Otonari no Tenshi-sama Jilid 8 Bab 10 Bahasa Indonesia

Bab 10 — Maka, Hari 'X' Tiba untuk Tenshi-sama

 

 

Meskipun Amane sekarang sudah mulai bekerja paruh waktu, bukan berarti dirinya menghabiskan seluruh hari liburnya bersama Mahiru. Ia memiliki kehidupannya sendiri, dan ada kalanya ia ingin menyendiri atau menghabiskan waktu bersama orang lain. Selain itu, Mahiru sudah merencanakan sesuatu di belakang Amane akhir-akhir ini, dan karena itu, ia sering menghabiskan waktu bersantai di rumah sampai makan malam atau bergaul dengan Itsuki dan yang lainnya di hari kerja ketika ia tidak ada pekerjaan.

“Hei, Mas-Mas pasutri baru. Kamu yakin tidak masalah ikutan nongkrong dengan kami? Istrimu tidak akan mulai merajuk padamu, ‘kan?”

Atas undangan Itsuki, Amane dan Yuuta diajak untuk mencicipi produk baru yang diluncurkan oleh suatu kedai kopi. Mereka memesan untuk dibawa pulang, dan pergi ke taman terdekat di dekat stasiun untuk menikmatinya, tetapi saat mereka sedang menyeruputnya, Itsuki tiba-tiba mengajukan pertanyaan itu.

Sebelumnya, Itsuki setengah bercanda menyarankan, “Bagaimana kalau kita pergi ke kafe Amane saja?” tetapi Amane menolaknya dengan tegas.

“Siapa yang kamu panggil pasutri baru?” Amane membalas. “Lagipula, ini adalah waktu senggangku, jadi tidak masalah bagiku untuk berkumpul dengan teman-temanku. Lain lagi ceritanya jika aku bersama para wanita, tapi aku hanya berkumpul dengan teman cowok, jadi ini murni hanya untuk bersenang-senang. Kita hanya bermain-main saja.”

“Astaga! Jadi sekarang kamu bilang kamu hanya bermain-main denganku...!"

“Kamu sendiri yang mengatakan itu ketika kamu mengajakku,... Dan jika kamu mengartikan 'main-main' seperti itu, maka kita tak pernah punya hubungan seperti itu sejak awal, jadi itu tak mungkin.” Amane menatap Itsuki dengan tatapan kosong.

Itsuki menggeliat-geliatkan tubuhnya ke depan dan ke belakang secara dramatis, dengan sengaja bertingkah seolah-olah Amane adalah pasangannya dan telah berselingkuh. Tak lama kemudian, ia kembali menjadi dirinya yang biasa dan menghentikan aktingnya, dan sekarang mengangguk dengan sadar.

“Tapi tentu saja,” katanya. “Mana mungkin aku bisa memisahkan pasangan yang panas dan dimadu cinta seperti kalian berdua.”

“Kamu sudah punya Chitose, bung. Dan aku tidak membutuhkanmu.”

“Nah, itu baru kejam.”

“Yah, kamu hanya akan menghalangi jika kamu bersama mereka, Itsuki.”

“Bukannya perkataanmu itu juga cukup kasar, Yuuta?”

Yuuta dengan santai meminum Frozen Shake yang baru saja dirilis dalam waktu terbatas, sambil mengabaikan komentar Itsuki dengan ekspresi polos.

Seminggu telah berlalu sejak awal November, dan cuaca sudah mulai mengisyaratkan datangnya musim dingin. ... Aku heran dia memilih untuk meminumnya dalam cuaca dingin seperti ini, pikir Amane dalam hati sambil menyeruput matcha latte panas yang dipesannya.

Itsuki, yang kini merasa tidak punya sekutu untuk diajak bicara, sengaja merajuk selama sekitar sepuluh detik sebelum mulai melahap latte ubi jalarnya dengan lahap.

“Baiklah, kembali ke topik,” Itsuki memulai. “Kamu tidak masalah ikut nongkrong dengan kami, tapi kamu seriusan kamu tidak lelah atau apa?”

“Kalau hanya segini saja bisa dianggap melelahkan, maka Kadowaki akan kelelahan setiap hari," jawab Amane.

“Hmm. Yah, kami beristirahat dengan baik selama kegiatan klub, dan itu tidak terlalu membebani mental dibandingkan dengan melayani pelanggan, jadi tidak terlalu buruk, kurasa,” Yuuta menjelaskan. “Maksudku, aku berlari karena aku menikmatinya. Tapi bagaimana denganmu, Fujimiya? Apa kamu tidak merasa stres karena bekerja?”

“Tidak juga. Bukannya aku menikmati melayani pelanggan atau gimana, tapi kebanyakan pelanggan lebih tenang karena kebanyakan dari mereka orang yang lebih tua. Para seniorku sangat baik kepadaku, belum lagi sopan, dan mereka mengajariku dengan hati-hati. Tentu saja, terkadang aku merasa tertekan karena kekuranganku, tetapi lingkungannya sendiri tidak membuatku stres.”

Belum genap satu bulan Amane bekerja, tetapi dari lubuk hatinya yang terdalam, ia bersyukur karena Ayaka telah memperkenalkannya pada pekerjaan paruh waktu ini. Keterampilan yang diperoleh dari melayani pelanggan mungkin akan berguna di masa depan, dan ia merasa beruntung bisa bekerja bersama orang-orang yang baik hati.

Sejujurnya, Amane percaya bahwa separuh dari apa yang membuat pekerjaan menjadi hebat bergantung pada rekan kerja, jadi dirinya sangat bersyukur memiliki lingkungan kerja dengan karyawan yang pengertian.

Aku akan memberinya sesuatu sebagai ucapan terima kasih ketika aku mendapatkan kesempatan, Amane berjanji pada dirinya sendiri, sambil mengangkat bahunya dan memutar-mutar cangkir kertasnya.

“Di sana merupakan tempat kerja yang hebat. Begitu banyak hal yang aku rasakan.”

“Senang mendengarnya,” jawab Yuuta. “Bagaimanapun juga, lingkungan kerja sangat penting dalam hal memiliki pekerjaan. Mana mungkin aku mau menjadi bagian dari tempat kerja yang menganggap karyawannya sebagai pion yang bisa dibuang.”

“Ya, tentu saja aku akan langsung berhenti jika keadaannya memang seperti itu. Ini memang pekerjaan paruh waktu, tapi bukan berarti kita tidak punya hak untuk memilih pekerjaan yang kita inginkan. Kesehatan mental dan fisik kita harus diprioritaskan, dan Mahiru mungkin tidak suka jika aku bekerja di tempat seperti itu.”

“Dia benar-benar mencintaimu, bukan?” Yuuta menggoda.

“Kurasa….  itu tidak ada hubungannya dengan apa yang sedang kita bicarakan, tau.”

Amane menatap Yuuta, berpikir, Ia cuma merasa ingin mengatakan itu, bukan? tapi Yuuta hanya menanggapi dengan senyuman cerah, jadi Amane memalingkan wajahnya, sekarang sedikit malu.

“Kalau tidak salah, kamu bekerja di kafe, kan?” tanya Itsuki.

“Ya, kafe itu lebih menargeti pelayan yang berkantong tebal. Tapi makanan dan minumannya sangat enak, tidak heran kalau tempatku bekerja mematok harga yang mahal.”

Kafe itu sangat menekankan pada kualitas biji kopi. Biji-biji kopi tersebut dipilih dengan cermat berdasarkan daerah asalnya, tingkat pemanggangan, dan cara meraciknya, dan perhatian terhadap detail ini tergambar jelas dalam kopi mereka. Tentu saja, bukan hanya minuman kopi saja yang mereka banggakan— mereka juga sangat berhati-hati dalam menyesuaikan rasa dari menu-menu mereka yang lain, termasuk makanan, meskipun pilihannya tidak terlalu banyak. Perhatian terhadap rasa ini membuat kafe ini menjadi semacam permata tersembunyi; tempat yang dicintai oleh para pelanggan tetapnya.

Mengetahui hal ini, Amane pun mulai penasaran siapakah sebenarnya Fumika. Bahkan keponakannya sendiri, Ayaka, tampaknya kesulitan untuk memahami dirinya sepenuhnya, dan hal ini membuat Amane semakin bingung.

“Cuma sekedar penasaran, tapi apa ada yang pernah merayumu saat kamu berada di sana, Amane? Sering terjadi, ‘kan?”

“Bagaimana dengan kesanmu tentang kafe, kawan... Tidak pernah sama sekali. Aku mendapatkan beberapa pujian dari beberapa wanita yang tenang dan kalem, mengatakan bahwa aku lucu,tapi aku pikir mereka hanya menganggap kecanggunganku terlihat menggemaskan, rasanya seolah-olah mereka sedang melihat tingkah laku cucu mereka.”

Ada beberapa wanita dan pria yang lebih tua yang mengawasinya dengan senyuman hangat, atau mungkin, senyuman yang lembut, karena ia adalah anggota staf yang baru dan belum berpengalaman. Meski Amane belum pernah melakukan kesalahan besar sejauh ini, dirinya sudah melakukan kesalahan kecil, yang semuanya mereka abaikan. Diperlakukan dengan penuh pengertian, Amane merasa bersyukur sekaligus meminta maaf.

Hasilnya, ada banyak orang lanjut usia yang mampu menghabiskan waktu mereka di kafe dengan santai. Ditambah lagi, jumlah pelanggan yang lebih muda lebih sedikit, sehingga tidak ada kasus gadis-gadis yang mencoba merayunya.

Di samping itu, ada karyawan lain yang lebih supel dan menarik secara fisik daripada Amane. Bahkan, seandanya ada yang datang dengan maksud menggoda, kemungkinan besar mereka akan menghampirinya.

Yang paling sering Amane dapatkan adalah komentar santai dari seorang wanita seusia neneknya, yang mengatakan, “Aku ingin sekali mengenalkanmu pada cucuku,” tetapi tentu saja, dirinya sudah punya pacar dan dengan sopan menolak tawarannya.

“Kamu memiliki... daya tarik bagi orang yang lebih tua. Kamu selalu lembut dan sopan, dan itu terlihat dari caramu berperilaku.” Yuuta berbagi pemikirannya.

“Aku melayani pelanggan, tentu saja aku tidak bisa membawa diriku secara ceroboh... Nah, mengingat pelanggannya, mereka pasti lebih menyukai seseorang yang pendiam dan rendah hati seperti aku. Lagipula, mereka cukup sering berbicara denganku.”

“Bukannya itu akan membuatmu populer?”

“Kurang lebih sih. Tapi hanya sebagai seseorang yang bisa diajak ngobrol,” Amane menjelaskan. “Dan hal-hal seperti jenis kelamin dan usia tidak ada hubungannya dengan itu. Suasananya cukup santai, bahkan para staf pun mulai mengobrol dengan para pelanggan ketika mereka sedang senggang.”

Hal ini mungkin karena tempat ini tidak memiliki nuansa seperti kedai kopi pada umumnya, tetapi lebih terkesan sebagai tempat yang lembut dan santai dengan suasana yang ramah. Lebih dari segalanya, fakta bahwa banyak pelanggan tetap yang santai dan ramah membuat kafe ini mampu mempertahankan suasana damai.

“Membayangkan kamu semua populer di kalangan para nyonya, sungguh menyenangkan,” komentar Itsuki.

“Hei... itu tidak seperti yang kamu bayangkan. Kamu harus menghentikan fantasi anehmu itu, Itsuki.”

“Kenyataannya aku bisa melihat hal itu terjadi sedikit menakutkan.”

“Bahkan kamu juga, Kadowaki...” Amane menatapnya dengan tatapan bingung, tapi Yuuta memasang ekspresi yang lebih serius sebagai tanggapannya, yang mendorong Amane untuk memberikan klarifikasi yang tegas.

