Chapter 13 —
Berbeda Dari Film Romantis
Aku menonton film tentang kisah
percintaan...
Film tersebut bercerita
mengenai di mana karakter utama kembali ke masa lalu dan memulai kembali dengan
pacarnya. Di akhir bagian film, ada banyak penonton yang meneteskan air mata.
Hanazono yang duduk di sebelahku juga ikut menangis. Sedangkan aku tidak bisa
menangis sama sekali.
Aku bisa memahami alur ceritanya.
Namun, aku masih belum memahami nuansa emosi. Rasanya jauh lebih menyenangkan
menghitung jumlah staf di bagian akhir kredit film.
Karena aku tidak tahu bagaimana
menghadapi Hanazono yang menangis, jadi aku mengajaknya untuk pergi ke kafe.
Saat kami tiba di kafe,
Hanazono sudah pulih sepenuhnya. Dia berkata, “Haa, rasanya puas sekali!” Tapi bukannya tadi dia baru saja
menangis? Aku menyingkirkan keraguanku dan memasuki kafe.
Inilah tujuan utama dalam acara
hari ini. Aku sangat menantikan untuk pergi ke kafe yang terkenal mempunyai jus
yang lezat.
Bahkan setelah memasuki kafe,
Hanazono masih terjebak dengan adegan akhir filmnya. Aku lebih bersemangat
dengan menunggu kedatangan jus yang aku pesan daripada film yang baru saja
selesai.
“Maksudku, aku merasa sangat
kasihan pada tokoh wanitanya tau? Tokoh protagonis pria itu sangat menyebalkan...”
“Ap-Apa iya? Sebelah mananya
yang membuatnya menyebalkan?”
“Si protagonisnya sangat payah
sekali, dan si tokoh wanitanya justru mengorbankan segalanya, dan... dia tidak
pernah bisa jujur...”
“...Begitu ya, jadi prediksiku
tidak salah. Protagonisnya memang seorang pria tak berguna.”
“Ya, aku tidak akan terkejut
jika tipe orang semacam itu ditikam dari belakang.”
“Sa-Sampai segitunya...aku
mulai sedikit penasaran.”
“Hah? Kamu memangnya tidak
menikmatinya saat menonton bersamaku!?”
“Aku bisa memahami isi
ceritanya, tapi aku masih belum bisa memahami seluk-beluk emosinya.”
“Hah… apa boleh buat deh, aku
akan mengajarimu!”
“Um, tolong. Mmm, jusnya sudah ada
di sini. Hanazono, ini jusnya.”
Pelayan kafe meletakkan jus di
atas meja. Meski berjauhan, namun kualitas aroma yang tercium di udara sangat
jauh perbedaannya. Jus Hanazono memiliki rasa tropis, dan jus pesananku mempunyai
rasa buah beri hutan.
“Kamu sudah sangat
menantikannya, bukan? Pokoknya ayo kita minum dulu.”
Aku mengangguk dan dengan
hati-hati membawa jus itu ke tanganku. Aroma yang kuat menggelitik lubang
hidungku. Aku bisa membayangkan diriku berada di hutan. Itu bukanlah hutan
lembab tempat dimana aku harus bertahan hidup. Melainkan hutan dengan aroma
pepohonan yang menyegarkan dan terasa seperti terhubung dengan padang rumput
yang luas.
Aku mulai mencicipi jus melalui
sedotan tebal.
——Aku menerima kejutan yang
luar biasa.
Kupikir sel-sel di otakku telah
hancur. Keseimbangan antara rasa, kemanisan dan kekayaan rasanya sungguh luar
biasa. Blueberry dan blackberry yang digunakan sebagai bahan
dasar pasti berasal dari dalam negeri. Air alami digunakan. Usai meminumnya,
ada sensasi luar biasa segar dan sejuk yang menjalar ke tenggorokan. Selain
itu, ada es serut yang terbuat dari jus. Ini menciptakan aksen yang sangat
bagus.
Aku tidak bisa mengungkapkannya
dengan kosakataku yang terbatas.
“Rasanya lezat.”
Hanya itulah satu-satunya kata
yang keluar.
Tiba-tiba aku merasakan tatapan
kuat dari Hanazono. Aku tidak mempedulikannya karena aku terlalu asyik minus
jus, tapi anehnya wajahnya terlihat memerah.
“Ada apa? Apa kamu lagi demam?”
“Ah, ya, aku hanya berpikir kalau
rasanya sudah lama sekali aku tidak melihat Tsuyoshi tertawa.”
“Aku tertawa? Tidak, bukannya
aku pernah tertawa sebelumnya?”
