Bab SS 6
Shihoko
menghela nafas panjang. “Ya ampun, aku sudah mulai merindukan Mahiru-chan…”
Meski
baru saja melihatnya, Shihoko sudah mengungkapkan kerinduannya pada Mahiru,
meninggalkan suaminya, Shuuto, hanya dengan senyuman masam. Dia
menyayangi Mahiru layaknya putrinya sendiri, atau lebih
tepatnya, dia sudah melihatnya sebagai menantu di dalam hatinya, selalu mencari
kesempatan untuk menyayangi Mahiru kapan pun ada
kesempatan.
Mahiru
sendiri juga sepertinya menikmati perhatian
Shihoko, jadi selama itu tidak terlalu berlebihan, Shuuto tidak punya niat
untuk menghentikannya. Selain itu, dari sudut
pandangnya, Mahiru juga adalah seseorang yang sangat Ia
sayangi, jadi Ia tidak merasa perlu ikut campur dalam kasih sayang istrinya
padanya.
“Kamu
sangat menyayangi
Shiina-san, ya?” Shuuto
berkomentar.
“Tentu
saja. Aku selalu ingin mempunyai anak perempuan,” jawab Shihoko sambil melamun.
Shuuto
tersenyum lembut, tapi jauh di lubuk hatinya, dirinya
merasakan sedikit rasa sakit karena mengetahui bahwa ia tidak akan pernah bisa
benar-benar memenuhi keinginannya untuknya. Shihoko tidak dapat memiliki anak
lagi. Ini bukan karena masalah
usia, melainkan kondisi fisiknya yang membuat hal itu tidak mungkin dilakukan. Walaupun tidak ada masalah saat dia mengandung Amane, namun komplikasi
selama kelahirannya menyebabkan dampak jangka panjang yang mencegahnya untuk
memiliki anak lagi. Jika dia hamil lagi, tidak ada jaminan bagi kehidupan
mereka berdua bisa selamat.
Shuuto
belum memberitahu Amane hal yang
sebenarnya, takut Ia akan menyalahkan dirinya sendiri, jadi Shuuto hanya menyebutkan bahwa itu
karena penyakit. Dirinya juga tidak berniat mengungkapkan
kebenaran di masa depan. Mereka memang
merasa sedih saat mengetahui bahwa mereka tidak dapat
memiliki anak lagi, tapi memiliki Amane, putra mereka yang berharga, sudah
lebih dari cukup untuk membuat mereka merasakan kebahagiaan yang luar biasa.
“Oh,
sekadar memperjelas, aku tidak punya keluhan apa pun tentang Amane, oke? Aku bemar-bemar merasa
diberkati memiliki anak seperti dirinya.
Aku sangat bahagia karena dia
dilahirkan dengan selamat, dan tidak pernah sekalipun aku menyesali momen itu. Dia akan
selalu menjadi anakku yang
tersayang.” Shihoko berbicara dengan senyuman yang tidak bermasalah. “Kalau
tidak, mana mungkin aku takkan begitu
mencintainya, kan?” dia menambahkan, dan Shuuto merasakan sakit di hatinya
mereda mendengar kata-katanya. “Meski begitu, aku juga selalu mendoakan anak
perempuan. Aku bermimpi
untuk mengoordinasikan pakaian kami dan menikmati hari perempuan.”
“Dan,
mengingat itu, kamu ingin melakukan hal itu dengan Shiina-san?”
“Ya,
meski bukan berarti aku menganggapnya sebagai pengganti atau semacamnya…
Mahiru-chan sangat imut, jadi aku ingin melihatnya mengenakan pakaian yang
berbeda. Dia terlihat memukau dalam pakaian apa pun yang dia kenakan. Dan
mengingat perilaku Amane,
dia sudah seperti putriku sendiri. Aku ingin tahu apa mereka akan baik-baik
saja dengan hal itu?”
“Yah,
kamu bisa mencoba bertanya langsung padanya dan Amane mengenai pendapat mereka,” saran Shuuto.
“…Meski
aku bertanya-tanya apa Amane akan mengizinkanku. Dia ternyata sangat posesif.”
“Sulit
untuk dikatakan. Itu tergantung pada kemampuan meyakinkanmu, Shihoko-san.”
Shuuto
berpikir selama Mahiru tidak keberatan, Amane mungkin akan membiarkan Shihoko
melakukan apapun yang dia suka. Namun, melihat antusiasmenya, dia memilih untuk
tidak mengatakan apa pun yang mungkin menyurutkan semangatnya. Melihat
penantiannya yang besar terhadap kesempatan berikutnya untuk bertemu Mahiru,
Shuuto merasa lega karena ekspresi sedih yang pernah ditunjukkan istrinya sudah berlalu, dan ia mengubur
kenangan lama itu jauh di dalam pikirannya sekali lagi.