Chapter 5 —
Gadis yang Namanya Tidak Kukenal
Sambil membawa sepatu kulitku
yang rusak, aku menuju ke toko sepatu di pusat perbelanjaan. Dorongan yang
tadinya menggebu-gebu, sekarang mulai menjadi tenang saat aku berjalan.
Semuanya baik-baik saja sekarang.
Ada banyak siswa dari sekolahku
di jalanan pusat perbelanjaan.
Ada banyak siswa dari sekolah
lain juga. Ada beberapa murid yang memiliki gaya rambut seperti ayam jago atau
rambut pirang yang nongkrong di depan minimarket.
Seperti yang pernah Hanazono
katakan padaku, mereka adalah anak-anak nakal, dan mereka tampaknya menganggap
diri mereka sebagai penjahat. Itu adalah sesuatu yang tidak aku pahami.
Padahal ini bukan daerah kumuh
atau apapun. Yang ada justru arean ini merupakan daerah perumahan yang bagus.
“Tuh orang napa dah? Kenapa Ia
tidak memakai sepatu?”
“Bener banget, ia keliahatan
sangat culun.”
Tatapan para anak berandalan
itu tertuju padaku. Kurasa aku tidak perlu terlalu mengkhawatirkan mereka. Aku
hanya ingin membeli sepatu kets sesegera mungkin. Kira-kira ...... jenis sepatu
seperti apa yang harus aku beli?
Sejujurnya, aku tidak memiliki
selera dalam memilih benda yang akan aku kenakan. Sudah berapa kali Hanazono
mengatakan kalau aku ini cukup norak?
Tiba-tiba, aku melihat kaki
para anak berandalan itu. Tak disangka mereka memakai sepatu kets yang keren.
Jadi begitu, kurasa aku harus membeli sepatu kets semacam itu.
Aku ingin mendekat dan
memeriksa jenis sepatu kets mereka.
Aku mendekati para berandalan
yang ada di depan minimarket.
“Hahh? Apaaan loe? Mau ngajak
berantem, hah?”
“Muka loe kelihatan nyebelin
banget, cepat pergi sana.”
Aku ingin bertanya kepada
mereka di mana mereka membeli sepatu itu. Tapi aku tidak memiliki keberanian
untuk berbicara dengan orang asing.
Mmmm, untuk saat ini, aku akan
mengingat model bentuknya saja dulu dan membeli sepasang sepatu kets yang
serupa.
“Jangan ngabaikan gue napa!!
Ahhh apaan loe!”
Salah satu cowok berandalan itu
meraih pundakku dan mendorongku. Aku tidak terlalu peduli tentang hal tu. Hal
semacam ini sering terjadi. Karena pihak lain sudah bersusah payah
berkomunikasi duluan, jadi kurasa aku bisa memberanikan diri untuk bertanya
kepada mereka.
“Sepatu kets itu mereknya
apaan? Katakan padaku.”
“... Hah? Apa-apaan dengan
orang ini?”
Sudah kuduga, berkomunikasi
masih merupakan hal yang sulit. Para berandalan itu tidak mau memberitahuku.
“Oi, tunggu dulu. Bukannya
cowok ini adalah Toudo yang pernah dibicarakan Hime?”
“H-Hah? Apa kamu ingin bilang
kalau cowok ini adalah [Toudo] yang
itu? Yang bener aja kali? Bukannya ia kelihatan suram banget!”
“Dasar bego! Bukannya mukanya
sangat mirip dengan potret yang digambar Hime?”
“Setelah kamu bilang begitu,
memang ada mirip-miripnya...”
“Maaf, tapi apa kamu bisa
memberitahuku merek sepatu kets itu? Aku akan memberikan kalian permen sebagai
balasannya.”
Anak berandal itu melepaskan
tangannya dari pundakku dan measang wajah kesulitan. Sebenarnya apa yang
terjadi? Mengapa kami tidak bisa melakukan percakapan dengan lancar? Memangnya
ada yang salah dengan wajahku?
Pada saat itu, seorang gadis
yang mengenakan pakaian mencolok keluar dari minimarket. Salah satu dari anak
berandal itu menyapanya, “Ah, Hime, halo !!”
Aku tidak tahu bagaimana
menghadapi lebih banyak orang. Mau tak mau aku jadi merasa gelisah.
“Kalian tuh berisik banget sih.
Padahal aku tadinya berniat memakan kue sus ..., Hwee?”
Aku melakukan kontak mata
dengan gadis yang berpakaian mencolok itu. Aku merasa pernah melihat gadis ini
di suatu tempat. Namun, aku tidak memiliki kenangan berbicara dengan gadis yang
berpakaian mencolok seperti ini. Mungkin itu ada dalam ingatanku yang hilang.
Dia memiliki riasan yang lebih
tebal daripada Tanaka. Matanya terlihat sangat menonjol. Sepertinya dia
menggunakan riasan yang mencolok supaya terlihat menonjol walaupun dilihat dari
kejauhan.
Dia mengenakan pakaian fashion
yang tidak dapat aku pahami. Meskipun pakaiannya terlalu terbuka dan memamerkan
beberapa bagian yang sensitif, tapi itu tidak masalah jika aku tidak
melihatnya.
Namun, mengapa wajahnya terlihat
memerah?
“T-T-T-T-T-T-T-T-T-Toudo!?
A-Aku sudah lama ingin bertemu denganmu...”
“Maaf, tapi wajahmu
kelihatannya sangat merah, apa kamu mengidap penyakit kronis tertentu? Jika
kamu mau, aku bisa merekomendasikan dokter ahli yang bagus untukmu.”
“T-Tidak, bukan begitu! Jangan
bilang kalau kamu benar-benar tidak ingat? Tapi, tidak masalah! Uh, apa yang
sedang kamu lakukan sekarang, Toudo?”
“Aku? Aku hanya ingin membeli
sepatu kets keren dan ingin tahu merek sepatu apa yang dia pakai.”
“Baiklah, aku mengerti! Aku akan
membantumu untuk memilihnya!”
Ada sesuatu yang aneh sedang
terjadi.
Mengapa gadis ini begitu baik
padaku? Satu-satunya kesempatan di mana aku didekati oleh perempuan di jalan,
biasanya merela akan menjual lukisan atau mengajak bergabung dalam agama
tertentu.
...Dia tersenyum dengan wajah
yang cerah. Dia pasti bukan anak yang jahat.
“Baiklah, tolong bantu aku. Apa
teman berandalmu baik-baik saja?”
Ketika aku berkata begitu, para
anak berandalan tadi sudah meninggalkan tempat ini.
“Ya, tidak apa-apa. Ayo ikut
aku!”
Aku merasa tanganku digenggam.
Aku merasakan aroma seperti lavender dari gadis berandal yang dipanggil Hime.
Ketika aku mencium aromanya, hatiku menjadi tenang.
Dengan demikian, aku dan Hime
pergi ke toko sepatu.
◇◇◇◇
“Terima kasih banyak sudah
berbelanja!”
Aku dengan mudah mendapatkan
sepatu kets yang keren. Hime memiliki selera yang bagus. Aku ingin memberikan
sepatu kulit yang rusak kepada petugas toko untuk dibuang, tapi aku berubah
pikiran pada saat-saat terakhir.
Jika aku memperbaikinya, aku mungkin
dapat menggunakannya lagi.
Aku memutuskan untuk menyimpan
sepatu kulitku ke dalam tas dan membawanya pulang.
Setelah itu, entah kenapa aku
dan Hime terus berjalan-jalan di pusat perbelanjaan.
Aku merasa jarak antara kami
terlalu dekat, tapi mungkin itu hanya perasaan jarak yang biasa dilakukan oleh
Hime.
“Sepatu itu benar-benar cocok
padamu, iya ‘kan!? Tapi beneran deh, kamu sama sekali tidak berubah sedikit pun
sejak waktu itu...”
“Umm, maaf, aku sama sekali
tidak memiliki ingatan bertemu denganmu.”
“Ehhh, walaupun ada kejadian
yang seperti itu terjadi? Padahal waktu itu benar-benar gila!”
Wajah Hime menjadi sedikit
suram. Apa kami mengenal satu sama lain?
“Apa kamu beneran tidak ingat
masa SMP dulu? Saat aku diculik oleh para preman, kamulah yang menyelamatkanku.”
