Keesokan
paginya.
“Selamat
pagi, Shizune-san.”
“Ya,
selamat pagi.”
Saat aku
bangun dari tidurku, Shizune-san ternyata sudah
bangun. Rambut hitamnya yang panjang bahkan tidak
menunjukkan kekusutan, dan dia sudah berganti pakaian menjadi seragam pelayan, jadi sepertinya dia sudah bangun lebih dulu
dariku.
“Sarapannya sudah siap. Apa kamu mau langsung memakannya?”
“…Iya, terima kasih”
Aku lalu
menggeser sekat untuk memberi ruang bagi meja. Pada saat yang bersamaan Hinako
terbangun, mungkin karena suara kami yang sedikit
bising. Kupikir dia akan kembali tidur lagi, tapi saat tatapan mata kami
bertemu...
“Hm, hmmmm...!?”
Mata Hinako
langsung membelalak dan dia segera
terbangun dari tidurnya.
"Selamat
pagi, Hinako. Tidak biasanya kamu
bangun pagi-pagi sekali hari
ini.”
“...A-Aku
akan mencuci mukaku dulu.”
Wajah
Hinako mendadak berubah sedikit memerah dan dia buru-buru masuk ke dalam kamar mandi.
Dia masih
bertingkah aneh. Kupikir dia
akan kembali seperti semula setelah satu malam, tapi...
Saat aku
sedang menyimpan kasur di
lemari dan menyiapkan meja, Hinako Kembali dari kamar
mandi.
“Itadakimasu.”
Karena Hinako
sudah bangun, jadi porsi sarapannya sudah disiapkan untuk tiga orang di atas meja makan.
Menu yang
disajikan tampaknya adalah sarapan ala Barat yang terdiri dari daging asap,
telur dadar, salad sayuran, dan roti .......
Aku memutuskan
untuk memuaskan dahagaku terlebih
dahulu, jadi aku
mengambil gelas yang diletakkan di dekat tanganku. Di dalamnya terdapat sesuatu yang tampak seperti jus sayuran.
“Jus ini, apa kamu membuatnya sendiri, Shizune-san?”
“Iya.
Aku membuat smoothie dengan
blender yang kubeli tadi malam.”
Seperti
yang diharapkan dari kepala pelayan. Semua yang dia
lakukan benar-benar berbeda.
Daging
babi yang renyah dan telur dadar setengah matang yang lembut, terasa meleleh di dalam mulut sehingga menggugah selera
makanku.
Ketika
aku mengagumi keterampilan memasak Shizune-san, aku menyadari bahwa Hinako tampak linglung sejak beberapa waktu yang lalu, dia
belum memakan apapun.
“Apa boleh
buat.”
Selama jam istirahat
makan siang sekolah. Saat kami berdua sedang makan siang bersama, Hinako
terkadang seperti ini.
Aku
mengambil telur dadar dengan sendok dan mendekatkannya ke mulut Hinako.
“Ayo, makan.”
Kurasa dia mungkin aku menyuapinya seperti biasa.
Itulah
yang kupikirkan, tapi Hinako justru
menatapku dengan tatapan terkejut,
“Bu-Bu-Bu-Bu-Bu-Bu-Bukan
begitu maksudnya...!”
“Eh,
kalau begitu kenapa kamu tidak memakannya?”
Aku
meletakkan sendokku dan mengajukan pertanyaan
kepadanya. Kemudian, Hinako
menjawab dengan kepala tertunduk.
“Te-Terlalu dekat...”
Telinga
Hinako, yang dapat dilihat melalui celah-celah di rambut kuningnya, tampak semerah pohon apel.
...A
jarak antara aku dan Hinako?
Kami sekarang duduk berdampingan. Namun, jarak
di antara kami tidak terlalu berbeda dengan saat kami makan bersama di mansion keluarga Konohana.
“Tapi
Hinako, kamu sering menjatuhkan makananmu, ‘kan?”
“Ugh.”
Sisi asli Hinako
yang sebenarnya juga bisa makan dengan normal, tapi
dia sering kali menjatuhkan makanan dari mulutnya
karena sering melihat ke arah lain atau mengantuk.
Mencegah
hal tersebut terjadi merupakan salah satu tugasku
sebagai pengasuhnya.
“Ha-Hari ini, aku akan berusaha sebaik mungkin...!”
Setelah
berkata demikian, Hinako memasukkan makanan ke dalam mulutnya dengan cepat. Namun karena dia terlalu terburu-buru, jadi ada potongan telur menempel di
pipinya.
“Hinako,
jangan bergerak dulu sebentar.”
Aku
mengambil serbet kertas
yang ada di tengah meja dan membersihkan pipi Hinako.
“Baiklah, sudah hilang.”
Entah
mengapa, aku samar-samar merasa
pernah melakukan hal serupa di restoran donburi.
Namun,
berbeda denganku, Hinako
tiba-tiba mulai menggerakkan mulutnya dengan cepat――.
“Auuu~~~!!”
“Hinako?”
Dengan
ekspresi malu-malu, wajah Hinako terlihat merah padam.
Padahal
itu adalah sesuatu yang selalu kulakukan...
seriusan, apa yang sebenarnya terjadi?
◆◆◆◆
Siang hari. Aku
sedang melakukan rutinitas harian untuk belajar dan meninjau ulang materi pelajaran.
Hari ini aku belajar matematika. Di sesi
belajar kemarin, Tennouji-san mendadak
membuat soal tantangan yang tidak bisa aku
selesaikan, sehingga aku
menyadari bahwa aku perlu
lebih banyak mengulang pelajaran matematika.
Ada banyak
hal yang bisa dipelajari Ketika kita
belajar bersama seseorang. Ini adalah fakta yang tidak aku sadari saat menjalani kehidupan
sebelumnya yang jarang bergaul karena sibuk bekerja paruh waktu.
Pada saat
itu, aku tiba-tiba merasa ada yang
memperhatikanku dan aku menoleh.
“Apa ada
yang salah, Hinako?”
“Bu-Bukan
apa-apa.”
Hinako
tiba-tiba mengalihkan pandangannya.
Tapi ketika
aku
berkonsentrasi belajar lagi... aku mulai merasakan pandangannya lagi.
“Hinako?”
“Bukan
apa-apa.”
“Tapi,
meskipun begitu, sejak tadi aku merasa kamu
menatapku terus...”
“.... Itu mungkin cuma perasaanmu saja.”
Jelas-jelas
itu bukan imajinasiku saja.
Aku
menyentuh hidung dan pipiku untuk
melihat apa ada sesuatu yang menempel di
wajahku, tetapi aku tidak menemukan apa pun. Ketika aku melihat jam di atas
meja TV, waktunya sudah menunjukkan pukul dua
siang. Di luar cuacanya terlihat terang dan udara yang tenang mengalir dengan semilir.
(...Kurasa sudah waktunya bagi Hinako untuk tidur)
Pada hari
libur, Hinako biasanya selalu tertidur di jam-jam ini.
“Hinako,
apa kamu ingin aku menyiapkan futonnya?”
Ketika
aku bertanya, Hinako menggelengkan kepala dengan canggung dan berkata,
“...Hari
ini, aku tidak akan tidur.”
“Eh?”
Mustahil, apa
dia serius bilang begitu?
Dia tidak
akan tidur? Mana
mungkin Hinako akan mengucapkan
kata-kata seperti itu.
Sejenak,
aku mencurigai kalau gadis yang ada di hadapanku adalah Hinako palsu, tapi rasanya tidak mungkin,
jadi aku memutuskan untuk menghilangkan keraguan berikutnya.
“Hinako.”
“Uh,
fuee...!?”
Aku
menghentikan belajarku dan
mendekati Hinako.
Aku
menyisir rambut halus Hinako
ke samping, dan meletakkan tanganku
di dahinya yang putih mulus.
“... Syukurlah. Sepertinya
kamu sedang tidak demam.”
Kupikir
perilaku anehnya akhir-akhir ini mungkin merupakan masalah fisik, tetapi
tampaknya tidak demikian.
Yah,
asalkan Hinako sehat, itu saja sudah bagus.
Tapi Hinako
justru memalingkan wajahnya dariku dengan mata yang berkaca-kaca,
“Uuuuuuuuuuuu~~~!!”
“Hinako?”
Hinako
menutupi wajahnya dengan kedua tangannya, seolah-olah ingin menyembunyikan pipinya yang
memerah dan menggeram.
◆◆◆◆
Malam.
Hari itu sedikit lebih dingin dari biasanya di musim panas, dan ketika hari
mulai gelap, udara di luar cukup sejuk.
Setelah
makan malam. Aku menonton
TV sambil berpikir.
(...Jangan-jangan aku sedang dijauhi?)
Saat
makan malam, Hinako duduk secara diagonal di depanku, bukan di sampingku.
Jika dari
depan mungkin tidak apa-apa, tapi duduk di sebelah diagonal terasa seolah-olah kalau mulai
menjauh Hinako dari jarak normal kami.
“Ha-Hari ini juga, aku akan mandi sendiri ya...!”
“Ah,
iya.”
Memang, sudah kuduga... aku sedang dijauhi.
Ketika aku
melihat Hinako masuk ke kamar mandi, aku jatuh
berlutut di atas lantai.
“Itsuki-san,
kamu baik-baik saja?”
“...Aku baik-baik saja. Tapi setelah ditolak dua hari berturut-turut, sudah kuduga kalau aku mungkin sudah melakukan sesuatu...”
“Kalau
dipikir-pikir lagi dengan tenang, mandi bersama lawan jenis yang seumuranmu saja sudah bukan hal yang normal.”
“...Memang, sih.”
Sejenak, aku
setuju dengan perkataan Shizune-san.
