Bab 9 — 'Urusan' Rahasia Tenshi-sama
Akhir-akhir ini, Amane sudah
terbiasa pulang dari tempat kerja setelah matahari terbenam, dan sering
berlari-lari kecil di sepanjang jalan pada malam hari sebagai bagian dari
olahraga hariannya.
Mengingat kemungkinan
dihentikan karena keluar larut malam dengan mengenakan seragam sekolah, ia
secara alami membiasakan diri untuk berganti pakaian olahraga setelah pulang
kerja, dan ia juga mengenakan selempang reflektif di sekeliling tubuhnya. Dandanannya
tidak akan memberinya penghargaan apa pun di peragaan busana, tapi itu adalah
tindakan yang diperlukan untuk memastikan keselamatan.
Setelah kembali menggunakan
kereta api ke stasiun terdekat dari apartemennya, Amane akan berjalan cepat
menuju kompleksnya sambil tetap waspada terhadap mobil dan pejalan kaki yang
melintas. Pada saat dirinya tiba, hanya ada sekitar tiga jam lagi yang tersisa
sampai hari tersebut berakhir.
Biasanya, waktu ini akan
dihabiskannya untuk menghabiskan waktu berkualitas bersama Mahiru. Sebagai
mantan anggota klub yang langsung pulang ke rumah, jadwal Amane yang sekarang
padat membawa perasaan aneh, tetapi itu bukan perasaan yang buruk.
Sampai sekarang, Amane terlalu
berleha-leha. Sebelum bertemu dengan Mahiru, dirinya terus bermalas-malasan di
rumah dan melakukan kegiatan yang sesuai dengan klub langsung pulang ke rumah,
dan setelah lebih dekat dengannya, Amane menghabiskan banyak waktu belajar dan
bersantai bersama dengannya, dan jadwalnya tidak terlalu padat.
Meskipun mengatur dan mematuhi
jadwal yang ketat memang terasa sedikit membatasi, namun ia merasa hal itu juga
terasa memuaskan.
“Aku pulang,” Amane berseru,
dengan mental dan fisik yang terkuras.
Meski Amane sudah agak terbiasa
dengan gaya hidup barunya, dirinya masih merasakan sedikit perasaan lesu saat
membuka pintu rumahnya. Lampu dinyalakan, tetapi tidak ada tanda-tanda ada
orang di sana.
Awalnya Amane mengira bahwa
Mahiru akan menunggunya dengan makan malam yang sudah disiapkan, tetapi ketika
ia melepas sepatunya dan melihat ke arah ruang tamu, keberadaan Mahiru sama
sekali tidak terlihat.
Setelah mengintip ke dapur,
Amane mencium bau yang cukup sedap yang tercium dari dapur, dan juga menyadari
bahwa ada panci yang tertinggal di atas kompor, masih tertutup. Apapun makanan
yang ada di dalamnya sepertinya sudah disiapkan, menandakan bahwa Mahiru telah
menyiapkan makan malam dan kemudian meninggalkan apartemennya. Meskipun ia
percaya bahwa itu adalah hal yang baik untuk menghargai waktu pribadinya, Amane
merasa kalau itu hal yang tidak biasa.
Amane sudah mengiriminya pesan
sebelum dpulang kerja bahwa dirinya sedang dalam perjalanan pulang, tetapi saat
ia mempertimbangkan untuk mengirim pesan yang lain, ia mendengar suara pintu
depan terbuka. Suaranya sedikit panik, seolah-olah dia sedang terburu-buru.
“Oh, A-Amane-kun, kamu pulang
lebih awal hari ini...”
“Ada orang lain yang sedang bersih-bersih
hari ini. Ditambah lagi aku berlari sedikit lebih cepat dalam perjalanan
pulang,” Amane menjelaskan, menyebutkan alasan mengapa ia tiba lebih awal dari
biasanya. “... Maaf. Sepertinya kamu sedang sibuk dengan sesuatu, Mahiru. Mungkin
aku seharusnya melambatkan langkahku.”
“Tidak, sama sekali tidak! Aku
ingin melihat wajahmu secepatnya, Amane-kun!” Panik, Mahiru menggelengkan kepalanya
dari satu sisi ke sisi yang lain. Rambutnya berkibar-kibar saat dia
melakukannya, dan Amane menjawab, “Aku merasa senang mendengar kamu mengatakan
itu,” dengan senyum tipis saat ia memperhatikannya.
Apa yang dikatakan Mahiru
benar-benar lucu, dan Amane tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum, tapi
Mahiru tampaknya tidak terlalu terganggu dengan hal itu. Sebaliknya, dia
menunduk dengan sedikit tidak nyaman dan menggumamkan sesuatu di dalam hati.
“Mahiru?”
“Oh, aku hanya sedang melamun,
jangan pedulikan,” jawabnya. “Aku akan menyiapkan makan malam kita sekarang
setelah kamu kembali, Amane-kun. Aku akan memanaskannya selagi kamu mandi— bak
mandi sudah punya banyak air panas untukmu.”
“Terima kasih seperti biasa.”
Amane sedikit bingung dengan sikapnya yang canggung dibandingkan biasanya, tapi
saat Amane akan melewatinya, “...Hm?” ia mencium aroma manis yang datang
darinya.
Mahiru selalu memancarkan aroma
yang agak manis, tetapi kualitas aroma manis yang meresap di udara agak berbeda
dari itu. Aroma tersebut juga bukan dari sampo, juga bukan aroma alaminya,
melainkan semacam aroma manis yang melekat pada dirinya dari sekelilingnya.
Jika diumpamakan, baunya mirip
seperti kue yang dipanggang.
“A-Ada apa?” tanya Mahiru.
“... Yah, eh... Aku hanya
berpikir bahwa kamu berbau sedikit berbeda hari ini. Seperti kue kering, atau
sesuatu yang dipanggang.”
“Eh? ... Itu karena aku, ehm
... makan cemilan ... di rumah.”
“Oh? Kamu makan lebih sedikit
dariku, Mahiru; apa kamu tidak akan kehilangan nafsu makan jika kamu makan
sesuatu sebelum makan malam?” tanya Amane dengan sedikit bingung.
Biasanya, Mahiru menahan diri
untuk tidak makan di antara waktu makan agar dia bisa menjaga bentuk tubuhnya,
jadi kelakuannya ini agak aneh baginya.
Selain itu, meskipun Mahiru bukanlah
pemakan makanan ringan, dia cenderung makan lebih sedikit. Akan sangat sulit
baginya untuk makan makanan ringan sambil tetap makan porsi makan malamnya yang
biasa.
“Ak-Aku akan bisa menghabiskan
porsiku, jadi tidak apa-apa. Pokoknya, pergilah mandi sekarang, Amane-kun. Kamu
pasti lapar setelah pulang kerja, kan?”
“Sejujurnya aku sedang dalam
keadaan perut keroncongan sekarang.”
“Kalau begitu, aku sarankan
kamu mandi dulu sebelum memanjakan dirimu dengan makanan yang lezat,” saran
Mahiru. “Bagaimana menurutmu?” Dia mendorong punggung Amane seolah-olah mencoba
menutupi sesuatu, dan sementara Amane berpikir ada sesuatu yang tidak beres, dirinya
pergi ke kamarnya untuk mengambil pakaian ganti seolah-olah tersapu oleh
sarannya.
✧ ✦ ✧
Rupanya Mahiru menyimpan sebuah
rahasia dari Amane.
Setiap kali Amane kembali dari
pekerjaan paruh waktunya, kecurigaannya semakin bertambah kuat. Bahkan bukan
sebuah kecurigaan, sebenarnya— itu lebih merupakan sebuah kepastian pada saat
ini. Dia tampak menyembunyikan sesuatu, entah karena alasan apa pun.
Hal itu hanya berlaku saat
Amane berada di luar rumah, dan tidak ada sedikit pun kerahasiaan itu yang
diperlihatkan saat Amane tidak bekerja. Dengan demikian, pasti ada sesuatu yang
Mahiru sembunyikan.
(...
Aku penasaran apa yang dia sembunyikan...)
Pada dasarnya, Mahiru adalah
seorang pembohong yang payah— dia sangat payah dalam menyimpan rahasia untuk
dirinya sendiri karena sikapnya sering kali sangat mudah ditebak. Namun, kali
ini, dia mencoba yang terbaik untuk menghindari kecurigaannya dan menipunya,
berpura-pura seolah-olah tidak ada yang terjadi.
Apa pun itu, Mahiru tampaknya
benar-benar tidak ingin Amane mengetahuinya.
Meskipun begitu, bahkan jika
Amane bertanya langsung pada Mahiru, dia pasti akan mengelak dari pertanyaan
itu, dan bukannya berarti Amane yang ingin memaksa Mahiru untuk menjawabnya
hanya karena penasaran. Mahiru memiliki pemikirannya sendiri dan, sejauh yang
diketahuinya, ini bisa menjadi masalah yang sulit untuk dibicarakan antara anak
laki-laki dan perempuan.
Setelah mempertimbangkan semua
itu, terus berusaha mencari tahu bisa dianggap tidak sopan, jadi Amane,
meskipun agak curiga, memilih untuk tidak menanyakannya secara langsung.
Selain itu, baik Chitose maupun
Ayaka bersikeras bahwa mereka tidak tahu apa pun saat ia bertanya kepada mereka.
Namun demikian, menilai dari reaksi mereka, tampaknya mereka mengetahui isi
rahasia itu. Jadi, mereka juga merupakan komplotan yang terlibat dalam rahasia
ini.
Amane tidak bisa menyembunyikan
rasa tidak nyamannya karena ditinggalkan, tapi dia menahan diri untuk tidak
mengatakan apapun, karena mempertimbangkan bahwa mungkin ada hal-hal yang hanya
bisa dibagikan dengan orang yang berjenis kelamin sama.
✧ ✦ ✧
“... Kamu tahu, Mahiru
sepertinya menyembunyikan sesuatu dariku.”
Amane tidak bisa menahan diri
untuk tidak berbagi kegelisahannya dengan rekan kerjanya, Souji, ketika mereka
sedang dalam perjalanan ke tempat kerja paruh waktu mereka. Dirinya bisa
mengetahui bahwa Mahiru berencana untuk menyimpan rahasianya hari ini juga;
terlihat jelas dari sikapnya. Hal ini membuat hatinya berkecamuk dengan
kegelisahan.
Souji dan Amane kebetulan
berada di shift yang sama dan berangkat ke tempat kerja bersama, dan Amane
membahas topik itu saat mereka duduk di kereta, yang membuat Souji terkejut.
Tetapi melihat ekspresi Amane, Souji berpikir bahwa ini bukanlah topik yang
ringan, jadi ia menegakkan postur tubuhnya saat duduk di sebelahnya.
“Apa kalian berdua sedang bertengkar,
atau semacamnya?” Souji bertanya.
“Tidak, bahkan tidak sebentar.
Hanya saja Mahiru sepertinya menyembunyikan sesuatu... Dan dari kelihatannya,
sepertinya aku juga tidak melakukan sesuatu yang salah.”
Untuk mencari tahu, Amane sudah
bertanya padanya apa dirinya telah melakukan sesuatu yang salah tanpa diasadari,
tapi Mahiru hanya memiringkan kepalanya dengan bingung pada pertanyaannya, jadi
sepertinya tidak demikian. Oleh karena itu, misterinya menjadi semakin dalam.
Teka-teki demi teka-teki menumpuk, menyebabkan ketegangan mental Amane.
“Hmm. Jika seorang pacar
mencoba untuk merahasiakan sesuatu, biasanya mereka selingkuh, tapi aku tidak
bisa membayangkan Shiina-san melakukan itu. Aku tidak terlalu mengenalnya, tapi
mengingat karakternya dan hubungan kalian yang dekat, kita bisa mengesampingkan
kemungkinan itu.”
“Itu juga yang kupikirkan,”
Amane segera menanggapi, “Mana mungkin Mahiru main belakang. Dia bahkan
membenci konsep selingkuh dan perselingkuhan lebih dari siapa pun.”
Apa yang dikatakan Souji
sebagai contoh singkat adalah sesuatu yang tidak akan pernah dilakukan oleh
Mahiru.
Dengan pola asuh dan
lingkungannya yang kompleks, Mahiru membenci ketidaksetiaan. Dia melihat ibunya
berselingkuh dengan pria lain, bahkan secara terbuka menghabiskan waktu dengan
pria tersebut di luar. Mengesampingkan fakta bahwa wanita itu telah mengalami
pernikahan tanpa cinta sejak awal, Mahiru telah bersumpah untuk takkan menapaki
jalan yang sama seperti ibunya, dan membenci gagasan itu.
Mana mungkin Mahiru akan
mengkhianatinya dengan cara seperti itu, dan juga tidak mungkin Chitose atau
Ayaka akan bekerja sama dengannya jika itu yang terjadi. Mereka berdua adalah
gadis-gadis yang peka dan setia, dan kemungkinan besar menganggap
perselingkuhan sebagai hal yang tidak menyenangkan dengan cara yang sama.
Namun, Amane tidak dapat
memikirkan hal lain yang bisa disembunyikan.
Mahiru tidak pandai menyimpan
rahasia, dan biasanya dia bahkan tidak mencoba untuk menyembunyikannya. Dia
cenderung merasakan rasa bersalah yang kuat setiap kali dia merencanakan
sesuatu di balik layar, dan dengan cepat mengakui apa yang telah dia lakukan
ketika diselidiki sedikit. Tetapi kali ini, sepertinya Mahiru ingin
menyembunyikan apa pun yang disembunyikannya, dan berusaha keras untuk tidak
mengatakan apa pun. Terlebih lagi, dia adalah tipe orang yang tidak suka
berbohong dan menipu orang lain, yang membuat Amane semakin curiga.
“Makanya, jika Mahiru berusaha
merahasiakan sesuatu, mungkin itu bukanlah sesuatu yang patut dicurigai. Apapun
yang dia coba sembunyikan, aku rasa itu bukan sesuatu yang buruk. Entah itu
sesuatu yang membuatnya malu untuk dibicarakan, atau sesuatu yang berhubungan
denganku. Jika dia melakukan sesuatu, dia akan segera mengakuinya dan meminta
maaf, jadi pasti bukan sesuatu yang berbahaya.”
Amane sudah mengenal Mahiru
selama sekitar satu tahun, dan mereka telah berpacaran selama sekitar lima
bulan, kurang lebih. Ia memiliki pemahaman yang baik tentang kepribadian dan
kebiasaan Mahiru setelah menghabiskan begitu banyak waktu bersamanya.
Mengingat bahwa Mahiru memiliki
pemikirannya sendiri tentang masalah ini, dan fakta bahwa dia berusaha keras
untuk menyembunyikannya, Amane dapat mengatakan bahwa itu seharusnya menjadi
sesuatu yang cukup signifikan. Namun, bukannya berarti itu berbahaya.
“Jadi, apa yang akan kamu
lakukan?”
“Sebenarnya, aku tidak berencana
melakukan apapun.”
“Hah?” balas Souji, terkejut
dengan pernyataan santai Amane.
Amane menghela napas pelan,
menyatu dengan gemuruh pelan kereta yang melaju di relnya.
“Karena itu sesuatu yang ingin
disembunyikan Mahiru, jadi bukan ide yang baik bagiku untuk mengoreknya. Bahkan
aku juga memiliki satu atau dua rahasia yang tidak ingin aku bagikan dengannya,
jadi jika dia tidak ingin aku menyentuh topik itu, aku takkan melakukannya.
Sesederhana itu.”
Amane menyembunyikan alasannya
bekerja dari Mahiru, jadi dirinya juga tidak punya hak untuk mencampuri
urusannya. Tentu saja, mereka mungkin menyembunyikan beberapa hal satu sama
lain, tetapi bahkan jika mereka melakukannya, itu tidak akan menjadi masalah
selama mereka dapat mempertahankan hubungan yang sehat.
“Dan kamu tidak masalah dengan
hal itu, ya,” kata Souji.
“Aku percaya bahwa Mahiru tidak
akan pernah menyakitiku dengan sengaja. Daripada ikut campur dalam segala hal,
lebih baik untuk memperhatikan hal-hal yang ingin disembunyikan satu sama lain.
Justru, karena aku mempercayainya, maka aku harus menghormati privasinya, dan aku
bahkan mengatakan bahwa itulah rahasia hubungan yang harmonis.”
Itulah sesuatu yang Amane
pelajari dari mengamati orang tuanya, dan tidak ada yang lebih meyakinkan setelah
melihat hubungan mereka yang kuat dan penuh kasih sayang. Sebagai anak mereka,
Amane berpikir bahwa mereka selalu memiliki hubungan yang baik dan saling
memahami satu sama lain, tanpa harus terlibat dalam segala hal yang dilakukan
satu sama lain.
Berlawanan dengan apa yang
dipikirkan oleh orang-orang yang mengenal orang tuanya, mereka tidak selalu
bersamaan terus. Meskipun hal ini mengejutkan orang lain, mereka sangat
menghargai waktu berdua dan sering melakukan hobi mereka sendiri di tempat yang
terpisah. Bahkan, ketika mereka bersama di tempat yang sama, mereka sering
melakukan hal yang berbeda, namun suasananya hangat dan lembut, cukup nyaman
bagi putra mereka untuk menghargainya.
Setelah mengamati orang tuanya
bersikap seperti itu, Amane belajar untuk menghargai waktunya sendiri dan waktu
pasangannya.
“Hanya sekedar penasaran, tapi,
bagaimana jika itu sesuatu yang membuatnya merasa bersalah?”
“Jika demikian, maka itu
berarti aku bukanlah orang yang layak untuk diajak berkonsultasi; dan jika
Mahiru benar-benar meninggalkanku, itu karena aku tidak menarik dan
menyedihkan. Singkatnya, kesalahannya ada pada diriku.”
Tidak diragukan lagi, Mahiru
adalah seorang gadis yang sangat penyayang, berbakti, dan tulus. Jika gadis
seperti itu meninggalkan Amane tanpa membicarakan apa pun, maka masalahnya
kemungkinan besar akan lebih banyak terjadi di pihak Amane.
Mengenali sifat Mahiru, dia
akan mengungkapkan perasaannya dengan tulus sebelum mengakhiri hubungan. Dan
karena hal itu tidak terjadi, itu berarti dia menyembunyikan rahasia pribadi
yang tidak bertentangan dengan akal sehat atau moralnya. Jadi, karena tidak
ingin membuatnya merasa tidak nyaman, Amane tidak ingin menyelidikinya lebih
jauh.
Namun, mengesampingkan hal itu,
wajar saja jika ia menjadi penasaran.
“Yah, karena yang sedang kita
bicarakan adalah mengenai Mahiru, jadi aku yakin semuanya akan baik-baik saja,
tetapi sulit untuk tidak merasa penasaran,” Amane mengakui. “Mengetahui bahwa
dia menyembunyikan sesuatu membuatku lebih sulit untuk santai, jujur saja.”
“... Fujimiya,” jawab Souji
setelah berpikir sejenak. “Kamu rupanya cukup... berkepala dingin ketika sudah
mengambil keputusan tentang sesuatu, ya.”
“Menurutmu begitu?”
Amane hanya bisa menunggu
karena rasa percaya yang ia miliki pada Mahiru. Menjadi tidak sabaran takkan
membawanya kemana-mana. Akan lebih baik baginya untuk duduk dan menunggu dengan
tenang sampai Mahiru ingin mengungkapkannya sendiri, kapanpun itu.
Karena ia yakin tidak ada hal
buruk yang akan terjadi, Amane memutuskan untuk tidak menanyainya. Bagaimanapun
juga, karena ini tentang Mahiru.
...
Aku hanya berharap dia akan memaafkanku karena merasa sedikit gelisah tentang
hal itu, walaupun kedengarannya menyedihkan...
“Dulu saat aku berpapasan
denganmu di koridor, kau selalu menunduk ke bawah, tidak percaya diri...,”
Souji memulai, memperhatikan perbedaan yang mencolok antara Amane sekarang dan
beberapa bulan yang lalu. “Tapi sekarang, kamu adalah pacar dari seorang
bidadari yang sangat baik.”
“Begitulah adanya, lagipula— aku
tidak terlalu percaya diri saat itu. Ini semua berkat dukungan Mahiru dan
teman-temanku yang memberikan tendangan dan tamparan di punggung, sehingga aku
bisa berdiri tegak dan bangga seperti ini. Begitulah rasanya.”
Tentu saja, Amane pernah
ditendang dan ditampar punggungnya oleh teman-temannya dalam artian fisik,
tetapi dalam arti metaforis, berkat merekalah, ia sekarang bisa berdiri di
samping Mahiru, dan Mahiru bisa mendukungnya seperti ini.
Berkat Mahiru yang mendukungnya, baik secara emosional
maupun dengan hal-hal praktis, seperti makanan dan kebiasaan gaya hidup, Amane
tidak menganggap kerja kerasnya sebagai beban, malahan, ia merasa senang.
“Sungguh, aku tidak bisa cukup
berterima kasih padanya,” pungkas Amane, dan Souji mengangguk dengan penuh perhatian.
“... Jadi Shiina-san seperti,
kunci dari kesuksesanmu, ya... Atau sebenarnya, ini lebih seperti semakin kamu
menyayanginya, Fujimiya, semakin dia membuatmu bersinar.”
“Terlepas dari apa aku 'bersinar' atau tidak, aku tidak boleh
malu-malu saat berdiri di sampingnya,” Amane mengutarakan pemikirannya. “Aku
harus bangga pada diri aku sendiri, dan aku ingin menjadi seorang pria yang
layak dihormati... Ditambah lagi, Mahiru adalah alasan mengapa aku mulai
berpikir seperti ini sejak awal. Dialah yang benar-benar mendukungku.”
“... Aku membayangkan
nilai-nilaimu pasti menjadi bagian dari apa yang membuat orang ingin mendukungmu,
bukan?”
“Aku tersanjung jika kamu
berpikir seperti itu, tetapi aku tetap berpikir bahwa berkat Mahirulah aku bisa
membangun kepercayaan diriku lagi. Oleh karena itu, aku ingin berusaha keras
untuk menjadi layak untuknya... Tidak, bukan itu. Aku ingin berusaha karena
Mahiru.”
Setelah itu, Amane bergumam, “Meski
begitu, bukankah Mahiru sangat menakjubkan?” yang mana Souji agak berckamu, “Kamu
tahu, aku heran kenapa aku di sini hanya untuk mendengarkanmu membual tentang
dia,” yang membuat Amane merasa menyesal sekaligus malu sampai akhirnya mereka
tiba di stasiun.
✧ ✦ ✧
Amane bekerja sekitar tiga
hingga empat kali dalam seminggu, berubah tergantung pada shift yang ditugaskan
kepadanya, tetapi jumlahnya tidak pernah menyimpang dari kisaran itu.
Meskipun akhir pekan merupakan
waktu terbaik untuk mencari uang, Amane selalu menyisakan satu hari untuk
libur, dan lebih memilih untuk menghabiskan waktu ekstra dengan Mahiru atau
untuk dirinya sendiri. Sebagai pelajar, ia tidak bisa mengabaikan studinya, dan
pemiliknya, Fumika, sangat pengertian. Dia juga sangat mendukung, terutama
mengenai tujuan sebenarnya untuk mendapatkan pekerjaan.
Hari ini adalah hari libur, dan
sejak pagi hari, Amane menghabiskan waktunya untuk bersantai. Dan yang dimaksud
dengan bersantai, juga termasuk berolahraga, jogging ringan yang dilakukannya
di pagi hari, dan tugas-tugas yang telah diselesaikannya dengan relatif cepat,
jadi bisa dikatakan, ia akhirnya mendapat kesempatan untuk bersantai.
Aku
tidak hanya hidup jauh lebih sehat daripada sebelumnya, tetapi aku juga jauh
lebih terorganisir, pikir Amane dalam hati, sambil tersenyum
getir.
Ia sudah dengan tekun menyelesaikan
semua yang perlu dilakukannya di pagi hari, tetapi ada satu hal yang masih
mengganjal di benaknya.
Tepat sekali. Rahasia Mahiru.
Sepertinya
dia bertingkah aneh lagi hari ini...
Mahiru, yang datang ke rumah
Amane tak lama setelah jam makan siang, bertingkah sedikit canggung lagi.
Meskipun dia sudah agak tenang sekarang, melewati sekitar pukul dua, dia tampak
gelisah setiap kali Amane meliriknya, membuatnya jelas sekali kalau dia
menyembunyikan sesuatu.
Meski demikian, ia tidak
menunjukkan hal tersebut, sehingga Mahiru secara bertahap mendapatkan kembali
ketenangannya seiring berjalannya waktu. Dia terlihat tenang dan tenang saat duduk di
samping Amane di sofa, tetapi pikirannya seakan-akan berada di tempat lain.
Bisa dikatakan, dia sedang asyik dengan pikirannya sendiri.
Dengan hari liburnya yang
berharga, Amane setidaknya ingin menikmati waktu bersama dengan Mahiru, tapi...
Amane merasa tidak pantas untuk memaksanya saat dia sedang tenggelam dalam
pikirannya. Paling tidak, ia ingin memeluknya untuk mengisi kembali Mahiruium
yang sekarang sering kurang karena pekerjaan paruh waktunya.
“Mahiru.”
“Ya?”
“... Boleh aku memelukmu?”
Meskipun lega dengan jawabannya, Amane bertanya dengan ragu-ragu; mata berwarna
karamel Mahiru mengerjap mendengar pertanyaannya dan kemudian dia mengangguk
seraya tersenyum lembut.
Mahiru merentangkan tangannya
lebar-lebar secara perlahan, sehingga Amane menerima kebaikannya dan dengan
lembut melingkarkan tangannya sendiri di sekeliling tubuhnya.
Hari ini, Mahiru berbau seperti
cokelat.
(...
Harus dikatakan, tidak ada satu hari pun yang terlewat saat Mahiru tidak
memancarkan aroma manis.)
Terlepas dari seberapa besar
Mahiru menyukai makanan manis, sia tidak sering memakannya—hal tersebut
dikarenakan dia sangat teliti dalam menjaga bentuk tubuhnya sehingga Mahiru
hampir tidak mau menyerah dan memanjakan dirinya sendiri.
Namun demikian, Mahiru sering
mengeluarkan aroma manis pada akhir-akhir ini.
Sebagai orang yang berada di
sisinya, Amane bukanlah penggemar makanan manis seperti dirinya, tetapi aroma
manis itu merupakan pengecualian. Amane justru menikmatinya, jadi ia tidak
menentang aroma lembut dari permen yang tercium setiap kali ia menyentuh atau
berada di dekatnya.
(...
Sungguh aroma yang menyenangkan)
Dengan sopan dan lembut, Amane
mulai memeluk tubuh halusnya, tetapi saat ia menyentuh pinggangnya dengan
lembut untuk menariknya lebih dekat—
“Jangan!”
—Tubuh Mahiru tersentak.
(Mungkin
itu terlalu mendadak baginya...?)
Pikiran Amane mulai mendingin
dengan cepat setelah mendengar penolakannya yang tampaknya naluriah.
Hanya karena Mahiru selalu
berada di sisinya dan sering meringkuk bersamanya, bukan berarti Amane punya
hak untuk menyentuh pinggulnya sesuka hatinya. Tentu saja, ia adalah pacarnya,
tapi hal itu tidak serta merta membuatnya bisa menyentuhnya sesuka hatinya.
Pasti ada saat-saat ketika Mahiru sedang tidak ingin melakukannya, atau tidak
ingin disentuh sedemikian rupa.
Amane menjauhkan tubuhnya
dengan tatapan canggung, dan Mahiru, yang tampaknya tidak mengerti apa yang
sedang terjadi, menatapnya dengan ekspresi bingung.
“... Maaf,” Amane meminta maaf.
“Aku jadi terbawa suasana.”
“Hah? Ak-Aku tidak
menentangnya! Sama sekali bukan itu! Aku tidak bermaksud memberikan ide yang
salah padamu, Amane-kun! Bukannya aku tidak suka dipeluk olehmu!?”
Mahiru dengan panic buru-buru
mengoreksi kesalahpahamannya sambil membuat beberapa gerakan berlebihan,
tampaknya telah menangkap fakta bahwa Amane merasa ditolak.
“Tapi, kamu tidak
menyukainya...”
“Bukannya aku tidak
menyukainya... ehm, aku hanya sedikit sadar diri. ... Tentang perutku,
maksudnya.”
“Perutmu?”
“... Ak-Aku mungkin bertambah
gemuk, jadi memegang pinggangku sekarang itu sedikit...,” katanya, meletakkan
tangan ke perutnya.
Mengingat bahwa Mahiru memiliki
kontrol diri yang tak tertandingi dan selalu terlihat mempertahankan bentuk
tubuh yang ideal, Amane hanya bisa memiringkan kepalanya. Dan dari
menyentuhnya, Mahiru mungkin akan bertambah berat badannya adalah sesuatu yang
tidak pernah terlintas di benaknya sama sekali.
Bahkan saat itu, dia masih
tetap langsing seperti sebelumnya, sampai-sampai membuat Amane sedikit cemas.
Amane berpikir bahwa dia akan lebih baik menambah berat badan demi
kesehatannya, mengingat betapa kurusnya badan Mahiru.
“Sebelah mananya? Kamu terlihat
langsing seperti biasa di mataku,” kata Amane. “Dan selain itu, kamu bahkan
tidak makan cukup banyak untuk menambah berat badan, bukan?”
Amane tahu bahwa di rumah,
Mahiru cenderung melakukan peregangan dan olahraga ringan, dan dia juga pergi
jogging kapan pun dia punya waktu. Ditambah lagi, sesekali dia juga bermain
game yang berhubungan dengan kebugaran di konsolnya.
Meskipun dia juga anggota klub
langsung pulang ke rumah, Mahiru tidak pernah melewatkan kesempatan untuk
berolahraga, dan lebih memprioritaskan kecantikannya. Amane merasa sulit untuk
mempercayai bahwa dirinya, yang merupakan lambang kedisiplinan diri, bisa
bertambah gemuk.
Ya, Amane merasa sulit untuk
percaya; tetapi untuk alasan apa pun, Mahiru masih menolak untuk bertemu dengan
tatapan Amane.
“... Jadi, apa kamu memang
bertambah gemuk?”
“Be-Belum sih. Pertama, aku
sama sekali tidak malas berolahraga, dan malah semakin sering melakukannya. Aku
juga menjaga pola makan yang seimbang dengan makan tiga kali sehari. ... Aku
sudah melakukannya, tapi... ehm, di luar jam makan itu, aku...”
“Kamu makan cemilan di antara
waktu makan?”
“Aku tidak akan mengatakannya
dengan tepat...,” Mahiru terhenti sebelum akhirnya sadar. “... Sebenarnya, ya.
Aku makan di sela-sela waktu makan— itulah sebabnya.”
“Tumben-tumbennya kamu begitu.”
Amane terkejut bahwa Mahiru, yang sangat menjaga bentuk tubuhnya, telah makan
cukup banyak hingga membuatnya khawatir. Saat bersama, Amane tidak melihat dia
makan lebih banyak dari biasanya, jadi itu berarti dia pasti makan di
apartemennya. Mungkin dia telah menemukan sesuatu yang benar-benar lezat.
“Nah, ada alasan mengapa musim
gugur adalah musim yang tepat untuk bersantap, atau begitulah kata orang. Belum
lagi makanannya juga sangat lezat. Musim gugur adalah saat semua bahan makanan
lezat mulai bermunculan lagi, tidak seperti musim panas, jadi tidak ada
salahnya jika kamu makan lebih banyak dari biasanya.”
“... Aku yang bimbang dan
pilih-pilih juga tidak banyak membantu...,” Mahiru berseru.
“Hah?”
“Tolong jangan pedulikan itu,”
katanya, menepis komentarnya sendiri. “... Lagipula, kalau kamu menyentuh
perutku sekarang, aku takut lemaknya akan...”
“Kurasa kamu tidak punya lemak
berlebih atau apapun, Mahiru... Kamu memiliki tubuh yang langsing tanpa ada
bagian yang bergelambir. Ditambah lagi, bahkan jika berat badanmu bertambah
sedikit, itu masih dalam kisaran yang bisa diterima.” Bagi Amane, ekspektasi
dari masyarakat tentang bagaimana seharusnya wanita bertubuh langsing itu sangatlah
berlebihan. “Dengan tubuhmu yang
langsing dan kencang, tidak ada salahnya untuk menambah berat badan sedikit,
bukan?” Dari sudut pandangnya, Mahiru sudah cukup kurus, bahkan menurut standar
masyarakat yang keras itu.
Tidak menjadi masalah jika
Mahiru menambah berat badannya; Amane tidak tertarik padanya karena dia
berbadan langsing, karena dia imut, atau karena cantik— Amane menyukai Mahiru
sebagai dirinya pribadi. Fisiknya tidak ada hubungannya dengan hal itu, dan
selama dia memiliki tubuh yang sehat, Amane tidak peduli dengan angka-angka di
timbangan.
Oleh karena itu, sambil menatap
mata Mahiru dengan serius, Amane berkata, “Sejujurnya, kamu tidak perlu
khawatir tentang hal itu.” Tidak lama setelah itu, ia mengintip ke arahnya, dan
mengerang, "Uuuu," lirih.
Meskipun itu mungkin merupakan
masalah yang mengerikan bagi Mahiru sendiri, Amane percaya bahwa sedikit
benjolan pada lemak tubuhnya tidak perlu dikhawatirkan. Kalau pun ada, Mahiru
yang menempati lebih banyak ruang di dunia ini, merupakan sesuatu yang patut
disyukuri.
Selain itu, tidak ada perbedaan
yang mencolok pada berat badannya ketika menyentuhnya, jadi, tidak diberi
kesempatan untuk menyentuhnya, merupakan masalah hidup dan mati yang
sesungguhnya.
“... Aku hanya ingin
disembuhkan sebentar...,” akunya. “Apa itu tetap tidak boleh?”
“Bu-Bukannya berarti kamu tidak
boleh, tapi..” Sementara Mahiru mencoba untuk tetap bertahan, dia akhirnya
mengalah. “Kurasa kamu bisa...”
Terkekeh pada perubahan hati
Mahiru yang tiba-tiba, Amane menariknya mendekat. Tepatnya, Amane mengangkatnya
seolah-olah memeluk tubuhnya. Sambil memeluk Mahiru yang kini membeku kaku,
Amane kembali duduk di sofa, memposisikannya tepat di antara kedua kakinya— ia
sekarang memeluknya seperti memeluk boneka.
Ketika berpelukan di sofa, ini
adalah posisi yang paling nyaman. Meski demikian, entah karena malu atau ada
hal lain, Mahiru tampaknya terlihat sedikit tidak nyaman. Walau begitu, karena
Mahiru duduk dengan lemah lembut, mempercayakan dirinya pada Amane, dia mungkin
tidak menentang pergantian peristiwa itu.
Amane lalu melingkarkan
lengannya dengan kuat di bagian depan tubuhnya, dan mengusap area perutnya, yang
sangat jelas disadarinya. Tubuh Mahiru terasa begitu ramping dan halus,
sehingga Amane bertanya-tanya, bagaimana dia bisa meyakinkan dirinya sendiri
bahwa berat badannya bertambah.
“... Seperti yang kuduga, kamu
benar-benar tidak bertambah berat badan sama sekali.”
“Bagaimanapun juga, aku sudah
berusaha keras. Tapi tetap saja, aku masih sedikit khawatir.”
“Meskipun kamu sekurus ini...
Yah, aku tidak akan memberitahumu apa yang bisa dan tidak bisa kamu pikirkan
jika kamu begitu mengkhawatirkan hal itu, tapi jangan memaksakan dirimu terlalu
keras,” sarannya, “Aku akan mencintaimu
apa pun yang kamu lakukan, Mahiru.”
“... Ya.”
Selama masih dalam batas yang
sehat, Amane akan mendukung Mahiru jika dia ingin menurunkan berat badannya,
tetapi ia tidak secara eksplisit berharap Mahiru melakukannya. Meskipun ia
dengan tegas menyangkal kesalahpahaman bahwa berat badannya bertambah, ia tidak
akan pernah menyangkal perasaannya atau usaha yang dia lakukan untuk menurunkan
berat badannya.
(Apa
pun yang dilakukannya, aku hanya berharap dia tidak memaksakan diri terlalu
keras...)
Dengan lembut namun tegas,
Amane kemudian memeluk tubuh lembutnya, menikmati kelembutannya yang biasa.
(Bagaimana
dia bisa begitu ramping namun begitu lembut?)
Amane mengagumi misteri tubuh
seorang gadis yang menarik, sebelum membenamkan wajahnya ke bahunya. Kemudian,
aroma manis, yang telah bercampur dengan aroma pelembut kain dan aroma alami
Mahiru yang seperti susu, masuk ke dalam lubang hidungnya.
(Jadi
aroma hari ini adalah semacam cokelat, ya?)
Mengerti akan hal itu, Amane
menggeser bibirnya ke pangkal lehernya dan menekannya dengan lembut. Meskipun
ia sama sekali tidak berpikir untuk melakukan sesuatu yang khusus, menyentuh
kulit Mahiru membuat Amane merasa senang, dan ia bahkan mendapati kulit
putihnya yang seperti porselen itu sangat menggugah selera. Hal ini paling
tepat digambarkan sebagai naluri bawaannya sebagai seorang pria— dan tidak ada
yang bisa ia lakukan untuk mengatasinya.
Mendekatkan bibirnya, Amane
menanamkan ciuman lembut di kulitnya yang halus dan mengusap pipinya, membuat
Mahiru mengeluarkan suara geli.
“... Amane-kun, kamu menjadi
manja saat kamu lelah seperti ini, ya?” katanya.
“Aku juga bisa mengatakan hal
yang sama tentangmu, Mahiru... Tapi ya, kurasa aku merindukan kasih sayang
manusia.”
Kalimat itu juga berlaku untuk
Mahiru dengan cara yang sama. Ketika mereka berdua merasa lelah, mereka sering
berpelukan erat satu sama lain untuk menghibur satu sama lain. Mereka akan
menikmati kehangatan dan aroma tubuh masing-masing, yang memberikan rasa
bahagia dan nyaman.
Meskipun Mahiru biasanya adalah
orang yang memanjakannya, Amane baru-baru ini mendapati dirinya semakin lelah,
dan pada gilirannya, mulai menjadi lebih nyaman dengan menunjukkan sisi rentan
dirinya. Dan seperti yang terlihat, Mahiru menyukainya ketika Amane bergantung
padanya secara terbuka seperti ini, yang hanya mendorongnya untuk lebih sering
dimanjakan olehnya.
“Kamu bisa melakukan sesukamu,
tapi tolong jangan meninggalkan bekas. Itu bisa terlihat,” lanjut Mahiru. “...
Chitose-san melihat bekasnya saat aku terakhir kali menginap, tau? Dan kemudian
dia menggodaku.”
“Itu salahku..., seharusnya aku
membuatnya sedikit lebih sulit untuk ditemukan, kalau dipikir-pikir,” kata
Amane, sadar bahwa pada saat itu, ia terjebak dalam suasana yang menggoda.
Pikiran rasionalnya hanya berjalan di kaca tipis, yang membuat nalarnya rusak
sebagian. Tak perlu dikatakan lagi, dAmane telah melewati batas yang seharusnya
tidak dilewatinya, ia telah membiarkan nafsunya untuk mewarnai kulitnya yang
putih dengan warna merah mengambil alih.
Sayangnya, Amane akhirnya
meninggalkan bekas dengan melakukan hal itu, yang merupakan pelajaran yang dia
renungkan.
Gelombang rasa malu
menyelimutinya saat Amane mengingat kejadian malam itu, dan hal ini menyebabkan
Amane memeluknya lebih erat dari sebelumnya. Sebagai tanggapan, Mahiru menampar
pahanya beberapa kali dengan kuat dari dalam pelukannya.
“Itu bahkan bukan masalah utama
di sini!? Bukanya itu menjadi bukti bahwa kamu sudah terlalu terbiasa dengan
hal ini, Amane-kun!?”
“A-Aku tidak akan mengatakan
aku sudah terbiasa atau semacamnya, tapi... hanya saja, uh, menandaiimu sebagai
milikku adalah... sesuatu yang membuatku merasa bahagia, tau. Sebagai seorang
pria.”
Mana mungkin Amane akan
terbiasa dengan hal itu hanya dengan melihat kulitnya yang telanjang sekali
saja.
Rasa malu merayap di wajahnya
hanya dengan mengingat hal itu, dan bahkan sekarang, keinginannya untuk
melakukannya lagi tampaknya siap untuk menyerang Mahiru kapan saja. Ia hanya
menahannya dengan rasionalitasnya.
Namun demikian, seseorang tidak
bisa begitu saja menghindari keinginan seperti itu. Jika ia diberi kesempatan
yang sama sekali lagi, bibir Amane tidak diragukan lagi akan menelusuri
jalurnya di atas kulit putih Mahiru dengan cara yang sama. Sambil menggendong
Mahiru yang masih jauh dari puas dalam pelukannya, Amane bergumam, “Mana
mungkin aku akan terbiasa. Kita sedang membicarakan kulit telanjang pacarku di
sini,” dan mengaitkan tangannya dengan tangan yang tadi memukul pahanya. Dalam
sekejap, Mahiru menjadi tenang.
Jika telinganya yang merah
padam menjadi indikasi, Mahiru terlihat jelas merasa sangat malu.
“..... Lain kali, tolong,
lakukanlah di tempat yang tidak bisa dilihat,” pintanya.
“Aku tahu kamu mengasumsikan
bahwa kita akan melakukannya lain kali,” goda Amane menanggapi.
“I-Itu karena, yah... aku
menikmati semua yang kau lakukan padaku, Amane-kun, dan itu... terasa nyaman
ketika kau menyentuhku; aku benar-benar menyukainya,” akunya ragu-ragu sambil
menghela nafas, suaranya pelan dan tubuhnya gelisah. Kata-katanya membuat Amane
semakin mengaguminya, dan ia membelitkan jari-jarinya dengan tangan yang
dipegangnya.
Amane mengerti bahwa Mahiru
mungkin akan menerima apapun yang akan dilakukannya, dan pengakuan kecilnya
untuk menikmati sentuhannya kembali membangkitkan hasratnya. Namun, Amane
berhasil meredamnya, saat ia memutuskan untuk mengekspresikan rasa sayangnya dengan
sebuah ciuman di leher. Masih sesensitif biasanya, Mahiru gemetar dalam
pelukannya, tetapi dia membiarkan Amane melakukan apa yang diinginkannya.
"... Bagaimanapun juga,
kamu tidak boleh meninggalkan bekas,” dia mengingatkan. “Jika kamu
melakukannya, maka itu akan menjadi masalah untuk—”
“Masalah apa?”
“... Bukan apa-apa. Tolong
jangan khawatirkan hal itu.”
“Kamu benar-benar membuatku
jadi merasa penasaran.”
“Bukan apa-apa, sungguh!”
Amane memiringkan kepalanya ke
arah Mahiru, yang sempat berhenti di tengah kalimat sebelum segera meninggikan
suaranya untuk mencoba menutupinya. Mahiru bersandar padanya sekuat tenaga tak
lama kemudian, yang dengan senang hati diterima oleh Amane sambil tersenyum,
memikirkan betapa menggemaskannya Mahiru.