“Mana mungkin hal itu akan terjadi.”

Lagipula, Amane sudah memiliki seseorang yang sungguh-sungguh dicintainya dengan sepenuh hati dan secara praktis telah menjanjikan masa depannya. Mana mungkin dirinya akan jatuh pada rayuan wanita lain; faktanya, Amane yakin bahwa dirinyaa tidak akan tergoda. Selain itu, pihak lain juga tidak ingin Amane membuat kesalahpahaman seperti itu.

Ya ampun..., Amane menghela nafas, dimana Itsuki mengangkat bahunya sebelum melirik jam tangannya.

“Kalau begitu, kurasa sudah waktunya,” katanya kemudian.

“Waktu untuk apa?” tanya Amane.

“Sudah waktunya aku mengembalikanmu pada pemilikmu yang sah, kurasa?”

“Ayolah...”

Tidak bisa dipungkiri bahwa Amane adalah milik Mahiru, tapi dia bukanlah tipe yang posesif, dan Amane juga tidak akan cemburu jika Mahiru bergaul dengan teman-temannya yang lain. Namun, Kadowaki juga setuju, dengan mengatakan, “Oh, iya. Kamu ada benarnya,” yang hanya membuat Amane bingung.

“Sekarang bahkan belum jam 5 sore, tapi hari semakin dingin dan matahari sudah terbenam. Gimana kalau kita mengakhiri hari ini? Bagaimanapun juga, kita mungkin punya banyak hal yang harus dilakukan saat pulang nanti.”

“Baiklah, kurasa begitu...” Amane setuju dengan saran itu.

“Kalau begitu, mari kita sudahi saja di sini. Aku kedinginan,” kata Itsuki sambil berbalik ke arah pintu masuk taman.

Setelah segera memutuskan untuk pulang, Itsuki tampak bersemangat untuk pergi, tapi tiba-tiba, ia berubah pikiran. Ia berbalik ke arah Amane.

“Hei, Amane.”

“Ada apa?”

“Besok, akan ada banyak hal yang ingin kukatakan, dan banyak hal yang ingin kutanyakan. Jadi persiapkan dirimu.”

Amane terkejut dengan seringai Itsuki dan komentar anehnya yang mendadak saat ia pergi. Yuuta, yang kini tersenyum pahit, juga mengucapkan selamat tinggal. “Aku juga sama. Sampai jumpa besok, ya?”

Dengan perasaan bingung, Amane merasa seperti ditinggalkan dengan cara yang aneh. Ia memiringkan kepalanya dan bertanya-tanya apa yang sedang terjadi sebelum pulang.

 

   

 

Setibanya di rumah, Mahiru menyapanya seperti yang biasanya dia lakukan. Atau tidak. Sebaliknya, dia menghampirinya sambil menunjukkan senyum yang paling lebar. Matanya berbinar-binar, dan senyumnya yang tanpa pamrih terlihat lembut dan indah. Namun di atas segalanya, rona merah samar yang menyebar di pipinya jelas merupakan bukti dari semangatnya yang tinggi.

“Selamat datang di rumah, Amane-kun.”

“Ya, aku pulang. Sepertinya suasana hatimu sedang baik ya, Mahiru.”

Amane senang melihat suasana hati Mahiru yang begitu baik, tetapi ia tidak tahu mengapa Mahiru seperti itu. Sudah menjadi hal yang biasa baginya untuk menyambutnya dengan senyuman saat Amane tiba di rumah, tapi Mahiru tidak pernah terlihat sebahagia hari ini.

Amane tidak bisa memahami alasannya, jadi dirinya merasa agak bingung. Namun, Mahiru yang tampaknya tidak menyadari kebingungannya, hanya tersenyum lebih lebar.

“... Dari reaksimu, sepertinya kamu benar-benar tidak menyadari apapun hari ini, Amane-kun.”

“Menyadari apa?”

“Aku merasa sedikit terganggu karena kamu benar-benar lupa kalau ini hari apa, tapi... hari ini adalah hari ulang tahunmu, tau?”

Mendengar nada bicara Mahiru yang sedikit jengkel, Amane tanpa sadar mengeluarkan ucapan, “Ah!”

“Astaga, kamu ini benar-benar. ... Selamat ulang tahun, Amane-kun.”

“...Aku benar-benar lupa. Aku tidak terlalu memikirkan hal-hal seperti ini ketika mengenai diriku sendiri.”

Meskipun aneh baginya untuk diingatkan tentang hari ulang tahunnya sendiri oleh Mahiru, hal itu sepenuhnya tidak pernah terlintas di benaknya; Amane tidak menyadarinya sama sekali. Ditambah lagi, Mahiru juga tidak menyadari hari ulang tahunnya tahun lalu. Selama beberapa minggu terakhir, Amane begitu sibuk membiasakan diri dengan pekerjaan paruh waktunya, belum lagi latihan harian, jogging, dan belajar. Oleh karena itu, ia sudah benar-benar melupakannya.

Pertama-tama, meskipun Amane menganggap ulang tahun sebagai tonggak sejarah, namun ia jarang merasa perlu untuk menyadarinya. Hal ini kemungkinan besar merupakan bagian besar dari alasannya ia melupakannya, mengingat Amane cenderung tidak merayakan ulang tahunnya sendiri. Dulu ketika ia tinggal bersama orang tuanya, mereka akan merayakan acara tersebut dengan baik, tetapi sejak Amane mulai hidup sendiri, ia tidak lagi memikirkannya. Cara berpikir seperti itulah yang membawanya sampai sekarang.

“Itu sangat penting bagiku, tau?” Mahiru menjelaskan. “Aku benar-benar bersyukur untuk hari ini, Amane-kun, karena ini adalah hari kelahiranmu. Tanpamu, aku tidak akan belajar bagaimana cara untuk benar-benar mempercayai dan mencintai seseorang.”

Mahiru tersenyum canggung pada kenyataan yang telah dilupakan Amane, dan dengan lembut menggenggam tangannya.

“Terima kasih, Amane-kun, aku belajar bahwa cinta adalah perasaan yang benar-benar ada di sekitar kita. Sekarang, aku bisa hidup dengan mengetahui bahwa aku merasakan kebahagiaan yang tulus. Kebahagiaan yang muncul dari lubuk hatiku. Aku sangat bersyukur bahwa kamu lahir, dan bertemu denganku.”

Tatapan matanya yang kini bersinar dengan cahaya lembut dan hangat yang mana sangat berbeda dari saat pertama kali mereka bertemu, menatap Amane. Tangannya yang terjalin dengan tangan Amane terasa hangat, seolah-olah mewujudkan kehangatan yang dimiliki Mahiru untuknya saat ini. Ini menyampaikan kehangatan yang lembut, namun sangat menghibur.

“Terima kasih telah dilahirkan, dan datang ke dalam kehidupanku... Terima kasih banyak.”

Usai mendengar suaranya, dan melihat senyumnya, keduanya menunjukkan perasaan bahagia dan sukacita yang tulus, Amane merasakan rona merah menjalar di pipinya. Ia kemudian menyadari, bahwa perasaan dihargai dan diberkati dengan cara seperti itu, bisa menyebabkan tubuhnya memanas. Perasaan itu jauh dari tidak menyenangkan, dan malahan cukup nyaman dan lembut, suatu sensasi yang berbeda dari tubuh yang memanas karena malu. Hanya setelah bertemu Mahiru, Amane baru memahami perasaan seperti itu, tetapi mengetahui bahwa dia sangat peduli padanya, Amane menyadari bahwa dia memang pria yang beruntung.

“... Sama-sama. Terima kasih sudah begitu perhatian, dan merayakannya bersamaku,” Amane tergagap-gagap dalam balasannya, tidak yakin bagaimana cara terbaik untuk menyampaikan emosinya, dan rasa panas yang dirasakannya.

Mahiru tersipu malu. “Aku sudah menyiapkan pesta kecil untukmu malam ini, jadi tolong nantikan. Dan juga, sebelum kita makan... aku ingin meminta maaf atas dua hal.”

“Hm?”

Minta maaf untuk apa?

Saat Amane memiringkan kepalanya dalam kebingungan, Mahiru menunduk, terlihat agak canggung.

“Erm, sepertinya kamu menyadari kalau aku berusaha menyembunyikan sesuatu darimu. Maafkan aku karena telah membuatmu khawatir.”

Amane sekarang menyadari bahwa perilaku anehnya, yang ia curigai selama ini, adalah dalam rangka mempersiapkan acara spesial hari ini.

“Ah, benar. Tentang itu... Yah, aku mengerti apa yang terjadi sekarang setelah melihat semua ini. Aku tidak berpikir kamu akan melakukan sesuatu yang buruk padaku, Mahiru, jadi aku lebih khawatir apa aku mungkin sudah berbuat kesalahakan padamu.”

“Aku tidak merasa kalau kamu melakukan sesuatu yang akan membuatku kesal,” kata Mahiru. “Hal ini terjadi karena aku tidak pandai menyembunyikan sesuatu, yang pada akhirnya membuatmu merasa tidak nyaman... Maafkan aku karena menyimpan rahasia darimu, Amane-kun.”

Kemungkinan besar, dia bertindak seperti itu justru karena dia ingin memberikan kejutan pada hari ulang tahunnya, dan itu membuatnya membuat persiapan secara rahasia. Mahiru bukanlah tipe orang yang suka menyembunyikan sesuatu dari Amane, dan dia jelas merasa bersalah karena melakukannya. Rahasianya lebih menarik daripada apa pun, dan mengingat Mahiru melakukannya demi dirinya, Amane tidak berniat untuk menyalahkannya sama sekali.

“Bukannya aku meributkan hal itu, sungguh.” Amane meredakan kekhawatirannya sebelum bertanya, “...Dan apa hal lainnya?”

“Erm... S-Sejak aku membuat persiapan untuk ulang tahunmu secara rahasia, tampaknya semua orang memutuskan untuk diam agar tidak merusak kejutannya. Tetapi pada kenyataannya, mereka seharusnya merayakannya di sekolah hari ini. Jadi, um, karena aku, aku menghalangi berkat yang seharusnya kamu terima hari ini...”

“Ah... Jadi begitulah yang terjadi.”

Baik Itsuki maupun Chitose sudah tahu tentang ulang tahun Amane, dan mengingat betapa perhatiannya mereka berdua, mereka tidak akan ragu untuk merayakan hari spesial seorang teman. Fakta bahwa tidak ada yang mengatakan apapun selama ini tentu saja menjadi faktor utama mengapa Amane melupakan hari apa ini.

Mereka mengetahui rahasia kecil Mahiru, dan itulah sebabnya mereka tetap diam. Amane menduga bahwa mereka mengundangnya untuk nongkrong sepulang sekolah hanya untuk menyibukkannya sejenak.

“Dasar orang-orang itu...” Sementara Amane menggumamkan kalimat yang agak kesal itu dalam hati, tapi juga merasa sedikit tersentuh.

Mahiru terlihat meminta maaf mengenai apa yang sudah dia lakukan, dan Amane tidak tahu bagaimana menanggapinya. Kepala Mahiru terus menunduk ke bawah.

“Hmm...,” Amane menepuk-nepuk kepalanya dengan lembut. “Sejujurnya, aku rasa itu tidak terlalu penting; bukan tanggal, lokasi, atau apakah mereka bisa memberikan selamat secara langsung atau tidak. Maksudku, aku benar-benar lupa tentang hal itu karena kesibukanku sendiri akhir-akhir ini, dan mereka tidak perlu merayakannya hari ini, bukan? Aku pikir mereka sedang mempertimbangkan dengan cara mereka sendiri.”

