Gimai Seikatsu Jilid 10 Bab 10 Bahasa Indonesia

Bab 10 — 3 Agustus (Selasa) Ayase Saki

 

 

“Kamu tidak perlu memaksakan diri untuk memakannya. Kamu boleh meninggalkannya.”

Aku sedikit terkejut ketika Ayah tiri mengatakan begitu padaku. Sumpitku memegang sepotong ikan yang sudah gosong. Sepertiga bagian telah menjadi arang, dan tusukan bambu yang menatapku seakan-akan terbakar habis tanpa sisa

“Aku benar-benar minta maaf, aku hanya sedikit lengah dan jadinya malah begini.”

“Tidak apa-apa. Bagian yang gosong tidak begitu banyak kok.”

Kataku sambil memasukkan ke mulut dengan gegabah. Rasanya pahit. Tapi aku tetap mengunyah dengan sabar.

Tidak mungkin aku tidak akan memakan ikan yang dipanggang oleh ayah tiri, yang masih belum berpengalaman dalam memasak, di pagi harinya yang sibuk.

“Tak kusangka ikan ini cepat gosong ya. Waktu terakhir aku mengukusnya, hasilnya sedikit lebih bagus.”

Ketika mendengar perkataan Ayah tiri, aku berpikir, “Apa aku pernah makan mezashi belakangan?”

Aku sama sekali tidak mengingatnya.

“Maksudnya shishamono?”

“Ya, benar.”

“Meskipun mirip, shishamono adalah ikan kering jadi sebenarnya sudah kehilangan airnya, jadi waktu pemanggangannya juga lebih singkat.”

“Kalau dipikir-pikir... begitu ya.”

“Tapi rasanya enak kok.”

Setelah berkata demikian, aku mengambil sepotong ikan berikutnya yang tersusun di sebelah piring. Ngomong-ngomong, ‘mezashi’ bukanlah nama ikan, melainkan sebutan untuk ikan kecil yang dikeringkan seperti ikan teri atau ikan sardin. Ikan-ikan kecil seperti teri atau sardin dipasang di tusukan dan dikeringkan untuk membuatnya.

Pagi ini aku memilih makan natto dan hidangan hijiki. Sup misonya menggunakan bahan beku yang direndam air panas, meskipun aku tidak repot membuat kaldu sendiri, baru-baru ini aku tahu itu juga rasanya enak. Makanan yang diawetkan di jaman sekarang tidak bisa diremehkan.

“Hari ini Anda cepat sekali ya.”

Ayah tiri sudah selesai makan dan mencuci piringnya sendiri.

“Aku harus berangkat kerja lebih awal dan menyelesaikan pekerjaan karena tidak bisa lembur hari ini. Oh ya, Ski-chan yang bertanggung jawab untuk memasak makan malam, ‘kan? Aku akan makan di acara pesta minum-minum.”

“Ah, iya, baiklah.”

Tumben sekali, pikirku. Ayah tiri hampir tidak pernah terlambat pulang karena pesta minum-minum, kecuali di akhir pekan.

Seolah membaca ekspresiku, beliau menambahkan sesuatu.

“Aku harus memberikan saran kepada bawahan. Karena aku sudah cukup tua dan berada dalam posisi untuk mengurus bawahanku. Karena Yuuta juga tidak ada di rumah, jadi kurasa kamu akan makan malam sendirian.”

“Tidak apa-apa. Aku sudah terbiasa begitu.”

Ayah tiri sedikit mengernyitkan dahinya ketika mendengar perkataanku. Kemudian, ia meminta maaf karena tidak bisa membersihkan piring setelah makan, lalu pergi berangkat ke kantor.

Aku sudah terbiasa makan malam sendirian.

Ayah kandungku yang dulu pergi, dan ibuku bekerja malam, jadi setiap kali pulang dari sekolah, aku selalu menyiapkan makanan sendiri dan memakannya sendirian. Itu adalah hal yang biasa dan normal bagiku.

“Begitu ya, Asamura-kun tidak ada ya.”

Kata-kata yang terlontar tanpa sadar tersebut kini membuatku semakin menyadari hal itu.

Yang membuatku semakin merasa malas ialah karena ternyata shift pekerjaan paruh waktuku kali ini lagi-lagi bersama Kozono-san.

Dia adalah junior yang tidak pandai aku ladeni.

Namun, jika aku masih seperti dulu sebelum bertemu dengan Asamura-kun, mungkin aku takkan memikirkan untuk pergi ke tempat di mana orang seperti itu berada. Aku mungkin sudah berhenti. Karena mengakhiri suatu hubungan jauh lebih mudah. Itulah sebabnya, satu-satunya orang yang bisa aku sebut sebagai teman hanyalah Maaya.

Lebih baik berhenti dari pekerjaan paruh waktu dan berkonsentrasi pada ujian daripada terus bekerja dengan stres menghadapi junior yang tidak bisa kuladeni. Bagaimanapun juga, dalam beberapa bulan, pada musim gugur nanti, aku akan fokus sepenuhnya pada ujian.

Kemudian aku tiba-tiba menyadari sesuatu.

Itu berarti junior yang sudah bekerja denganku hanya akan bersamaku selama beberapa bulan.

Di situlah kami mengucapkan selamat tinggal. Sambil membawa perasaan bersalah yang mengganggu di dalam hati.

Itu saja sudah cukup, Ayase Saki.

Karena Kozono-san tidak melakukan kesalahan apa pun.

Dia bekerja dengan sungguh-sungguh selama acara barbekyu tempo hari. Aku juga tidak pernah melihat dia malas dalam bekerja. Jadi, sepertinya tidaklah baik untuk menghindarinya hanya karena kesadaran bahwa aku merasa tidak nyaman dengannya.

Seolah ditarik oleh Asamura-kun, aku secara bertahap mulai berinteraksi dengan orang-orang di luar sejak musim panas lalu saat kami bermain di kolam renang.. Aku memiliki senior yang bernama Yomiuri-san, dan sekarang ada juga junior bernama Kozono-san. Jika dipikir-pikir, dia adalah junior pertama yang kumiliki.

—— Karena aku sudah cukup tua dan berada dalam posisi untuk mengurus bawahanku.

Aku mengulangi kata-kata Ayah tiri di dalam hatiku.

Aku harus berhadapan dengan Kozono-san dengan serius juga. Aku tidak ingin menyesalinya di kemudian hari.

Dengan bunyi denting, sumpitku menghantam dasar mangkuk. Tanpa aku sadari, nasiku sudah habis.

Hanya ada satu mezashi hangus yang tersisa di piring berwarna biru. Aku sedang memikirkan hal lain dan lauknya masih tersisa. Aku tidak punya pilihan selain mengambil mezashi terakhir denganku.

Setelah memakannya, aku akan pergi bekerja paruh waktu. Aku akan pergi.

Meskipun rasanya lumayan pahit, tapi aku berusaha mengunyahnya dan menelannya.

 

◇◇◇◇

 

Toko buku di tempat kerja paruh waktuku agak ramai. Jadi, aku tidak mempunyai kesempatan untuk berbincang-bincang hal sepele dengan rekan kerja.

Pada hari di mana aku memutuskan untuk mengambil inisiatif, sayangnya aku tidak mendapat kesempatan untuk berbicara dengan Kozono-san.

Akhirnya, di sore hari saat waktu istirahat tiba, aku sedang menyeduh teh di mesin teh kantor ketika tiba-tiba Kozono-san masuk.

Begitu dia membuka pintu dan mengintip ke dalam, mulutnya mengerucut seakan berkata 'ah'. Dia pasti sudah memperkirakan rasa canggung saat berduaan denganku. Namun, mungkin karena sudah terlanjur menunjukkan wajahnya, dia tidak ingin terlihat sangat menjauh dariku, jadi dia masuk ke dalam ruangan dengan ragu.

Dia hanyalah seorang junior biasa. Di saat-saat seperti ini….

“Kamu mau teh?”

“Ah ... iya. Terima kasih.”

Setelah menyiapkan gelas kertas dari mesin teh, aku menyeduhkan teh untuk Kozono-san juga.

Aku duduk di kursi agak jauh darinya sambil memegang gelas kertas dengan kedua tangan. Aku menghembuskan napas meskipun tehnya tidak panas. Kalau tidak begitu, percakapan akan terasa canggung. Sekarang, bagaimana caraku untuk memulai percakapan?

Saat aku sedang mencari waktu yang tepat, Kozono-san tiba-tiba memanggilku.

“Umm, maaf, boleh aku menanyakan sesuatu?”

“Oh, tentu saja. Ada apa?”

Aku mengerahkan seluruh tubuh ke arahnya. Gelas kertas diletakkan di atas meja.

“Apa jangan-jangan Ayase-senpai tuh berpacaran dengan Asamura-sempai?”

Dia bertanya sambil menatapku.

Aku hanya bisa menahan napas karena merasa terkejut.

Itu pertanyaannya yang blak-blakan dan terlalu lugas.

Bagaimana aku harus menjawabnya? Hubungan antara diriku dan Asamura-kun. Sebagai saudara tiri yang terbentuk dari pernikahan kembali orang tua kami dan juga sebagai kekasih... sampai sejauh mana seharusnya membicarakan hal-hal pribadi semacam itu secara umum?

Saat aku mulai memikirkannya lagi, aku menjadi kebingungan.

Misalnya saja, jika umumnya orang menyembunyikan privasi mereka sampai ke titik ekstrem, maka mana mungkin ada cincin pernikahan atau foto berdua. Dengan kata lain, ada orang di dunia ini yang memiliki mentalitas untuk menunjukkan secara visual kepada masyarakat bahwa aku dan ia sedang berpacaran.

Selain itu, ada orang-orang yang seperti diriku yang berprinsip untuk mengenakan pakaian yang mereka inginkan.

Persenjataanku adalah milikku sendiri. Aku tidak berniat untuk membiarkan Asamura-kun ikut-ikutan, dan aku tidak berniat untuk mencocokkan apa pun yang dikenakannya.

Yah... aku tidak keberatan jika sesekali memakai baju yang serasi. Jika itu berarti tidak ada lagi gadis yang mendekati Asamura-kun— jika itu berarti aku takkan dibombardir perasaan tidak pasti yang samar-samar setiap kali ada gadis di sekitar Asamura-kun—demi kesehatan  mental, mungkin kami bisa mengenakan bando yang serasi sambil berjalan-jalan di negeri mimpi.

Pemikiranku jadi melenceng. Itulah sebabnya...

“Jika memang terlihat seperti itu, kenapa kamu justru mendekati Asamura-kun?”

Pertama-tama, menjawab pertanyaan dengan pertanyaan bukanlah komunikasi yang baik, cara mengatakanku mungkin tampak sangat kasar, yang mana membuatku terlihat seperti senior yang sarkastik. Meskipun merasa jijik pada diriku sendiri, aku menyadari bahwa aku sebenarnya peduli tentang hal itu.

“Eh... Apa aku terlihat seperti sedang mendekatinya? Hah, jadi aku kelihatan begitu?”

Aku mengangguk.

“Sejak dari dulu?”

Aku kembali mengangguk. Sejak lama... sejak dia mulai bekerja paruh waktu.

“Tidak, tidak, tidak... Seriusan?”

“Ya, kelihatannya memang seperti itu?”

“Tidak kusangka kamu berpikir begitu... Eh, tunggu sebentar. Apa jangan-jangan aku sebenarnya dibenci oleh Ayase-senpai karena itu? Eh, apa? Apa sebenarnya Ayase-senpai sedang naksir dengan Asamura-sempai?”

“Mengapa kamu malah berpikir begitu!?”

Aku sampai terkejut. Bagaimana bisa dia sampai berpikir seperti itu.

“Karena jika tidak begitu, memangnya kamu sampai perlu berpikir begitu serius?”

Serius!?

“Ribet banget, tapi tidak apa-apa.”

“Boleh aku bertanya kenapa aku harus mendengar hal seperti itu?”

“Ahh... Rasanya terlalu ribet dan menyebalkan jika harus selalu menyatakan penolakan sebelum bertanya, tapi ya, ehm, gimana ya.”

Setelah berpikir sejenak, Kozono-san mengangkat wajahnya.

“Hmm... Ayase-senpai, apa kamu ada waktu setelah selesai bekerja nanti?”

“Eh?”

“Bisakah kamu menemaniku sebentar? Sepertinya ini akan menjadi pembicaraan panjang"

Dengan kata lain, mungkin dia meminta waktu karena pembicaraannya akan menjadi rumit.

Apa yang harus kulakukan? Untungnya hari ini, aku tidak perlu memasak makan malam untuk Ayah tiri. Ibu akan segera pergi bekerja, dan Asamura-kun juga tidak ada, jadi pada dasarnya satu-satunya hal yang harus kulakukan malam ini hanyalah belajar untuk ujian.

Tentu saja, belajar itu penting tapi...

“Baiklah.”

“Karena aku tidak menyukai hal-hal yang ribet seperti ini, aku mencoba bertindak sesuai dengan situasi. Tapi ya, apa boleh buat.”

Dia bergumam tanpa mengharapkan jawaban dari siapapun.

... Entah mengapa sepertinya karakternya sedikit berubah? Apa itu hanya perasaanku saja?

 

◇◇◇◇

 

Setelah bekerja paruh waktu, kami pergi ke observatorium Shibuya Sky.

Kami membayar tiket masuk dan naik ke observatorium untuk menikmati pemandangan malam.

Kami memasuki pintu masuk yang terletak di lantai 14 Shibuya Scramble Square, dan naik ke lantai teratas di mana terdapat observatorium Shibuya Sky.

Lantai teratas yang terhubung ke langit dengan ketinggian 230 meter, menawarkan pemandangan 360 derajat ke sekeliling dan pemandangan meluas hingga ke pelosok wilayah Kanto. Di sebelah timur laut, gedung-gedung pencakar langit di pusat kota dapat terlihat, dan di sebelah utara, gedung-gedung pencakar langit di Ikebukuro, Shinjuku, dan beberapa wilayah kota lainnya dapat terlihat. Di sebelah barat, selama cuaca cerah, katanya kita bahkan bisa melihat Gunung Fuji di siang hari. Itu semua informasi yang kubaca dari brosur.

Waktu kunjungan kami adalah saat-saat di antara siang dan malam, waktu yang agak ambigu.

Di sebelah timur, tirai malam sudah mulai turun dan lampu kota pusat mulai berkelip-kelip. Di sebelah barat, langit masih berwarna merah akibat matahari terbenam. Di ujung barat, cahaya matahari terakhir sedang meredup di sekitar ujung cakrawala.

“Wah, indah sekali ya.”

Dia menempel di dinding sambil menatap ke bawah.

“Di sana, lihat, kita bisa melihat persimpangan Shibuya! Di sana ada banyak orang!”

Saat melihatnya sepintas, aku memang bisa melihat persimpangan di depan stasiun yang kami lewati setiap hari.

Orang-orang yang berjalan di sana terlihat lebih kecil dari kacang polong, bahkan tidak terlihat seperti semut dalam perumpamaan yang umum. Mereka hanyalah titik-titik hitam yang jauh lebih kecil. Di tengah pemandangan senja yang cepat gelap, mereka akan segera tidak terlihat.

Melihat Kozono-san yang sangat senang dengan pemandangan indah tersebut, meskipun aku tidak berniat untuk bersenang-senang, aku merasa sedikit terhibur.

Sambil berkeliling di sekitar observatorium, Kozono-san memberitahuku tentang apa yang terlihat di sana sini. Aku hanya mengiyakan tanpa terlalu memperhatikan, tetapi kadang-kadang memberikan komentar sekilas. Apa yang sebenarnya terjadi dalam situasi ini?

Saat kami menyelesaikan satu putaran, kami kembali ke posisi awal di mana kami bisa melihat persimpangan Shibuya.

“Sebenarnya, aku hanya ingin berteman baik dengan Ayase-san.”

Dia menggunakan “-san”, bukan “senpai”.

Setelah meninggalkan tempat kerja, apa itu berarti kami hanya menjadi kenalan biasa bukan hubungan senior-junior? Atau mungkin...

“Teman, ya? Tapi, Kozono-san sepertinya memiliki banyak teman, jadi sepertinya kamu tidak perlu berusaha membuat teman di tempat kerja, ‘kan?”

Mungkin perkataanku terdengar agak jahat.

Namun, sepertinya Kozono-san tidak mempermasalahkan nada bicaraku dan dia dengan ringan hanya menjawab, “Itu salah.”

Apanya yang salah?

“Aku bukan ingin memiliki teman, tapi hanya ingin sekedar menjadi akrab saja.”

“? Apa bedanya?”

“Aku hanya ingin memiliki hubungan yang bisa berjalan tanpa stres. Kupikir memiliki tempat di mana kita bisa merasa nyaman akan memberikan keuntungan dalam hidup.”

“Tempat...?”

“Ahh, jadi kamu Ayase-san tidak paham, ya. Yah, kurasa itu wajar.”

Kozono-san berkata sambil menyandarkan punggungnya ke dinding observatorium.

Di belakangnya terbentang langit barat laut Shibuya. Matahari terbenam perlahan-lahan mewarnai langit dengan biru kehijauan. Langit di belakang punggung Kozono-san perlahan-lahan meluas dari tangan kanannya ke tangan kirinya.

“Ayase-san sangat kuat, ya.”

“Kuat...?”

“Habisnya, Senpai, kamu tidak pernah merasa tidak bisa mengalahkan seseorang, bukan?”

“Tentu saja itu tidak bena—...”

Aku hampir mengatakan tidak benar, tapi aku menahan diri dan dengan tenang bertanya pada diriku sendiri.

Memang benar jika berbicara tentang kekuatan fisik, aku juga seorang wanita dan tanpa pelatihan khusus, mungkin aku tidak bisa mengalahkan laki-laki. Meskipun mungkin kekuatan cengkeramanku rata-rata, tapi jika harus beradu kekuatan lengan, aku merasa tidak percaya diri. Mungkin aku akan kalah lebih dari setengah waktu bahkan melawan wanita.

Tapi, apa aku merasa kekalahan terhadap lawan tersebut? Aku merasa tidak begitu.

Ketika aku mencermati hatiku, aku menemukan diriku yang enggan menyerah sebelum bertarung. Semangat belajar dan perhatian pada penampilan juga berasal dari keinginan untuk tidak kalah.

“Mungkin saja iya...”

Setelah aku mengatakan itu, Kozono-san mengalihkan pandangannya dan menghela nafas.

“Sudah kuduga...”

“Memangnya kamu berbeda, Kozono-san?”

Ketika aku bertanya seperti itu, Kozono-san menunjukkan ekspresi seolah-olah dia menelan obat pahit—mungkin lebih tepatnya seolah-olah baru menyadari setelah menaruh makanan ke dalam mulut bahwa itu gosong.

“Karena tinggi badanku begini.”

Sambil mengatakan itu, dia membuat gerakan seolah-olah mengelus bagian atas kepalanya dengan tangan kanannya.

“Tinggi rata-rata anak perempuan kelas 6 SD adalah 148 sentimeter, sedangkan anak laki-laki 146 sentimeter. Jadi, anak perempuan lebih tinggi di sekolah dasar. Namun begitu masuk SMP, anak laki-laki tumbuh menjadi lebih tinggi. Jadi, selama masa SD, anak perempuan rata-rata bisa dengan bangga melihat dari atas lebih dari setengah anak laki-laki.”

“Uh, mengerti.”

Apa itu membuatnya merasa bangga? Apa memang begitu adanya? ... Aku tidak terlalu memikirkan hal-hal seperti itu.

“Sampai saat ini, aku juga, sama seperti Ayase-san, menghabiskan setiap hari tanpa ada lawan di sekitarku.”

“Aku tidak berpikir sampai sejauh itu, kok?”

Luar biasa. Dia sangat agresif. Meskipun aku juga menyebut pakaianku sebagai “persenjataan,” tapi aku tidak pernah memperlakukan anak laki-laki di sekitarku sebagai musuh. Namun, balasanku diabaikan oleh Kozono-san.

“Tapi yah begitu masuk SMP, mereka melampaui tinggiku...”

Kozono-san sedikit mengalihkan pandangannya, menatap langit yang berwarna biru nila sambil melanjutkan.

“——Aku pikir kebanyakan gadis merasakannya. Itu adalah kegagalan pertama dalam hidup. Setelah melewati masa pubertas kedua, ketika aku bahkan dikalahkan oleh anak laki-laki yang tidak terampil dalam olahraga, atau aku tidak bisa menang dalam adu panco, dan merasakan sakit di tanganku sendiri setelah memukul dada yang membesar, membuatku ingin menggigit bibirku dengan rasa frustasi bahwa aku tidak akan bisa mengalahkan setengah populasi manusia dari segi kekuatan fisik. Sialan.”

“...Itu sih yah, secara biologis mungkin memang hal yang tidak bisa dihindari.”

Namun, ada gadis yang bahkan bisa mengalahkan anak laki-laki jika dilatih dengan baik.

“Dengan tinggi badan segini?”

“Ya.”

“Hahh…. Aku bukan hanya disusul oleh anak laki-laki, tapi juga oleh gadis-gadis lain. Tinggi badanku berhenti di situ. Setiap hari aku merasakan hal itu di mana pun aku pergi. Kalau naik kereta, aku tidak bisa mencapai tali pegangan, pandanganku juga terhalang, kereta penuh sesak, dan saat berjalan bersama wanita lain, langkahku terlalu kecil sehingga aku tertinggal, sulit untuk menggapai barang di rak atas di toko.”

“Oh... begitu. Itu... pasti sulit.”

“Ya. Ya. Sangat sulit. Semua orang di sekitarku terlihat seperti monster. Aku seperti gnome atau kobold, sementara lawanku seperti orc atau ogre, atau bahkan bisa jadi troll atau giant. Kalau sampai bertarung, aku pasti dijamin kalah, loh!”

“Maaf, aku tidak terlalu memahami di bagian terakhir.”

Mungkin itu istilah khusus dari suatu hal.

“Pokoknya, mereka semua terlihat seperti musuh besar. Jika aku tidak melakukan sesuatu, aku akan dikalahkan

“Oh, baiklah.”

Apa semua orang di sekitarnya dianggap sebagai musuh?

“Eh, apa kamu baru saja berpikir kalau aku suka bertarung atau cari gara-gara?”

“Sama sekali tidak, kok.”

“Ya sudahlah. Memang begitu. Sebenarnya aku mempunyai kepribadian yang buruk. Aku menyadari sendiri hal itu. Baru-baru ini, aku merasa seperti diberitahu oleh Yomiuri-senpai bahwa aku adalah jenius dalam disukai, tapi sebenarnya itu sangat berbeda...”

Selagi kami berbincang-bincang, tirai malam mulai turun dan langit barat laut Shibuya yang membelakangi Kozono-san telah berubah menjadi hitam pekat.

Tidak ada bangunan yang menghalangi pandangan, sehingga terlihat seolah-olah dia membawa beban kegelapan di punggungnya.

“Aku sama sekali tidak pernah berpikir akan dicintai hanya dengan berada di sana, jadi aku benar-benar berusaha mati-matian untuk dicintai.”

Dia mengatakannya dengan nada yang mengejek dirinya sendiri.

“Berusaha...”

“Ya, berusaha. Karena jika aku tampil apa adanya di depan orang lain, aku pasti akan dibenci. Aku mempunyai kepribadian yang buruk. Aku yakin. Bagi diriku, dibenci sama artinya dengan dibunuh. Semua orang di sekitarku adalah musuh, dan jelas sekali kalau aku tidak akan menang jika aku bertarung.”

Kozono-san menyatakan bahwa dia yakin bahwa orang lain tidak akan menyukainya.

Itulah sebabnya dia berusaha untuk disukai oleh orang lain.

Bagiku, itu adalah prinsip tindakan yang tidak pernah aku pertimbangkan sebelumnya.

 

Kozono-san kemudian menceritakan lebih lanjut.

Meskipun itu bukan hobinya, tapi jika lawan bicaranya menyukai buku, dia akan bertindak seolah-olah dia menyukai buku juga. Dia sebenarnya menyukai makanan asam, tapi di depan teman-temannya dia akan mengatakan bahwa dia sangat menyukai makanan manis. Dia takut hantu. Dia suka kucing. Crepe dan macaron adalah makanan favoritnya, sementara dia benci tugas rumah dan diomeli. Itulah cara dia bertindak dan bertingkah laku.

Karena semua orang menyukai Kozono Erina yang seperti itu.

Dengan cara begitu, dia berperilaku seperti itu untuk tidak dibenci dengan selalu menyesuaikan diri dengan preferensi lawan dan melakukan hal-hal yang membuat lawan senang.

Dibenci berarti dibunuh.

Dia berperilaku seperti itu untuk dicintai supaya tidak dibunuh.

Demi bisa menjalani kehidupan yang nyaman di dalam komunitas tanpa merasa terkekang, lebih baik untuk disukai. Dia tidak menunjukkan sedikit pun dari minat aslinya. Dia sepenuhnya menyembunyikannya, yang ditunjukkan ke luar hanyalah sosok Kozono Erina yang manis yang diharapkan oleh pihak lain. Dia sangat konsisten dalam hal itu.

Dia memperkuat perilakunya dengan berpura-pura. Dia melakukan gerakan untuk dicintai hanya untuk kepentingan dirinya sendiri.

“Nah, ‘kan? Bukannya menurutmu aku memiliki kepribadian yang buruk?”

Aku mulai memikirkannya.

Itu karena pemikiran seperti itu sulit dipahami seperti yang aku pikirkan sebelumnya.

“Jadi, kamu selalu menyesuaikan diri dengan lawan dan bertindak seolah-olah itu juga keinginanmu... maksudmu begitu?”

“Itulah yang sedang aku sampaikan.”

“Tapi, kupikir itu hal yang mustahil.”

Kozono-san mengerutkan kening untuk pertama kalinya di sana.

“Itu bukannya mustahil.”

“Karena, ehm, dalam komunitas tempat kamu bergabung? Bagaimana jika ada orang yang suka kucing dan orang yang tidak suka kucing?”

Ada orang yang menyukai kucing dan ada yang menyukai anjing. Itu bukan suatu masalah. Itu juga bukan kontradiksi. Cukup katakan bahwa kamu menyukai keduanya. Namun, menyukai kucing dan tidak menyukai kucing adalah kontradiksi sehingga tidak bisa hidup berdampingan.

Kozono-san menunjukkan ekspresi terkejut, namun segera mengembalikan ketenangannya dan bersikeras bahwa tidak ada masalah.

“Dalam kasus tersebut, aku akan menyesuaikan diri dengan orang yang berpengaruh di komunitas itu.”

Aku mengangguk.

Karena aku juga berpikir bahwa hanya itu satu-satunya pilihan.

“Jadi, itu sebabnya kamu memilih Asamura-kun, ya.”

“...Ya. Kamu bisa menebaknya dengan mudah, Ayase-san.”

Istilah posisi kuat atau lemah dalam konteks ini agak rumit. Karena istilah tersebut tidak selalu hanya tentang posisi sosial.

Dalam hal ini, lebih tepatnya untuk mengatakan, “seseorang yang berpengaruh dalam komunitas.”

Asamura-kun adalah pekerja paruh waktu yang masih pelajar dan bukan karyawan tetap. Di toko buku, manajer adalah posisi tertinggi, diikuti oleh karyawan tetap senior, karyawan tetap junior, pekerja paruh waktu senior, pekerja paruh waktu junior, dan seterusnya. Jika kita melihat dari sisi itu saja, posisi Asamura-kun tergolong lemah.

Namun, ada juga orang yang berstatus sebagai pekerja paruh waktu, tetapi dipercaya untuk mengelola inventarisasi seperti Yomiuri-san.

Dia bahkan diminta oleh manajer untuk menjadi karyawan tetap.

Mungkin Yomiuri-san adalah salah satu staf yang paling dipercayai oleh manajer, sehingga sebenarnya posisinya cukup kuat. Ada orang yang seperti itu meskipun dia hanya seorang pekerja paruh waktu.

Dari sudut pandangku, Asamura-kun juga cukup dipercayai oleh manajer dalam lingkungan kerja para pekerja paruh waktu, hampir selevel dengan Yomiuri-san.

Karena aku menghindari Kozono-san pada tahap awal dia memulai pekerjaan paruh waktunya, Kozono-san tidak punya pilihan selain mendekati Yomiuri-san atau Asamura-kun ke dalam komunitas sesama pekerja paruh waktu. Dia dihadapkan pada situasi yang bertentangan dan terpaksa membuat pilihan.

Namun, Yomiuri-san mengurangi jumlah kunjungan ke toko buku untuk mengantisipasi kelulusannya dari universitas, sehingga Asamura-kun adalah satu-satunya orang yang dapat dia andalkan untuk meminta bantuan.

“Aku secara akit terlibat dengan Asamura-senpai hanyalah sebagian dari hal tersebut. Itu sedikit berbeda dari yang namanya pendekatan. Karena kupikir Ayase-san membenciku, jadi aku harus berusaha keras untu tidak dibenci oleh Asamura-senpai.”

“Apa itu disebut berusaha?”

“Eh?”

Dia menatapku seakan bertanya, “Apa yang kamu bicarakan?”

“Hmm, mungkin cara bertanyaku agak payah...tapi, apa maksudmu dengan berusaha keras?”

“...Itu maksudnya aku sudah melakukan upaya yang terbaik.”

“Apa kamu berupaya dengan baik?”

Tampang Kozono-san mendadak jadi cemberut.

“A-ah, aku  minta maaf kalau kamu marah. Bukan itu maksudku... Hmm.”

Aku mengerti apa yang dia katakan. Namun——ada sedikit perbedaan antara serius dan berusaha semaksimal mungkin.

“Sejak aku masih kecil, kedua orangtuaku tidak pernah ada di rumah ketika waktu makan malam.”

Kozono-san memasang ekspresi heran sekaligus terkejut ketika aku mendadak bercerita.

“Sejak masih SD, aku sudah memasak sendiri. Kalau makan di luar atau pesan makanan, harganya terlalu mahal. Kalau makanan siap saji, aku tidak bisa makan banyak. Jadi mungkin aku sering memasak lebih banyak daripada orang lain.”

Aku sudah mulai memasak sendiri saat tidak ada orang di dapur ketika aku masih SD. Tentu saja, pada saat itu aku dulu dilarang menggunakan kompor untuk menggoreng dengan minyak, tetapi setelah selesai praktik memasak dalam pelajaran tata boga, aku mulai sering berada di dapur.

“Jadi, itu sebabnya kamu begitu pandai memasak, ya.”

“Aku juga tidak benci memasak. Tapi lebih karena aku merasa kalau itu sebuah kebutuhan. Aku harus melakukannya karena tidak ada pilihan lain selain membuat sesuatu yang bisa kumakan.”

“Itu sangat mengejutkan.”

“Selain itu, umm belakangan ini, kadang-kadang ada orang yang sangat memuji masakanku... 'Luar biasa', 'Aku belum pernah makan yang se-enak ini', dan sebagainya.”

Tidak, kalau tidak salah dia memuji sup miso buatanku yang enak? Yah, detailnya tidak terlalu penting.

“Eh, kamu mau coba pamer sebagai istri yang baik?”

“Ti-Tidak. Bukan itu maksudku. Aku hanya tidak mengharapkan pujian itu, jadi aku terkejut. Dan yang aku rasakan saat dipuji adalah bahwa meskipun hal itu penting bagi diriku sendiri, bukan berarti aku sudah benar-benar berusaha keras.”

Tentu saja aku selalu memiliki kesadaran untuk memperhatikan dengan serius ketika memasak. Tidak diragukan lagi bahwa aku serius. Misalnya saja, aku merasa tidak melakukan sesuatu yang istimewa sekarang, karena sudah menjadi bagian dari rutinitas harianku untuk menjelajahi internet dan majalah untuk mencari resep di waktu senggang. Ya, begitulah.

Aku menyadari bahwa aku berusaha keras ketika sedang belajar untuk ujian. Tapi, aku tidak merasa sedang berusaha keras dalam memasak. Karena aku tidak bermaksud menjadi ahli dalam memasak atau menjadi seorang koki. Aku hanya melakukannya karena merasa harus melakukannya. Aku tidak bertujuan untuk menjadi lebih baik dari yang lain.

Aku merasa bahwa hal yang sama berlaku juga kepada Kozono-san yang “menyesuaikan diri dengan lawan bicara”.

Apa orang yang hanya terpaksa melakukannya karena keadaan memiliki kepribadian yang buruk?

“Bahkan jika kamu mengatakan itu, tapi aku mendapatkan manfaat darinya.”

“Namun, bukannya kamu merasa bersalah karena berpikir begitu?”

“Ugh.”

Aku juga merasa sungkan ketika dipuji berlebihan atas masakanku. Mungkin hal tersebut sama seperti itu.

“Kupikir orang yang benar-benar mencari nafkah dari memasak, mereka pasti telah berusaha keras sejak masih seusiaku, jadi sulit untuk mengatakan bahwa aku berusaha keras dalam memasak.”

“Mungkin itu ada benarnya, tapi…”

“Selain itu... Kozono-san, kamu mulai mewarnai rambutmu ketika masuk SMA, ‘kan?”

“....Ya.”

“Nah, bukannya itu aneh? Bagaimana jika warna rambut yang diharapkan adalah rambut hitam?”

Kozono-san terdiam untuk pertama kalinya.

Jika dia konsisten, dia seharusnya seperti itu. Yomiuri Shiori-san terus mempertahankan penampilan dengan rambut panjang hitam alami karena dia menyadari bahwa itulah penampilan yang paling diinginkan oleh orang-orang di sekitarnya.

Ya, Yomiuri-san adalah orang yang melakukan hal-hal tersebut secara alami.

Aku tidak begitu yakin apa orang itu benar-benar menyukai gaya kecantikan ala Jepang atau tidak. Menjadi cantik dan tertarik pada berdandan itu adalah dua hal yang berbeda. Mungkin dia sama seperti Profesor Kudo yang mungkin tidak peduli jika ada daun menempel pada pakaiannya. Aku merasa orang yang tenggelam dalam dunia buku, cenderung memiliki sifat seperti itu.

Jadi, aku agak merasa kurang nyaman dengan fakta bahwa Yomiuri-san tidak bisa melihat gerakan yang membuat Kozono-san dicintai... tapi, sekarang bukan saatnya untuk memikirkan itu.

“Kamu mungkin tidak menyadarinya. Tapi, kurasa Kozono-san sudah menyadari hal itu di dalam hatimu.”

“Apanya?”

“Berperilaku seolah-olah menyukai hal yang disukai oleh lawan bicaramu. Berusaha keras untuk melakukan segalanya dengan perilaku semacam. Mustahil untuk melakukan hal semacam itu. Kozono-san, kamu tidak mewarnai rambut dalammu hanya karena ingin dicintai oleh orang lain, ‘kan?”

Setelah aku menunjukkan demikian, Kozono-san terdiam sejenak untuk berpikir. Lalu, dia menjawab seakan-akan sudah mengakui.

“Ada seseorang yang mengatakan hal yang sama seperti yang kamu katakan, Ayase-san.”

Rupanya Yomiuri-senpai juga memberikan saran serupa kepadanya. Motivasi Kozono-san yang menurutnya sama dengan jawabannya saat itu, sedikit bersifat spiritual sehingga begitu jelas.

---Dia merasa bahwa bayangan dirinya di cermin bukanlah dirinya sendiri, itulah mengapa dia mewarnai rambutnya.

Meskipun dia akan segera menghadapi wawancara kerja paruh waktu dan ada kemungkinan dia akan terlihat mencolok dan berbeda.

“Aku merasa bahwa jika kamu gagal dalam wawancara, kamu bisa mencari kesempatan di tempat lain.

...Ya, benar sekali.

Jadi aku berpikir, apa iya Kozono-san hanya melakukan hal itu karena merasa terpaksa? Jika kamu konsisten, kamu seharusnya memutuskan warna rambutmu sesuai dengan keinginan orang-orang di sekitarmu, bukan?

Tetapi, dia tidak ingin melakukan itu. Walaupun Kozono-san mengatakan bahwa dia menyesuaikan diri dengan orang lain, tapi itu hanya sebatas yang bisa dia lakukan. Ada bagian dari dirinya yang tidak melakukannya, dan itu berarti perilaku untuk disukai bukanlah semata-mata untuk kepentingan dirinya sendiri.

Misalnya saja, jika ada seseorang yang bermimpi menjadi seorang aktor dan melakukan latihan akting untuk itu, maka mungkin dia melakukannya sebagai latihan untuk memerankan peran. Mungkin dia akan melakukan perubahan penampilan sesuai dengan karakter yang dimainkannya.

Kozono-san sangat tekun dalam belajar pekerjaan paruh waktu, bahkan saat acara kemah barbekyu kemarin, kamu dengan sabar mempelajari cara menggunakan pisau yang belum pernah kamu lakukan sebelumnya. Apa itu juga bagian dari perilaku untuk disukai?

Tentu saja.

“Apa iya? Karena menurutku, kedua hal tersebut menunjukkan kecermatan Kozono-san.

Kozono-san tiba-tiba memalingkan mukanya.

“Itulah sebabnya, Ayase-san! Di situlah aku salah perhitungan...”

Haaa, dia menghela napas dan mendesah.

“Maksudnya di bagian situ?

“Makanya... umm jadi, saat acara kemah terakhir, aku merasa tertarik pada Asamura-senpai. Aku merasa agak serius dengannya.

Meskipun aku penasaran mengapa nama Asamura-kun muncul dalam percakapan ini, tapi aku tidak ingin memotong cerita Kozono-san, jadi aku melanjutkan percakapan.

Maksudmu ...... bukan demi menciptakan lingkungan yang baik untuk dirimu sendiri atau semacamnya?

Ya. Habisnya kamu tahu sendiri, saat aku hampir jatuh, dia benar-benar memberi perhatian dan menopangku, kan?”

“Karena Asamura-kun memang cowok yang baik, sih.”

“Jadi aku berpikir bahwa jika cowok keren seperti dirinya melindungiku, mungkin aku tidak perlu memaksakan diri untuk menyesuaikan diri dengan orang lain.”

“Cowok keren...?

“Sudah kubilang kenapa kamu malah bertanya balik?

Maaf. Ya, ia memang cowok baik dan bisa diandalkan.

Meskipun aku mengakui fakta bahwa aku juga menganggapnya keren ketika ia memberikan dukungan penuh kepada sahabatnya, tetapi aku merasa agak heran ketika orang lain menganggap Asamura-kun demikian.

Kira-kira kenapa ya?

Tapi, jika kamu sampai mengatakannya begitu berarti kamu menyadari kalau  kamu sudah memaksakan diri.”

Itu tidak penting sekarang! Yang terpenting adalah jika aku serius ingin mendekati Asamura-senpai, aku harus memperhatikan keberadaan sainganku.”

“Ah...

Akhirnya misteri dari pertanyaannya ketika ketika istirahat mulai terpecahkan.

Jadi itu sebabnya kamu menanyakan, 'Apa kamu sedang berpacaran dengan Asamura-senpai?'

“Begitulah maksudku. Jika Ayase-san berpacaran dengan Asamura-senpai, kamu pasti merasa ingin menghancurkan lalat yang mendekatinya, bukan?

Sudah kubilang mengapa dia begitu agresif?!

“Dengan kata lain, jika aku mencoba mendekati Asamura-senpai, Ayase-san pasti akan membenciku.

Jika dia mendukung orang di satu sisi, maka dia akan menjauh dari yang lain. Mana mungkin dia bisa berteman denganku sambil mendapatkan Asamura-kun di saat yang bursamaan.

Sejujurnya, sampai saat ini aku berpikir kalau Ayase-san tidak menyukaiku. Jadi, jika memang begitu, aku berpikir itu tidak masalah jika aku mencoba mendekati Asamura-senpai.

Tidak disukai olehku tidak sama dengan Asamura-kun yang menyukai Kozono-san.

“Uwaahh, itu argumen yang masuk akal. Tentu saja begitu. Tapi lihatlah, bukannya aku sudah mendapatkan posisi sebagai junior yang imut?”

Ya, memang sih.

“Senpai yang satu ini masih belum sepenuhnya setuju. Sialan.

Yah, siapa pun itu, mereka bebas mendekati seseorang.”

Jangan terus-terusan menyindir hanya karena kamu bebas mengatakannya. Yah terserah. Jadi, itu sebabnya aku berpikir mencoba mencari kesempatan untuk mendekatinya. Tapi kemudian, tiba-tiba saja kamu mendadak menjadi ramah selama acara perkemahan. Bahkan baru saja. Kenapa kamu tiba-tiba memujiku? Di situlah aku salah perhitungan.

Oh, jadi itulah yang dia maksud dengan salah perhitungan. Tapi bagiku...

“Aku hanya memuji apa yang menurutku patut dipuji.

Aku merasa akhirnya bisa memahami gambaran mengenai sosok Kozono-san.

Dia benar-benar kebalikan dari Maaya.

Alasan Maaya memandang orang-orang di sekelilingnya begitu dekat, bukanlah untuk kepentingannya sendiri. Mungkin karena dia memiliki banyak adik dan telah merawat mereka sejak lama, sehingga dia memiliki kemampuan empati yang luar biasa.

Sebaliknya, Kozono-san lebih mirip denganku. Berbeda denganku yang mencoba untuk keluar dari lingkaran sosial, dia hanya berusaha bertahan hidup di dalamnya. Meskipun kepribadian asli kami sama, perbedaan dalam pendekatan antara aku yang memilih untuk hidup sendiri dan dia yang menyadari bahwa dia tidak bisa hidup sendiri, itulah yang membuat perbedaan di antara kami berdua sekarang.

Baik aku maupun Kozono-san memprioritaskan lingkungan kami sendiri sebagai pilihan pertama.

“Untuk menjawab pertanyaanmu siang tadi...

Ini bukanlah keputusan yang aku buat setelah berdiskusi dengan Asamura-kun. Aku tidak berkomunikasi dengannya dulu. Mungkin tidak baik bagiku untuk mengungkapkannya di sini tanpa izin.

Meski begitu...

 

Aku dan Asamura-kun berpacaran. Kami adalah sepasang kekasih.

Kozono-san dengan cepat menoleh ke arahku.

Dia menatapku dengan mata kecilnya.

Ti-Tidak masalah kok. Aku sudah mempunyai firasat. Aku tidak berencana untuk merebutnya secara paksa. Kita bebas menyukai siapa saja, ‘kan? Yah, secara hukum, menurutku sah-sah saja untuk merebutnya sampai ia menikah.

Jadi, maksudmu kamu tetap ingin mendekatinya?

Kozono-san berjalan menjauh dari dinding.

Dia kemudian melaju melewati sampingku.

“Kamu mungkin sudah tahu, tapi aku adalah orang yang sangat egois. Aku mungkin tidak akan kalah dari seseorang yang mencoba mengukur jarak dengan hati-hati sambil mencemaskan hal-hal yang tidak perlu.

Setelan berkata demikian, dia berjalan menuju pintu keluar.

Meskipun kata-katamu penuh dengan percaya diri, tapi kamu menggunakan 'mungkin', ya.

Kozono-san memalingkan tubuhnya dan menatapku.

Dia menatap lurus ke arah mataku.

Aku merasa ini baru pertama kalinya hari ini kami bertatap mata dengan serius.

Aku membenci bagian Ayase-senpai yang begitu, tau!

Pwee, dia menjulurkan lidahnya sambil berkata begitu.

 

◇◇◇◇

 

Setelah itu, dia pergi tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

Aku dalam masalah.

Sepertinya aku harus memikirkan banyak berbagai hal tentang Asamura-kun.

Di balik pintu di mana Kozono-san pergi, cahaya lampu di gedung pencakar langit di pusat kota Tokyo yang sudah malam, kini sedang menerangi langit malam dari bawah.

 

◇◇◇◇

 

Pada malam itu, aku sempat bertukar pesan dengan Asamura-kun melalui LINE.

Namun, percakapan kami berakhir dengan cepat.

Aku ingin berdiskusi dengannya mengenai masalah ini, tapi ia bilang besok juga harus bangun pagi... Setelah dipikir-pikir lagi, Asamura-kun seharusnya berkonsentrasi pada belajarnya saat ini, jadi aku merasa tidak enak menghabiskan waktunya dengan masalah pribadiku.

Aku merasa kalau keputusan itu sudah benar.

Padahal baru hari kedua dari pembelajaran intensif——hanya dua hari sejak aku tidak bertemu Asamura-kun, tapi hatiku merasa sangat merindukannya.

Aku ingin bertemunya. Aku ingin mendengar suaranya. Aku ingin menyentuhnya.

Mengapa kamu tidak di sini sekarang? Aku ingin kamu tetap berada di sini.

Aku hampir saja mengatakannya.

Sementara aku terbaring di tempat tidur sambil tidak bisa tidur karena memikirkan berbagai hal, waktu pun terus berjalan. Jam digital di samping bantal bergerak beberapa menit setiap kali aku membuka mata.

Aku harus segera tidur atau nanti aku tidak akan bisa bangun pagi.

Samar-samar aku mengingat percakapanku dengan Kozono-san.

Dia mengatakan bahwa dirinya tidak akan ragu-ragu dalam percintaan karena dia orang yang egois, tapi jika dia mengatakannya begitu, itu berarti aku juga harus menunjukkan sisi egoisku.

Ketika kami pergi berbelanja untuk kebutuhan perkemahan barbekyu, aku ingat kalau kami mencoba untuk berbicara tentang bagaimana menjelaskan hubungan kami kepada Kozono-san. Kami lalu memutuskan untuk memikirkannya Bersama-sama nanti.

Namun, aku malah menceritakan semuanya pada Kozono-san tanpa berdiskusi dulu dengan Asamura-kun.

Ketika aku mencoba menganalisis perasaanku pada waktu itu, aku merasa ada kecemasan besar jika dia serius ingin mendekati Asamura-kun. Meskipun saat itu aku tidak menyadari itu sepenuhnya.

Itulah sebabnya aku mengungkapkan bahwa kami adalah sepasang kekasih.

Aku sendiri cukup egois.

Tapi aku tidak ingin menunjukkannya kepada Asamura-kun.

Aku bingung ketika harus berurusan dengan seseorang yang terlibat dalam hidupku, terutama ketika aku tidak bisa mengabaikannya.

Apa aku boleh meminta sesuatu darinya? Bagaimana jika permintaanku tidak terpenuhi?

Aku takut kalau hubungan kami berdua menjadi canggung dan rusak.

Tetapi... aku merasa kalau hubungan percintaan.... memiliki sisi seperti itu...

Karena aku ingin menginginkannya, aku juga ingin dia merasakan hal yang sama...

Sepertinya cinta tidak akan terwujud tanpa adanya permintaan dari kedua belah pihak sebelum adanya persetujuan.

Jika ini hanya cinta sesaat selama musim panas, mungkin akan baik-baik saja jika itu dimulai dan berakhir di sana.

Tapi kami berdua adalah saudara tiri sekaligus sepasang kekasih. Ada perasaan cinta dalam kehidupan kami. Itu berarti ini bukan hanya peristiwa sekali jalan, tetapi segalanya akan berlanjut.

Bisa dibilang, kami berdua sedang menjalani kehidupan percintaan.

Apa yang seharusnya aku lakukan?

Saat aku mengkhawatirkan hal tersebut, aku tidak bisa mengangkat kelopak mataku lagi dan akhirnya tertidur lelap.

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama