Bab 9 — 3
Agustus (Selasa) Asamura Yuuta
Pada saat ujian simulasi pada
hari kedua, kegelisahan mulai muncul dalam diriku.
Menurut jadwal, ujian simulasi
disiapkan untuk memeriksa materi yang telah dipelajari dengan interval dua hari
sekali. Ujian hari ini adalah ujian matematika.
Saat melihat lembar ujian yang
diberikan, aku menyadari tingkat kesulitan dari pembelajaran intensif musim
panas ini.
Hanya dengan sekilas melihatnya
saja, soal-soal terlihat lumayan sulit. Aku tidak yakin apakah aku bisa
menjawab semuanya meskipun seluruh waktu ujian digunakan sepenuhnya.
Sebenarnya, masalah pemahaman
dan kemampuan menjawab itu berbeda.
Saat aku sedang menghadapi
masalah ketiga seperti ini.
[Tentukan
batas dari barisan angka berikutnya.]
Aku menatap simbol [n → ∞] yang tertulis dalam rumus. Ini sebenarnya
berarti, kita menggantikan nilai n dengan angka sembarang, dan ketika kita
terus membesarkannya hingga ke titik tertentu, kita akan mendekati nilai apa.
Aku yakin aku sudah mempelajari materi ini sebelumnya. Bahkan itu ada dalam
buku referensi yang baru saja aku buka.
Guru matematika yang memberikan
materi pelajaran kemarin sangat tidak konvensional, dan dia langsung
mengatakan, “Matematika ujian masuk
adalah yang paling mudah di antara semua mata pelajaran matematika sehingga
membosankan.” Menurut kata-kata guru tersebut, “Karena hanya soal-soal dengan jawaban pasti saja yang diberikan.”
Saat para murid bergumam bahwa
itu merupakan hal yang wajar, ia menyebutkan beberapa masalah tak terpecahkan
yang disebut sebagai “Masalah Hadiah Milenium” dan mengatakan bahwa kita dapat
membuat masalah yang tidak bisa diselesaikan dengan mudah (yaitu, kita dapat membuat masalah yang tidak akan pernah bisa
dipecahkan) dengan cara yang sembarangan. Dengan kata lain, soal ujian
dibuat dengan cermat agar murid dapat menjawabnya. Kita pasti bisa menjawab
soal tersebut.
“Jadi,
kalian bisa menghadapi ujian dengan santai,” katanya.
Mungkin maksudnya agar kita
tidak terlalu tegang dalam menjawab soal.
Dan sekarang, ada soal
pertanyaan di depan mataku.
Memang benar, karena baru saja
dipelajari, aku masih mengingat cara untuk mencari jawabannya. Aku yakin jika
yang harus kulakukan hanyalah mengubah persamaan dan menyelesaikannya. Namun,
di tengah-tengah itu, aku menyadari sesuatu.
Ternyata, orang-orang di sekitarku
jelas lebih cepat dalam menyelesaikan soal.
Aku menulis satu baris dan
mulai memikirkannya, tapi suara pensil mereka yang meluncur di atas kertas
terus berderak. Rasanya seolah-olah mereka sudah menghafal jalur menuju jawaban
karena telah melakukannya berkali-kali.
Aku tidak melihat wajah mereka
yang sedang mengerjakan soal, tapi dalam pikiranku, aku bisa melihat mereka
dengan tenang menjalankan pensil mereka dengan lancar.
Gawat. Apakah orang-orang
seperti ini adalah pesaingku?
Saat aku menyadari hal itu,
kegelisahan tiba-tiba muncul di dalam hatiku.
Setelah ujian selesai, lembar
jawaban dan penjelasannya dibagikan sehingga kita bisa melakukan penilaian sendiri.
Setelah menyelesaikan kursus hari itu, aku kembali ke kamarku dan melihat
jawaban yang benar.
Aku bisa memahami sebagian
besar jawabannya. Bahkan, jika ada waktu lebih, aku yakin bisa menjawab semua
soal pertanyaannya.
Itupun jika ada waktu lebih.
Ada perbedaan besar antara pemahaman
tentang bagaimana menjawab dan kemampuan untuk menjawab.
Aku hampir tidak bisa menyentuh
tiga soal terakhir yang merupakan soal penerapan lanjutan. Aku membutuhkan
waktu yang lama untuk mencari cara penyelesaiannya. Jelas sekali kalau aku
kurang berlatih. Aku sama sekali tidak mendapatkan poin untuk tiga soal
terakhir ini. Hal tersebut pasti membuat nilaiku jauh lebih rendah daripada
orang lain.
Aku hampir tidak ingat apa yang
aku makan malam itu. Bahkan saat aku menyantap makanan, aku terus memikirkan
bagaimana cara mengejar ketertinggalanku.
Saat aku berdiri dan kembali ke
kamar, aku bertemu dengan Fujinami-san.
“Oh, cepat sekali ya. Apa kamu
sudah selesai makan?”
“Yeah, uh... Selamat malam.”
Tanpa melakukan banyak percakapan,
aku bergegas menuju ke dalam lift.
Ketika aku kembali ke kamar,
waktu untuk mematikan lampu telah tiba. Meskipun cahaya di kamar telah
dimatikan, aku terus membaca materi pelajaran besok secara berulang-ulang
dengan cahaya lampu di samping tempat tidur. Meskipun waktu tidurku terpotong,
tapi aku hanya mempunyai waktu satu minggu lagi. Aku harus mengejarnya
sekarang.
Selain panggilan bangun pagi
dari hotel, aku juga mengatur alarm di ponsel untuk berbunyi 30 menit lebih
awal dari waktu bangun. Aku mengatur agar alarm berbunyi setiap 5 menit.
Aku merasa sudah memberikan
usaha yang maksimal, namun jika aku melihat orang-orang di sekelilingku, aku
merasa bahwa dengan tingkat belajarku yang sekarang, aku merasa tidak akan bisa
bersaing dengan mereka.
Aku memutuskan untuk mengakhiri
percakapan dengan Ayase-san melalui LINE lebih awal karena besok akan sangat
sibuk.
Karena dia mengucapkan ‘Yang semangat belajarnya, ya’, aku
merasa harus berusaha lebih keras.
Ayase-san belajar sendiri tanpa
mengikuti sekolah bimbel dan berhasil mencapai hasil yang setara atau bahkan
lebih baik dariku. Jika aku ingin mendapatkan nilai yang pantas sebagai pacar
seorang gadis yang bekerja keras seperti dirinya, aku harus bekerja lebih
keras.
Demi Ayase-san yang selalu
mendukungku.
Aku harus mendapatkan nilai
yang tidak kalah dengan teman-teman sekursusku.
Waktu tidur di pelatihan kursus
ini dijadwalkan pukul 10 malam, tapi aku sama sekali tidak bisa tidur dan
akhirnya aku baru tertidur sekitar pukul 3 dini hari.