Roshidere JIlid 8 Bab 10 Bahasa Indonesia

Chapter 10 — Pengakuan

 

(...Pada akhirnya, aku tidak paham dengan reaksinya tadi)

Setelah semuanya selesai memakan kue, waktunya sudah menunjukkan jam 8 malam. Ketika usulan Nonoa untuk bermain permainan Werewolf* diterima karena ada cukup banyak orang, sementara persiapan sedang berlangsung, Masachika memikirkan reaksi Alisa tadi sambil melakukan urusannya di toilet. (TN: Cari aja di google, konsep permainannya hampir mirip seperti game Among Us)

(Sepertinya tadi dia memelototiku sebentar...? Apa hadiahku salah? Tapi kemudian dia bilang kalau dia menyukainya... Hmm~?)

Dengan kepala terombang-ambing apakah hadiah itu benar atau salah, Masachika keluar dari toilet setelah menghela napas karena tidak bisa menemukan jawabannya. Tapi begitu dirinya keluar, namanya langsung dipanggil dari samping.

“Masachika-sama.”

“O-ohh, apa?”

Setelah menoleh, Masachika melihat Ayano berdiri di lorong yang redup.

(Oh, Ayano juga mau ke toilet ya.)

Sambil berpikir begitu, Masachika menggeser dirinya ke samping untuk memberinya tempat, tapi Ayano masih terus menatapnya.

“Saya pikir sudah waktunya bagi saya untuk pulang sekarang.”

“Eh, benarkah? Memangnya kamu punya batas waktu untuk pulang, ya...?”

Memang benar kalau sekkarang sudah memasuki bulan November dan di luar sudah gelap gulita, tapi Masachika merasa itu tidak terlalu penting bagi Ayano yang diantar jemput dengan mobil... Namun Ayano kembali melanjutkan setelah sedikit ragu-ragu.

“Sebenarnya... alasan bahwa Yuki-sama mempunyai urusan mendesak tadi itu bohong.”

“Eh?”

Ketika Masachika masih dalam keadaan terkejut, Ayano mengatakan kepadanya seolah-olah dia sudah mengambil keputusan.

“Sebenarnya... Yuki-sama terserang flu dan jatuh sakit.”

“Eh...”

“Saya tidak ingin membuat orang lain khawatir dan merusak suasana pesta, jadi saya langsung berbohong pada saat itu juga...”

“...”

Lebih dari separuh penjelasan Ayano mengenai situasi tersebut tidak masuk ke dalam otak Masachika. Yuki terserang flu. Yuki, yang tidak pernah sakit sejak SMP dan tidak pernah terlambat atau absen, tiba-tiba jatuh sakit.

(Mengapa hal seperti itu...)

Sembari memikirkan itu dengan linglung, tiba-tiba senyum palsu yang ditunjukkan Yuki di toko pakaian kembali muncul di dalam pikiran Masachika.

(Itu dia)

Secara intuitif, ia merasa begitu. Ia seharusnya bisa menyadarinya. Bahwa Yuki sedang mengalami kekhawatiran karena ibunya.

(Meskipun aku sudah menyadarinya...)

Akibat dari berpura-pura tidak menyadarinya, Yuki...

“Ko-Kondisinya, bagaimana dengan kondisinya?”

Ketika Masachika bertanya dengan nada yang terbata-bata, Ayano menjawab dengan ekspresi sulit.

“Dia sedang menerima perawatan dari dokter... tapi dia masih menderita demam tinggi. Selain itu, dia juga merasakan sakit tenggorokan dan batuk...”

“Batuk...”

Dari dalam ingatannya, gambaran Yuki yang dulu muncul kembali. Adik perempuannya yang tadinya masih sehat-sehat saja beberapa saat yang lalu, tapi tiba-tiba mulai batuk dan tidak bisa berhenti. Dia terkulai di tempat tidur, memegangi tenggorokannya dan berusaha keras mencari udara dengan bibirnya yang putih, tetapi yang ia dengar hanyalah suara desisan napas. Masachika hanya bisa memanggil orang dewasa. Saat dirinya mengusap punggung adiknya dengan lembut, kulitnya yang begitu tipis hingga terasa tulang di tangannya...

“——chika-sama, Masachika-sama!”

“!”

Panggilan Ayano membuat Masachika kembali tersadar. Ia menatap Ayano dengan canggung, dan Ayano mengangkat alisnya dengan ekspresi kesakitan dan berkata.

“Saya mengetahui dengan sadar bahwa Masachika-sama menghindari keluarga Suou... Tapi... apakah anda bersedia untuk mengunjungi Yuki-sama?”

“Eh...”

“Saat ini, saya pikir Yuki-sama sangat membutuhkan Masachika-sama lebih dari siapa pun.”

Kalimat itu juga pernah dikatakan oleh Ayano saat festival olahraga. Tapi... tanpa berpikir panjang, kata-kata yang keluar dari mulut Masachika adalah…

“Aku…. tidak bisa pergi.”

Kata-kata penolakan yang terdengar seperti gemuruh.

“Masachika-sama...!”

Ayano, yang biasanya tidak menunjukkan emosi, sedikit meninggikan suaranya.

Tatapan penuh tuntutan yang ditujukan kepadanya oleh teman masa kecilnya, gadis yang bisa disebut sebagai adik perempuannya yang lain. Hal ini sangat menusuk hati Masachika.

Meskipun begitu, bibirnya tetap tidak bergerak. Kata-kata “Aku juga akan pergi” tidak bisa keluar dari tenggorokannya. Di dalam dirinya, kediaman Suou yang kini telah menjadi simbol penderitaan dan penyesalan. Wajah Yumi yang muram dan pandangan dingin Gensei. Semuanya membuatnya tercekik, dengan pikiran-pikiran seperti “Apa yang akan terjadi jika aku pergi ke sana?” dan “Bagaimana orang lain akan memandangku jika aku kembali bersamanya sekarang?” terus berputar di dalam benaknya. Tiba-tiba,

*Krek*        

Pintu yang mengarah ke ruang tamu terbuka, dan Chisaki melongokkan kepalanya.

“Eh? Kalian kenapa? Permainannya sudah hampir dimulai, lho.”

Chisaki memberi mereka tatapan curiga saat mereka berdua berdiri diam di koridor. Orang yang pertama kali bereaksi terhadap hal ini adalah Ayano.

“Tidak, bukan apa-apa.”

Setelah berkata demikian, Ayano berbalik dan berbisik kepada Masachika di belakangnya.

“(Saya akan menunggu anda di bawah selama sepuluh menit)”

Batasan waktu yang dihadapinya sebelum mengambil keputusan membuat Masachika merasa mual. Perasaannya tiba-tiba memburuk, tubuhnya terasa berat.

(Meskipun aku diminta menunggu, aku...)

Dengan suasana hati yang dingin, tidak nyaman, dan tidak enak.

Ruang tamu penuh dengan suasana ceria dan hangat. Dirinya tidak ingin kembali ke sana. Tapi ia tidak bisa melakukan itu di depan tatapan meragukan Chisaki.

Masachika mengikuti Ayano kembali ke ruang tamu dengan langkah yang berat. Ayano kemudian menundukkan kepalanya kepada Alisa, Touya, dan yang lainnya di pintu masuk ruang tamu.

“Maafkan saya. Saya mohon pamit untuk pulang dulu sekarang.”

Masachika tidak bisa menatap Ayano secara langsung. Tanpa sempat memperbaiki ekspresinya, ia memanfaatkan perhatian semua orang pada Ayano yang meninggalkan ruangan, lalu diam-diam berlari ke dinding.

Ia merasa seperti Ayano menatapnya dengan tatapanyang  menyalahkan dirinya... Setelah Ayano meninggalkan ruang tamu, dan Masachika akhirnya menghembuskan napas. Namun, ia sangat membenci dirinya yang pengecut.

“Kamu kenapa, Kuzecchi~?”

Meskipun Masachika sudah berusaha agar tidak terlalu mencolok di dekat dinding, tapi namanya tiba-tiba dipanggil dengan nada tajam, membuatnya mengangkat wajahnya. Dan di sana, seolah-olah sudah lama berada di sana, Nonoa menyelinap dan melirik Masachika dengan tatapan mata setengah terbuka, membuat Masachika dengan cepat tersenyum.

“Tidak, bukan apa-apa...”

“Benarkah~? Wajahmu terlihat sedikit serius tadi.”

“Oh, benarkah? Mungkin karena aku sedang memikirkan sesuatu.”

Masachika tidak bisa memikirkan alasan yang cerdas, dan menipu dengan kebohongan yang jelas. Nonoa menatap Masachika dengan tajam... Kemudian dia tiba-tiba mengubah sikapnya menjadi serius.

“Benarkah?”

“Eh—”

“Apa kamu yakin tidak ada masalah?”

Dengan pertanyaan serius yang tak terduga dari Nonoa, Masachika menjadi gelisah. Dan kegelisahan itu semakin membesar dengan kata-kata selanjutnya dari Nonoa.

“Aku tahu kamu selalu mewaspadaiku. Tapi, aku juga ingin membayar utangku sama seperti orang lain, tau?”

Ini adalah pernyataan langsung, bersahaja dan lugas yang hanya bisa dilakukan oleh Nonoa, yang menyoroti kewaspadaan pihak. Mungkin itulah sebabnya. Perkataan selanjutnya juga terasa jujur seperti kata-kata Nonoa.

“Setidaknya aku bisa mendengarkan ceritamu, kok? Tentang Yukki dan Yushou, aku merasa lebih tahu tentang keadaan Kuzecchi daripada orang lain? Meskipun ini terdengar sombong, aku bisa memberikan pendapat objektif loh~?”

“.....”

Sejujurnya, hatinya terguncang sampai-sampai ia terkejut pada dirinya sendiri. Jika tidak ada orang lain di sini sekarang, Masachika mungkin akan menceritakan kekhawatirannya kepada Nonoa dengan putus asa.

Namun......

“.....”

Alisa sedang diberi pengarahan oleh Sayaka dan Maria tentang permainan Werewolf. Touya, Chisaki, Takeshi, dan Hikaru bercanda santai setelah akrab. Melihat mereka yang tampak bahagia, Masachika pun tersenyum.

“Terima kasih...... tapi, sekarang tidak apa-apa.”

“....Apa kamu masih sanggup menahannya?”

Mendengar pertanyaan langsung Nonoa yang menusuk inti, Masachika terkejut dan…… akhirnya tersenyum lemah.

“Yeah, aku masih sanggup... terima kasih.”

“Hmm, begitu ya.”

Setelah mengangguk penuh pengertian, Nonoa dengan mudah menghormati keputusan Masachika. Lalu dia berbalik dan dengan suara malas, dia berbicara kepada tujuh orang lainnya dengan nada yang berbeda.

“Kalau gitu~ mari kita mulai sekarang, ya~. Karena jumlah orangnya ada sembilan, gimana kalau manusia serigalanya dua orang?”

“Hmm, mungkin itu bisa. Untuk peran lainnya, mungkin warga desa, peramal, cenayang, dan ksatria.”

“Umm, maaf, aku masih belum sepenuhnya memahami aturannya...”

“Oh benarkah? Bagaimana kalau kita mencoba main sebentar untuk memahami aplikasinya? Aku juga sudah lama tidak memainnya nih~”

Semua orang berbincang-bincang dengan ceria tentang aturan permainan Werewolf, Masachika juga berbaur di antara mereka dengan senyuman yang tersungging di wajahnya.

(Oh, ini... mungkin lebih sulit dari yang kuduga)

Sesaat kemudian, kata-kata pesimis seperti itu terlintas di dalam benaknya.

Baru beberapa saat yang lalu, ia mengatakan kepada Nonoa bahwa dirinya masih sanggup menahannya. Tapi ...... Masachika sudah merasakan hatinya tertekan karena perbedaan antara perasaan batinnya dan ekspresi luarnya..

“Eh, kenapa tiba-tiba malah aku yang mati!?”

“Ya, Takesshi sekarang jadi penonton ya~”

“Seriusan nih~”

Senyum dan tawa yang bersemarak. Di tengah-tengah itu, Masachika tertawa bersama mereka meskipun hatinya tidak tenang. Dirinya merasa sangat tidak nyaman dengan dirinya sendiri yang tertawa saat adiknya menderita. Ia merasa dirinya benar-benar manusia rendahan.

“Ah, aku mati. Oii, siapa sih yang jadi manusia serigalanya~”

“Lah, jadi Masachika bukan manusia serigalanya, ya...”

“Eh, kenapa kamu curiga padaku!”

Rasanya begitu menjijikkan. Perutnya terasa mual dan mau muntah. Ia benar-benar membenci dirinya. Sebaiknya dia mati saja.

(Ah, percuma, aku sudah tidak sanggup lagi)

Saat ia berpikir begitu, aplikasi permainan Werewolf memberitahu bahwa permainan telah berakhir, dan Chisaki serta Maria bersorak sorai.

“Yeay! Menang! Bagus sekali, Masha~!”

“Eh, kita menang, ya~hore~!”

Masachika berdiri sambil melihat mereka berdua yang saling bertukar tos. Ia kemudian tersenyum meminta maaf sebisa mungkin dan membungkuk.

“Maaf, sepertinya aku juga harus segera pergi...”

“Eh, benarkah?”

“Padahal sebentar lagi pertandingan sesungguhnya...”

“Oh sayang sekali.”

“Kalau begitu, biarkan aku mengantarmu—”

“Ah tidak perlu, tidak usah repot-repot.”

Sambil mencegah Alisa yang hendak bangkit, Masachika cepat-cepat meraih barang bawaannya. Ia merasa kalau Nonoa sedang memperhatikannya dengan seksama. Setelah merasakan tatapan itu, Masachika pergi ke sisi Alisa sambil sengaja tidak melihat ke arah sana dan tersenyum.

“Sekali lagi, selamat ulang tahun, Alya. Aku akan pulang duluan, semoga malammu menyenangkan.”

“Oh, ya...”

“Maaf, tolong nanti kuncikan pintunya.”

Setelah mengatakan hal ini dan menyapa Akemi dan Mikhail, yang sedang merapikan dapur, Masachika dengan cepat berjalan ke pintu depan.

Ketika membuka pintu, udara dingin bulan November menerpa wajahnya. Masachika berjalan cepat melewati udara dingin itu, menuju lift sambil memeriksa waktu di ponselnya.

Saya akan menunggu anda di bawah selama sepuluh menit

Sudah lima belas menit berlalu sejak Ayano pergi. Biasanya dia pasti sudah pulang, tetapi jika Ayano memperpanjang waktunya, mungkin...

Antara Ayano masih menunggunya atau dia sudah pulang. Tidak yakin dengan apa yang diinginkannya, Masachika masuk ke dalam lift. Jantungnya berdebar-debar, entah karena gugup atau takut. Sambil berusaha keras untuk menekannya, Masachika turun dari lift dan berjalan melewati pintu masuk——dan ia merasa lega ketika melihat tidak ada mobil terparkir di sana.

“Brengsek!”

Masachika mengucapkan kata-kata kasar sesuai dengan perasaannya yang sebenarnya. Ia kemudian mulai berjalan tanpa tujuan di jalanan yang sepi.

(Lagi-lagi, aku melarikan diri)

Di sudut pikirannya, suara sinis yang penuh dengan penghinaan terdengar. Masachika berjalan tanpa tujuan, tanpa mempunyai tenaga untuk membantah suara itu. Kemudian, ia tiba-tiba melihat sebuah taman kecil di sampingnya, jadi ia berjalan dengan langkah berat menuju taman tersebut dan duduk di bangku.

“...”

Melarikan diri. Memang benar. Namun, dirinya masih ada kesempatan untuk memperbaikinya. Masachika tahu tempatnya. Ia masih bisa mengejarnya dengan memanggil taksi atau semacamnya. Meski ia tidak bisa melakukan itu, karena Kyotarou ada di rumah. Dirinya bisa bergegas pulang, menjelaskan situasinya dan pergi bersamanya ke rumah Suou, dan masalah akan selesai.

Ya, Masachika mengetahui hal tersebut. Karena dirinya sangat menyadarinya... itulah sebabnya ia duduk di sini.

(Aku masih belum terlambat jika pergi sekarang. Memangnya aku akan menjadi cowok bajingan lagi? Aku pasti akan menyesalinya jika aku tidak pergi sekarang!)

(Memangnya apa yang bisa kamu lakukan jika pergi ke sana? Lagipula, bagaimana kamu bisa menghadapi Ayano setelah menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan padamu?)

(Ini bukan soal apa yang bisa dilakukan atau tidak bisa dilakukan! Yuki sedang menderita. Aku tidak perlu alasan lain untuk pergi ke samping Yuki!)

(Kamu berpikir terlalu berlebihan. Dia sudah diperiksa oleh dokter, dan pada zaman sekarang, flu bisa sembuh dengan minum obat penurun panas)

(Sudah kubilang! Bukan itu masalahnya! Sebagai kakak, jika adikmu menderita, kamu harus berada di sisinya tanpa syarat! Selain itu, asma bisa menjadi parah karena flu -)

Dua suara yang bertentangan saling bertabrakan di dalam pikirannya. Masachika tahu. Dirinya tahu harus mengikuti suara yang mana. Meskipun dirinya tahu, tapi tubuhnya tidak mau bergerak sama sekali.

Bahkan saat dirinya terus merenungi hal itu, waktu terus berlalu. Dan semakin lama waktu berlalu, semakin sulit untuk pergi. Setelah memahami semuanya, Masachika masih membuang-buang waktunya di sini. Dirinya hanya duduk di bangku dingin, membiarkan udara dingin menyedot panas dari tubuhnya yang tidak mau bergerak.

(Ah, lagi-lagi...)

Lagi-lagi, dengan cara seperti ini. Dirinya berkubang dalam penyesalan dan kebencian terhadap dirinya sendiri, puas hanya dengan tenggelam dan tidak melakukan apa-apa. Mengetahui bahwa dirinya sendiri bersalah, tapi merasa cukup karena sudah mengetahuinya. Karena sudah cukup menyalahkan diri sendiri, jadi tidak adamasalahnya, ‘kan? Dan dirinya memilih untuk melarikan diri, menggunakan hukuman diri sebagai alasan.

Kesalahan masa lalu yang harus dihadapi suatu hari nanti. Penyesalan terbesar dalam hidup Masachika. Ia merasa bahwa dirinya tidak akan bisa melarikan diri dalam waktu dekat. Ia sudah berjanji kepada Maria bahwa dia akan menghadapinya. Namun, ketika waktunya tiba, ia kembali mencoba melarikan diri——

“Ughhh!”

Ia memegang kepalanya dengan kedua tangan dan menggaruk kepalanya sekuat tenaga. Rasa sakit yang tajam menusuk, dan tempat di mana dirinya menggaruk terasa panas dan lembab. Meskipun Masachika tahu ini tidak memiliki arti apa-apa, tapi ia tetap melakukannya karena tidak ada yang bisa dilakukannya.

Ah, bagaimana kalau dirinya terus tersesat di sini sampai pagi tiba? Lalu dirinya bisa sakit atau tergeletak kedinginan, mungkin itu akan menjadi semacam penebusan dosanya.

Pada saat pemikiran yang mirip dengan keinginan kehancuran itu melintas di benaknya….

“Masachika….-kun?”

Masachika membeku saat mendengar suara seseorang yang seharusnya tidak ada di sini. Ia mengira kalau dirinya salah dengar, tetapi pantulan ujung sepatu di bidang penglihatannya meniadakan pemikiran tersebut.

Saat Masachika pelan-pelan mengangkat wajahnya, ia melihat Alisa yang memegang jaketnya, menatap ke arahnya dengan mata yang terbelalak kaget.

“Umm, ketika aku hendak mengunci pintu, aku melihat kalau kamu lupa membawa jaketmu, jadi... Selain itu, aku merasa kalau kamu bertingkah aneh jadi aku khawatir...”

“Ah...”

“Apa yang…sebenarnya terjadi?”

Menanggapi pertanyaan Alisa, Masachika hanya menundukkan kepalanya dalam diam.

Tidak ada yang bisa ia bicarakan. Pertama-tama, Alisa bahkan tidak tahu secara pasti hubungan antara Masachika dan Yuki. Dan meskipun ia menceritakan semuanya, apa gunanya? Itu hanya akan menambah rasa malunya.

“…Bisakah kamu berpura-pura tidak melihatnya?”

“Eh?”

Masachika mengucapkan kata-kata tersebut dengan pelan, yang kemudian dibalas dengan suara yang penuh tanya. Tanpa mendongak, Masachika menutup matanya dengan kedua tangannya dan melanjutkan dengan suara yang keras.

“Aku tidak ingin merusak perayaan hari ulang tahunmu karena aku... Jadi, aku mohon. Tolong berpura-pura lah tidak melihat ini.”

“Ap—... Mana mungkin aku bisa melakukan begitu, ‘kan!?”

Kedua pundaknya dicengkeram dan dipaksa duduk. Alisa menatap Masachika dari jarak dekat seolah-olah dia akan mencengkeram kerah bajunya.

“Apa yang terjadi!? Ceritakan lah padaku!!”

“...”

Masachika menatap mata birunya yang menyala seperti api dengan sedikit kejutan. Alisa menggigit bibirnya ketika melihat reaksi lamban Masachika dan mengembuskan napas pelan dengan menundukkan sedikit kepalanya.

Dia kemudian berkata dengan suara yang dipaksakan untuk tetap tenang.

“…Apa kamu masih mengingatnya? Taruhan kita pada ujian akhir semester pertama.”

“?”

“Kita bertaruh apa kamu bisa masuk dalam tiga puluh besar atau tidak, iya ‘kan?”

Setelah diingatkan seperti itu, Masachika pun mengingatnya. Pada ujian akhir semester pertama, mereka bertaruh apakah Masachika bisa mencapai peringkat yang ditargetkan atau tidak, dan pihak yang kalah harus memenuhi satu permintaan.

“...Hal semacam itu, memang pernah terjadi.”

Masachika menggumamkan hal tersebut seolah-olah itu urusan orang lain, tapi Alisa mengangkat wajahnya dan menatapnya.

“Aku akan menggunakan hak pemenang saat itu sekarang. Ceritakan padaku apa yang sebenarnya terjadi.”

Ketika Alisa mengucapkan itu, Masachika terdiam tak percaya. Dirinya tidak pernah menyangka kalau Alisa akan mengungkit janji dari beberapa bulan yang lalu di kesempatan seperti ini. Namun, saat ia menatap mata lurus Alisa... Masachika mendapati dirinya membuka mulutnya dan mulai berbicara.

“Yuki... dia terserang flu dan jatuh sakit.”

Begitu ia mulai berbicara, dirinya tidak bisa berhenti mengoceh, dan Masachika melanjutkan seolah-olah mencurahkan semuanya.

“Dia berpura-pura ada urusan mendesak dan meminta Ayano agar tidak membuat orang lain khawatir... tapi sebenarnya, dia jatuh sakit karena flu. Yuki masih menderita sampai sekarang, tapi aku... aku...! Aku tidak bisa... berada di sisinya...!”

Saat berbicara, rasa malu dan ketidakberdayaan menghinggapinya, Masachika kembali menggigit bibirnya dan menundukkan kepala.

Alisa melepaskan tangannya dari pundak Masachika yang tertunduk. Lalu, suara pelan Alisa, saat dia menjauhkan diri dari tubuhnya, membuat telinga Masachika tersentak.

“...Jadi itu… alasannya?”

Suara itu terdengar penuh keraguan dan bergetar... Masachika tanpa sadar mendongak ke atas dan menyadari bahwa Alisa terlihat seperti hampir menangis.

“Mengapa, ya... Aku ingin tahu, tapi sebenarnya tidak ingin mengetahuinya...”

Setelah mengatakan hal itu sambil tersenyum lemah, Alisa bergumam pelan dalam bahasa Rusia yang goyah.

Ini sungguh kejam...

Setelah mendengar kata-kata itu... Masachika menyadari alasan mengapa Alisa terlihat seperti akan menangis.

(Ah, begitu ya... begitu rupanya...)

Itu adalah kesalahpahaman. Dirinya tidak mengabaikannya jika dibandingkan dengan Yuki. Meskipun itu mudah diucapkan... tapi itu tidak akan mudah untuk meyakinkan Alisa yang sekarang.

Masachika menaruh kasih sayang saudara da keluarga terhadap Yuki, tetapi ia tidak bisa menjelaskan situasinya....

(Tidak, tapi, mungkin... bukannya ini sudah cukup?)

Pemikiran semacam itu muncul begitu saja dalam pikirannya.

Apa artinya janji yang dirinya buat dengan Gensei? Memangnya hal seperti itu cukup dijadikan alasan untuk membuat gadis di depannya hampir menangis? Ini bukan persoalan mana yang lebih penting, antara hati Alisa atau janjinya dengan Gensei, hal seperti itu...

“….Alya, apa aku pernah memberitahumu kalau orang tuaku bercerai?”

“Eh? Ya...”

Alisa mengangguk ragu saat Masachika tiba-tiba mengganti topik pembicaraan dengan senyum yang agak sayu di wajahnya. Sambil menatap matanya, Masachika melanjutkan.

“Nama Ibuku adalah... Suou Yumi. Nama asliku adalah Suou Masachika.”

“Eh—”

Sembari menatap Alisa yang tertegun, terbelalak dan tidak bisa berkata-kata, Masachika pun memberitahunya.

“Dan Yuki... adalah adik kandungku.”



 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama