Bab SS — Sama
Sekali Tidak Masalah
Pada suatu hati di penghujung
April, sekitar pukul setengah 8 malam. Saat aku meninggalkan studio foto,
ponselku bergetar di dalam tas.
Ternyata itu panggilan telepon.
Mungkin dari manajer? Padahal aku baru saja memeriksa jadwal besok.
Aku terkejut ketika melihat
nama yang muncul di layar.
Mamori Suzufumi.
Dia adalah anak kelas 2 SMA yang
menjadi tetangga sebelahku sejak musim semi ini di kompleks apartemen tempatku
tinggal, Residence Orikita.
Dia pandai memasak, suka ikut
campur, sangat baik hati, bahkan pernah menyelamatkanku dengan mengorbankan
dirinya sendiri.
Aku merasakan jantungku
berdetak lebih cepat saat melihat namanya. Aku meletakkan tanganku di dada,
menarik napas dalam-dalam, dan menekan tombol jawab.
“Halo, Suzufumi? Ada apa?”
Dengan santai, aku berbicara
seolah-olah ini hanya pembicaraan sepele.
“Maaf, Yuzuki,”
Suzufumi memulai dengan
permintaan maaf.
“Aku punya permintaan penting.
Bisakah kau mendengarkanku?"
Suara dari seberang telepon
terdengar serius dan berat.
“Apa yang terjadi? Kenapa kamu
bicara seperti itu?”
Aku belum pernah mendengar suara
Suzufumi sesuram itu. Pasti ini bukan pembicaraan yang menyenangkan.
Apa jangan-jangan ia akan
pindah lagi? Mana mungkin. Dirinya belum lama tinggal di [Residence Orikita].
Atau mungkin bisnis restoran keluarganya sedang kesulitan? Dan ia membutuhkan
uang tunai besar untuk menghindarinya, jadi dia ingin meminjam uang dariku yang
seorang idola?
Namun, aku menyerahkan urusan
pengelolaan pendapatanku kepada orang tuaku, dan meskipun kami berdua mempunyai
hubungan dekat, konon meminjam uang dianggap tabu. Di dunia hiburan, masalah
keuangan adalah hal yang biasa, jadi aku sering mendengar cerita buruk.
Tapi, terpisah dengan Suzufumi...
“Aku akan mendengarkannya saja
dulu.”
Aku memutuskan untuk
mendengarkannya dan mendesaknya untuk melanjutkan.
“Terima kasih. Sebenarnya...”
Apapun permintaannya, aku ingin
berada di pihak Suzufumi, sama seperti yang pernah ia lakukan padaku dulu.
Aku menelan ludah dan bersiap untuk
mendengarkan perkataannya.
“Saat kamu pulang kerja nanti,
apa kamu bisa membelikanku telur?”
“.......Hah?”
Telur, telur, telur. Aku butuh
beberapa detik untuk memahami kata-kata tiga huruf itu dengan benar.
“Kamu tahu ‘kan, ada
supermarket yang sering aku kunjungi? Tempat yang paling dekat dari apartemen.
Hari ini, mereka sedang mengadakan diskon besar-besaran untuk telur. Tapi hanya
satu bungkus per orang. Orang tuaku juga tidak akan pulang seperti biasanya,
jadi aku ingin meminta tolong padamu, Yuzuki. Maaf ya, aku sudah merepotkanku
meskipun kamu lelah setelah bekerja.”
Seketika aku langsung merasa
lemas. Padahal aku sudah bersiap-siap untuk permintaan yang besar, tapi
ternyata itu hanya permintaan belanja.
“Seharusnya kamu tinggal mengirim
pesan saja.”
“Waktu tutup supermarket jam
sembilan. Kalau-kalau Yuzuki tidak melihat pesanku dan membuat rencana lain
sebelum itu, mungkin akan sulit bagimu untuk menolak permintaanku.”
Pada ia tidak perlu
memikirkannya sampai sejauh itu. Kenapa ia begitu perhatian?"
“Aku janji akan membuat makanan
enak dengan telur yang kamu beli, kok.”
“Memangnya menurutmu aku akan
dengan mudahnya menyetujuinya?”
Hubungan kami bukan hanya
sekadar tetangga biasa. Aku berusaha membuat Suzufumi menjadi penggemar
beratku, sementara Suzufumi berusaha membuatku jatuh cinta padanya. Kami sedang
dalam pertarungan serius. Mana mungkin aku akan memberi senjata kepada musuhku.
“Tolong, aku ingin menyiapkan
persediaan telur karena harganya naik belakangan ini!”
...Yah, memang benar aku selalu
berhutang budi pada Suzufumi. Aku hanya tidak perlu memakannya saja.
“....Baiklah, aku mengerti. Aku
baru saja mau pulang, jadi aku akan membelikannya untukmu.”
Setelah aku menyetujuinya
sambil menghela nafas, Suzufumi bersorak kegirangan di ujung telepon.
Tidak berlebihan jika dikatakan
bahwa satu butir telur saja sudah membuatnya sangat bahagia.
Yah, aku juga tidak membenci
suasana kekeluargaan seperti itu.
★ ★ ★
Supermarket yang akan tutup
memiliki suasana yang unik. Pekerja kantoran berjas mencari kotak makan
setengah harga dan bocah laki-laki yang sepertinya baru saja kembali dari
sekolah bimbel. Pelanggan di siang hari dan malam hari sangat berbeda. Lagu “Hotaru no Haka” yang mengalun dari
speaker benar-benar membuatku nostalgia.
Aku jarang sekali ke supermarket.
Bahkan jika aku mampir ke sini, aku hanya membeli minuman atau barang keperluan
sehari-hari. Sebelum bertemu Suzufumi, aku sering membeli makanan sehari-hari
dari minimarket atau melalui layanan pesan antar. Mungkin ini pertama kalinya
aku memasuki bagian makanan segar, jadi rasanya seperti aku sedang melakukan petualangan.
Tak disangka kalau ada begitu
banyak jenis daging.
Wah, udang ini masih hidup.
Salmon adalah ikan berdaging
putih, tapi mengapa warnanya merah ya?
Aku mengitari beberapa bagian
dan akhirnya sampai di rak telur di sudut.
Ada banyak kemasan telur yang
dipajang rapi, dengan berbagai warna dan ukuran. Aku membandingkan gambar brosur
yang dikirimkan Suzufumi dengan rak telur. Jika tidak ada foto ini, aku pasti
kebingungan untuk memilih telur yang mana.
Ah, ada, ini dia.
Satu bungkusnya berisi sepuluh
butir, ukuran LL, seratus yen. Diskon terbatas satu bungkus per orang.
Sejujurnya, aku tidak tahu apa
harga segitu dibilang mahal atau murah. Tapi karena Suzufumi sampai repot-repot
meneleponku, pasti ini lebih menguntungkan dari biasanya.
Baiklah, misi sudah selesai, ayo
segera pulang sekarang. Semoga saja Suzufumi merasa senang dengan ini.
Saat aku menuju meja kasir,
tiba-tiba ada sesuatu yang menarik perhatianku.
“Bukannya ini...?”
Setelah merasa ragu sejenak,
aku mengambil barang itu.
★ ★ ★
Ding
dong.
Langkah kaki mendekat dari
balik pintu. Seriusan, sudah berapa lama dia menungguku?
“Yuzuki, selamat datang kembali.”
Suzufumi memberikan senyuman
lembut seolah-olah dirinya merasa lega. Ketika aku melihat wajah tersenyumnya,
aku merasakan kesemutan di hatiku dan tidak bisa menahan diri untuk tidak
memalingkan muka.
“…..Aku pulang. Ini, telum yang
kamu minta.”
Sambil memalingkan muka, aku
menyerahkan kantong plastik yang berisi belanjaan.
“Aku sangat terbantu. Telur
mempunyai tanggal kadaluwarsa yang sangat lama, jadi aku bisa menyimpan dua
bungkus dengan waktu yang lama…..Eh, bukannya di dalam plastik ini ada barang
lain selain telur...?”
Suzufumi sepertinya
menyadarinya. Tiba-tiba aku merasa malu dan mengipasi wajahku dengan tanganku.
Dari dalam kantong muncul botol
cair berwarna cokelat kemerahan.
“...Apa kamu membelikan kecap
asin untukku?”
Senyuman telah hilang dari
wajahnya. Mungkin dia keberatan?
Aku buru-buru mencari alasan.
“Bu-Bukan begitu. Ketika aku
hendak menuju meja kasir, aku kebetulan melihat penawaran khusus. Bukannya
kemarin kamu pernah bilang kalau kamu akan kehabisan kecap asin? Karena ini
mengenai Suzufumi, aku yakin kalau kamu sudah membeli banyak, tapi ditambah
satu botol saja takkan mengganggumu, ‘kan?. Aku hanya secara sepihak membelinya
sendiri, jadi kamu tidak perlu membayarnya. Meskipun aku menyimpannya di
rumahku, aku….!”
“Yuzuki.”
Aku sedikit terkejut ketika
namaku dipanggil.
Sudah kuduga, aku mungkin
terlalu ikut campur. Aku terpancing dengan penawaran khusus, tapi sebenarnya
saya tidak tahu apakah harganya murah atau tidak.
Aku dengan gugup menatap wajah
Suzufumi.
“Terima kasih, Yuzuki.”
Sorot matanya dipenuhi dengan
kasih sayang. Senyumnya begitu lembut, seolah-olah kabar baik telah datang
menghampirinya.
“...Bukan apa-apa, sama sekali
tidak masalah, kok.”
Saat aku memainkan poniku,
Suzufumi tertawa kecil.
“Oke! Aku akan segera
menggunakan telur dan kecap ini untuk menyiapkan makan malam yang lezat.”
“Di-Dibilangin! Aku ‘kan selalu
bilang kalau aku tidak akan memakan makananmu!”
“Baiklah, baiklah. Sampai jumpa
lagi.”
Pintu tertutup dengan pelan.
Aku menghela nafas ringan dan
menepuk dadaku. Jantungku yang berpacu cepat masih tidak kunjung mereda.
Aku akan dengan senang hati bersedia
terus melakukan tugas seperti ini jika bisa melihat senyuman itu.
“Yah, aku pasti tidak pernah
tergiur pada makanannya!”
Beberapa puluh menit kemudian,
aku menikmati hidangan nasi goreng ala Suzufumi yang lezat.