“Tapi tetap saja...” Keraguan Mahiru terdengar jelas.

“Aku akan berterus terang di sini, tapi mereka mungkin percaya bahwa aku akan lebih bahagia jika aku menerima perayaan yang kamu siapkan untukku, Mahiru. Itulah sebabnya mereka semua bekerja sama untuk merahasiakannya.”

Mereka semua memiliki keinginan untuk merayakan acara istimewa Amane dengan cara mereka sendiri, dan hal itu membuat mereka semua bekerja sama dengan Mahiru. Bahkan, meskipun ia tidak diberi ucapan selamat pada hari itu, Amane tidak keberatan. Ia sepenuhnya sadar bahwa mereka mendoakannya tanpa diberi tahu.

“Aku menyadari bahwa aku diberkati dengan teman-teman yang penuh perhatian dan peduli denganku, dan mengetahui hal itu membuatku merasa dirayakan. Tidak ada aturan yang mengatakan bahwa mereka tidak boleh melakukannya secara tidak langsung, dan aku tidak menilai pertemanan berdasarkan apakah mereka melakukannya atau tidak.”

Setiap orang memiliki cara yang berbeda untuk merayakannya, dan jika itu cara mereka, maka itu tidak masalah baginya. Amane tidak pernah menjadi tipe orang yang cepat menilai orang lain hanya berdasarkan kata-kata mereka, dan dirinya juga tidak ingat pernah menjadi orang seperti itu. Ditambah lagi, hubungan yang ia bangun sama sekali tidak dangkal; perasaan mereka saja sudah lebih dari cukup.

Namun demikian, Mahiru masih terlihat sedikit sedih dengan hasilnya, membuat Amane tersenyum canggung. Ia membelai kepala Mahiru dengan lembut dan dengan lembut menatap wajahnya.

“Selain itu,” Amane kembali membuka mulutnya. “Sepertinya, aku akan dikeroyok besok... Jadi, aku minta kamu menjaga diriku sendiri hari ini, Mahiru. Mereka mungkin akan membombardirku dengan pertanyaan, jadi mari kita pastikan kita punya cukup banyak hal untuk dibanggakan, oke?”

“... Ya.”

Amane menghiasi akhir kalimatnya dengan senyuman nakal dan menggoda, dan Mahiru pun ikut terbawa suasana, ikut tersenyum sendiri sebelum mendekatkan wajahnya ke dadanya.

 

   

 

“... Kamum benar-benar membuat pesta yang cukup meriah,” mau tak mau Amane mengatakan pikirannya yang sebenarnya, kekagumannya yang tulus keluar dari mulutnya ketika mengamati berbagai hidangan yang ditata di atas meja.

Hidangan yang disajikan Mahiru untuk ulang tahunnya, singkatnya, semuanya adalah makanan favorit Amane. Biasanya, dia akan merencanakan makanan dengan mempertimbangkan keseimbangan gizi, tapi tidak untuk hari ini. Mungkin karena Amane menyatakan kecintaannya pada telur, jadi Mahiru sudah menyiapkan berbagai hidangan telur untuk dinikmatinya. Namun, tidak peduli seberapa besar kesukaannya atau seberapa bergizinya hidangan itu, makan terlalu banyak makanan yang sama, jauh dari kata ideal, jadi Mahiru biasanya membatasi jumlah yang akan dikonsumsinya, tetapi tampaknya pembatasan itu sudah dicabut untuk hari ini.

Hidangan yang paling menarik perhatian di atas meja adalah omurice, hidangan yang terdiri dari nasi goreng yang dibungkus dengan kulit telur dadar yang keras, yang kemudian diberi lauk hiasan daging sapi. Mahiru tidak sering membuat hidangan ini, karena tidak hanya dia harus mulai menyiapkan hidangan sehari sebelumnya, tapi juga menghabiskan banyak waktu dan tenaga untuk membuatnya.

Hidangan lain yang disajikan di hadapannya berkisar dari chawanmushi, varian telur dan puding; salad kentang yang disajikan dengan banyak telur rebus; hingga tamago kinchaku, hidangan yang menggabungkan tahu goreng dan telur rebus yang direbus dengan kaldu dashi dan kecap asin. Porsi makanan yang disajikan adalah ukuran yang biasa untuk anak SMA pada umumnya, tetapi variasi makanan yang ada tidak perlu diragukan lagi, dan semuanya murni terdiri dari makanan favorit Amane. Meskipun ada sedikit sayuran, hal itu lebih disebabkan oleh kecintaannya pada telur dan bukan karena ia tidak menyukai sayuran.

“Hari ini aku menyajikan bermacam-macam hidangan kesukaanmu, Amane-kun; aku membuatnya tanpa mempertimbangkan keseimbangan gizi atau masakan tertentu. Tidak ada salahnya memanjakan diri sesekali.” Atau begitulah yang dikatakan Mahiru, tetapi dia segera melanjutkannya dengan, “Kita bisa makan lebih banyak sayuran besok untuk menebusnya,” sebelum mengeluarkan tawa kecil yang ramah.

Pipinya sedikit memerah karena kegembiraan, jelas sekali ia senang karena Amane menyukai kejutannya.

“Oh, ngomong-ngomong,” lanjutnya. “Aku akan membuat dashimaki tamago untuk sarapan besok. Karena aku membuat banyak makanan untuk makan malam kita, aku merasa makanan itu akan lebih lezat setelah beristirahat semalaman. Aku juga akan menyiapkan salmon favoritmu untuk menemani makan malam mu, ala Kyoto. Apa sup miso dengan tahu dan lobak putih juga tidak masalah?"

“Kedengarannya sudah seperti pesta saja di pagi hari...,” komentar Amane. “Tapi sekali lagi, apa yang ada di depanku ini saja sudah merupakan hidangan yang mewah.”

“Fufufu. Silakan dinikmati selagi masih hangat. Menurutku, daging sapi rebus hari ini sangat empuk.”

“Menakjubkan! Tidak ada yang bisa menandingi omurice yang enak dengan sup daging sapi. Ini adalah keadilan.”

Meskipun Amane ingin melompat-lompat kegirangan karena makanan favoritnya yang jarang disajikan, ia menahan diri dan menangkupkan kedua tangannya sebagai tanda terima kasih.

“Itadakimasu.” Tanpa lupa berterima kasih atas makanannya, Amane segera menggigit omurice daging sapi rebus, tanpa sadar senyum mengembang di wajahnya.

Daging sapinya sangat lembut sehingga bisa dipotong dengan sendok, dan ketika masuk ke dalam mulutnya, dagingnya memiliki tekstur yang lembut dan sama sekali tidak kering, terasa sangat lezat. Kualitas daging yang tinggi terlihat jelas dari gigitan pertama.

Kombinasi yang cermat antara rasa rebusan yang kaya dan omurice adalah sesuatu yang patut dicoba, Amane mengangguk. Saat ia mengambil lauk pauk lainnya, bergerak dengan kecepatan yang cepat namun tidak terburu-buru, Mahiru mengawasinya dengan senyuman hangat sambil makan dengan elegan.

“... Apa ada yang salah?” Amane bertanya.

“Bukan apa-apa,” jawab Mahiru. “Hanya saja, sebagai orang yang menyiapkan makanan, melihatmu memakan semuanya dengan kenikmatan seperti itu memberiku perasaan puas.”

“Yah, itu karena makanannya benar-benar enak. Bahkan mengatakan itu yang terbaik pun tidak berlebihan.”

“Aku akan puas selama kamu menganggap itu yang terbaik, Amane-kun. Tapi yakinlah, aku tidak akan berpuas diri.”

Amane tersenyum kecut pada Mahiru yang tabah tanpa henti, dan dengan senang hati terus melahap makanannya. Dalam sekejap mata, isi piring-piring itu segera kosong. Ada cukup banyak hidangan, tapi Mahiru telah memberinya porsi yang lebih sedikit dari masing-masing hidangan, jadi Amane bisa menghabiskannya dengan mudah, terutama karena ia telah mengumpulkan nafsu makan yang meningkat setelah mendapatkan pekerjaan.

Melihat Amane yang telah menghabiskan makanannya dengan rapi, bibir Mahiru menyungging dengan senyum puas, lalu perlahan bangkit dari kursinya untuk meletakkan piring-piring itu di wastafel. Namun, saat Amane mencoba berdiri untuk membantu, dia mengatakan kepadanya dengan nada lembut namun tegas, “Bintang utama hari ini harus bersantai saja,” dan membuat Amane dengan enggan duduk kembali.

Setelah semua hidangan yang berjejer di atas meja selesai disajikan, Mahiru menoleh ke arah Amane dan menampakkan senyum sumringah.

“Setelah makan malam akan ada hidangan penutup. Aku harap itu akan sesuai dengan keinginanmu.”

“... Apa jangan-jangan inilah yang kamu latih secara diam-diam?”

Pada titik ini, Amane bisa menebak apa yang disembunyikan oleh Mahiru. Aroma manis yang sesekali tercium saat ia pulang ke rumah mungkin berasal dari kue yang dibuat olehnya untuknya.

“Ya, rasanya tidak enak menyajikan sesuatu yang aku sendiri tidak puas, jadi... aku melakukan banyak penyesuaian untuk memastikan itu sesuai dengan keinginanmu, Amane-kun.”

Amane penasaran mengapa Mahiru khawatir tentang kenaikan berat badannya, tetapi sekarang semuanya menjadi jelas. Dia mungkin telah mencoba berbagai cara memanggang kue dan memakannya. Tergantung dari jenisnya, makanan penutup bisa jadi mengandung kalori yang tinggi. Jika dia mengonsumsi setiap kue yang dibuatnya, tidak heran jika dia khawatir dengan berat badannya. Selain itu, Mahiru tidak suka membuang-buang makanan, jadi dia mungkin berusaha untuk menghabiskan semuanya.

“Aku akan merasa puas dengan apa saja jika kamu yang membuatnya, Mahiru... tapi itu tidak sopan untuk kukatakan. Aku senang kamu sudah berusaha sejauh ini untukku, tapi jangan terlalu berlebihan, oke?”

“Aku tidak berlebihan.” katanya. “... Meskipun aku melakukan olahraga yang cukup berat setelahnya.”

“Jadi itulah mengapa bentuk tubuhmu tidak berubah, aku bisa melihat upayamu dengan pasti. Disiplin dirimu benar-benar mengagumkan.”

“Itu sama sekali bukan masalah karena berat badanku hanya naik sedikit, dan lingkar pinggangku tidak berubah sama sekali. Sekarang, aku akan membawanya, oke?”

Sambil mengatakan itu, Mahiru membawa piring dari kulkas yang berisi kue cokelat buatan sendiri.

Dia dengan pelan meletakkannya di atas meja makan, bunyi dentingan kecil bergema saat dia melakukannya. Kue itu sudah dipotong-potong menjadi irisan yang mudah dimakan, dan Mahiru dengan tenang menyajikan sepotong kue di atas piring untuknya.

Melihat potongan kue di depannya, sepertinya itu adalah kue cokelat. Atau mungkin, lebih mirip dengan cokelat gâteau. Dilihat dari penampilannya, kue itu bertekstur halus dan padat.

Selanjutnya, Mahiru dengan hati-hati menambahkan sesendok krim kocok dan setangkai daun mint. Dari segi penampilan, kue ini masih sangat sederhana.

“Aku membuat cokelat gâteau.. Kamu tidak terlalu menyukai makanan manis, Amane-kun, jadi aku pikir kamu lebih suka sesuatu yang mudah dicairkan dengan minuman. Aku memilih susu karena kue ini kaya akan rasa, jadi tolong minum bersama jika memungkinkan.”

“Mengikuti rekomendasi juru masak adalah cara terbaik untuk menikmati hidangan, jadi aku menerimanya dengan senang hati.”

Karena Mahiru telah bersusah payah menyiapkannya untuknya, ia tidak ragu bahwa kue itu akan menjadi luar biasa. Tanpa ragu-ragu, Amane memotong sepotong cokelat gateau dengan garpunya sementara Mahiru mengawasinya.

Seperti yang terlihat, kue itu memiliki tekstur yang sangat halus dan padat, memberikan kesan keras saat ditekan. Namun, dia bisa memotongnya dengan mudah. Saat Amane memotong sepotong kecil dan dengan lembut memasukkannya ke dalam mulutnya... sensasi pertama yang ia rasakan adalah rasa cokelat yang pekat dan kaya.

Paling tepat digambarkan sebagai lengket atau kental, kelezatannya terasa lebih mirip dengan ganache daripada gâteau. Namun, itu juga bukan ganache. Adonan dibuat dengan keseimbangan yang halus dan menghasilkan tekstur yang halus di mulut, meleleh dan melebur saat dimakan.

Tidak terlalu manis, namun sama sekali tidak hambar, Amane pasti bisa merasakan rasa yang lebih halus di dalam cokelat tersebut. Ia merasa seolah-olah cokelat ini telah disesuaikan untuk memanfaatkan kualitas cokelat sepenuhnya.

“... lezat sekali.” Kata-katanya datang dari hati, tulus dan tanpa pujian. Mahiru kemudian menghela napas lega atas pujiannya, dan tersenyum.

“Aku lega karena ini sesuai dengan seleramu. Aku mengincar keseimbangan rasa dan tekstur yang tepat.”

“Aku tidak menyangka kalau rasanya bisa selezat ini. Rasanya sungguh luar biasa bagaimana kamu bisa membuatnya.”

“Fufu. Jika itu tanggapanmu, maka itu memberiku kepuasan yang luar biasa sebagai pembuatnya. Ini benar-benar sepadan dengan usaha yang aku lakukan.”

Mahiru yang terkikik seperti lonceng berdering, menatap Amane sambil menikmati cokelat gâteau dengan senyum yang agak nakal.

“Ngomong-ngomong, apa kamu menyadarinya?” tanyanya. “Aku menambahkan bahan rahasia, loh.”

Ketika ditanya begitu, Amane memejamkan matanya, memusatkan perhatian pada indra pengecapnya. Di tengah-tengah rasa manis yang berbeda dan mendalam, tercium aroma yang kaya dan sepat yang berbeda dari cokelat, yang melekat kuat. Itu adalah aroma yang belakangan ini sudah terbiasa dicium oleh Amane di tempat kerja.

“Hm... Kopi? Tapi, eh... Hah? Apa ini... dari kafe milikku?”

Rasa dan aromanya yang lembut mengingatkannya pada kopi yang disajikan di tempat kerjanya saat ini.

Meskipun itu hanya tebakan yang baru saja ia lontarkan, Mahiru bertepuk tangan sambil tersenyum dan berkata, “Tepat sekali! Aku terkejut kamu bisa menebaknya.”

“Aku hanya asal menebaknya saja,” jelas Amane. “Tapi karena Kido tahu rahasianya, aku pikir itu mungkin.”

"Kamu sangat jeli. ... Oh, dan asal tahu saja, aku belum mengunjunginya secara langsung. Seperti yang mungkin sudah kamu duga, Kido-san membantuku mendapatkan biji kopi dari kafe tempatmu bekerja, Amane-kun. Aku juga sangat berterima kasih kepada pemiliknya. Dia bahkan membantu dalam proses pencampuran untuk meningkatkan kekayaan dan kedalaman rasa cokelat.”

“Jadi, bahkan Itomaki-san juga terlibat di dalamnya... Sekarang aku paham kenapa akhir-akhir ini dia sering menyeringai ketika melihatku...”

Amane tidak menyangka kalau Fumika, sang pemilik toko, juga ikut terlibat. Dirinya berkeringat dingin memikirkan implikasi dari apa yang akan terjadi selama giliran kerjanya berikutnya di kafe. Namun, kopi yang mereka sediakan memang enak.

Amane pernah mendengar bahwa kopi yang baru digiling sangat enak, dan ia telah mempertimbangkan untuk membeli mesin giling kopi dan mencobanya di rumah. Namun tetap saja, ia tidak menyangka akan merasakannya seperti ini.

“Hehe, aku hanya meminta bantuan Kido-san, tetapi entah bagaimana kabar itu menyebar... Aku senang mereka mau bekerja sama denganku dan kamu tidak mengetahuinya, Amane-kun.”

“Sejujurnya, Mahiru...” Dia tampak tidak ragu-ragu untuk berusaha untuknya, dan Amane tidak bisa menahan rasa malu.

Tak ingin menunjukkan rasa malunya, Amane mulai memotong sepotong cokelat gâteau lagi, tapi Mahiru dengan lembut menghentikannya, dengan lembut mengambil garpu dari tangannya.

Mengangkat kepalanya, tatapan Amane bertemu dengan tatapan Mahiru, sebuah senyuman manis nan menawan tersungging di bibirnya.

“Karena ini acara yang spesial, jadi haruskah aku menyuapimu? Karena ini hari ulang tahunmu, kupikir setidaknya aku harus melakukan hal itu.”

“Hah? T-Tidak, itu sedikit...”

“Kamu tidak perlu malu-malu begitu.”

Mengabaikan keraguan Amane, Mahiru tersenyum seolah-olah ingin meniupnya saat dia dengan lembut memegang cokelat gâteau di dekat mulutnya. Amane mengerang, tapi dengan patuh memakan kue itu. Mahiru bersikap seperti ini karena ia tahu Amane takkan membencinya, dan meskipun Amane merasa dadanya tertusuk malu, ia masih tenggelam dalam euforia yang muncul di dalam dirinya.

 

   

 

Sementara Mahiru terus menyuapinya dengan porsi yang sama, membuat Amane merasa seperti akan mati karena rasa malu, Mahiru masih tersenyum puas saat dia dengan senang hati melihat reaksi kebingungan Amane.

“Apa itu enak?” tanyanya.

“... Rasanya enak sih, tapi apa memang harus menyuapiku segala?”

“Ya, tentu saja. Lagipula, kamu adalah bintang acara hari ini.”

“Aku pasti akan menjadi bahan tertawaan jika ada orang lain di sini... Tapi karena hanya ada kita berdua di sini, jadi kurasa tidak masalah.”

Jika Itsuki dan yang lainnya ada di sini, mereka pasti akan tertawa dan menggodanya. Jika tidak, mereka akan tersenyum dan melemparkan tatapan hangat dan lembut ke arahnya. Meskipun Mahiru yang bersemangat tinggi mungkin takkan keberatan dengan para penonton, karena telah menantikan hari ini lebih dari dirinya sendiri, Amane sendiri pasti akan menggeliat malu.

... Aku pasti akan membalasnya saat merayakan ulang tahunnya.

Amane meminum susu untuk mengatur ulang kue hidangannya, yang berkat Mahiru menjadi lebih manis karena dua alasan berbeda. Sementara itu, Mahiru tersenyum dan mengeluarkan sesuatu dari dalam tasnya, yang dia simpan di sampingnya.

Sebuah kotak putih yang sedikit lebih besar dari telapak tangannya, dihiasi dengan pita biru laut. Amane tidak terlalu bodoh untuk tidak menyadari apa itu ketika diberikan saat ini, dan dirinya secara naluriah menatap Mahiru. Pipinya terlihat merah merona seolah-olah menunjukkan rasa malunya.

“Ini adalah hadiah ulang tahunmu. Aku tidak yakin apa kamu akan menyukainya...,” katanya, terdengar sedikit ragu. Mahiru dengan lembut meletakkan kotak itu di telapak tangan Amane dan menatapnya dengan tatapan gugup.

Sepertinya Amane bisa membukanya di sini; ia menyimpulkan bahwa Mahiru mungkin ingin melihat reaksinya. Dia sudah berusaha keras untuk memberikannya padaku sekarang, jadi kurasa aku harus membukanya di depannya? Amane dengan hati-hati membuka ikatan pita dan membuka kotak itu, memperlihatkan sebuah kotak lain di dalamnya.

Amane mengira bahwa ia akan menemukan hadiah yang diletakkan langsung di dalamnya, dan terkejut sejenak. Namun demikian, ia menyadari bahwa pengemasan yang sangat cermat ini pasti mencerminkan keinginan Mahiru untuk memberinya kejutan.

Untuk membungkusnya berkali-kali... kira-kira apa isinya?

Amane penasaran dengan isinya dan dengan hati-hati membuka kotak bagian dalam. Di dalamnya... ia menemukan sebuah benda seperti klip dengan kilau putih yang halus.

Terukir di dalamnya sebuah pola bunga berlubang. Pada awalnya, Amane tidak yakin benda apa itu, tetapi ia segera mengenalinya sebagai sesuatu yang ia kenakan saat menghadiri upacara sekolah.

“... Pin dasi?”

“Benar,” Mahiru menegaskan. "... Jujur saja, aku bingung harus memberikan apa kepada seorang pria. Aku mempertimbangkan hadiah yang umum, seperti jam tangan, tetapi aku khawatir kamu akan ragu-ragu jika aku membelikan jam tangan yang mahal atau mencolok, dan seleramu bisa sangat berbeda. Di samping itu, kamu sudah memiliki jam tangan yang tampaknya kamu sukai, jadi...”

Karena Amane selalu membawa ponsel cerdasnya, pada umumnya, ia tidak terlalu sering mengenakan arloji. Satu pengecualian adalah jam tangan yang ia terima dari orang tuanya sebagai hadiah saat memasuki sekolah SMA, yang hanya dikenakannya saat keluar rumah.

Kedua orang tuanya sudah menghabiskan banyak uang untuk membelinya, dan sangat dipahami kalau Amane merasa keberatan untuk memakainya di sekolah. Ditambah lagi, Amane tidak menghabiskan waktu berjam-jam di luar rumah, jadi ia jarang berkesempatan memakainya. Meski demikian, Amane tetap memakainya setiap kali ia pergi bersama Mahiru, dan tampaknya Mahiru juga mengingatnya.

“Maka dari itu, aku memilih sesuatu yang bisa dipakai sesekali, tetapi biasanya tidak akan membeli sendiri,” kata Mahiru. “Sekolah kami mengizinkan kami memakai pin dasi selama tidak terlalu mencolok di luar upacara, iya ‘kan? Kupikir aku harus memilih sesuatu yang bisa terus kamu gunakan bahkan saat kamu sudah bekerja.”

Selama upacara semester, hanya pin dasi dengan lambang sekolah yang diperbolehkan, tetapi selain itu, tidak ada batasan. Meski demikian, kebanyakan anak laki-laki menganggapnya terlalu merepotkan dan sama sekali tidak peduli dengan pin dasi. Amane merupakan salah satunya, dan jarang memakainya. Bahkan, ia hampir melupakan keberadaannya, tapi jika itu hadiah dari Mahiru, kemungkinan besar ia akan memakainya setiap hari.

Sepertinya, Mahiru memilih barang yang biasa digunakan sehari-hari sebagai hadiah karena dia ingin Amane memakainya.

“Aku bisa saja memberimu dasi, yang mana kamu akan membutuhkannya ketika kamu sudah dewasa dan bekerja... tetapi sebagai siswa, dasi kami dipilihkan untuk kami. Bagaimanapun juga, peraturan sekolah tetap peraturan sekolah. Ketika saatnya tiba bagimu untuk memakai jas, aku akan memilih hadiah lain.”

“...Ya, terima kasih. Aku akan menggunakannya dengan hati-hati.”

Bahkan tanpa dia mengatakannya, Amane bisa merasakan keinginannya untuk tetap berada di sisinya mulai sekarang. Hatinya secara alami dipenuhi dengan kehangatan dan kegembiraan. Tentu saja, Amane sudah merencanakannya sejak awal, tetapi merasakan sentimen ini dari Mahiru, membuatnya malu sekaligus gembira.

Mulai sekarang, aku pasti akan memastikan untuk menghargaimu dan pin dasi ini, Mahiru. Selalu.

Dengan tekad yang terukir di dalam hatinya, Amane mengukirnya dalam ingatannya sehingga dirinya takkan pernah lupa, dan tersenyum pada Mahiru. Setelah melihat reaksi Amane, dia tersenyum santai, ketegangannya memudar.

“Syukurlah, aku sedikit khawatir apa kamu akan menyukainya atau tidak. Sejujurnya, aku sadar kalau ini bukanlah pilihan hadiah yang biasa untuk anak SMA.”

“Kalau itu hadiah darimu, Mahiru, aku yakin aku akan senang, apapun itu hadiahnya.”

“Hehe. Aku tahu itu, tapi aku tetap ingin memberimu sesuatu yang kamu butuhkan, Amane-kun. Kamu tidak memiliki keinginan materialistis dan kamu menjaga dengan baik apa yang kamu miliki, jadi sulit untuk memikirkan hadiah mana yang cocok.”

Amane tidak terlalu mengharapkan sesuatu yang khusus, dan hal ini tampaknya menyulitkan Mahiru. Yang bisa ia lakukan hanyalah tersenyum kecut.

“Segala sesuatu yang kamu berikan kepadaku akan membuatku bahagia. Begitulah caraku melihatnya.”

“... Itu kedengarannya sedikit menakutkan,” Mahiru mengakui. “Kamu membuatnya terdengar seperti kamu akan senang meskipun aku memberimu bungkus permen.”

“Aku akan berasumsi bahwa kamu menemukan sesuatu yang menarik darinya, seperti pola yang menarik atau lucu. Lalu aku akan menyimpannya.”

“Aku sama sekali takkan melakukan hal itu!? Jika aku akan melakukan hal seperti itu, aku akan memberikan permen itu sendiri!”

“Yah, aku tahu kamu bercanda... Jika itu adalah sesuatu yang kamu kemas dalam perasaanmu, Mahiru, aku akan senang dengan apapun.”

“... Astaga, kamu ini.”

Meskipun nada bicara Mahiru terdengar tidak puas, wajahnya, tak peduli bagaimana kamu melihatnya, terlihat santai. Dia mungkin hanya berusaha menutupi rasa malunya.

Ayo kita pakai ini besok. Amane menatap Mahiru dengan senang sebelum dengan lembut meletakkan pin dasinya, menantikan hari esok. Saat itulah Mahiru mengulurkan tangan dan dengan takut-takut memegang ujung kemejanya.

“Ada satu lagi... yah bisa dibilang, hadiah kecil.”

Nada bicaranya terdengar ragu-ragu, dan Amane memiringkan kepalanya, merasa penasaran dengan hadiah kecil yang dimaksudnya.

“Hari ini, aku akan mendengarkan permintaan apapun yang kamu inginkan. Mulai sekarang, sampai tengah malam.”

Saat Amane mendengar perkataan Mahiru, dirinya hampir tersedak. Ia bersyukur ia tidak meminum susu. Jika iya, ia pasti akan memuntahkannya.

Sambil terbatuk-batuk, Amane menatap Mahiru, yang menatapnya kembali dengan ekspresi tegas. Sepertinya dia sangat serius.

“... Kalimat itu cukup berbahaya...”

“Tapi... kita adalah sepasang kekasih.”

“Tetap saja... meski begitu.”

Amane merasa kalau Mahiru pernah mengatakan sesuatu yang serupa sebelumnya, tetapi bagaimanapun juga, sangat berbahaya bagi seorang wanita untuk mendengarkan apapun yang seorang pria inginkan. Bahkan jika mereka adalah sepasang kekasih, sesuatu yang berbahaya akan selalu berbahaya.

“...Aku tidak yakin apakah aku harus memanggilmu pejantan atau mengatakan bahwa kamu tidak punya keinginan, Amane-kun.”

“Bukan itu maksudnya... Kamu tidak seharusnya melakukan itu. Bagaimanapun juga kamu adalah seorang gadis.”

“Aku tidak bisa membayangkanmu akan melakukan sesuatu yang buruk padaku, Amane-kun.”

“... Dan bagaimana jika aku memang melakukannya?”

“Seperti yang telah aku sebutkan sebelumnya, aku ingin kamu bertanggung jawab.”

Dengan tatapannya yang polos dan penuh kepercayaan yang tertuju padanya, Amane tanpa sadar merasa kalah. Ia menggaruk pipinya dan kemudian dengan lembut meraih tubuh Mahiru.

“Aku akan bertanggung jawab meskipun aku tidak melakukan apapun... dasar bodoh.”

Kenyataannya selalu Mahiru bersikap lembut terhadapnya, dan kesediaannya untuk menerima apapun yang Amane lakukan sedikit menakutkan. Meski mereka sudah berjanji satu sama lain, Amane masih merupakan pemuda yang sehat, dan mungkin ada kalanya akal sehatnya mengecewakannya.

Kurasa hal ini menunjukkan sebeapa besar dia sangat mencintaiku.

Tapi bagaimanapun caranya, dia terlalu mempercayaiku.

Amane dengan lembut menariknya mendekat, memeluk tubuh lembutnya sambil membenamkan wajahnya di bahu Mahiru. Mengambil napas dalam-dalam, ia menyadari aroma sabun mandi yang lebih kuat dari biasanya, menandakan bahwa Mahiru baru saja selesai mandi.

Jika aku mengatakan bahwa aku menginginkan dirinya saat ini juga, dia mungkin akan menganggukkan kepalanya.

Meski Amane tidak berniat mengingkari janjinya, dirinya bisa membayangkan dengan mudah kalau Mahiru dengan malu-malu menyetujuinya, yang membuatnya menyadari betapa menakutkannya pacarnya yang manis itu. Tidak ada yang tahu kapan Amane akan kehilangan pengendalian dirinya.

Nalar seorang pria lebih tipis dari selembar kertas tisu. Jika diprovokasi, ia bisa dengan mudah dihancurkan. Amane memfokuskan kembali pikirannya, berpikir, aku harus melangkah dengan hati-hati... dan dengan lembut membiarkan bibirnya meluncur ke pipinya, menghembuskan nafas dengan lembut.

Mahiru langsung menggigil begitu Amane melakukan begitu, jelas sensitif dan sangat lemah terhadap gelitikannya. Hal itu akan terlihat jelas bagi siapa saja yang melihatnya.

Meskipun begitu, Amane tidak berniat membiarkan orang lain melihatnya bertindak seperti ini. Hanya dirinya yang perlu tahu betapa sensitifnya Mahiru. Hanya dirinya yang perlu mengetahui kelemahannya.

Mahiru terus menggeliat dalam pelukannya, tapi dia tidak melawan. Dengan sedikit senyuman, Amane dengan lembut mendekatkan bibirnya ke telinganya.

“... Oh iya, benar juga... Sudah lama sekali, jadi mungkin aku akan menjadikanmu sebagai bantal pelukku lagi.”

Meskipun Mahiru tampaknya menginginkan Amane membuat permintaan, Amane dengan hati-hati memilih satu permintaan dalam batas-batas yang masuk akal. Mengetahui sepenuhnya bahwa permintaannya akan membuatnya memanjakannya sepuasnya, wajah Mahiru memerah karena pelukannya.

Amane bersungguh-sungguh dengan perkataannya; ia tidak akan melangkah lebih jauh dari sekedar menggunakannya sebagai bantal pelukan, tapi anehnya, Amane merasa kalau Mahiru justru memiliki fantasi yang aneh. Seperti yang sudah diduga, bahkan Amane pun tidak bisa meniru apa yang mereka lakukan saat menginap terakhir kali. Saat itu, untungnya ia berhasil menghentikan dirinya di saat-saat terakhir, tetapi siapa yang tahu apa yang akan terjadi selanjutnya.

“... Aku hanya memintamu untuk menjadi bantal pelukku yang sebenarnya,” jelas Amane. “Apa yang kamu bayangkan tadi?”

“Bu-Bukan apa-apa! Sesuatu yang sangat tidak senonoh... Aku tidak membayangkannya sama sekali!”

“Hei, aku tidak pernah mengatakan apa yang kamu bayangkan, oke?”

Ketika Amane menunjukkan bahwa ia tidak mengacu pada sesuatu yang spesifik, pipi Mahiru menjadi lebih merah dari sebelumnya, sampai-sampai dia hampir terlihat mengeluarkan uap dari kepalanya. Mahiru memelototi Amane dengan mata setengah berkaca-kaca, menggeliat, dan berhasil menggeliat keluar dari genggamannya.

“B-Baka!” dia tergagap. “Kamu benar-benar bodoh, Amane-kun.”

“Aku bahkan tidak melakukan apa-apa.”

“Uuu... Meski begitu... Kamu masih saja jahat.”

“Baiklah, aku akui itu cukup kejam. Maaf. Kamu sangat manis sampai-sampai aku tidak tahan untuk menggodamu, Mahiru.”

Mahiru tidak keberatan disentuh, dan terlihat menggemaskan saat ia membiarkan Amane menggodanya. Amane akhirnya melakukannya sedikit berlebihan, dan tidak diragukan lagi Mahiru akan merajuk jika ia terus melakukannya. Oleh karena itu, Amane segera meminta maaf terlebih dulu, sehingga Mahiru tidak dapat menyuarakan keluhannya lagi. Mahiru mengungkapkan ketidakpuasannya dengan menepuk pelan dada Amane.

Mahiru, tanpa berusaha menyembunyikan pipinya yang memerah, melakukan balas dendam yang menggemaskan pada Amane, yang membuat Amane tertawa kecil sambil membelai kepalanya. Namun seperti yang diharapkan, dia masih terlihat sedikit cemberut, terlihat seperti ada balon kecil yang mengganjal di pipinya.

“... Ak-Aku akan pergi dan mengambil baju ganti, jadi tolong mandi sambil menungguku, Amane-kun.” Melihat senyum hangat Amane tetap tidak berubah, Mahiru akhirnya membiarkannya pergi. Meskipun begitu, dia pasti akan segera kembali.

Sementara itu, Amane terkejut sejenak dengan pelarian Mahiru yang seperti kelinci, tetapi ia tertawa kecil pada perasaan yang muncul setelahnya— perasaan yang ingin menghargainya.

 

   

 

Mahiru sudah kembali saat Amane selesai mandi dan berjalan ke ruang tamu. Dia sudah berganti pakaian dengan piyama, memilih memakai piyama bertema kelinci berwarna merah muda yang baru saja dibelinya. Namun, Amane tidak menyangka kalau Mahiru akan memakainya hari ini, sedangkan dirinya hanya mengenakan piyama biasa meskipun ia memiliki piyama bertema kucing.

Rambut Mahiru yang biasanya tergerai di punggungnya, sekarang diikat longgar di belakang kedua telinganya, dan dia terlihat sangat menggemaskan dengan tudung yang dikenakannya— bisa dibilang, penampilannya sangat berbeda dari biasanya. Pemandangan itu sangat kontras dengan pakaiannya pada saat menginap di rumah orang tuanya. Meski saat itu Mahiru mengenakan jaket, namun piayama malamnya cukup terbuka— cukup untuk menggoyahkan kewarasan Amane. Jadi, kali ini, ia merasa tenang.

“...Ini benar-benar cocok untukmu. Sangat menggambarkan dirimu, Mahiru,” komentar Amane.

“Apa sebenarnya yang kamu maksud dengan itu?”

“Maksudku kecil, lembut, imut, sedikit lengket atau kesepian... sangat mirip denganmu...”

Mahiru yang layaknya binatang kelinci, merupakan seikat kelembutan, empuk dan menyenangkan, namun juga sedikit kesepian. Meski hal ini berbeda dari perilaku kelinci yang sesungguhnya, namun hal ini merupakan simbol yang tepat untuk menggambarkan Mahiru yang agak kesepian.

Amane bermaksud mengatakannya sebagai pujian, tetapi tampaknya Mahiru tidak menyukainya. Dia menatap Amane dengan ekspresi cemberut, dan saat melihat rambutnya yang basah, cemberutnya semakin dalam.

“Aku sekarang mengerti apa yang kamu pikirkan tentang aku, Amane-kun... Tapi yang lebih penting lagi, bukannya kamu dengan sengaja tidak mengeringkan rambutmu saat aku ada di dekatmu?” Mahiru memarahinya sambil memainkan rambutnya, tak lama kemudian dia bertanya, “Kenapa kamu tidak mengeringkan rambutmu dengan pengering rambut?”

(Dia akhirnya menyadarinya juga)

Amane menunjukkan senyuman pahit. Kapan pun Mahiru tidak ada, ia memastikan untuk mengeringkan rambutnya dengan benar. Hanya ketika Mahiru berada di dekatnya dan sepertinya tidak ada hal lain yang bisa dilakukan, Amane sesekali mengeringkan rambutnya hanya dengan handuk, dan lebih memilih untuk membiarkan Mahiru yang melakukan sisanya.

Mengetahui bahwa hal itu merepotkan, Amane membatasi perilaku ini hanya sesekali saja. Hal ini merupakan cara yang tidak langsung bagi Amane untuk mencari perhatian dan bermanja-manja. Kesenangan saat Mahiru menyentuhnya, memperhatikannya, terlalu manis untuk ditolaknya. Amane tahu kalau perilaku itu terlalu kekanak-kanakan, tapi ia tidak bisa menahan diri untuk berhenti.

“Kamu hanya membayangkan sesuatu... Itulah yang ingin kukatakan, tapi ya, aku sengaja melakukannya. Aku ingin kamu melakukannya untukku, Mahiru.”

“Ya ampun... Tapi karena aku menikmatinya, aku tidak keberatan. Kamu hanya ingin dimanjakan dengan caramu sendiri, Amane-kun.”

Amane merasa campur aduk karena perasaannya gampang sekali dibaca seperti buku yang terbuka, tapi melihat tawa riang Mahiru membuatnya berpikir, Yah, ini bagus juga, sambil merasa sedikit lega.

“Silakan duduk,” katanya, mengisyaratkan Amane untuk duduk di sofa. Mahriu kemudian menatapnya dengan ekspresi yang seakan mengatakan, Astaga, apa boleh buat deh. Namun, dia tidak dapat menyembunyikan kegembiraannya, bibirnya melengkung menjadi senyuman saat dia menyalakan pengering rambut.

Pengering rambut yang mereka simpan di rumah adalah pengering rambut yang tidak bersuara, dan bersenandung pelan saat angin yang lebih hangat dari tangan Mahiru meniup ke arahnya. Amane sudah membuang sebagian besar air dengan menggunakan handuknya, jadi yang tersisa sekarang hanyalah mengeringkan rambutnya dari kelembaban yang tersisa.

Mahiru dengan hati-hati menghembuskan udara hangat, sambil berkata, “Aku lihat kamu tidak lalai merawat rambutmu. Bagus sekali,” sambil mengusap-usap rambutnya untuk memeriksa kualitasnya.

Sama seperti Mahiru yang dengan cermat merawat kulitnya, tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga ketika Amane menyentuhnya, Amane juga memastikan untuk merawat rambutnya dengan cara yang sama. Ia berpikir bahwa hal itu akan membuat Mahiru senang, karena akan memberikan sensasi yang menyenangkan setiap kali dia menyentuhnya.

Rambutnya tetap sehalus sutra berkat usahanya, dan hal itu juga membuat pengeringan rambutnya lebih mudah, karena tidak lagi kusut.

“... Sekali lagi aku berpikir bahwa rambutmu memang berkilau secara alami, Amane-kun.”

“Ini adalah warisan dari orang tuaku. Jenis rambut yang lembut, jadi mudah sekali kusut.”

“Tapi kelembutannya membuatnya mudah untuk membuatnya tetap berkilau, bukan? Mungkin seharusnya aku memberimu berbagai produk perawatan rambut sebagai hadiah,” katanya setengah bercanda, setelah selesai mengeringkan rambutnya. Mahiru mengeluarkan sisir entah dari mana, lalu berkata, “Mari kita buat lebih halus lagi,” dan mulai merapikan rambutnya yang mengembang. Dengan melakukan itu, dia menata rambut Amane dengan cara yang paling disukainya.

“Jika kamu lebih menyukai tatanan rambut yang lebih berkilau, aku bisa membeli produk yang lebih baik.”

“A-Aku tidak terlalu senang... Aku hanya merasa puas saat menyentuhnya, dan aku menemukan kenikmatan saat menyisir rambutmu.”

“Kalau begitu, aku akan meminta beberapa rekomendasi dari Kadowaki. Kalau itu membuatmu lebih bahagia, maka aku pun akan ikut bahagia.”

Ditambah lagi, Amane hampir yakin bahwa Mahiru akan lebih sering menyentuhnya jika ia melakukan hal itu. Meskipun begitu, Amane tidak berani mengatakan bahwa itulah tujuan utamanya.

Jika pertumbuhan pribadinya membuat Mahiru bahagia, maka selain itu layak diperjuangkan, tetapi juga akan membantu meningkatkan kepercayaan dirinya... Tetapi saat ia memikirkan hal ini, Mahiru menempelkan dahinya pada lengannya, meletakkan sisirnya di atas meja.

Sambil diam-diam menertawakan caranya yang sekarang sudah tidak asing lagi untuk menyembunyikan rasa malunya, Amane melihat tudung bertelinga kelinci di kepalanya bergerak-gerak di setiap gerakan yang Mahiru lakukan, membuatnya semakin tersenyum.

“Hei, Nyonya Usagi-san— kelihatannya keempat telingamu sudah berwarna merah muda,” ujar Amane sambil bercanda.

“Tolong diam,” kata Mahiru. “... Seharusnya kamu juga memakai piyama kucing itu, Amane-kun. Tidak adil rasanya kalau hanya aku yang berpakaian seperti kelinci.”

“Kalau begitu akan terlihat seperti kucing yang sedang merapikan bulu kelinci.”

“Itu akan menggemaskan, ‘kan?”

“... Aku tidak masalah kalau kamu menjadi satu-satunya yang menggemaskan di sini, Mahiru.”

Meskipun pemandangan kucing dan kelinci— potensial pemangsa dan mangsa— yang bergaul dengan sangat baik akan menjadi hal yang mengharukan, Amane tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa ia tidak memiliki kelucuan untuk menjadi seekor kucing.

Fisiknya semakin kuat akhir-akhir ini, jauh lebih kuat daripada di masa lalu. Ditambah lagi, wajahnya yang polos dan lugu seperti anak kecil, perlahan-lahan memudar dari wajahnya. Meski sudah kehilangan penampilannya yang menggemaskan beberapa waktu lalu, namun Mahiru masih bersikeras bahwa Amane tetaplah imut, dan hal itu membuatnya bingung. Tetapi, karena itu semua kembali pada selera pribadi, jadi mau tak mau Amane harus menerimanya.

Mungkin rona merah di pipinya sudah sedikit mereda, karena Mahiru menatap Amane, dan secara aneh menemukan semacam kelucuan di wajahnya. Kemudian, dengan sengaja tanpa peringatan, Amane mengecup bibir imut Mahiru.

Mahiru mengerjap beberapa kali sebelum wajahnya memerah sekali lagi, tapi dia tidak menolak sama sekali. Sebaliknya, dia tampak senang, dan merilekskan tubuhnya saat dipeluk, seolah-olah menyuruh Amane untuk bebas melakukan apa yang disukainya.

Amane menggigit dengan lembut, lalu perlahan-lahan membuka bibir Mahiru yang mengkilap, yang mengingatkan pada kerang berwarna sakura. Mahiru dengan lemah lembut menerimanya tanpa menolak.

Belakangan ini, Mahiru perlahan tapi pasti mulai menerima kasih sayangnya dan mulai membalasnya dengan baik, yang mana hal itu menurutnya sangat menggemaskan.

Ketika Amane sedang memonopoli suara lemahnya yang samar-samar keluar, hatinya menari-nari saat melihat kelinci kecil yang lucu itu gemetar, namun tetap menerima serangan sang serigala. Amane tidak terbiasa dengan ciuman seperti itu, dan sejujurnya, hasratnya terhadap Mahiru semakin meluap-luap dan ia merasa seolah-olah dirinya hampir kehilangan kendali. Mengetahui dari pengalaman menginap sebelumnya bahwa Mahiru bisa ketakutan jika Amane terlalu agresif, jadi Amane berusaha menciumnya selembut namun seintim mungkin.

“... Ketimbang kucing, seharusnya aku membeli baju serigala saja,” gumam Mahiru agak menyesal sambil berusaha mengatur nafasnya yang tersengal-sengal, tak lama setelah bibir mereka berpisah.

Senyum mengembang di wajah Amane. “Kalau saja kamu mau— karena yang menggemaskan di sini hanyalah si kelinci kecil Mahiru,” goda Amane sambil menahan rasa malu yang muncul akibat ciuman mereka.

“Dasar jahat.”

Mahiru cemberut, bibirnya kini lebih lembab dari sebelumnya, saat dia kemudian menyundul lengan Amane dengan main-main seolah mengekspresikan ketidakpuasannya.

“... Bukankah kamu sudah kehilangan pesona polos yang kamu miliki ketika menyangkut hal-hal seperti ini?” Mahiru mengamati, terdengar sedikit kesal.

“Aku tidak pernah punya pesona seperti itu.”

“Pembohong. Dulu kamu bersikap seolah-olah kamu tidak tahu apa yang harus dilakukan...”

“Oh, diamlah.”

Karena ini pengalaman pertaman Amane berpacaran, jadi ia tidak berpengalaman adalah hal yang wajar. Sekarang, ia bisa menutupi rasa malu dan gugup yang muncul karena bertingkah seperti sepasang kekasih, setidaknya di permukaan. Tetapi, wajar saja kalau ia merasa canggung pada awalnya.

Jika kepolosan disamakan dengan kelucuan, maka ia lebih suka kelucuan itu menjadi milik Mahiru saja. Amane tidak ingin menunjukkan sisi canggungnya pada pacarnya.

“... Lain kali, aku akan melakukan sesuatu yang akan membuatmu terkejut, Amane-kun. Terutama karena aku yang selalu dikejutkan olehmu.”

Menanggapi gumaman pelan Mahiru, Amane sekali lagi mengatupkan bibirnya untuk mencegahnya mengucapkan rencana lebih lanjut. Amane menikmati bibir manisnya dengan seluruh inderanya.

 

   

 

Setelah berciuman beberapa saat, Amane menuntun Mahiru ke kamar tidurnya.

Walau sudah sering mengunjungi kamar Amane beberapa kali dan bahkan mengalami beberapa kali menginap, Mahiru tampak sedikit gugup, karena tangan Amane yang digenggamnya menunjukkan sedikit ketegangan.

