Chapter 10 — Pengakuan
(...Pada
akhirnya, aku tidak paham dengan reaksinya tadi)
Setelah semuanya selesai
memakan kue, waktunya sudah menunjukkan jam 8 malam. Ketika usulan Nonoa untuk
bermain permainan Werewolf* diterima
karena ada cukup banyak orang, sementara persiapan sedang berlangsung,
Masachika memikirkan reaksi Alisa tadi sambil melakukan urusannya di toilet. (TN: Cari aja di
google, konsep permainannya hampir mirip seperti game Among Us)
(Sepertinya
tadi dia memelototiku sebentar...? Apa hadiahku salah? Tapi kemudian dia bilang
kalau dia menyukainya... Hmm~?)
Dengan kepala terombang-ambing
apakah hadiah itu benar atau salah, Masachika keluar dari toilet setelah
menghela napas karena tidak bisa menemukan jawabannya. Tapi begitu dirinya
keluar, namanya langsung dipanggil dari samping.
“Masachika-sama.”
“O-ohh, apa?”
Setelah menoleh, Masachika melihat
Ayano berdiri di lorong yang redup.
(Oh,
Ayano juga mau ke toilet ya.)
Sambil berpikir begitu,
Masachika menggeser dirinya ke samping untuk memberinya tempat, tapi Ayano masih
terus menatapnya.
“Saya pikir sudah waktunya bagi
saya untuk pulang sekarang.”
“Eh, benarkah? Memangnya kamu
punya batas waktu untuk pulang, ya...?”
Memang benar kalau sekkarang sudah
memasuki bulan November dan di luar sudah gelap gulita, tapi Masachika merasa
itu tidak terlalu penting bagi Ayano yang diantar jemput dengan mobil... Namun
Ayano kembali melanjutkan setelah sedikit ragu-ragu.
“Sebenarnya... alasan bahwa Yuki-sama
mempunyai urusan mendesak tadi itu bohong.”
“Eh?”
Ketika Masachika masih dalam
keadaan terkejut, Ayano mengatakan kepadanya seolah-olah dia sudah mengambil
keputusan.
“Sebenarnya... Yuki-sama
terserang flu dan jatuh sakit.”
“Eh...”
“Saya tidak ingin membuat orang
lain khawatir dan merusak suasana pesta, jadi saya langsung berbohong pada saat
itu juga...”
“...”
Lebih dari separuh penjelasan
Ayano mengenai situasi tersebut tidak masuk ke dalam otak Masachika. Yuki
terserang flu. Yuki, yang tidak pernah sakit sejak SMP dan tidak pernah
terlambat atau absen, tiba-tiba jatuh sakit.
(Mengapa
hal seperti itu...)
Sembari memikirkan itu dengan
linglung, tiba-tiba senyum palsu yang ditunjukkan Yuki di toko pakaian kembali
muncul di dalam pikiran Masachika.
(Itu
dia)
Secara intuitif, ia merasa
begitu. Ia seharusnya bisa menyadarinya. Bahwa Yuki sedang mengalami
kekhawatiran karena ibunya.
(Meskipun aku sudah menyadarinya...)
Akibat dari berpura-pura tidak
menyadarinya, Yuki...
“Ko-Kondisinya, bagaimana
dengan kondisinya?”
Ketika Masachika bertanya
dengan nada yang terbata-bata, Ayano menjawab dengan ekspresi sulit.
“Dia sedang menerima perawatan
dari dokter... tapi dia masih menderita demam tinggi. Selain itu, dia juga
merasakan sakit tenggorokan dan batuk...”
“Batuk...”
Dari dalam ingatannya, gambaran
Yuki yang dulu muncul kembali. Adik perempuannya yang tadinya masih sehat-sehat
saja beberapa saat yang lalu, tapi tiba-tiba mulai batuk dan tidak bisa
berhenti. Dia terkulai di tempat tidur, memegangi tenggorokannya dan berusaha
keras mencari udara dengan bibirnya yang putih, tetapi yang ia dengar hanyalah
suara desisan napas. Masachika hanya bisa memanggil orang dewasa. Saat dirinya
mengusap punggung adiknya dengan lembut, kulitnya yang begitu tipis hingga
terasa tulang di tangannya...
“——chika-sama, Masachika-sama!”
“!”
Panggilan Ayano membuat Masachika
kembali tersadar. Ia menatap Ayano dengan canggung, dan Ayano mengangkat
alisnya dengan ekspresi kesakitan dan berkata.
“Saya mengetahui dengan sadar
bahwa Masachika-sama menghindari keluarga Suou... Tapi... apakah anda bersedia
untuk mengunjungi Yuki-sama?”
“Eh...”
“Saat ini, saya pikir Yuki-sama
sangat membutuhkan Masachika-sama lebih dari siapa pun.”
Kalimat itu juga pernah
dikatakan oleh Ayano saat festival olahraga. Tapi... tanpa berpikir panjang,
kata-kata yang keluar dari mulut Masachika adalah…
“Aku…. tidak bisa pergi.”
Kata-kata penolakan yang
terdengar seperti gemuruh.
“Masachika-sama...!”
Ayano, yang biasanya tidak
menunjukkan emosi, sedikit meninggikan suaranya.
Tatapan penuh tuntutan yang
ditujukan kepadanya oleh teman masa kecilnya, gadis yang bisa disebut sebagai
adik perempuannya yang lain. Hal ini sangat menusuk hati Masachika.
Meskipun begitu, bibirnya tetap
tidak bergerak. Kata-kata “Aku juga akan pergi”
tidak bisa keluar dari tenggorokannya. Di dalam dirinya, kediaman Suou yang
kini telah menjadi simbol penderitaan dan penyesalan. Wajah Yumi yang muram dan
pandangan dingin Gensei. Semuanya membuatnya tercekik, dengan pikiran-pikiran
seperti “Apa yang akan terjadi jika aku
pergi ke sana?” dan “Bagaimana orang
lain akan memandangku jika aku kembali bersamanya sekarang?” terus berputar
di dalam benaknya. Tiba-tiba,
*Krek*
Pintu yang mengarah ke ruang
tamu terbuka, dan Chisaki melongokkan kepalanya.
“Eh? Kalian kenapa?
Permainannya sudah hampir dimulai, lho.”
Chisaki memberi mereka tatapan
curiga saat mereka berdua berdiri diam di koridor. Orang yang pertama kali
bereaksi terhadap hal ini adalah Ayano.
“Tidak, bukan apa-apa.”
Setelah berkata demikian, Ayano
berbalik dan berbisik kepada Masachika di belakangnya.
“(Saya akan menunggu anda di
bawah selama sepuluh menit)”
Batasan waktu yang dihadapinya
sebelum mengambil keputusan membuat Masachika merasa mual. Perasaannya
tiba-tiba memburuk, tubuhnya terasa berat.
(Meskipun
aku diminta menunggu, aku...)
Dengan suasana hati yang dingin,
tidak nyaman, dan tidak enak.
Ruang tamu penuh dengan suasana
ceria dan hangat. Dirinya tidak ingin kembali ke sana. Tapi ia tidak bisa
melakukan itu di depan tatapan meragukan Chisaki.
Masachika mengikuti Ayano
kembali ke ruang tamu dengan langkah yang berat. Ayano kemudian menundukkan
kepalanya kepada Alisa, Touya, dan yang lainnya di pintu masuk ruang tamu.
“Maafkan saya. Saya mohon pamit
untuk pulang dulu sekarang.”
Masachika tidak bisa menatap
Ayano secara langsung. Tanpa sempat memperbaiki ekspresinya, ia memanfaatkan
perhatian semua orang pada Ayano yang meninggalkan ruangan, lalu diam-diam
berlari ke dinding.
Ia merasa seperti Ayano
menatapnya dengan tatapanyang menyalahkan
dirinya... Setelah Ayano meninggalkan ruang tamu, dan Masachika akhirnya
menghembuskan napas. Namun, ia sangat membenci dirinya yang pengecut.
“Kamu kenapa, Kuzecchi~?”
Meskipun Masachika sudah
berusaha agar tidak terlalu mencolok di dekat dinding, tapi namanya tiba-tiba
dipanggil dengan nada tajam, membuatnya mengangkat wajahnya. Dan di sana,
seolah-olah sudah lama berada di sana, Nonoa menyelinap dan melirik Masachika
dengan tatapan mata setengah terbuka, membuat Masachika dengan cepat tersenyum.
“Tidak, bukan apa-apa...”
“Benarkah~? Wajahmu terlihat
sedikit serius tadi.”
“Oh, benarkah? Mungkin karena aku
sedang memikirkan sesuatu.”
Masachika tidak bisa memikirkan
alasan yang cerdas, dan menipu dengan kebohongan yang jelas. Nonoa menatap
Masachika dengan tajam... Kemudian dia tiba-tiba mengubah sikapnya menjadi
serius.
“Benarkah?”
“Eh—”
“Apa kamu yakin tidak ada
masalah?”
Dengan pertanyaan serius yang
tak terduga dari Nonoa, Masachika menjadi gelisah. Dan kegelisahan itu semakin
membesar dengan kata-kata selanjutnya dari Nonoa.
“Aku tahu kamu selalu
mewaspadaiku. Tapi, aku juga ingin membayar utangku sama seperti orang lain,
tau?”
Ini adalah pernyataan langsung,
bersahaja dan lugas yang hanya bisa dilakukan oleh Nonoa, yang menyoroti
kewaspadaan pihak. Mungkin itulah sebabnya. Perkataan selanjutnya juga terasa
jujur seperti kata-kata Nonoa.
“Setidaknya aku bisa
mendengarkan ceritamu, kok? Tentang Yukki dan Yushou, aku merasa lebih tahu
tentang keadaan Kuzecchi daripada orang lain? Meskipun ini terdengar sombong,
aku bisa memberikan pendapat objektif loh~?”
“.....”
Sejujurnya, hatinya terguncang
sampai-sampai ia terkejut pada dirinya sendiri. Jika tidak ada orang lain di
sini sekarang, Masachika mungkin akan menceritakan kekhawatirannya kepada Nonoa
dengan putus asa.
Namun......
“.....”
Alisa sedang diberi pengarahan
oleh Sayaka dan Maria tentang permainan Werewolf.
Touya, Chisaki, Takeshi, dan Hikaru bercanda santai setelah akrab. Melihat mereka
yang tampak bahagia, Masachika pun tersenyum.
“Terima kasih...... tapi,
sekarang tidak apa-apa.”
“....Apa kamu masih sanggup
menahannya?”
Mendengar pertanyaan langsung
Nonoa yang menusuk inti, Masachika terkejut dan…… akhirnya tersenyum lemah.
“Yeah, aku masih sanggup...
terima kasih.”
“Hmm, begitu ya.”
Setelah mengangguk penuh
pengertian, Nonoa dengan mudah menghormati keputusan Masachika. Lalu dia
berbalik dan dengan suara malas, dia berbicara kepada tujuh orang lainnya dengan
nada yang berbeda.
“Kalau gitu~ mari kita mulai
sekarang, ya~. Karena jumlah orangnya ada sembilan, gimana kalau manusia
serigalanya dua orang?”
“Hmm, mungkin itu bisa. Untuk
peran lainnya, mungkin warga desa, peramal, cenayang, dan ksatria.”
“Umm, maaf, aku masih belum
sepenuhnya memahami aturannya...”
“Oh benarkah? Bagaimana kalau
kita mencoba main sebentar untuk memahami aplikasinya? Aku juga sudah lama
tidak memainnya nih~”
Semua orang berbincang-bincang
dengan ceria tentang aturan permainan Werewolf,
Masachika juga berbaur di antara mereka dengan senyuman yang tersungging di
wajahnya.
(Oh,
ini... mungkin lebih sulit dari yang kuduga)
Sesaat kemudian, kata-kata
pesimis seperti itu terlintas di dalam benaknya.
Baru beberapa saat yang lalu,
ia mengatakan kepada Nonoa bahwa dirinya masih sanggup menahannya. Tapi ......
Masachika sudah merasakan hatinya tertekan karena perbedaan antara perasaan
batinnya dan ekspresi luarnya..
“Eh, kenapa tiba-tiba malah aku
yang mati!?”
“Ya, Takesshi sekarang jadi
penonton ya~”
“Seriusan nih~”
Senyum dan tawa yang
bersemarak. Di tengah-tengah itu, Masachika tertawa bersama mereka meskipun
hatinya tidak tenang. Dirinya merasa sangat tidak nyaman dengan dirinya sendiri
yang tertawa saat adiknya menderita. Ia merasa dirinya benar-benar manusia
rendahan.
“Ah, aku mati. Oii, siapa sih
yang jadi manusia serigalanya~”
“Lah, jadi Masachika bukan
manusia serigalanya, ya...”
“Eh, kenapa kamu curiga padaku!”
Rasanya begitu menjijikkan.
Perutnya terasa mual dan mau muntah. Ia benar-benar membenci dirinya. Sebaiknya
dia mati saja.
(Ah,
percuma, aku sudah tidak sanggup lagi)
Saat ia berpikir begitu,
aplikasi permainan Werewolf memberitahu bahwa permainan telah berakhir, dan
Chisaki serta Maria bersorak sorai.
“Yeay! Menang! Bagus sekali,
Masha~!”
“Eh, kita menang, ya~hore~!”
Masachika berdiri sambil
melihat mereka berdua yang saling bertukar tos. Ia kemudian tersenyum meminta
maaf sebisa mungkin dan membungkuk.
“Maaf, sepertinya aku juga
harus segera pergi...”
“Eh, benarkah?”
“Padahal sebentar lagi
pertandingan sesungguhnya...”
“Oh sayang sekali.”
“Kalau begitu, biarkan aku
mengantarmu—”
“Ah tidak perlu, tidak usah
repot-repot.”
Sambil mencegah Alisa yang
hendak bangkit, Masachika cepat-cepat meraih barang bawaannya. Ia merasa kalau Nonoa
sedang memperhatikannya dengan seksama. Setelah merasakan tatapan itu,
Masachika pergi ke sisi Alisa sambil sengaja tidak melihat ke arah sana dan
tersenyum.
“Sekali lagi, selamat ulang
tahun, Alya. Aku akan pulang duluan, semoga malammu menyenangkan.”
“Oh, ya...”
“Maaf, tolong nanti kuncikan
pintunya.”
Setelah mengatakan hal ini dan
menyapa Akemi dan Mikhail, yang sedang merapikan dapur, Masachika dengan cepat
berjalan ke pintu depan.
Ketika membuka pintu, udara
dingin bulan November menerpa wajahnya. Masachika berjalan cepat melewati udara
dingin itu, menuju lift sambil memeriksa waktu di ponselnya.
『Saya
akan menunggu anda di bawah selama sepuluh menit』
Sudah lima belas menit berlalu sejak
Ayano pergi. Biasanya dia pasti sudah pulang, tetapi jika Ayano memperpanjang
waktunya, mungkin...
Antara Ayano masih menunggunya atau
dia sudah pulang. Tidak yakin dengan apa yang diinginkannya, Masachika masuk ke
dalam lift. Jantungnya berdebar-debar, entah karena gugup atau takut. Sambil
berusaha keras untuk menekannya, Masachika turun dari lift dan berjalan
melewati pintu masuk——dan ia merasa lega ketika melihat tidak ada mobil
terparkir di sana.
“Brengsek!”
Masachika mengucapkan kata-kata
kasar sesuai dengan perasaannya yang sebenarnya. Ia kemudian mulai berjalan
tanpa tujuan di jalanan yang sepi.
(Lagi-lagi,
aku melarikan diri)
Di sudut pikirannya, suara
sinis yang penuh dengan penghinaan terdengar. Masachika berjalan tanpa tujuan,
tanpa mempunyai tenaga untuk membantah suara itu. Kemudian, ia tiba-tiba
melihat sebuah taman kecil di sampingnya, jadi ia berjalan dengan langkah berat
menuju taman tersebut dan duduk di bangku.
“...”
Melarikan diri. Memang benar.
Namun, dirinya masih ada kesempatan untuk memperbaikinya. Masachika tahu
tempatnya. Ia masih bisa mengejarnya dengan memanggil taksi atau semacamnya. Meski
ia tidak bisa melakukan itu, karena Kyotarou ada di rumah. Dirinya bisa
bergegas pulang, menjelaskan situasinya dan pergi bersamanya ke rumah Suou, dan
masalah akan selesai.
Ya, Masachika mengetahui hal
tersebut. Karena dirinya sangat menyadarinya... itulah sebabnya ia duduk di
sini.
(Aku
masih belum terlambat jika pergi sekarang. Memangnya aku akan menjadi cowok
bajingan lagi? Aku pasti akan menyesalinya jika aku tidak pergi sekarang!)
(Memangnya
apa yang bisa kamu lakukan jika pergi ke sana? Lagipula, bagaimana kamu bisa
menghadapi Ayano setelah menyia-nyiakan kesempatan yang diberikan padamu?)
(Ini
bukan soal apa yang bisa dilakukan atau tidak bisa dilakukan! Yuki sedang
menderita. Aku tidak perlu alasan lain untuk pergi ke samping Yuki!)
(Kamu
berpikir terlalu berlebihan. Dia sudah diperiksa oleh dokter, dan pada zaman
sekarang, flu bisa sembuh dengan minum obat penurun panas)
(Sudah
kubilang! Bukan itu masalahnya! Sebagai kakak, jika adikmu menderita, kamu
harus berada di sisinya tanpa syarat! Selain itu, asma bisa menjadi parah
karena flu -)
Dua suara yang bertentangan
saling bertabrakan di dalam pikirannya. Masachika tahu. Dirinya tahu harus
mengikuti suara yang mana. Meskipun dirinya tahu, tapi tubuhnya tidak mau bergerak
sama sekali.
Bahkan saat dirinya terus merenungi
hal itu, waktu terus berlalu. Dan semakin lama waktu berlalu, semakin sulit
untuk pergi. Setelah memahami semuanya, Masachika masih membuang-buang waktunya
di sini. Dirinya hanya duduk di bangku dingin, membiarkan udara dingin menyedot
panas dari tubuhnya yang tidak mau bergerak.
(Ah,
lagi-lagi...)
Lagi-lagi, dengan cara seperti
ini. Dirinya berkubang dalam penyesalan dan kebencian terhadap dirinya sendiri,
puas hanya dengan tenggelam dan tidak melakukan apa-apa. Mengetahui bahwa dirinya
sendiri bersalah, tapi merasa cukup karena sudah mengetahuinya. Karena sudah
cukup menyalahkan diri sendiri, jadi tidak adamasalahnya, ‘kan? Dan dirinya
memilih untuk melarikan diri, menggunakan hukuman diri sebagai alasan.
Kesalahan masa lalu yang harus
dihadapi suatu hari nanti. Penyesalan terbesar dalam hidup Masachika. Ia merasa
bahwa dirinya tidak akan bisa melarikan diri dalam waktu dekat. Ia sudah
berjanji kepada Maria bahwa dia akan menghadapinya. Namun, ketika waktunya
tiba, ia kembali mencoba melarikan diri——
“Ughhh!”
Ia memegang kepalanya dengan
kedua tangan dan menggaruk kepalanya sekuat tenaga. Rasa sakit yang tajam
menusuk, dan tempat di mana dirinya menggaruk terasa panas dan lembab. Meskipun
Masachika tahu ini tidak memiliki arti apa-apa, tapi ia tetap melakukannya
karena tidak ada yang bisa dilakukannya.
Ah, bagaimana kalau dirinya
terus tersesat di sini sampai pagi tiba? Lalu dirinya bisa sakit atau
tergeletak kedinginan, mungkin itu akan menjadi semacam penebusan dosanya.
Pada saat pemikiran yang mirip
dengan keinginan kehancuran itu melintas di benaknya….
“Masachika….-kun?”
Masachika membeku saat mendengar
suara seseorang yang seharusnya tidak ada di sini. Ia mengira kalau dirinya
salah dengar, tetapi pantulan ujung sepatu di bidang penglihatannya meniadakan
pemikiran tersebut.
Saat Masachika pelan-pelan mengangkat
wajahnya, ia melihat Alisa yang memegang jaketnya, menatap ke arahnya dengan
mata yang terbelalak kaget.
“Umm, ketika aku hendak mengunci
pintu, aku melihat kalau kamu lupa membawa jaketmu, jadi... Selain itu, aku
merasa kalau kamu bertingkah aneh jadi aku khawatir...”
“Ah...”
“Apa yang…sebenarnya terjadi?”
Menanggapi pertanyaan Alisa,
Masachika hanya menundukkan kepalanya dalam diam.
Tidak ada yang bisa ia bicarakan.
Pertama-tama, Alisa bahkan tidak tahu secara pasti hubungan antara Masachika dan
Yuki. Dan meskipun ia menceritakan semuanya, apa gunanya? Itu hanya akan
menambah rasa malunya.
“…Bisakah kamu berpura-pura
tidak melihatnya?”
“Eh?”
Masachika mengucapkan kata-kata
tersebut dengan pelan, yang kemudian dibalas dengan suara yang penuh tanya.
Tanpa mendongak, Masachika menutup matanya dengan kedua tangannya dan melanjutkan
dengan suara yang keras.
“Aku tidak ingin merusak perayaan hari ulang tahunmu karena aku... Jadi, aku mohon. Tolong berpura-pura lah tidak
melihat ini.”
“Ap—... Mana mungkin aku bisa melakukan
begitu, ‘kan!?”
Kedua pundaknya dicengkeram dan
dipaksa duduk. Alisa menatap Masachika dari jarak dekat seolah-olah dia akan
mencengkeram kerah bajunya.
“Apa yang terjadi!? Ceritakan lah
padaku!!”
“...”
Masachika menatap mata birunya
yang menyala seperti api dengan sedikit kejutan. Alisa menggigit bibirnya
ketika melihat reaksi lamban Masachika dan mengembuskan napas pelan dengan
menundukkan sedikit kepalanya.
Dia kemudian berkata dengan suara
yang dipaksakan untuk tetap tenang.
“…Apa kamu masih mengingatnya?
Taruhan kita pada ujian akhir semester pertama.”
“?”
“Kita bertaruh apa kamu bisa
masuk dalam tiga puluh besar atau tidak, iya ‘kan?”
Setelah diingatkan seperti itu,
Masachika pun mengingatnya. Pada ujian akhir semester pertama, mereka bertaruh
apakah Masachika bisa mencapai peringkat yang ditargetkan atau tidak, dan pihak
yang kalah harus memenuhi satu permintaan.
“...Hal semacam itu, memang pernah
terjadi.”
Masachika menggumamkan hal
tersebut seolah-olah itu urusan orang lain, tapi Alisa mengangkat wajahnya dan
menatapnya.
“Aku akan menggunakan hak pemenang
saat itu sekarang. Ceritakan padaku apa yang sebenarnya terjadi.”
Ketika Alisa mengucapkan itu,
Masachika terdiam tak percaya. Dirinya tidak pernah menyangka kalau Alisa akan
mengungkit janji dari beberapa bulan yang lalu di kesempatan seperti ini.
Namun, saat ia menatap mata lurus Alisa... Masachika mendapati dirinya membuka
mulutnya dan mulai berbicara.
“Yuki... dia terserang flu dan
jatuh sakit.”
Begitu ia mulai berbicara, dirinya
tidak bisa berhenti mengoceh, dan Masachika melanjutkan seolah-olah mencurahkan
semuanya.
“Dia berpura-pura ada urusan
mendesak dan meminta Ayano agar tidak membuat orang lain khawatir... tapi sebenarnya,
dia jatuh sakit karena flu. Yuki masih menderita sampai sekarang, tapi
aku... aku...! Aku tidak bisa... berada di sisinya...!”
Saat berbicara, rasa malu dan
ketidakberdayaan menghinggapinya, Masachika kembali menggigit bibirnya dan
menundukkan kepala.
Alisa melepaskan tangannya dari
pundak Masachika yang tertunduk. Lalu, suara pelan Alisa, saat dia menjauhkan
diri dari tubuhnya, membuat telinga Masachika tersentak.
“...Jadi itu… alasannya?”
Suara itu terdengar penuh
keraguan dan bergetar... Masachika tanpa sadar mendongak ke atas dan menyadari
bahwa Alisa terlihat seperti hampir menangis.
“Mengapa, ya... Aku ingin tahu,
tapi sebenarnya tidak ingin mengetahuinya...”
Setelah mengatakan hal itu
sambil tersenyum lemah, Alisa bergumam pelan dalam bahasa Rusia yang goyah.
【Ini
sungguh kejam...】
Setelah mendengar kata-kata
itu... Masachika menyadari alasan mengapa Alisa terlihat seperti akan menangis.
(Ah,
begitu ya... begitu rupanya...)
Itu adalah kesalahpahaman. Dirinya
tidak mengabaikannya jika dibandingkan dengan Yuki. Meskipun itu mudah
diucapkan... tapi itu tidak akan mudah untuk meyakinkan Alisa yang sekarang.
Masachika menaruh kasih sayang
saudara da keluarga terhadap Yuki, tetapi ia tidak bisa menjelaskan situasinya....
(Tidak,
tapi, mungkin... bukannya ini sudah cukup?)
Pemikiran semacam itu muncul
begitu saja dalam pikirannya.
Apa artinya janji yang dirinya
buat dengan Gensei? Memangnya hal seperti itu cukup dijadikan alasan untuk membuat
gadis di depannya hampir menangis? Ini bukan persoalan mana yang lebih penting,
antara hati Alisa atau janjinya dengan Gensei, hal seperti itu...
“….Alya, apa aku pernah
memberitahumu kalau orang tuaku bercerai?”
“Eh? Ya...”
Alisa mengangguk ragu saat
Masachika tiba-tiba mengganti topik pembicaraan dengan senyum yang agak sayu di
wajahnya. Sambil menatap matanya, Masachika melanjutkan.
“Nama Ibuku adalah... Suou
Yumi. Nama asliku adalah Suou Masachika.”
“Eh—”
Sembari menatap Alisa yang
tertegun, terbelalak dan tidak bisa berkata-kata, Masachika pun memberitahunya.
“Dan Yuki... adalah adik kandungku.”