Chapter 12 — Aku Tidak Pernah Menyangka Bahwa Aku Sangat Menginginkannya
Semua itu
terjadi sekitar tiga bulan yang lalu. Aku masih bsia
mengingatnya
dengan jelas.
Aku
sedang melakukan pekerjaan terakhir
di kafe tempatku bekerja, yang mana kafe tersebut tutup sekitar
pukul sembilan malam.
Karena
kafe itu memiliki dinding yang seluruhnya terbuat dari jendela, jadi aku bisa melihat dengan jelas apa
yang terjadi di luar.
Ketika
aku sedang menyemprotkan disinfektan untuk
membersihkan meja, kilat yang sangat hebat berkali-kali
menyala di luar.
Malam itu
adalah malam badai yang parah.
Aku mulai
khawatir apakah adikku yang tertinggal di rumah tidak merasa ketakutan, dan tiba-tiba aku
melihat ke luar jendela.
Kafe ini
menghadap ke jalan kecil yang modis,
di mana mobil tidak bisa masuk, dan dipenuhi dengan butik, toko jam, dan toko perhiasan
yang ditujukan untuk anak-anak
muda.
Jadi, rasanya tidak mengherankan jika masih ada anak-anak muda di luar meskipun saat itu
sudah larut malam. Mereka tertimpa badai, payung mereka berantakan, dan tertawa
keras bersama teman-teman di tengah hujan lebat.
Melihat
pemandangan itu, aku sedikit tersenyum—tapi ekspresiku seketika membeku.
Di bawah
atap kafe ini, ada seorang gadis yang duduk
berjongkok tanpa membawa payung.
“Oi,
oi!”
Ketika aku benar-benar panik, kata-kata tersebut keluar begitu saja dari mulutku.
Meninggalkan
disinfektan dan handuk di tempat terdekat,
aku berjalan cepat menuju pintu keluar.
Koki
sedang sibuk mempersiapkan untuk besok, dan Owner
sedang bekerja di belakang.
Hanya ada aku yang ada di sini, jadi aku
benar-benar panik.
Dengan terburu-buru, aku membuka pintu yang
sudah terpasang tanda CLOSED, dan berteriak di tengah hiruk-pikuk angin
dan hujan.
“Apa
yang sedang kamu lakukan?!”
“……”
Dia
mungkin mendengar teriakanku,
tetapi dengan rambut yang indah dan pakaian mahalnya yang basah kuyup, dia
tidak bergerak sedikit pun.
“Apa
kamu kehilangan payung?! Apa kamu sedang
tidak enak badan?! Apa
kamu baik-baik saja?!”
Jika
diingat-ingat kembali, dua pertanyaan terakhir
sepertinya memiliki arti yang sama, tapi saat itu aku panik dan berbicara tanpa
berpikir. Namun, tidak ada jawaban untuk semua pertanyaanku, dan aku melangkah
masuk ke bawah atap kafe.
Seketika
sepatuku langsung basah kuyup, tetapi aku tidak
peduli lagi. Toh, aku juga akan basah saat pulang nanti.
“Hei!
Tunggu──”
Aku
meraih bahunya dan memutar gadis itu agar menatapku.
Di
situlah aku baru
menyadari. Meskipun dandanannya
sangat berantakan, dia adalah seorang gadis yang kukenal.
“Miura-san…?”
“……”
Pada waktu
itu, aku tidak tahu apakah dia masih mengingatku sebagai teman
sekelasnya atau tidak.
Dia
hampir tidak bereaksi. Aku bahkan tidak bisa membedakan apakah itu karena dia
tidak mengenalku atau karena keadaannya yang
sangat lesu.
Namun,
tatapan kami hanya bertahan sejenak. Wajahnya kembali tertunduk.
“……Tinggalkan
aku sendiri.”
Suaranya
yang lemah terdengar sangat jelas di tengah badai yang gaduh.
Aku bukan
orang yang pandai. Aku tidak tahu cara memperhatikan orang lain dan mengantar
mereka dengan baik.
“Jadi,
satu-satunya hal yang bisa aku lakukan hanyalah
satu hal.
Setelah menghela
napas panjang, aku meraih lengan atasnya dari
bawah dan memaksanya berdiri.
“Ayo,
masuklah ke
dalam.”
“....”
Setidaknya,
aku tidak bisa membiarkannya begitu saja.
Jadi, aku
menariknya. Untungnya, dia tidak melakukan perlawanan.
Aku mendudukkannya dalam keadaan basah kuyup di kursi,
menutupi tubuhnya dengan handuk yang aku ambil dari dalam, dan kemudian… aku
bingung harus berbuat apa.
Aku
merasa ragu untuk bertanya tentang keadaannya, jadi aku memutuskan untuk meminta
petunjuk dari pemilik kafe.
Namun,
ketika aku pergi ke belakang, aku
tidak bisa menemukannya. Mungkin
dia sedang di toilet atau urusan lainnya.
Aku
merasa tidak enak membiarkan gadis itu sendirian terlalu lama, jadi ketika aku
kembali, dia masih diam di tempatnya dengan handuk menutupi dirinya.
Aku
menyerah dan memutuskan untuk membuatkan cokelat panas yang baru saja
kupelajari.
Setelah
meletakkan cokelat panas yang harum di meja, dia sedikit bereaksi.
“Minumlah.”
Ketika
aku berkata begitu, tangannya perlahan-lahan
bergerak. Dengan kedua tangan, dia menyentuh cangkir, seolah mencari
kehangatan, jarinya satu per satu menyentuh cangkir. Bahkan ada beberapa kuku palsunya yang terlepas.
…Ketika
dilihat lagi, penampilannya luar biasa. Dengan kombinasi hitam dan merah muda,
dia memiliki aura yang sangat imut. Penampilan seperti itu sering terlihat di
Kabukicho, tetapi area di sekitar sini tidak begitu umum.
Selain
merasa bahwa itu adalah pakaian yang sangat keren, aku tidak memiliki perasaan
lain pada saat itu.
“……Hangatnya.”
Aku bahkan
tidak tahu harus menjawab apa terhadap bisikan
Miura-san setelah dia meneguk sedikit cokelat
panas.
Selama beberapa
saat, hanya keheningan dan aroma cokelat yang memenuhi ruangan itu.
†
† †
Kami berdua berjalan bersama menuju Sandora.
Matahari
terbenam dengan lembut menghangatkan punggung kami
di jalanan dengan deretan pepohonan
di taman Miyashita.
“…Pada hari ketika aku bertemu Maizono.”
“Hm?”
Miura-san
yang berjalan di sampingku, tiba-tiba memulai
percakapan, dan aku juga meliriknya. Bulu mata panjangnya tertunduk,
matanya memantulkan cahaya yang menembus dedaunan di aspal.
“Aku
diberitahu bahwa aku sama sekali tidak diakui
“Tidak
diakui…”
Artinya
memutuskan hubungan keluarga. Hal seperti itu hanya bisa diucapkan oleh orang
tua, jadi aku mengerti bahwa dia memiliki masalah dengan keluarganya.
Aku mulai
memahami situasi di balik seringnya
dia datang ke rumahku.
“Itulah sebabnya, aku merasa sangat senang. Di tengah hujan itu, kamu ada di sampingku.”
“…Begitu
ya.”
“Tapi,
aku malah mendapatkan sesuatu lagi darimu.”
Miura-san
mengangkat wajahnya sembari menunjukkan
ekspresi seolah-olah dia ingin menangis dan tertawa
sekaligus.
Seakan-akan hanya dirinya saja yang mendapatkan keuntungan, aku
merasa sedikit malu.
Oleh karena
itu, aku menggelengkan kepalaku.
“Jika kamu
sampai mengatakan itu, aku bahkan menjadi pihak yang selalu
menerima. Hari itu dan kali ini. Aku
merasa bahwa itu tidak seimbang kalau hanya dua kali saja.”
“Mana ada
yang namanya seimbang.”
Miura-san
menatapku seolah ingin berdebat, dan tatapan
mata kami bertemu.
Dalam
tatapan tulusnya, mau tak mau
aku hampir dibuat terhanyut…
dan matanya tersenyum lembut, membuatku tersadar.
“Hehe,
kita samaan ya.”
Sama.
Mungkin yang ingin dikatakan Miura-san
adalah kami berdua saling membantu. Aku hampir
mengangguk, tetapi aku merasa itu salah.
Baru
saja, dia tersenyum padaku dan bertemu tatapan, tetapi aku tidak bisa tersenyum
padanya.
Sebelum aku sempatbisa tersenyum, aku menyadari bahwa aku sangat menginginkan dirinya.
“Miura-san.”
“Hm?”
Seorang
pria yang bijaksana hanya bisa maju dari depan.
“…Aku
tidak melakukan hal ini karena ingin bersikap baik padamu, Miura-san.”
“Eh…?”
Mata Miura-san
melebar seolah-olah dia tidak mengerti maksudku.
Dia ikutan berhenti ketika aku menghentikan langkahku.
“Maizono?”
Saat aku harus mengatakannya, aku jadi merasa
tegang, dan mulutku tiba-tiba kering.
“Aku
diberitahu untuk memutuskan hubungan denganmu. Diperintahkan untuk tidak
terlibat lebih jauh denganmu.”
Aku
teringat dengan apa yang
dikatakan oleh Kaneko-sensei.
Mungkin dia tidak sepenuhnya salah.
Bila disebut
dimana letak salahnya,
itu karena ia hanya melihat Miura-san sebagai siswa bermasalah tanpa memahami
situasi sebenarnya.
“Kamu
melindungiku… itu maksudnya, ‘kan?
Meskipun, aku merasa malu untuk mengatakannya sendiri, sih.”
“Memang ada
sudut pandang seperti itu. Tapi bukan itu maksudku.”
Mungkin bisa
dilihat begitu jika dilihat dari sudut pandang orang luar.
Namun, motivasinya berbeda.
Ketika Kaneko-sensei memberitahuku
hal itu, aku merasa tidak suka. Aku penasaran seberapa besar perasaanku ketika memikirkan Miura-san saat
itu?
Aku tidak
bisa mengatakan kalau aku tidak
merasakan apa-apa, tetapi
mungkin hanya setengah.
Kesadaran
akan setengah sisanya muncul ketika aku menarik uangku.
Aku tidak
ingin berpisah dengannya. Aku
tidak menyukainya.
Karena──aku
menganggap keberadaannya sama pentingnya dengan Arisa.
Jika aku
mengatakan ini berdasarkan keinginan egoisku sendiri, itu karena aku menganggap
Miura-san seperti seorang kerabat.
Dan aku
ingin dia tetap seperti itu.
Pada hari
hujan deras, aku tidak tahu bahwa aku akan menginginkannya sebanyak ini.
“Miura-san.”
Ketika aku
mengatakannya dengan serius,
Entah
kenapa, tatapan mata Miura-san juga ikut berubah.
Kira-kira apa
ya? Sepertinya dia sedang menunggu sesuatu... seolah-olah meminta sesuatu
dariku.
Namun,
aku tidak yakin bisa memenuhi harapannya, jadi aku merasa ragu sejenak.
“...Apa?”
Matanya
yang berkilau dan pipinya yang sedikit memerah. Mungkin karena matahari
terbenam. Miura-san terlihat sangat menawan.
Bibirnya
yang berwarna pink layaknya bung sakura
seolah mendesakku.
Tanpa
bisa menahan diri, aku mengungkapkan perasaanku yang terdalam.
“...Ini
bukan untukmu.”
“Ya.”
“Aku
melakukannya untuk diriku sendiri.”
“Ya.”
Dengan
napas tertahan, aku memberitahunya sambil menatapnya.
“Karena
aku hanya menginginkanmu.”
Begitu
aku mengatakannya.
“Aku
menunggu apa yang akan dikatakan
Miura-san dan menanti
jawabannya.
Tentu
saja, itu mungkin berbeda dari harapanku.
Oleh karena
itu, aku menunggu bibirnya bergerak.
Aku terus
menunggu dengan sabar.
“.....”
Miura-san
tidak mengatakan apa-apa. Akan tetapi,
kedua tangannya perlahan-lahan terulur ke arahku.
Sebelum aku
bisa memahami apa yang sebenarnya terjadi, tangan itu
melingkari leherku.
Aku bisa merasakan kelembutan dirinya yang
sangat aku inginkan, seolah-olah aku tersedot ke dalamnya.
“Hmm...”
Dia
menempelkan dirinya dengan lembut.