Sambil tertawa pelan pada Mahiru, Amane menelusuri tangannya dengan ujung jarinya untuk menenangkannya. Ia kemudian dengan halus mengajaknya ke tempat tidur. Dengan perasaan malu-malu, Mahiru duduk di tempat tidurnya, tampak seperti kelinci kecil yang akan dimangsa serigala.

Untuk menjawab kelucuan dan penampilannya yang menawan, Amane mencabut taring yang hampir menerkam mangsanya, duduk di sampingnya, dan dengan lembut membelai kepalanya untuk membuatnya tenang. Meski Amane sudah mengatakan kepadanya kalau dirinya tidak akan melakukan apapun, ketegangannya tidak diragukan lagi karena Mahiru berada di kamar tidurnya.

“Aku tidak akan memakanmu. Seperti yang kukatakan, hari ini aku hanya akan menjadikanmu sebagai bantal pelukku,” Amane mengonfirmasi sekali lagi.

“A-Apa iya?”

“... Apa kamu mengharapkan sesuatu yang lain?”

“Tidak! Hanya saja, ehm, kamu semakin lama semakin menjadi...”

“Menjadi apa?”

“... Menjadi lebih tenang, dan kamu juga menjadi lebih maskulin... Ini memalukan. Ra-Rasanya tidak adil,” Mahiru tergagap, menatap Amane sambil menggeliat canggung.

Amane tertawa kecil, sekarang menyadari seberapa bagusnya ia berpura-pura. Tentu, ia mungkin terlihat tenang di luar, tetapi pada kenyataannya, batinnya sedang dilanda kepanikan. Faktanya, mengenal Mahiru sedekat itu hanya membuatnya semakin sulit untuk tetap tenang.

Namun, Amane tidak bisa menakut-nakuti Mahiru dengan bersikap terlalu memaksa atau terburu-buru, dan dirinya berpikir kalau rasanya tidak terlalu jantan jika ia terlihat terlalu gugup, jadi ia hanya berusaha untuk terlihat tenang.

“Aku yakin kalau aku pernah memberiathumu bahwa aku sebenarnya tidak memiliki ketenangan. Aku hanya tidak menunjukkannya di wajahku karena sangat tidak jantan bagi seorang pria untuk merasa gugup.”

“Jadi, jika aku memintamu untuk menunjukkannya, kamu mau?”

“Tidak.”

“Itu sangat tidak adil.”

“Kamu hanya akan melihatku menjadi tersipu dan wajahku memerah, tau? Bukannya itu akan sangat menyedihkan?”

Mereka sudah berpacaran selama lima bulan; tidak keren rasanya jika Amane tersipu malu saat mendapat sentuhan dan ciuman sekecil apa pun. Wanita mungkin akan menganggap pria yang dapat diandalkan lebih menarik, dan Amane berpikir bahwa wanita akan lebih nyaman jika dia bersikap tenang selama situasi intim. Namun, hal ini tampaknya tidak berlaku bagi Mahiru.

Dengan takut-takut dia memegang ujung kemeja Amane. “... Apa aku bersikap egois jika aku mengatakan aku ingin melihat dirimu yang sebenarnya, Amane-kun?”

Dia bertanya dengan suara pelan dan cemas, dan Amane menutup wajahnya dengan tangannya dan menghela napas pelan. Tampaknya, upayanya untuk bersikap tenang adalah kekhawatiran yang tidak perlu.

“.... Aku ingin kamu memahami kalau aku hanya ingin terlihat baik di depanmu karena... yah, aku mencintaimu.”

Mahiru menegang untuk beberapa saat saat Amane memeluknya dari samping, meletakkan dahinya di bahunya, tapi Mahiru segera mengeluarkan tawa kecil.

“Kamu selalu imut dan keren, tau?”

“Bagian imutnya tidak perlu juga kali.”

“Fufu. ... Bisa melihat kedua sisi dirimu adalah keberuntunganku.”

Tak bisa membantah apapun untuk menanggapi suara senangnya, Amane berguling ke tempat tidur bersama Mahiru, berusaha menutupi ekspresi malunya. Mencoba yang terbaik untuk meredam benturan, rambut Mahiru yang diikat bergoyang ke sana kemari dengan sedikit goyangan. Namun, mengingat kedipan matanya yang cepat, hal itu pasti membuatnya lengah.

Mendapati tatapan Mahiru, Amane mendapati rasa malunya jauh lebih kuat daripada rasa malunya, tetapi ia mendorong lebih jauh, membawanya ke dalam pelukannya dan membenamkan wajahnya di lekuk tubuhnya yang indah.

Mungkin efek dari piyama kelincinya, gundukan Mahiru terasa hangat dan lembut saat disentuh, menghasilkan suplai. Aroma yang terpancar darinya begitu mewah, perpaduan unik antara rasa manis dan kesegaran yang begitu luar biasa, sehingga tidak dapat digambarkan dengan kata-kata.

Jika Mahiru bersikap agak khawatir namun penuh harap, Amane mungkin akan menjadi lebih bersemangat, tetapi tidak demikian. Dia malah berada dalam mode relaksasi, dan karena Amane bahkan tidak mempertimbangkan untuk mengambil langkah lebih jauh untuk saat ini, dia menyerah pada perasaan nyaman dan bahagia yang menyelimuti tubuhnya.

Meskipun terkejut sesaat, Mahiru segera menyadari bahwa Amane tidak akan melakukan apa pun padanya dan mulai mengusap-usap rambutnya. Itu adalah gerakan yang menenangkan.

“Kamu sangat dimanjakan hari ini,” komentar Mahiru.

“... Tidak apa-apa, ‘kan? Setidaknya izinkan aku melakukan ini.”

“Ya, ya.”

Mahiru terkekeh dengan geli, tampaknya menyadari usahanya untuk menyembunyikan rasa malunya.

“Kamu cukup berani hari ini, Amane-kun.”

“Kupikir aku harus memanjakan diriku sendiri hari ini. Dengan banyak menyentuhmu.”

“Tentu saja aku tidak keberatan. Tapi, bagaimana aku harus mengatakannya... kamu menyentuhku seperti yang biasanya kamu lakukan. Erm, aku... berharap kau akan menyentuhku lebih banyak lagi... secara langsung.”

“Yah, ya— tapi meskipun aku menikmati menyentuhmu, dan aku ingin tahu lebih banyak tentang dirimu, berada di sisimu dan merasakan kehangatanmu sudah cukup bagiku. Hanya itu saja yang aku butuhkan untuk merasa puas.”

Setelah mengangkat kepalanya dari puncak lembutnya, Amane memeluknya dengan lembut, merangkul tubuh rampingnya. Amane tidak berniat untuk melakukan fantasi yang pernah dibayangkan oleh Mahiru. Jika ia melakukan hal seperti itu setiap kali mereka menghabiskan malam bersama, Amane yakin ia akan kehilangan kendali atas dirinya sendiri. Ia tahu bahwa Mahiru akan menerimanya dengan reaksi yang menggemaskan, membujuknya untuk menginginkannya lagi dan lagi tanpa batas.

Namun, Amane benar-benar tidak berniat untuk melakukan apa pun malam ini.

Hanya karena dirinya seorang pria, bukan berarti ia selalu ingin melakukan hal-hal semacam itu. Lagipula, menghabiskan waktu dengan tenang bersama wanita yang dicintainya sudah cukup untuk membuatnya bahagia.

Meskipun secara fisik mereka mungkin kurang puas dibandingkan dengan saat mereka menginap di tempat terakhir, di mana mereka saling menyentuh satu sama lain secara intim, namun kepuasan emosional yang mereka rasakan pada saat itu, sama sekali tidak kurang memuaskan.

Sekarang, wanita yang sangat Amane cintai dan ingin ia jadikan pendamping hidup berada di sisinya, dengan tatapan penuh kepercayaan dan cinta. Tidak ada hal lain yang bisa memberinya rasa aman, bahagia, dan kepuasan yang lebih besar daripada ini.

Kehangatannya saja sudah cukup untuk membuat Amane merasa puas, dan Mahiru meringkuk di dadanya, mengatakan padanya bahwa dia juga berpikiran sama.

“... Aku juga,” dia menegaskan. “Aku senang berada di sisimu, Amane-kun.”

“Syukurlah, aku senang mendengarnya. Jika itu hanya aku, aku merasa itu agak tidak adil. Seperti aku terlalu mudah menemukan kebahagiaan.”

“Aku merasakan hal yang sama saat kamu berada di sampingku, tau? Selama kamu bersamaku, Amane-kun, hanya itu yang kubutuhkan, tapi...”

“Tapi?”

“Aku akan lebih senang lagi jika aku bisa menyentuhmu.”

Saat dia mengatakan kata-kata yang sangat manis itu, Mahiru menatap Amane, matanya memohon agar dia diizinkan untuk menyentuhnya.

“Oh, kamu ingin menyentuhku? Aku tidak keberatan, tapi aku tidak bisa membayangkan tubuh seorang pria yang begitu menyenangkan untuk disentuh.”

“Benarkah? Karena aku sendiri tidak memiliki banyak otot, kupikir itu adalah hal yang bagus karena kamu berotot... Seperti saat aku menelusuri perutmu, rasanya kencang dan kasar.”

Setelah mendapatkan izinnya, Mahiru mengulurkan tangan dan menyentuh dada dan perut Amane dengan ragu-ragu dengan ujung jarinya, yang membuatnya menggeliat sedikit dari sensasi geli.

Pengaruh Ayaka jelas terlihat di sini... Tapi kurasa tidak apa-apa. Selama Mahiru menikmatinya, aku tidak terlalu keberatan. Menyadari bahwa Mahiru tampak senang menyentuhnya seperti ini, Amane kemudian menyadari bahwa dia mungkin terlalu lembut padanya.

“Kurasa latihan harianku sudah mulai membuahkan hasil sekarang. Kira-kira bisa dibilang aku sudah lulus menjadi tauge?” ucap Amane dengan bercanda.

“Aku pikir itu berjalan dengan baik— tubuhmu terlihat kencang, dan kamu tidak memiliki lemak yang tidak perlu. Kamu merasa lebih kuat dibandingkan sebelumnya.”

“...Ya, jangan mengungkit masa lalu. Aku sangat kurus saat itu.”

Teringat saat pertama kali bertemu Mahiru, membuatnya merasa sangat malu. Meskipun Amane sekarang memiliki tubuh yang cukup kencang dengan otot-otot, namun dulu ia memiliki tubuh yang tidak bisa diandalkan.

Dirinya tidak memiliki banyak lemak, tetapi tubuhnya sangat kurus sehingga bisa digambarkan sebagai tubuh yang lemah, jelas jauh dari tubuh yang berotot. Menengok kembali ke masa lalu, Amane merasa seperti ingin meninju dirinya yang dulu dan menyuruhnya untuk bekerja lebih keras.

Mahiru tampaknya lebih menyukai bentuk tubuhnya yang sekarang, jadi Amane senang karena dirinya telah berusaha keras untuk memperbaiki dirinya. Semakin ia berlatih, semakin ia terlihat bergaya saat mengenakan pakaiannya, yang membantu membuktikan bahwa keputusannya untuk menjadi pasangan yang pas untuk Mahiru adalah keputusan yang tepat.

“Fufu. Tapi bagaimanapun juga, aku masih mengira kalau tetap seorang anak laki-laki saat itu. Aku menyadari perbedaan antara tubuh kita saat kamu menggendongku di punggungmu waktu itu.”

“Yah, itu sudah pasti. ... Lagipula kamu memiliki bentuk tubuh yang sangat ramping.”

Mahiru lembut dan mungil berkat usahanya sendiri yang terus menerus, tetapi bahkan dengan aspek-aspek yang tak bisa dia ubah, seperti struktur tulangnya, dia masih cukup halus. Bahkan bisa dikatakan bahwa secara keseluruhan, dia bertubuh mungil.

“... Aku mungkin mungil, tapi aku lebih tangguh dari yang kamu pikirkan, Amane-kun."”

“Namun, tetap tidak mengubah fakta bahwa kamu memang lembut. Aku sering berpikir bahwa aku harus menyentuhmu dengan lembut. Rasanya seperti kamu akan hancur jika tidak hati-hati.”

“Meski kamu bilang begitu, tapi kamu tidak pernah menyentuhku dengan menggunakan kekuatan sebesar itu sebelumnya.”

“Pendapatku masih berlaku,” Amane bersikeras. “... Kamu tahu betapa aku ingin menyayangimu, jadi bersikap lembut adalah sesuatu yang harus kuperhatikan. Bagaimanapun juga, kamu sangat penting bagiku.”

Dengan kemampuan terbaiknya, Amane ingin bersikap baik dan sopan terhadap Mahiru. Ia berencana untuk menyayangi dan melindunginya selama sisa hidupnya di masa depan, jadi dirinya harus berhati-hati untuk tidak menyakitinya dengan cara apa pun.

Bukannya Amane ingin bersikap terlalu protektif, tetapi tidak peduli seberapa banyak Mahiru berusaha memperbaiki dirinya, dia akan tetap menjadi wanita yang lembut. Dia secara alami lebih lemah dan kurang kuat daripada pria karena perbedaan gender, dan Amane merasa bahwa dia harus mempertimbangkan hal itu.

Amane sepenuhnya memahami bahwa Mahiru tidak ingin dimanjakan, jadi sambil menghormati kemandiriannya, dirinya ingin memperlakukannya dengan lembut dan membuatnya merasa nyaman. Amane ingin memastikan bahwa dirinya tidak akan pernah membuatnya menangis.

Kemudian, Amane berbisik di telinganya bahwa ia berniat untuk menghabiskan sisa hidupnya untuk membuatnya bahagia, membuat tekadnya menjadi jelas. Mahiru memerah sebagai tanggapan, dan rasa malu Amane sebelumnya memucat dibandingkan dengan betapa merahnya wajah Mahiru saat dia dengan lembut menjawab, “Terima kasih banyak...”

“... Ini hari ulang tahunmu, Amane-kun, tapi aku merasa seperti akulah yang menerima semua berkat hari ini.”

“Tidak, tidak. Akulah yang mendapatkan semua berkat, oke? Lagipula, tanggalnya sudah berubah.”

Amane telah menerima banyak hal dari Mahiru, dan keinginannya untuk menyayanginya pada akhirnya lahir semata-mata dari perasaannya sendiri. Itu bukanlah sesuatu yang perlu dikhawatirkan oleh Mahiru. Ditambah lagi, tanggalnya sudah berubah sebelum mereka menyadarinya— hari ulang tahunnya sudah lewat.

Mereka telah berpelukan dan berciuman di sofa dan tempat tidur, dan sebelum mereka menyadarinya, lebih banyak waktu yang telah berlalu daripada yang mereka duga. Meskipun ulang tahunnya hanya sebentar, Amane merasa bahwa ia telah menerima lebih dari cukup kebahagiaan.

“Oh, kamu benar... Sa-Sayang sekali, aku ingin kamu mengajukan beberapa permintaan lagi..."

“Waktu cepat sekali berlalu, ya. Kurasa aku tidak bisa meminta apa-apa lagi sekarang."”

“Jadi, apa yang kamu rencanakan untuk ditanyakan?”

“... Aku berharap kamu akan memberiku ciuman sebelum kita tidur.”

Mereka tidak melakukan apapun selain berciuman sampai beberapa saat yang lalu, tetapi itu semua diprakarsai oleh Amane. Jarang sekali Mahiru, yang lebih pemalu daripada Amane, mengambil inisiatif sendiri. Meskipun dia tampak menikmati ciuman, tapi Mahiru terlalu malu untuk memimpin.

Mengingat hari ini adalah hari ulang tahunnya, Amane berpikir kalau dirinya mungkin bisa meminta Mahiru untuk menciumnya dengan cara yang Mahiru inginkan, yang merupakan sesuatu yang memalukan untuk diketahui orang lain.

Amane menganggap permintaan itu cukup signifikan, tetapi untuk beberapa alasan, Mahiru tampak bingung dan sedikit tercengang.

“... Kamu ini benar-benar tidak memiliki keinginan, ya? Aku berharap kamu akan meminta sesuatu yang lebih besar dari itu.”

“Aku sudah merasa sangat puas, apa lagi yang akan kuminta? Aku punya kamu— pacarku— di sisiku, merayakan hari kelahiranku bersamaku, dan berbagi kehangatan. Hanya itu saja sudah cukup bagiku. Bukannya aku tidak memiliki keinginan, tapi saat ini, anggap saja aku sudah puas.”

“Kalau begitu...” Mahiru berhenti sejenak. “Itu berarti aku yang sangat serakah.”

“Kamu? Serakah?”

Amane selalu menganggap 'serakah' sebagai hal yang paling jauh dari kepribadian Mahiru, tapi dia mengangguk dan sedikit mengernyit, raut serius terlihat di wajahnya.

“Sejujurnya, aku merasa kesepian saat kamu pergi bekerja, Amane-kun, dan aku selalu merindukanmu untuk segera pulang ke rumah. Aku juga khawatir apa ada wanita yang mencoba untuk mendekatimu. Karena kamu adalah pria yang sangat tampan, Amane-kun. Apa yang akan aku lakukan jika kamu menjadi populer di kalangan wanita? Aku sering bertanya-tanya tentang kemungkinan itu. Aku tidak bermaksud untuk mencampuri keputusanmu, dan aku sama sekali tidak khawatir kalau kamu akan selingkuh, tetapi sebagian dari diri aku masih merasa cemas. Aku tidak bisa berhenti berpikir, 'Tolong jangan tinggalkan aku'.

Mahiru menyandarkan wajahnya di dada Amane sebelum mengakui bahwa dia tidak ingin menjadi penghalang. Namun...

“Aku tidak pernah ingin kamu meninggalkanku,” tambahnya sambil bergumam. “Aku ingin kamu menyentuh aku lebih banyak. Aku ingin kau tetap berada di sisiku selama-lamanya. ... Aku pasti serakah karena berpikir seperti ini. Mungkin cintaku terlalu berat...”

Amane tersenyum saat mendengar pengakuan Mahiru yang tulus.

Mahiru mengungkapkan betapa dia sangat menyayanginya, dan betapa pentingnya keberadaannya bagi kehidupan Mahiru. Dia ingin selalu berada di sisinya, dan itu—merupakan bukti seberapa besar Mahiru mencintainya.

Yang ada justru Amane merasa sangat diberkati karena memiliki Mahiru sebagai kekasihnya.

Saat Mahiru menggambarkan kasih sayangnya yang kuat sebagai keserakahan, Amane tersenyum tipis, mengerahkan sedikit lebih banyak tenaga ke lengan yang melingkari punggungnya, dan memeluknya lebih keras.

“... Kemungkinan cintaku jauh lebih berat daripada cintamu, Mahiru. Jauh lebih berat dari yang kamu bayangkan.”

Mahiru menggambarkan cintanya sebagai sesuatu yang berat, tapi jika memang begitu, maka cinta Amane jauh lebih berat. Ia sama sekali tidak berniat untuk melepaskannya.

Mungkin ada kemungkinan kalau dirinya harus menelan air matanya yang berdarah dan membiarkannya pergi jika itu berarti Mahiru menemukan kebahagiaan yang sebenarnya, tetapi sebaliknya, gagasan itu tidak berlaku. Amane bertekad untuk membahagiakan dirinya sendiri dan tidak akan menyisihkan sedikit pun usaha untuk mencapai hal itu.

Amane takkan pernah mengalihkan tanggung jawabnya kepada Mahiru dengan bersikeras bahwa ini semua demi dirinya. Dirinya melakukan yang terbaik untuk membahagiakannya atas kemauannya sendiri, menjalani kehidupannya sendiri dengan penuh tanggung jawab sambil memikul beban emosi yang tidak dapat ditanggungnya sendiri.

“Dalam keluargaku, cinta kami sangat berat karena kami sangat setia. Dan aku juga tidak terkecuali. Mungkin kamu belum sepenuhnya menyadarinya, Mahiru, tetapi memiliki cinta yang berat bukanlah tentang menjadi posesif atau memaksakan batasan— ini adalah tentang kedalaman dan intensitas perasaan yang kita miliki untuk satu sama lain. Begitulah yang terjadi padaku. Aku tidak akan pernah melepaskanmu, apa pun yang terjadi. Aku tidak ingin kamu melihat orang lain selain aku. ... Jadi, terkadang aku merasa cemas mengenai apa yang akan kulakukan jika kamu bosan denganku.”

Amane sadar bahwa perasaannya berat.

Mengetahui bahwa memiliki hubungan yang dangkal akan menjadi hal yang tidak sopan bagi Mahiru, Amane telah mengusulkan hubungan yang serius dengan tujuan untuk menghabiskan seluruh hidup mereka bersama, tapi hal semacam itu mungkin akan dianggap terlalu berat bagi orang luar. Menjanjikan komitmen seumur hidup bersamanya sewaktu masih duduk di bangku SMA. Amane mencoba melakukan hal itu, dan menyebutnya 'berat' sangatlah perumpamaan yang cocok.

Namun, Mahiru tersenyum bahagia. Senyumnya berseri-seri dengan sukacita dan kegembiraan yang murni.

"Dicintai sedemikian rupa, aku menganggap diriku benar-benar diberkati,” kata Mahiru. “Tidak pernah membiarkanku pergi, hanya melihat ke arahku ... Bukannya itu justru ideal?”

“Benarkah?”

“Benar,” dia menegaskan. “... Aku juga begitu, Amane-kun. Aku tidak bisa membiarkanmu pergi lagi, jadi perasaan itu saling terbalas. Aku takkan pernah mengizinkanmu berpaling ke tempat lain, oke?”

Setelah mendengarnya mengatakan sesuatu yang benar-benar di luar dugaan, Amane hanya mengangguk pada Mahiru, yang tersenyum padanya dengan puas saat dia menggeser tubuhnya sedikit ke atas.

Senyuman jahil muncul di wajah Mahiru yang tegas saat dia mendekat.

“Aku akan memberikan diriku padamu, Amane-kun, jadi tolong berikan dirimu padaku, oke?”

Dia berbisik dengan penuh gairah, dan jarak mereka semakin dekat.

Wajah mereka begitu dekat hingga napas mereka bercampur, dan pada saat berikutnya, mereka dengan cepat memperpendek jarak, tidak menyisakan udara di antara mereka saat wajah mereka bersentuhan.

Bibir mereka saling mengecup, ciuman yang begitu lembut, namun menyulut gairah yang membara. Ciuman ini membawa rasa tenang dan bahagia, perpaduan sensasi yang menyenangkan, yang membuat hati mereka membengkak karena kehangatan.

Walaupun hanya berlangsung beberapa detik, namun ciuman tersebut memberikan kepuasan tersendiri, yang berbeda dengan ciuman yang mendalam. Kemudian, Amane bertemu dengan tatapan Mahiru dan tersenyum.

Tanpa ragu, mereka berdua hanya saling menatap. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

“... Selamat malam, Amane-kun. Semoga kamu mimpi indah.”

“Selamat malam, Mahiru.”

Usai meringkuk di samping Amane, Mahiru mengeluarkan senyum bahagia yang menyiratkan, 'Kamu adalah milikku,' dan Amane juga membalas senyum damai, dengan lembut memejamkan matanya.

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya


close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama