Bab 10 —
Maka, Hari 'X' Tiba untuk Tenshi-sama
Meskipun Amane sekarang sudah
mulai bekerja paruh waktu, bukan berarti dirinya menghabiskan seluruh hari
liburnya bersama Mahiru. Ia memiliki kehidupannya sendiri, dan ada kalanya ia
ingin menyendiri atau menghabiskan waktu bersama orang lain. Selain itu, Mahiru
sudah merencanakan sesuatu di belakang Amane akhir-akhir ini, dan karena itu,
ia sering menghabiskan waktu bersantai di rumah sampai makan malam atau bergaul
dengan Itsuki dan yang lainnya di hari kerja ketika ia tidak ada pekerjaan.
“Hei, Mas-Mas pasutri baru. Kamu
yakin tidak masalah ikutan nongkrong dengan kami? Istrimu tidak akan mulai
merajuk padamu, ‘kan?”
Atas undangan Itsuki, Amane dan
Yuuta diajak untuk mencicipi produk baru yang diluncurkan oleh suatu kedai
kopi. Mereka memesan untuk dibawa pulang, dan pergi ke taman terdekat di dekat
stasiun untuk menikmatinya, tetapi saat mereka sedang menyeruputnya, Itsuki
tiba-tiba mengajukan pertanyaan itu.
Sebelumnya, Itsuki setengah
bercanda menyarankan, “Bagaimana kalau kita pergi ke kafe Amane saja?” tetapi
Amane menolaknya dengan tegas.
“Siapa yang kamu panggil
pasutri baru?” Amane membalas. “Lagipula, ini adalah waktu senggangku, jadi
tidak masalah bagiku untuk berkumpul dengan teman-temanku. Lain lagi ceritanya
jika aku bersama para wanita, tapi aku hanya berkumpul dengan teman cowok, jadi
ini murni hanya untuk bersenang-senang. Kita hanya bermain-main saja.”
“Astaga! Jadi sekarang kamu
bilang kamu hanya bermain-main denganku...!"
“Kamu sendiri yang mengatakan
itu ketika kamu mengajakku,... Dan jika kamu mengartikan 'main-main' seperti itu, maka kita tak pernah punya hubungan
seperti itu sejak awal, jadi itu tak mungkin.” Amane menatap Itsuki dengan
tatapan kosong.
Itsuki menggeliat-geliatkan
tubuhnya ke depan dan ke belakang secara dramatis, dengan sengaja bertingkah
seolah-olah Amane adalah pasangannya dan telah berselingkuh. Tak lama kemudian,
ia kembali menjadi dirinya yang biasa dan menghentikan aktingnya, dan sekarang
mengangguk dengan sadar.
“Tapi tentu saja,” katanya.
“Mana mungkin aku bisa memisahkan pasangan yang panas dan dimadu cinta seperti
kalian berdua.”
“Kamu sudah punya Chitose, bung.
Dan aku tidak membutuhkanmu.”
“Nah, itu baru kejam.”
“Yah, kamu hanya akan
menghalangi jika kamu bersama mereka, Itsuki.”
“Bukannya perkataanmu itu juga
cukup kasar, Yuuta?”
Yuuta dengan santai meminum Frozen Shake yang baru saja dirilis
dalam waktu terbatas, sambil mengabaikan komentar Itsuki dengan ekspresi polos.
Seminggu telah berlalu sejak
awal November, dan cuaca sudah mulai mengisyaratkan datangnya musim dingin. ...
Aku heran dia memilih untuk meminumnya
dalam cuaca dingin seperti ini, pikir Amane dalam hati sambil menyeruput matcha latte panas yang dipesannya.
Itsuki, yang kini merasa tidak
punya sekutu untuk diajak bicara, sengaja merajuk selama sekitar sepuluh detik
sebelum mulai melahap latte ubi jalarnya dengan lahap.
“Baiklah, kembali ke topik,”
Itsuki memulai. “Kamu tidak masalah ikut nongkrong dengan kami, tapi kamu
seriusan kamu tidak lelah atau apa?”
“Kalau hanya segini saja bisa
dianggap melelahkan, maka Kadowaki akan kelelahan setiap hari," jawab
Amane.
“Hmm. Yah, kami beristirahat
dengan baik selama kegiatan klub, dan itu tidak terlalu membebani mental
dibandingkan dengan melayani pelanggan, jadi tidak terlalu buruk, kurasa,”
Yuuta menjelaskan. “Maksudku, aku berlari karena aku menikmatinya. Tapi
bagaimana denganmu, Fujimiya? Apa kamu tidak merasa stres karena bekerja?”
“Tidak juga. Bukannya aku menikmati
melayani pelanggan atau gimana, tapi kebanyakan pelanggan lebih tenang karena
kebanyakan dari mereka orang yang lebih tua. Para seniorku sangat baik kepadaku,
belum lagi sopan, dan mereka mengajariku dengan hati-hati. Tentu saja,
terkadang aku merasa tertekan karena kekuranganku, tetapi lingkungannya sendiri
tidak membuatku stres.”
Belum genap satu bulan Amane
bekerja, tetapi dari lubuk hatinya yang terdalam, ia bersyukur karena Ayaka
telah memperkenalkannya pada pekerjaan paruh waktu ini. Keterampilan yang
diperoleh dari melayani pelanggan mungkin akan berguna di masa depan, dan ia
merasa beruntung bisa bekerja bersama orang-orang yang baik hati.
Sejujurnya, Amane percaya bahwa
separuh dari apa yang membuat pekerjaan menjadi hebat bergantung pada rekan
kerja, jadi dirinya sangat bersyukur memiliki lingkungan kerja dengan karyawan
yang pengertian.
Aku
akan memberinya sesuatu sebagai ucapan terima kasih ketika aku mendapatkan
kesempatan, Amane berjanji pada dirinya sendiri, sambil mengangkat
bahunya dan memutar-mutar cangkir kertasnya.
“Di sana merupakan tempat kerja
yang hebat. Begitu banyak hal yang aku rasakan.”
“Senang mendengarnya,” jawab
Yuuta. “Bagaimanapun juga, lingkungan kerja sangat penting dalam hal memiliki
pekerjaan. Mana mungkin aku mau menjadi bagian dari tempat kerja yang
menganggap karyawannya sebagai pion yang bisa dibuang.”
“Ya, tentu saja aku akan
langsung berhenti jika keadaannya memang seperti itu. Ini memang pekerjaan
paruh waktu, tapi bukan berarti kita tidak punya hak untuk memilih pekerjaan
yang kita inginkan. Kesehatan mental dan fisik kita harus diprioritaskan, dan
Mahiru mungkin tidak suka jika aku bekerja di tempat seperti itu.”
“Dia benar-benar mencintaimu,
bukan?” Yuuta menggoda.
“Kurasa…. itu tidak ada hubungannya dengan apa yang sedang
kita bicarakan, tau.”
Amane menatap Yuuta, berpikir, Ia cuma merasa ingin mengatakan itu, bukan?
tapi Yuuta hanya menanggapi dengan senyuman cerah, jadi Amane memalingkan
wajahnya, sekarang sedikit malu.
“Kalau tidak salah, kamu
bekerja di kafe, kan?” tanya Itsuki.
“Ya, kafe itu lebih menargeti
pelayan yang berkantong tebal. Tapi makanan dan minumannya sangat enak, tidak
heran kalau tempatku bekerja mematok harga yang mahal.”
Kafe itu sangat menekankan pada
kualitas biji kopi. Biji-biji kopi tersebut dipilih dengan cermat berdasarkan
daerah asalnya, tingkat pemanggangan, dan cara meraciknya, dan perhatian
terhadap detail ini tergambar jelas dalam kopi mereka. Tentu saja, bukan hanya minuman
kopi saja yang mereka banggakan— mereka juga sangat berhati-hati dalam
menyesuaikan rasa dari menu-menu mereka yang lain, termasuk makanan, meskipun
pilihannya tidak terlalu banyak. Perhatian terhadap rasa ini membuat kafe ini
menjadi semacam permata tersembunyi; tempat yang dicintai oleh para pelanggan
tetapnya.
Mengetahui hal ini, Amane pun
mulai penasaran siapakah sebenarnya Fumika. Bahkan keponakannya sendiri, Ayaka,
tampaknya kesulitan untuk memahami dirinya sepenuhnya, dan hal ini membuat
Amane semakin bingung.
“Cuma sekedar penasaran, tapi
apa ada yang pernah merayumu saat kamu berada di sana, Amane? Sering terjadi,
‘kan?”
“Bagaimana dengan kesanmu
tentang kafe, kawan... Tidak pernah sama sekali. Aku mendapatkan beberapa
pujian dari beberapa wanita yang tenang dan kalem, mengatakan bahwa aku lucu,tapi
aku pikir mereka hanya menganggap kecanggunganku terlihat menggemaskan, rasanya
seolah-olah mereka sedang melihat tingkah laku cucu mereka.”
Ada beberapa wanita dan pria
yang lebih tua yang mengawasinya dengan senyuman hangat, atau mungkin, senyuman
yang lembut, karena ia adalah anggota staf yang baru dan belum berpengalaman.
Meski Amane belum pernah melakukan kesalahan besar sejauh ini, dirinya sudah
melakukan kesalahan kecil, yang semuanya mereka abaikan. Diperlakukan dengan
penuh pengertian, Amane merasa bersyukur sekaligus meminta maaf.
Hasilnya, ada banyak orang
lanjut usia yang mampu menghabiskan waktu mereka di kafe dengan santai.
Ditambah lagi, jumlah pelanggan yang lebih muda lebih sedikit, sehingga tidak
ada kasus gadis-gadis yang mencoba merayunya.
Di samping itu, ada karyawan
lain yang lebih supel dan menarik secara fisik daripada Amane. Bahkan, seandanya
ada yang datang dengan maksud menggoda, kemungkinan besar mereka akan
menghampirinya.
Yang paling sering Amane
dapatkan adalah komentar santai dari seorang wanita seusia neneknya, yang
mengatakan, “Aku ingin sekali mengenalkanmu pada cucuku,” tetapi tentu saja, dirinya
sudah punya pacar dan dengan sopan menolak tawarannya.
“Kamu memiliki... daya tarik
bagi orang yang lebih tua. Kamu selalu lembut dan sopan, dan itu terlihat dari
caramu berperilaku.” Yuuta berbagi pemikirannya.
“Aku melayani pelanggan, tentu
saja aku tidak bisa membawa diriku secara ceroboh... Nah, mengingat
pelanggannya, mereka pasti lebih menyukai seseorang yang pendiam dan rendah
hati seperti aku. Lagipula, mereka cukup sering berbicara denganku.”
“Bukannya itu akan membuatmu
populer?”
“Kurang lebih sih. Tapi hanya
sebagai seseorang yang bisa diajak ngobrol,” Amane menjelaskan. “Dan hal-hal
seperti jenis kelamin dan usia tidak ada hubungannya dengan itu. Suasananya
cukup santai, bahkan para staf pun mulai mengobrol dengan para pelanggan ketika
mereka sedang senggang.”
Hal ini mungkin karena tempat
ini tidak memiliki nuansa seperti kedai kopi pada umumnya, tetapi lebih
terkesan sebagai tempat yang lembut dan santai dengan suasana yang ramah. Lebih
dari segalanya, fakta bahwa banyak pelanggan tetap yang santai dan ramah membuat
kafe ini mampu mempertahankan suasana damai.
“Membayangkan kamu semua
populer di kalangan para nyonya, sungguh menyenangkan,” komentar Itsuki.
“Hei... itu tidak seperti yang
kamu bayangkan. Kamu harus menghentikan fantasi anehmu itu, Itsuki.”
“Kenyataannya aku bisa melihat
hal itu terjadi sedikit menakutkan.”
“Bahkan kamu juga, Kadowaki...”
Amane menatapnya dengan tatapan bingung, tapi Yuuta memasang ekspresi yang
lebih serius sebagai tanggapannya, yang mendorong Amane untuk memberikan
klarifikasi yang tegas.
“Mana mungkin hal itu akan
terjadi.”
Lagipula, Amane sudah memiliki
seseorang yang sungguh-sungguh dicintainya dengan sepenuh hati dan secara
praktis telah menjanjikan masa depannya. Mana mungkin dirinya akan jatuh pada
rayuan wanita lain; faktanya, Amane yakin bahwa dirinyaa tidak akan tergoda.
Selain itu, pihak lain juga tidak ingin Amane membuat kesalahpahaman seperti
itu.
Ya
ampun..., Amane menghela nafas, dimana Itsuki mengangkat bahunya
sebelum melirik jam tangannya.
“Kalau begitu, kurasa sudah
waktunya,” katanya kemudian.
“Waktu untuk apa?” tanya Amane.
“Sudah waktunya aku
mengembalikanmu pada pemilikmu yang sah, kurasa?”
“Ayolah...”
Tidak bisa dipungkiri bahwa
Amane adalah milik Mahiru, tapi dia bukanlah tipe yang posesif, dan Amane juga
tidak akan cemburu jika Mahiru bergaul dengan teman-temannya yang lain. Namun,
Kadowaki juga setuju, dengan mengatakan, “Oh, iya. Kamu ada benarnya,” yang
hanya membuat Amane bingung.
“Sekarang bahkan belum jam 5
sore, tapi hari semakin dingin dan matahari sudah terbenam. Gimana kalau kita
mengakhiri hari ini? Bagaimanapun juga, kita mungkin punya banyak hal yang harus
dilakukan saat pulang nanti.”
“Baiklah, kurasa begitu...”
Amane setuju dengan saran itu.
“Kalau begitu, mari kita sudahi
saja di sini. Aku kedinginan,” kata Itsuki sambil berbalik ke arah pintu masuk
taman.
Setelah segera memutuskan untuk
pulang, Itsuki tampak bersemangat untuk pergi, tapi tiba-tiba, ia berubah
pikiran. Ia berbalik ke arah Amane.
“Hei, Amane.”
“Ada apa?”
“Besok, akan ada banyak hal
yang ingin kukatakan, dan banyak hal yang ingin kutanyakan. Jadi persiapkan
dirimu.”
Amane terkejut dengan seringai
Itsuki dan komentar anehnya yang mendadak saat ia pergi. Yuuta, yang kini
tersenyum pahit, juga mengucapkan selamat tinggal. “Aku juga sama. Sampai jumpa
besok, ya?”
Dengan perasaan bingung, Amane
merasa seperti ditinggalkan dengan cara yang aneh. Ia memiringkan kepalanya dan
bertanya-tanya apa yang sedang terjadi sebelum pulang.
✧ ✦ ✧
Setibanya di rumah, Mahiru
menyapanya seperti yang biasanya dia lakukan. Atau tidak. Sebaliknya, dia
menghampirinya sambil menunjukkan senyum yang paling lebar. Matanya
berbinar-binar, dan senyumnya yang tanpa pamrih terlihat lembut dan indah.
Namun di atas segalanya, rona merah samar yang menyebar di pipinya jelas
merupakan bukti dari semangatnya yang tinggi.
“Selamat datang di rumah,
Amane-kun.”
“Ya, aku pulang. Sepertinya
suasana hatimu sedang baik ya, Mahiru.”
Amane senang melihat suasana
hati Mahiru yang begitu baik, tetapi ia tidak tahu mengapa Mahiru seperti itu.
Sudah menjadi hal yang biasa baginya untuk menyambutnya dengan senyuman saat
Amane tiba di rumah, tapi Mahiru tidak pernah terlihat sebahagia hari ini.
Amane tidak bisa memahami
alasannya, jadi dirinya merasa agak bingung. Namun, Mahiru yang tampaknya tidak
menyadari kebingungannya, hanya tersenyum lebih lebar.
“... Dari reaksimu, sepertinya
kamu benar-benar tidak menyadari apapun hari ini, Amane-kun.”
“Menyadari apa?”
“Aku merasa sedikit terganggu
karena kamu benar-benar lupa kalau ini hari apa, tapi... hari ini adalah hari
ulang tahunmu, tau?”
Mendengar nada bicara Mahiru
yang sedikit jengkel, Amane tanpa sadar mengeluarkan ucapan, “Ah!”
“Astaga, kamu ini benar-benar.
... Selamat ulang tahun, Amane-kun.”
“...Aku benar-benar lupa. Aku
tidak terlalu memikirkan hal-hal seperti ini ketika mengenai diriku sendiri.”
Meskipun aneh baginya untuk
diingatkan tentang hari ulang tahunnya sendiri oleh Mahiru, hal itu sepenuhnya
tidak pernah terlintas di benaknya; Amane tidak menyadarinya sama sekali.
Ditambah lagi, Mahiru juga tidak menyadari hari ulang tahunnya tahun lalu.
Selama beberapa minggu terakhir, Amane begitu sibuk membiasakan diri dengan
pekerjaan paruh waktunya, belum lagi latihan harian, jogging, dan belajar. Oleh
karena itu, ia sudah benar-benar melupakannya.
Pertama-tama, meskipun Amane
menganggap ulang tahun sebagai tonggak sejarah, namun ia jarang merasa perlu
untuk menyadarinya. Hal ini kemungkinan besar merupakan bagian besar dari
alasannya ia melupakannya, mengingat Amane cenderung tidak merayakan ulang
tahunnya sendiri. Dulu ketika ia tinggal bersama orang tuanya, mereka akan
merayakan acara tersebut dengan baik, tetapi sejak Amane mulai hidup sendiri,
ia tidak lagi memikirkannya. Cara berpikir seperti itulah yang membawanya
sampai sekarang.
“Itu sangat penting bagiku, tau?”
Mahiru menjelaskan. “Aku benar-benar bersyukur untuk hari ini, Amane-kun,
karena ini adalah hari kelahiranmu. Tanpamu, aku tidak akan belajar bagaimana
cara untuk benar-benar mempercayai dan mencintai seseorang.”
Mahiru tersenyum canggung pada
kenyataan yang telah dilupakan Amane, dan dengan lembut menggenggam tangannya.
“Terima kasih, Amane-kun, aku
belajar bahwa cinta adalah perasaan yang benar-benar ada di sekitar kita.
Sekarang, aku bisa hidup dengan mengetahui bahwa aku merasakan kebahagiaan yang
tulus. Kebahagiaan yang muncul dari lubuk hatiku. Aku sangat bersyukur bahwa kamu
lahir, dan bertemu denganku.”
Tatapan matanya yang kini
bersinar dengan cahaya lembut dan hangat yang mana sangat berbeda dari saat
pertama kali mereka bertemu, menatap Amane. Tangannya yang terjalin dengan
tangan Amane terasa hangat, seolah-olah mewujudkan kehangatan yang dimiliki
Mahiru untuknya saat ini. Ini menyampaikan kehangatan yang lembut, namun sangat
menghibur.
“Terima kasih telah dilahirkan,
dan datang ke dalam kehidupanku... Terima kasih banyak.”
Usai mendengar suaranya, dan
melihat senyumnya, keduanya menunjukkan perasaan bahagia dan sukacita yang
tulus, Amane merasakan rona merah menjalar di pipinya. Ia kemudian menyadari,
bahwa perasaan dihargai dan diberkati dengan cara seperti itu, bisa menyebabkan
tubuhnya memanas. Perasaan itu jauh dari tidak menyenangkan, dan malahan cukup
nyaman dan lembut, suatu sensasi yang berbeda dari tubuh yang memanas karena malu.
Hanya setelah bertemu Mahiru, Amane baru memahami perasaan seperti itu, tetapi
mengetahui bahwa dia sangat peduli padanya, Amane menyadari bahwa dia memang
pria yang beruntung.
“... Sama-sama. Terima kasih
sudah begitu perhatian, dan merayakannya bersamaku,” Amane tergagap-gagap dalam
balasannya, tidak yakin bagaimana cara terbaik untuk menyampaikan emosinya, dan
rasa panas yang dirasakannya.
Mahiru tersipu malu. “Aku sudah
menyiapkan pesta kecil untukmu malam ini, jadi tolong nantikan. Dan juga,
sebelum kita makan... aku ingin meminta maaf atas dua hal.”
“Hm?”
Minta
maaf untuk apa?
Saat Amane memiringkan
kepalanya dalam kebingungan, Mahiru menunduk, terlihat agak canggung.
“Erm, sepertinya kamu menyadari
kalau aku berusaha menyembunyikan sesuatu darimu. Maafkan aku karena telah
membuatmu khawatir.”
Amane sekarang menyadari bahwa
perilaku anehnya, yang ia curigai selama ini, adalah dalam rangka mempersiapkan
acara spesial hari ini.
“Ah, benar. Tentang itu... Yah,
aku mengerti apa yang terjadi sekarang setelah melihat semua ini. Aku tidak
berpikir kamu akan melakukan sesuatu yang buruk padaku, Mahiru, jadi aku lebih
khawatir apa aku mungkin sudah berbuat kesalahakan padamu.”
“Aku tidak merasa kalau kamu melakukan
sesuatu yang akan membuatku kesal,” kata Mahiru. “Hal ini terjadi karena aku
tidak pandai menyembunyikan sesuatu, yang pada akhirnya membuatmu merasa tidak
nyaman... Maafkan aku karena menyimpan rahasia darimu, Amane-kun.”
Kemungkinan besar, dia
bertindak seperti itu justru karena dia ingin memberikan kejutan pada hari
ulang tahunnya, dan itu membuatnya membuat persiapan secara rahasia. Mahiru
bukanlah tipe orang yang suka menyembunyikan sesuatu dari Amane, dan dia jelas
merasa bersalah karena melakukannya. Rahasianya lebih menarik daripada apa pun,
dan mengingat Mahiru melakukannya demi dirinya, Amane tidak berniat untuk menyalahkannya
sama sekali.
“Bukannya aku meributkan hal
itu, sungguh.” Amane meredakan kekhawatirannya sebelum bertanya, “...Dan apa
hal lainnya?”
“Erm... S-Sejak aku membuat
persiapan untuk ulang tahunmu secara rahasia, tampaknya semua orang memutuskan
untuk diam agar tidak merusak kejutannya. Tetapi pada kenyataannya, mereka
seharusnya merayakannya di sekolah hari ini. Jadi, um, karena aku, aku
menghalangi berkat yang seharusnya kamu terima hari ini...”
“Ah... Jadi begitulah yang
terjadi.”
Baik Itsuki maupun Chitose
sudah tahu tentang ulang tahun Amane, dan mengingat betapa perhatiannya mereka
berdua, mereka tidak akan ragu untuk merayakan hari spesial seorang teman.
Fakta bahwa tidak ada yang mengatakan apapun selama ini tentu saja menjadi
faktor utama mengapa Amane melupakan hari apa ini.
Mereka mengetahui rahasia kecil
Mahiru, dan itulah sebabnya mereka tetap diam. Amane menduga bahwa mereka
mengundangnya untuk nongkrong sepulang sekolah hanya untuk menyibukkannya
sejenak.
“Dasar orang-orang itu...”
Sementara Amane menggumamkan kalimat yang agak kesal itu dalam hati, tapi juga
merasa sedikit tersentuh.
Mahiru terlihat meminta maaf
mengenai apa yang sudah dia lakukan, dan Amane tidak tahu bagaimana
menanggapinya. Kepala Mahiru terus menunduk ke bawah.
“Hmm...,” Amane menepuk-nepuk
kepalanya dengan lembut. “Sejujurnya, aku rasa itu tidak terlalu penting; bukan
tanggal, lokasi, atau apakah mereka bisa memberikan selamat secara langsung atau
tidak. Maksudku, aku benar-benar lupa tentang hal itu karena kesibukanku
sendiri akhir-akhir ini, dan mereka tidak perlu merayakannya hari ini, bukan? Aku
pikir mereka sedang mempertimbangkan dengan cara mereka sendiri.”
“Tapi tetap saja...” Keraguan Mahiru
terdengar jelas.
“Aku akan berterus terang di
sini, tapi mereka mungkin percaya bahwa aku akan lebih bahagia jika aku
menerima perayaan yang kamu siapkan untukku, Mahiru. Itulah sebabnya mereka
semua bekerja sama untuk merahasiakannya.”
Mereka semua memiliki keinginan
untuk merayakan acara istimewa Amane dengan cara mereka sendiri, dan hal itu
membuat mereka semua bekerja sama dengan Mahiru. Bahkan, meskipun ia tidak
diberi ucapan selamat pada hari itu, Amane tidak keberatan. Ia sepenuhnya sadar
bahwa mereka mendoakannya tanpa diberi tahu.
“Aku menyadari bahwa aku
diberkati dengan teman-teman yang penuh perhatian dan peduli denganku, dan
mengetahui hal itu membuatku merasa dirayakan. Tidak ada aturan yang mengatakan
bahwa mereka tidak boleh melakukannya secara tidak langsung, dan aku tidak
menilai pertemanan berdasarkan apakah mereka melakukannya atau tidak.”
Setiap orang memiliki cara yang
berbeda untuk merayakannya, dan jika itu cara mereka, maka itu tidak masalah
baginya. Amane tidak pernah menjadi tipe orang yang cepat menilai orang lain
hanya berdasarkan kata-kata mereka, dan dirinya juga tidak ingat pernah menjadi
orang seperti itu. Ditambah lagi, hubungan yang ia bangun sama sekali tidak
dangkal; perasaan mereka saja sudah lebih dari cukup.
Namun demikian, Mahiru masih
terlihat sedikit sedih dengan hasilnya, membuat Amane tersenyum canggung. Ia
membelai kepala Mahiru dengan lembut dan dengan lembut menatap wajahnya.
“Selain itu,” Amane kembali
membuka mulutnya. “Sepertinya, aku akan dikeroyok besok... Jadi, aku minta kamu
menjaga diriku sendiri hari ini, Mahiru. Mereka mungkin akan membombardirku
dengan pertanyaan, jadi mari kita pastikan kita punya cukup banyak hal untuk
dibanggakan, oke?”
“... Ya.”
Amane menghiasi akhir
kalimatnya dengan senyuman nakal dan menggoda, dan Mahiru pun ikut terbawa
suasana, ikut tersenyum sendiri sebelum mendekatkan wajahnya ke dadanya.
✧ ✦ ✧
“... Kamum benar-benar membuat
pesta yang cukup meriah,” mau tak mau Amane mengatakan pikirannya yang
sebenarnya, kekagumannya yang tulus keluar dari mulutnya ketika mengamati
berbagai hidangan yang ditata di atas meja.
Hidangan yang disajikan Mahiru
untuk ulang tahunnya, singkatnya, semuanya adalah makanan favorit Amane.
Biasanya, dia akan merencanakan makanan dengan mempertimbangkan keseimbangan
gizi, tapi tidak untuk hari ini. Mungkin karena Amane menyatakan kecintaannya
pada telur, jadi Mahiru sudah menyiapkan berbagai hidangan telur untuk
dinikmatinya. Namun, tidak peduli seberapa besar kesukaannya atau seberapa
bergizinya hidangan itu, makan terlalu banyak makanan yang sama, jauh dari kata
ideal, jadi Mahiru biasanya membatasi jumlah yang akan dikonsumsinya, tetapi
tampaknya pembatasan itu sudah dicabut untuk hari ini.
Hidangan yang paling menarik
perhatian di atas meja adalah omurice,
hidangan yang terdiri dari nasi goreng yang dibungkus dengan kulit telur dadar
yang keras, yang kemudian diberi lauk hiasan daging sapi. Mahiru tidak sering
membuat hidangan ini, karena tidak hanya dia harus mulai menyiapkan hidangan
sehari sebelumnya, tapi juga menghabiskan banyak waktu dan tenaga untuk
membuatnya.
Hidangan lain yang disajikan di
hadapannya berkisar dari chawanmushi,
varian telur dan puding; salad kentang yang disajikan dengan banyak telur
rebus; hingga tamago kinchaku,
hidangan yang menggabungkan tahu goreng dan telur rebus yang direbus dengan
kaldu dashi dan kecap asin. Porsi makanan yang disajikan adalah ukuran yang
biasa untuk anak SMA pada umumnya, tetapi variasi makanan yang ada tidak perlu
diragukan lagi, dan semuanya murni terdiri dari makanan favorit Amane. Meskipun
ada sedikit sayuran, hal itu lebih disebabkan oleh kecintaannya pada telur dan
bukan karena ia tidak menyukai sayuran.
“Hari ini aku menyajikan
bermacam-macam hidangan kesukaanmu, Amane-kun; aku membuatnya tanpa
mempertimbangkan keseimbangan gizi atau masakan tertentu. Tidak ada salahnya
memanjakan diri sesekali.” Atau begitulah yang dikatakan Mahiru, tetapi dia
segera melanjutkannya dengan, “Kita bisa makan lebih banyak sayuran besok untuk menebusnya,” sebelum mengeluarkan
tawa kecil yang ramah.
Pipinya sedikit memerah karena
kegembiraan, jelas sekali ia senang karena Amane menyukai kejutannya.
“Oh, ngomong-ngomong,”
lanjutnya. “Aku akan membuat dashimaki
tamago untuk sarapan besok. Karena aku membuat banyak makanan untuk makan
malam kita, aku merasa makanan itu akan lebih lezat setelah beristirahat
semalaman. Aku juga akan menyiapkan salmon favoritmu untuk menemani makan malam
mu, ala Kyoto. Apa sup miso dengan tahu dan lobak putih juga tidak
masalah?"
“Kedengarannya sudah seperti
pesta saja di pagi hari...,” komentar Amane. “Tapi sekali lagi, apa yang ada di
depanku ini saja sudah merupakan hidangan yang mewah.”
“Fufufu. Silakan dinikmati
selagi masih hangat. Menurutku, daging sapi rebus hari ini sangat empuk.”
“Menakjubkan! Tidak ada yang
bisa menandingi omurice yang enak dengan sup daging sapi. Ini adalah keadilan.”
Meskipun Amane ingin
melompat-lompat kegirangan karena makanan favoritnya yang jarang disajikan, ia
menahan diri dan menangkupkan kedua tangannya sebagai tanda terima kasih.
“Itadakimasu.” Tanpa lupa
berterima kasih atas makanannya, Amane segera menggigit omurice daging sapi
rebus, tanpa sadar senyum mengembang di wajahnya.
Daging sapinya sangat lembut
sehingga bisa dipotong dengan sendok, dan ketika masuk ke dalam mulutnya,
dagingnya memiliki tekstur yang lembut dan sama sekali tidak kering, terasa sangat
lezat. Kualitas daging yang tinggi terlihat jelas dari gigitan pertama.
Kombinasi
yang cermat antara rasa rebusan yang kaya dan omurice adalah sesuatu yang patut
dicoba, Amane mengangguk. Saat ia mengambil lauk pauk lainnya,
bergerak dengan kecepatan yang cepat namun tidak terburu-buru, Mahiru
mengawasinya dengan senyuman hangat sambil makan dengan elegan.
“... Apa ada yang salah?” Amane
bertanya.
“Bukan apa-apa,” jawab Mahiru.
“Hanya saja, sebagai orang yang menyiapkan makanan, melihatmu memakan semuanya dengan
kenikmatan seperti itu memberiku perasaan puas.”
“Yah, itu karena makanannya
benar-benar enak. Bahkan mengatakan itu yang terbaik pun tidak berlebihan.”
“Aku akan puas selama kamu
menganggap itu yang terbaik, Amane-kun. Tapi yakinlah, aku tidak akan berpuas
diri.”
Amane tersenyum kecut pada
Mahiru yang tabah tanpa henti, dan dengan senang hati terus melahap makanannya.
Dalam sekejap mata, isi piring-piring itu segera kosong. Ada cukup banyak
hidangan, tapi Mahiru telah memberinya porsi yang lebih sedikit dari
masing-masing hidangan, jadi Amane bisa menghabiskannya dengan mudah, terutama
karena ia telah mengumpulkan nafsu makan yang meningkat setelah mendapatkan
pekerjaan.
Melihat Amane yang telah
menghabiskan makanannya dengan rapi, bibir Mahiru menyungging dengan senyum
puas, lalu perlahan bangkit dari kursinya untuk meletakkan piring-piring itu di
wastafel. Namun, saat Amane mencoba berdiri untuk membantu, dia mengatakan kepadanya
dengan nada lembut namun tegas, “Bintang utama hari ini harus bersantai saja,”
dan membuat Amane dengan enggan duduk kembali.
Setelah semua hidangan yang
berjejer di atas meja selesai disajikan, Mahiru menoleh ke arah Amane dan
menampakkan senyum sumringah.
“Setelah makan malam akan ada
hidangan penutup. Aku harap itu akan sesuai dengan keinginanmu.”
“... Apa jangan-jangan inilah
yang kamu latih secara diam-diam?”
Pada titik ini, Amane bisa
menebak apa yang disembunyikan oleh Mahiru. Aroma manis yang sesekali tercium
saat ia pulang ke rumah mungkin berasal dari kue yang dibuat olehnya untuknya.
“Ya, rasanya tidak enak
menyajikan sesuatu yang aku sendiri tidak puas, jadi... aku melakukan banyak
penyesuaian untuk memastikan itu sesuai dengan keinginanmu, Amane-kun.”
Amane penasaran mengapa Mahiru
khawatir tentang kenaikan berat badannya, tetapi sekarang semuanya menjadi
jelas. Dia mungkin telah mencoba berbagai cara memanggang kue dan memakannya.
Tergantung dari jenisnya, makanan penutup bisa jadi mengandung kalori yang
tinggi. Jika dia mengonsumsi setiap kue yang dibuatnya, tidak heran jika dia
khawatir dengan berat badannya. Selain itu, Mahiru tidak suka membuang-buang
makanan, jadi dia mungkin berusaha untuk menghabiskan semuanya.
“Aku akan merasa puas dengan
apa saja jika kamu yang membuatnya, Mahiru... tapi itu tidak sopan untuk
kukatakan. Aku senang kamu sudah berusaha sejauh ini untukku, tapi jangan
terlalu berlebihan, oke?”
“Aku tidak berlebihan.”
katanya. “... Meskipun aku melakukan olahraga yang cukup berat setelahnya.”
“Jadi itulah mengapa bentuk
tubuhmu tidak berubah, aku bisa melihat upayamu dengan pasti. Disiplin dirimu
benar-benar mengagumkan.”
“Itu sama sekali bukan masalah
karena berat badanku hanya naik sedikit, dan lingkar pinggangku tidak berubah
sama sekali. Sekarang, aku akan membawanya, oke?”
Sambil mengatakan itu, Mahiru
membawa piring dari kulkas yang berisi kue cokelat buatan sendiri.
Dia dengan pelan meletakkannya
di atas meja makan, bunyi dentingan kecil bergema saat dia melakukannya. Kue
itu sudah dipotong-potong menjadi irisan yang mudah dimakan, dan Mahiru dengan
tenang menyajikan sepotong kue di atas piring untuknya.
Melihat potongan kue di
depannya, sepertinya itu adalah kue cokelat. Atau mungkin, lebih mirip dengan cokelat
gâteau. Dilihat dari penampilannya, kue itu bertekstur halus
dan padat.
Selanjutnya, Mahiru dengan
hati-hati menambahkan sesendok krim kocok dan setangkai daun mint. Dari segi
penampilan, kue ini masih sangat sederhana.
“Aku membuat cokelat gâteau.. Kamu tidak terlalu menyukai makanan manis,
Amane-kun, jadi aku pikir kamu lebih suka sesuatu yang mudah dicairkan dengan
minuman. Aku memilih susu karena kue ini kaya akan rasa, jadi tolong minum
bersama jika memungkinkan.”
“Mengikuti rekomendasi juru masak
adalah cara terbaik untuk menikmati hidangan, jadi aku menerimanya dengan
senang hati.”
Karena Mahiru telah bersusah
payah menyiapkannya untuknya, ia tidak ragu bahwa kue itu akan menjadi luar
biasa. Tanpa ragu-ragu, Amane memotong sepotong cokelat gateau dengan
garpunya sementara Mahiru mengawasinya.
Seperti yang terlihat, kue itu
memiliki tekstur yang sangat halus dan padat, memberikan kesan keras saat
ditekan. Namun, dia bisa memotongnya dengan mudah. Saat Amane memotong sepotong
kecil dan dengan lembut memasukkannya ke dalam mulutnya... sensasi pertama yang
ia rasakan adalah rasa cokelat yang pekat dan kaya.
Paling tepat digambarkan
sebagai lengket atau kental, kelezatannya terasa lebih mirip dengan ganache
daripada gâteau. Namun, itu juga
bukan ganache. Adonan dibuat dengan keseimbangan yang halus dan menghasilkan
tekstur yang halus di mulut, meleleh dan melebur saat dimakan.
Tidak terlalu manis, namun sama
sekali tidak hambar, Amane pasti bisa merasakan rasa yang lebih halus di dalam
cokelat tersebut. Ia merasa seolah-olah cokelat ini telah disesuaikan untuk
memanfaatkan kualitas cokelat sepenuhnya.
“... lezat sekali.”
Kata-katanya datang dari hati, tulus dan tanpa pujian. Mahiru kemudian menghela
napas lega atas pujiannya, dan tersenyum.
“Aku lega karena ini sesuai
dengan seleramu. Aku mengincar keseimbangan rasa dan tekstur yang tepat.”
“Aku tidak menyangka kalau
rasanya bisa selezat ini. Rasanya sungguh luar biasa bagaimana kamu bisa
membuatnya.”
“Fufu. Jika itu tanggapanmu,
maka itu memberiku kepuasan yang luar biasa sebagai pembuatnya. Ini benar-benar
sepadan dengan usaha yang aku lakukan.”
Mahiru yang terkikik seperti
lonceng berdering, menatap Amane sambil menikmati cokelat gâteau dengan
senyum yang agak nakal.
“Ngomong-ngomong, apa kamu menyadarinya?”
tanyanya. “Aku menambahkan bahan rahasia, loh.”
Ketika ditanya begitu, Amane
memejamkan matanya, memusatkan perhatian pada indra pengecapnya. Di
tengah-tengah rasa manis yang berbeda dan mendalam, tercium aroma yang kaya dan
sepat yang berbeda dari cokelat, yang melekat kuat. Itu adalah aroma yang
belakangan ini sudah terbiasa dicium oleh Amane di tempat kerja.
“Hm... Kopi? Tapi, eh... Hah?
Apa ini... dari kafe milikku?”
Rasa dan aromanya yang lembut
mengingatkannya pada kopi yang disajikan di tempat kerjanya saat ini.
Meskipun itu hanya tebakan yang
baru saja ia lontarkan, Mahiru bertepuk tangan sambil tersenyum dan berkata, “Tepat
sekali! Aku terkejut kamu bisa menebaknya.”
“Aku hanya asal menebaknya
saja,” jelas Amane. “Tapi karena Kido tahu rahasianya, aku pikir itu mungkin.”
"Kamu sangat jeli. ... Oh,
dan asal tahu saja, aku belum mengunjunginya secara langsung. Seperti yang
mungkin sudah kamu duga, Kido-san membantuku mendapatkan biji kopi dari kafe
tempatmu bekerja, Amane-kun. Aku juga sangat berterima kasih kepada pemiliknya.
Dia bahkan membantu dalam proses pencampuran untuk meningkatkan kekayaan dan
kedalaman rasa cokelat.”
“Jadi, bahkan Itomaki-san juga
terlibat di dalamnya... Sekarang aku paham kenapa akhir-akhir ini dia sering menyeringai
ketika melihatku...”
Amane tidak menyangka kalau
Fumika, sang pemilik toko, juga ikut terlibat. Dirinya berkeringat dingin
memikirkan implikasi dari apa yang akan terjadi selama giliran kerjanya
berikutnya di kafe. Namun, kopi yang mereka sediakan memang enak.
Amane pernah mendengar bahwa
kopi yang baru digiling sangat enak, dan ia telah mempertimbangkan untuk
membeli mesin giling kopi dan mencobanya di rumah. Namun tetap saja, ia tidak
menyangka akan merasakannya seperti ini.
“Hehe, aku hanya meminta
bantuan Kido-san, tetapi entah bagaimana kabar itu menyebar... Aku senang
mereka mau bekerja sama denganku dan kamu tidak mengetahuinya, Amane-kun.”
“Sejujurnya, Mahiru...” Dia tampak
tidak ragu-ragu untuk berusaha untuknya, dan Amane tidak bisa menahan rasa
malu.
Tak ingin menunjukkan rasa
malunya, Amane mulai memotong sepotong cokelat gâteau lagi, tapi Mahiru dengan
lembut menghentikannya, dengan lembut mengambil garpu dari tangannya.
Mengangkat kepalanya, tatapan
Amane bertemu dengan tatapan Mahiru, sebuah senyuman manis nan menawan
tersungging di bibirnya.
“Karena ini acara yang spesial,
jadi haruskah aku menyuapimu? Karena ini hari ulang tahunmu, kupikir setidaknya
aku harus melakukan hal itu.”
“Hah? T-Tidak, itu sedikit...”
“Kamu tidak perlu malu-malu begitu.”
Mengabaikan keraguan Amane,
Mahiru tersenyum seolah-olah ingin meniupnya saat dia dengan lembut memegang
cokelat gâteau di dekat mulutnya.
Amane mengerang, tapi dengan patuh memakan kue itu. Mahiru bersikap seperti ini
karena ia tahu Amane takkan membencinya, dan meskipun Amane merasa dadanya
tertusuk malu, ia masih tenggelam dalam euforia yang muncul di dalam dirinya.
✧ ✦ ✧
Sementara Mahiru terus
menyuapinya dengan porsi yang sama, membuat Amane merasa seperti akan mati
karena rasa malu, Mahiru masih tersenyum puas saat dia dengan senang hati
melihat reaksi kebingungan Amane.
“Apa itu enak?” tanyanya.
“... Rasanya enak sih, tapi apa
memang harus menyuapiku segala?”
“Ya, tentu saja. Lagipula, kamu
adalah bintang acara hari ini.”
“Aku pasti akan menjadi bahan
tertawaan jika ada orang lain di sini... Tapi karena hanya ada kita berdua di
sini, jadi kurasa tidak masalah.”
Jika Itsuki dan yang lainnya
ada di sini, mereka pasti akan tertawa dan menggodanya. Jika tidak, mereka akan
tersenyum dan melemparkan tatapan hangat dan lembut ke arahnya. Meskipun Mahiru
yang bersemangat tinggi mungkin takkan keberatan dengan para penonton, karena
telah menantikan hari ini lebih dari dirinya sendiri, Amane sendiri pasti akan
menggeliat malu.
...
Aku pasti akan membalasnya saat merayakan ulang tahunnya.
Amane meminum susu untuk
mengatur ulang kue hidangannya, yang berkat Mahiru menjadi lebih manis karena
dua alasan berbeda. Sementara itu, Mahiru tersenyum dan mengeluarkan sesuatu
dari dalam tasnya, yang dia simpan di sampingnya.
Sebuah kotak putih yang sedikit
lebih besar dari telapak tangannya, dihiasi dengan pita biru laut. Amane tidak
terlalu bodoh untuk tidak menyadari apa itu ketika diberikan saat ini, dan
dirinya secara naluriah menatap Mahiru. Pipinya terlihat merah merona
seolah-olah menunjukkan rasa malunya.
“Ini adalah hadiah ulang
tahunmu. Aku tidak yakin apa kamu akan menyukainya...,” katanya, terdengar
sedikit ragu. Mahiru dengan lembut meletakkan kotak itu di telapak tangan Amane
dan menatapnya dengan tatapan gugup.
Sepertinya Amane bisa
membukanya di sini; ia menyimpulkan bahwa Mahiru mungkin ingin melihat
reaksinya. Dia sudah berusaha keras untuk
memberikannya padaku sekarang, jadi kurasa aku harus membukanya di depannya?
Amane dengan hati-hati membuka ikatan pita dan membuka kotak itu, memperlihatkan
sebuah kotak lain di dalamnya.
Amane mengira bahwa ia akan
menemukan hadiah yang diletakkan langsung di dalamnya, dan terkejut sejenak.
Namun demikian, ia menyadari bahwa pengemasan yang sangat cermat ini pasti
mencerminkan keinginan Mahiru untuk memberinya kejutan.
Untuk
membungkusnya berkali-kali... kira-kira apa isinya?
Amane penasaran dengan isinya
dan dengan hati-hati membuka kotak bagian dalam. Di dalamnya... ia menemukan
sebuah benda seperti klip dengan kilau putih yang halus.
Terukir di dalamnya sebuah pola
bunga berlubang. Pada awalnya, Amane tidak yakin benda apa itu, tetapi ia
segera mengenalinya sebagai sesuatu yang ia kenakan saat menghadiri upacara
sekolah.
“... Pin dasi?”
“Benar,” Mahiru menegaskan.
"... Jujur saja, aku bingung harus memberikan apa kepada seorang pria. Aku
mempertimbangkan hadiah yang umum, seperti jam tangan, tetapi aku khawatir kamu
akan ragu-ragu jika aku membelikan jam tangan yang mahal atau mencolok, dan
seleramu bisa sangat berbeda. Di samping itu, kamu sudah memiliki jam tangan
yang tampaknya kamu sukai, jadi...”
Karena Amane selalu membawa ponsel
cerdasnya, pada umumnya, ia tidak terlalu sering mengenakan arloji. Satu
pengecualian adalah jam tangan yang ia terima dari orang tuanya sebagai hadiah saat
memasuki sekolah SMA, yang hanya dikenakannya saat keluar rumah.
Kedua orang tuanya sudah menghabiskan
banyak uang untuk membelinya, dan sangat dipahami kalau Amane merasa keberatan
untuk memakainya di sekolah. Ditambah lagi, Amane tidak menghabiskan waktu
berjam-jam di luar rumah, jadi ia jarang berkesempatan memakainya. Meski
demikian, Amane tetap memakainya setiap kali ia pergi bersama Mahiru, dan
tampaknya Mahiru juga mengingatnya.
“Maka dari itu, aku memilih
sesuatu yang bisa dipakai sesekali, tetapi biasanya tidak akan membeli
sendiri,” kata Mahiru. “Sekolah kami mengizinkan kami memakai pin dasi selama
tidak terlalu mencolok di luar upacara, iya ‘kan? Kupikir aku harus memilih
sesuatu yang bisa terus kamu gunakan bahkan saat kamu sudah bekerja.”
Selama upacara semester, hanya
pin dasi dengan lambang sekolah yang diperbolehkan, tetapi selain itu, tidak
ada batasan. Meski demikian, kebanyakan anak laki-laki menganggapnya terlalu
merepotkan dan sama sekali tidak peduli dengan pin dasi. Amane merupakan salah
satunya, dan jarang memakainya. Bahkan, ia hampir melupakan keberadaannya, tapi
jika itu hadiah dari Mahiru, kemungkinan besar ia akan memakainya setiap hari.
Sepertinya, Mahiru memilih
barang yang biasa digunakan sehari-hari sebagai hadiah karena dia ingin Amane
memakainya.
“Aku bisa saja memberimu dasi,
yang mana kamu akan membutuhkannya ketika kamu sudah dewasa dan bekerja...
tetapi sebagai siswa, dasi kami dipilihkan untuk kami. Bagaimanapun juga,
peraturan sekolah tetap peraturan sekolah. Ketika saatnya tiba bagimu untuk
memakai jas, aku akan memilih hadiah lain.”
“...Ya, terima kasih. Aku akan
menggunakannya dengan hati-hati.”
Bahkan tanpa dia mengatakannya,
Amane bisa merasakan keinginannya untuk tetap berada di sisinya mulai sekarang.
Hatinya secara alami dipenuhi dengan kehangatan dan kegembiraan. Tentu saja,
Amane sudah merencanakannya sejak awal, tetapi merasakan sentimen ini dari
Mahiru, membuatnya malu sekaligus gembira.
Mulai
sekarang, aku pasti akan memastikan untuk menghargaimu dan pin dasi ini,
Mahiru. Selalu.
Dengan tekad yang terukir di
dalam hatinya, Amane mengukirnya dalam ingatannya sehingga dirinya takkan
pernah lupa, dan tersenyum pada Mahiru. Setelah melihat reaksi Amane, dia
tersenyum santai, ketegangannya memudar.
“Syukurlah, aku sedikit
khawatir apa kamu akan menyukainya atau tidak. Sejujurnya, aku sadar kalau ini
bukanlah pilihan hadiah yang biasa untuk anak SMA.”
“Kalau itu hadiah darimu,
Mahiru, aku yakin aku akan senang, apapun itu hadiahnya.”
“Hehe. Aku tahu itu, tapi aku
tetap ingin memberimu sesuatu yang kamu butuhkan, Amane-kun. Kamu tidak
memiliki keinginan materialistis dan kamu menjaga dengan baik apa yang kamu
miliki, jadi sulit untuk memikirkan hadiah mana yang cocok.”
Amane tidak terlalu
mengharapkan sesuatu yang khusus, dan hal ini tampaknya menyulitkan Mahiru.
Yang bisa ia lakukan hanyalah tersenyum kecut.
“Segala sesuatu yang kamu
berikan kepadaku akan membuatku bahagia. Begitulah caraku melihatnya.”
“... Itu kedengarannya sedikit
menakutkan,” Mahiru mengakui. “Kamu membuatnya terdengar seperti kamu akan
senang meskipun aku memberimu bungkus permen.”
“Aku akan berasumsi bahwa kamu
menemukan sesuatu yang menarik darinya, seperti pola yang menarik atau lucu.
Lalu aku akan menyimpannya.”
“Aku sama sekali takkan
melakukan hal itu!? Jika aku akan melakukan hal seperti itu, aku akan
memberikan permen itu sendiri!”
“Yah, aku tahu kamu bercanda...
Jika itu adalah sesuatu yang kamu kemas dalam perasaanmu, Mahiru, aku akan
senang dengan apapun.”
“... Astaga, kamu ini.”
Meskipun nada bicara Mahiru
terdengar tidak puas, wajahnya, tak peduli bagaimana kamu melihatnya, terlihat
santai. Dia mungkin hanya berusaha menutupi rasa malunya.
Ayo
kita pakai ini besok. Amane menatap Mahiru dengan senang sebelum
dengan lembut meletakkan pin dasinya, menantikan hari esok. Saat itulah Mahiru
mengulurkan tangan dan dengan takut-takut memegang ujung kemejanya.
“Ada satu lagi... yah bisa
dibilang, hadiah kecil.”
Nada bicaranya terdengar
ragu-ragu, dan Amane memiringkan kepalanya, merasa penasaran dengan hadiah
kecil yang dimaksudnya.
“Hari ini, aku akan
mendengarkan permintaan apapun yang kamu inginkan. Mulai sekarang, sampai
tengah malam.”
Saat Amane mendengar perkataan
Mahiru, dirinya hampir tersedak. Ia bersyukur ia tidak meminum susu. Jika iya, ia
pasti akan memuntahkannya.
Sambil terbatuk-batuk, Amane
menatap Mahiru, yang menatapnya kembali dengan ekspresi tegas. Sepertinya dia sangat
serius.
“... Kalimat itu cukup berbahaya...”
“Tapi... kita adalah sepasang
kekasih.”
“Tetap saja... meski begitu.”
Amane merasa kalau Mahiru
pernah mengatakan sesuatu yang serupa sebelumnya, tetapi bagaimanapun juga,
sangat berbahaya bagi seorang wanita untuk mendengarkan apapun yang seorang
pria inginkan. Bahkan jika mereka adalah sepasang kekasih, sesuatu yang
berbahaya akan selalu berbahaya.
“...Aku tidak yakin apakah aku
harus memanggilmu pejantan atau mengatakan bahwa kamu tidak punya keinginan,
Amane-kun.”
“Bukan itu maksudnya... Kamu
tidak seharusnya melakukan itu. Bagaimanapun juga kamu adalah seorang gadis.”
“Aku tidak bisa membayangkanmu
akan melakukan sesuatu yang buruk padaku, Amane-kun.”
“... Dan bagaimana jika aku memang melakukannya?”
“Seperti yang telah aku sebutkan
sebelumnya, aku ingin kamu bertanggung jawab.”
Dengan tatapannya yang polos
dan penuh kepercayaan yang tertuju padanya, Amane tanpa sadar merasa kalah. Ia
menggaruk pipinya dan kemudian dengan lembut meraih tubuh Mahiru.
“Aku akan bertanggung jawab
meskipun aku tidak melakukan apapun... dasar bodoh.”
Kenyataannya selalu Mahiru
bersikap lembut terhadapnya, dan kesediaannya untuk menerima apapun yang Amane
lakukan sedikit menakutkan. Meski mereka sudah berjanji satu sama lain, Amane
masih merupakan pemuda yang sehat, dan mungkin ada kalanya akal sehatnya
mengecewakannya.
Kurasa
hal ini menunjukkan sebeapa besar dia sangat mencintaiku.
Tapi
bagaimanapun caranya, dia terlalu mempercayaiku.
Amane dengan lembut menariknya
mendekat, memeluk tubuh lembutnya sambil membenamkan wajahnya di bahu Mahiru.
Mengambil napas dalam-dalam, ia menyadari aroma sabun mandi yang lebih kuat
dari biasanya, menandakan bahwa Mahiru baru saja selesai mandi.
Jika
aku mengatakan bahwa aku menginginkan dirinya saat ini juga, dia mungkin akan
menganggukkan kepalanya.
Meski Amane tidak berniat
mengingkari janjinya, dirinya bisa membayangkan dengan mudah kalau Mahiru
dengan malu-malu menyetujuinya, yang membuatnya menyadari betapa menakutkannya
pacarnya yang manis itu. Tidak ada yang tahu kapan Amane akan kehilangan
pengendalian dirinya.
Nalar seorang pria lebih tipis
dari selembar kertas tisu. Jika diprovokasi, ia bisa dengan mudah dihancurkan. Amane
memfokuskan kembali pikirannya, berpikir, aku
harus melangkah dengan hati-hati... dan dengan lembut membiarkan bibirnya
meluncur ke pipinya, menghembuskan nafas dengan lembut.
Mahiru langsung menggigil
begitu Amane melakukan begitu, jelas sensitif dan sangat lemah terhadap
gelitikannya. Hal itu akan terlihat jelas bagi siapa saja yang melihatnya.
Meskipun begitu, Amane tidak
berniat membiarkan orang lain melihatnya bertindak seperti ini. Hanya dirinya
yang perlu tahu betapa sensitifnya Mahiru. Hanya dirinya yang perlu mengetahui
kelemahannya.
Mahiru terus menggeliat dalam
pelukannya, tapi dia tidak melawan. Dengan sedikit senyuman, Amane dengan
lembut mendekatkan bibirnya ke telinganya.
“... Oh iya, benar juga...
Sudah lama sekali, jadi mungkin aku akan menjadikanmu sebagai bantal pelukku
lagi.”
Meskipun Mahiru tampaknya
menginginkan Amane membuat permintaan, Amane dengan hati-hati memilih satu
permintaan dalam batas-batas yang masuk akal. Mengetahui sepenuhnya bahwa
permintaannya akan membuatnya memanjakannya sepuasnya, wajah Mahiru memerah
karena pelukannya.
Amane bersungguh-sungguh dengan
perkataannya; ia tidak akan melangkah lebih jauh dari sekedar menggunakannya
sebagai bantal pelukan, tapi anehnya, Amane merasa kalau Mahiru justru memiliki
fantasi yang aneh. Seperti yang sudah diduga, bahkan Amane pun tidak bisa
meniru apa yang mereka lakukan saat menginap terakhir kali. Saat itu, untungnya
ia berhasil menghentikan dirinya di saat-saat terakhir, tetapi siapa yang tahu
apa yang akan terjadi selanjutnya.
“... Aku hanya memintamu untuk
menjadi bantal pelukku yang sebenarnya,” jelas Amane. “Apa yang kamu bayangkan
tadi?”
“Bu-Bukan apa-apa! Sesuatu yang
sangat tidak senonoh... Aku tidak membayangkannya sama sekali!”
“Hei, aku tidak pernah
mengatakan apa yang kamu bayangkan, oke?”
Ketika Amane menunjukkan bahwa
ia tidak mengacu pada sesuatu yang spesifik, pipi Mahiru menjadi lebih merah
dari sebelumnya, sampai-sampai dia hampir terlihat mengeluarkan uap dari
kepalanya. Mahiru memelototi Amane dengan mata setengah berkaca-kaca,
menggeliat, dan berhasil menggeliat keluar dari genggamannya.
“B-Baka!” dia tergagap. “Kamu
benar-benar bodoh, Amane-kun.”
“Aku bahkan tidak melakukan
apa-apa.”
“Uuu... Meski begitu... Kamu
masih saja jahat.”
“Baiklah, aku akui itu cukup
kejam. Maaf. Kamu sangat manis sampai-sampai aku tidak tahan untuk menggodamu,
Mahiru.”
Mahiru tidak keberatan
disentuh, dan terlihat menggemaskan saat ia membiarkan Amane menggodanya. Amane
akhirnya melakukannya sedikit berlebihan, dan tidak diragukan lagi Mahiru akan
merajuk jika ia terus melakukannya. Oleh karena itu, Amane segera meminta maaf
terlebih dulu, sehingga Mahiru tidak dapat menyuarakan keluhannya lagi. Mahiru mengungkapkan
ketidakpuasannya dengan menepuk pelan dada Amane.
Mahiru, tanpa berusaha
menyembunyikan pipinya yang memerah, melakukan balas dendam yang menggemaskan
pada Amane, yang membuat Amane tertawa kecil sambil membelai kepalanya. Namun
seperti yang diharapkan, dia masih terlihat sedikit cemberut, terlihat seperti
ada balon kecil yang mengganjal di pipinya.
“... Ak-Aku akan pergi dan
mengambil baju ganti, jadi tolong mandi sambil menungguku, Amane-kun.” Melihat
senyum hangat Amane tetap tidak berubah, Mahiru akhirnya membiarkannya pergi.
Meskipun begitu, dia pasti akan segera kembali.
Sementara itu, Amane terkejut sejenak
dengan pelarian Mahiru yang seperti kelinci, tetapi ia tertawa kecil pada perasaan
yang muncul setelahnya— perasaan yang ingin menghargainya.
✧ ✦ ✧
Mahiru sudah kembali saat Amane
selesai mandi dan berjalan ke ruang tamu. Dia sudah berganti pakaian dengan
piyama, memilih memakai piyama bertema kelinci berwarna merah muda yang baru
saja dibelinya. Namun, Amane tidak menyangka kalau Mahiru akan memakainya hari
ini, sedangkan dirinya hanya mengenakan piyama biasa meskipun ia memiliki
piyama bertema kucing.
Rambut Mahiru yang biasanya
tergerai di punggungnya, sekarang diikat longgar di belakang kedua telinganya,
dan dia terlihat sangat menggemaskan dengan tudung yang dikenakannya— bisa
dibilang, penampilannya sangat berbeda dari biasanya. Pemandangan itu sangat
kontras dengan pakaiannya pada saat menginap di rumah orang tuanya. Meski saat
itu Mahiru mengenakan jaket, namun piayama malamnya cukup terbuka— cukup untuk
menggoyahkan kewarasan Amane. Jadi, kali ini, ia merasa tenang.
“...Ini benar-benar cocok
untukmu. Sangat menggambarkan dirimu, Mahiru,” komentar Amane.
“Apa sebenarnya yang kamu
maksud dengan itu?”
“Maksudku kecil, lembut, imut,
sedikit lengket atau kesepian... sangat mirip denganmu...”
Mahiru yang layaknya binatang
kelinci, merupakan seikat kelembutan, empuk dan menyenangkan, namun juga sedikit
kesepian. Meski hal ini berbeda dari perilaku kelinci yang sesungguhnya, namun
hal ini merupakan simbol yang tepat untuk menggambarkan Mahiru yang agak kesepian.
Amane bermaksud mengatakannya
sebagai pujian, tetapi tampaknya Mahiru tidak menyukainya. Dia menatap Amane
dengan ekspresi cemberut, dan saat melihat rambutnya yang basah, cemberutnya
semakin dalam.
“Aku sekarang mengerti apa yang
kamu pikirkan tentang aku, Amane-kun... Tapi yang lebih penting lagi, bukannya
kamu dengan sengaja tidak mengeringkan rambutmu saat aku ada di dekatmu?”
Mahiru memarahinya sambil memainkan rambutnya, tak lama kemudian dia bertanya,
“Kenapa kamu tidak mengeringkan rambutmu dengan pengering rambut?”
(Dia akhirnya menyadarinya juga)
Amane menunjukkan senyuman
pahit. Kapan pun Mahiru tidak ada, ia memastikan untuk mengeringkan rambutnya
dengan benar. Hanya ketika Mahiru berada di dekatnya dan sepertinya tidak ada hal
lain yang bisa dilakukan, Amane sesekali mengeringkan rambutnya hanya dengan
handuk, dan lebih memilih untuk membiarkan Mahiru yang melakukan sisanya.
Mengetahui bahwa hal itu
merepotkan, Amane membatasi perilaku ini hanya sesekali saja. Hal ini merupakan
cara yang tidak langsung bagi Amane untuk mencari perhatian dan bermanja-manja.
Kesenangan saat Mahiru menyentuhnya, memperhatikannya, terlalu manis untuk
ditolaknya. Amane tahu kalau perilaku itu terlalu kekanak-kanakan, tapi ia
tidak bisa menahan diri untuk berhenti.
“Kamu hanya membayangkan
sesuatu... Itulah yang ingin kukatakan, tapi ya, aku sengaja melakukannya. Aku
ingin kamu melakukannya untukku, Mahiru.”
“Ya ampun... Tapi karena aku
menikmatinya, aku tidak keberatan. Kamu hanya ingin dimanjakan dengan caramu
sendiri, Amane-kun.”
Amane merasa campur aduk karena
perasaannya gampang sekali dibaca seperti buku yang terbuka, tapi melihat tawa
riang Mahiru membuatnya berpikir, Yah,
ini bagus juga, sambil merasa sedikit lega.
“Silakan duduk,” katanya,
mengisyaratkan Amane untuk duduk di sofa. Mahriu kemudian menatapnya dengan
ekspresi yang seakan mengatakan, Astaga,
apa boleh buat deh. Namun, dia tidak dapat menyembunyikan kegembiraannya,
bibirnya melengkung menjadi senyuman saat dia menyalakan pengering rambut.
Pengering rambut yang mereka
simpan di rumah adalah pengering rambut yang tidak bersuara, dan bersenandung
pelan saat angin yang lebih hangat dari tangan Mahiru meniup ke arahnya. Amane
sudah membuang sebagian besar air dengan menggunakan handuknya, jadi yang tersisa
sekarang hanyalah mengeringkan rambutnya dari kelembaban yang tersisa.
Mahiru dengan hati-hati
menghembuskan udara hangat, sambil berkata, “Aku lihat kamu tidak lalai merawat
rambutmu. Bagus sekali,” sambil mengusap-usap rambutnya untuk memeriksa kualitasnya.
Sama seperti Mahiru yang dengan
cermat merawat kulitnya, tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga ketika
Amane menyentuhnya, Amane juga memastikan untuk merawat rambutnya dengan cara
yang sama. Ia berpikir bahwa hal itu akan membuat Mahiru senang, karena akan
memberikan sensasi yang menyenangkan setiap kali dia menyentuhnya.
Rambutnya tetap sehalus sutra
berkat usahanya, dan hal itu juga membuat pengeringan rambutnya lebih mudah,
karena tidak lagi kusut.
“... Sekali lagi aku berpikir
bahwa rambutmu memang berkilau secara alami, Amane-kun.”
“Ini adalah warisan dari orang
tuaku. Jenis rambut yang lembut, jadi mudah sekali kusut.”
“Tapi kelembutannya membuatnya
mudah untuk membuatnya tetap berkilau, bukan? Mungkin seharusnya aku memberimu
berbagai produk perawatan rambut sebagai hadiah,” katanya setengah bercanda,
setelah selesai mengeringkan rambutnya. Mahiru mengeluarkan sisir entah dari
mana, lalu berkata, “Mari kita buat lebih halus lagi,” dan mulai merapikan
rambutnya yang mengembang. Dengan melakukan itu, dia menata rambut Amane dengan
cara yang paling disukainya.
“Jika kamu lebih menyukai
tatanan rambut yang lebih berkilau, aku bisa membeli produk yang lebih baik.”
“A-Aku tidak terlalu senang...
Aku hanya merasa puas saat menyentuhnya, dan aku menemukan kenikmatan saat
menyisir rambutmu.”
“Kalau begitu, aku akan meminta
beberapa rekomendasi dari Kadowaki. Kalau itu membuatmu lebih bahagia, maka aku
pun akan ikut bahagia.”
Ditambah lagi, Amane hampir
yakin bahwa Mahiru akan lebih sering menyentuhnya jika ia melakukan hal itu.
Meskipun begitu, Amane tidak berani mengatakan bahwa itulah tujuan utamanya.
Jika pertumbuhan pribadinya
membuat Mahiru bahagia, maka selain itu layak diperjuangkan, tetapi juga akan
membantu meningkatkan kepercayaan dirinya... Tetapi saat ia memikirkan hal ini,
Mahiru menempelkan dahinya pada lengannya, meletakkan sisirnya di atas meja.
Sambil diam-diam menertawakan
caranya yang sekarang sudah tidak asing lagi untuk menyembunyikan rasa malunya,
Amane melihat tudung bertelinga kelinci di kepalanya bergerak-gerak di setiap
gerakan yang Mahiru lakukan, membuatnya semakin tersenyum.
“Hei, Nyonya Usagi-san— kelihatannya
keempat telingamu sudah berwarna merah muda,” ujar Amane sambil bercanda.
“Tolong diam,” kata Mahiru. “...
Seharusnya kamu juga memakai piyama kucing itu, Amane-kun. Tidak adil rasanya
kalau hanya aku yang berpakaian seperti kelinci.”
“Kalau begitu akan terlihat
seperti kucing yang sedang merapikan bulu kelinci.”
“Itu akan menggemaskan, ‘kan?”
“... Aku tidak masalah kalau
kamu menjadi satu-satunya yang menggemaskan di sini, Mahiru.”
Meskipun pemandangan kucing dan
kelinci— potensial pemangsa dan mangsa— yang bergaul dengan sangat baik akan
menjadi hal yang mengharukan, Amane tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa ia
tidak memiliki kelucuan untuk menjadi seekor kucing.
Fisiknya semakin kuat
akhir-akhir ini, jauh lebih kuat daripada di masa lalu. Ditambah lagi, wajahnya
yang polos dan lugu seperti anak kecil, perlahan-lahan memudar dari wajahnya.
Meski sudah kehilangan penampilannya yang menggemaskan beberapa waktu lalu,
namun Mahiru masih bersikeras bahwa Amane tetaplah imut, dan hal itu membuatnya
bingung. Tetapi, karena itu semua kembali pada selera pribadi, jadi mau tak mau
Amane harus menerimanya.
Mungkin rona merah di pipinya
sudah sedikit mereda, karena Mahiru menatap Amane, dan secara aneh menemukan
semacam kelucuan di wajahnya. Kemudian, dengan sengaja tanpa peringatan, Amane
mengecup bibir imut Mahiru.
Mahiru mengerjap beberapa kali
sebelum wajahnya memerah sekali lagi, tapi dia tidak menolak sama sekali.
Sebaliknya, dia tampak senang, dan merilekskan tubuhnya saat dipeluk,
seolah-olah menyuruh Amane untuk bebas melakukan apa yang disukainya.
Amane menggigit dengan lembut, lalu
perlahan-lahan membuka bibir Mahiru yang mengkilap, yang mengingatkan pada
kerang berwarna sakura. Mahiru dengan lemah lembut menerimanya tanpa menolak.
Belakangan ini, Mahiru perlahan
tapi pasti mulai menerima kasih sayangnya dan mulai membalasnya dengan baik,
yang mana hal itu menurutnya sangat menggemaskan.
Ketika Amane sedang memonopoli
suara lemahnya yang samar-samar keluar, hatinya menari-nari saat melihat
kelinci kecil yang lucu itu gemetar, namun tetap menerima serangan sang
serigala. Amane tidak terbiasa dengan ciuman seperti itu, dan sejujurnya,
hasratnya terhadap Mahiru semakin meluap-luap dan ia merasa seolah-olah dirinya
hampir kehilangan kendali. Mengetahui dari pengalaman menginap sebelumnya bahwa
Mahiru bisa ketakutan jika Amane terlalu agresif, jadi Amane berusaha
menciumnya selembut namun seintim mungkin.
“... Ketimbang kucing,
seharusnya aku membeli baju serigala saja,” gumam Mahiru agak menyesal sambil
berusaha mengatur nafasnya yang tersengal-sengal, tak lama setelah bibir mereka
berpisah.
Senyum mengembang di wajah
Amane. “Kalau saja kamu mau— karena yang menggemaskan di sini hanyalah si
kelinci kecil Mahiru,” goda Amane sambil menahan rasa malu yang muncul akibat
ciuman mereka.
“Dasar jahat.”
Mahiru cemberut, bibirnya kini
lebih lembab dari sebelumnya, saat dia kemudian menyundul lengan Amane dengan
main-main seolah mengekspresikan ketidakpuasannya.
“... Bukankah kamu sudah
kehilangan pesona polos yang kamu miliki ketika menyangkut hal-hal seperti
ini?” Mahiru mengamati, terdengar sedikit kesal.
“Aku tidak pernah punya pesona
seperti itu.”
“Pembohong. Dulu kamu bersikap
seolah-olah kamu tidak tahu apa yang harus dilakukan...”
“Oh, diamlah.”
Karena ini pengalaman pertaman
Amane berpacaran, jadi ia tidak berpengalaman adalah hal yang wajar. Sekarang,
ia bisa menutupi rasa malu dan gugup yang muncul karena bertingkah seperti
sepasang kekasih, setidaknya di permukaan. Tetapi, wajar saja kalau ia merasa canggung
pada awalnya.
Jika kepolosan disamakan dengan
kelucuan, maka ia lebih suka kelucuan itu menjadi milik Mahiru saja. Amane
tidak ingin menunjukkan sisi canggungnya pada pacarnya.
“... Lain kali, aku akan
melakukan sesuatu yang akan membuatmu terkejut, Amane-kun. Terutama karena aku
yang selalu dikejutkan olehmu.”
Menanggapi gumaman pelan
Mahiru, Amane sekali lagi mengatupkan bibirnya untuk mencegahnya mengucapkan
rencana lebih lanjut. Amane menikmati bibir manisnya dengan seluruh inderanya.
✧ ✦ ✧
Setelah berciuman beberapa
saat, Amane menuntun Mahiru ke kamar tidurnya.
Walau sudah sering mengunjungi
kamar Amane beberapa kali dan bahkan mengalami beberapa kali menginap, Mahiru
tampak sedikit gugup, karena tangan Amane yang digenggamnya menunjukkan sedikit
ketegangan.
Sambil tertawa pelan pada Mahiru,
Amane menelusuri tangannya dengan ujung jarinya untuk menenangkannya. Ia
kemudian dengan halus mengajaknya ke tempat tidur. Dengan perasaan malu-malu,
Mahiru duduk di tempat tidurnya, tampak seperti kelinci kecil yang akan
dimangsa serigala.
Untuk menjawab kelucuan dan
penampilannya yang menawan, Amane mencabut taring yang hampir menerkam
mangsanya, duduk di sampingnya, dan dengan lembut membelai kepalanya untuk
membuatnya tenang. Meski Amane sudah mengatakan kepadanya kalau dirinya tidak
akan melakukan apapun, ketegangannya tidak diragukan lagi karena Mahiru berada
di kamar tidurnya.
“Aku tidak akan memakanmu.
Seperti yang kukatakan, hari ini aku hanya akan menjadikanmu sebagai bantal
pelukku,” Amane mengonfirmasi sekali lagi.
“A-Apa iya?”
“... Apa kamu mengharapkan
sesuatu yang lain?”
“Tidak! Hanya saja, ehm, kamu
semakin lama semakin menjadi...”
“Menjadi apa?”
“... Menjadi lebih tenang, dan
kamu juga menjadi lebih maskulin... Ini memalukan. Ra-Rasanya tidak adil,”
Mahiru tergagap, menatap Amane sambil menggeliat canggung.
Amane tertawa kecil, sekarang
menyadari seberapa bagusnya ia berpura-pura. Tentu, ia mungkin terlihat tenang
di luar, tetapi pada kenyataannya, batinnya sedang dilanda kepanikan. Faktanya,
mengenal Mahiru sedekat itu hanya membuatnya semakin sulit untuk tetap tenang.
Namun, Amane tidak bisa
menakut-nakuti Mahiru dengan bersikap terlalu memaksa atau terburu-buru, dan
dirinya berpikir kalau rasanya tidak terlalu jantan jika ia terlihat terlalu
gugup, jadi ia hanya berusaha untuk terlihat tenang.
“Aku yakin kalau aku pernah
memberiathumu bahwa aku sebenarnya tidak memiliki ketenangan. Aku hanya tidak
menunjukkannya di wajahku karena sangat tidak jantan bagi seorang pria untuk
merasa gugup.”
“Jadi, jika aku memintamu untuk
menunjukkannya, kamu mau?”
“Tidak.”
“Itu sangat tidak adil.”
“Kamu hanya akan melihatku
menjadi tersipu dan wajahku memerah, tau? Bukannya itu akan sangat
menyedihkan?”
Mereka sudah berpacaran selama
lima bulan; tidak keren rasanya jika Amane tersipu malu saat mendapat sentuhan
dan ciuman sekecil apa pun. Wanita mungkin akan menganggap pria yang dapat diandalkan
lebih menarik, dan Amane berpikir bahwa wanita akan lebih nyaman jika dia
bersikap tenang selama situasi intim. Namun, hal ini tampaknya tidak berlaku
bagi Mahiru.
Dengan takut-takut dia memegang
ujung kemeja Amane. “... Apa aku bersikap egois jika aku mengatakan aku ingin
melihat dirimu yang sebenarnya, Amane-kun?”
Dia bertanya dengan suara pelan
dan cemas, dan Amane menutup wajahnya dengan tangannya dan menghela napas
pelan. Tampaknya, upayanya untuk bersikap tenang adalah kekhawatiran yang tidak
perlu.
“.... Aku ingin kamu memahami
kalau aku hanya ingin terlihat baik di depanmu karena... yah, aku mencintaimu.”
Mahiru menegang untuk beberapa
saat saat Amane memeluknya dari samping, meletakkan dahinya di bahunya, tapi
Mahiru segera mengeluarkan tawa kecil.
“Kamu selalu imut dan keren,
tau?”
“Bagian imutnya tidak perlu
juga kali.”
“Fufu. ... Bisa melihat kedua
sisi dirimu adalah keberuntunganku.”
Tak bisa membantah apapun untuk
menanggapi suara senangnya, Amane berguling ke tempat tidur bersama Mahiru,
berusaha menutupi ekspresi malunya. Mencoba yang terbaik untuk meredam
benturan, rambut Mahiru yang diikat bergoyang ke sana kemari dengan sedikit
goyangan. Namun, mengingat kedipan matanya yang cepat, hal itu pasti membuatnya
lengah.
Mendapati tatapan Mahiru, Amane
mendapati rasa malunya jauh lebih kuat daripada rasa malunya, tetapi ia
mendorong lebih jauh, membawanya ke dalam pelukannya dan membenamkan wajahnya
di lekuk tubuhnya yang indah.
Mungkin efek dari piyama
kelincinya, gundukan Mahiru terasa hangat dan lembut saat disentuh,
menghasilkan suplai. Aroma yang terpancar darinya begitu mewah, perpaduan unik
antara rasa manis dan kesegaran yang begitu luar biasa, sehingga tidak dapat
digambarkan dengan kata-kata.
Jika Mahiru bersikap agak
khawatir namun penuh harap, Amane mungkin akan menjadi lebih bersemangat,
tetapi tidak demikian. Dia malah berada dalam mode relaksasi, dan karena Amane
bahkan tidak mempertimbangkan untuk mengambil langkah lebih jauh untuk saat
ini, dia menyerah pada perasaan nyaman dan bahagia yang menyelimuti tubuhnya.
Meskipun terkejut sesaat, Mahiru
segera menyadari bahwa Amane tidak akan melakukan apa pun padanya dan mulai
mengusap-usap rambutnya. Itu adalah gerakan yang menenangkan.
“Kamu sangat dimanjakan hari
ini,” komentar Mahiru.
“... Tidak apa-apa, ‘kan?
Setidaknya izinkan aku melakukan ini.”
“Ya, ya.”
Mahiru terkekeh dengan geli,
tampaknya menyadari usahanya untuk menyembunyikan rasa malunya.
“Kamu cukup berani hari ini,
Amane-kun.”
“Kupikir aku harus memanjakan
diriku sendiri hari ini. Dengan banyak menyentuhmu.”
“Tentu saja aku tidak keberatan.
Tapi, bagaimana aku harus mengatakannya... kamu menyentuhku seperti yang
biasanya kamu lakukan. Erm, aku... berharap kau akan menyentuhku lebih banyak
lagi... secara langsung.”
“Yah, ya— tapi meskipun aku
menikmati menyentuhmu, dan aku ingin tahu lebih banyak tentang dirimu, berada
di sisimu dan merasakan kehangatanmu sudah cukup bagiku. Hanya itu saja yang aku
butuhkan untuk merasa puas.”
Setelah mengangkat kepalanya
dari puncak lembutnya, Amane memeluknya dengan lembut, merangkul tubuh
rampingnya. Amane tidak berniat untuk melakukan fantasi yang pernah dibayangkan
oleh Mahiru. Jika ia melakukan hal seperti itu setiap kali mereka menghabiskan
malam bersama, Amane yakin ia akan kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Ia
tahu bahwa Mahiru akan menerimanya dengan reaksi yang menggemaskan, membujuknya
untuk menginginkannya lagi dan lagi tanpa batas.
Namun, Amane benar-benar tidak
berniat untuk melakukan apa pun malam ini.
Hanya karena dirinya seorang
pria, bukan berarti ia selalu ingin melakukan hal-hal semacam itu. Lagipula,
menghabiskan waktu dengan tenang bersama wanita yang dicintainya sudah cukup
untuk membuatnya bahagia.
Meskipun secara fisik mereka
mungkin kurang puas dibandingkan dengan saat mereka menginap di tempat
terakhir, di mana mereka saling menyentuh satu sama lain secara intim, namun
kepuasan emosional yang mereka rasakan pada saat itu, sama sekali tidak kurang
memuaskan.
Sekarang, wanita yang sangat
Amane cintai dan ingin ia jadikan pendamping hidup berada di sisinya, dengan
tatapan penuh kepercayaan dan cinta. Tidak ada hal lain yang bisa memberinya
rasa aman, bahagia, dan kepuasan yang lebih besar daripada ini.
Kehangatannya saja sudah cukup
untuk membuat Amane merasa puas, dan Mahiru meringkuk di dadanya, mengatakan
padanya bahwa dia juga berpikiran sama.
“... Aku juga,” dia menegaskan.
“Aku senang berada di sisimu, Amane-kun.”
“Syukurlah, aku senang
mendengarnya. Jika itu hanya aku, aku merasa itu agak tidak adil. Seperti aku
terlalu mudah menemukan kebahagiaan.”
“Aku merasakan hal yang sama
saat kamu berada di sampingku, tau? Selama kamu bersamaku, Amane-kun, hanya itu
yang kubutuhkan, tapi...”
“Tapi?”
“Aku akan lebih senang lagi
jika aku bisa menyentuhmu.”
Saat dia mengatakan kata-kata
yang sangat manis itu, Mahiru menatap Amane, matanya memohon agar dia diizinkan
untuk menyentuhnya.
“Oh, kamu ingin menyentuhku?
Aku tidak keberatan, tapi aku tidak bisa membayangkan tubuh seorang pria yang
begitu menyenangkan untuk disentuh.”
“Benarkah? Karena aku sendiri
tidak memiliki banyak otot, kupikir itu adalah hal yang bagus karena kamu
berotot... Seperti saat aku menelusuri perutmu, rasanya kencang dan kasar.”
Setelah mendapatkan izinnya,
Mahiru mengulurkan tangan dan menyentuh dada dan perut Amane dengan ragu-ragu
dengan ujung jarinya, yang membuatnya menggeliat sedikit dari sensasi geli.
Pengaruh
Ayaka jelas terlihat di sini... Tapi kurasa tidak apa-apa. Selama Mahiru
menikmatinya, aku tidak terlalu keberatan. Menyadari bahwa Mahiru
tampak senang menyentuhnya seperti ini, Amane kemudian menyadari bahwa dia
mungkin terlalu lembut padanya.
“Kurasa latihan harianku sudah
mulai membuahkan hasil sekarang. Kira-kira bisa dibilang aku sudah lulus
menjadi tauge?” ucap Amane dengan bercanda.
“Aku pikir itu berjalan dengan
baik— tubuhmu terlihat kencang, dan kamu tidak memiliki lemak yang tidak perlu.
Kamu merasa lebih kuat dibandingkan sebelumnya.”
“...Ya, jangan mengungkit masa
lalu. Aku sangat kurus saat itu.”
Teringat saat pertama kali
bertemu Mahiru, membuatnya merasa sangat malu. Meskipun Amane sekarang memiliki
tubuh yang cukup kencang dengan otot-otot, namun dulu ia memiliki tubuh yang
tidak bisa diandalkan.
Dirinya tidak memiliki banyak
lemak, tetapi tubuhnya sangat kurus sehingga bisa digambarkan sebagai tubuh
yang lemah, jelas jauh dari tubuh yang berotot. Menengok kembali ke masa lalu,
Amane merasa seperti ingin meninju dirinya yang dulu dan menyuruhnya untuk
bekerja lebih keras.
Mahiru tampaknya lebih menyukai
bentuk tubuhnya yang sekarang, jadi Amane senang karena dirinya telah berusaha
keras untuk memperbaiki dirinya. Semakin ia berlatih, semakin ia terlihat
bergaya saat mengenakan pakaiannya, yang membantu membuktikan bahwa
keputusannya untuk menjadi pasangan yang pas untuk Mahiru adalah keputusan yang
tepat.
“Fufu. Tapi bagaimanapun juga, aku
masih mengira kalau tetap seorang anak laki-laki saat itu. Aku menyadari
perbedaan antara tubuh kita saat kamu menggendongku di punggungmu waktu itu.”
“Yah, itu sudah pasti. ...
Lagipula kamu memiliki bentuk tubuh yang sangat ramping.”
Mahiru lembut dan mungil berkat
usahanya sendiri yang terus menerus, tetapi bahkan dengan aspek-aspek yang tak
bisa dia ubah, seperti struktur tulangnya, dia masih cukup halus. Bahkan bisa
dikatakan bahwa secara keseluruhan, dia bertubuh mungil.
“... Aku mungkin mungil, tapi
aku lebih tangguh dari yang kamu pikirkan, Amane-kun."”
“Namun, tetap tidak mengubah
fakta bahwa kamu memang lembut. Aku sering berpikir bahwa aku harus menyentuhmu
dengan lembut. Rasanya seperti kamu akan hancur jika tidak hati-hati.”
“Meski kamu bilang begitu, tapi
kamu tidak pernah menyentuhku dengan menggunakan kekuatan sebesar itu
sebelumnya.”
“Pendapatku masih berlaku,”
Amane bersikeras. “... Kamu tahu betapa aku ingin menyayangimu, jadi bersikap
lembut adalah sesuatu yang harus kuperhatikan. Bagaimanapun juga, kamu sangat
penting bagiku.”
Dengan kemampuan terbaiknya,
Amane ingin bersikap baik dan sopan terhadap Mahiru. Ia berencana untuk
menyayangi dan melindunginya selama sisa hidupnya di masa depan, jadi dirinya
harus berhati-hati untuk tidak menyakitinya dengan cara apa pun.
Bukannya Amane ingin bersikap
terlalu protektif, tetapi tidak peduli seberapa banyak Mahiru berusaha
memperbaiki dirinya, dia akan tetap menjadi wanita yang lembut. Dia secara
alami lebih lemah dan kurang kuat daripada pria karena perbedaan gender, dan
Amane merasa bahwa dia harus mempertimbangkan hal itu.
Amane sepenuhnya memahami bahwa
Mahiru tidak ingin dimanjakan, jadi sambil menghormati kemandiriannya, dirinya
ingin memperlakukannya dengan lembut dan membuatnya merasa nyaman. Amane ingin
memastikan bahwa dirinya tidak akan pernah membuatnya menangis.
Kemudian, Amane berbisik di
telinganya bahwa ia berniat untuk menghabiskan sisa hidupnya untuk membuatnya
bahagia, membuat tekadnya menjadi jelas. Mahiru memerah sebagai tanggapan, dan
rasa malu Amane sebelumnya memucat dibandingkan dengan betapa merahnya wajah
Mahiru saat dia dengan lembut menjawab, “Terima kasih banyak...”
“... Ini hari ulang tahunmu,
Amane-kun, tapi aku merasa seperti akulah yang menerima semua berkat hari ini.”
“Tidak, tidak. Akulah yang
mendapatkan semua berkat, oke? Lagipula, tanggalnya sudah berubah.”
Amane telah menerima banyak hal
dari Mahiru, dan keinginannya untuk menyayanginya pada akhirnya lahir
semata-mata dari perasaannya sendiri. Itu bukanlah sesuatu yang perlu
dikhawatirkan oleh Mahiru. Ditambah lagi, tanggalnya sudah berubah sebelum
mereka menyadarinya— hari ulang tahunnya sudah lewat.
Mereka telah berpelukan dan
berciuman di sofa dan tempat tidur, dan sebelum mereka menyadarinya, lebih
banyak waktu yang telah berlalu daripada yang mereka duga. Meskipun ulang
tahunnya hanya sebentar, Amane merasa bahwa ia telah menerima lebih dari cukup
kebahagiaan.
“Oh, kamu benar... Sa-Sayang
sekali, aku ingin kamu mengajukan beberapa permintaan lagi..."
“Waktu cepat sekali berlalu,
ya. Kurasa aku tidak bisa meminta apa-apa lagi sekarang."”
“Jadi, apa yang kamu rencanakan
untuk ditanyakan?”
“... Aku berharap kamu akan
memberiku ciuman sebelum kita tidur.”
Mereka tidak melakukan apapun selain
berciuman sampai beberapa saat yang lalu, tetapi itu semua diprakarsai oleh
Amane. Jarang sekali Mahiru, yang lebih pemalu daripada Amane, mengambil
inisiatif sendiri. Meskipun dia tampak menikmati ciuman, tapi Mahiru terlalu
malu untuk memimpin.
Mengingat hari ini adalah hari
ulang tahunnya, Amane berpikir kalau dirinya mungkin bisa meminta Mahiru untuk
menciumnya dengan cara yang Mahiru inginkan, yang merupakan sesuatu yang
memalukan untuk diketahui orang lain.
Amane menganggap permintaan itu
cukup signifikan, tetapi untuk beberapa alasan, Mahiru tampak bingung dan
sedikit tercengang.
“... Kamu ini benar-benar tidak
memiliki keinginan, ya? Aku berharap kamu akan meminta sesuatu yang lebih besar
dari itu.”
“Aku sudah merasa sangat puas,
apa lagi yang akan kuminta? Aku punya kamu— pacarku— di sisiku, merayakan hari
kelahiranku bersamaku, dan berbagi kehangatan. Hanya itu saja sudah cukup bagiku.
Bukannya aku tidak memiliki keinginan, tapi saat ini, anggap saja aku sudah
puas.”
“Kalau begitu...” Mahiru berhenti
sejenak. “Itu berarti aku yang sangat serakah.”
“Kamu? Serakah?”
Amane selalu menganggap 'serakah' sebagai hal yang paling jauh
dari kepribadian Mahiru, tapi dia mengangguk dan sedikit mengernyit, raut
serius terlihat di wajahnya.
“Sejujurnya, aku merasa
kesepian saat kamu pergi bekerja, Amane-kun, dan aku selalu merindukanmu untuk
segera pulang ke rumah. Aku juga khawatir apa ada wanita yang mencoba untuk
mendekatimu. Karena kamu adalah pria yang sangat tampan, Amane-kun. Apa yang
akan aku lakukan jika kamu menjadi populer di kalangan wanita? Aku sering
bertanya-tanya tentang kemungkinan itu. Aku tidak bermaksud untuk mencampuri
keputusanmu, dan aku sama sekali tidak khawatir kalau kamu akan selingkuh,
tetapi sebagian dari diri aku masih merasa cemas. Aku tidak bisa berhenti
berpikir, 'Tolong jangan tinggalkan aku'.”
Mahiru menyandarkan wajahnya di
dada Amane sebelum mengakui bahwa dia tidak ingin menjadi penghalang. Namun...
“Aku tidak pernah ingin kamu
meninggalkanku,” tambahnya sambil bergumam. “Aku ingin kamu menyentuh aku lebih
banyak. Aku ingin kau tetap berada di sisiku selama-lamanya. ... Aku pasti
serakah karena berpikir seperti ini. Mungkin cintaku terlalu berat...”
Amane tersenyum saat mendengar
pengakuan Mahiru yang tulus.
Mahiru mengungkapkan betapa dia
sangat menyayanginya, dan betapa pentingnya keberadaannya bagi kehidupan Mahiru.
Dia ingin selalu berada di sisinya, dan itu—merupakan bukti seberapa besar
Mahiru mencintainya.
Yang ada justru Amane merasa
sangat diberkati karena memiliki Mahiru sebagai kekasihnya.
Saat Mahiru menggambarkan kasih
sayangnya yang kuat sebagai keserakahan, Amane tersenyum tipis, mengerahkan
sedikit lebih banyak tenaga ke lengan yang melingkari punggungnya, dan memeluknya
lebih keras.
“... Kemungkinan cintaku jauh
lebih berat daripada cintamu, Mahiru. Jauh lebih berat dari yang kamu
bayangkan.”
Mahiru menggambarkan cintanya
sebagai sesuatu yang berat, tapi jika memang begitu, maka cinta Amane jauh lebih
berat. Ia sama sekali tidak berniat untuk melepaskannya.
Mungkin ada kemungkinan kalau
dirinya harus menelan air matanya yang berdarah dan membiarkannya pergi jika
itu berarti Mahiru menemukan kebahagiaan yang sebenarnya, tetapi sebaliknya,
gagasan itu tidak berlaku. Amane bertekad untuk membahagiakan dirinya sendiri
dan tidak akan menyisihkan sedikit pun usaha untuk mencapai hal itu.
Amane takkan pernah mengalihkan
tanggung jawabnya kepada Mahiru dengan bersikeras bahwa ini semua demi dirinya.
Dirinya melakukan yang terbaik untuk membahagiakannya atas kemauannya sendiri,
menjalani kehidupannya sendiri dengan penuh tanggung jawab sambil memikul beban
emosi yang tidak dapat ditanggungnya sendiri.
“Dalam keluargaku, cinta kami sangat
berat karena kami sangat setia. Dan aku juga tidak terkecuali. Mungkin kamu
belum sepenuhnya menyadarinya, Mahiru, tetapi memiliki cinta yang berat
bukanlah tentang menjadi posesif atau memaksakan batasan— ini adalah tentang
kedalaman dan intensitas perasaan yang kita miliki untuk satu sama lain.
Begitulah yang terjadi padaku. Aku tidak akan pernah melepaskanmu, apa pun yang
terjadi. Aku tidak ingin kamu melihat orang lain selain aku. ... Jadi,
terkadang aku merasa cemas mengenai apa yang akan kulakukan jika kamu bosan
denganku.”
Amane sadar bahwa perasaannya
berat.
Mengetahui bahwa memiliki
hubungan yang dangkal akan menjadi hal yang tidak sopan bagi Mahiru, Amane
telah mengusulkan hubungan yang serius dengan tujuan untuk menghabiskan seluruh
hidup mereka bersama, tapi hal semacam itu mungkin akan dianggap terlalu berat
bagi orang luar. Menjanjikan komitmen seumur hidup bersamanya sewaktu masih
duduk di bangku SMA. Amane mencoba melakukan hal itu, dan menyebutnya 'berat'
sangatlah perumpamaan yang cocok.
Namun, Mahiru tersenyum
bahagia. Senyumnya berseri-seri dengan sukacita dan kegembiraan yang murni.
"Dicintai sedemikian rupa,
aku menganggap diriku benar-benar diberkati,” kata Mahiru. “Tidak pernah
membiarkanku pergi, hanya melihat ke arahku ... Bukannya itu justru ideal?”
“Benarkah?”
“Benar,” dia menegaskan. “...
Aku juga begitu, Amane-kun. Aku tidak bisa membiarkanmu pergi lagi, jadi perasaan
itu saling terbalas. Aku takkan pernah mengizinkanmu berpaling ke tempat lain,
oke?”
Setelah mendengarnya mengatakan
sesuatu yang benar-benar di luar dugaan, Amane hanya mengangguk pada Mahiru,
yang tersenyum padanya dengan puas saat dia menggeser tubuhnya sedikit ke atas.
Senyuman jahil muncul di wajah
Mahiru yang tegas saat dia mendekat.
“Aku akan memberikan diriku
padamu, Amane-kun, jadi tolong berikan dirimu padaku, oke?”
Dia berbisik dengan penuh
gairah, dan jarak mereka semakin dekat.
Wajah mereka begitu dekat
hingga napas mereka bercampur, dan pada saat berikutnya, mereka dengan cepat
memperpendek jarak, tidak menyisakan udara di antara mereka saat wajah mereka
bersentuhan.
Bibir mereka saling mengecup,
ciuman yang begitu lembut, namun menyulut gairah yang membara. Ciuman ini
membawa rasa tenang dan bahagia, perpaduan sensasi yang menyenangkan, yang
membuat hati mereka membengkak karena kehangatan.
Walaupun hanya berlangsung beberapa
detik, namun ciuman tersebut memberikan kepuasan tersendiri, yang berbeda
dengan ciuman yang mendalam. Kemudian, Amane bertemu dengan tatapan Mahiru dan
tersenyum.
Tanpa ragu, mereka berdua hanya
saling menatap. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
“... Selamat malam, Amane-kun.
Semoga kamu mimpi indah.”
“Selamat malam, Mahiru.”
Usai meringkuk di samping
Amane, Mahiru mengeluarkan senyum bahagia yang menyiratkan, 'Kamu adalah milikku,' dan Amane juga
membalas senyum damai, dengan lembut memejamkan matanya.
Sebelumnya | Daftar isi | Selanjutnya