“Ti-Tidak, tapi! Kami selama ini selalu mandi bersama
sebelumnya, ‘kan!”
“Kalian yang
selalu mandi bersama sempai saat ini saja sudah aneh.”
“It-Itu sih...!
Memang sih, tapi...!!”
Aku tidak
bisa membantahnya saat dia
mengatakannya dengan cara begitu.
Meskipun
sebelumnya akan dianggap aneh,
tapi pertanyaannya sekarang adalah
mengapa perubahan itu baru terjadi sekarang.
Kalau
dipikir-pikir lagi, Hinako pernah
menghindariku di masa lalu.
Misalnya, dia pernah meminta Shizune-san mengambil alih peranku untuk membangunkannya di pagi hari untuk sementara
waktu.
Pada saat
itu juga, aku tidak tahu penyebabnya
sampai akhir hingga waktulah yang menyelesaikan
masalah itu sendiri.
Apa aku
harus menunggu juga untuk kali
ini? Tapi, aku tidak bisa tenang dengan keadaan seperti ini.
“...Hanya sebagai percobaan, bagaimana
kalau aku meminta tolong Shizune-san untuk memberitahunya?”
“Baiklah.”
Shizune-san kemudian melihat ke arah kamar
mandi.
“Ojou-sama.
Itsuki-san bilang kalau ia ingin
mencuci rambutmu.”
“Mu-Mustahil...!!”
Aku
mendengar suara Hinako dari balik pintu. Suaranya
jelas-jelas menunjukkan penolakan yang sangat tegas.
“Apa...!?”
Kali ini
aku benar-benar jatuh berlutut karena terkejut.
Mustahil—kata-kata
itu dari Hinako terus bergema di dalam kepalaku.
Aku
tidak pernah menyangka dia akan menolakku sampai segitunya. ...... Kurasa aku tidak akan bisa pulih untuk
sementara waktu.
“...Ini
benar-benar di luar perkiraan. Aku
sebenarnya hanya ingin menjaga dan memperhatikan Ojou-sama tanpa
terburu-buru... tapi tanpa disadari yang ini
juga terluka parah,”
Gumam
Shizune-san sambil menyentuh dahinya.
Pada saat
itu, terdengar suara kecil 'klik', dan pintu
dari kamar mandi terbuka.
“Shi-Shizune...”
“Ada apa, Ojou-sama?”
“...Aku
lupa membawa pakaian dalamku.”
Hinako
mengatakannya dengan nada malu-malu.
Namun,
setelah mendengar suaranya, aku merasa kalau aku
kesempatan untuk memperbaiki situasi.
“Ohh, biar aku
saja yang mengambilnya!”
“....Tidak,
kurasa lebih baik kalau kamu tidak melakukannya.”
“Tidak
apa-apa, jangan khawatir! Aku dulu pernah membantunya untuk mengganti pakaian!”
Aku
membuka tas Hinako yang ada di dekat lemari pakaian. Setelah menemukan apa yang dicari, aku segera berlari
ke arah Hinako.
“Lihat,
Hinako! Aku membawakan pakaian dalammu!”
Aku
membawa celana dalam putih ke depan pintu. Tentu saja, aku menutup mataku agar tidak melihat tubuh Hinako
di kamar mandi.
Aku
berharap dengan tindakan ini bisa membuat suasana
hatinya menjadi lebih baik――.
“~~~~~~~~~~!!”
Hinako
kembali mengerang dengan suara memekik dan
dengan cepat mengambil celana dalam dari
tanganku.
“Ca-Ca-Ca...”
“Ca?”
“Dasar cabul...!!”
Pintu kamar mandi dibanting dengan
keras.
“Cabul...!?”
Baru saja,
apa yang dia katakan
padaku tadi...?
Saking
kagetnya sampai-sampai aku lupa bernapas.
“I-Itsuki,
kamu keluarlah dulu dari rumah untuk sementara waktu...!!”
Ucapan
itu sangat menusuk hatiku seperti pisau.
Aku pun berjalan keluar dari ruangan dengan keadaan tertegun.
◆◆◆◆
Lima
menit kemudian.
Berkat
angin dingin malam yang membuat kepalaku menjadi jernih, aku akhirnya kembali sadar.
“...Aku,
adalah orang yang bejat.”
Mengapa
aku melakukan hal seperti itu?
Mungkin aku menjadi sangat gelisah karena
tiba-tiba merasakan adanya jarak
yang jauh antara aku dan Hinako.
Sejak
semalam... tidak, kalau dipikir-pikir.
sejak akhir kursus musim panas, perilaku Hinako perlahan-lahan
mulai berubah. Dan sekarang aku juga terpengaruh dan
menjadi aneh. Bagaimana ini bisa terjadi.
Aku tidak
tahu apakah ini waktunya untuk
menunggu atau bertindak.
Aku
berpikir bahwa ini saatnya untuk bertindak dan akhirnya melakukan sesuatu, tapi
ternyata gagal. Meskipun sekarang sudah terlambat,
tapi mungkin kali ini waktu yang tepat untuk menunggu.
Namun,
setelah memikirkan hal itu, aku menyadari bahwa menunggu merupakan sesuatu yang menyakitkan.
Bergerak
dan menyibukkan diri justru membuatku
merasa lebih tenang. Itulah sebabnya aku bergerak. Meskipun ada rasa ingin
melakukannya demi Hinako,
lebih dari itu, aku ingin membuat
diriku merasa lebih baik.
Aku masih
belum dewasa...
Saat aku
merenungkan diri di luar
rumah dengan kepala tertunduk, pintu depan terbuka.
“Sepertinya
kamu sudah sedikit lebih tenang, ya.”
Shizune-san berkata demikian ketika
melihatku yang sedang merenung dengan lesu.
“Aku
juga diusir.”
“Eh.”
“Ojou-sama
sepertinya ingin menyendiri
sebentar. Memang sulit untuk mendapatkan
privasi di rumah ini.”
Itu sih memang
benar.
Ketika
aku tinggal di sini dulu, orang tuaku
sering tidak ada di rumah, dan aku juga jarang berada di rumah karena sekolah
dan kerja paruh waktu. Jadi, itu tidak begitu mengganggu pikiranku, tapi
sekarang kami bertiga menghabiskan waktu yang lama di rumah ini.
Namun...
“Hinako,
jadi dia begitu peduli tentang hal itu, ya...”
Bagaimanapun juga, dia biasanya tidur di
kamarku setiap kali ada kesempatan. Sejauh ini,
Hinako tidak terlihat seperti orang yang menginginkan waktu sendirian.
“Mungkin
mulai sekarang dia akan memedulikannya.”
Aku
penasaran, apa mungkin ini juga merupakan salah satu perubahan
yang dianggap baik oleh Shizune-san.
Setidaknya
bagi diriku saat ini, perubahan Hinako hanya menimbulkan kebingungan belaka.
◇◇◇◇
(Sudut
Pandang Hinako)
(Uuuuuuuuuuuuuuu~~~~!!)
Setelah
mengusir kedua orang itu dari rumah, Hinako mulai menggeliat sambil membenamkan wajahnya di dalam bantal.
Dia
merasa bersalah telah mengusir mereka ke luar. Namun saat ini, dia sangat ingin
memiliki waktu sendirian. Perasaan seperti ini baru dirasakannya
untuk pertama kalinya.
(Mengapa
Itsuki tidak merasakan apa pun...!?)
Baik pagi
ini, selama siang tadi, atau bahkan barusan!
Meskipun Hinako merasa kalau hatinya sangat berdebar-debar, tapi Itsuki terlihat tidak merasakan apa pun sama sekali.
(Aku harus
lebih banyak menelitinya.......)
Untuk
menenangkan perasaan aneh ini, mungkin dia memerlukan pengetahuan yang tepat.
Dengan pemikiran demikian, Hinako
membaca manga shoujo yang
dipinjamnya dari Yuri.
Di dalam
cerita manga tersebut, si tokoh utama, seorang gadis
SMA sedang makan malam dengan cowok tampan
dari kelas yang sama. Mereka sedang memakan
pasta, ketika tiba-tiba si cowok
mendekatkan serbet kertas di dekat
mulut si tokoh utama...
——Ada yang
menempel di sini.
Si cowok
menyeka saus yang menempel di sudut mulutnya dengan wajah
tersenyum.
Kyun!
Seketika itu juga pipi si tokoh utama langsung
memerah.
Mata
Hinako melebar saat melihat adegan
itu.
“Ak-Ak-Ak-Ak-Ak-Ak-Aku… Aku melakukan hal yang sama
seperti di manga…!?”
Hinako
mengingat kalau pagi tadi, Itsuki juga mengelap kotoran yang ada di pipinya.
Hinako
juga memperhatikan bahwa manga shoujo
yang dia pinjam dari Yuri adalah tentang percintaan.
Kenapa
Itsuki bisa begitu tenang meski ia melakukan hal yang sama persis seperti itu?
(...Mungkin
Itsuki sama denganku?)
Mungkin
Itsuki juga tidak memahami cinta seperti dirinya. Itulah
sebabnya ia bisa melakukan hal-hal
seperti itu tanpa ragu-ragu.
(Aku harus bertanya pada Itsuki)
Hinako
mengambil manga yang dia pinjam dari Yuri dan dengan lembut membuka pintu
depan.
Saat dia diam-diam melihat ke luar, dia melihat Itsuki dan Shizune sedang mengobrol dan tertawa.
“Tapi
Shizune-san, kalau kamu sering mengganti peralatan masak, bukankah sulit untuk
membuangnya?”
“Peralatan
itu bisa dijual kembali. Menurut perusahaan penjualnya, ada permintaan dari
restoran-restoran pribadi. Sebaliknya, kami juga terkadang membelinya secara
bekas. Misalnya....”
Sepertinya
mereka sedang membicarakan hal-hal yang berkaitan
dengan pekerjaan. Mereka berdua terlihat sangat puas dan berbicara tentang cara kerja
para pelayan.
(...Entah kenapa, mereka
tampaknya sangat rukun)
Sama-samar,
hati Hinako mulai merasa galau.
Hal itu
juga sama terjadi di dalam manga.
...dia sering merasakan perasaan seperti itu akhir-akhir ini.
Hinako
penasaran apakah Shizune menyadarinya
atau tidak. Tapi ketika dia sedang
bersama Itsuki, dia cenderung berbicara
lebih banyak dari biasanya.
(Mereka berdua... memiliki banyak kesamaan.)
Hinako bisa
menyadarinya karena dia memperhatikan
mereka berdua dari jarak dekat.
Ada banyak kesamaan antara Itsuki dan Shizune. Salah satunya
adalah mereka berdua sangat serius dalam menjalani kehidupan mereka. Hal
lainnya adalah mereka berdua sama-sama orang
yang kaku. Begitu mereka memutuskan untuk mempelajari suatu
bidang, mereka mencoba mempelajarinya secara menyeluruh dan langsung ke
sasaran, dan ketika ada kesempatan untuk mempraktikkannya, mereka memusatkan
perhatian pada sesuatu dengan perasaan bahwa. ‘mumpung
ada kesempatan’ . Misalnya, Shizune berusaha keras
menyiapkan smoothie untuk sarapan, dan Itsuki menyiapkan bahan rahasia untuk kari buatannya.
Keduanya... mencurahkan perhatian mereka
pada sesuatu.
“...Itsuki.”
Hinako
berbicara seolah-olah ingin menyela pembicaraan mereka
berdua.
“Ah,
Hinako!?”
Itsuki yang menyadari kehadirannya, membelalakkan matanya karena terkejut.
Shizune
juga terkejut, tapi entah bagaimana Hinako merasa
sulit untuk melakukan kontak mata dengannya saat ini, jadi dia tidak melihatnya.
“Hinako...um,
aku minta maaf soal tadi. Aku bertingkah agak aneh dan linglung sebelumnya.”
“...Tidak apa-apa.”
Sebenarnya
itu bukan tidak apa-apa, tapi
ada hal lain yang ingin dia tanyakan
pada Itsuki sekarang.
“...Apa
kamu tahu ini?”
Hinako menunjukkan
kepada Itsuki manga yang dia pegang di tangannya.
Itsuki
kemudian melebarkan matanya.
“Manga
Shoujo? Kenapa kamu bisa memilikinya?”
“Aku meminjamnya dari Hirano-san.”
‘Jadi isi
di dalam kantong kertas itu adalah manga, ya?’, gumam
Itsuki pada dirinya sendiri.
“Aku
tidak tahu banyak tentang manga shoujo,
tapi... Aku juga meminjam manga ‘Hana Manju'
dari Yuri. Aku sudah membacanya sampai
sekitar lima volume.”
“…Ka-Kamu sudah pernah
membacanya?”
“Iya.
Menurutku ceritanya cukup
menarik.”
Itsuki menjawab dengan tegas.
Setelah
mendengar jawaban Itsuki,
Hinako memutuskan untuk kembali masuk ke dalam rumah.
“Eh...hah, Hinako?”
“…Tinggallah
di sana lebih lama lagi.”
Dia masih mempunyai banyak hal yang harus dipikirkan.
Dirinya
masih butuh waktu untuk sendirian.
(It-Itsuki sudah
membacanya...)
Hinako
menatap ke langit-langit rumah.
(Kalau
begitu, Itsuki... meski ia mengetahui hal ini,
tapi ia tetap
melakukan hal seperti itu...!?)
Apa maksudnya itu?
Hinako merasa kebingungan, tidak mengerti maksudnya.
Apa dia masih belum cukup melakukan banyak
penelitian? Hinako memanjakan dirinya dengan
membaca lebih banyak manga shoujo.
Ada sebuah adegan dimana tokoh utama,
seorang gadis muda, dipaksa tidur dipangkuan anak laki-laki yang disukainya.
Aku
melakukan hal yang sama seperti di manga lagi...!
Wajah
Hinako memerah kembali, tapi
——Aku
sangat gugup sampai-sampai aku tidak bisa tidur di
pangkuannya!
Karakter
utama, si gadis, sedang memikirkan hal-hal seperti itu.
(……Hah?)
Hinako
merasakan ada yang janggal.
(Ketika aku diberi bantal pangkuan.... aku tidak merasa seperti ini)
Bantal
pangkuan Itsuki terasa sangat hangat. Rasanya begitu nyaman dan menenangkan sampai-sampai
bisa membuatnya tidur dengan nyenyak.
Jantungku
berdebar kencang sampai-sampai aku
tidak bisa tidur— dia tidak merasakan hal
semacam itu.
Apa maksudnya perbedaan ini? Hinako merasa penasaran, tetapi
tidak peduli seberapa banyak dia
membaca manganya, hal itu tidak pernah menjadi jelas.
(...Aku
tidak punya pilihan selain bertanya pada seseorang)
Hinako lalu mengambil ponselnya.
Dia sudah
memutuskan untuk bertanya kepada siapa.
Orang
tersebut ialah orang yang meminjamkan manga ini kepadanya.
“Halo,
Hirano-san?”
“Konohana-san? Iya, ada apa?”
Yuri
segera mengangkat teleponnya.
Hinako
menarik napas dalam-dalam dan mulai berbicara.
“Aku
sudah membaca manga yang kamu pinjamkan. Ini pertama kalinya aku membaca
manga, jadi aku membutuhkan waktu beberapa saat...”
“Eh, kamu belum pernah membaca
manga?”
“Iya”
“...Gimana bilangnya ya, kamu
benar-benar terlihat seperti Ojou-sama
dari manga, Konohana-san.”
Entah
kenapa, Yuri seolah-olah baru memahami sesuatu.
“Jadi
bagaimana?”
“Semuanya
terlihat menarik.”
“Menarik, ya...”
Mungkin
merasa sedikit tidak puas dengan komentar
Hinako, Yuri menanggapinya dengan samar-samar.
“Jadi, apa
kamu sudah mengerti
arti kata ‘suka’ ?”
“!!!”
“Ahaha!
Sepertinya kamu sudah memahaminya
dengan benar.”
Yuri tertawa ketika menyadari kegugupan
Hinako.
Hinako entah bagaimana berhasil mendapatkan kembali
ketenangannya dan berbicara dengan nada setenang
mungkin.
“...Sejujurnya,
aku masih belum yakin apa aku benar-benar
memahami perasaan cinta dengan benar.
Tapi, saat aku membaca manga, aku
menemukan beberapa pertanyaan yang ingin kutanyakan, jadi aku memutuskan untuk meneleponmu.”
“Baiklah aku
mengerti. Aku akan
mencoba menjawabnya sebisa mungkin.”
Itu
adalah jawaban yang bisa diandalkan.
“Pertama-tama, tentang manga yang berjudul Kono Hana Yori Manju...”
Hinako
mengajukan pertanyaan sambil membolak-balik
halaman manga di tangannya.
“Mengapa mereka memutuskan untuk berpegangan
tangan di sini?”
“Kurasa
itu karena, berpegangan tangan dengan orang
yang dia sukai membuatnya merasa bahagia, jadi itulah sebabnya dia mengerahkan keberaniannya, ‘kan?”
“Lalu
kenapa mereka berdua saling berpelukan di sini?”
“Um...
Mu-Mungkin karena mereka berdua
ingin memastikan perasaan satu sama lain?”
Yuri
menjawab dengan nada yang agak
malu.
“Mengapa mereka berciuman di bagian ini?”
“It-Itu sih
karena...di rumahnya
saat ini tidak ada orang tuanya, dan dia berpikir kalau dia mungkin tidak akan pernah punya
kesempatan seperti ini lagi, jadi dia ingin
melakukannya...E-Ehh?
Apa jangan-jangan aku
sedang disiksa sekarang?”
Yuri
mengatakan sesuatu yang aneh untuk
menyamarkan rasa malunya yang sepertinya sudah melampaui
batas kemampuannya.
Selagi Hinako bertanya-tanya apa maksudnya,
Yuri dengan sengaja berdeham. Seakan menyiratkan kalau
dirinya tidak perlu khawatir
tentang hal itu dan melanjutkan.
“Kalau
begitu, bantal pangkuan ini...”
“Hmm...mereka ingin merasakan ada jarak istimewa di antara mereka...?”
Tampaknya
hal tersebut memiliki arti yang mirip
dengan makna berpegangan tangan, berpelukan dan berciuman yang telah dijelaskan
kepadanya sebelumnya.
Namun,
Hinako merasa ada yang tidak beres.
“…Kurasa maksud dari bantal pangkuan sedikit berbeda dengan
maksud seperti itu?”
“Eh?”
Hinako mulai menjelaskan kepada Yuri yang terdengar kebingungan.
“Misalkan…
ini cuma perumpamaan saja, tapi
katakanlah aku berbaring di bantal pangkuan anak
laki-laki.”
“Tunggu
sebentar, apa kamu sudah sejauh itu?”
“Ya?”
“Ah, aku
minta maaf. Um, silakan dilanjutkan.”
Entah
kenapa, Yuri terdengar kaget, tapi
dia segera tenang kembali.
Hinako lalu melanjutkan.
“Kupikir....aku
tidak akan terlalu gugup meskipun aku tertidur
di bantal pangkuan. Malahan,
aku akan merasa lebih nyaman dan
bisa tidur dengan nyenyak.”
“Ya?
Mungkin saja begitu kalau kamu sudah terbiasa....”
Dia sudah
merasakan hal itu sebelum menjadi terbiasa, jadi
berapa kali pun mungkin
tidak menjadi masalah.
“Ada
beberapa contoh lain yang serupa.
Misalnya saja, seseorang menggendongku ketika aku bergerak...Menurutku tindakan itu mirip dengan berpelukan, tapi aku tetap merasa nyaman dan lega daripada gugup.”
Ketika
dia berada di kediamannya, kadang-kadang
Hinako meminta Itsuki
untuk menggendongnya sampai ke kamarnya.
Alih-alih
merasa cenat-cenut, Hinako
justru merasa lega dan hampir tertidur secara tidak sengaja. Dia sering merasakan emosi yang
berbeda dari emosi tokoh utama dalam manga shoujo.
Dia jadi
penasaran apa kepekaan ini merupakan sesuatu yang unik untuk dirinya saja?
“Hmm...sebaliknya,
kapan ketika itu membuatmu begitu gugup,
Konohana-san?”
Ketika mendengar
pertanyaan itu, Hinako teringat sesuatu yang mengejutkannya akhir-akhir ini.
“...Misalnya,
saat kami sedang memasak bersama, bahu kami tak sengaja bersentuhan satu sama
lain...”
“~~~~! Manis sekali~~...!”
Dibandingkan
dengan manga shoujo yang
sering kali melibatkan pegangan tangan dan berpelukan, pendapatnya mungkin agak sederhana. Namun demikian, Yuri memujinya seakan-akan
mengatakan bahwa itu adalah hal yang bagus.
“Entah
bagaimana aku mungkin sudah menemukan jawabannya.
...Singkatnya, kamu sedang membicarakan apa
kamu terlihat seperti sepasang kekasih atau bukan?”
“Terlihat
seperti sepasang kekasih...?”
“Misalnya
kalau soal bantal pangkuan, kesannya seperti anak kecil yang dimanjakan bukan? Hal yang sama berlaku
untuk gendongan. Tapi
memasak berdampingan membuatmu
merasa seperti sepasang kekasih,
atau lebih tepatnya, tampak seperti pasutri
baru, dan jika kamu mulai memikirkannya, kamu mulai merasa malu sendiri.”
Seolah-olah
dia mampu melihat ke dalam lubuk hatinya
yang paling dalam, yang bahkan belum pernah dia sentuh.
Semuanya menjadi masuk akal. Semuanya sangat pas dan cocok satu sama lain.
Hinako
merasa kalau perasaan yang dia miliki terhadap Itsuki mulai menjadi lebih jelas.
Entah
kenapa, dia merasa harus menyangkalnya.
Jika dia mengakui perasaan itu, dia merasa kalau ada sesuatu yang akan terjadi...
“Ta-Tapi, perasaan yang kurasakan saat
bahu kami bersentuhan mungkin hanya
kejutan saja. Kalau dipikir-pikir, tidur di pangkuan atau menggendong di punggung bukanlah sesuatu yang
kamu lakukan secara tiba-tiba. Jadi…”
“Tidak,
tidak, Konohana-san tahu sendiri bahwa
sensasi yang kamu rasakan saat terkejut dan kegembiraan ketika hatimu cenat-cenut itu
berbeda.”
“Ughhh...”
Hinako dibuat terdiam saat kata-kata tersebut dilontarkan padanya.
Hanya ada
sedikit orang yang bisa berbicara dengan begitu jelas kepada Hinako, yang
dikenal sebagai ‘Gadis yang tak terjangkau’ atau
‘Ojou-sama yang
sempurna’. Itu
adalah pendapat yang sangat berharga.
“Dalam
kasus Konohana-san, kurasa kamu mencampuradukkan keinginanmu untuk
dimanjakan dengan perasaan cinta.”
“Campuran...?”
“Maksudnya tercampur aduk. ...Mungkin itulah sebabnya kamu jadi kesulitan untuk
menyadarinya.”
Yuri
berkata seolah-olah merasa yakin dengan perkataannya.
“Begini,
Konohana-san. Aku tidak sengaja melihatmu dan Itsuki bermain kembang api bersama saat kursus musim panas. Aku
masih ingat betul wajahmu saat itu... Wajah itu, menurutku, bukanlah ekspresi wajah orang
yang hanya ingin dimanja.”
Mungkin perkataanku ini terlalu
ikut campur, imbuh
Yuri.
“Wajah...
ya?”
Hinako
tidak begitu tertarik dengan wajahnya
sendiri. Setiap pagi, ketika
rambutnya sedang diatur, dia memang melihat ke cermin, dan meskipun dia bertingkah
seperti Ojou-sama yang sempurna, wajahnya sering kali tampak buram. Dia
terlihat mengantuk dan malas, dan sejujurnya, dia tidak memiliki wajah yang
disukai orang.
Apa yang
bisa dia rasakan dari wajah itu... Hinako
merasa penasaran dan berdiri, menuju cermin yang berada
di kamar mandi.
Palingan juga aku hanya
akan melihat wajahku
yang tampak mengantuk dan lesu seperti
biasanya.
Atau itulah
yang dia pikirkan, tetapi apa yang
terpantul di cermin justru――――.
“.............
Ah”
Bayangan
yang terpantul di sana bukanlah wajah
yang biasa dia ketahui.
Pipi yang
memerah. Mata yang berbinar. Ekspresi yang dipenuhi antara harapan dan
kegelisahan.
Yang ada
di sana bukanlah Ojou-sama yang
sempurna maupun gadis yang tampak malas.
Wajahnya yang seperti ini... Hinako baru pertama kali melihatnya.
Karena
sangat berbeda dengan dirinya yang
biasanya, untuk sesaat Hinako berpikir kalau itu tiruan orang lain.
――――Oh,
memang benar.
Mungkin
sebaiknya dia harus melihat cermin dari awal.
Jika
begitu, dia pasti akan segera mengerti.
Orang yang
ada di depannya bukanlah
dia yang sebelumnya. Itulah sebabnya, Hinako tidak bisa memahami perasaan
yang berkobar di dalam hatinya dengan nilai-nilai
sebelumnya.
Cermin itu
memantulkan bayangan seorang gadis yang tidak dikenal. Tapi itu bukan hal yang pertama kali terjadi...
mungkin dia hanya tidak menyadarinya saja, sebenarnya gadis ini selalu ada di situ sejak dulu.
Yang ada
di sana adalah Hinako
yang baru.
Berkat Itsuki, dirinya telah
berubah.
“Apa
kamu baik-baik saja?”
“...Ya,
aku baik-baik saja
sekarang."
Mungkin
karena mempertimbangkan perasaannya, Yuri
menunggu Hinako terdiam cukup lama sebelum berbicara kepadanya.
Berkat
hal ini, Hinako bisa memilah-milah perasaannya.
“Tentu
saja, aku mengerti. Baik perasaanku maupun ...... makna dari kata-kata
Hirano-san.”
Hinako
berkata seolah-olah dia mengunyah kata-kata yang keluar dari mulutnya sendiri.
Lalu, dia merasakan kalau Yuri tertawa dengan lembut.
“Bagaimana
bilangnya ya.... aku merasa akhirnya bisa mendengar
perasaan Konohana-san yang sebenarnya.”
“Maafkan
aku. Aku tidak bermaksud menyembunyikannya darimu...”
“Kamu tidak perlu mengkhawatirkan hal itu. Bagaimanapun juga,
Konohana-san adalah putri dari keluarga konglomerat Grup
Konohana. Kamu pasti
berada dalam posisi yang sulit, dan akan sulit bagimu untuk tiba-tiba mengungkapkan jati dirimu.”
Hinako
tidak bisa menanggapi Yuri untuk beberapa saat, yang mengatakan kepadanya bahwa
dia benar-benar tidak peduli dengan hal
tersebut.
Demi
menjaga penampilan sebagai Ojou-sama
yang sempurna, Hinako tidak berniat untuk menunjukkan jati dirinya yang
sebenarnya kepada Yuri di masa depan. Oleh karena itu, pernyataannya bahwa dia
tidak berniat menyembunyikannya adalah sebuah kebohongan. Namun demikian, Yuri
menunjukkan kapasitas yang begitu besar, sehingga seolah-olah dia telah melihat
hal itu dan menegaskannya.
“Kamu itu sangat baik hati sekali ya, Hirano-san.”
“Ap-Apa iya?”
“Ya.
Itu sama seperti Tomonari-kun. Kamu mendukung orang lain dengan
santai... Ketika kamu bersikap baik padaku seperti itu, aku merasa ingin
membuka diri padamu.”
“Jika
Konohana-san sampai mengatakan
hal seperti itu, aku merasa
sangat senang sampai-sampai
aku hampir melompat kegirangan.”
Yuri
tertawa seolah-olah merasa geli tentang sesuatu.
“Tapi,
Konohana-san. Aku perlu memberitahumu
sesuatu....”
Yuri
melanjutkan, nada suaranya
sedikit lebih serius.
“Di dalam manga Nanji ni Todoke, ada
seorang gadis yang bernama Nacchan, ‘kan? Jika Konohana-san adalah
karakter utama manga ini, maka akulah si Nacchan
ini.”
“……....Eh.”
Panggilan
pun terputus.
Hinako
meletakkan ponselnya di lantai dan membolak-balik
halaman manga yang berjudul Nanji ni Todoke.
Dalam banyak artian, posisi
karakter bernama Nacchan ini
sangat mudah untuk dipahami.
Dia
adalah saingan cinta karakter
utama.
“……………………………Eh.”
Perasaan
yang campur aduk berputar-putar di dadanya.
Apa dirinya harus
menghadapi perasaan ini mulai sekarang?
Mungkin itu masih sedikit sulit bagi diriku yang sekarang...itulah yang dipikirkan Hinako.