Chapter 9 — Anugerah
“Baiklah~, kuenya sudah selesai~.”
Sudah sekitar satu setengah jam
sejak pesta dimulai. Setelah makanan di meja sudah dibersihkan, Mikhail, yang
dipimpin oleh Akemi, membawa kue dari dapur.
Ngomong-ngomong, Alisa tidak
pernah kembali ke meja sejak saat itu. Masachika, bersama Maria, terus
berbicara tanpa henti dengan Akemi dan Mikhail sepanjang waktu, dan sekarang
mereka sudah cukup dekat sampai-sampai mereka bisa bercanda satu sama lain dengan
normal.
“Tidak, bukannya itu kue yang
hanya bisa dilihat di Amerika atau di prasmanan!”
Oleh karena itu, Masachika tak
segan-segan mengolok-olok kue persegi yang dibawakan Mikhail, yang tampaknya
berukuran sekitar 30 sentimeter di setiap sisinya. Para cowok di ruang tatami
memandang Masachika dengan hormat.
(Kuze,
ia benar-benar hebat sekali, ia sampai bisa akrab dengan ayah yang seperti itu ...)
(Masachika,
keren banget~)
(Kamu
benar-benar bisa bergaul dengan siapa pun...itu sungguh menakjubkan)
Sementara ketiga cowok itu
berpikir begitu, Akemi tersenyum sambil menyalakan lilin.
“Lebih baik menyajikan lebih
daripada kekurangan, bukan?”
“Yah, apa iya begitu?”
“Baiklah~ ayo Alya-chan, datanglah
ke sini~”
Mikhail menyalakan enam belas
lilin, dan Maria mematikan lampu di ruangan. Kemudian, semua orang, kecuali
Alisa, berkumpul mengelilingi sekitar meja dan mulai bertepuk tangan sambil
bernyanyi bersama Akemi yang memegangi ponselnya.
“Happy birthday, Alya~ happy
birthday, Alya~ happy birthday~, Alya~♪
happy birthday, Alya~.”
Begitu lagu selesai dinyanyikan,
bersamaan dengan tepuk tangan yang meriah, suara ucapan selamat membanjiri.
Sambil merasakan semuanya, Alisa menghembuskan napas pelan-pelan dan memadamkan
lilin... Kuenya terlalu besar sehingga tidak bisa dipadamkan hanya dengan
sekali tiup, jadi dengan dua tiup tambahan, semua lilin akhirnya padam. Ketika
bunyi tepuk tangan semakin meriah, lampu kembali menyala, dan dalam kilatan
cahaya yang tiba-tiba, Masachika mengedipkan mata beberapa kali sebelum menatap
Alisa... Pemandangan Alisa yang berlinang air mata membuatnya terkejut.
“Arara~ Alya-chan, apa kamu merasa
terharu?”
Sambil menahan air matanya
dengan tisu yang ditawarkan Ibunya, Alisa berbicara dengan suara sesenggukan
sembari berlinang air mata.
“Maaf... tapi, ketika aku
memikirkan begitu banyak orang yang merayakan ulang tahunku... aku merasa
begitu bahagia.”
Sambil mengatakan hal tersebut,
Alisa menutupi wajahnya dengan kedua tangannya. Mendengar kata-kata itu, hati
Masachika menegang saat ia mengingat suara Alisa yang didengarnya di luar kelas
pada hari festival olahraga.
(Begitu
ya... syukurlah untukmu, Alya)
Dari lubuk hatinya yang paling
dalam, dirinya merasa begitu. Di tempat di mana Masachika menatapnya dengan
lembut, Akemi dan Maria memeluk Alisa yang sedang menunduk dari kedua sisi.
Sementara para cowok merasa
sedikit malu dengan adegan emosional yang tiba-tiba...untuk beberapa alasan,
Chisaki mendadak ikut bergabung di sana.
“Oh, kalau begitu~ ayo kita
ikut bergabung juga. Ayo, Ayano-chan dan Sayaka-chan juga.”
Sambil mengatakan itu, Chisaki
memeluk Maria dan Alisa bersama-sama, dan Ayano dengan takut-takut juga
mendekatinya, sambil malu-malu menepuk punggung Alisa. Selanjutnya, Sayaka dan Nonoa
berjalan ke arah mereka, dan begitu Takeshi mengambil langkah maju sembari
menoleh kesana-kemari dan bertanya-tanya, “Hah?
Jika mengikuti aru, maka maksudnya seperti itu, ‘kan?”
“Yang anak cowok jangan ikutan!!”
“Maafkan aku!”
Ruang tamu dipenuhi dengan gelak
tawa setelah mendengar ancaman Chisaki dan permintaan maaf Takeshi, yang
langsung menimpali begitu saja.
Alisa yang tadinya sedang
menunduk pun ikut tersenyum mendengar hal tersebut, dan dia mengangkat wajahnya
dengan mata yang sedikit memerah. Akemi dan Maria yang tersenyum mencium kedua
pipi Alisa dari kedua sisi, membuat Alisa menggembungkan pipinya malu-malu.
Meskipun Masachika menatap pemandangan itu dengan perasaan yang hangat...
“Baiklah, kalau begitu, bagaimana
kalau kita memberikan hadiahnya juga sambil kamu memotong kuenya~”
Suara yang diucapkan Maria
membuat suasana mendadak jadi tegang.
Tidak hanya Masachika yang
merasakannya, “Siapa yang duluan?” “Hadiah
apa yang diberikan?” pertanyaan-pertanyaan semacam itu membuat pandangan
gugup saling bertemu di sana-sini. Di tengah keramaian itu, Maria keluar
sebentar dari ruang tamu dan membawa kotak berbentuk persegi yang dibungkus
dengan kertas dan pita.
“Ini hadiah dariku~, selamat
ulang tahun, Alya-chan~”
“Terima kasih...”
“Ayo buka, ayo buka~”
Alisa membuka bungkusnya sesuai
dengan desakan Maria, dan dari dalam kotak tersebut terdapat syal berwarna
pink.
“Bagaimana? Lucu banget,
‘kan~?”
“Iya, terima kasih.”
“Baiklah, aku akan
memasangkannya untukmu~”
“Tidak, kita akan makan kue
nanti—”
Tidak menghiraukan teguran
tenang Alisa, Maria melilitkan syal di leher Alisa. Dan pada saat yang sama
Maria dan Akemi bersorak kegirangan, dan Alisa dengan wajah sedikit aneh, namun
akhirnya pasrah mengangkat bahunya.
“Kalau begitu, ini dari ayah
dan ibu.”
Setelah berkata demikian, para
tamu dengan cepat bertukar kontak mata ketika Alisa membuka hadiah yang
diberikan oleh Akemi. Dan dengan begitu, tanpa disadari, urutan memberikan
hadiah adalah Masachika, Ayano, ketua dan wakil ketua OSIS, serta anggota band
telah ditentukan.
(Seriusan? Aku jadi yang pertama?)
Meskipun Masachika sudah agak
menduga hal itu, tapi ternyata ia memang yang pertama kali memberikan hadiah.
Sementara diperhatikan oleh anggota lain, Masachika menghampiri Alisa sambil
membawa tasnya.
“Selamat ulang tahun, Alya.”
“Terima kasih, Masachika-kun.”
Alisa meletakkan dompet yang
diberikan oleh orang tuanya dan menatap ke arah Masachika. Sambil merasa tegang
oleh pandangan itu, Masachika memberikan kantong belanja kepada Alisa.
“Ini, hadiah dariku... kudapan
buatan sendiri.”
“Eh, buatan sendiri?”
Seiring dengan Alisa yang
terkejut dengan mata membelalak, terdengar suara kagum dari orang-orang di
sekitarnya seperti “Oh~” dan “Eh, luar biasa”. Namun, Masachika
merasa sedikit canggung dan tanpa sengaja mengambil tindakan pencegahan.
“Maaf ya, biasanya aku tidak
membuat kudapan jadi kupikir rasanya tidak masalah tapi mungkin bentuknya agak
jelek...”
“Tidak masalah sama sekali,
tapi...”
Sambil mengatakan itu, Alisa
membuka kantong kertas dan mengeluarkan sebuah bungkusan plastik dari dalamnya.
Di situlah, Masachika dengan malu-malu menggaruk pipinya sambil berkata.
“Baumkuchen…. buatan sendiri.”
““““Bagaimana kamu bisa
membuatnya??””””
“Aku hanya bekerja keras untuk
membuatnya.”
“““Memangnya itu sesuatu yang
bisa kamu lakukan dengan segenap usahamu saja?””””
Tanda tanya memenuhi kepala
semua orang yang melihat kudapan kue buatan sendiri yang tidak dapat diprediksi
oleh siapa pun. Ngomong-ngomong, sejujurnya Masachika membuatnya di wajan
persegi yang digunakan untuk menggoreng telur. Anehnya, hal itu ternyata tidak
terlalu sulit.
“Te-Terima kasih...aku akan
menikmatinya nanti.”
Alisa sepertinya berpikir “Aku sudah tidak paham lagi” sebelum
merasa senang, dan memasukkan Baumkuchen ke dalam kantong kertas dengan binary
di matanya. Setelah menyaksikan hal itu, Masachika pergi dengan perasaan puas.
Masachika merasa orang-orang di sekitarnya memandangnya dan berkata, ‘Kamu memberikan sesuatu yang sangat aneh
bagi orang yang mendapat giliran pertama,’ tetapi Masachika tidak peduli,
karena dirinya telah menyelesaikan tugasnya untuk saat ini.
(Sebenarnya,
aku masih mempersiapkan hadiah lain...)
Sementara Masachika memikirkan
hal itu sambil melirik tasnya sendiri, Ayano menuju ke samping Alisa.
“Baiklah...selanjutnya, ini
hadiah dari saya dan ini hadiah yang saya terima dari Yuki-sama. Selamat ulang
tahun, Alisa-san.”
“Terima kasih.”
Hadiah dari Yuki adalah sebuah pelindung
untuk layar smartphone Alisa, seperti yang telah dia sampaikan kepada
Masachika. Dan hadiah dari Ayano adalah....
“Buku?”
“Ya, itu buku favorit saya.”
“Terima kasih...jadi ini buku
kumpulan cerita pendek, ya. Aku akan membacanya nanti.”
(Begitu rupanya, hadiah buku!
Tak disangka ada cara yang seperti itu juga!)
Saat Masachika berlutut di
dalam hati di depan hadiah Ayano, Touya angkat bicara.
“Oh, kebetulan sekali. Hadiahku
juga buku.”
Setelah berkata demikian, Touya
menghadiahkan Alisa sebuah buku yang berjudul….[Dua
Puluh Cara Menggerakkan Hati Orang Lain].
(Apa
ia menggunakannya dalam pemilu, atau ia menggunakannya untuk merayu Sarashina-senpai...Entah
mengapa, aku bisa membayangkan latar belakang di baliknya.)
Dan selanjutnya, Chisaki
memberikan sesuatu kepada Alisa.
“...Jimat?”
Tas kain putih yang ditutup
dengan tali emas. Bentuknya sendiri seperti jimat biasa, tapi Alisa memiringkan
kepalanya karena... tidak ada apapun yang tertulis di permukaan tas tersebut.
“Ya, jimat ajaibku.”
“Terima kasih…banyak. Jimat
macam apa ini?”
“Oh, jimat segala macam hal?”
“Segala macam hal…?”
“Ya, mungkin dia bisa menggantikan badanmu setidaknya
sekali.”
“Apaan maksudnya??”
“Oh, jangan sekali-kali membuka
isi jimatnya, ya? Nanti dia akan
keluar.”
“Apanya yang keluar??”
Alisa tampak bingung bagaimana
harus bereaksi di depan jimat yang membawa efek suara aneh yang tidak masuk
akal. Namun, Chisaki segera mundur karena merasa sangat puas, sehingga dia
tidak bisa ditanyai apa pun lagi. Dan ketika itu terjadi, empat orang yang
mengikuti berada dalam masalah.
"Apa
yang akan kita lakukan selanjutnya!?”
“Eh,
aku sih enggak mau kalau setelah ini.”
“Begitu
ya. Jadi, kalian tidak keberatan menjadi penutup, begitu?”
Dalam sekejap, penahanan
melalui kontak mata dilakukan... tapi Nonoa melangkah maju dengan mengabaikan
mereka sepenuhnya.
“Selamat ulang tahun~ ini dia
hadiahnya.”
“Terima kasih.”
“Cermin rias kecil. Alissa
biasanya tidak menggunakan makeup, tapi tidak ada salahnya untuk memilikinya,
‘kan?”
“Iya. aku biasanya merapikan
rambut, jadi aku akan menggunakannya. Terima kasih.”
“Kalau begitu, sekarang
giliranku.”
Saat Takeshi dan Hikaru membuat
wajah terkejut, Sayaka kemudian menghampiri Alisa.
“Aku tadinya bingung mau
memilih hadiah apa, tapi... topi ini adalah hadiah dariku.”
“Oh, lucunya.”
Dari dalam bungkusannya keluar
topi beret hitam. Alisa segera memakainya sambil melihat dirinya di cermin yang
diberikan oleh Nonoa.
“Itu sangat cocok untukmu.”
“Terima kasih, Sayaka-san.”
Alisa tersenyum, dan Sayaka
juga ikutan tersenyum. Di tengah pemandangan yang begitu indah... ada dua pria
yang tertinggal.
(Ah, kasian sekali~.)
Setelah hadiah yang menarik dari
kedua gadis itu, Masachika memberikan penghormatan di dalam hatinya kepada dua
sahabatnya yang menjadi penutup. Kemudian, Takeshi dan Hikaru, secara berurutan,
menyerahkan hadiah mereka. .... Hadiah dari Takeshi adalah sepaket ochazuke
yang agak mahal. Sedangkan hadiah dari Hikaru adalah pulpen modis... Saat
Masachika melihat pulpen yang diberikan oleh Hikaru, bagian atas bodi pulpen
itu... ternyata adalah hiasan herbarium.
(Wah, tadi itu hampir saja! Terima kasih,
Yuki!)
Nyaris saja menjadi bahan
tertawaan di tempat yang salah, Masachika memberikan rasa terima kasih kepada
adiknya yang tidak hadir di sana.
◇◇◇◇
Setelah sesi memberi hadiah
sudah selesai, semua orang memakan irisan kue ulang tahun dengan perasaan lega.
Kemudian, secara tidak terduga, terdengar suara gemuruh kecil dari luar.
Hampir semua orang menoleh ke
sumber arah suara, dan tiba-tiba terlihat kembang api meletup jauh di sana.
“Oh, ada kembang api~. Apa
jangan-jangan mereka sedang merayakan ulang tahun Alya-chan kali, ya~?”
“Tidak mungkin lah.”
Alisa segera menanggapi ucapan
Akemi yang tidak jelas apakah dia serius atau bercanda, dan menjelaskan kepada
tamu-tamu di tempat tersebut.
“Di sekitar sana sepertinya ada
tempat pernikahan, jadi kadang-kadang kita bisa melihat pertunjukkan kembang
api.”
Penjelasan yang sangat
realistis dari Alisa membuat semua orang memahaminya. Namun, tanpa peduli
dengan kebenaran yang begitu biasa itu, Akemi menuangkan minuman ke semua gelas
dan mengangkat gelasnya ke arah Alisa.
“Baiklah, sekarang sambil
ditemani pertunjukkan kembang api di langit, aku akan mengucapkannya sekali
lagi, Alya-chan! Selamat ulang tahun~~!”
“Kenapa sih.”
Alisa dengan malu-malu
mengerucutkan bibirnya dengan cemberut, tapi Maria dan yang lainnya ikut
mengikuti semangat Akemi. Melihat banyak gelas diangkat, Alisa juga mengangkat
gelasnya sambil sedikit mengangkat bahunya.
“Selamat~!”
“Selamat ulang tahun!”
“Terima kasih...”
Alisa dengan malu-malu
mengucapkan terima kasih sekali lagi atas ucapan selamat yang terus mengalir
dari keluarga dan teman-temannya. Kemudian, Maria mengarahkan kamera ponselnya
ke arah Alisa.
“Oke, Alya-chan, katakan 'cheese'!”
“Sudahlah, nggak usah...”
“Kenapa~? Foto untuk hari
istimewa kan boleh sebanyak-banyaknya~”
“Tadi ‘kan sudah difoto.”
Sambil menutup wajahnya dengan kedua
tangan, Alisa menolak dengan malu-malu. Tetapi Akemi terus ikut campur, dan
Alisa berlari menuju balkon untuk menghindari ibu dan kakaknya yang terus-menerus
mengarahkan kamera ke arahnya.
“Alya-chan, kamu mau kemana~?”
“Kembang api.”
Setelah memberitahu dengan
singkat, Alisa membuka jendela, mengenakan sandalnya, dan keluar ke balkon.
Maria dengan cepat melihat telinga Alisa yang memerah dan tersenyum lembut.
“Alya-chan, dia lucu sekali.”
“Fufu, dia pasti merasa malu
karena belum pernah dirayakan oleh teman-teman sebanyak ini~"
Setelah mengatakan hal tersebut
dengan sukacita yang tulus, Akemi tersenyum lembut kepada semua orang di sana.
"Sekali lagi, terima kasih
kepada semuanya untuk hari ini. Meskipun dia agak keras kepala, tolong jaga baik-baik
Alisa ke depannya, ya?”
“Terima… kasih banyak.”
Saat Akemi menundukkan
kepalanya perlahan, Mikhail juga sedikit menundukkan kepalanya.
Mereka semua menanggapi ucapan
terima kasih yang tidak terduga dari orang tua teman mereka dengan senyuman
merendah. Di tengah-tengah semua ini, Masachika melihat ke luar jendela ke arah
belakang kepala Alisa, yang sedang menonton kembang api, dan tiba-tiba berpikir
sesuatu.
(Loh?
bukannya ini bisa menjadi kesempatanku?)
Dengan berpikir demikian,
Masachika memastikan bahwa tamu-tamu lain terpaku oleh Akemi dan Mikhail, lalu
mengambil barang bawaannya dan diam-diam meninggalkan tempat duduknya. Ia
kemudian bergerak dengan santai di sepanjang dinding sehingga tidak ada yang
bisa melihat atau mencurigainya. Ya, jangan pernah membiarkan siapa pun tahu
kemana dirinya pergi. Jadilah udara, jadilah udara. Benar sekali, itu sama
seperti...
(Sama
seperti Ayano!)
Entah bagaimana, Masachika
melakukan yang terbaik untuk menghapus kehadirannya sambil memakai aura seorang
pejuang yang menggunakan keterampilan temannya di pertempuran terakhir. Tetapi,
(Ah)
Ketika Masachika akhirnya
sampai di jendela, pandangan matanya tak sengaja melakukan kontak mata dengan
Nonoa. Kemudian, Nonoa mengangkat alisnya dan hendak mengatakan sesuatu―― tapi Ayano
memanggilnya dan dia berbalik ke arahnya.
(Syukurlah,
makasih banget, Ayano!)
Meskipun dia tidak sengaja
melakukannya, tapi Masachika berterima kasih kepada teman masa kecilnya karena
telah mengalihkan perhatian Nonoa pada saat yang tepat.
(Hmm?
Hah, apa mereka berdua memiliki semacam hubungan...?)
Meskipun Masachika samar-samar meragukan
hal tersebut, tapi dirinya tidak memikirkannya secara mendalam. Ia kemudian
diam-diam membuka jendela dengan pelan agar tidak menimbulkan suara apa pun,
dan segera keluar menuju balkon.
“...?”
Namun, tidak peduli seberapa
keras dirinya mencoba untuk membungkam suara dan kehadiran, Alisa akan selalu
tahu, karena saat jendela terbuka, suara di dalam ruangan bisa terdengar dengan
keras.
“Y-Yo.”
Masachika mengangkat tangan
kirinya sambil mengatakan itu, tidak tahu harus berkata apa kepada Alisa yang
berbalik untuk melihat ke belakang. Alisa kemudian melirik ke arah tas di
tangan kanan Masachika, lalu mengembalikan pandangannya ke luar balkon. Saat
Masachika dengan ragu-ragu berdiri di sampingnya, Alisa bertanya sambil
menghadap ke depan.
“……Ada apa?”
“Oh tidak...um, kurasa kembang
apinya baru saja selesai, ya?”
Ketika situasi yang ideal
mendadak terjadi, Masachika tidak tahu bagaimana harus memulainya dan akhirnya
mengucapkan kata-kata yang tidak jelas. Entah apakah dia menyadari tipu daya
Masachika atau tidak, Alisa menjawab tanpa ragu-ragu.
“Yah, ledakan yang besar
terakhir muncul, jadi kurasa itu memang baru saja selesai.”
“Begitu ya.”
Dan kemudian, terjadi keheningan.
Di tengah suara serangga dan suara mobil yang terdengar dari jauh, Masachika
menggaruk kepalanya dan mengerutkan keningnya karena kegelisahannya sendiri. Ia
tanpa sadar membawa topik yang tidak relevan karena dirinya sangat gugup, tapi
ia tidak bisa membuang-buang waktunya di sini.
“......”
Saat Masachika melihat sekilas ke
arah belakangnya, terlihat suasana ruangan yang sedang ramai. Untuk saat ini,
sepertinya mereka belum sadar akan keberadaannya, namun dirinya tidak boleh
lengah. Semakin banyak waktu berlalu, semakin besar kemungkinan orang menyadari
keberadaan Masachika dan Alisa bersama. Apalagi, sepertinya Nonoa sudah
menyadari hal itu sejak lama.
(Ah
sudahlah! Karena sudah sampai di titik ini, aku harus memutuskannya!)
Dengan menghela nafas
dalam-dalam untuk memberi semangat pada dirinya sendiri, Masachika dengan cepat
membuat gerakan seperti mendorong dengan kedua tangannya sambil terus
memperhatikan suasana di dalam ruangan.
“Maaf, aku harus ke sana
sebentar...”
“Ada apaan sih?”
Masachika mengarahkan kedua
tangannya ke arah Alisa yang sedang bingung, kemudian bergerak ke posisi yang
tidak terlihat dari dalam ruangan karena terhalang oleh tirai. Setelah memastikan
tidak ada yang melihatnya, Masachika kembali menghadap Alisa. Alisa pun
membalikkan tubuhnya ke arah Masachika, seakan-akan merasakan sesuatu.
“Um...Sebenarnya, aku masih punya
hadiah lain untukmu...”
“?”
Saat Masachika membuka
mulutnya, Alisa mengedipkan matanya dengan terkejut dan melihat tas di tangan
kanan Masachika.
“Ah, ya. Ini dia...”
Masachika mengeluarkan
bungkusan kado dari dalam tasnya, berpikir kalau itu kelihatannya kurang tepat.
Pada saat yang sama, kata-kata yang diucapkan Yuki terlintas kembali di
pikirannya.
『Sudah
kubilang, kamu harus menyampaikan perasaanmu melalui kata-kata dan tindakan. 』
『Jika
kamu melakukan hal yang biasa kita lakukan setiap tahun... kamu bisa langsung
membuka event dari peningkatan kesukaan Alya-san』
Kata-kata yang muncul di dalam
pikirannya membuat seluruh tubuh Masachika langsung panas, sensasi geli yang
luar biasa melanda dari dalam dadanya dan menyebar ke seluruh tubuhnya.
Meskipun Masachika merasa kalau itu sudah cukup memalukan jika dilakukan kepada
Yuki, tapi ketika ia membayangkan melakukannya kepada Alisa, rasa malu yang
begitu besar membuatnya ingin berguling-guling.
(Nuooooooooo,
rasanya malu-maluin bangettttt! Tapi aku harus memutuskannya! Yuki juga bilang
begitu! Sekali dalam setahun, setidaknya di hari ulang tahun, aku harus
menyatakannya dengan tulus!!)
Masachika mengambil keputusan
dalam sekejap, menutup rapat bibirnya dan mengatupkan gigi belakangnya.
Kemudian, dengan mengangkat wajahnya, ia menyerahkan hadiah kepada Alisa yang
sedikit terkejut.
“Ini, terimalah…”
“Te, rima kasih…”
Alisa terlihat bingung saat
menerima hadiah tersebut, tapi Masachika masih tidak melepaskan tangannya dari
hadiah tersebut. Kemudian, sambil menatap lurus ke arah Alisa, yang mendongak
dengan tanda tanya di wajahnya, Masachika menyingkirkan rasa malunya dan
berkata.
“Terima kasih sudah hadir di
dunia ini, Alya.”
Mata Alisa membelalak saat mendengar kata-kata itu. Menyadari bahwa matanya yang biru menatap langsung padanya, Masachika terus melanjutkan….. sambil menahan keinginan untuk berteriak dan berguling-guling, menguatkan dirinya dengan penuh semangat.
“Selamat ulang tahun, Alya. Aku
sangat bersyukur atas kehadiranmu di dunia ini dan sudah bertemu denganku.”
Setelah Masachika berhasil
mengucapkan kata-kata tersebut dan menutup mulutnya, Yuki dalam wujud setan
kecil, tiba-tiba muncul dalam pikirannya, dan berteriak dengan keras.
『Sekarang!
Cium dia di sana! Cium dia dengan tulus sekali! Dan kemudian masukkan lidahmu
ke dalam—』
(Mana
mungkin aku melakukannya, dasar bego!)
Sambil mengusir setan kecil
yang berisik itu, Masachika melepaskan tangannya dari kado. Alisa kemudian
perlahan-lahan memegang kado itu di dadanya, terlihat tertegun, lalu tersenyum
ringan setelah beberapa detik.
【Aku
juga sama】
Dia mengucapkan itu dalam
bahasa Rusia dan mengedipkan matanya beberapa kali, seolah-olah baru kembali tersadar dari keterkejutannya. Kemudian, setelah tersenyum kecil, dia
mengatakannya lagi dalam bahasa Jepang..
"Aku juga... sangat senang
bisa bertemu denganmu.”
Dia membuang rasa malunya dan
mengucapkan kata-katanya dengan jujur.
Rasa malu yang menyelimuti sekujur tubuh Masachika lenyap dalam sekejap seiring dengan kata-kata yang disampaikan secara tulus dari hati. Sebaliknya, yang memenuhi seluruh tubuh Masachika adalah kegembiraan murni. Mereka saling memberkati atas keajaiban bertemu satu sama lain. Karena mereka bisa bertemu dengan seseorang seperti itu. Masachika menyadari dari lubuk hatinya yang terdalam bahwa inilah keajaiban yang sesungguhnya.
(Ah,
ini gawat. Entah mengapa, aku sangat ingin memeluknya)
Emosi yang membuncah dari lubuk
dadanya membuat Masachika merasakan suatu kekhawatiran. Tidak, jika orang yang
ada di hadapannya adalah Yuki, Masachika akan memeluknya dengan sekuat tenaga
dan bahkan mencium pipi atau dahinya, tetapi melakukannya pada Alisa tentu saja
tidak pantas. Di dalam pikirannya, si setan kecil berteriak keras dengan
megafon “Ayo lakukannnn~~~~~!! Ayo cepat
lakukannnnnn~~~~~~!!” Namun, tindakan itu masih tidak pantas.
(Ini…gawat...
tapi...)
Senyuman lembut Alisa. Mata
biru yang menatap ke arahnya dengan penuh perhatian. Ketika melihat keduanya,
suara akal sehat tersebut perlahan-lahan memudar... dan tanpa sadar, entah
siapa dari mereka, mulai melangkah maju.
Jarak di antara mereka berdua
semakin dekat dengan langkah-langkah perlahan... *DOR*
Suara yang menggetarkan inti
tubuh diikuti dengan semburat cahaya yang menyilaukan di ujung pandangan
Masachika. Setelah melihat sekilas ke arah suara itu, ia bisa melihat kembang
api besar menghiasi langit malam, meledak dan memudar dengan gemerlapnya.
Setelah menyaksikan pemandangan
itu dengan kaget, Masachika tiba-tiba tersadar dan menoleh ke arah Alisa. Alisa
juga berkedip-kedip seolah dia terbangun dari mimpi dan menoleh ke arah Masachika.
Kemudian, mereka berdua menyadari betapa dekatnya mereka satu sama lain, dan secara
bersamaan mundur setengah langkah.
“Ah, jadi kembang apinya belum
berakhir, ya.”
“Iya, sepertinya begitu. Apa
yang itu yang terakhir? Oh, apa aku boleh membukanya?”
“Ah, tentu saja, silahkan,
silahkan?”
“Um, di mana ujung perekatnya,
ya…?”
“Ah, aku akan menyalakan cahayanya.”
Mereka berdua berbicara cepat
sambil tersenyum palsu, seolah-olah mencoba menutupi sesuatu. Kemudian, di
bawah cahaya smartphone Masachika, Alisa dengan hati-hati melepas selotip dan
mengeluarkan isinya... dan yang keluar adalah sepasang sarung tangan putih.
"Mulai sekarang cuacanya
akan semakin dingin. Jadi kupikir hadiah ini akan cocok.”
Saat Masachika mengatakan itu
dengan senyum malu-malu di wajahnya, tatapan mata Alisa tertuju pada bordiran kepingan
salju kecil berwarna biru yang disulam di sarung tangannya, tali merah dengan
pompom putih di ujungnya, yang terpasang di bagian pergelangan tangan.
(Yah,
tentu saja dia akan menyadarinya)
Masachika sadar akan hal
tersebut. Tapi ia tidak bisa menahannya. Saat dirinya menemukan sarung tangan
ini di toko, ia tahu kalau ia harus membelinya, jadi apa boleh buat. Jika
ditanya mengapa ia tidak memberikannya di depan semua orang, jawabannya karena
dirinya merasa malu dan canggung. Dan sekarang, ia masih merasa sangat malu...
(Mengapa
dia diam saja?!)
Alisa tampaknya tidak bereaksi
seperti yang diharapkan, dan Masachika mati-matian berusaha menahan sensasi
gatal yang membuat frustasi itu. Di hadapannya.
Alisa juga berjuang keras
menahan rasa nyeri di dalam dadanya.
(Kenapa...
Kenapa kamu melakukan hal ini padaku?)
Kata-kata yang diucapkan
Masachika, hadiah yang jelas-jelas ditujukan hanya untuk Alisa, membuat
perasaan cintanya yang seharusnya tenggelam di dalam hati kembali bergejolak.
(Mengapa?
Masachika-kun menyukai Yuki-san, dia begitu berharga baginya... Tapi jika kamu
bersikap baik begini, aku pasti akan salah paham....?!)
Kebahagiaan dan kebencian
berkecamuk di dalam dadanya. Mengapa ia melakukan hal-hal yang membuatnya salah
paham seperti ini. Orang yang kejam. Pikiran negatif semacam itu melintas di
pikirannya, dan tanpa sadar, Alisa menatap Masachika dengan pandangan tajam———saat
mata mereka bertemu, ada sesuatu yang meledak di dalam dadanya.
(Ah,
tidak... Aku tidak bisa menahannya...)
Rasa khawatir seketika itu
tergantikan oleh gelombang emosi yang kuat. Dan kemudian, Alisa tanpa sadar melangkah
maju. Sesaat kemudian,
“Alissa~”
Alisa berhenti sejenak saat
mendengar suara tersebut bersamaan dengan suara jendela yang terbuka. Ketika
melihat ke arah suara tersebut, dia melihat Nonoa yang hanya menunjukkan
wajahnya dari jendela, sambil mengisyaratkan agar Alisa mendekat.
“Kurasa sebaiknya kamu harus
kembali sekarang, loh~”
“Eh?? Kenapa...”
“Kenapa? Ah~”
Sambil kembali menoleh ke arah
ruangan, Nonoa mengeluarkan suara ambigu, dia lalu menatap Alisa lagi dan
berkata.
“Yeah, mungkin sudah terlambat.”
“Dibilangin, ada apaan sih?”
“Tidak, yah, itu...”
Pada akhirnya, tanpa memberikan
jawaban yang jelas, Nonoa menarik wajahnya kembali. Alisa yang memiringkan
kepalanya, menyadari bahwa dia tanpa sadar telah melangkah maju, dan buru-buru
menarik kembali kakinya.
(Ha-Hampir
saja... entah mengapa, aku merasa kalau tadi itu sangat berbahaya ...)
Alisa mengambil napas
dalam-dalam, mencoba mengembalikan ketenangan pikirannya. Kemudian, dia melihat
ke arah Masachika, yang sedang melihat ke area dimana Nonoa berada dengan
ekspresi curiga di wajahnya. Pada saat itu, Alisa kembali merasakan rasa sakit
di dadanya, tapi dia berhasil menahannya dan tersenyum pelan.
“Terima kasih atas sarung
tangannya. Aku sangat menyukainya.”
“Oh, bagus kalau begitu.”
“Kalau begitu ayo kita kembali.”
Alisa memalingkan wajahnya agar
tidak melakukan kontak mata dengan Masachika dan bergegas menyimpan sarung
tangan yang diterimanya ke dalam tas, lalu menuju ke dalam ruangan dengan
cepat. Jika mereka berdua tinggal di sini lebih lama lagi, dia khawatir akan
mengungkapkan perasaan tak terduga terhadap Masachika.
(Dadaku...
terasa sesak)
Bibir Alisa terkatup rapat
sambil memegangi hadiah dari Masachika di dekat dadanya. Meskipun seharusnya dia
merasa bahagia, tapi hatinya dipenuhi oleh berbagai perasaan yang menyakitkan.
(Duhhh,
kenapa sih!)
Dengan langkah kasar seperti
anak kecil yang marah, dia kembali ke dalam ruangan,
“Dan inilah foto Alya-chan
waktu berumur empat tahun!”
““Imutnya~!””
“Wahh, rambutnya berwarna
pirang.”
“Ada bidadari sungguhan...”
“Tunggu, darimana kamu mendapatkan
album foto itu?!”
Dia belajar arti peringatan
dari Nonoa dan menyadari bahwa dirinya tidak boleh meninggalkan tempat dengan
sembrono saat ibu dan teman-temannya sedang berkumpul.