Epilog — Penampilan Mirai-san Hanya Terlihat Seperti Jiraikei
“Hei,
ini seriusan baik-baik saja?”
Dia
tampak sangat tegang.
“Bukan
hanya baik-baik saja, yang ada justru sudah
dinanti-nantikan!”
“It-Itu sih
hanya berlaku untuk Arisa saja, ‘kan...?!”
Dia dan
aku, mengenakan pakaian yang bisa dibilang formal kasual.
Kami
cukup rapi dalam berpakaian, memahami TPO (Waktu, Tempat, dan Acara). Namun, hari ini, Arisa telah
memberikan misi tambahan kepada dirinya.
Hal itu
dikarenakan...
“Yang
aku maksud adalah tentang pakaian ini! Kamu sih baik-baik saja!”
Meskipun
dia mengenakan pakaian monokrom yang layak untuk acara formal, penampilannya
tetap dengan gaya Jiraikei
yang biasa. Dengan embel-embel
lucu di bahu, lengan, dan bagian bawah rok, penampilannya sangat mencerminkan
dirinya.
“Tapi,
Arisa sendiri yang ingin kamu datang dengan
pakaian seperti itu.”
“...Hmm yah, baiklah. Aku akan bersiap.”
Dia mengangguk sembari menunjukkan ekspresi
berani di wajahnya.
Ayo
pergi, hari ini adalah misi rahasia Arisa—hari di mana kami berdua akan
menghadiri acara pengamatan kelas.
“Aku sudah siap,
Kensei.”
“Ya.
Kalau begitu, mari kita pergi, Mirai-san.”
†
† †
“Jadi,
kenapa kamu ada di sini?”
Di depan
gerbang sekolah SD, ada
seorang pria dikelilingi oleh para ibu yang sedang bersikap ramah.
Aku tahu kalau dirinya tampan, tapi aku yakin ia
bukan pilihan yang tepat, wahai ibu-ibu.
“Kenapa
aku ada di sini? Itu sih karena aku diundang
oleh princess-ku?”
“Ya,
itu mungkin benar sih.”
Si pria tampan, Satonaka-san, hadir di acara pengamatan kelas
tanpa perlu diminta. Bukankah ia seharusnya mempunyai
jadwal yang sibuk?
Lagipula,
jika Satonaka-san ikutan
datang, aku tidak perlu khawatir tentang kehadiranku...
...Tapi jika itu
bisa membuat Arisa senang, itu sudah cukup...
“Umm,
Satonaka-san.”
“Hmm?
Kenapa Miura juga bisa ada di
sini?”
“Yah, karena aku juga diundang ke sini...”
“Kugh...
sialan kamu...! Aku takkan memberikan Arisa padamu...!”
“Apa
maksudnya itu?”
Hah,
Mirai-san menghela napas kecil.
Sepertinya
dia tidak ingin membahas itu, jadi dia membungkuk dengan serius.
“Terima
kasih atas bantuanmu sebelumnya.”
Ucapan
terima kasihnya pasti terkait dengan kejadian sebelumnya. Aku telah
menceritakan seluruh peristiwa tersebut
kepada Mirai-san.
Berkat
Satonaka-san, kami berdua bisa terhindar dari perlakuan kasar Kaneko-sensei.
Namun,
Satonaka hanya menatapnya dengan ekspresi tertegun
sebelum menyikutku tubuh sampingku
dan tertawa terbahak-bahak.
“Lihat
deh Kensei, rambut Miura kayak logo dari suatu merek!”
“Hah...?”
Aku juga
tidak bisa menahan tawa. Memang, gaya rambutnya
terlihat seperti garis yang berbentuk kanji ‘orang’...
“Ap-Apa-apaan sih, pada ada orang yang sedang mengucapkan terima kasih dengan tulus! Kensei juga sampai ikutan tertawa segala!”
“Haha!
Ini adalah hak istimewa orang yang berkuasa—eh? Apa yang kamu katakan? Kensei??”
“Ah,
tidak, itu...”
“Bukannya emosimu
jadi tidak stabil, Satonaka-san?”
Mirai-san yang wajahnya memerah karena
marah, dan Satonaka-san yang tadinya tertawa terbahak-bahak tiba-tiba
berubah menjadi ekspresi yang mengerikan.
Di depan
sekolah SD begini, apa sih yang sebenarnya mereka lakukan?
“Hahh, sekali lagi terima kasih banyak, Satonaka-san.”
“Aku
sudah bosan mendengar ucapan terima kasih dari Kensei. Sudahlah.”
Satonaka-san melambai-lambaikan tangannya
dengan kesal.
Namun,
aku juga sudah belajar. Aku harus menjadi lebih kuat. Dalam berbagai artian yang sebenarnya.
“Yah,
bukannya tentang itu? Ia sudah banyak memanfaatkan jabatannya untuk
melakukan perlakuan kasar kepada Miura?”
“Eh?
Ah... benar juga.”
Dengan
bingung, Mirai-san
mendengarkan saat-san Satonaka
berbicara dengan santai.
“Karena dari
segi penampilan saja, kamu memang terlihat cukup baik, jadi
mungkin ia merasa kesal karena kamu tidak bisa jadi miliknya?”
“Itu...
yah, memang... bagaimana seharusnya seorang guru... yah, ia memang telah melakukan hal-hal
yang tidak seharusnya dilakukan
sebagai guru...”
Sepertinya
bagi Mirai-san, semua
itu sudah berlalu. Karena dia
menunjukkan penilaian yang netral meskipun telah diperlakukan dengan buruk.
“Satonaka-san, bukannya
itu sudah melewati batas kehormatan?”
“Apa
yang kamu bicarakan, Kensei? Bukannya
kamu sudah mempelajarinya sendiri?”
Dengan nada meremehkan, Satonaka-san berkata.
“Orang
yang kalah harus menerima apapun yang dikatakan. Jadi ingatlah
ini baik-baik.”
“...Ya.”
Jika kita memilih untuk bertarung, pasti ada yang namanya pemenang dan pecundang.
Aku harus
mempertimbangkan risiko itu dan bertindak dengan bijak ke depannya.
Dengan
mengingat hal itu, aku mengangkat wajahku kembali.
“Baiklah,
kalau begitu ayo pergi. Arisa sedang
menunggu.”
Bel sekolah sudah berbunyi.
Dengan
dimulainya acara pengamatan kelas di sore hari, banyak orang dewasa hadir di
sekolah.
Keberadaan kami terlihat mencolok, sementara
Satonaka-san masih tersenyum dengan lebar.
Aku
merasa bingung seberapa jauh aku harus meniru cara orang ini, tetapi kami
akhirnya sampai di kelas Arisa.
Pintu kelasnya terbuka, dan kami segera muncul
di belakang kelas.
Mata guru yang mengajar sedikit membelalak.
Mungkin karena kami dianggap
kelompok yang nyentrik dan nyeleneh.
Setelah
membungkuk kecil dan masuk, sepertinya anak-anak sudah mulai belajar. Begitu
guru bereaksi, seolah-olah itu
adalah tanda seseorang telah masuk, wajah-wajah lucu langsung menatap ke arah
kami.
Mirai-san sedikit terkejut. Tapi aku dengan lembut
menggenggam tangannya.
Momen
hening ini mungkin disebabkan oleh kemunculan kelompok yang tidak biasa.
Dalam upaya
memecah keheningan, ada seorang
gadis bersuara.
“Oh!
Jadi dia 'Nee-san' nya Arisa, ‘kan!”
“Benar
sekali!”
“Mirip seperti
seorang putri!”
Anak-anak
itu berseru dengan penuh semangat dan
genggaman tanganku pada Mirai-san
menjadi lebih longgar.
...Syukurlah.
Sekarang,
di mana Arisa? Aku melihat sekeliling dan menemukan bagian belakang kepala yang
sudah familiar. Oh, hari ini dia juga mendapatkan gaya rambut yang sama dengan 'Nee-san'nya.
“Lihat,
sensei jadi tampak
kesulitan, ‘kan.”
Oh,
adikku yang ceria.
Dia tidak
berbalik ke arah kami, tetap bersikap seperti murid teladan.
Bagus
sekali, Arisa, kamu benar-benar berusaha di sekolah.
“Ya,
seperti yang dikatakan Maizono-san. Ayo fokus
belajar kembali.”
Dengan
bertepuk tangan, guru meminta semua orang untuk kembali menghadap papan tulis.
Gadis
yang melihat Mirai-san sampai akhir
adalah gadis yang pertama bersuara.
Mirai-san melambaikan tangan dengan ragu
kepada gadis itu.
Gadis itu
tersenyum ceria sebelum kembali mengikuti
pelajaran seperti
teman-temannya yang lain.
“Hmm.
Apa ini yang disebut perubahan zaman? Miura jadi terlihat biasa saja.”
Perkataan
Satonaka yang tidak puas, anehnya, justru menjadi penyelamat bagi Mirai-san.
“...Syukur ya, Mirai-san.”
“Ya...”
Mirai-san mengangguk kecil dan kemudian
tersenyum.
“Aku
senang bisa bersamamu.”
Sebelumnya | Daftar isi | Selanjutnya