Ronde 5 — Kamu
Ingin Aku Makan Banyak, Bukan?
“Yo, yo, Mamori Suzufumi-san.”
Kelas 2-A, baris kedua dari
jendela, baris kedua dari depan. Saat aku duduk di kursiku, seorang preman
bodong yang berada di kursi depan mulai menyapaku.
“Selamat pagi, Hozumi.”
“Aku sangat marah tau, aku mengira
kalau kita berdua adalah teman.”
“Itu sih makasih banget.”
Kemarin, selama upacara
pembukaan, ia membuatku mendengarkan adegan mesra dengan pacarnya, tapi hari
ini dirinya tanpa ragu-ragu mengungkapkan perasaan sebaliknya. Ia sungguh pria
yang sibuk dan suka marah-marah enggak jelas.
“Oh iya, dengar-dengar katanya
kamu menyatakan perasaanmu kepada Arisu Yuzuki, ya.”
Kotak pensil yang kucoba simpan
di mejaku tergelincir.
“...Kenapa kamu bisa tahu hal
itu?”
“Aku mendengarnya dari seorang
teman di OSIS. Katanya kamu memanggil Arisu Yuzuki ke ruang referensi sepulang
sekolah kemarin.”
Sudah kuduga, mana mungkin bisa
menutup mulut semua orang. Dari senior ke junior, dan kemudian kepada teman-temannya.
Sejak aku memasuki halaman sekolah hari ini, kupikir aku merasakan ada banyak
perhatian yang tertuju padaku, tapi sepertinya itu bukan imajinasiku saja.
“Kamu yang selalu menyalahkan
orang lain, tapi sekarang malah mencoba kabur sendiri? Berpura-pura menjadi
orang yang berakal sehat.”
“Akal sehat tidak berlaku jika
menyangkut cinta.”
“Yah, aku mengerti bagaimana
rasanya jatuh cinta pada hal yang terlarang.”
Memang, pria yang memiliki guru
sebagai pacarnya bisa memahaminya dengan cepat.
Ngomong-ngomong, Hozumi sedang
berpacaran dengan guru sejarah Jepang. Dia biasanya wanita yang tenang, tapi
ternyata dia cukup aktif dalam urusan percintaan.
“Yah kesampingkan candaan tadi,
tapi kamu harus lebih berhati-hati dan jangan sampai orang asing membuatmu
merasa tak nyaman dengan rasa persaingan yang aneh. Kamu sendiri yang akan
kerepotan jika diganggu oleh penggemar yang merepotkan.”
Terima kasih atas
peringatannya, temanku.
Memang benar aku ingin menjalani
kehidupan SMA-ku dengan tenang. Jika ada penggemar fanatik Yuzuki di sekolah, tidak
mengherankan jika aku mungkin akan diserang pada malam hari. Aku akan mencoba
untuk tidak keluar saat matahari terbenam.
Bel masuk berbunyi, teman
sekelas yang tadinya tersebar mulai duduk di tempat masing-masing. Tidak sampai
satu menit kemudian, wali kelas kami masuk.
Jaket abu-abu tanpa kerutan,
blus putih polos yang rapi, dan rok sedikit di atas lutut memberikan kesan awal
sebagai orang yang kaku.
“Selamat pagi semuanya. Aku
akan mengambil absensi ya.”
Rambut hitamnya yang pendek
berayun dengan mulus. Ucapan salam yang lembut terdengar seperti suara nyanyian
peri yang berdiri di tepi danau.
Mikami Momose. Wali kelas dari
kelas 2-A, dan mata pelajaran yang dia ajarkan adalah sastra modern. Dia diperkirakan
berusia pertengahan dua puluhan, dia mungkin guru termuda di SMA Orikita. Dia
adalah guru favorit di kalangan siswa laki-laki.
Mata bulat, hidung yang
mancung, dan bibir yang mengkilat dan kencang. Dengan wajah yang memadukan
kepolosan dan kewibawaan, dia tidak akan terlihat aneh meskipun tergabung dalam
grup idola.
Dia baik kepada semua orang dan
terkadang tegas. Dia mungkin terlihat serius dan jujur, tetapi dia juga
menyisipkan hobinya di kelas dan bersenang-senang dengan para siswa di festival
olahraga. Sikap nakalnya yang sesuai dengan usianya juga menjadi poin yang
populer.
“Kita beruntung wali kelas kita
adalah Momo-chan.”
“Aku sih sudah pasti lebih
memilih ini daripada Arisu Yuzuki.”
Teman-teman sekelasku diam-diam
meneriakkan pujian mereka. Wali kelas kami tampak tidak terganggu dan dengan
santai membacakan nama-nama siswa dalam urutan abjad.
“Mamori Suzufumi-san.”
“Ya.”
Tatapan mata kami bertemu.
Kupikir aku sudah terbiasa melihat wajah wanita cantik akhir-akhir ini, tapi
aku masih merasa gugup.
“...Ya, semuanya hadir. Jam
pelarajan pertama secara tertulis, jadi aku ingin memulai apa adanya, tapi
pertama-tama ada pemberitahuan dari ruang staf yang ingin aku sampaikan.”
Pemberitahuan. Itu adalah kata
yang tidak biasa didengar dalam jam wali kelas di pagi hari.
“Di antara siswa baru kelas 1
tahun ini, ada seorang siswa yang bekerja di bidang agensi bakat. Aku tidak
akan menyebutkan namanya, tetapi kalian mungkin sudah mengenalnya.”
Dia telah menarik begitu banyak
perhatian pada upacara masuk. Bahkan orang-orang yang tidak akrab dengan idola
mungkin pernah mendengarnya dari orang lain.
“Pihak sekolah tidak melarang
siswanya untuk bekerja paruh waktu. Oleh karena itu, pihak sekolah akan
melakukan yang terbaik untuk mendukungnya dalam menyeimbangkan studinya dengan
aktivitas hiburannya.”
Motto sekolah SMA Orikita
adalah [menghormati kebebasan].
Nampaknya kebijakan tersebut memperbolehkan aktivitas idola juga.
“Hal yang sama berlaku untuk
persahabatan. Kami berharap dia akan mendapatkan banyak teman di Orikita dan
membina hubungan yang akan bertahan hingga dewasa, namun .......”
Aku bisa merasakan kalau suasana
di dalam ruang kelas langsung berubah total.
“Berhati-hatilah dalam menjalin
hubungan percntaan. Tentu saja, pihak sekolah tidak melarang hubungan antara
siswa tertentu. Namun, dalam kasusnya, jika gambar atau video dirinya berdua dengan
lawan jenis beredar di internet, rumor aneh mungkin menyebar dan berdampak
negatif pada pekerjaannya. Jangan sekali-kali mendekati kelasnya hanya karena
penasaran.”
Tatapan mataku bertemu dengan
Mikami-sensei lagi. Meskipun dia tampak tenang di permukaan,tapi dia
memancarkan aura mengintimidasi tanpa berkata apa-apa. Bukan hanya dia saja.
Tatatapan mata semua orang di kelas tertuju padaku.
“Terlebih lagi, menyatakan rasa
suka sepihak dan menyeret seseorang ke tempat yang sepi adalah hal yang
keterlaluan. Harap diingat bahwa tugas kalian sebagai pelajar adalah belajar.
Oke, hanya itu saja pengumumannya.”
Mereka memperlakukanku seperti
penjahat. Memang benar itu adalah kebohongan yang kukatakan pada diriku
sendiri, tapi itu benar-benar membuatku kecewa. Kenyataan bahwa hal itu
dikatakan oleh Mikami-sensei yang berperangai lembut dan baik hati, semakin
membebaniku.
Hari itu, mungkin karena aku
terlihat sangat murung, teman-temanku yang sudah bubar untuk pindah kelas
membelikanku jus setiap kali aku berpapasan dengan mereka di lorong. Perutku
menjadi buncit karena kebanyakan minum jus.
☆ ☆ ☆
Sepulang sekolah. Meskipun aku
mengikuti kelas pagi sepanjang minggu, aku akhirnya pulang cukup sore karena
mengerjakan tugas dari berbagai guru.
Aku terlambat untuk makan siang
dan waktunya masih lebih awal untuk makan malam. Jadi aku memutuskan untuk membeli
makanan ringan di minimarket dalam perjalanan pulang. Roti kukus kastanye yang
kuterima dengan uang gratis tidak akan bisa memuaskan rasa laparku.
Setelah meninggalkan ruang guru
di lantai satu, aku memutuskan untuk kembali ke ruang kelas Kelas 2-A untuk
mengambil tasku. Pertama, aku berjalan menyusuri lorong lantai kelas satu
sampai ke ujung lorong. Rute terpendek adalah dengan menaiki tangga di belakang
gedung sekolah, di luar Kelas 1-A, dan langsung menuju ke atas menuju Kelas 2-A.
Aku melewati Kelas D dan Kelas
C dan berhenti di depan Kelas B. Ini adalah kelas tempat Yuzuki terdaftar.
Atau lebih tepatnya, ini gawat.
Jika ada yang melihatku di tempat seperti ini, aku akhirnya akan dicurigai
sebagai penguntit. Aku harus segera pergi untuk mematuhi pemberitahuan pagi
tadi.
Pada saat aku melewati pintu di
depan kelas….
“…Hmm?”
Aku mendengar suara seseorang
di dalam ruangan.
Identitasnya tidak diketahui
karena pintu depan dan belakang ruang kelas tertutup.
Kegiatan klub bahkan belum
memulai masa perekrutan, jadi mungkin mereka tidak akan menutup pintu kelas
untuk berganti pakaian. Kegiatan belajar mengajar untuk kelas 1 dimulai besok
atau lusa, jadi sulit membayangkan mereka melakukan persiapan apa pun.
Apa jangan-jangan, upaya
pencurian? Tapi, mana mungkin ada dompet atau barang berharga yang tertinggal
di kelas setelah siswa pulang.
Aku memasukkan tangan kiriku ke
dalam saku dan setelah memeriksa tampilan ponselku, aku meletakkan tangan
kananku di celah pintu geser. Aku kemudian menggesernya secara perlahan ke
samping agar tidak mengganggu siapa pun yang mungkin ada di dalam.
“Ah, Yuzuki-chan... aku
mencintaimu... Lopyuu...”
Di bagian bawah pandanganku,
ada seseorang di dekat kursi Sasaki Yuzuki.
Wanita itu sedang menyandarkan
pipinya di kursi dengan ekspresi cengengesan di wajahnya. Jaket abu-abunya terlihat
kusut karena terjepit di sudut kursi.
“Haah~...Aku ingin merobek
kursi ini yang bersentuhan dengan bokong kencang Yuzuki-chan dan menggunakannya
sebagai masker wajah setelah mandi...”
Dia menyandarkan pipinya di
kursi, seperti seekor anjing yang bersandar di pangkuan pemiliknya.
“Jika ada seorang siswa yang melihatku seperti ini,
hidupku akan berakhir... Menurutku photobook Yuzuki-chan akan menjadi hadiah yang
bagus untuk dibawa ke dalam penjara... Penanda bukunya harus rambut gadis itu...
, Hihihi…”
Aku hanya bisa terdiam.
Bukannya aku tidak bisa bersuara, aku hanya tidak tahu bagaimana harus
bereaksi, dan tidak bisa bergerak sama sekali.
“Rapat para guru akan segera
dimulai, jadi sudah waktunya aku harus segera pergi...ah.”
Wanita itu mendongak.
Aku mengintip ke dalam ruangan
melalui celah di pintu, dan pandangan mata kami saling bertemu.
“…Mi-Mikami-ensei…”
“Mamori-kun...”
Dunia mendadak menjadi kaku.
Mikami Momose, guru wali kelas
Kelas 2-A, menempelkan pipinya ke kursi lagi dan mengajukan pertanyaan.
“Apa kamu juga datang untuk
menikmati pantat Yuzuki-chan?”
“Mana mungkinlah!?”
Aku mungkin belum pernah meninggikan
suaraku sekeras ini di sekolah sejak kontes sorak-sorai di festival olahraga.
“Eh, Sensei, seriusan, apa yang
sedang kamu lakukan?”
aku tidak bisa berhenti
berkeringat dingin. Tampaknya ketika orang mempunyai ketakutan naluriah, mereka
menjadi kurang mampu berbicara.
“Asal kamu tahu saja, aku belum
menjilatnya.”
“Jika itulah yang terjadi
setelah kejadian itu, aku akan menyingkirkanya tanpa ampun.”
Mikami-sensei akhirnya bangkit
dan berdiri tepat di depanku.
“Kupikir aku sudah
memberitahumu pagi ini, ‘kan? Jangan coba-coba mendekati ruang kelas
Yuzuki-chan.”
Hebat sekali. Dia mencoba untuk
menempatkan dirinya dan mulai menegurku dalam situasi ini.
“Bukannya aku sedang mencari
Kelas B. Aku tak sengaja mendengar suara dari dalam kelas, jadi aku mengintip
ke dalam dan tidak menyangka kalau aku menemukan hal seperti ini sedang
terjadi...”
“Aku tuh selalu punya kecenderungan
untuk berbicara pada diri sendiriku ketika terlalu bersemangat tentang sesuatu. Kurasa
aku harus memperbaikinya.”
Kurasa bukan itu yang perlu
kamu renungkan.
“Umm, sekedar ingin mengonfirmasi
saja, apa sensei penggemar Arisu Yuzuki?”
“Penggemar, ya...”
Heh, dia
tertawa mengejek dan menepuk dadanya dengan bangga.
“Sebenarnya, aku adalah anggota
klub penggemar [Spotlights] dengan nomor keanggotaan 000005.”
Dia mengeluarkan kartu
keanggotaan yang berkilauan dari dompet kartunya.
“Aku menghabiskan kurang dari
5000 yen untuk makanan setiap bulan. Minuman alkohol untuk minum di rumah, aku
membelinya dalam jumlah grosiran. Aku membeli pakaian dari toko barang bekas
atau lelang online. Aku tidak memberi uang hadiah tahun baru kepada anak-anak
keluarga, dan aku menghemat uang untuk mencurahkan semuanya kepada Yuzuki-chan
selama beberapa tahun terakhir. Aku terus bekerja sebagai pegawai negeri hanya
karena gajinya stabil.”
Sekarang aku memahami mengapa
dia menatapku dengan begitu tajam ketika jam wali kelas pagi tadi.
Dia tidak mendoakan kehidupan
sekolah yang baik bagi Yuzuki.
Dia hanya merasa iri padaku.
“Aku sudah menghadiri berbagai
acara sebelumnya. Konser di daerah, peluncuran lagu baru, pertemuan penggemar,
dan siaran radio langsung ......, tetapi aku belum pernah menghadiri sesi jabat
tangan. Apa kamu tahu alasannya?”
“En-Entah?”
“Bukannya itu sudah jelas? Karena
Yuzuki-chan terlalu cantik!”
Aku merasa takut. Mikami-sensei
yang selalu baik dan lembut, menunjukkan sifat fanatiknya. Aku ingin
menunjukkan pemandangan ini kepada semua anak laki-laki di kelas yang sedang
mengidolakannya.
“Iya, aku mengakui. Memang benar
aku adalah idola SMA Orikita. Aku punya penampilan menawan, gaya yang bagus,
dan kepribadian yang baik. Aku mendapat pengakuan dari sejumlah siswa setiap
tahun, dan hanya masalah waktu saja sebelum aku tampil di koran lokal sebagai 'guru yang terlalu imut'.”
Narsismemu sendiri justu lebih
bermasalah.
“Tapi, bagaimanapun juga, aku
hanyalah warga negara biasa. Aku adalah bagian dari masyarakat. Di hadapan idol
asli, aku adalah idola biasa. Jika aku yang palsu, menyentuh tangannya yang
putih, lembut dan halus, Yuzuki-chan akan ternoda. Aku tipe orang yang suka
menjaga jarak tertentu dari orang yang aku kagumi. Selagi berjabat tangan, kami
akan bertukar sepatah-dua patah kata,
bukan? Saat aku mendengar suara asli Yuzuki-chan, aku yakin aku akan memotong
telingaku sendiri dengan cutter dan mengawetkannya dengan formalin.”
Aku teringat asal kata [penggemar] yang pernah kudengar dari
Yuzuki.
“Tapi aku tidak pernah
menyangka dia akan mendaftar di sekolah kami… Itu adalah berkah, bukan, ini
ujian. Sebagai seorang penggemar beratnya, aku ditugaskan untuk membimbing
Yuzuki-chan menjadi orang dewasa yang baik. Tapi, jika aku tiba-tiba
berhubungan dengan kehidupan pribadinya... aku akan meleleh, iya ‘kan? Itulah
sebabnya aku mulai dengan menyentuh kursi seperti ini dan secara bertahap
membiasakan diri.”
Manusia yang kehilangan akal
sehatnya tidak lebih baik dari monster. Dalam tayangan anime di mana
karakternya melawan monster aneh, sebagian besar bos terakhirnya berbentuk
humanoid, jadi tampaknya kejahatan sejati adalah sesuatu yang berwujud manusia.
“Pokoknya, kamu paham oke?”
Belum ada yang dikatakan, tapi
ada apaan?
“Ini hanyalah perpanjangan dari
tugasku. Memperlakukan siswa secara setara. Kamu tidak melihat apa pun. Kamu
tidak mendengar apa pun. Oke?”
Bagaimana dia masih bertingkah
sok begitu? Yah, begitu kegiatan klub dan kepanitiaan kelas dimulai dengan sungguh-sungguh,
seseorang mungkin akan keluar masuk kelas bahkan setelah jam sekolah selesai,
dan dia tidak akan melakukan tindakan tak senonoh berulang kali.
“...Jika Sensei berjanji untuk
tidak melakukannya lagi.”
“Aku tidak bisa menjamin hal
itu.”
Itu adalah penampilan yang paling
gemilang yang pernah aku lihat sepanjang hari. Padahal bagian itulah dia
seharusnya bersikap dewasa dan patuh.
“Kamu tahu ada keberadaan Tsukumogami di negara ini, bukan? Itu
adalah gagasan bahwa para dewa dan Buddha bersemayam di dalam peralatan yang
telah digunakan dengan hati-hati. Kursi yang diduduki Yuzuki-chan ini mungkin
akan menjadi Tsukumogami. Ah, sosok
itu pasti menggemaskan sekali..... Atau lebih tepatnya, akulah yang seharusnya
mengeluh. Bisa tidak jangan menghalangi orang dewasa yang serius dengan
pekerjaannya?”
Dia menyilangkan tangannya dan
berpose dengan menonjolkan payudaranya. Nih orang lumayan enggak sopan, ya.
Pasti idak ada yang akan
mempercayaiku bahkan jika aku mengungkapkan bahwa Mikami-sensei yang biasanya
lembut dan manis itu sebenarnya adalah seorang otaku yang menyeramkan. Siapa
pun bisa mengatakan apa saja dengan mulut mereka.
Ya, kecuali aku punya bukti.
Aku mengeluarkan smartphone-ku
dari saku dan menekan tombol putar.
[Haah~...Aku
ingin merobek kursi ini yang bersentuhan dengan bokong kencang Yuzuki-chan dan
menggunakannya sebagai masker wajah setelah mandi...]
[Saat
aku mendengar suara asli Yuzuki-chan, aku yakin aku akan memotong telingaku
sendiri dengan cutter dan mengawetkannya dengan formalin.]
Saat aku mendengarnya lagi,
telingaku serasa kesemutan.
“......! Sejak kapan...!”
Untuk pertama kalinya sejak
tiba di sini, ekspresi wajah Mikami-sensei berubah.
“Kupikir ada orang yang
mencurigakan mungkin menyelinap masuk, jadi aku mulai merekamnya bahkan sebelum
aku membuka pintu.”
Aku tak menyangka kalau
identitas sebenarnya adalah wali kelasku.
Sekarang setelah aku
menyaksikannya, meskipun secara kebetulan, mana mungkin aku bisa mengabaikan begitu
saja adanya calon penguntit.
“Aku tidak punya niatan untuk menyebarkan
berita ini. Jika Sensei menyebut diri Anda sebagai penggemar fanatik, bagaimana
kalau anda berhenti melakukan pelecehan seksual tidak langsung seperti anak SD
yang menjilati seruling recorder kepunyaan orang yang disukainya?”
“Jadi, jika kamu memberiku
izin, masalah itu akan terselesaikan?”
“Berisik!”
Saat aku menegurnya,
Mikami-sensei mengangkat bahunya dan menghela nafas.
“Baiklah. Aku akan menerima
permintaanmu hari ini. Tapi jangan lengah. Selain aku, ada banyak penggemar
Yuzuki-chan di sekolah ini. Kamulah yang harusnya jangan macam-macam dengannya.
Jika ada sesuatu yang terjadi, pasukan jutaan orang akan menghajarmu sampai
babak belur dengan permadani yang belum dibuka.”
Bukannya jumlah siswa SMA
Orikita kurang dari 800, tapi angka jutaan itu datang dari mana?
Bagaimanapun juga, kelihatannya
tingkat keamanan minimum Yuzuki di sekolah sudah terjamin. Mari kita
sembunyikan kejadian ini darinya.
“...Gawat. Rapat para guru akan
segera dimulai, jadi aku harus pergi sekarang.”
“Serius, apa sih yang sudah kamu
lakukan sebelum rapat...”
“Berhati-hatilah saat berjalan
di malam hari. Selain itu, pastikan untuk mengunci pintu rumahmu.”
Mikami-sensei meninggalkan
ruang kelas dengan kata-kata meresahkan yang tak mungin keluar dari mulut
seorang guru.
“...Mendingan aku juga harus
pulang.”
Aku merasa sangat lelah. Demi
menebusnya, ayo menyantap makanan favoritku untuk makan malam hari ini.
Pada saat itu, aku tak pernah
membayangkan kalau malam ini aku akan dihadapkan pada situasi yang lebih
melelahkan lagi.
☆ ☆ ☆
Waktu menunjukkan sudah pukul
setengah sepuluh malam. Matahari sudah tenggelam sepenuhnya, dan lingkungan apartemen
menjadi begitu sunyi.
Selama beberapa hari terakhir,
aku telah menyiapkan makan malam untuk tetanggaku. Awalnya aku hanya memasak
saja, tapi lambat laun kami mulai berbagi waktu makan bersama.
Aku sudah menunggu tetanggaku
pulang selama beberapa jam hari ini agar kami bisa makan malam bersama. Sepertinya
separuh kehidupanku sudah berputar hanya untuknya.
Aku
benar-benar ingin segera bertemu dengan Yuzuki. Saat
aku sedang memikirkan hal itu, bel pintu apartemen pun berbunyi.
Tak
disangka dia langsung datang ke rumahku, dia benar-benar menjadi lebih terbuka.
Tentu saja, hal semacam itu
tidak mungkin terjadi. Tapi saat itu, aku begitu bersemangat menunggu
kedatangannya dan perutku sudah sangat lapar, sehingga membuatku bertindak
tanpa pikir panjang.
Tanpa melihat layar monitor,
aku membuka kunci pintu tanpa berpikir panjang.
Dari celah pintu, aku melihat
benda perak yang bersinar.
Pada saat itu, perkataan
Mikami-sensei kembali terlintas di pikiranku.
——
Berhati-hatilah saat berjalan di malam hari. Selain itu, pastikan untuk
mengunci pintu rumahmu.
Oh, gawat.
Karena aku sudah terlalu condong
ke depan, sehingga aku tidak bisa menarik kembali tuas pintu. Aku tidak bisa
meminta bantuan, tetangga di apartemen 810 belum pulang, dan pasangan di
apartemen 808 mengatakan mereka akan pergi liburan panas selama tiga hari dua
malam ke Izu pagi ini ketika kami bertemu di lift. Langkahku sudah buntu.
Setidaknya aku harus mengingat
ciri-ciri penjahat itu ke dalam ingatanku. Jika aku bisa bertahan dan
memberikan kesaksianku, semuanya akan baik-baik saja, bahkan jika aku membusuk
di sini sendirian, aku akan menyampaikan pesan kematian dalam darahku.
Rambutnya berwarna cokelat
terang dan panjangnya mencapai bahu. Dia memakai anting-anting berwarna zamrud
di kedua telinganya.
Pakaiannya adalah seragam
sekolah SMA. Dia memakai blus dengan dasi merah muda di bagian dadanya yang
menggairahkan, dan rok hitam sederhana yang dipotong sedekat mungkin dengan
lutut, sehingga paha yang montok bisa terlihat jelas di antara rok pendek dan
kaus kaki hitamnya.
Dia membawa tas sekolah model
Boston. Terdapat aksesori berbentuk huruf [R] berwarna perak tergantung di
resletingnya. Apa benda yang terlihat dari celah pintu adalah aksesori ini?
Ngomong-ngomong, bukannya itu aksesori yang sama dengan yang pernah kuberikan
pada teman masa kecilku saat aku masih SD?
“Yo, Suzu. Aku datang untukmu.”
Seseorang yang muncul dengan
senyum ceria yang menerangi kegelapan malam muncul di depanku. Dia adalah
seseorang yang aku kenal dengan baik.
“.... Rika. Jangan bikin kaget
aku napa.”
“Bukannya tanggapanmu terlalu
lesu banget? Padahal teman masa kecilmu yang tercinta datang untuk merayakan
kepindahanmu~”
Kishibe Rika. Seseorang yang
merupakan senior di sekolah SMA Orikita, dan dulunya adalah tetanggaku.
Sebelum keluargaku pindah ke [Residence Orikita], kami tinggal di
apartemen lain. Keluarga Kishibe, sama seperti keluarga kami yang terdiri dari
tiga orang, tinggal di rumah satu lantai yang berada di sebelah bangunan tempat
kami tinggal. Karena kami seumuran dan keluarga kami bersahabat sejak kecil,
aku dan Rika sudah saling mengenal sejak kecil.
Mata yang tampak kuat, tahi
lalat di sebelah kanan matanya, bulu mata yang melengkung seperti saat lompat
ski, bentuk hidung yang indah, dan bibir merah muda yang penuh. Karena kami
tidak pernah bertemu sejak aku pindah, wajahnya yang penuh keyakinan membuatku
merasa nostalgia.
“Apa jangan-jangan kamu merasa terharu?
Rika onee-san yang tercinta datang memberikan kejutan.”
“Aku benar-benar kaget. Lagian,
bagaimana kamu bisa melewati pintu masuk?”
“Hah? Aku hanya bertanya
nomornya pada ibumu. Setelah selesai kerja, aku berteriak 'Aku ingin pergi ke rumah Suzu!' di ruang belakang, dan dia
memberitahuku.”
Kesadaran keamanan ibuku
sungguh sangat rendah.
Rika bekerja paruh waktu
sebagai pelayan di restoran orangtuaku, “Aien Kien”. Dia telah bekerja shift
setiap hari akhir-akhir ini karena kesibukan musim liburan.
Rika dengan bangga memegang
kantong belanjaan dari lantai bawah toko sebuah department store.
“Ini puding yang ingin kamu
makan sejak dulu, Suzu. Meskipun terlambat, ini hadiah kepindahan untukmu.”
“Wah, serius? Terima kasih.”
Sejak dulu, Rika selalu
mengingat hal-hal kecil yang aku inginkan. Dia sangat perhatian.
"Dan ini adalah bumbu edisi
terbatas yang kau inginkan. Ini adalah kue hadiah, kaus kaki, dan celana yang
aku rasa cocok untukmu..."
“Enggak, engga, enggak, ini sih
terlalu banyak!”
Keperhatiannya terlalu
berlebihan, membuatnya terlihat seperti ibu yang datang dari desa untuk melihat
keadaan anak lelakinya.
“...Yah pokoknya masuk saja
dulu.”
“Yay! Permisi sebentar!”
Rika melepas sepatunya dan berjalan
dengan riang di koridor, dan aku mengikutinya dengan perasaan campur aduk.
☆ ☆ ☆
“Mulai sekarang, Rika-onee-san
akan memanjakan Suzu!”
Rika dengan santai menyatakan itu di
tengah ruang tamu. Sudah kuduga, ujung-ujungnya bakal begini, ya?
“Kamu pasti lelah karena pindah
rumah dan masuk sekolah baru, kan? Hari ini, kamu boleh bermanja-manja
sepuasnya,” kata Rika sambil menggelungkan lengan blusnya dan mendengus dengan
puas.
“Tidak usah repot-repot, niat
baikmu saja sudah cukup.”
“Jangan sungkan-sungkan. Nah, sekarang
coba ceritakan pada Rika-onee-san apa
yang kamu inginkan?”
Sejujurnya aku ingin dia tidak
melakukan apa-apa, tapi mungkin kalau aku bilang begitu, dia akan marah.
Rika membuka satu per satu isi
tas plastik yang dibawanya, selain dari hadiah kepindahan. Ada celemek, sarung
tangan karet, masker... semua itu perlengkapan dasar untuk pekerjaan rumah.
Sepertinya dia membelinya di toko diskon setelah selesai bekerja.
Rika suka merawatku dengan
berbagai cara. Itu sebenarnya hal yang baik, tapi ada satu masalah.
Jujur saja, Rika tidak pandai
dalam urusan rumah tangga.
Jika dia memasak, apinya akan
berkobar-kobar terlalu besar, jika menjahit, jarinya akan penuh dengan darah,
dan jika dia merapikan barang-barang, tiba-tiba ruangan menjadi lebih
berantakan. Motivasi dan keterampilannya tidak selaras.
Namun, katanya pelayanan di “Aien Kien” cukup terkenal. Rika sendiri
sepertinya lebih berfokus pada berkomunikasi dengan para pelanggan daripada
bekerja.
“Aku akan membantumu membuka
barang-barangmu dulu.”
“Itu sudah selesai.”
“Kalau begitu, bagaimana kalau
berbelanja?”
“Aku
baru saja melakukannya setelah pulang sekolah.”
“...kalau begitu mencuci
pakaian?”
“Malahan sudah disetrika juga.”
“Duhhh! Aku jadi tidak punya
pekerjaan sama sekali! Bukannya kamu terlalu rajin!?”
Rika terampil dalam aspek
memuji sambil marah.
“Rika adalah tamu, jadi kamu
boleh rebahan di sofa. Aku sudah cukup berterima kasih karena sudah dibawakan
oleh-oleh.”
“Begitu?”
Itulah perasaanku yang sebenarnya.
Bisnis keluarga Mamori bukanlah tempat kerja rodi yang mempekerjakan teman masa
kecil untuk beres-beres rumah setelah bekerja paruh waktu.
“Iya. Jadi, untuk sementara,
silakan cuci tanganmu dan berkumur dulu.”
“Okeee~.”
Rika berjalan ke arah wastafel
dengan cepat. Sementara itu, aku mulai menyiapkan makan malam untuk Yuzuki.
Namun, meski sudah lima menit
dan sampai sepuluh menit berlalu, Rika belum juga kembali. Tidak terdengar
suara gemuruh atau pun tanda-tanda dia mencari-cari barang di kamarku...
Tiba-tiba, terdengar teriakan
histeris dari ujung lorong. Apa yang terjadi?
Aku berhenti memasak dan
bergerak ke arah suara itu di wastafel yang ada di kamar mandi.
“Eh...”
Rika terjatuh di kamar mandi
yang banjir dengan air, ada ember yang terbalik di sisinya. Busa bertebaran di
mana-mana, termasuk di pintu kamar mandi dan langit-langit. Sabun yang mengalir
ke saluran pembuangan, itu dari kantong plastik tadi, tapi bukannya itu tidak
dimaksudkan untuk digunakan di kamar mandi, iya ‘kan?
"Rika-san, jelaskan apa
yang sebenarnya terjadi.”
Saat aku menatapnya dengan tatapan
mata dingin, Rika mengalihkan pandangannya kesana kemari, terlihat canggung.
“Eum... saat aku mencuci
tangan, aku melihat ember kamar mandi yang kotor, jadi aku... inign
membersihkannya begitu saja... Setelah mulai, rasanya semakin asyik...”
“Dan akhirnya, kamu terlalu
semangat hingga tergelincir di lantai yang basah dan berbusa.”
“...Iya.”
“Aku akan menyiapkan pakaian
ganti.”
“...Baik.”
Pada saat inilah aku
memperbarui daftar pekerjaan rumah yang tidak boleh dilakukan oleh Rika.
Beberapa menit kemudian, Rika
kembali ke ruang tamu setelah mandi. Dia mengenakan kaos dan celana panjang
yang dia ambil dari lemari pakaianku. Aku pikir kaosnya terlalu besar, tapi
karena sebagian tubuh Rika tumbuh dengan sehat, akhirnya ukurannya kelihatan
pas.
“Puding yang kamu berikan tadi,
aku sudah mendinginkannya di dalam kulkas jadi kamu bisa memakannya.”
“Okee~”
Rika duduk di sofa dan membuka
penutup puding.
“Apa kamu tidak memakannya,
Suzu?”
“Aku akan memakannya setelah
makan malam malam.”
“Eh, kamu masih belum makan
malam?”
“Akhir-akhir ini jadwal makanku
jadi tidak teratur.”
“Aku juga belum makan nih.
Kalau begitu, sebagai ucapan terima kasih karena sudah meminjamkanku pakaian
dan mandinya, hari ini aku yang akan...”
“Tolong biarkan aku yang memasak
untukmu!”
Mana mungkin aku akan
membiarkannya membuat kehebohan setelah aku pindah ke sini. Selain itu,
sebentar lagi Yuzuki akan pulang. Jika dia mengetahui kalau tetangga sebelahku
adalah murid baru yang sedang hangat diperbincangkan, rasanya pasti akan
merepotkan. Aku harus segera menyiapkan sesuatu yang cepat dan meminta Rika
untuk pulang hari ini.
“Baiklah, kalau begitu aku menyiapkan
sup ayam cincang untukmu...”
Sambil memakan puding, Rika
menatapku dengan mata setengah terpejam.
“...Rasanya ada yang aneh.”
“Eh?”
“Biasanya, meskipun sudah larut
malam, kamu selalu membuat masakan yang rumit. Apa kamu sangat ingin membuatku
pulang begitu cepat?”
“Eng-Enggak juga, kok?”
Terkadang, Rika menunjukkan kepekaan
yang aneh. Aku harus tenang, aku yakin kalau Rika belum mengetahui rahasiaku.
“Suzu, kamu menyembunyikan
sesuatu dariku, bukan?”
“Ap-Ap...!”
“Di saat seperti itu, pipi
kanan Suzu pasti akan berkedut. Menurutmu sudah berapa lama kita berteman sejak
kecil?”
Aku sama sekali tidak tahu. Aku
tercengang sekaligus teringat akan fakta bahwa aku tidak pernah berhasil
mengejutkan Rika dengan kejutan hadiah ulang tahun sebelumnya.
“Ah, aku jadi merasa sangat
kesepian. Teman masa kecilku pindah, dan kami secara emosional menjadi jauh~”
“Tidak, bukannya seperti itu,
sebenarnya ada keadaan khusus...”
“...Kupikir itu mustahil, tapi
jangan bilang kalau pacarmu akan datang?”
Nada suaranya tiba-tiba menjadi
lebih rendah. Kenapa dia tiba-tiba membicarkan tentang percintaan?
“Aku mendengar rumor aneh di
sekolah. ‘Sepertinya Mamori Suzufumi dari
anak kelas 2, telah menyatakan perasaannya pada Arisu Yuzuki.'”
Jantungku berdetak dengan
sangat kencang. Apa informasinya sudah sampai ke Rika?
“Tentu saja, aku tidak mempercayai
rumor tersebut. Suzu tidak tertarik pada idola, dan juga bukan penggemarnya.
Suzu adalah orang yang menghargai nilai-nilai dirinya sendiri.”
Tatapan mata Rika menatapku
sangat serius.
“...Jadi, bagaimana aslinya?”
Apakah tujuan dia sebenarnya
datang ke rumahku bukan untuk membantuku atau merayakan kepindahan, tapi untuk
menanyakan hal itu ?
Sekarang, sampai sebatas mana
aku bisa berkata jujur?
“Yu… Memang benar aku
menyatakan perasaanku pada Arisu Yuzuki. Tapi ada keadaan di balik kejadian itu.”
“Memangnya keadaan yang seperti
apa?”
Mana mungkin aku akan
membeberkan kalau Yuzuki adalah tetangga sebelahku. Oleh karena itu, aku tidak
dapat menceritakan bahwa ada pihak ketiga yang memergoki kami ketika aku
melakukan percakapan rahasia untuk menyembunyikan hubungan bertetangga kami.
Tapi, meskipun aku mengarang alasan acak seperti aku jatuh cinta pada pandangan
pertama, belum tentu dia akan mempercayainya. Dan yang terpenting, aku tidak
ingin berbohong kepada teman masa kecilku.
“Aku kebetulan bertemu Arisu Yuzuki
di ruang referensi, dan tepat setelah itu, seorang senior dari kelas 3 masuk.
Dia salah mengira kalau Arisu Yuzuki dan aku sedang melakukan sesuatu yang
tidak senonoh. Jadi, aku secara spontan berpura-pura menyatakan perasaanku.
Kupikir itu jauh lebih baik daripada ada rumor aneh yang menyebar. Kamu tahu
sendiri karena dia seorang idola.”
Aku sedikit berdalih supaya itu
tidak menjadi kebohongan yang terang-terangan. Tidak peduli seberapa besar
usaha yang kulakukan untuk melindungi kehormatan Yuzuki, rasanya sedikit
memilukan karena seolah-olah berusaha menipu anak kecil.
“...Hmm. Jika Suzu berkata
demikian, aku akan mempercayainya.”
Rika sepertinya tidak mengerti,
tapi sepertinya dia sudah meredakan amarahnya untuk saat ini.
“Biar kutanyakan sekali lagi,
kamu beneran tidak berpacaran dengan Arisu Yuzuki, ‘kan?”
“Kami tidak berpacaran, kok.
Itulah kenyataannya. Aku minta maaf jika sudah membuatmu khawatir, Rika.”
Aku meletakkan kedua tanganku
di depan wajahku dan dengan tulus meminta maaf kepada Rika.
“...Baiklah, aku mengerti. Jika
kamu mengatakan ada sesuatu yang harus kamu lakukan hari ini, aku akan pulang
sebentar lagi.”
“Maaf, aku akan menebusnya lain
kali.”
“Ngomong-ngomong, sepatu bot
siapa yang ada di ambang pintu?”
“Eh, aku yakin kalau Yuzuki
belum pernah datang ke rumahku...Ah.”
Rika, yang terbungkus dalam
aura nol mutlak, menuangkan puding ke dalam mulutnya sekaligus.
“Aku mau pulang saja!”
Rika membawa tas sekolahnya,
membanting wadah puding yang kosong ke atas meja, dan melangkah menuju pintu
masuk. Atau lebih tepatnya, apa dia berencana pulang dengan penampilan seperti
itu?!
“Dasar Suzu bodoh! Semoga saja
pudingnya tersangkut di bronkusmu dan membuatmu tersedakkkkk!”
Ketika aku mencoba mengejarnya,
dia menjatuhkan wadah kosong puding itu ke lantai, meninggalkan noda coklat
menyebar di atas keset dapur. Gawat, jika aku tidak segera menyekanya, saus
karamelnya akan meresap ke dalamnya.
“...Ahhh, sial!”
Saat ini, aku lebih memilih
Rika daripada keset dapur.
Ketika aku keluar ke lorong, Rika
sudah meletakkan tangannya di tuas pintu depan.
“Tunggu dulu, Rika!”
Rika mengabaikan teriakanku dan
meninggalkan ruangan. Aku melangkah keluar ke lorong umum dengan mengenakan
kaus kaki dan meletakkan tanganku di bahunya yang ramping.
“Lepaskan aku! Kenapa kamu
tidak bermesra-mesraan saja dengan idola populermu itu?!Kamu hanya menganggapku
sebagai pembantu yang bisa melakukan semua pekerjaan rumah tangga, bukan?!”
“Itu salah paham!”
Aku tidak pernah menganggap
sedikit pun kalau Rika pandai dalam pekerjaan rumah!
“Seperti yang kubilang tadi,
aku tidak berpacaran dengan Yuzuki...!”
“Tapi sepertinya kalian sangat
dekat! Kalau kalian sedekat itu, kenapa kalian tidak tinggal di apartemen yang
sama saja...”
“……Apa yang sedang kamu
lakukan?”
Itu adalah suara bermartabat
yang memecah keriuhan.
Aku dan Rika sama-sama melihat
ke arah kamar 810 secara bersamaan.
Dan di sana ada Yuzuki, yang
sedang memasukkan kunci ke dalam pintu rumahnya.
“...Hei, Suzufumi. Apa
maksdunya dengan pembantu yang berguna? Siapa wanita itu?”
Samar-samar aku berpikir jika
aku mencari frasa ‘seekor katak yang
dipelototi ular'’ di kamus, aku yakin situasi saat ini akan muncul sebagai
contohnya.
“...Apa kamu bisa menjelaskan
apa maksudnya ini?”
Dari kedua mulut itu, manakah
yang kini mengucapkan pertanyaan tersebut, Yuzuki atau Rika??
☆ ☆ ☆
“Hei, apa kamu yakin aku hanya
perlu mengaduknya saja?”
“Ah. Ini adalah tugas penting
yang hanya bisa dipercayakan pada Rika yang gigih.”
“Kalau begitu, aku akan
melakukan yang terbaik~”
Di sisi kiri meja rendah, Rika
sedang berkonsentrasi pada mangkuk di tangannya. Sepertinya dia berhasil
mengembalikan suasana hatinya. Memanfaatkan kesempatan itu, aku membungkuk pada
Yuzuki yang duduk di sisi kananku. Tidak peduli berapa banyak kebetulan yang
terjadi, seorang siswa di sekolah yang sama telah mengetahui bahwa Yuzuki dan aku
bertetangga.
“...Aku sudah memahami sebagian
besar situasinya. Awalnya ini disebabkan karena aku yang memanggil Suzufumi ke
ruang referensi, jadi Suzufumi tidak perlu meminta maaf segala.”
Aku sudah menjelaskan keadaan
minimumnya pada Rika tadi. Tempat aku pindah kebetulan berada di sebelah kamar
Yuzuki. Segera setelah aku melakukan tegur sapa dengan para tetangga, Yuzuki
hampir pingsan karena kelaparan. Selain itu, aku juga sering menyiapkan makanan
untuknya. Aku sudah menjelaskan kalau aku telah melakukan pengakuan palsu untuk
menghilangkan kecurigaan adanya perilaku tidak senonoh di sekolah, namun aku
ingin menegaskan kembali bahwa itu benar adanya.
“Maaf ya. Kamu bahkan memperbolehkan
Rika untuk masuk.”
“Tidak juga. Rasanya tidak enak
jika menyuruhnya pulang pada saat itu. Selain itu...”
Yuzuki melirik curiga ke arah
Rika yang sedang asyik mengaduk adonan di dalam mangkuk. Padahal mereka baru
saja menyelesaikan perkenalannya. Tidak, meskipun dia adalah teman masa
kecilku, dari sudut pandang Yuzuki, dia tetaplah gadis yang belum pernah dia
temui. Apa dia mencoba melihat sendiri apakah Rika adalah seseorang yang layak
dipercaya dan tidak akan mengungkapkan rahasia kepada orang lain?
“…Kamu mendengarkanku tidak,
Suzu?”
Rika menarik lenganku dan
mencoba mengarahkan seluruh tubuhku ke arahnya.
“Maaf, ada apa?”
“Adonan ini hampir tidak ada
bumbunya, ‘kan? Jadi, aku berpikir untuk menambahkan kecap asin, mirin, saus dan
mungkin sirup maple sebagai bahan rahasianya. Bagaimana menurutmu?”
“Terima kasih sudah bertanya
dulu. Tapi lebih baik dibiarkan saja apa adanya.”
Menu hari ini adalah okonomiyaki!
Mungkin karena merasakan
kecemasan yang terpancar dariku, Rika pun tersenyum.
“Jika kamu sangat khawatir,
kamu bisa terus mengawasiku, aku juga sedikit tidak pandai memasak.”
Sedkit, cuma sedikit, ya. Meski begitu, kesadaran
adalah langkah pertama untuk membuat kemajuan. Aku menikmati pertumbuhan teman
masa kecilku yang stabil. Sambil mengelap adonan yang tersebar di atas meja
dengan tisu.
“Baiklah aku mengerti, aku akan
memberi banyak bimbingan agar Rika bisa membuatnya sendiri—”
Aku merasakan ujung pakaianku
ditarik ke belakang.
Ketika aku berbalik, Yuzuki meletakkan
tangannya di ujung bajuku.
“..... Aku juga tidak pandai
memasak ...”
Yuzuki memiliki ekspresi wajah
yang tidak pernah aku lihat sebelumnya. Apa dia sedang mencoba memutuskan,
seberapa banyak jati dirinya yang ingin dia ungkapkan di depan Rika?
“Arisu Yuzuki-san, tolong jangan
ganggu saat aku sedang berbicara dengan Suzu sekarang—”
“Enggak ada salahnya ‘kan?
Bagaimanapun juga ini adalah rumahku.”
“Jika kamu mengatakan itu, maka
Suzu adalah milikku!”
“Tidak,
kata siapa aku adalah milikmu.”
Aku tanpa sadar memasukkan
tsukkomi terhadap perkataan Rika. Tidak ada baiknya jika aku menganggapnya
serius. Jika aku tidak bertindak sebagai penengah, okonomiyaki ini tidak akan
pernah selesai.
Aku menaruh adonan okonomiyaki
yang sudah disiapkan Rika di atas wajan yang sudah diolesi minyak. Bentuk
menjadi lingkaran dengan spatula dan buat lekukan ringan di tengahnya. Bagian
tengahnya sulit untuk dimasak, jadi aku sengaja membuat lekukan supaya membantunya
matang secara merata.
“.... Meski begitu, aku tidak
menyangka kalau idola yang digosipkan itu ternyata tetangganya Suzu.”
Rika, yang membasahi
tenggorokannya dengan teh oolong, menatap Yuzuki, yang duduk tepat di
seberangnya.
“Aku berhutang budi banyak hal
pada Suzufumi.”
Mungkin karena terinspirasi
oleh Rika, Yuzuki membalas dengan nada yang memiliki makna tertentu di
dalamnya.
Di seberang meja, kedua gadis
itu saling menatap tajam. Yuzuki di sebelah kanan, Rika di sebelah kiri.
Sementara itu, aku terus bekerja keras memasak, berubah menjadi karakter
sampingan juru memasak.
Kupikir kontes saling menatap mereka
akan berlanjut, tapi Rika diam-diam bergerak ke belakangku. Sepertinya dia
dengan cepat menyerah pada kekuatan mata Yuzuki. Layaknya bayi harimau yang
lahir di kebun binatang sedang mengancam hewan impor besar, dia mengintip dari
balik bahuku dan mengancam Yuzuki.
Sedangkan di sisi lain, Yuzuki tampak
memiliki senyum lembut di wajahnya. Namun, alih-alih berada dalam mode idol,
sepertinya dia hanya memberi tekanan pada Rika dengan senyuman palsu.
“...Asal kamu tahu saja, aku
tidak meminta Suzufumi untuk ‘membuatkanku
makan malam’. Aku merasa bermasalah kalau kamu menunjukkan permusuhan
seperti itu.”
Tidak ada tanda-tanda rasa
takut pada diri Yuzuki. Sebenarnya, dia bahkan melakukannya dengan tenang.
Tampaknya saat kami duduk mengelilingi meja setiap hari, kemampuanku untuk
merasakan perasaan Yuzuki yang sebenarnya telah meningkat pesat.
“...Jika kamu tidak menyukai
makanan Suzu, kamu bisa menolaknya kapan saja, ‘kan?”
“Aku sudah mencoba untuk
menolaknya...tapi karena aku akhirnya selalu memakannya jadi mau bagaimana
lagi.”
“Dengan kata lain, kamu
menyukai makanan Suzu, kan? Atau jangan bilang… kamu menyukai Suzu?”
“Su...!”
Yuzuki mengerutkan bibirnya dan
sedikit mencondongkan tubuhnya.
“Ka-Kamu sendiri juga apaan
sih? Bukannya dari tadi kamu terlalu dekat dengan Suzufumi?!”
“Aku sih tidak apa-apa karena
aku Onee-sannya Suzu.”
Rika menyandarkan berat
badannya di punggungku seperti anak kecil yang digendong.
“Yang ada justru kamu terlihat
seperti adik perempuannya...”
Apakah karena kepribadian Rika
yang mudah dimengerti, atau karena kemampuan interpersonal Yuzuki yang sangat
baik sehingga dia bisa melihat sifat aslinya dalam beberapa menit setelah
bertemu dengannya?
Mungkin karena Rika kurang
pandai bersosialisasi saat masih kecil, jadi dia masih punya cara unik dalam
berkomunikasi dengan teman-temannya.
“Jangan terlalu khawatir,
Yuzuki.”
Yuzuki nampaknya mulai kelelahan
karena diombang-ambingkan oleh ritmenya Rika, dan menggumamkan sesuatu dengan
kepala tertunduk.
“…Apaan sih, bertingkah lengket
seolah-olah itu hal yang wajar…”
“O-Oi, Yuzuki?”
“Eh, ya! Aku baik-baik saja!”
Kali ini, dia mengipasi
wajahnya dengan tangan untuk menyembunyikan kegelisahannya. Sudah kuduga, ada
yang aneh pada Yuzuki hari ini.
Upssh, sudah hampir waktunya
untuk memanggang adonan.
Aku memegang spatula dengan
kedua tangan dan membalik adonan dengan penuh semangat.
Okonomiyaki berwarna coklat
keemasan muncul. Aroma tepung yang unik menyebar ke seluruh ruangan, dan
suasana akhirnya menjadi rileks.
Mari kita periksa bahan-bahan
untuk sentuhan akhirnya sekarang. Serpihan bonito, rumput laut hijau, dan saus
sudah tersedia di atas meja. Kalau dipikir-pikir, aku masih punya sisa acar
jahe merah dari Yakisoba.
“Aku akan mengambil acar jahenya
dulu.”
“Eh, bukannya kamu meninggalkan
acar jahe merah di kulkasku?”
Bahu Rika tersentak.
Seperti yang diberitahukan, aku
membuka kulkas milik Yuzuki dan menemukan Tupperware yang berisi jahe merah
tergeletak di sudut.
“Ohh beneran ada, tak disangka
kamu mengingatnya dengan baik.”
“Yah itu sih karena kamu
membuatkan makanan setiap hari.”
Bahu Rika semakin tersentak.
“..... Suzu, aku akan
menyiapkan mustard mayo spesialku yang biasa untuk saat ini.”
“Oh, terima kasih…..Sekedar
ingin memastikan saja, apa kamu baik-baik saja?”
“Cuma sebatas ini saja sih aku
bisa menyiapkannya sendiri kali. Ditambah lagi aku sudah memakannya puluhan
kali di rumahmu.”
Kali ini, giliran bahu Yuzuki
berkedut dan bergetar. Keduanya tampaknya memiliki gelombang listrik lemah yang
mengalir melalui tubuh mereka. Dan entah kenapa, aku merasakan suasana yang
tadinya sudah mengendur menjadi tegang kembali.
“Ba-Baiklah! Okonomiyakinya
sudah hampir selesai, lo!”
Naluriku mengirimkan sinyal
peringatan bahwa akan berbahaya jika melanjutkan hal ini lebih jauh. Jadi aku bergegas
untuk menyelesaikannya.
Aku menggeser okonomiyaki ke
tepi hot plate dan mengolesinya dengan saus khusus. Aku lalu menggunakan piping bag untuk membuat mustard mayo
menjadi gelombang. Setelah bagian kulitnya selesai, aku menambahkan sentuhan
rumput laut hijau dan serpihan bonito. Setelah itu, aku memotongnya menjadi
enam bagian yang sama dengan spatula dan meletakkannya di piring kecil Rika dan
Yuzuki.
“Sekarang, kalian berdua,
silahkan dinikmati.”
“Itadakimasu!”
Rika kembali ke depan meja dan
tanpa ragu-ragu lagi langsung memakan okonomiyaki dengan sumpit.
“Wow, adonannya sangat lembut
dan empuk!”
“Yah karena aku menambahkan ubi
ke dalamnya.”
Dia kemudian memotong
okonomiyaki dengan sumpit dan memasukkan satu suap besar ke dalam mulutnya.
“Bagian dalamnya terasa
meleleh! Seafoodnya begitu renyah! Saus mayonya juga yumi!”
Sementara Rika terus menyantap
makanannya dengan lahap, porsi makanan Yuzuki justru masih belum tersentuh.
Biasanya, aku akan beradu argument dengannya di sini, tetapi hari ini Rika juga
ada bersama kami, jadi aku tidak tahu bagaimana cara menyerangnya.
“Makanan Suzufumi...”
“Eh?”
Yuzuki memegang sumpit atas
kemauannya sendiri.
“.... Makanan Suzufumi bukan
hanya untuk Kishibe-san saja!”
Dengan mata penuh tekad
seolah-olah dia mencoba bungee jumping, dia membawa okonomiyaki dengan sumpitnya.
Saat dia memasukkannya ke dalam
mulutnya, ekspresi Yuzuki menjadi secerah langit biru yang telah menerbangkan
awan.
“Wahh, rasanya benar-benar
empuk ...!”
Kali ini, dia membawa potongan
itu dengan kuat ke dalam mulutnya.
“Aroma kubis dan ubi yang kaya,
serta aroma laut dari udang dan gurita berpadu untuk menciptakan sisa rasa yang
lengkap. Saus spesial dan mustard mayo memiliki keseimbangan yang tepat antara
pedas dan manis...”
“Benar sekali! Resep yang
disempurnakan Suzu selama bertahun-tahun juga digunakan di restoran Ibu dan
Ayahnya!”
Mereka berdua, yang baru saja
bertengkar satu sama lain, kini menikmati hidangan yang sama dengan senyuman di
wajah mereka.
Inilah pesona okonomiyaki.
Setiap orang setara dalam hal
okonomiyaki, seolah-olah bahan-bahan yang bertolak belakang dari laut dan
pegunungan bekerja bersama dalam satu adonan. Komunikasi universal dari sebuah
hidangan bisa dengan mudah melampaui posisi dan hubungan seseorang.
Makanan yang enak bisa membuat
orang tersenyum. Tidak ada pertengkaran maupun bentrokan.
Inilah yang dimaksud dengan
perdamaian dunia.
Okonomiyaki adalah makanan simbol
perdamaian yang dibanggakan negara kita!
Saat aku sedang memasak
hidangan kedua, aku merasakan tatapan tajam dari orang di sebelah kiriku. Rika
menatapku sambil memegang sumpitnya.
“Jangan memanggangnya terus,
Suzu juga harus memakannya.”
“Jangan khawatirkan aku. Aku
akan membuatnya sendiri setelah kalian berdua kenyang.”
Namun, Rika meletakkan sumpitnya
sendiri dan mengambil milikku. Lalu dia mengangkat okonomiyaki di atas hot plate. Jangan bilang dia akan
melakukan....
“Ah~n♪”
Jika kamu memikirkannya secara
normal, ini mungkin situasi yang membahagiakan. Namun, hidangan yang di
sodorkan di hadapanku adalah okonomiyaki yang belum dipotong. Apalagi yang
masih panas karena baru saja selesai dipanggang.
“Rika, ukuran yang segini tidak
akan muat.”
“Ah~♪”
Rika tampaknya memiliki niat kebaikan
yang murni. Aku mengambil keputusan dengan bersiap diri dan membuka mulutku.
“Ah, ahnn... aduh panas!”
Suhu di mulutku langsung
melonjak tajam, seolah-olah aku sedang dimasukkan batu bara yang panas. Aku
dengan panik menggulung-gulung okonomiyaki dengan lidahku untuk menghilangkan
rasa panasnya. Aku segera menindaklanjutinya dengan secangkir teh oolong untuk
mendinginkan mulutku.
“Suzufumi, sini, sini.”
Saat aku melihat ke sisi lain
Rika, aku melihat Yuzuki dengan mulut terbuka. Tangannya tidak memegang sumpit
sama sekali.
“Ahhn~”
“Apa?”
“Habisnya, kamu ingin aku makan
banyak, kan?”
“Itu sih...”
Mulut Yuzuki yang tak berdaya
berada tepat di depanku. Giginya yang putih bersih tertata sempurna, dan meski
sedang memakan okonomiyaki, tidak ada rumput laut hijau atau serpihan bonito di
giginya.
“Karena Kishibe-san membuat
Suzufumi ahhhhn, jadi Suzufumi harus melakukan
ahhhhhhn padaku juga. Ayo, ayo, ini
kesempatanmu untuk membuatku jatuh cinta padamu, kan??”
Untuk beberapa alasan, hari ini
Yuzuki bertingkah lebih agresih dalam makanan daripada biasanya. Tentu saja ini
kesempatan yang bagus untuk menyerang. Namun, ketika aku berhadapan dengan
Yuzuki, yang menutup kelopak matanya dan membuka mulutnya dengan tenang, aku
merasa seperti melakukan sesuatu yang seharusnya tidak boleh aku lakukan.
“Ayo, cepatan, ahhhhhnn”
“Ahhhhhn”
Dengan tangan gemetar, aku
hendak membawa okonomiyaki ke mulut Yuzuki.
“Ya, ini dia!”
Tiba-tiba, tangan Rika muncul
dari sampingku.
“Mugu!”
“Menggantikan Suzufumi, aku
akan membiarkanmu makan sebanyak yang kamu mau. Ayo makan yang banyak~”
“Mmm, mm, mmm!!”
Mulut Yuzuki terlihat seperti
hamster yang sedang mengumpulkan makanan saat okonomiyaki dimasukkan ke dalam
mulutnya satu per satu seperti wanko soba.
“Mmm... Puhaa! Tunggu, apa sih
yang sudah kamu lakukan ?!”
“Habisnya kamu ingin disuapi,
iya ‘kan? Bukannya itu bagus~.”
Untuk kesekian kalinya hari
ini, mereka berdua kembali saling bertatapan. Di tengah-tengah mereka berdua,
tepat di depanku, seolah-olah ada percikan api yang terbakar. Tak satu pun dari
mereka yang ada niatan mau mundur sama sekali.
Yuzuki dan Rika mengambil
tindakan pada saat yang bersamaan.
Tangan Yuzuki terentang dari
sisi kanan, dan tangan Rika terentang dari sisi kiri.
““Ayo, ahhhhh~n””
Okonomiyaki yang baru saja
matang, tepat berada tepat di depanku.
““Nee, siapa yang kamu
pilih?!””
Aku meletakkan spatula di atas hot plate dan menghela nafas dalam
suasana hati yang suram.
Aku pikir mereka berdua
berlawanan, tapi mereka justru bisa bertindak secara bersamaan dengan begitu
sempurna.
Sebelumnya | Daftar isi | Selanjutnya