
cerita-cerita semacam itu, aku bahkan berpikir kalau temanku itu dicuci otak
pada usia dini untuk menyukai teman masa kecilnya.
[Apa
itu teman masa kecil?]
Itu selalu menjadi pertanyaan
yang menghantui hidupku.
Dan jika ada satu hal yang bisa
aku katakan tentang keseharianku, itu adalah bahwa teman masa kecilku merupakan
‘kutukan’ bagiku. ……
Namun, ada suatu hari ketika aku
sudah mencapai batas kesabaranku.
[Ayana,
hari ini juga, di rumah Shu-kun—]
[Enggak!
Aku tidak akan mendengarkanmu lagi!]
[Ayana!?]
Aku mencoba untuk tetap acuh
tak acuh dan berpikir aku bisa hidup dengan tembok di hatiku.
Tetapi hatiku tidak sekokoh
yang kubayangkan, dan aku melawan untuk pertama kalinya, aku bahkan tidak
peduli ibuku akan memarahiku.
Alasan mengapa aku lari sambil
menangis ke taman terdekat mungkin karena aku takut pergi jauh sendirian.
[Hiks,……
aku …… tidak mau melakukan ini, …… aku …… tidak mau melakukan ini!]
Aku duduk di ayunan dan terus
menangis sendirian.
Bahkan jika aku terus menangis
seperti ini, air mata akan segera mengering dan aku akan kembali kepada
orang-orang itu atas kemauanku sendiri. …… Perlawanan kecilku hanya untuk saat
ini, dan hatiku masih membeku ketika aku berpikir bahwa aku akan menyerah dan
menerima bahwa hari-hari semacam itu akan kembali seperti biasa lagi.
[Apa
yang kamu lakukan di sini sendirian? Matamu benar-benar merah, apa kamu habis
menangis ……?!]
Tapi hari itu berbeda.
Hari itu adalah titik balik
dalam kehidupanku yang mengubah segalanya bagiku, hari yang takkan pernah aku
lupakan.
[Uhm,
…… apa yang harus aku lakukan dalam kasus seperti ini?]
Cahaya menyilaukan menyinari
duniaku yang kupikir tidak akan pernah berubah.
Ya, itu dia ……Towa-kun muncul
di depanku.
[……Kamu
adalah……uuuu!!]
[Aku
seharusnya tidak menangis! Uhm …… Ukaaaaaaaa !!]
Hari itu adalah pertemuan pertama
antara aku dan Towa-kun, dan aku yakin aku mempermalukannya tanpa akhir.
Aku berada di taman di mana
tidak ada seorang pun di sana kecuali aku, dan dari sudut pandang Towa-kun, ia
pasti dalam masalah karena mengkhawatirkan seorang gadis yang menangis
sendirian di sana dan mulai menangis lebih keras ketika dia mendekatinya.
[Uhm,
…… inilah yang aku lakukan dalam situasi ini!]
[……Ah!]
Saat aku terus menangis,
Towa-kun dengan canggung menepuk-nepuk kepalaku.
Aku tidak tahu harus berbuat
apa, tetapi aku tahu bahwa dia mencoba menghiburku dengan cara yang entah
bagaimana muncul di benaknya, jadi aku secara alami berhenti menangis, meskipun
aku terkejut.
[Apa
yang terjadi padamu?]
[….
Sebenarnya.]
Aku mengatakan kepadanya dengan
jujur mengenai apa yang telah terjadi.
Itu pasti cerita yang sangat
sulit bagi Towa-kun. Itu adalah hal yang mengerikan untuk mendiskusikan hal
seperti itu dengan cowok seusianya.
Ketika Towa-kun mendengar apa
yang harus kukatakan, ia menyilangkan tangannya dan mengerang, seolah sudah
sulit baginya untuk melakukannya.
[….Kamu
sudah mengalami banyak kesulitan]
Aku pasti akan menertawakannya
sekarang, tapi aku masih anak kecil saat itu, jadi aku mulai menangis lagi.
Towa-kun menjadi sangat panik
ketika dia melihatku berlinang air mata lagi dan bergegas mencari apa yang bisa
ia lakukan.
Dan kemudian dia melihat hal
yang membuatnya berteriak, dan itu adalah bola sepak yang ia mainkan dengan
kakinya saat berjalan ke taman.
[Hei,
lihat apa yang kutemukan.]
[Eh?]
Towa-kun berseru dan mulai
mengangkat bola.
Aku juga menonton TV, jadi aku
tahu bahwa yang dia lakukan adalah teknik mengontrol bola tanpa menjatuhkannya
ke tanah.
Tapi aku hanya pernah melihat
selebritas melakukannya di TV, dan aku belum pernah melihatnya dari dekat
seperti ini.
[Yotoh!
Ho! Itu dia!]
[Waa!
Luar biasa, luar biasa]
Aku tidak tahu banyak tentang
sepak bola, tetapi apa yang dilakukan Towa-kun tampak luar biasa di mataku, dan
aku tahu bahwa ia berusaha mati-matian untuk menghiburku, jadi aku merasa sangat
senang.
Towa-kun tidak pernah
menjatuhkan bola ke tanah beberapa saat setelah itu, dan ketika selesai dengan
pose keren di akhir permainan, tanpa sadar aku bertepuk tangan.
[Keren
abis! Itu luar biasa!]
[Haha
terima kasih! Tapi itu bukan masalah besar karena orang dewasa juga bisa
melakukannya.]
[Tidak,
tidak! Itu sangat keren!]
[…..Hehe
terima kasih!]
Jika dipikir-pikir lagi
sekarang, ini pertama kalinya aku berbicara seperti ini dengan laki-laki selain
Shu-kun.
Kesegaran dari dunia yang
berbeda menyebar ke seluruh dadaku, dan sesuatu yang tak terlukiskan memenuhi
hatiku.
[Ada
tempat yang ingin aku kunjungi sekarang, apa kamu ingin bergabung denganku?]
[Ya!
Aku ingin pergi!]
Dengan anggukan kepala atas
saran Towa-kun, aku tidak lagi memikirkan Shu-kun atau ibuku.
Towa-kun memegang tanganku dan
membawaku ke banyak tempat, tapi yang meninggalkan kesan terbesar bagiku adalah
game center.
[Paman, aku datang mengganggu!]
[TL: Ini adalah Paman yang Ayana maksud]
[M-Maaf mengganggu….!]
[Hei, Towa boy, apa dia
pacarmu?]
Aku penasaran apakah pria yang
bertanggung jawab atas arcade itu adalah kenalan Towa, dan sejak aku bertemu
dengannya, aku bisa merasakan bahwa mereka sangat dekat sehingga mereka bahkan
bertukar olok-olok ringan seperti itu.
Suasananya bersahabat,
seolah-olah mereka adalah ayah dan anak, dan cerita mereka lebih lucu dari yang
aku bayangkan, dan aku tidak bisa berhenti tertawa.
[Dia
menertawakanmu karena kamu idiot.]
[Aku
tidak ingin disebut idiot oleh anak laki-laki yang bergoyang-goyang, sekarang?]
[Ibuku
menyebutmu idiot juga.]
[Mimi-chan,
betapa mengerikannya dia!]
[Fufu…..Ahaha!]
Itu adalah percakapan yang
sangat menakjubkan.
Towa-kun mengolok-oloknya, dan
paman itu bereaksi, dan aku menertawakannya, lalu paman itu tersipu malu, ……
dan itu sangat menyenangkan.
[…….Ada
banyak hal di luar sana.]
Pusat arcade adalah tempat yang
tidak aku kenal.
Mungkin, tapi aku yakin tidak
banyak siswa sekolah dasar, terlebih lagi perempuan, yang datang ke
tempat-tempat semacam ini.
Ada banyak hal yang tidak aku
mengerti, tapi aku bermain dengan sekuat tenaga selama sekitar satu jam
sementara Towa-kun mengajariku banyak hal.
[…..Ah]
Tapi waktu bersenang-senangku
akhirnya berakhir.
Ketika aku melihat jam di
dinding, kupikir sudah waktunya aku pergi, jadi aku memberitahu Towa-kun bahwa aku
harus pulang.
Aku sangat senang melihatnya,
dan ia berkata akan mengantarku pulang sebagai permintaan maaf karena telah
membawa aku berkeliling.
[….hangatnya]
Kehangatan tangan Towa-kun yang
kembali menggenggam tanganku, dengan egoisnya aku tidak mau melepaskan
tangannya.
[…..]
Aku juga memperhatikan waktu
itu bahwa kehangatan yang datang dari tangannya membuatku merasa gugup.
Rumahku sebentar lagi akan
terlihat, dan saat itu, Towa-kun mengeluarkan sesuatu dari sakunya dan
menyerahkannya padaku.
Itu adalah gantungan kunci beruang
…… itu, gimana mengatakannya ya, beruang itu terlihat sangat jelek.
[Aku
mengambil ini sebelumnya saat Ayana asyik bermain game. Kamu dapat membuangnya
jika kamu tidak menginginkannya.]
[Aku
tidak membuangnya!]
Aku menerima gantungan kunci
dan memegangnya di dadaku.
Ini bukan pertama kalinya aku
menerima hadiah seperti ini, tapi meski begitu, hadiah yang aku terima dari
Towa-kun lebih hangat dari apapun yang pernah aku terima sebelumnya.
[Terima
kasih, Towa-kun!]
[….Ou]
Towa-kun sangat imut dan pemalu
saat ia menjawab sambil menggaruk pipinya, dan aku sangat senang melihatnya
seperti itu.
Rasanya sangat menyedihkan
memikirkan bahwa waktuku bersamanya, yang pertama kali kutemui hari ini, akan
segera berakhir, dan meskipun aku berharap kali ini lebih lama, itu tidak
mungkin.
[….]
Ibuku dan Shu terlihat panik di
depan rumahku.
Aku yakin dia mencari-cari
keberadaanku, tetapi dia pasti akan marah jika aku pergi ke sana sekarang.
……Towa-kun dengan lembut memegang tanganku lagi, karena aku tidak bisa
melangkah maju.
[Semuanya
akan baik-baik saja. Ayo pergi]
[……Ya.]
Aku mengangguk pada Towa-kun,
yang tersenyum padaku dan berkata jangan khawatir, dan menuju ibuku.
Shu-kun dan Kotone-chan berlari
ke arahku ketika mereka melihatku, dan para ibu yang mengawasi mereka
mengikuti.
[Aku
minta maaf. Aku mengajak Ayana berkeliling tanpa sengaja. Kami bersenang-senang
bermain bersama.]
Towa menjelaskan situasinya.
Seharusnya itu semua salahku,
tapi cara penyampaian Towa-kun ini seolah-olah mengatakan kalau itu salahnya,
dan ibuku memelototinya seolah-olah mereka mengira itu salah Towa-kun sehingga
aku pergi.
[I-Itu—]
Aku mencoba mengatakan dengan
suara keras bahwa akulah yang salah, tapi Towa-kun menghentikanku.
Dia berbisik kepadaku lagi
bahwa tidak apa-apa, dan kemudian melihat kembali pada para ibu, yang jauh
lebih dewasa daripada dia.
Seperti yang diharapkan, para
ibu tidak ingin membentak Towa-kun yang duduk di bangku sekolah SD, dan tidak
ada yang dikatakan saat itu, tetapi setelah kembali ke rumah, mereka mengomeliku
untuk tidak pernah bertemu dengan Towa-kun atau bermain dengannya lagi.
[Towa-kun…..sangat
keren]
Ketika Towa-kun membelaku di depan
ibuku, aku pikir ia terlihat sangat keren.
Aku akan mengakhiri hariku
dengan perasaan yang berbeda dari biasanya saat aku menyentuh gantungan kunci
yang diberikan Towa-kun kepadaku dan memikirkan kembali pertemuan hari ini.
Shu-kun dan Kotone-chan sepertinya
mengatakan sesuatu kepadaku, tapi itu tidak mendinginkan hatiku.
[Towa-kun,
kapan aku bisa bertemu denganmu lagi?]
Aku meninggalkan Towa-kun tanpa
memutuskan bagaimana kami bisa bertemu atau di mana kami bisa bertemu, atau
bahkan di mana kami bisa bertemu.
Aku bertanya-tanya apakah kami
akan bertemu lagi, tetapi ternyata itu adalah ketakutan yang tidak berdasar.
[Eh?
Ayana-san?]
[Towa-kun?!]
Aku tidak pernah menyangka
kalau kami pergi menghadiri sekolah SD yang sama.
Jadi, kisah Towa-kun dan aku dimulai
dari titik ini, dan kami akan menghabiskan banyak waktu bersama.
Shu-kun akan bergabung dengan
kami, dan kami bertiga akan selalu menghabiskan waktu bersama.
*****
[Sudut Pandang MC]
Kisah yang Ayana ceritakan
tentang masa lalunya adalah hal-hal yang benar-benar tidak kuketahui.
Aku bertanya-tanya betapa
kecilnya dunia bagi Ayana, waktu yang dia habiskan bersama Shu dan keluarganya
sejak dia masih kecil, dan cara ibunya memaksanya melakukan sesuatu.
“Aku minta maaf. Aku minta maaf
karena berbicara tentang masa lalu begitu lama, meskipun Kamu mengetahuinya
sampai batas tertentu.”
“Aku…. tau”
Aku tidak terkejut dia
mengatakan itu.
Aku memang terpana dengan
ceritanya, tetapi entah kenapa pikiranku menerimanya dengan tenang dan
memproses informasinya.
Seolah-olah pikiranku telah
meyakinkan dirinya sendiri bahwa ini memang kebenaran dan bahwa aku telah
mengetahuinya sejak awal.
(……?
Ini ……)
Saat aku mendengarkan cerita
Ayana, dan saat aku memeluknya sekarang setelah aku selesai mendengarkan, ingatan
tertentu muncul di benakku.
Itu adalah ingatan mengenai
cerita yang baru saja dikatakan Ayana kepadaku, dan pertemuanku dengan Ayana
kembali padaku dengan jelas.
“……Aah benar. Itu benar-benar.”
Tiba-tiba, ingatanku kembali
kepadaku, tetapi itu diubah menjadi pengalaman hidupku.
Terlepas dari kenyataan bahwa
itu adalah ingatan orang lain, ingatan tersebut sudah berubah menjadi milikku
sampai aku yakin bahwa itu selalu menjadi ingatanku.
“Towa, ada apa?”
Aku adalah aku, namun, seperti
yang sudah kukatakan sebelumnya, aku pasti merasa ada sesuatu yang terkait
dengan Towa.
Mungkin itu sebabnya aku merasa
lebih protektif terhadap Ayana daripada sebelumnya.
Aku ingin mengawasinya, dan aku
ingin dia tersenyum seperti sekarang, dari lubuk hatinya.
“Ayana.”
Aku meletakkan tanganku di
pipinya.
Aku tidak tahu mengapa aku
memutuskan untuk melakukan itu, tetapi ketika dia melihat tanganku di pipinya, tatapan
matanya terlihat basah seolah dia sedang mengharapkan sesuatu.
“…… Aku…”
“Eh?”
Jujur aku menganggap mereka
tidak lebih dari karakter dalam sebuah game, …… dan tidak, masih ada sedikit
dari itu.
Namun, aku bukan satu-satunya
yang bergerak dengan kemauan, dan para gadis ini adalah manusia yang hidup di dunia
ini, tidak berbeda denganku.
“…… Ayana…”
“Ya, ada apa?”
“Kamu benar-benar gadis kecil
yang lucu banget sih!?”
“…… Hahiii!?”
Ekspresinya terus-menerus
berubah, dan dia benar-benar imut.
Tidak mengherankan kalau dia
adalah karakter favoritku sejak aku bermain game, tapi tetap saja, ketika aku
melihat gadis yang bernama Otonashi Ayana lagi, itulah kesan yang muncul di
benakku.
(….Aku
tidak mencari arti terlahir kembali di dunia ini. Tapi satu-satunya hal yang
ingin kulakukan sekarang adalah, aku tidak ingin membuat gadis ini …… aku tidak
ingin Ayana menangis)
Aku pikir aku telah memikirkan
arti kelahiran kembaliku ke dunia ini untuk waktu yang lama.
Aku berpikir bahwa pasti ada
maksud kehadiranku di dunia ini, tapi karena aku yakin jika aku terus merasakan
hal tersebut, itu pasti akan sama dengan akhir dari permainan itu, aku berpikir
bahwa aku akan membawanya ke akhir yang bahagia. .
(Aku
Yukishiro Towa,…… tapi aku bukan hanya karakter yang membentuk dunia ini.
Kemudian aku akan melakukan apa yang ingin aku lakukan. Aku ingin melindungi
makhluk yang ingin aku lindungi dengan tanganku sendiri. Aku ingin Ayana untuk
tetap tersenyum.)
Dan jika aku bisa egois tentang
satu hal lagi…… aku ingin tetap bersama gadis ini
“…..Jadi begitu ya.”
Kalau dipikir-pikir, ini mungkin
pertama kalinya aku merasakan keinginan yang begitu kuat untuk berada di
sisinya.
Tentu saja, sampai batas
tertentu aku dipengaruhi oleh kesadaran Towa, tetapi ini pertama kalinya aku
sangat ingin berada di sisinya atas kemauanku sendiri.
Setelah menatap Ayana sebentar,
aku memutuskan untuk sedikit tenang dan pergi ke kulkas untuk minum.
“…… Ini.”
Namun, aku masih dalam posisi
yang sama, dan aku mampu menghadapi perasaan aku, yang sepertinya mengalihkan
pikiran aku dari banyak hal.
Aku mencoba berdiri, tapi
dengan bodohnya lututku keram dan badanku terjatuh, mendorong Ayana ke bawah
bersamaku.
“Ma-Maafkan aku Ayana…..?!”
Aku segera meminta maaf dan
mencari sesuatu yang mencurigakan tentang dia, tetapi sentuhan di tangan kananku
menghentikan gerakanku.
Rasanya begitu lembut dan
hangat di telapak tanganku. …… Jadi tangan kananku diletakkan di dada Ayana
yang luas.
“……Towa-kun.”
“……”
Aku
harus menjauhkan tanganku, pikirku, tapi tanganku tidak mau lepas
dari dada Ayana.
Saat tanganku menyentuh dadanya
seperti itu, bahkan detak jantungnya bisa dirasakan melalui telapak tanganku.
Hal itu mungkin hal yang aneh
untuk dipikirkan pada saat seperti ini, tapi itu membuatku berpikir bahwa dia
masih hidup.
“Ayana, aku menginginkanmu.”
Aku mengatakan sebanyak itu dan
aku terengah-engah.
Aku mengoreksi diriku dan
mencoba untuk menjauh darinya, berpikir bahwa itu bukan hal yang tepat untuk
dikatakan setelah mendorongnya jatuh dalam suatu kecelakaan, tapi ...... aku
masih tidak ingin menjauh darinya.
Ayana yang sedari tadi tersipu,
sudah terlihat aneh, tapi ketika dia mendengar kata-kataku, dia mengunciku
menggunakan semua tangan dan kakinya.
“Tidak apa-apa, Towa-kun.
Silakan lakukan apa pun yang kamu inginkan kepadaku tanpa memikirkannya
sekarang. ”
Ekspresi Ayana terlihat sangat
s*ksi ketika mengatakan itu.
Aku sangat kegirangan saat
melihat wajah Ayana yang seperti itu, dan aku menyadari bahwa dia memiliki
ekspresi yang sangat lembut dan reseptif di wajahnya, seolah-olah dia mencoba
untuk memelukku.
Aku mendekatkan wajahku ke
bibir Ayana saat dia menatapku, dan mencium bibir lembutnya.
“…..Un…..Chuu”
Aku tidak dapat mengingat
seperti apa kehidupanku sebelumnya, tetapi ini pasti pertama kalinya aku mencium
seorang gadis dalam hidupku.
Aku yakin rasa yang sedikit
asin dan teksturnya yang lembut itu karena Ayana terus menangis beberapa saat
yang lalu.
“Rasanya sedikit asin, mungkin
karena kamu menangis?”
“…… Karena ada kejadian seperti
tadi, sih. Towa-kun membuatku menangis, jadi tolong tanggung jawablah~♪”
Aku menertawakan Ayana yang
menghalangi jalan kaburku dengan memintaku untuk bertanggung jawab.
Sejujurnya, masih banyak yang
harus kuketahui, dan yang terpenting, mungkin ada lebih banyak hal tersembunyi
antara diriku dan Ayana.
Tapi untuk saat ini, aku hanya
ingin mencintai gadis di depanku.
Aku membaringkan tubuhku di
atas tubuh Ayana, didorong oleh perasaan cinta yang meluap-luap di hatiku, dan
mengikuti perasaanku sendiri yang ingin melindunginya.
Setelah beberapa waktu, kami
secara alami telanjang bulat dan saling berpelukan.
“…..Fufu”
“Apa ada yang salah?”
“Tidak, aku tahu aku suka
melakukannya dengan cara begini.”
Ehehe, Ayana
tertawa dan aku mengelus kepalanya.
Aku pikir dia mirip seperti
kucing ketika aku melihatnya menyipitkan matanya dengan senang.
“Kamu terlihat mirip seperti
kucing, Ayana.”
“Mirip seekor kucing? Nyaa~n♪”
“……”
“Oh, apa itu mempan padamu? Apa
aku menemukan area baru untuk dijelajahi?
“Jangan menyebutnya area baru
untuk dijelajahi.”
Wajah tersenyum Ayana begitu
antusias, tapi aku tertawa kecil dan berpikir, yah, itu sama saja bagiku.
“Akemi-san masih belum pulang
ya?”
“Dia bilang dia akan sedikit
terlambat. Kupikir dia akan pulang sekitar satu jam lagi.
“Benarkah? Lalu kita bisa tetap
seperti ini sedikit lebih lama lagi.”
Ayana membenamkan wajahnya di
dadaku lagi.
Aku sedikit terkejut melihat
tubuh telanjang Ayana, tapi saat aku melihat wajahnya lagi……, jujur saja aku
terkesan dengan gayanya yang cantik sekaligus erotis.
Kami berpelukan sebentar lalu
memutuskan untuk berpakaian dan menunggu ibuku pulang.
“Towa-kun.”
“Ada apa?”
Saat kami bersantai bersama
seperti ini, Ayana tiba-tiba menanyakan pertanyaan ini padaku.
“Bisakah kamu mencoba memanggilku
dengan setiap kemungkinan nama yang dapat kamu pikirkan?”
“Eh? …… Tentu."
Aku bingung dengan
pertanyaannya, yang lebih samar daripada bermakna, tetapi aku mengikuti
kata-katanya dan mencoba mengatakan apa yang aku sebut Ayana.
“Ayana,…… Ayana-san,……
Ayana-chan,…… sayang?”
“…… Pfft!”
“Jangan tertawa!”
Aku tahu panggilan “Sayang” terlalu berlebihan, tapi tolong
jangan tertawa!
Ayana bilang dia minta maaf,
tapi bahunya bergetar, dan sepertinya kata-kataku tepat sasaran.
Dia tertawa lebih kerasa dari
yang kuharapkan dan hampir cekikikan, tetapi Ayana meraih tanganku dan
melanjutkan.
“Towa-kun selalu seperti itu. Kamu
tidak pernah memanggilku “Kamu,” tau?
Aku tahu kamu mungkin ingin mengatakan aku hanya kepedean, tetapi bahkan caramu
memanggilku membuatku merasa bahwa kamu menganggapku sebagai seseorang yang
penting, dan itu membuatku bahagia.”
“Ah~…… tidak, kamu tidak bisa
memanggil seorang gadis ‘kamu’ seperti itu, ‘kan?”
Aku tidak tahu apakah mereka
sangat dekat, tetapi tidak mungkin bagiku untuk mengatakan "kamu"
kepada seorang gadis yang dekat denganku seperti Ayana.
“Aku mengajukan pertanyaan
serupa beberapa waktu lalu,……, tapi kurasa Towa-kun tidak pernah berubah, ‘kan?
Kamu selalu baik padaku,……, dan aku akan selalu mencintaimu untuk itu.”
Ayana lalu mencium pipiku.
Terlepas dari kenyataan bahwa mungkin
tidak ada arti yang mendalam dari pertanyaan yang baru saja dia tanyakan
kepadaku, aku masih senang mendengar Ayana mengatakannya sebagai tanggapan atas
jawabanku sendiri.
Mari berjemur di bawah kasih
sayangnya lebih lama, dan merasakan kehadirannya dekat.
****
[Sudut Pandang Shu]
“……?”
“Apa ada yang salah?”
Sepulang sekolah, aku membantu
Iori-senpai dengan pekerjaannya lagi.
Aku hendak menyelesaikannya
namun aku tiba-tiba merasakan sesuatu yang tidak dapat aku gambarkan dengan
kata-kata, tapi pada akhirnya aku tidak tahu kejanggalan apa tadi itu.
Iori-senpai memiringkan
kepalanya ke arahku, tapi segera mengalihkan pandangannya dariku untuk
berkonsentrasi pada sisa pekerjaannya.
Setelah beberapa saat keheningan,
kami berdua menyelesaikan pekerjaan kami untuk hari itu.
“Fuu, kerja bagus, Shu-kun.”
“Tidak, tidak, kerja bagus
untukmu juga, Iori-senpai.”
“….Fufu♪”
Saat aku mengatakan ini
padanya, entah mengapa Iori-senpai tersenyum bahagia.
Selagi aku berpikir bahwa
Iori-senpai masihlah gadis yang tersenyum indah, Iori-senpai melihat langsung
ke wajahku dan mengatakan ini kepadaku.
“Ketika aku menyeretmu, kamu
terlihat seperti dalam masalah, tetapi ketika pekerjaan dimulai, kamu langsung
berkonsentrasi dan membantuku sampai akhir. Aku pikir kamu luar biasa seperti
itu.”
“……Terima kasih.”
Aku merasakan panas di pipiku
saat dia memujiku begitu.
Sejujurnya, seperti yang baru
saja Iori-senpai katakan, memang benar aku merasa itu merepotkan, tapi aku
tidak membenci kenyataan bahwa dia mengandalkanku seperti ini ...... Karena aku
agak bahagia, aku ingin memenuhi harapannya sebanyak mungkin.
(……
meskipun aku juga memiliki sedikit rasa superioritas)
Iori-senpai dipuja oleh banyak
siswa sebagai ketua OSIS yang cantik di sekolah ini.
Tidak mengherankan jika dia
dipuja-puja oleh para pria, dan aku mendengar darinya langsung bahwa dia telah
menerima banyak pengakuan cinta dari para pria.
Sementara banyak orang tertarik
pada Iori-senpai dengan cara begitu aku merasakan keunggulan pada kenyataan
bahwa dia bergantung padaku.
“Ayo pulang hari ini.”
“Ya, aku mengerti.”
Aku meninggalkan ruang OSIS
bersama Iori-senpai dan menuju pintu masuk.
Langit di atas cakrawala sudah
cukup gelap, dan satu-satunya orang di sekolah adalah para siswa yang berada di
luar melakukan kegiatan klub dan para guru yang masih berada di ruang staf.
Ayana dan Towa seharusnya sudah
pergi, jadi aku sendirian hari ini.
"Shu-kun, mumpung kita di
sini, ayo berpegangan tangan.”
“…… Eh?”
Mengapa?
Bahkan
sebelum aku bisa mengajukan pertanyaan seperti itu, tanganku sudah berada di
genggamannya.
Aku tidak tahan untuk berpaling
dari Iori-senpai, yang memegang tanganku dan menatapku dengan saksama, tapi
Iori-senpai menatapku dan cekikikan.
Orang ini selalu seperti itu…
menggodaku seperti ini, menggodaku… tapi aku tidak keberatan dia
memperlakukanku seperti itu.
“Apa jantungmu berdebar
kencang?”
“….”
“Fufu….Apa itu berarti aku masih
punya kesempatan?”
Iori-senpai selalu mengatakan
hal-hal yang membuatku gugup.
Sejujurnya, aku bahkan tidak
tahu mengapa dia sangat memikirkan seseorang sepertiku. Itu karena aku sama
sekali tidak serasi dengan gadis secantik Iori-senpai.
Aku pernah bertanya mengapa dia
sangat peduli padaku, dan inilah yang dia katakan.
[Jika
kamu berpacaran denganku, aku akan memberitahumu, tapi apa yang ingin kamu
lakukan?]
Apa aku bersedia berpacaran
dengan Iori-senpai? Aku ingat bahwa aku secara alami tertarik pada kata-katanya,
tetapi dari caranya memandangku, aku pikir dia benar-benar bercanda, jadi aku
bilang oke.
(Tidak
peduli seberapa jauh aku melangkah, aku hanyalah manusia biasa… Aku hanya tidak
memiliki kualitas penebusan.)
Towa akan memberitahuku untuk
tidak terlalu merendahkan diriku sendiri, tapi meski begitu, kurasa aku takkan
bisa memperbaiki kepribadianku ini kecuali aku memiliki banyak masalah.
Aku sadar bahwa aku memiliki
rasa minder dan aku terlalu memandang rendah diriku sendiri, tetapi aku selalu
seperti ini, jadi aku tidak dapat dengan mudah memperbaikinya.
(Memang
benar Iori-senpai adalah gadis yang cantik,……, tapi aku menyukai Ayana. Dia
selalu ada di sisiku. Itu sebabnya aku tidak bisa menjalin hubungan seperti itu
dengan Iori-senpai.)
Aku juga laki-laki, jadi
terkadang aku dibuat terlena oleh kata-kata manis Iori-senpai. Tapi aku masih
mencintai Ayana.
Aku tidak akan menyerah
padanya, dia sudah berada di sisiku selama ini dan aku akan membuatnya bahagia
mulai sekarang. …… Ya! Aku akan membuatnya bahagia!
“Iori-senpai, kita harus
bergerak cepat.”
“Ya”
Aku sedang memikirkan Ayana,
dan aku sangat ingin melihatnya.
Saat aku berpikir untuk mampir
ke rumah Ayana sebelum pulang, aku mendengar suara di belakangku yang bukan
milikku dan Iori-senpai.
“Oh, Shu-senpai!”
“Eh? Mari?”
“Sudah kuduga itu Shu-senpai!”
Ternyata itu Mari, seorang
kouhai, yang memanggil namaku dan berlari ke arahku.
Dibandingkan dengan Iori-senpai
yang lebih dewasa, Mari adalah seorang gadis tomboy, bertampang ramping yang
lebih sering digambarkan sebagai imut dan manis daripada cantik.
“Apa kamu hendak pulang juga?
Boleh aku bergabung denganmu?”
“Tentu. Shu-kun, kamu tidak
keberatan, ‘kan?”
“Tentu. Bagaimana kita pulang
bersama?”
“Ya!”
Mari menjawab dengan gembira
dan riang dan berjalan di sebelahku, tapi kemudian dia dengan cepat menutup
jarak di antara kami dan meraih lenganku.
Seolah-olah untuk melawan
senyum Mari yang pemalu tapi bahagia, Iori-senpai juga melepaskan tanganku yang
memegang tangannya dan semakin memperpendek jarak saat dia memeluk lenganku.
(……
lembutnya)
Aku hampir merasakan hidungku
mengeluarkan sesuatu pada sentuhan yang lembut nan kenyal.
Seolah-olah untuk memasang
setidaknya kemiripan perlawanan, aku entah bagaimana berhasil memperbaiki
ekspresiku dan melakukan yang terbaik untuk menggertak bahwa aku tidak
menyadari apa pun secara khusus.
“Uchida-san, bukankah kamu terlalu
dekat?”
“Honjo-senpai juga sama,
bukannya kamu terlalu dekat? Tolong menjauhlah darinya.”
Mereka berdua berkelahi satu
sama lain seolah-olah mereka bersaing untuk mendapatkan perhatianku.
Jika Ayana melihatku pada saat
seperti itu, dia akan salah paham, dan aku bersyukur dia tidak berada di sisiku
untuk saat ini.
“Aku hanya tidak ingin kalian
berdua terlalu sering berdebat ketika aku dihimpit kalian.”
“….Benar.”
“Tentu saja.”
Aku mengatakan ini, dan mereka
berdua berhenti berdebat.
Aku menghela nafas lega, meski
sedikit kecewa, saat mereka tidak hanya berhenti berdebat, tapi juga melepaskan
lenganku yang tadinya mereka pegang.
Aku tidak tahu perasaan apa
yang mereka berdua miliki untukku. Tapi aku penasaran apakah begini rasanya
membuat orang memperebutkanku, dan aku sedikit bermasalah.
(…..Aku
terlalu kepedean!)
Aku merasa malu pada diriku
sendiri karena berpikir seperti protagonis harem.
Tidak peduli seberapa besar
Iori-senpai dan Mari mungkin menyukaiku atau PDKT denganku, aku sudah mempunyai
Ayana …… Jadi jangan berharap yang aneh-aneh, Sasaki Shu!
Aku sedang menguji diriku
sendiri ketika Iori, sembari menatap Mari, mengatakan sesuatu seperti ini.
“Jadi, apa hubunganmu dengan
Uchida-san, Shu-kun?”
Aku hendak menjawab, tapi Mari
yang menjawab lebih dulu.
“Aku sering lari di akhir pekan
dan hari libur. Aku bertemu Ayana-senpai ketika aku juga berlari, dan dia
memperkenalkanku pada Shu-senpai. Aku selalu mengabdikan diri pada kegiatan
klub, jadi aku sangat menikmati berbicara dengan mereka berdua. …… ehehe.”
“Jadi begitu.”
Saat aku mendengarkan kata-kata
Mari, aku juga mengingat hari-hari itu.
Hari itu adalah hari libur
biasa dan aku hanya bersantai di rumah, tetapi Ayana menghubungiku dan bertanya
apakah aku ingin bertemu dengannya sekarang.
Aku sangat gugup ketika pertama
kali bertemu Mari sehingga percakapan kami lumayan canggung.
“Sudah kubilang, Shu-kun, Mari
adalah gadis yang baik.”
Berkat dukungan Ayana, aku
mulai berinteraksi dengan Mari juga dan bisa mengenalnya sebaik sekarang.
Kami berdua semakin sering
bertemu tanpa Ayana, dan terkadang aku menemani Mari berlari. …… Tentu saja,
aku tidak bisa mengimbangi staminanya dan menyerah sejak dini.
“Tapi sungguh kebetulan sekali,
bukan? Berkat Otonashi-san, aku bisa bertemu Shu-kun, dan berkat Otonashi-san
aku juga bisa berbicara dengan Shu-kun.”
“Apa benar begitu?”
“Ya”
Memang benar berkat Ayana, aku
bisa mengenal Iori-senpai juga.
Saat kami melakukan diskusi
kelas, Ayana sering mengambil inisiatif memimpin kelompok dan mengatur pendapat
semua orang.
Ayana memintaku untuk
menemaninya ke ruang OSIS, dan disitulah aku bertemu Iori-senpai.
(Aku
sudah mendengar tentang Iori-senpai, tapi aku mendapat kesan bahwa dia adalah
orang yang dingin dan menakutkan.)
Pada waktu itu, aku merasa
takut karena rumor tersebut, tapi berkat Ayana yang pandai berurusan dengan
orang, dan berada di sisiku, kami menjadi teman seperti yang kulakukan dengan
Mari.
Begitulah caraku berteman
dengan Iori-senpai.
“Jadi, bisa dibilang kalau Otonashi-san
adalah Mak comblang di antara kita, Shu-kun.”
“Itu benar! …… Yah, Shu-senpai sepertinya
tidak mau memberi perhatian sama sekali padaku.”
Aku tidak ingin kalian berdua
menatapku.
Mereka menatapku, yang tersipu
karena tidak tahu bagaimana harus bereaksi, dan keduanya menghela nafas.
“…… Masih tidak bagus, ya.”
“Memang.”
“Apa aku baru saja melakukan
sesuatu yang salah?!”
Mau tak mau aku jadi
melontarkan komentar keras.
Suaraku begitu keras dan mereka
berdua meminta maaf karena terlalu banyak mengolok-olok aku, tapi itu bukan
apa-apa untuk meminta maaf. ……
Aku mengenal mereka berdua
melalui Ayana dan berteman baik dengan mereka, dan aku dapat mengatakan tanpa
ragu bahwa mereka adalah bagian yang sangat besar dalam hidupku.
(Aku
tidak membencinya, justru sebaliknya, aku menyukainya.)
Waktu yang aku habiskan bersama
Ayana dan Towa, dan keseharian yang aku habiskan bersama Iori dan Mari sangat
penting bagiku.
Yah, lagipula, aku merasa
paling nyaman saat berada di sisi Ayana …… mungkin?
Kemudian aku bertanya-tanya
apakah salah jika aku memikirkan Ayana, dan aku menyadari bahwa Iori-senpai dan
Mari menatapku dengan tatapan yang tak terlukiskan.
“…..Apa?”
“Tidak, aku hanya berpikir
bahwa Otonashi-san adalah lawan yang tangguh.”
“Itu benar. Ayana-senpai
terlalu kuat!”
Mengapa nama Ayana tiba-tiba
diungkit……
Meskipun aku merasa seolah-olah
mereka telah membaca pikiranku, memang tidak diragukan lagi kalau aku selalu
memikirkan Ayana.
Dia sangat memahamiku karena
kami telah menghabiskan seluruh hidup kami sebagai teman masa kecil.
Dia selalu tersenyum di
sampingku, dan senyumnya benar-benar hartaku yang berharga.
“……Aku menyukai Ayana.”
Aku berbisik pelan agar mereka
berdua tidak bisa mendengarku.
Aku mungkin ditertawakan karena
mengatakannya seperti ini, tetapi aku dapat mengatakan bahwa orang tua kami sangat
dekat satu sama lain.
Ayana telah berada di sisiku
selama ini tanpa sedikitpun ketidaksetujuan, jadi aku yakin kalau perasaanku
akan tersampaikan padanya. …… jadi aku yakin itu akan baik-baik saja.
“Ah, benar, Shu-senpai!”
“Apa ada yang salah?”
“Otonashi-senpai juga sama,
tapi Yukishiro-senpai juga luar biasa, kan!”
Aku mengangguk.
Kalau dipikir-pikir lagi, ini
adalah pertama kalinya Mari bertanya padaku tentang Towa, dan aku akan menjawab
apapun yang dia tanyakan padaku, selama aku tahu apa yang dia bicarakan.
“Aku punya kesempatan untuk
berbicara dengannya sebelumnya, tapi ada sesuatu yang tidak bisa kutanyakan
padanya saat itu. Yukishiro-senpai adalah pemain sepak bola yang sangat bagus,
bukan?”
“Ara, begitukah?”
Berbeda dengan Iori-senpai yang
bereaksi seolah dia tertarik, aku merasa seolah ada bayangan yang menutupi
hatiku.
Towa adalah sahabat
terbaikku,……, tapi meski begitu, topik sepak bola di antara kami lumayan
sedikit tabu.
“Ketika aku masih SMP, aku
bersekolah di sekolah yang berbeda, tetapi aku masih ingat bahwa ada
desas-desus bahwa ia adalah pemain sepak bola yang sangat jago. Namun, aku
mendengar bahwa ia mengalami kecelakaan dan terluka parah dan harus berhenti
bermain sepak bola.”
Meskipun dia bertanya apakah aku
mengetahui detail waktu itu, aku tidak dapat langsung menjawab pertanyaan Mari.
Karena kejadian itu …… tidak,
itu sudah berakhir.
Bahkan Towa memaafkanku, dan
ini sudah berakhir!
[Kurasa
itu berarti hal semacam ini bisa terjadi. Jangan terlalu khawatir, Shu, aku
sangat senang kamu baik-baik saja.]
Lihat, bahkan Towa dalam
ingatanku mengatakan begitu ……, jadi tidak apa-apa.
Tapi tetap saja aku memutuskan
untuk mengacaukan kata-kataku pada Mari.
“Sebenarnya, aku juga tidak
tahu apakah aku akan …… pergi sejauh itu. Aku yakin itu pasti membuat Towa
frustasi, dan kupikir lebih baik kalau kamu tidak perlu terlalu banyak
mengoreknya.”
Aku menyimpulkan bahwa ini
mungkin lebih baik untuk Towa.
Kedua wanita itu tidak
menanyakan pertanyaan yang lebih dalam tentang topik ini setelah mendengar
ucapanku, dan mereka segera beralih ke topik lain.
“….Fiuh”
Aku merasa lega ketika topik
mengenai Towa sudah selesai.
Menjaga sikap tenang saat
berbicara dengan mereka, aku berpikir bahwa Towa adalah sahabatku.
Ya, …… Towa adalah sahabatku.
(Tapi
kenyataannya adalah ……)
Aku …… merasa iri kepada Towa,
sahabatku, yang bisa melakukan apa saja.
Aku sangat iri dengan Towa yang
pandai belajar, jago dalam olah raga, punya banyak teman, dan sangat akrab
dengan Ayana.
Aku merasa iri padanya karena
memiliki semua yang tidak aku miliki, tetapi pada saat yang sama aku cemburu.
[...Eh?]
[Maaf,
tapi kamu mungkin takkan bisa mengikuti turnamen, dan bermain sepak bola
mungkin sedikit sulit.]
Ketika aku secara tidak sengaja
mendengar kalimat yang datang dari kamar rumah sakit Towa dan melihat ekspresi
tercengang di wajah Towa melalui celah kecil, mau tidak mau aku berpikir, “Rasain tuh.”
Tapi itu bukan niatku yang
sebenarnya, hanya kecemburuanku lah yang mendorongku.
Tetap saja, aku tertawa dan
terkikik melihat Towa di tempat tidur, hancur oleh kenyataan menyakitkan dari
situasinya.
(Pada
saat itu, aku memang menertawakan Towa. Dan pada saat itu, aku juga merasakan
sedikit perasaan bahwa ada orang lain di sana.)
Mungkin seseorang melihat wajah
tertawaku saat itu. ……