Aku menyentuh wajahku sendiri. Begitu
ya, sudut mulutku pasti terangkat dan terlihat seperti sedang tersenyum.
"Hmm, sudah lama aku tidak
melihatmu tersenyum natural seperti itu. Wajahmu yang tersenyum selalu membuat
hatiku berdegup.”
“Ap-Apa iya... Kalau
dipikir-pikir lagi, Hanazono juga sedang tertawa saat meminum jusmu.”
Hanazono, yang wajahnya
memerah, tampak bahagia. Mungkin ini bisa disebut senyuman yang indah. Hanazono
berkata kepadaku dengan suara ceria dan gembira——
“Hatiku sedikit deg-degan saat
melihatmu tertawa, baka.”
Hanazono yang selalu kuat dan
penuh semangat memberontak, tampak seperti gadis yang jujur dan
manis. Aku merasakan sesuatu yang lebih kuat daripada kejutan jus. Tapi aku
tidak tahu apa itu. Aku tidak perlu memahaminya sekarang. Aku akan memahaminya
sendiri ketika waktunya tiba.
“Ngomong-ngomong, selanjutnya
kita akan pergi kemana?”
Alis Hanazono berkedut jengkel.
Dia kelihatan agak menakutkan.
“Ya ampun! Kita baru dua puluh
menit sejak masuk kafe, tau!? Kita bisa mengobrol santai dulu tentang film yang
baru saja kita tonton! ...Kamu juga mengobrol sambil makan kue bersama
Tanaka-san, bukan?”
――Pada
saat itu, kami membicarakan banyak hal sampai-sampai kami lupa waktu.
“Ah, benar, maaf soal itu.”
Benar. Kurasa aku harus
meluangkan waktu untuk bersantai sekarang...
Hanazono berbicara kepadaku
dengan ekspresi riang gembira. Aku sesekali membalasnya meskipun perkataanku
sedikit terbata-bata.
Waktu berlalu perlahan dan
lambat.
Aku merasa pikiranku menjadi
lebih nyaman dan tenang….
◇◇◇◇
Setelah meninggalkan kafe, kami
menuju ke toko umum di pusat perbelanjaan.
“Kamu jangan sampai tidur napa!
Ayo, sekarang kita akan belanja!”
Setelah meminum jus dan merasa
kenyang, aku mulai merasa mengantuk. Namun, masih ada acara yang tersisa.
“Umu, aku memang harus pergi
berbelanja.”
“Ya iyalah, kamu harus
mencarikan hadiah untuk Tanaka-san sebagai hadiah terima kasih atas kuenya!
Dari yang kudengar, kelihatannya dia sering membantumu di pekerjaan paruh waktu!”
“Ah, aku sangat terbantu karena
kamu bisa menemaniku untuk memilih hadiahnya, Hanazono.”
Bagian dalam pusat perbelanjaan
itu sangat besar. Ada begitu banyak toko sehingga aku mungkin tidak akan pernah
bisa berbelanja jika aku pergi sendirian.
“Ayo pergi ke toko umum yang
ada di lantai tiga!”
“Dipahami.”
Ada banyak barang di toko umum
yang mungkin disukai para gadis. Toko ini dipenuhi dengan barang-barang yang tidak
aku ketahui apa kegunaannya.
“Tanaka-san ya~, Dia itu gadis
yang sangat modis, ‘kan? Karena kamu ingin berterima kasih atas kuenya, jadi
mungkin sesuatu yang tidak terlalu mahal bisa menjadi pilihan yang baik.”
“Begitukah? ...Ini apaan?”
“Ini namanya roller wajah. Hei,
Tanaka-san tuh punya hobi apa?”
“Entah, aku tidak tahu.”
“Hmm~, kalau begitu kita bisa
memilih barang yang mungkin dia sukai...Ah, gantungan ini kelihatan lucu!! Tapi
sepertinya itu bukan barang yang mungkin disukai Tanaka-san. Mungkin sesuatu
seperti garam mandi?”
Hanazono meletakkan gantungan
kunci dengan boneka binatang kecil di atasnya dan mengambil garam mandi.
“Ah, dia bilang kalau dirinya
suka mandi. Hanazono, ayo kita beli ini saja.”
“Tu-Tunggu. Kamu harus memikirkan
banyak hal sebelum membeli hadiah! Kamu tahu, yang begitu lebih menyentuh hati,
‘kan? Jadi ayo kita berkeliling dulu.”
“U-Umu. Kalau begitu, aku penasaran
dengan dumbbell yang di sana.”
“Kalau yang itu sih enggak boleh!
Ayo kita pergi ke sana!”
Hanazono mencoba meraih tanganku
seperti dulu. Namun, dia menarik kembali tangannya di tengah jalan. Aku bisa
melihat sekilas keraguan di wajahnya.
“Ahaha, kalau aku melakukan itu,
Tanaka-san pasti akan marah padaku.”
“Kenapa Tanaka akan marah
padamu? Kalau mau berpegangan tangan, kamu bisa melakukannya seperti
sebelumnya.”
“Ya...tapi sekarang enggak
dulu. Ayo sebelah sini, sebelah sini.”
Hanazono meletakkan tangannya
di belakang punggungnya. Aku sedikit khawatir, tapi berbelanja adalah
prioritasku saat ini. Kami berjalan di sekitar aula. Selain toko umum, kami
juga mengunjungi toko pakaian dan toko aksesoris. Ke mana pun kami pergi, Hanazono
menjelaskan kepadaku mengenai apa yang disukai wanita.
Ekspresinya tampak
bahagia...tapi kenapa dia terlihat sedikit sedih?
Kami menghabiskan waktu lama
berkeliling pusat perbelanjaan dan akhirnya memutuskan untuk membeli garam
mandi modis pertama yang kami temukan tadi.
Pelayan toko membungkus garam
mandi dengan rapi, dan aku memasukkannya ke dalam tas. Tiba-tiba, aku merasakan
perubahan pada otot-otot di wajahku. Ketika aku menyentuhnya dengan tanganku, aku
menyadari kalau ekspresi wajahku tampak longgar. Hanya dengan memikirkan
memberikan hadiah kepada seseorang saja sudah membuatku merasa sangat
emosional.
Setelah selesai berbelanja,
yang tersisa hanyalah pulang. Hanazono juga mengetahui hal itu. Kakiku menuju
pintu keluar pusat perbelanjaan.
Ekspresi wajah Hanazono tampak
seperti anak kecil. Seolah-olah dia berada di bus di akhir perjalanan sekolah
yang menyenangkan.
...Karyawisata sekolah ya. Aku
teringat betapa sepinya tamasya SMA-ku ketika aku tidak sekelas dengan
Hanazono. Aku menggelengkan kepalaku dan berhenti memikirkan diriku sendiri.
——Pada saat itu, pusaran
kenangan mengalir deras di kepalaku. Itu adalah kenanganku tentang Hanazono.
[Tunggu,
kenapa kamu tidak tahu tentang ini?!]
[Dasar
bodoh, ini kamar mandi wanita!! Kalau kamu, pergilah ke sana!]
[Aku
ingin pulang bersama teman-temanku, tapi aku sedang menjagamu. Seriusan, ampun
deh.]
[Hei,
anak-anak cowok. Apa kalian mengolok-olok Tsuyoshi? Cuma aku satu-satunya yang
bisa mengolok-olok orang ini!!]
[Ya,
ya, kamu sudah berlari maraton dengan sekuat tenaga. Kamu tidak melakukan
kecurangan apapun. Aku akan membuatkanmu nasi kepal hari ini, jadi ayo
bergembiralah...]
[Kenapa
kamu tidak memberiku hadiah ulang tahun? Ulang tahun adalah hari yang sangat
penting, tau!]
[Hah? Kamu ingin bersekolah di
SMA yang sama? ...Ak-Aku terlihat bahagia? Itu sama sekali tidak benar, bodoh!]
[Pagi!
Kamu sudah menjadi siswa SMA mulai hari ini, jadi lakukan sesuatu untuk mengatasi
kepalamu yang berantakan.]
[Haa,
rambutmu masih saja kelihatan berantakan.... Yah, terserah, ayo makan es krim
bersama dan pulang hari ini!]
Aku berhenti. Aku tidak bisa
menghentikan kenangan yang terus mengalir.
Saat aku bertemu dengan Hanazono,
saat hari festival olahraga, saat aku diintimidasi di kelas, saat aku ditinggal
sendirian dalam kelompokku, saat aku ditinggal sendirian dalam karyawisata,
saat kami berdua pergi keluar bersama, saat kami berkeliling festival bersama,
saat aku menghadapi seorang gadis yang mencoba menjatuhkan Hanazono di
belakangnya, saat Hanazono memarahiku, saat aku melupakan hari ulang tahunnya…...
Bilah kenangan itu sangat
menyayat hatiku. Hati yang terbuat dari baja tidak akan terluka. Namun--
“Tsuyoshi? Ada apa?”
“...Maaf, bisakah kamu menunggu
di sini sebentar?"
“Eh, tunggu!? Kamu mau
kemana!?”
“Toilet.”
“Hah? Bukannya kamu baru saja
pergi ke sana!?”
“Aku akan segera kembali.”
Aku mulai berlari di dalam
pusat perbelanjaan.