“Maaf, aku tidak mengerti
maksudmu.”
“Walaupun suasanamu saat di
sekolah sangat berbeda, tapi aku yakin kalau itu pasti kamu.”
“Mungkin kamu salah orang?”
“...Hey, apa kamu benar-benar
lupa kalau kita adalah teman sekelas di SMP?”
“...Hah, masa?”
Masa-masa SMP adalah masa yang
penuh dengan kesedihan. Mungkin aku gagal melakukan reset dan kehilangan
ingatan tentang dirinya.
Aku tidak ingat karena hal itu tidak
ada dalam ingatanku. Tapi itu adalah hal yang umum terjadi, jadi kemungkinannya
tinggi.
Ketik aku terlihat kesusahan
dalam menanggapi perkataannya, Hime tersenyum dengan ekspresi kaku.
Apa dia terlalu memaksakan
dirinya? Apa ini salahku?
“Tidak, kamu tidak perlu
khawatir! Ehehe, ini hanya kepuasan diriku sendiri.”
“Oh, kalau begitu aku tidak
mengkhawatirkannya.”
“Hah!? Seenggaknya kamu harus
mengkhawatirkannya sediki, kek!”
“Ja-Jadi mana yang kamu mau?”
Hati wanita memang sangat
rumit. Meskipun kita hanya berkomunikasi sedikit, itu sudah cukup membuat
kepalaku pusing. Aku sama sekali tidak bisa mengerti isi pembicaraannya.
Setelah menuruni bukit di jalan
perbelanjaan, kami tiba di depan stasiun.
“Di masa SMP, aku hanya
menganggapmu sebagai orang aneh. Menyaksikanmu saja sangat menyakitkan. Itulah
sebabnya gengnya aku melakukan hal-hal buruk padamu.”
“Pada waktu itu, aku tidak
terlalu memahami apa yang normal. Jika bukan karena Hanazono, keadaannya
mungkin akan lebih buruk lagi.”
“Hanazono, ya... Dia memang ada
di sana.”
“Meskipun kami sudah tidak
berteman lagi, tapi dia memang gadis yang baik.”
Ketika aku mengatakan hal itu,
Hime melepaskan kata-kata yang tajam.
“Hah? Kamu…jangan-jangan... Itu
pasti tidak boleh, kan!? Kamu boleh saja melupakan tentang diriku sendiri, tapi
asalkan jangan Hanazono...”
“Hm? Aku hanya tidak lagi berhubungan
dengannya. Aku belum melupakannya.”
Hime menatapku dengan tatapan
mata sedih.
“Hal semacam itu, sangat
menyedihkan tau...”
Aku tidak mengerti apa
maksudnya. Hime mencoba menyampaikan sesuatu dengan ekspresi serius. Namun,
entah mengapa, dia hanya bergumam dan tidak bisa mengeluarkan kata-kata.
Mengapa gadis ini menangis?
Tangan Hime yang memegang
lenganku terlihat gemetar.
Namun, hatiku tidak merasakan
apa-apa. Mengapa?
Pada saat itu, seorang pria
keluar dari minimarket di gedung-gedung campuran dan berteriak marah.
“Oiiii! Dasar keparat, apa yang
sudah kamu lakukan? Apa kamu membuatnya menangis?!”
Pria itu berambut pendek dan
mengenakan jaket olahraga. Ototnya terlihat bagus bahkan melalui pakaiannya.
Kelihatannya tubuhnya terlatih dengan baik karena sering berolahraga.
Dan orang yang semacam itu
sedang berteriak padaku.
Aku merasa kesulitan.
“Uh, ini, umm...”
“Tu-Tunngu, Natsuki, jangan
salah paham duluan ya! Aku tidak menangis atau semacamnya, tau!”
“Berisik, mendingan kamu diam
saja, bukannya jelas-jelas kamu sedang menangis!”
“Ak-Aku tidak menangis, kok!”
Mereka berdua sepertinya sudah
saling kenal.
Sekarang mereka malah mulai
bertengkar...
Sepertinya pria itu marah
karena mengira kalau aku membuat si Hime menangis. Hime pasti merupakan orang yang
penting baginya. Si Hime mungkin bisa mengklarifikasi kesalahpahaman ini.
“Dibilangin, aku pernah bilang
sebelumnya, ‘kan! Ada seseorang yang aku kagumi! Dan jangan berpikir seenaknya
karena kita sudah berteman sejak kecil!”
... Apa dia sedang bicara
tentangku? Jika dia mengatakan hal seperti itu, pria itu pasti akan semakin
marah.
“Hah? Aku hanya khawatir
tentangmu, itu saja!”
“Palingan kamu hanya merasa
cemburu saja, iya ‘kan!”
“Ya enggaklah!! Aku enggak
tertarik sama bocah ingusan kayak kamu!!”
Sepertinya mereka berdua
memiliki hubungan yang cukup rumit. Karena terlalu merepotkan, aku ingin
melarikan diri dari sini.
Ketika aku mencoba pulang, pria
itu justru menahan lenganku.
Ia menatapku dengan ekspresi
seperti orang kesetanan.
“Dasar bangsat, jangan
seenaknya nyelonong begitu. Ayo kita main sebentar.”
“Tidak, aku harus belajar di
rumah. Aku tidak punya waktu untuk bermain.”
“Jangan banyak bacot, ayo
kesini.”
Kekuatan cengkramannya semakin
kuat. Sebenarnya kami akan bermain apa?
Tidak, tunggu dulu. Mungkin itu
permainan yang sangat menyenangkan yang tidak kuketahui. Jika memang begitu masalahnya,
aku tidak keberatan.
“Baiklah, aku mengerti. Jadi,
kita mau pergi ke mana?”
“H-Hahh? Apaan sih nih orang?
Yah, sudahlah, kita akan bermain di sasana tinju di lantai atas gedung ini.”
“Natsuki!! Hentikan napa! Kamu
tuh sudah profesional, ‘kan?”
“Hah? Kita cuma bermain-main saja.”
Fumu, jika
hanya bermain saja, kurasa mungkin tidak apa-apa.
“Aku tidak begitu mengerti,
tapi aku sama sekali tidak masalah.”
“Jangan ngaco!! Natsuki adalah
petinju peringkat teratas di Jepang, tau! Natsuki, kamu sudah bukan anak
kecil!”
“Dasar cerewet, kamu mendingan
diam saja!”
Aku mengikuti kata-katanya dan
naik ke lantai atas dengan naik lift.
Aku tahu tentang olahraga tinju.
Aturan-aturannya juga sudah ada di dalam kepalaku. Tapi ini baru pertama
kalinya bagiku untuk benar-benar mengalaminya.
Aku tidak begitu suka dengan
permainan yang menonjolkan kekerasan. Aku memahami kalau ini olahraga, tapi
bukan berarti mereka bisa membiarkan pemula masuk ke dalam ring.
Tidak ada yang menghentikan
kami. Mereka menganggapku sebagai orang yang ingin melakukan uji coba.
Aku baru pertama kalinya masuk
ke dalam ring sambil mengenakan sarung tinju. Lantai ring ternyata cukup keras.
Aku mengira kalau tempatnya akan sempit, tapi ukurannya cukup pas.
Hime memandangiku dengan ekspresi
khawatir dari luar ring.
Pria yang dipanggil Natsuki itu
menghadapku dan menatapku. Namun, aku bisa merasakan bahwa ia tidak serius
dalam bertinju denganku.
“Kita akan mulai ketika bel berikutnya
berbunyi.”
“Fumu, baiklah, tolong hibur
aku.”
“Da-Dasar keparat... Ah,
sudahlah, aku merasa rasanya terlalu berlebihan karena menempatkanmu di atas
ring. Aku beneran cuma bermain-main saja denganmu sedikit, jadi ayo silakan
pukul aku.”
Bel pun berbunyi, dan dia mulai
bersiap-siap. Sepertinya dia benar-benar tidak berniat untuk memukulku.
“Hei, bocah berpengalaman!
Silakan pukul ia seenaknya! Karena aku tahu kamu tidak akan mengenainya, jadi
coba pukul saja.”
Seorang pria tua yang sepertinya pemilik sasana tinju
ini, berteriak dengan keras. Tampaknya pemilik sasana tinju di sini suka
berkata kasar.
Aku selalu seperti ini. Aku
sering mengatakan atau melakukan sesuatu yang disalahpahami dan disalahartikan,
dan kemudian menjadi sasaran kemarahan orang lain.
Belakangan ini terlalu banyak
hal yang terjadi. Meskipun aku tidak merasakan apa-apa ketika mengingatnya, tapi
ada sesuatu yang mengganggu di dalam hatiku.
“Jika kamu seorang pria,
tinggal lakukan pukulan saja. Astaga, apa boleh buat dah.”
Natsuki-shi melangkah maju dan
menyerang dengan pukulan ringan. Tidak cukup dekat untuk mengenaiku. Aku tidak
bergerak sama sekali. Karena aku merasa tidak perlu menghindari pukulan yang
tidak akan mengenai.
“... Apaan? Rasanya agak aneh.”
Jumlah pukulannya semakin bertambah
banyak, dan langkah kakinya menjadi lebih tajam. Namun, itu bukanlah pukulan
yang bermaksud untuk mengenai.
Aku memblokir pukulan yang
tampaknya akan mengenaiku. Tapi, apa aku benar-benar boleh membalas pukulan
ini...?
“...Kamu orang berpengalaman?
Tapi kelihatannya itu bukan gerakan tinju... Aku akan sedikit lebih keras
lagi.”
Gerakan Natsuki-shi sangat
menakjubkan. Ia menggunakan kakinya dengan lihai, dan kombinasi pukulannya juga
kuat. Karena dirinya tidak berniat mengenai dengan serius, jadi aku bisa menghindarinya
dengan sangat mudah.
Meski sikapnya sebelumnya
sangat kasar, sepertinya ia benar-benar serius ketika berkaitan dengan tinju.
“Oi, oi, Natsuki! Bagaimana
bisa pukulanmu tidak kena sama sekali?! Tunjukkan sedikit usahamu napa!! Inilah
akibatnya jika kamu bolos berlatih!”
“Berisik!! Diamlah!”
Tampaknya Natsuki-shi juga
memiliki sikap yang suka berkata kasar. Mungkin karena disuruh oleh pemilik
sasana tinju, gerakannya menjadi lebih tajam. Pukulan yang dipadukan dengan
gerakan tipuan. Aku bisa merasakan kegemparan di dalam gym. Aku tidak suka
menjadi pusat perhatian.
“Oi, oi, oi, bukannya ini aneh?
Apa Natsuki-san benar-benar serius?”
“Apa kamu bisa menghindarinya?
Kalau aku sih tidak bisa.”
“Ah, jadi ia orang berkunjung yang
berpura-pura menjadi berpengalaman?”
“Tapi, ini tentang Natsuki,
loh? Mana mungkin lawannya bisa melakukan itu kalau bukan peringkat tinggi.”
"Mana mungkin lah, ia
palingan cuma menahan diri saja.”
“...Bukannya tubuh pria itu
luar bias? Ia belum kena pukulan sekali pun sejak tadi, loh.”
“Mungkin ia hanya ahli dalam
menghindar.”
Kurasa lebih baik
menyelesaikannya secepat mungkin. Tetapi, kapan ini akan berakhir?
...Apa ini tidak akan berakhir
jika aku tidak melayangkan pukulan? Natsuki-shi serius dalam berlatih olahraga
ini. Rasanya akan tidak sopan jika aku tidak menghadapinya dengan serius.
Aku mempraktikkan teori tinju
yang aku miliki sebagai pengetahuan ke dalam gerakan tubuhku.
Aku lalu mengalihkan
perhatianku—
“Ahh... Hah?! Guha!?”
Aku merasakan dampak pukulan
yang mengenai kepala Natsuki-shi dengan tangan kiriku. Aku tidak terlalu suka
kekerasan, tapi ini adalah olahraga. Aku merasakan perubahan dalam suasana di
seluruh gym. Meskipun aku berhasil memukul, tidak ada yang memujiku. Begitu
rupanya, ini memang benar-benar olahraga yang sulit.
“Oi, oi, aku sama sekali tidak
bisa melihatnya?! Bukannya ia cuma pengunjung yang melakukan uji coba!!”
“Oi, ini gawat, cepat hentikan
mereka. Natsuki-san nantinya jadi serius. Natsuki-san adalah kelas berat! Perbedaan
ukuran tubuhnya sangat besar!”
Natsuki-shi menatapku dengan
wajah tercengang. Tapi suasananya segera berubah.
Jadi begitu, gerakannya yang
sekarang benar-benar terlihat sangat berbeda dibandingkan sebelumnya.
Aku menghindari pukulan
bertubi-tubi yang dilancarkan oleh Natsuki-shi. Aku memukul di tempat yang
menunjukkan celah. Karena ini adalah olahraga, jadi aku tidak boleh merusaknya.
Aku berusaha untuk tidak memukul bagian-bagian yang vital.
Aku bahkan bisa mendengar napas
beratnya.
Setelah beberapa saat kemudian,
Natsuki-shi jatuh terkapar di atas ring.
Fumu, jadi ini yang disebut
Natsuki-shi sebagai ‘permainan’.
Sudah kuduga, aku tidak menyukai permainan yang menggunakan kekerasan.
“Oi! Cepat bawa kotak P3K! Dia
mengalami gegar otak!”
“Jangan turunkan dari ring! Biarkan
ia berbaring dan beristirahat! Coba
seseorang, apa ada yang menyelipkan sesuatu di sarung tinjunya!”
“Natsuki, mengapa kamu tidak
memakai pelindung kepala?! Dan kamu brengsek, kalau kamu bukan pemula,
seharusnya kamu bilang dulu napa!”
“Cepat keluar dari sini! Jangan
macem-macem lo! Kamu berasal dari gym mana? Aku tidak akan memaafkanmu!”
“Padahal bulan depan ada
pertandingan untuk perebutan gelar... Natsuki, hey, kuatkan dirimu... Kamu akan
menjadi juara... Kamu memiliki potensi untuk menjadi juara dunia kelas berat
untuk pertama kalinya.”
“Ini hanya sekadar permainan, jadi
seharusnya ia takkan gampang rusak. Ia pasti akan segera sadar kembali,”
kataku, tapi tidak ada yang mendengarkan kata-kataku.
Tatapan yang dipenuhi dengan
permusuhan menembus diriku. Aku merasakan sesuatu yang dingin di dalam hatiku.
Mengapa selalu seperti ini?
Bahkan saat di SMP pun begitu. Ketika aku berusaha keras dan mengerahkan
segalanya, aku mendapatkan tatapan bermusuhan. Dicurigai melakukan kecurangan.
Aku pikir karena ini hanya
permainan, jadi aku mengira semuanya akan baik-baik saja.
Saat aku melihat Natsuki-shi
terbaring di atas ring, perasaan bersalah memenuhi dadaku.
Aku melakukan kesalahan lagi...
“Natsuki! Apa kamu baik-baik
saja? Kuatkan dirimu!”
Hime, yang berada di samping
Natsuki-shi, terlihat sangat khawatir.
Akulah orang yang menyebabkan
situasi ini.
Ini adalah kesalahanku karena
membuat Hime terlihat seperti itu. Kupikir kami mungkin bisa menjadi dekat,
tapi sepertinya itu menjadi hal yang mustahil.
Aku turun dari ring, melepaskan
sarung tinju dengan paksa, dan mengganti pakaian dengan seragamku.
Tidak ada yang peduli padaku.
Aku mengikat tali sepatu kets
yang dipilih oleh Hime dengan perasaan campur aduk.
Mengapa aku selalu berakhir seperti
ini...
Aku lalu diam-diam meninggalkan
sasana tinju.
◇◇◇◇
“Tu-Tunggu sebentar! Toudo!!
Haa...haa...”
Ketika aku keluar dari lift,
Hime berdiri di pintu masuk gedung.
Dia terlihat sangat berkeringat
dan terengah-engah. Apa dia berusaha mengejarku melalui tangga darurat dan
sudah sampai di lantai satu lebih dulu?
“Karena aku merasa kalau aku
takkan bisa bertemu denganmu lagi, jadi aku datang dengan terburu-buru.”
“Maaf, aku melukai orang yang
penting bagimu.”
Aku mengira dia akan memarahi dan
membentakku. Karena itulah keseharianku. Di mana pun aku berada, aku selalu
salah. Baik itu di sekolah, dalam kehidupan pribadi, maupun di tempat kerja
paruh waktu...
“Tidak, itu sih karena salahnya
sendiri. Dan aku juga salah karena tidak menghentikannya. Fuu, maafkan aku,
Toudo.”
Aku terkejut karena dia meminta
maaf padaku. Aku tidak pernah mengira dia akan melakukan itu.
“Orang yang terluka justru
dirimu sendiri. Aku akan memberitahukan semuanya kepada orang lain nanti. Ampun
deh, ia sangat kekanak-kanakan sekali sampai membiarkan seorang amatir masuk ke
dalam ring dan marah-marah balik.”
“Tapi, aku melakukan
kesalahan...”
“Tidak, itu bukan salahmu.
Mereka semua hanya tidak memandangmu dengan benar.”
Hal ini merupakan perkembangan
yang belum pernah terjadi sebelumnya. Setiap kali aku melakukan kesalahan, sada
orang yang marah-marah padaku, dan hatiku menjadi sakit setiap hari. Kupikir
itu adalah kehidupan sehari-hariku.
“Begini, Toudo, sebenarnya kamu
harus memiliki lebih banyak kepercayaan pada dirimu sendiri. Kamu itu benar-benar
luar biasa, tau? Hanazono juga tahu tentang hal itu.”
“Mengapa kamu tiba-tiba
mengungkit tentang Hanazono?”
“Percakapan kita jadi terganggu
karena Natsuki, tapi inilah yang ingin kukatakan. Tolong hadapi Hanazono-chan
dengan serius.”
“Tapi masalah ini tidak ada
hubungannya denganmu.”
Mau bagaimana lagi kalau aku
tidak memiliki kepercayaan diri. Karena aku masih naïf dengan dunia ini.
Namun, permasalahanku dengan
Hanazono merupakan hal yang berbeda. Tidak ada alasan bagi Hime untuk
mengatakan itu padaku.
Aku telah me-reset perasaanku kepada Hanazono. Itulah sebabnya aku sudah...
“Mana mungkin itu tidak ada
hubungannya denganku! Itu, itu sama sekali tidak benar! Karena aku selalu
melihat kalian berdua bersama... Sejujurnya, aku ingin berada di sampingmu! Aku
ingin menggantikan Hanazono! Tapi, aku... aku...”
Aku merasakan kebisingan di dalam
kepalaku. Aku mengingat suara ini. Aku mengingat aroma ini.
Pada hari panas di musim panas.
Pemandangan senja yang indah. Kami berdua berjalan bersama di sepanjang parit
luar. Para anak berandalan yang berteriak dan menangis. Aku yang bergandengan
tangan dengan Hime. Berlarian di pusat kota yang ramai di malam hari.
Kenangan yang tidak aku kenal
muncul di dalam benakku. Tapi, semua kenangan itu segera memudar.
“Aku tidak terlalu mengerti,
tapi... aku akan berusaha menanganinya.”
Itu adalah jawaban terbaik yang
bisa aku berikan. Mungkin nanti, jika hatiku sudah berkembang lebih jauh, aku
bisa memberikan jawaban yang berbeda. Tapi untuk saat ini, kata-kata ini adalah
batasanku.
Namun, Hime tetap mengangguk
dan tersenyum bahagia.
“Ya, itu baik-baik saja! Toudo,
aku tahu bahwa kamu adalah pria yang hebat! Lain kali kita bertemu, pastikan
kamu sudah berbaikan dengan baik, oke!”
Dia masuk ke dalam lift dan
mengucapkan perpisahan sambil melambaikan tangannya padaku.
Pasti ada sesuatu yang terjadi
di antara kami.
Tapi aku tidak perlu tahu apa
itu.
Setelah pintu lift tertutup, aku
melambaikan tanganku dan bergumam pada diriku sendiri.
“...Padahal aku ingin tahu siapa
namanya.”
Aku menatap tanganku yang
terangkat ke udara.
Aku merasa kalau perasaan sesak
yang ada di dalam hatiku sudah sedikit mereda.