Chapter 8 — Dan Kemudian, Hari Yang Penting Pun Tiba
Acara
penting selain ujian mereka tentu saja hari ulang tahun Mahiru.
Setelah
berhasil menyeimbangkan pekerjaan paruh waktunya, belajar untuk ujian, dan persiapan
ulang tahun, Amane berhasil menyelesaikan
ujiannya dengan sebagian besar rencananya sudah ditetapkan. Suasana ruang kelasnya telah berubah menjadi mengerikan, yang menjadi buktinya betapa
buruknya ujian kali ini. Chitose benar-benar kelelahan sampai-sampai dia
membuat Mahiru khawatir akan kesehatannya, tapi yang bisa dilakukan Amane
hanyalah berharap hasil ujiannya tidak akan menyebabkan gelombang kepanikan
menyebar di antara yang lainnya.
Istirahat selama seminggu setelah ujian mengerikan tersebut bertepatan dengan ulang tahun Mahiru.
Saat itu
adalah hari sebelum liburan—dengan kata lain, sehari sebelum ulang tahun
Mahiru—dan kesibukan Amane mulai mencapai puncaknya. Namun, ada satu hal
yang harus ia sampaikan pada Mahiru, sesuatu yang berpotensi menyakiti hatinya
jika tidak disampaikan. Amane menegakkan postur tubuhnya dan berbalik menghadap
Mahiru, yang duduk di sebelahnya.
Selama
waktu luang mereka setelah makan malam, Mahiru sekarang sering mengerjakan
soal-soal dari buku pelajaran. Hari ini tidak berbeda, karena dia dengan tekun melakukan apa
yang telah menjadi rutinitas belajar mandiri yang biasa dilakukannya. Setelah
selesai menilai jawabannya sendiri untuk ujian, Mahiru
tampaknya sudah memikirkan tentang ujian tiruan yang akan datang. Tampaknya dia
tidak menyadari bahwa besok adalah hari ulang tahunnya, bertindak seperti yang
selalu dia lakukan.
“Mahiru-san.”
“Ya?”
Ketika Amane memanggil namanya, Mahiru
menutup buku referensinya tanpa ragu-ragu dan mendongak. Merasakan bahwa Amane
bertingkah berbeda dari biasanya, dia
menegakkan postur tubuhnya dan berbalik menghadapnya. Namun, Mahiru sepertinya tidak tahu apa yang
akan dikatakannya, karena ekspresi penasaran dan bingung terlihat dari setiap
raut wajahnya.
“Boleh
aku memintamu untuk tidak datang ke rumahku besok sampai aku memanggilmu?”
“Mengapa?
... Oh, ya, begitu. Baiklah, aku tidak keberatan.”
Walaupun
dia tidak menyadarinya secara sadar sampai sekarang, Mahiru segera memahami
dari tindakan Amane dan langsung setuju, ekspresinya berubah seolah-olah
mengatakan, 'Oh, benar. Aku lupa tentang itu’. Bukannya
Mahiru tidak menantikan hari ulang
tahunnya, tetapi dia juga
tidak terlalu menyadarinya. Ini adalah sesuatu yang berakar pada kesadaran
Mahiru sendiri, dan tidak ada yang bisa dilakukan Amane tentang hal itu, dia
juga tidak ingin memaksanya untuk berpikir sebaliknya.
Untuk
saat ini, lega karena ia bisa mendapatkan cukup waktu untuk kegiatan besok
tanpa menimbulkan kesalahpahaman, Amane menatap dalam-dalam ke dalam mata
Mahiru, yang masih terlihat agak terpisah dari masa sekarang.
“Itu akan menimbulkan sedikit masalah
jika kamu datang sebelum aku berhasil menyelesaikan persiapanku. Aku ingin
menyambutmu dengan segala sesuatunya yang sudah diatur dengan sempurna, jadi
kuharap kamu bisa mengerti.”
Mahiru
terkikik. “Aku mengerti. Tapi tetap saja, aku melihatmu menanyakan hal ini
secara langsung.”
“Aku
sudah mengatakannya sejak awal bahwa aku akan
menyiapkan sesuatu, jadi tidak ada kejutan di sini. Aku meminta dengan terbuka
dan tulus: tolong, berikan aku sedikit waktumu.”
Pada hari
itu sendiri, ada begitu banyak hal yang harus dilakukannya sehingga ia akan
kewalahan. Jika Mahiru datang ke rumahnya, akan sangat mustahil untuk
mempersiapkannya tanpa sepengetahuannya. Di samping itu, sudah pasti ia ingin
menghabiskan waktu bersama Mahiru di hari ulang tahunnya. Karena Amane berniat untuk merayakannya
dengan baik dan memberinya kejutan dalam hidupnya, maka, ia harus menghilangkan
peluang apa pun, bahkan sekecil apa pun, untuk memprioritaskan keinginannya
yang mendesak, di atas segala persiapannya.
Seolah-olah
melihat antusiasme yang membuncah di dalam dirinya, Mahiru membelalakkan
matanya sebelum menghembuskan napas pelan dan memberikan senyuman geli yang
lembut. “Kalau begitu, yang harus kulakukan besok hanyalah menunggu dengan penuh semangat,
‘kan?”
“Ya. Aku
tidak bisa memastikan bahwa itu akan memenuhi harapanmu, tapi aku ingin
merayakan ulang tahunmu dengan caraku yang spesial.”
“Jujur
saja, merayakan ulang tahunku saja sudah membuatku sangat bahagia.”
“Aku tahu
itu, tapi meskipun begitu ....”
Tidak ada
yang lebih mengerti daripada Amane seberapa
besar Mahiru mempedulikannya. Dirinya tahu bahwa hanya dengan berada
di sisinya saja sudah cukup untuk membuatnya bahagia. Namun, meskipun
kebahagiaan yang dirasakannya bersamanya juga sangat penting, namun hari itu
adalah hari ulang tahunnya, sebuah kesempatan yang hanya datang setahun sekali.
Amane ingin menjadikannya sebagai hari ulang tahun yang benar-benar dinikmati
oleh Mahiru.
“Meskipun
begitu, aku masih ingin membuatmu merasa spesial,
Mahiru. Biarlah aku memberikan yang terbaik.”
“...Kalau
begitu, aku akan menjaga ekspektasiku tetap tinggi.”
“Ah- ...
Aku akan mencoba yang terbaik.”
Tentu
saja, ia merasa senang dan bersemangat karena Mahiru memiliki harapan yang
besar pada dirinya, tetapi pada saat yang sama, pertanyaan apakah dirinya bisa sepenuhnya memenuhi
harapan itu perlahan-lahan menggerogotinya dari dalam.
“Caramu
kehilangan kepercayaan diri sejauh ini sangat khas dirimu, Amane-kun.”
“Tidak
percaya diri adalah kondisi normalku.”
“Astaga.
Tetapi kamu telah berubah sejak saat itu, ‘kan,
Amane-kun? Kamu sudah belajar untuk lebih percaya diri sekarang, kan?”
“Kalau
menyangkut dirimu, Mahiru, aku selalu ekstra, ekstra hati-hati.”
Amane
telah menghabiskan waktu sebulan untuk mempersiapkan ulang tahun Mahiru dan
tidak meninggalkan satu hal pun yang terlewatkan, tetapi ia masih tidak bisa
memastikan bahwa itu akan membuatnya bahagia.
Keinginannya
untuk membahagiakan pacarnya
dan keinginannya agar Mahiru merasakan puncak dari persiapannya merupakan perasaan tulus
dan tidak tergoyahkan. Rasa tidak percaya dirinya semata-mata karena ia tidak
ingin mengecewakan harapan Mahiru. Di atas semua itu, ada rencana tertentu yang
dimilikinya, rencana yang meniadakan konsep kehati-hatian, yang semakin
menambah kecemasannya.
“... Aku
akan mencoba yang terbaik untuk membuatmu bahagia, Mahiru. Jadi...”
“Jadi?”
“Bolehkah
aku mengisi ulang tenaga terlebih dahulu?”
Hari
Amane besok penuh dengan pekerjaan, tetapi ia tidak bisa menemui Mahiru sampai
semua persiapannya selesai. Ia
membutuhkan energi sebelumnya, tetapi ia tidak akan bisa mengisi ulang sampai
semuanya selesai. Oleh karena itu, dengan harapan ada kesempatan untuk mengisi
ulang tenaga sekarang, Amane meminta
izin untuk berpelukan. Mahiru berkedip manis dan kemudian tertawa, jelas
terlihat geli.
“Kamu
tidak perlu meminta izin, oke?
Kamu bisa melakukannya kapanpun kamu mau.”
“Yah, um,
kali ini kupikir aku harus memintanya dengan benar.”
“Kamu selalu serius...
Baiklah, kamu bisa mengisi ulang daya sebanyak yang kamu mau. Sebagai
imbalannya-”
“Sebagai
imbalannya?”
“Besok,
itu akan menjadi giliranku, kan?” Saat Mahiru dengan lembut mengulurkan tangan
dan menariknya lebih dekat di belakang kepalanya, Amane mengangguk dan
mengikuti langkahnya, membenamkan wajahnya di bahunya.
Besok
pagi, aku akan membereskan apa yang harus kulakukan di dapur, menyiapkan kamar,
lalu memeriksa email untuk memastikan kembali jadwalku hari itu.
Apa
semuanya berjalan lancar, tergantung pada usaha Amane dan seberapa baik Mahiru
menerimanya.
Aku harus
mempersiapkan diri sebaik mungkin besok, Amane
bersumpah. Ia mendekatkan pipinya pada Mahiru, menikmati aroma manisnya, dan
memejamkan matanya untuk sedikit memulihkan tenaga.
✧ ₊
✦
₊ ✧
Hari ini merupakan salah satu dari tiga hari
tersibuk dalam hidup Amane sejauh ini.
Hal
pertama di pagi hari, ia berdiri di dapur, keterampilan yang sudah ditekuninya melalui
pelatihan khusus hingga ujian. Di sore hari, ia memanggil bala bantuan untuk
membantu mendekorasi ruangan dan mengadakan pertemuan dengan orang yang
terlibat dengan kejutan terbesar.
Di tengah semua ini, Ia terus berhubungan dengan Mahiru untuk memastikan bahwa
Mahiru tidak pernah merasa kesepian saat Ia mengerjakan persiapannya.
Amane
merasa kewalahan karena mengerjakan
begitu banyak tugas secara bersamaan. Namun demikian, dibandingkan dengan apa
yang biasanya dilakukan Mahiru, hal itu tidak ada apa-apanya. Sambil memuji
Mahiru atas kecakapan multitasking-nya, ia dengan tekun terus menyiapkan segala
sesuatunya.
✧ ₊
✦
₊ ✧
Setelah
melalui waktu yang begitu padat dan sibuk, matahari pun terbenam.
Pada saat
Amane akhirnya merasa puas dengan apa
yang telah dilakukannya dan melirik ke arah jam, waktu sudah menunjukkan waktu
makan malam. Di luar jendela, langit memantulkan segudang warna yang bergeser
dari merah tua ke gradasi warna nila pekat dan biru kehitaman.
Ia sempat
khawatir tentang apa yang akan dilakukannya jika ia tidak menyelesaikannya tepat waktu, tetapi ia
sangat lega karena telah menyelesaikan persiapannya-meskipun tepat pada
waktunya. Amane membunyikan bel rumah di sebelahnya untuk memanggil Mahiru,
yang telah menunggu aba-aba darinya.
Mahiru,
yang membuka pintu segera setelah bel pintu berbunyi, tampak sudah siap dengan
caranya sendiri.
Ketika ia
melirik melalui celah pintu, Amane melihat sebuah vas bunga yang diletakkan di
atas lemari sepatu. Pemandangan ini meredakan salah satu kekhawatirannya, dan
memberi jalan bagi rasa lega yang lain.
“Ak-Aku
sudah menunggumu,” katanya.
Mahiru
keluar dari pintu dengan sedikit terburu-buru dan berbicara dengan gugup.
Melihat hal ini, Amane hanya bisa tertawa kecil. Pipi Mahiru segera berubah
menjadi merah muda samar-samar saat menyadari apa yang ditertawakannya dan
dengan canggung memalingkan muka.
“…
T-Tolong anggap saja kamu tidak melihatnya.”
“Kenapa
begitu?”
“Y-Yah,
um, karena…bukannya
menurutmu memalukan jika aku terlalu bersemangat dan pusing tentang hal itu?”
“Hah?
Bukankah itu berarti kamu sangat menantikannya? Itu membuatku senang, tau.”
Kalau
ternyata itu hanya perayaan sepihak, itu akan menjadi syok besar bagi Amane, dan ia mungkin
akan merasa sangat malu. Namun demikian, hanya dengan mengetahui bahwa Mahiru
sangat bersemangat dan menantikannya, membuatnya sangat puas. Amane tidak yakin apa dirinya bisa memenuhi harapannya,
mengingat betapa bersemangatnya dia mengantisipasi kunjungannya, tetapi Amane yakin bahwa dirinya telah mempersiapkan segalanya
sesempurna mungkin.
Yang
tersisa hanyalah menunjukkan hasil jerih payahnya.
Tampaknya
Mahiru juga sudah mempersiapkan diri dengan matang, karena pakaiannya sangat
imut dan jauh lebih rumit daripada pakaian santai yang biasa ia kenakan. Sambil
menggenggam tangannya, Amane bertanya, “Apa kamu sudah siap, Mahiru?” Ia
menyipitkan matanya dengan malu-malu dan dengan pelan menjawab, “Ya.”
Menuntun
Mahiru, yang hanya membawa sebuah tas kecil, kembali ke rumahnya, Amane melihat
dia mengerjap kaget saat menyadari bahwa semua lampu telah dimatikan, kecuali
lampu di pintu masuk.
“... Hah?
Gelap gulita,” kata Mahiru.
“Rasanya tidak bakalan seru jika kamu bisa melihat semuanya dari pintu
masuk, bukan?”
Meskipun
ada pintu yang memisahkan lorong pintu masuk dengan ruang tamu dan ruang makan,
pintu itu dipasangi panel kaca, jadi kamu masih bisa melihat ke dalam. Karena
ia sudah bersusah payah merencanakan dan melaksanakan segala sesuatunya secara
rahasia untuk Mahiru, maka, tentu saja, Amane
tidak mungkin mengendurkan sentuhan akhir. Untuk memberikan kejutan yang tepat,
keajaiban kontras sangatlah penting.
“Jadi,
kalau boleh, bagaimana kalau aku menutup matamu sebentar? Mungkin agak
menakutkan kalau kamu tidak bisa melihat, tetapi aku akan berada di sini.
Jangan khawatir dan biarkan aku memandumu.”
Mahiru
menjawab sambil tertawa kecil, “Kalau memang begitu, aku percaya sepenuhnya
padamu, Amane-kun.” Anggukannya yang cepat tentu saja merupakan tanda
kepercayaannya yang kuat pada Amane.
Tanpa
ragu-ragu, dan bahkan sebelum Amane bisa menutupi pandangannya dengan
tangannya, Mahiru segera memejamkan
matanya.
Setidaknya
dia bisa sedikit berhati-hati…
pikir Amane lalu menyelipkan tangannya ke punggung dan di bawah lutut Mahiru
dan menggendongnya dengan gendongan ala putri.
Seperti biasa, bobot tubuhnya yang ringan membuat
Amane sangat khawatir apakah dia benar-benar cukup
makan. Dengan satu tangan yang masih bebas, ia membuka pintu ruang tamu dan
menyalakan lampu.
Mahiru
masih memejamkan matanya, tampaknya berniat menunggu sampai Amane mengatakan
padanya bahwa tidak apa-apa untuk membukanya. Merasa lega dengan
kepercayaannya, ia dengan hati-hati membimbingnya ke kursi ulang tahun yang sudah disiapkannya di sofa, memastikan Mahiru tidak akan terluka saat Amane dengan lembut menurunkannya ke
kursi itu. Sepertinya Mahiru sudah mengetahui
di mana dia berada dari jarak berjalan dan nuansa kursi, saat dia duduk tegak
dengan mudah.
“Ah,
tolong duduklah dan jangan buka matamu dulu. Bisakah kamu berjanji padaku untuk
menunggu sebentar lagi?”
“Hehe,
jangan perlakukan aku seperti anak kecil. Aku paham kalau kamu ingin memamerkan
apa yang sudah kamu persiapkan dengan segala kemegahannya. Aku bisa menunggu
sebentar lagi.”
“Maaf,
maaf. Aku sangat menghargai
memiliki pacar yang penuh pengertian.”
Meskipun Amane berpikir bahwa dia mungkin sedikit terlalu
pengertian, sisi cerdas dan tanggapnya juga merupakan ciri khas Mahiru. Sambil tersenyum kecut, Amane berdiri dan
melirik sekilas ke arah kantong kertas di samping sofa sebagai langkah
persiapan terakhirnya, yang berisi barang-barang yang ingin ia berikan pada
Mahiru, memastikan tak ada yang kurang.
“Semuanya
sudah siap. Kamu boleh membuka matamu sekarang,” kata
Amane dengan lembut. Mahiru segera membuka matanya dengan perlahan, seakan-akan
dia telah menunggu saat ini.
Matanya
sedikit menyipit seolah-olah belum bisa menyesuaikan diri dengan cahaya,
perlahan menampakkan dirinya.
Bagaimana
pendapatnya tentang dekorasi di ruangan yang baru pertama kali dia masuki hari
ini?
“Ini…”
Suaranya yang tenang sedikit bergetar.
Tanpa
perlu bertanya, Amane bisa mengetahui apa yang dimaksud Mahiru dari sudut
pandangnya dan cara matanya berbinar.
"Itsuki,
Chitose, Kadowaki, dan Kido semuanya membantuku mendekorasi ruangan. Um, kamu
bilang tidak keberatan jika
mereka mengetahui hari ulang tahunmu, ‘kan?
Aku tidak bisa membuat dekorasi menakjubkan seperti itu sendirian, jadi aku meminta bantuan mereka dan
mereka dengan senang hati menyetujuinya. Mereka semua memiliki selera yang
lebih baik terhadap hal-hal semacam ini ketimbang
diriku, jadi aku
sangat berterima kasih atas bantuan mereka. Bagaimana menurutmu? Lucu
bukan?”
“Wow… ini sangat menggemaskan sekali.”
“Aku
meminta mereka untuk berkreasi dengan dekorasinya, dan inilah yang mereka
hasilkan.”
Dengan
bantuan beberapa teman yang dipercaya Mahiru, Amane telah mengubah ruang tamu
menjadi suasana bertema ulang tahun hanya dalam waktu satu hari.
Temanya: pesta
ulang tahun yang menyenangkan, seperti yang dia dambakan sewaktu kecil.
Dindingnya
apartemennya dihiasi dengan banyak
balon yang diikat dan bunga kertas dengan warna yang serasi. Selain itu, lampu
LED besar bertuliskan HAPPY BIRTHDAY ditempelkan di dinding, yang semakin
menambah kemeriahan. Di langit-langit tergantung ornamen kaca kristal,
bergoyang-goyang di udara yang hangat dan sesekali menebarkan cahaya lembut
yang menyilaukan saat disinari. Di sofa tempat Mahiru duduk, boneka binatang
kesayangannya dihiasi dengan pita, didandani dengan cantik dan menanti-nanti
sang bintang hari itu.
Orang
mungkin berpikir bahwa dengan dekorasi sebanyak ini, mungkin akan membuat
ruangan terlihat mencolok atau tidak terkoordinasi, tetapi hal itu sama sekali
tidak benar. Dekorasi dilakukan dengan warna-warna hangat yang lembut untuk
menghindari benturan, dan berkat penataan dan skema warna yang bijaksana,
ruangan ini memiliki suasana yang tenang namun tetap memiliki nuansa pop yang
jelas.
Bahkan,
Amane, yang menganggap dirinya cukup acuh tak acuh terhadap dekorasi semacam
itu, dan bahkan pernah melihatnya dipersiapkan, tak kuasa menahan decak kagum
setelah melihat ruangan yang sudah jadi. Bagi Mahiru, ini pasti merupakan
kejutan yang lebih besar lagi.
Melihat
dekorasi kamar yang berkilauan dan membaur dalam matanya yang terbuka lebar,
Amane langsung tersenyum, karena tahu bahwa ia telah membangkitkan reaksi yang
sangat diharapkannya. Namun demikian, masih banyak kejutan ulang tahun yang masih disiapkannya, jadi, tidak pantas
baginya untuk berpikir bahwa ini adalah yang terakhir.
“Dan ini
adalah buket bunga ulang tahunmu. Aku meminta Itsuki untuk merangkaikan bunganya.”
Ruang
tamu mereka telah benar-benar berubah sesuai dengan seleranya, dan Mahiru
dengan penasaran melihat sekelilingnya dengan kagum. Sambil tersenyum, Amane mengambil buket
bunga yang ia letakkan di luar pandangannya tadi. Dengan lembut ia
menyerahkannya pada Mahiru, yang sejenak terkejut oleh sikapnya yang tiba-tiba.
Karena Amane bermaksud menciptakan ulang
tahun yang akan menyenangkan hati Mahiru, buket itu tentu saja diisi dengan
bunga dan warna kesukaannya. Meskipun Amane
sudah memiliki gambaran umum mengenai kesukaannya, namun ia meminta bantuan
Chitose dan Ayaka untuk menunjukkan selera Mahiru secara tepat. Berkat kerja
sama mereka, ia dapat menyiapkan buket bunga ulang tahun yang mungkin mendekati
sempurna di mata sang wanita, dan ia sangat berterima kasih kepada keduanya.
“Jadi, itulah sebabnya
Chitose-san dan Kido-san...?”
“Kamu
sudah mengetahuinya, ya. Ya, Chitose dan Kido mencoba diam-diam meneliti
seleramu... Mereka sangat antusias untuk membuatmu bahagia.”
Terutama
Chitose, yang antusiasmenya tidak terkira.
Dalam
kata-katanya, untuk “membuat Mahirun bahagia~”, Chitose telah mengumpulkan
segala macam informasi secara halus dan alami. Bahkan mengetahui bahwa Amane
sedang mempersiapkan sesuatu, Mahiru tidak curiga atau merasa ada yang tidak
beres dengan percakapan mereka. Hal itu membuat Amane berpikir bahwa Chitose
mungkin memiliki bakat untuk menjadi seorang detektif atau sesuatu yang serupa.
Kemampuan
untuk menyelinap melewati penjagaan seseorang dan mendekati mereka adalah salah
satu keterampilan dan kekuatan terbesar Chitose. Ini adalah sesuatu yang
dikagumi Amane dan berharap bisa menirunya, meskipun tampaknya mustahil.
“Menurutku
tidak semua orang menyukai bunga segar, tapi kamu punya vas di lorong depan
rumahmu, ‘kan,
Mahiru? Aku kebetulan menyadarinya setiap kali aku datang menjemputmu, jadi
kupikir kamu pasti menyukainya.”
“Sepertinya kamu sudah memperhatikanku
dengan cermat.”
“Yah,
bagaimanapun juga, kamu adalah pacarku.”
Amane
setengah berharap Mahiru akan berkata, “Kalau begitu, kamu seharusnya sudah
tahu bunga favoritku,” tapi Ia berharap Mahiru akan memberinya kelonggaran
dalam hal itu.
Karena Amane ingin memberinya karangan bunga
yang hanya berisi bunga-bunga yang dia sukai, penting untuk meneliti dan
memeriksa rangkaian bunga yang tersedia di musim saat ini.
Apa dia
menyukainya? Amane melirik ke arah Mahiru. Dengan sangat
lembut, dia menggendong buket itu di dekat dadanya, berhati-hati agar tidak
berantakan.
“…Indah
sekali, sangat disayangkan jika bunga-bunga ini
layu,” kata Mahiru.
“Nyonya, aku juga sudah menyiapkan beberapa
gel silika sehingga kamu bisa
mengawetkannya sebagai bunga kering.”
“Fufu, kamu sangat perhatian sekali.”
“Yah,
tentu saja. Aku ingin kamu menikmatinya sampai akhir. Bahkan bunga kering suatu
hari nanti bisa hancur, aku ingin bunga itu membuatmu bahagia selama mungkin.”
“Terima
kasih. Aku akan menikmati keindahannya baik saat masih segar maupun saat masih
diawetkan… Setiap kali aku melihatnya, aku akan memikirkanmu, Amane-kun.”
“Bisa mendengarmu mengatakan itu saja sudah membuatku sangat bahagia.”
“…Itu
akan mengingatkanku kalau kamu selalu bersamaku, bahkan di apartemenku
sendiri,” bisik Mahiru dengan suara yang begitu manis.
Menghadapi
responsnya yang menawan, Amane tidak bisa menahan diri untuk tidak merapatkan
bibirnya dan menahan jantungnya yang berdegup kencang, sambil mencengkeram
kemejanya. Sebagai
pacar, ia merasa senang mengetahui bahwa sang kekasih memikirkannya saat
melihat hadiahnya, namun, mendengarnya secara langsung dari mulut Mahiru secara langsung, hal itu membuatnya merasa agak malu. Karena tidak dapat menahan rasa malunya, Amane menggaruk pipinya dengan
canggung.
Mahiru
memegang buket itu dengan ekspresi melamun, menatapnya seakan-akan itu adalah
sesuatu yang sangat berharga. Bibir Amane bergerak-gerak dengan campuran rasa
frustrasi dan malu.
“... Aku
senang kamu menyukainya. Kalau begitu, aku, eh ... aku harus menyelesaikan
persiapan makan malam, jadi aku akan melakukannya sekarang!”
Mahiru,
masih memegang buket dan tersenyum malu-malu, melihat Amane berdiri,
menggunakan kelanjutan perayaan ulang tahun sebagai alasan untuk melangkah
pergi.
✧ ₊
✦
₊ ✧
Amane
menempatkan jarak beberapa meter di antara dirinya dan Mahiru, tampaknya
berhasil menenangkan jantungnya yang berdegup kencang. Dirinya mulai menata piring yang telah
disiapkan sebelumnya dan meletakkannya di atas meja makan.
Karena
Mahiru kemungkinan besar sudah memiliki gambaran yang samar-samar tentang apa
yang sedang dibuat Amane dari aromanya, maka, tidak akan ada kejutan
atau hal yang baru dalam pilihan hidangannya. Namun, karena ini dimaksudkan
untuk merayakan dan menghormati Mahiru, rasa yang sudah dikenalnya mungkin
adalah pilihan yang tepat.
Berfokus
pada masakan Jepang dengan sedikit bumbu Barat adalah pilihan yang dibuat
secara khusus karena Mahiru adalah orang yang lebih menyukai rasa yang lebih
ringan dan tidak terlalu berlebihan dalam makanannya.
“Kamu
sudah berusaha keras untuk menyiapkan makanan yang lezat untuk ulang tahunku,
jadi sekarang giliranku,” kata Amane. Ia
tersenyum pada Mahiru saat dia mengambil tempat duduknya di meja sebelum
melakukan hal yang sama.
Meskipun
kemampuannya masih jauh dari Mahiru, Amane
telah melakukan yang terbaik untuk menyiapkan makanan yang penuh dengan makanan
favoritnya, berharap untuk menyenangkannya sebanyak mungkin.
Mahiru
sama sekali bukanlah tipe orang yang
pilih-pilih makanan, tetapi meskipun dia bisa memakan makanan apa pun, dia
memiliki preferensi untuk rasa tertentu. Umumnya, dia lebih menyukai hidangan
dengan bumbu yang lembut dan halus, lebih condong ke arah hidangan yang
menonjolkan rasa alami dari bahan makanan dan rasa kaldu dengan sedikit garam.
Menghadirkan rasa-rasa tersebut terbukti lebih menantang daripada menyiapkan
hidangan dengan rasa yang kuat.
Rasa yang
kuat sering kali dapat disesuaikan dan, dalam kasus terburuk, ditutupi dengan
bumbu. Namun, dengan rasa yang lebih lembut, hal tersebut bukanlah suatu
pilihan dua hal yang berbeda, dan masing-masing memerlukan metode memasak dan
bumbu yang berbeda.
Oleh
karena itu, menguasai gaya bumbu yang disukai Mahiru merupakan perjalanan yang panjang dan
menantang.
Meski
begitu, aku
ingin menguasainya
di masa mendatang.
Tidak
bisa membuatkan masakan kesukaan orang yang ia cintai membuat Amane merasa malu
sebagai pacarnya, dan
perasaan ini semakin besar karena Mahiru bisa menyiapkan hidangan yang
disesuaikan dengan seleranya dengan sempurna.
Meski Ia
yakin makanan buatannya enak,
Amane diam-diam merasa malu atas ketidakmampuannya sendiri, berpikir bahwa Ia
masih punya banyak ruang untuk diperbaiki.
“...Enak
sekali,” katanya. Mahiru dengan anggun mendekatkan mangkuk itu ke bibirnya dan
diam-diam menyesap supnya.
Bahkan
kuahnya pun disiapkan secara rumit dari awal, mengikuti metode yang diajarkan Mahiru secara menyeluruh, jadi
kuahnya seharusnya dibumbui persis sesuai dengan keinginannya.
Harapan
Amane tidak mengecewakan, karena Mahiru terus memakan makanannya dengan
ekspresi lembut di wajahnya.
“Aku
senang itu sesuai dengan seleramu. Sejujurnya, aku sangat gugup.”
“Aku
sudah mengkritik masakanmu sebelumnya, tapi aku tidak pernah mengeluh.”
“Ya, kamu
memang tidak salah, tapi mencemaskan kamu akan menikmatinya atau
tidak merupakan hal yang sama sekali berbeda,
bukan?” Saat Amane
menggumamkan ini sambil memecah lobak daikon rebusnya yang berisi terasi dengan
sumpitnya, ia mendengar suara yang agak bermasalah menjawab dari seberang meja.
“Itu
benar, tapi… Kamu tahu, Amane-kun, kemampuan memasakmu meningkat pesat, bukan?”
“Mengenai
keahlianku, hanya saja nilainya berubah dari negatif menjadi sekitar lima puluh
poin. Keterampilanmu akan lebih seperti satu atau dua ratus poin. Aku tidak
akan pernah bisa mengejarnya.”
“Aku bakalan merasa minder jika kamu
berhasil mengejar ketinggalan dengan mudah.”
“Aku sendiri merasa ragu apa
aku bisa melakukannya meskipun aku menghabiskan
seluruh hidupku untuk mencobanya. Pertama-tama, masakanmu akan selalu menjadi
nomor satu bagiku, jadi tidak peduli seberapa bagus masakanku. Tapi selain itu,
aku akan tetap berusaha keras
membuatkan hidangan terbaik untukmu semampuku.”
“…Kamu ini lagi-lagi...Ya ampun.”
Kata “Ya
ampun” itu bukan dimaksudkan untuk menegurnya, melainkan sebuah tanda bahwa
Mahiru mengakui bahwa itu hanya bagian dari sifat Amane. Itu juga menyiratkan
bahwa dia bukannya merasa
tidak senang—bahkan, itu berarti bahwa dia cukup senang sesuatu yang dia pahami
dengan baik selama mereka bersama.
Amane
menyeringai lebar, membuat Mahiru melebarkan matanya karena terkejut. Dia
dengan cepat membuang muka dengan ekspresi terpesona, dan dengan menggeliat di
bibirnya, bergumam, “Astaga,
Amane-kun…” pelan.
✧ ₊
✦
₊ ✧
“Terima
kasih untuk makanannya.”
“Aku senang kamu bisa menikmatinya.”
Mereka
segera menghabiskan makan malam dengan porsi yang tidak terlalu banyak dalam
waktu singkat.
Mahiru
bukanlah seorang pemakan makanan yang sangat ringan, tetapi mengingat apa yang
menanti mereka selanjutnya, jelas bahwa dia
tidak akan bisa menghabiskan semuanya jika Amane
menghidangkannya terlalu cepat. Jadi, tanpa disadarinya, Amane
telah menyiapkan porsi yang sedikit lebih kecil untuknya.
Amane
telah memutuskan untuk membuat makanan Jepang sebagian karena itu adalah
masakan favorit Mahiru, tetapi juga karena mangkuk tradisional yang kecil dan
presentasi yang penuh warna membantunya menyesuaikan kesan keseluruhan makanan
dan memiliki ukuran porsi yang lebih kecil. Namun, tampaknya Mahiru tidak
menyadarinya.
“... Aku
tidak pernah menyangka kamu akan melakukan banyak hal untukku,” ujar Mahiru.
Setelah
bersikeras bahwa dia akan menangani semua pembersihan, Amane memandu tamu
kehormatan—Mahiru—ke
atas sofa. Dia tampak sedikit tidak
senang dengan hal itu, mungkin ingin menawarkan bantuannya, tetapi ketika Amane
kembali dari mencuci piring, dia menggumamkan kata-kata ini dengan rasa haru
yang mendalam.
“Yah,
kamu mencurahkan hati dan jiwamu ke dalam sesuatu untuk kekasihmu juga, kan,
Mahiru?”
“Hmph.
I-Itu mungkin benar, tetapi...”
“Jika
ada, kamu bisa mengatakan bahwa aku telah melakukan semua ini karena aku
menginginkannya, bukan hanya demi dirimu saja.”
Pada
akhirnya, semua yang dilakukan Amane semata-mata didorong oleh
kepuasan dirinya sendiri. Hal ini membuatnya ragu untuk menggunakan ungkapan
yang terdengar nyaman dan sempurna seperti “demi Mahiru.”
“Jadi ya,
ini adalah sesuatu yang aku lakukan atas inisiatifku sendiri.”
“…Kamu
benar-benar punya kebiasaan melakukan itu, Amane-kun.”
Seolah-olah ingin menegurnya, Mahiru dengan
bercanda menampar lengan atas Amane. Setelah menyadari bahwa Ia masih tidak mau
menyerah, Mahiru kemudian menunjukkan senyuman yang rumit—yang secara sempurna mencerminkan
perasaan tidak berdaya, pasrah, dan bahagia.
“…Tapi,
hari ini, kamu membuatku sangat bahagia. Segalanya
terasa begitu...”
“Ah,
maaf. Bisakah kamu menunggu sebentar?”
“Hah?”
Mata Mahiru membelalak karena disela, tapi dia
tidak bisa mengabaikannya saja terhadap
hal ini.
“Rasanya
aku akan menyelesaikan semuanya, tapi ini belum semua rencanaku. Ulang tahunmu
belum berakhir, kan?”
Mahiru
berkata dengan bingung, “Hah?” tapi bagi Amane, ini hanyalah awal dari
acara utama hari ini. Ia tidak akan menghabiskan waktu hampir sebulan untuk
mempersiapkan dekorasi, karangan bunga, dan makan malam buatan sendiri bahagia,
dan telah berlarian dengan bantuan orang-orang baik di sekitarnya. Amane masih belum menunjukkan hasil
sebenarnya dari kerja kerasnya.
Karena Mahiru
adalah orang yang cukup sederhana, dia sudah terlihat sangat puas. Tapi hari
ini, Amane ingin memberinya begitu banyak kegembiraan hingga kerendahan hatinya
pun akan hilang begitu saja.
“Bisakah
kamu memejamkan matamu sekali
lagi?”
Karena
kejutannya akan hilang jika dia tetap membuka matanya, Amane mengajukan
permintaan ini untuk kedua kalinya hari ini. Mahiru memejamkan matanya erat-erat dan mengangkat
wajahnya ke atas. Bukan berarti dia
menurutinya dengan patuh, tetapi lebih karena dia
mengantisipasi sesuatu yang istimewa akan terjadi. Suasana tegang masih terasa.
Mahiru,
yang tidak diragukan lagi sedang menantikan sesuatu, terlihat sangat
menggemaskan, sehingga Amane secara tidak sengaja menutup mulutnya dengan
tangan untuk menyembunyikan senyumnya. Meskipun gadis
pujaannya masih tidak bisa melihatnya, namun ia tetap
merasa ingin menyembunyikannya. Pemandangan pacarnya yang menunggunya dengan
penuh harap, sungguh terlalu menawan untuk ditanggung.
“...
Maaf, kali ini aku tidak meminta ciuman.”
Karena tidak ingin menghancurkan
harapannya, Amane
membisikkan hal ini dengan lembut di telinganya.
Mata
berwarna karamel Mahiru terbuka, hanya berfokus pada Amane. Kemudian, wajahnya
berubah menjadi merah mencolok saat dia
cemberut manis, bergumam “Amane-kun, No., Baka,”
dengan irama yang sesuai dengan pukulan ringan yang juga dia berikan ke dadanya.
Diperlakukan
seperti semacam drum, Amane hampir mulai menyeringai lagi melihat tingkahnya
yang lucu. Namun, dirinya
tahu bahwa jika ia menunjukkannya di wajahnya, pukulan lucu Mahiru akan menjadi
lebih kuat, jadi ia menggigit bagian dalam pipinya untuk menahan senyumnya.
“Aduh,
aduh, aduh. Maafkan aku... aku masih punya hal lain yang ingin kutunjukkan
padamu, jadi aku ingin kamu memejamkan
matamu lagi.”
“... Kamu
seharusnya mengatakan itu lebih cepat.”
“Sekali
lagi, aku minta maaf.”
Sambil dengan wajah yang semakin cemberut
bahkan lebih dari sebelumnya, Mahiru berbalik dan memejamkan matanya lagi. Mengambil
kesempatan itu, Amane mencondongkan tubuhnya dan dengan lembut menempelkan
bibirnya pada pipi yang sedikit memerah, seperti buah persik yang lezat di
depannya.
Mahiru
sepertinya mengenali sentuhan dan kehangatan tubuhnya, karena telah
mengalaminya beberapa kali sebelumnya. Dia membuka matanya dan langsung membeku di tempat. Amane tertawa pelan
dan berkata, “Tutup matamu, oke?” Tenggorokannya yang ramping bergetar, dan
geraman lembut frustrasi keluar dari bibirnya.
“Itu
adalah kejutan yang lain.” Puas dengan kejutan dadakan yang ditambahkannya,
Amane menuju ke dapur, merasa senang dengan dirinya sendiri.
Amane
menyiapkan seluruh makan malam mereka dan bersikeras untuk melakukan semua
pembersihan sendiri, meskipun Mahiru ingin membantu, itu semua adalah bagian
dari rencananya untuk menjauhkan Mahiru dari area kulkas. Amane mengambil puncak persiapannya
selama berminggu-minggu dari lemari es, dengan hati-hati mengeluarkan kotaknya
dan memegang piring itu dengan hati-hati dengan kedua tangannya.
Amane
dengan hati-hati membawa piring itu ke meja, meluangkan waktunya. Ia melihat
wajah Mahiru menoleh ke arahnya, merasakan melalui suara dan kehadirannya bahwa
ia telah kembali.
Dalam
hati, ia tersenyum pada dirinya sendiri.
Aku jadi tidak sabar untuk melihat
reaksinya saat dia membuka matanya.
“Pejamkan
matamu sedikit lebih lama lagi, oke?”
Karena
Amane belum siap, ia membisikkan hal itu kepadanya, sambil secara hati-hati
menekan lilin ulang tahun yang disembunyikannya ke dalam dasar krim putih.
Lilin yang ia gunakan lebih tipis dan lebih berwarna daripada lilin pada
umumnya.
Satu...
Dua... Saat ia diam-diam memasukkan lilin satu per satu,
ia mulai merasa bahwa tujuh belas lilin itu mungkin terlalu banyak. Kue itu
sekarang didominasi oleh warna-warna pastel dari lilin. Merenungkan kesalahan perhitungannya, Amane
menyalakan lilin dengan korek api, dan memutuskan untuk menggulungnya, meskipun
kuenya menjadi jauh lebih berwarna daripada yang ia bayangkan.
Kelemahannya,
menyalakan lilin sebanyak ini membutuhkan waktu yang cukup lama, tetapi setelah
Amane berhasil menyalakan semuanya, ia meredupkan lampu ruangan dengan
menggunakan remote control. Meskipun suasana di sekelilingnya
menjadi redup, namun tidak sepenuhnya gelap. Cahaya lembut dari lilin, satu
lilin untuk setiap tahun usia Mahiru, menerangi ruangan yang dihias dengan
lembut, menerangi ruangan itu.
“Kamu
bisa membuka matamu sekarang, Mahiru,” bisik Amane dengan lembut padanya, yang telah
mengikuti instruksinya sampai akhir. Mahiru dengan perlahan dan hati-hati
mengangkat kelopak matanya, dan—
“... Ah,”
sebuah bisikan bergetar-antara ratapan atau keheranan-tak sengaja keluar dari
bibirnya.
Cahaya
lembut menerangi wajah Mahiru, memperlihatkan ekspresi yang hampir linglung
yang membuat ketenangannya yang biasanya keluar dari jendela. Matanya
memantulkan dengan jelas kerlipan api lilin di depannya.
Amane
berdeham sekali sebelum perlahan-lahan membuka bibirnya untuk berbicara. Meski
sejujurnya, hal ini membuatnya merasa sedikit malu, keinginannya untuk
menyampaikan dan berbagi perasaan dengan Mahiru jauh lebih kuat. Meskipun ia
tidak menganggap dirinya ahli dalam hal itu, Amane
menyanyikan lagu selamat ulang tahun pendek yang biasa dinyanyikan orang tuanya
saat ia masih kecil hanya untuknya, mencurahkan segenap hati dan jiwanya ke
dalam setiap kata.
“Selamat
ulang tahun yang ketujuh belas, Mahiru.”
Setelah sengaja menyimpan kata-kata yang
ingin Ia ucapkan sejak mereka bertemu sebelumnya hari ini, Amane akhirnya
mengungkapkan kegembiraan dan perayaannya atas kelahiran kekasih tercintanya. Saat Ia melihat ke
arah Mahiru, dia benar-benar membeku karena
terkejut.
Amane
mengerti bahwa Mahiru
mungkin kewalahan karena keterkejutan yang tidak terduga dan memberinya
senyuman kecil saat dia berdiri
di sana, membeku, tidak diragukan lagi mencoba memproses dan memahami apa yang
baru saja terjadi.
“Aku
memang merasa dilema apa ini mungkin terlalu
kekanak-kanakan,” kata Amane dengan lembut. Ia mendekorasi ruangan dengan
mewah, menyiapkan kursi ulang tahun khusus, membawakan kue utuh dengan banyak
lilin, dan bahkan menyanyikan lagu selamat ulang tahun sebagai seorang anak SMA, perayaan yang mirip seperti pesta anak-anak. Tapi
itulah tujuan Amane, dan Ia telah mempersiapkan segalanya hanya untuk saat ini.
“Pada
akhirnya, kami juga masih anak-anak, jadi menurutku pesta seperti ini akan
menyenangkan. Aku punya kenangan indah dan bahagia tentang ulang tahunku yang
dirayakan seperti ini ketika aku masih kecil dulu.
Kenangan pesta yang mereka lakukan
untukku semasa kanak-kanak selalu melekat padaku, bahkan sampai sekarang.”
Meski
ingatannya tentang masa kecilnya agak kabur, Amane
masih mengingat kejadian itu dengan jelas hingga saat ini.
Orang
tuanya sudah mendekorasi ruangan sesuai
seleranya, meletakkan boneka binatang dan mainan favoritnya di meja, meletakkan
lilin di atas kue favoritnya, dan memberinya hak istimewa untuk meniupnya.
Mereka menghujaninya dengan ucapan “selamat ulang tahun” yang tak
terhitung jumlahnya dan kasih sayanng
yang berlimpah. Kenangan masa kecilnya
yang indah itu tetap tertanam dalam di hatinya, memberinya kebanggaan karena disayangi. Keyakinan inilah yang telah
membantunya mengatasi kesulitan yang paling sulit sekalipun.
“Perkataanku ini mungkin kedengarannya lancang, tapi aku ingin
berbagi kebahagiaan denganmu. Menurutku pesta seperti ini merupakan sesuatu yang kita semua impikan
sebagai anak-anak,” imbuh Amane.
Sampai
batas tertentu, pesta ulang tahun merupakan
sesuatu yang dialami atau diidam-idamkan
sebagian besar anak-anak. Meskipun tidak baik untuk mendasarkan semuanya pada
pengalamannya sendiri, tapi itu tidak
dapat disangkal bahwa bagi Amane sebagai seorang anak, tidak ada hari yang
lebih menggembirakan daripada hari ulang tahunnya.
“Aku
bertanya-tanya apa, mungkin saja, kamu pernah memimpikan hal seperti ini,”
Amane melanjutkan. Meski Ia merasa sedikit bersalah karena membuat asumsi
seperti itu sendiri, melihat reaksi Mahiru meyakinkannya bahwa Ia tidak salah. “Itulah sebabnya
aku ingin kamu mengalaminya juga. Aku tahu kalau itu
mungkin terlalu egois, tapi meski begitu…”
Tujuh
belas lilin di atas kue dengan diameter lima belas sentimeter mungkin
berlebihan, tapi setelah mempertimbangkan ulang tahun yang belum—atau tidak
bisa —dirayakan
Mahiru sebelumnya, hal itu tidak tampak berlebihan sama sekali saat nyala lilin
bergoyang lembut Di udara yang hangat, kilau diam muncul di mata Mahiru dan
mulai jatuh seperti air mata yang berkilauan.
Sesaat
kemudian, tubuh Mahiru langsung meleleh seperti jeli. Amane panik—wajahnya
berkerut, dan tetesan air mata yang tak terhitung jumlahnya mulai berjatuhan.
“A-Apa
kamu tidak menyukainya?” Amane bertanya dengan
khawatir.
“Tidak,
bukan itu—hanya saja, um, aku sangat, sangat bahagia...dan emosi di dalam hatiku meluap-luap... Apa
aku benar-benar pantas mendapatkan sesuatu yang begitu...menakjubkan?” Melalui
isak tangisnya, Mahiru, kini mengalami sesuatu yang belum pernah dia alami
sebelumnya secara keseluruhan, mencoba yang terbaik untuk merangkai perasaannya
yang meluap-luap ke dalam kata-kata.
Amane
berjongkok di samping Mahiru saat Mahiru berusaha mati-matian untuk
mengungkapkan emosinya, menunjukkan penampilan yang sebenarnya. Merasakan air mata menggenang
di matanya sendiri, Amane dengan
lembut membungkus tangan Mahiru yang gemetar dengan tangannya.
“Aku
senang kamu menyukainya. Aku sudah banyak
memikirkannya, bertanya pada diriku sendiri, 'Apa yang bisa aku lakukan di
sini untuk membuat Mahiru bahagia?' Aku banyak memikirkan berbagai ide
untuk ulang tahunmu dan berkonsultasi dengan banyak orang akhirnya, semuanya sangat sepadan,” kata Amane dengan lembut.
Hal ini
berbeda dari pertama kali Amane merayakan
ulang tahun Mahiru. Kali ini, ketika Itsuki dan Chitose membantu, mereka tahu
bahwa itu semua demi Mahiru juga menawarkan nasihat mereka demi Mahiru, dan
teman-teman seperti Yuuta dan Ayaka, serta para senior dan bahkan pemilik
pekerjaan paruh waktunya, semuanya berkontribusi untuk mewujudkan hari itu
dengan cara mereka masing-masing.
“Bukan
hanya aku saja—ada banyak
orang yang ikut berpartisipasi dalam
membantu acara hari ini.
Itu menunjukkan bahwa ada banyak orang yang ingin merayakan ulang tahunmu dan bersedia membantuku.”
“…Ya.”
“Sekarang,
tiup lilinnya sebelum meleleh. Itu hak istimewamu sebagai gadis yang berulang
tahun.”
Setelah
mengelap air mata Mahiru dengan saputangan,
Amane memberinya senyuman jahil.
Pipinya yang berlinang air mata sedikit mengendur, seolah dia geli lagi,
matanya—meskipun masih basah—menjadi cerah kembali saat dia menangis tersenyum
malu-malu namun gembira.
Mahiru
turun dari sofa dan berlutut di depan meja. Saat nyala lilin menyala dengan
lembut di tengah kegelapan, dia meniupnya dengan lembut. Nyala api hanya
berkedip-kedip, mencoba menahan nafasnya yang lembut, dan setelah beberapa kali
mencoba, Mahiru kembali menatap Amane dengan tatapan gelisah. Kebingungan awalnya
justru lebih menggemaskan bagi Amane daripada apa pun.
Melihat
Mahiru berjuang, tidak yakin bagaimana cara melanjutkannya, Amane dengan lembut
menyemangati dengan menepuk-nepuk punggungnya. “Karena ada tujuh belas lilin,
kamu harus meniupnya lebih keras lagi.” Dirinya
terus mengawasinya, menginginkan Mahiru
meniup semua lilinnya sendiri. Lagipula, meniup lilin kue ulang tahun adalah
ritual yang hanya diperuntukkan bagi sang bintang acara.
Didukung
oleh dorongan Amane, Mahiru menarik napas dalam-dalam dan meniup lilin
seakan-akan ingin memadamkan setiap kekhawatirannya. Saat setiap lilin padam,
ruangan menjadi semakin redup, tetapi Mahiru terus memadamkan api satu per
satu. Saat dia meniup
lilin terakhir, Amane menyalakan kembali lampu ruang tamu.
Kue itu
sekarang bisa dilihat dengan segala kemegahannya.
Amane
memilih kue yang sederhana. Kue itu dihiasi dengan stroberi dan krim kocok
untuk menghormati kue pertama yang diberikan Amane kepada Mahiru tahun lalu.
Namun, pada saat yang sama, Amane tidak bisa mengatakan bahwa itu adalah
reproduksi yang tepat.
Dekorasinya
memang bagus, tetapi di tengah-tengah kue itu terdapat plakat cokelat
bertuliskan “Selamat Ulang Tahun” yang ditulis dengan kikuk oleh Amane.
Hal itu, dipasangkan dengan lilin yang terletak di antara cokelat dan stroberi,
membuatnya menjadi kue yang sama sekali berbeda dari kue yang dibelinya dulu.
Meskipun begitu, ia secara khusus memilih kue ini untuk menambahkan kenangan
tahun lalu di atas kenangan baru yang mereka buat hari ini.
“Sekarang
lampunya sudah menyala,
pinggiran kuenya terlihat lebih kasar, ya…” Amane terdiam sebelum meyakinkan,
“Y-Yah, meski begitu, rasanya seharusnya enak! jadi aku bisa menjamin sebanyak
itu! Karena aku
sudah sering berlatih!”
“Hah? Ka–Kapan kamu melakukan itu?
Di mana…?”
“Di
tempat kerja. Aku meminta bosku
untuk mengajariku cara-caranya sementara aku membantunya menguji resep baru.”
Saat Ia menyajikan alat penguji rasanya, Amane dengan sungguh-sungguh meminta
bantuan Fumika, dan dia langsung menyetujuinya dengan cepat, faktanya, hal itu
membuat Amane benar-benar tercengang—dan dialah yang bertanya. “Begitulah
caraku melakukannya tanpa pulang terlambat, kalau tidak, kamu pasti akan
mengetahuinya. Aku benar-benar berterima kasih
padanya.”
Meskipun
jadwalnya sibuk, Fumika meluangkan waktunya untuk mengajari Amane secara
pribadi. Dia berkata, “Hal itu akan
meringankan beban orang lain jika lebih banyak orang bisa membuat kue,” tapi
Amane tahu bahwa dia hanya mencoba untuk tidak
membuatnya tidak enakan, yang mana membuatnya merasa sedikit
bersalah.
Di bawah
bimbingan Fumika yang baik hati, Amane berhasil mempelajari resep yang sangat
mudah untuk membuat kue bolu. Tentu saja, saat membuat kue, kemampuan untuk
meniru resep tersebut sangatlah penting. Fumika memberinya instruksi menyeluruh
tentang langkah-langkah dan tindakan pencegahan agar Amane bisa untuk memanggangnya sendiri
menggunakan peralatan yang Ia miliki di rumah. Berkat itu, Amane sudah terbiasa membuat
kue bolu. Meskipun keterampilannya dalam membuat kue bolu masih jauh dari yang
diharapkan, Fumika meyakinkannya bahwa itu bukanlah sesuatu yang bisa Ia kuasai dengan mudah. Setidaknya
Amane berhasil mempelajari
bagaimana membuat kue terlihat rapi sebelum melanjutkan dalam membuat kue yang sebenarnya.
Syukurlah
Mahiru tetap merasa senang
dengan hal itu.
Dengan
perasaan lega, Amane melihat kue yang sudah disiapkan untuknya. “Yah, walapaun itu ada harganya, sih.”
“Ha-Harga...? Kau melakukan semua ini
untukku dan—”
“'Beritahu
aku jika pacarmu menyukainya,'
katanya... Jadi, bagaimana menurutmu?”
Sejak
awal, Fumika tidak ingin meminta imbalan apapun. Namun untuk memenuhi
permintaannya dan memuaskan rasa penasarannya sendiri, Amane dengan lembut
namun penuh perhatian menatap Mahiru. Terlihat seperti akan menangis lagi, dia
mengangguk.
“Aku
merasa sangat senang, aku bahkan tidak
bisa menemukan kata-kata yang tepat. Sungguh, terima kasih banyak,” kata
Mahiru, memberinya senyuman kegembiraan yang murni meskipun ia hampir menangis.
Dengan perasaan
lega, Amane berterima kasih kepada Fumika dalam hati dan pergi mengambil piring
dan pisau kue. Namun, Mahiru kemudian menatapnya dengan tatapan khawatir.
“... Apa beneran tidak apa-apa aku boleh mengalami kebahagiaan seperti
ini?”
“Tidak.”
Amane tak
sengaja menjawab secara refleks, dan Mahiru membeku di tempat. Dengan cepat
menyadari bahwa mengatakan terlalu sedikit kata bisa disalahpahami, Amane
buru-buru melanjutkan.
“Oh-
Sekedar meluruskan, dengan
kata 'tidak' tadi maksudku
kebahagiaan yang kamu rasakan
saat ini masih jauh dari kata cukup. Aku akan membuatmu lebih bahagia lagi dari
ini, jadi kamu tidak boleh puas dulu.”
“...
Oke.” Mahiru mengangguk sedikit, rona merah samar mewarnai pipinya.
Setelah
berhasil menjernihkan kesalahpahaman, Amane merasa lega lagi. Ia mengambil
semua yang dibutuhkan untuk memakan kue tersebut dan kemudian duduk di lantai
di sebelah Mahiru.
“Ayo kita
potong kuenya sekarang, ya? Tolong abaikan saja
kalau semua lilinnya tidak rata.”
Amane
sudah berusaha menempatkan lilin sedemikian rupa agar terlihat cantik, tetapi
plakat cokelat dan stroberi menghalangi sebagian tempat yang ia tuju, sehingga
hasilnya tidak sesuai dengan yang direncanakan. Terlepas dari upayanya,
sebagian area memiliki lebih banyak lilin yang saling berdempetan daripada yang
lain, yang menunjukkan bahwa ia masih memiliki ruang untuk perbaikan. Ia
membuat catatan mental untuk menghindari masalah seperti itu di lain waktu,
tetapi untuk saat ini, Amane menyingkirkan semua pikiran itu ke belakang
pikirannya dan fokus pada tugas yang sedang dikerjakan, sambil merenungkan cara
memotong kuenya.
Setelah
mempertimbangkannya sejenak, Amane menyimpulkan, “Sebaiknya kita singkirkan
saja lilin-lilin itu untuk saat ini,” dan mulai mencabutnya. Melihat ekspresi
sedih pada wajah Mahiru, ia secara hati-hati menempatkan lilin pada piring
terpisah untuk meyakinkannya.
Karena
ukurannya hanya lima belas sentimeter, ia memutuskan untuk memotong kue itu
menjadi empat bagian, sehingga mudah dipotong dan mudah dimakan. Amane menyerahkan piring dengan
potongan utama, yang memiliki plakat cokelat di atasnya, kepada Mahiru. “Ini
dia.”
Mahiru
menerima piring itu dengan hati-hati. Pipinya melembut dan matanya
berbinar-binar seolah-olah dia
sedang menatap sosok benda yang sangat berharga. Meskipun Amane berpikir bahwa dia sedikit melebih-lebihkan,
namun itu juga merupakan bukti betapa besar kegembiraan yang dirasakan Mahiru.
Merasa sedikit geli di dalam hati, ia menyerahkan sebuah garpu kepadanya.
“Silahkan dinikmati.”
“T-Terima
kasih atas makanannya.”
Mahiru
tampak sedikit ragu, karena dia tidak bisa memakan potongan itu tanpa
mengganggu cokelat yang ada di atasnya.
Mahiru
ragu-ragu untuk beberapa saat, tidak tahu harus berbuat apa. Kemudian, dengan
ekspresi minta maaf, dia dengan
hati-hati melepaskan cokelat dari permukaannya yang berwarna putih. Dirinya meluangkan waktu untuk memotong
kue itu secara perlahan-lahan menjadi potongan-potongan seukuran gigitan,
tetapi begitu ia mulai memakannya, semuanya lenyap dalam sekejap.
Dengan
suara “nyam”
yang pelan, kontras warna putih dan merah yang indah menghilang dari bibir
mungilnya. Matanya yang lebar berwarna karamel mengerjap terbuka, kemudian
perlahan-lahan melembut dan menyempit karena gembira.
Melihat
ekspresi wajahnya yang tadinya ragu-ragu, kini berganti dengan ekspresi lembut
dan senang, Amane merasa yakin bahwa upayanya selama dua minggu terakhir ini,
terbayar dengan indah.
“...
Bagaimana?” Amane akhirnya bertanya.
“Rasanya
lezat.”
Setelah
mengunyah dan menelan, Mahiru mengangguk ke arah
Amane sambil tersenyum malu-malu. Melihat hal ini, Amane akhirnya membiarkan
dirinya rileks. Ia
melepaskan napas berat yang telah ditahannya dan menarik napas yang segar,
sekarang merasa jauh lebih ringan.
“Syukurlah.
Kamu membuatkan kue saat ulang
tahunku, jadi aku ingin membalasnya,” kata Amane.
Sebagai
seseorang yang ingin membalas kebahagiaan dengan hal yang sama, Amane ingin
Mahiru merasakan kegembiraan yang sama seperti yang ia berikan pada hari
istimewanya. Karena ia adalah seorang pemula dan tidak memiliki banyak waktu
untuk mempersiapkan diri, Amane
menyadari bahwa dirinyaa
harus memberikan yang terbaik. Daripada mencobanya
sendiri, ia memutuskan untuk mencari bimbingan dari seorang ahli. Pendekatan
ini begitu berhasil, sehingga Amane menyadari, bahwa memang bijaksana untuk
mengandalkan orang lain apabila benar-benar dalam keadaan terdesak.
“Tetapi,
dengan kemampuanku, mana mungkin aku bisa membuat sesuatu yang
setingkat denganmu, Mahiru. Mengandalkan orang lain memang merupakan cara yang
tepat.”
“... Bos baik hati yang mengajarimu,
kan?”
“Ya, aku
meminta bantuannya. Ketika aku mengatakan, 'Aku ingin membuat kue ulang
tahun untuk pacarku,' dia hanya tersenyum padaku. Itu adalah hal yang
sangat biasa dilakukannya. Pokoknya, aku
sangat berterima kasih padanya,” kata Amane.
Fumika
menjelaskan, “Semakin sederhana hidangannya, semakin banyak rasa dari
bahan-bahan dan keterampilan pembuatnya yang mempengaruhi rasa akhir.”
Karena Amane masih seorang
amatir dalam hal membuat kue—meskipun sekarang ia sudah cukup mahir—maka Fumika
memastikan untuk mengajarinya dari awal.
Fumika
menyuruhnya mencicipi berbagai macam kue untuk menunjukkan bagaimana tekstur
bolu yang berbeda dapat dicapai dengan mengubah cara pengocokan telur. Dia juga
menunjukkan kepadanya bagaimana kandungan lemak krim mengubah waktu dan teknik
pengocokan, membiarkannya bekerja dengan bahan-bahan yang berbeda untuk
memahami sifat-sifatnya. Selain itu, dia
bahkan memberitahu Amane
di mana tempat untuk membeli bahan-bahan terbaik untuk membuat kue,
mengarahkannya ke toko kue khusus. Fumika memberinya berbagai macam dukungan
untuk membantunya berkembang.
Setelah
menerima begitu banyak bantuan selain dipekerjakan olehnya sebagai pekerja
paruh waktu, Amane merasa sangat berhutang budi padanya.
“Aku juga
ingin mengucapkan terima kasih secara langsung atas bantuannya pada hari ulang
tahunmu, tapi…kamu tidak ingin aku pergi, kan?” kata Mahiru ragu-ragu.
“Bu-Bukannya aku melarangmu ke sana,” Amane
dengan cepat menjawab. “Aku hanya lebih suka jika kamu datang setelah
pekerjaanku menjadi lebih baik… Kamu tahu, rasanya akan
memalukan jika aku tidak melakukan
pekerjaan dengan baik dan sejenisnya.”
Amane
sekarang sudah bekerja selama lebih dari sebulan, jadi dirinya yakin kalau Ia sudah terbiasa
dengan pekerjaan itu. Tapi di saat yang sama, Ia tidak yakin kalau
keterampilannya sudah cukup bagus untuk ditunjukkan kepada Mahiru.
Ia
percaya bahwa sebagian besar orang merasa sedikit tidak nyaman diawasi oleh
teman-teman mereka atau pasangannya saat mereka sedang bekerja, dan menunjukkan
kepada Mahiru bagaimana kinerjanya di layanan pelanggan hanya akan memperburuk
perasaan itu pada Amane. Jika dirinya ingin memamerkannya kepada Mahiru, Amane
ingin
Mahiru bisa melihat bahwa dirinya menangani semuanya dengan
percaya diri. Ia merasa kasihan karena membuat Mahiru menunggu, tapi ini
bukanlah sesuatu yang bisa dikompromikan oleh Amane.
Amane
ingin menunjukkan sisi terbaiknya kapan pun, meskipun Mahiru sudah melihat
banyak kelemahan dan momen canggungnya, ini adalah prioritas utamanya.
“Tapi
bagiku, kamu tetap kelihatan
manis meski sedang panik,
Amane-kun.”
“Yah, itu
tidak bagus… Aku ingin kamu menganggapku keren.”
“Baiklah. Kalau begitu, aku akan menunggu.”
Meski
bersedia memaafkan Amane karena telah membuatnya menunggu, Mahiru tersenyum
gembira. Amane membungkuk dalam hati, berterima kasih atas kemurahan hati
Mahiru sambil membawakan sepotong kue ke dalam
mulutnya.
Berkat
bimbingan Fumika, kuenya menyatu dengan indah. Sponsnya, yang diolesi sirup,
lembab tanpa terlalu berat dan memiliki tekstur halus dan lembut yang meleleh
lembut di mulut bersama dengan stroberi yang diapit di dalamnya agar rasanya
tidak terlalu manis, sehingga rasa asam dan manis stroberinya benar-benar
terpancar. Sementara Mahiru menyukai makanan penutup yang rumit dan penuh gaya,
dia pada akhirnya tertarik pada rasa klasik seperti ini. Amane berpikir kalau dirinya berhasil membuat ulang kue
yang sesuai selera Mahiru.
Amane
melirik ke arah Mahiru, melihatnya menikmati kue dengan ekspresi lembut dan
tenang, seolah-olah dia menghargai setiap gigitannya. Dia tampak lebih puas
daripada biasanya saat menikmati hidangan penutup, alisnya mengendur karena
kepuasan yang tulus.
“Ini
benar-benar enak,” kata Mahiru lembut.
“…Syukurlah, aku senang mendengarnya.”
Jika
Mahiru menyukainya, maka itu adalah kemenangan terbesar bagi Amane.
Membuat
kue untuk Mahiru sesekali bukanlah ide yang buruk,
pikirnya sambil perlahan menikmati kue manis namun tidak terlalu manis yang di
atasnya diberi senyuman Mahiru.
✧ ₊
✦
₊ ✧
Ketika
Mahiru selesai makan, Amane mengatur waktu pergerakannya dan menuju ke dalam kamar tidur tempat Ia menyiapkan
hadiah. Amane tahu bahwa jika ia membiarkannya terbungkus secara
mencolok di ruang tamu yang terang benderang, rasanya akan terlalu mudah untuk
menebak apa yang ada di dalamnya. Namun, Mahiru sepertinya merindukannya saat
ia meninggalkan ruangan, mengikutinya dengan matanya saat ia pergi. Amane
kembali dengan hadiah di tangannya, dan ia mengedipkan mata beberapa kali
karena terkejut.
Amane merasa
senang ketika ia menyadari bahwa ia telah melihat banyak ekspresi Mahiru
seperti itu hari ini. Ia berlutut di kaki Mahiru sementara dia duduk di sofa
dengan kebingungan, ia dengan lembut meletakkan kado itu di tangannya, yang
berada di atas pahanya yang sejajar dengan rapi.
“Ini hadiah
ulang tahunmu. Pengalaman dan kenangan memang penting, tetapi aku juga ingin
memberimu sesuatu yang nyata yang bisa kamu pegang.”
Buket bunga
itu tidak lebih dari sekadar pembuka, dengan kue dan hadiah ini menyusul
setelahnya, dan kemudian satu barang terakhir yang menjadi acara utama.
Meskipun Amane
menyebutnya sebagai hadiah, namun itu bukanlah sesuatu yang mewah. Sebagai
seorang siswa SMA, pilihannya terbatas pada apa yang mampu dibelinya dan apa
yang akan disukai Mahiru. Walau begitu, Amane percaya bahwa pemikiran dan
alasan di balik pilihannya merupakan yang paling penting. Setelah banyak
pertimbangan, ia memutuskan untuk memberikan hadiah ini kepada Mahiru dengan
caranya sendiri.
“Sejujurnya,
Mahiru, kamu selalu membeli barang yang kamu butuhkan, dan kamu tidak akan
terlalu senang jika aku memberimu sesuatu yang mahal. Kamu mungkin akan merasa
bersalah karenanya. Jadi, aku benar-benar kesulitan untuk memilih sesuatu.”
Ia pernah
berbicara dengan Chitose sebelumnya, dan mereka berdua sepakat bahwa Mahiru
bukanlah orang yang materialistis. Dia adalah seseorang yang membeli apa yang
dibutuhkannya tanpa ragu-ragu, dan itu membuatnya menjadi orang yang cukup
menantang untuk dibeli.
Amane
tahu bahwa Mahiru akan senang dengan apa pun yang Ia berikan padanya, tapi itu
hanya membuatnya semakin sulit untuk memilih.
Ketika ia
berbisik dengan lembut, “Silakan buka,” Mahiru seakan tersadar dari
kekakuannya. Cara dia meliriknya seolah-olah meminta izin membuat Amane geli,
dan ia tidak bisa menahan tawanya.
Mahiru sedikit cemberut melihat reaksinya, tetapi dengan campuran gugup dan
antisipasi, dia mulai
membuka pita yang melilit kotak itu dengan hati-hati. Amane menyadari jemarinya
sedikit gemetar, tapi memutuskan untuk tidak mengatakannya.
Mahiru
membuka ikatan pita merah mengkilap, sesuatu yang diasosiasikan oleh banyak
orang dengan hadiah. Dia kemudian dengan hati-hati membuka
kertas pembungkusnya, dan akhirnya membuka kotak yang berisi kado itu sendiri.
Ketika
Mahiru menatapnya untuk meminta stempel persetujuannya lagi, Amane tertawa dan
menyemangatinya, “Silakan, kamu bisa membukanya.” Sambil menahan napas, Mahiru dengan lembut mengangkat tutup
kotak itu. Di dalamnya, terletak sebuah kotak yang terbuat dari bahan empuk,
yang pas di kedua telapak tangan Mahiru. Yah, menyebutnya “kotak” tidak
sepenuhnya akurat. Ini bukanlah situasi seperti matryoshka di mana hadiahnya
hanya berupa serangkaian kotak polos. Amane tidak akan pernah memberikan hadiah
yang hambar.
Yang
dipegang Mahiru di tangannya sekarang adalah sebuah kotak perhiasan bergaya
antik dari kayu. Warnanya yang berselera tinggi dan desain elegan yang
menampilkan bunga-bunga favoritnya membuatnya menjadi barang yang halus dan
indah, lebih canggih dan anggun daripada sekadar imut.
“Um, aku
membawakanmu sebuah kotak perhiasan yang kupikir akan kamu sukai,” kata Amane.
Biasanya,
memberikan perhiasan atau kosmetik adalah pilihan yang aman untuk hadiah ulang
tahun pacar, tetapi setelah mempertimbangkan berbagai pendapat, Amane
memutuskan untuk memberikan ini.
Sebagian
karena kepribadiannya, Mahiru dikenal sangat menjaga barang miliknya, terutama
barang yang diberikan oleh orang lain, yang cenderung dia jaga dengan cermat. Amane
telah mendengar bahwa dia dengan hati-hati merawat dan menyimpan setiap barang
yang diberikan kepadanya untuk mencegah kerusakan, dan dia sangat
menghormatinya untuk itu. Oleh karena itu, ia ingin memberinya tempat khusus
untuk menyimpan barang-barang yang disayanginya-sesuatu yang akan menyimpan dan
melindungi kenangannya yang berharga.
“Mahiru,
aku tahu kamu selalu menjaga dengan baik semua yang kuberikan padamu. Itu sebabnya
aku pikir mungkin akan lebih baik jika kamu memiliki tempat khusus untuk
menyimpan semuanya. jadi bukan berarti aku memaksamu untuk menggunakannya atau
apa pun!”
Amane
menekankan bahwa meskipun Ia telah memberikannya, Mahiru tidak berkewajiban untuk menggunakannya,
dan mengatakan bahwa itulah perbedaan yang penting. Setelah itu, Ia berdeham.
“Kupikir
akan menyenangkan jika memiliki tempat di mana kamu
bisa menyimpan barang-barang yang akan kuberikan padamu di masa depan,”
tambahnya, meski agak canggung. Amane
merasa malu untuk mengatakannya secara langsung, sehingga membuat kata-katanya
menjadi tidak jelas sulit untuk dibentuk. Namun perlahan, ia menyuarakan keinginan yang ada
di dalam hatinya. “Aku hanya berpikir bahwa akan lebih baik jika kotak itu akhirnya
terisi hanya dengan barang-barang yang kuberikan padamu… Maaf, itu hanya keinginan egoisku.”
“…Itu
tidak egois,” jawab Mahiru lembut.
Amane
hendak menyunggingkan senyum mencela diri sendiri, berpikir bahwa ia egois
karena memasukkan keinginannya sendiri ke dalam hadiah yang ia pilih. Namun,
Mahiru, dengan kepala tertunduk, menggelengkan kepalanya. Suaranya sedikit
bergetar, dan setetes air mata besar yang mirip dengan batu permata jatuh dari
matanya, memercik ke punggung tangannya saat ia meletakkannya di atas kotak.
Dirinya tidak perlu diberitahu. Amane
sudah tahu bahwa itu bukan air mata yang lahir dari kesedihan.
“... Mau berapa kali kamu ingin membuatku menangis hari
ini, Amane-kun?”
“Jika itu
karena kebahagiaan, maka sebanyak yang diperlukan.”
“…Duhh,” bisiknya, nada suaranya yang
sedikit merajuk, namun penuh kasih sayang merupakan bukti kepercayaan mendalam
yang dia miliki pada Amane.
Saat
Mahiru akhirnya mengangkat kepalanya, dia memberikan Amane senyuman termanis
dan paling mempesona, senyuman yang begitu puas hingga seakan meredakan
kemerahan di sekitar matanya karena menangis.
“Saat
aku pulang, aku harus menyimpan semuanya di sini. Gelangku, jepit rambutku.
Semua hartaku," Mahiru terkikik. "Setiap kali aku membukanya, aku
akan dipenuhi dengan kebahagiaan.”
Mahiru
dengan lembut membuka tutupnya seolah sedang memegang sesuatu yang rapuh. Di
dalamnya terdapat interior yang sederhana dan luas tanpa sekat untuk
kompartemen, dan tempat penyimpanan tiga lapis tidak bisa menyembunyikan kegembiraan
dalam suaranya saat dia mengagumi kotak itu.
“Aku
ingin terus mengisi kotakmu dengan harta yang lebih banyak lagi,” kata Amane.
“Sepertinya
ada banyak ruang bukan hanya untuk aksesoris, jadi aku harus menyimpan barang
penting lainnya di sini juga,” jawab Mahiru.
“Seperti
apa?”
“Hehe,
kenangan dari kenangan yang kualami bersamamu, Amane-kun, itu hanya hal kecil,
jadi aku akan merahasiakannya.”
Amane
dengan jelas mengingat hadiah yang Ia berikan padanya, tapi dari cara Mahiru
berbicara, sepertinya dia juga menghargai barang-barang lain yang sebenarnya
tidak dimaksudkan sebagai hadiah.
Ia merasa
sedikit bersalah saat menyadari bahwa ia tidak bisa mengingat benda apa itu.
Namun, Mahiru, yang menyadari kegelisahannya, hanya tersenyum padanya, menunjukkan
bahwa dia tidak merasa terganggu sama sekali.
“Kamu merahasiakannya, ya?”
“Ya… Itu
adalah barang yang mungkin kamu berikan padaku tanpa banyak berpikir, atau
barang yang kita dapatkan saat kita keluar bersama. Jadi wajar jika kamu tidak
akan mengingat semuanya. Harap nantikan ketika waktunya tiba. Setelah kotaknya penuh, aku akan
menunjukkan padamu semua yang tersimpan di dalamnya. Dengan begitu, kita bisa
melihat ke belakang dan mengenangnya bersama.”
“Tentu.”
Tentu
saja, mereka akan terus menciptakan lebih banyak kenangan bersama. Tidak, mereka
akan menciptakannya— Amane yakin mereka akan menciptakannya.
Aku
berharap suatu hari nanti, kotak ini akan penuh dengan kebahagiaan kita,
harap Amane, diam-diam menyampaikan harapan ini kepada Mahiru dengan matanya ke
masa depan yang akan mereka bangun bersama.
✧ ₊
✦
₊ ✧
Melihat
Mahiru diam-diam memejamkan
matanya, menikmati sisa-sisa perayaan ulang tahunnya, Amane merasa sedikit
bangga, berpikir bahwa semuanya telah berjalan baik sejauh ini. Namun, dengan bagian terakhir
dari rencana yang masih tersisa, Amane tidak yakin bagaimana Mahiru akan
bereaksi. Ia merapatkan kedua bibirnya, mengingatkan dirinya sendiri untuk
tidak lengah.
Pandangan
sekilas ke dinding menunjukkan jarum jam dinding, yang tersembunyi secara halus
oleh dekorasi, terus mendekati waktu yang dijanjikan..
…Sudah
hampir waktunya.
Waktunya
telah tiba untuk kejutan terakhir—dan mungkin yang terbesar —di ulang
tahun Mahiru.
Mahiru,
percaya bahwa semua perayaan hari ini sudah berakhir dan yang tersisa hanyalah
menikmati hangatnya kebahagiaan, duduk di sofa, dengan lembut menekan bantalan
kaki lembut boneka kucing itu.
Amane
merasa benar-benar menyesal telah mengganggunya saat dia sedang begitu santai, tapi
mereka sudah mencapai titik tidak bisa kembali lagi, sehingga Amane tidak punya pilihan selain
menguatkan diri menghadapi apa yang akan terjadi.
“…Umm,
Mahiru, begini…”
“Ya?”
Mahiru
menatap ke arah Amane tanpa sedikitpun rasa waspada. Ekspresinya bahkan lebih
lembut dan lebih santai dari biasanya, diwarnai dengan pancaran cahaya kegembiraan, yang dipenuhi dengan kasih
sayang padanya, begitu lucu hingga Amane merasa seolah-olah hal itu bisa
menyebabkan masalah lima sariawan tumbuh di bagian dalam pipinya hanya karena
manisnya pemandangan itu.
Amane
menggigit bagian dalam pipinya untuk menekan keinginan besar untuk
menghujaninya dengan kasih sayang, lalu memaksa dirinya untuk tetap bersikap
tenang sambil melanjutkan.
“Sebenarnya,
masih ada satu kejutan lagi untukmu.”
“Kamu
sudah melakukan cukup banyak, tapi masih ada lagi? Bukannya kamu sudah menyiapkan terlalu
banyak hal?”
“Yang ada itu masih belum cukup untuk
menebus semua ulang tahun yang seharusnya kamu alami sampai sekarang. Tidak ada
salahnya untuk menjadi sedikit lebih serakah dan meminta lebih banyak, tau?”
“T-Tidak,
bukan itu… Maksudku, um, aku mungkin akan kewalahan, misalnya seperti, mungkin terlalu berat
bagiku untuk mengambil semuanya sekaligus.”
“Yah,
jika itu yang terjadi,
aku minta maaf.”
“Hah?”
Faktanya,
Amane telah menyiapkan kejutan terakhir dengan kesadaran penuh bahwa hal itu
mungkin akan membuat dirinya kewalahan.
Mahiru
menatap Amane dengan ekspresi bingung, jelas sekali
tidak mengerti apa maksudnya. Karena tidak berani menjelaskan
lebih lanjut, Amane diam-diam berdiri, siap membuka tirai untuk hadiah terakhir
dan terbesar yang bisa Ia berikan—kejutan dari semua kejutan.
“Semuanya
sudah siap, jadi tunggu saja sementara aku
menyelesaikan sentuhan terakhir.”
Meninggalkan
Mahiru yang kebingungan, Amane kembali ke dalam kamarnya
untuk membawa kembali laptop yang sudah disiapkannya sebelumnya. Kemunculan
tiba-tiba laptop yang baginya tampak seperti tidak ada hubungannya, hanya
membuat Mahiru semakin penasaran, tetapi Amane tetap tabah dan memilih untuk
tidak menjelaskan lebih lanjut. Ia hanya meletakkan laptop itu di atas meja
rendah, sambil tetap menjaga suasana misterius dan antisipasi.
Layar
yang dibukanya menampilkan ruang tunggu dari aplikasi konferensi video, siap
untuk sebuah panggilan.
“Yah, aku
mungkin... terlalu ikut campur dalam hal ini, tapi...”
Kejutan
terbesar hari itu, diputuskan sepenuhnya oleh penilaian Amane sendiri dan
mungkin sedikit rasa pembenaran diri,
adalah sesuatu yang tidak dapat dia capai sendiri. Sementara hatinya dipenuhi dengan antisipasi, berharap
Mahiru akan senang, rasa takut yang mengganggu tetap ada-kecemasan bahwa
tindakan lancangnya mungkin tidak disukai. Bagi Amane, hal ini hampir seperti
mengambil sebuah pertaruhan yang berisiko.
Tentu
saja, ia tahu bahwa Mahiru akan sangat senang tanpa kejutan terakhir ini-dia
sudah menangis bahagia sebelumnya. Jadi mungkin, ini bukanlah sesuatu yang
seharusnya Amane lakukan.
Tapi sekarang rencananya sudah dijalankan sampai sejauh
ini, tidak ada jalan untuk kembali.
Amane
perlu menguatkan dirinya dan menyelesaikannya
sampai tuntas.
“Kamu
mungkin berpikir ini hanyalah
bantuan yang tidak diinginkan atau aku bertindak
terlalu lancang, tapi aku bukan satu-satunya orang yang
ingin mengucapkan selamat padamu. Ada orang lain yang peduli dan selalu
memikirkanmu.”
Hari ini,
ada banyak orang merayakan hari
kelahiran Mahiru, dan memberi selamat padanya. Teman-teman terdekat dan paling
disayanginya berkumpul untuk membantu dan merayakan ulang tahunnya. Pastinya,
dia pasti sangat gembira, tidak ada yang perlu dikeluhkan. Namun, Amane tidak
bisa menghilangkan perasaan bahwa ada sesuatu yang kurang. Tidaklah cukup
baginya untuk dirayakan oleh teman-temannya saat ini dan mereka yang telah
mengambil peran sebagai orang tua dalam hidupnya. Amane bertanya-tanya, memangnya
tidak ada seseorang dari masa lalunya, seseorang yang pernah dikagumi dan
sangat dicintai Mahiru, yang telah ditinggalkan. Seseorang yang ingin merayakan
kelahirannya dari lubuk hati yang paling dalam.
Setelah
mengirim pesan dalam obrolan untuk mengonfirmasi bahwa semuanya sudah siap,
Amane menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan detak jantungnya yang
berdegup kencang. Kemudian, ia menekan tombol dengan ikon telepon.
Layar
bergeser dari ruang kosong dan gelap menjadi tampilan yang bersinar dengan
warna-warna cerah.
“Ojou-sama.”
Suara
lembut terdengar pelan dari speaker komputer.
Suaranya,
tidak keras maupun pelan,
memiliki nada yang lembut dan tenang. Itu bukanlah suara yang dikenali Amane, tapi bagi Mahiru, mungkin
ceritanya berbeda.
Ucapan “Hah?”
yang terkejut keluar dari bibir Mahiru, suaranya sedikit bergetar.
Dalam
sekejap, Mahiru melonjak dari
sofa, mendarat di lantai dengan perasaan terdesak. Dia bersandar di dekat
laptop di meja rendah, menatap layar dengan saksama, yang biasanya begitu
tenang penuh dengan keterkejutan dan ketidakpercayaan.
Mata
Mahiru terbelalak. Tidak dapat mempercayai apa yang dilihatnya, mulutnya yang
agak menganga, membuatnya tampak hampir linglung. Tampak jelas bahwa dia benar-benar kebingungan, bahkan mungkin tercengang. Wanita di layar, yang tampaknya
berusia sekitar satu dekade lebih tua daripada orang tua Amane sendiri,
tampaknya menyadari ketidakpercayaan Mahiru. Dengan senyum elegan yang
mengandung sedikit kejutan dan hiburan, wanita itu menatap langsung ke arah
Mahiru.
“Aku
sudah mengundurkan diri dari tugasku, jadi mungkin cara menyapamu seperti ini
sudah tidak tepat lagi. Mari kita lihat...”
Mahiru
tetap terdiam, tubuhnya menegang
saat dia menatap layar, sementara
wanita itu—Koyuki—menatapnya
melalui layar dan tersenyum lembut.
“...
Mahiru-san, sudah lama tidak bertemu.”
Dengan
anggun meletakkan satu tangan di dadanya, Koyuki memanggil nama Mahiru dengan
senyuman halus. Tidak terpengaruh oleh keterkejutan Mahiru, Koyuki terus
berbicara.
“Maafkan
aku karena memanggil namamu secara tiba-tiba, tapi karena aku sudah tidak
bekerja lagi, maukah kamu mengizinkanku memanggilmu dengan nama yang kamu
berikan?”
“Ke-Kenapa——Bagaimana...
Apa ini nyata?”
“Apa
kejutan kecil kita sukses?” Koyuki menggoda, terkikik kecil.
Tidak
berlebihan jika dikatakan bahwa itu sukses besar-sampai-sampai Amane khawatir
hal itu akan membuat Mahiru terkejut sampai-sampai jantungnya bisa berhenti.
Kejutan itu benar-benar membuatnya lengah.
Bahkan
dari jarak yang tidak terlalu jauh, Amane dapat melihat bagaimana Mahiru
semakin dibuat bingung oleh nada suara Koyuki yang ceria namun halus. Itu tidak
kasar tetapi membawa suasana keanggunan yang dewasa, membuat situasi menjadi
lebih luar biasa bagi Mahiru.
“H-Hah?
Apa? B-Bagaimana kita...”
“Ah, kamu
pasti bingung bagaimana aku bisa ada di sini dalam panggilan video ini.
Mengenai bagaimana caranya, kurasa pria jantan yang
duduk di sebelahmu akan lebih cocok untuk menjawabnya.”
Menyadari
bahwa subjek pembicaraan kini
telah diarahkan padanya, Amane tidak bisa menahan tawa pelan. Saat Mahiru
dengan cepat berbalik menghadapnya, ia tahu bahwa ia tidak punya pilihan lain
selain menjelaskan. Dengan lembut membimbingnya untuk duduk kembali di sofa, ia
menatapnya, menguatkan diri untuk memberikan penjelasan yang jelas-jelas ia
tunggu.
“Ehm... pertama-tama, izinkan aku meminta maaf dulu. Maafkan
aku.”
“Hah?”
“Aku
melakukan sesuatu yang buruk.”
“Bu-Buruk...?”
“Bukannya kamu penasaran bagaimana aku
bisa menghubunginya?”
Koyuki
adalah pengurus rumah tangga dan guru Mahiru, yang bertanggung jawab menjaganya
sebelum Mahiru bertemu Amane. Amane tidak memiliki hubungan langsung dengan
Koyuki dan belum pernah berbicara dengannya atau bahkan mendengar suaranya
sebelumnya. Tentu saja, Mahiru akan segera menyadari bahwa mana mungkin Amane bisa mengetahui
informasi kontaknya sendiri.
Segera
setelah Mahiru mengeluarkan “Ah” kecil, langsung menyadari apa yang dia maksud,
perasaan bersalah muncul di benak Amane. Ia menarik napas dalam-dalam, mengatur
penjelasan yang telah ia siapkan dalam pikirannya, dan kemudian perlahan mulai
berbicara, siap untuk menjelaskan bagaimana semuanya terjadi.
“Apa kamu ingat ketika, um, kita
berbicara tentang bagaimana aku ingin menyapa Koyu— Kujigawa-san?”
“Y-Ya?”
“Saat kamu menunjukkan fotonya padaku, aku
seperti ... melihat sekilas sebuah catatan. Dan aku, eh, benar-benar menghafal
alamat dan nomornya.”
Begitulah
cara Amane menemukan informasi pribadi Koyuki.
Ternyata,
meskipun mereka biasanya berkomunikasi melalui surat, Koyuki meninggalkan
beberapa metode kontak yang tersedia. Pada sebuah catatan yang disimpan bersama
dokumen penting lainnya, alamat email, alamat surat, dan nomor telepon Koyuki
tercantum. Ketika Amane melihat sekilas catatan itu, alamat emailnya terlihat
menonjol— itu
khas dan mudah diingat. Meskipun ia tidak menatapnya secara saksama, namun
alamat itu langsung melekat di benaknya.
Sejujurnya,
Amane menghabiskan beberapa hari untuk mempertanyakan apakah ia benar-benar
tidak masalah mengirim email itu, berulang kali bertanya pada dirinya sendiri
apa ia telah melewati batas—bukan hanya melanggar etiket, tetapi juga
moralitas. Perutnya terasa sesak setelah menekan tombol KIRIM, sesuatu yang
masih bisa diingatnya dengan jelas sampai sekarang.
Amane
selalu berniat untuk memperkenalkan dirinya dengan baik suatu hari nanti,
tetapi ia tahu bahwa melakukannya dengan cara seperti ini tanpa izin, bukanlah
cara yang tepat untuk melakukannya.
Ia
sepenuhnya sadar bahwa melibatkan Koyuki dalam hal ini didorong oleh keinginan
egoisnya sendiri. Namun, meski mengetahui hal ini, Amane mau tidak mau merasa
bahwa Ia membutuhkan bantuannya, apa pun yang terjadi.
“Mahiru,
Kujikawa-san. Aku benar-benar meminta maaf karena telah memperoleh dan kemudian
menggunakan informasi pribadimu tanpa izin. Aku sangat menyesali tindakanku.”
Mengetahui
bahwa gambarnya disiarkan di ujung sana, Amane bergerak ke depan kamera dan
membungkuk dalam-dalam, menundukkan kepala sebagai ungkapan permintaan maaf
yang tulus. Ekspresi Koyuki berubah menjadi senyuman masam, seakan-akan
mengatakan, “Mau bagaimana lagi.” Ketika Amane pertama kali menghubungi Koyuki, ia juga telah meminta maaf
sebesar-besarnya, dan bahkan sekarang, ia merasa itu tidak cukup, jadi dia
terus menundukkan kepalanya. Setelah beberapa saat, dia mendengar suara Koyuki
yang sedikit jengkel mencapai bagian belakang kepalanya.
“Ya
ampun, tolong angkat kepalamu. Pada awalnya, aku menduga itu hanyalah
email penipuan, dan aku bahkan berkonsultasi dengan anakku dan istrinya tentang
hal itu.”
“Aku
benar-benar minta maaf.”
“Aku akan
memaafkanmu
kali ini karena mempertimbangkan keputusasaanmu. Tekadmu untuk melakukan apa pun
untuknya, bersama dengan rasa bersalah yang kamu rasakan,
jelas terlihat. Tapi tolong, lain kali lebih berhati-hati, oke?”
“Ya. Itu
tidak akan terjadi lagi.” Amane tidak berniat melakukan sesuatu yang begitu
terang-terangan tidak sopan dan melewati batas seperti ini lagi.
Dari
sudut pandang Koyuki, Amane pada dasarnya adalah orang asing, secara praktis
tidak ada bedanya dengan orang yang mencurigakan. Fakta bahwa Koyuki tidak hanya mendengarkannya,
tetapi juga setuju untuk membantu, membuat Amane
merasa sangat berterima kasih, sekaligus merasa bersalah.
“Bisakah
kamu juga memaafkannya atas permintaanku, Mahiru-san? Ia menjelaskan semuanya
padaku dengan sungguh-sungguh, sambil menundukkan kepalanya sepanjang waktu. Ia tahu bahwa itu adalah
permintaan yang tidak sopan dan mungkin lancang, namun ia masih bertanya apa
aku bisa membantunya.”
“A-aku
tidak marah sama sekali! Amane-kun selalu berusaha keras demi diriku, dan aku tahu ia juga melakukan
ini untukku. Aku hanya merasa sangat, sangat bahagia, bersyukur, sekaligus
merasa bersalah.”
“Jika
kamu bahagia, maka tidak ada lagi yang bisa aku minta sebagai pacarmu.”
“Ia sangat bersemangat saat
berbicara kepadaku,
tau? Ia
mengatakan kepadaku bahwa ia
menginginkan kamu mengalami pesta ulang
tahun yang paling membahagiakan dalam hidupmu, dan bahwa keterlibatanku
memainkan peran penting dalam mewujudkannya. Ketika ia memintaku dengan begitu
tulus, bagaimana mungkin aku menolak untuk membantu? Selain itu, jika aku bisa
menjadi bagian dari kebahagiaanmu, Mahiru-san, kehormatan apa lagi yang lebih
baik?”
Saat
kata-kata lembut Koyuki tersampaikan
padanya, air mata lain menetes dari mata Mahiru, mengalir pelan di pipinya yang
memerah. Amane secara naluriah memahami sifat emosi yang meluap dan
bermanifestasi sebagai air mata. Sadar bahwa ia telah melembutkan hati Mahiru
sepanjang hari, ia memberikan sapu tangan yang ia simpan di dekatnya. Mahiru
menerimanya dengan senyum kecil penuh syukur.
“Sekali
lagi, sudah lama tidak bertemu, Mahiru-san.”
Setelah
menunggu luapan emosi Mahiru terhapus dengan sapu tangan itu, Koyuki dengan
lembut menyapanya sekali lagi.
Menyaksikan
interaksi mereka, Amane berpikir mungkin akan lebih baik untuk meninggalkan
mereka untuk reuni yang telah lama ditunggu-tunggu secara pribadi. Namun, saat
ia mulai melangkah pergi, ujung jari Mahiru dengan lembut menggenggam lengan
bajunya, sebuah isyarat kecil perlawanan yang secara alami membuatnya terpaku
di tempat. Meskipun Mahiru mungkin tidak mempermasalahkan hal itu, Amane
khawatir kehadirannya akan mengganggu reuni mereka. Namun ketika ia melirik
Koyuki, dia
hanya tersenyum hangat dan, dengan tatapannya,
mendorongnya untuk tetap tinggal.
Sepertinya
Koyuki tidak menganggapnya sebagai pengganggu reuni mereka.
Mahiru
menepuk kursi di sebelahnya di sofa, dengan lembut mendorong Amane untuk duduk
di sampingnya.
Ketika
Amane melihat ke layar laptop, senyum Koyuki yang selalu ceria namun sulit
dipahami muncul di wajahnya. Meskipun Ia ragu-ragu sejenak, Ia percaya bahwa Ia
bukannya tidak diterima dan diam-diam
duduk di sebelah Mahiru.
“Kita
telah bertukar surat dalam beberapa kesempatan, tetapi aku tidak pernah— ... Kira-kira apa pantas
bagiku untuk menghitung jumlah pertemuan kita, tetapi aku tidak pernah memiliki
kesempatan untuk melihat seberapa banyak kamu telah berkembang... sampai saat
ini. Aku benar-benar bersyukur atas kesempatan ini.”
“Su-Sudah lama sekali, Koyuki-san...”
“Astaga,
tolong tunjukkan senyummu daripada air mata itu. Bagaimanapun juga, kamu telah
memberiku kesempatan berharga untuk melihat wajahmu.”
“Baiklah.”
Mahiru,
akhirnya menangkap air mata besar yang terus tumpah dari matanya dengan sapu
tangan, berhasil menunjukkan senyum cerah. Melihat hal ini, ekspresi Koyuki
melembut menjadi senyuman lega.
“Tapi,
setelah kupikir-pikir, fakta bahwa kamu bisa menangis secara terbuka sekarang merupakan suatu
hal yang patut dirayakan. Itu menunjukkan bahwa kamu telah mendapatkan kekuatan
untuk menunjukkan dirimu kepada orang lain di saat-saat yang rentan.”
Sebagai
seorang anak kecil, Mahiru
adalah seorang yang kuat tetapi juga rapuh, tidak pernah mau menunjukkan
kelemahannya, bahkan kepada Koyuki. Dia jarang menunjukkan air matanya,
memendam semua yang ada di dalam dirinya dan tidak dapat mengandalkan siapa
pun, tidak peduli seberapa besar dia
terluka. Mahiru tidak
punya pilihan selain menanggung semuanya sendirian. Tapi sekarang, Mahiru telah
melepaskan cangkang kaku itu. Dia sudah berubah
menjadi lebih lembut, lebih terbuka, namun pada saat yang sama, dia telah tumbuh lebih kuat dan
tangguh.
“Kamu
telah tumbuh dengan cantik
sekali, Mahiru-san.”
“...
Terima kasih.”
“Kamu
terlihat jauh lebih cerah dibandingkan dengan terakhir kali aku melihatmu. Ada
cahaya yang berbeda di matamu. Kamu pasti diberkati dengan lingkungan yang
indah. Aku benar-benar senang."
“Ya...”
Suara
Koyuki, salah satu suara lega yang dalam, tidak salah lagi berasal dari
seseorang yang benar-benar peduli pada Mahiru.
Senyum
lembutnya membawa keprihatinan dan kelegaan, mengungkapkan betapa dia sangat
mengkhawatirkan Mahiru saat itu.
Meskipun
Mahiru akhirnya berhenti menangis, dia telah mengadopsi postur tubuh yang
sangat baik, punggungnya lurus dan tubuhnya sedikit tegang, seolah-olah dia
mencoba untuk mengecilkan dirinya sendiri. Melihat hal ini, Koyuki mendekatkan
tangannya ke mulutnya dan tersenyum dengan anggun, geli melihat reaksi Mahiru.
Sambil
tertawa, Koyuki berkata, “Kamu
tidak perlu bersikap terlalu formal
begitu—aku bukan lagi salah satu karyawanmu. Aku
hanya seorang wanita tua biasa sekarang.”
“A-Aku...
sudah lama sekali, dan, um, aku sedikit gugup!” Mahiru tergagap.
“Ya
ampun. Hehe, kurasa perasaan itu wajar, karena kebahagiaanku telah membuatku
bersikap sedikit terlalu akrab juga.”
Melihat
Mahiru dengan mudah merasa malu dengan jawabannya, senyum Koyuki sedikit
melebar.
“Maafkan
aku karena menanyakan hal yang sangat biasa, tapi bagaimana kabarmu?
Meskipun aku sudah membaca surat-surat yang kau kirimkan dari waktu ke waktu,
aku ingin mendengarnya langsung darimu.”
“Ya, aku
baik-baik saja. Cukup...”
“Kaku
sekali. Kamu tidak
perlu terlalu gugup-aku tidak akan marah atau menghilang darimu.”
“Mengerti...”
“Tuh, kamu bersikap
formal lagi.”
“Uuu...”
“Ini
adalah sesuatu yang harus kamu biasakan, Mahiru-san.”
Bahkan
setelah ditunjukkan lagi, ketegangan Mahiru tampaknya tidak berkurang. Dia terus duduk dengan punggung yang
sangat tegak, menunjukkan betapa gugupnya dirinya
selama reuni yang sudah lama ditunggu-tunggu ini. Namun demikian, caranya menatap layar dengan mata penuh
kepercayaan dan kasih sayang, menunjukkan bahwa hanya masalah waktu saja,
sebelum dia merasa nyaman kembali.
“Tapi
sungguh, aku senang mendengar kamu baik-baik saja. Meskipun, aku sudah bisa
tahu dari raut wajahmu... Kamu telah bertemu dengan seseorang yang luar biasa,
bukan?”
“Ya.”
Terkejut
oleh pujian yang tidak terduga, Amane duduk dan membetulkan postur tubuhnya. Fakta
bahwa Mahiru segera menegaskan hal itu membuatnya merasa malu, menyebabkan
tatapannya mengembara dengan tidak nyaman.
“Jika kamu bilang begitu, maka
kurasa aku tidak perlu khawatir. Asal
kamu tahu saja, aku sudah tahu kalau ia sudah berlarian
dan bekerja keras demi kekasihnya yang manis, jadi aku tidak pernah meragukan
kalau ia orang yang baik.”
Koyuki
mengeluarkan tawa yang lembut dan halus, berkata, “Setelah hidup
cukup lama, kamu bisa dengan mudah membedakan orang yang baik dan yang buruk.”
Meskipun Amane merasakan sedikit rasa sakit di perutnya, ia tetap tersenyum
sopan, ia tahu betul bahwa keputusannya sendiri untuk menghubunginya tanpa
izinlah yang menyebabkan situasi ini. Amane
menyimpan ketidaknyamanannya untuk dirinya sendiri.
Entah
Koyuki menyadari perasaan campur aduk Amane atau tidak, dia mempertahankan
ekspresi elegannya, tidak menunjukkan tanda-tanda perubahan.
“... Aku
benar-benar tidak bisa berterima kasih pada Amane-kun,” ucap Mahiru. “Ia sudah
melakukan banyak hal untuk mempersiapkan semua ini untukku, bahkan sampai
mempertemukanku denganmu, Koyuki-san.”
“Mahiru,
kamu tidak perlu khawatir. Aku hanya melakukannya karena aku ingin
melakukannya.”
Sebenarnya,
Amane merasa bahwa seharusnya ia yang selalu meminta maaf, namun kenyataan
bahwa Mahiru begitu bahagia membuatnya merasa bangga sekaligus lega. Meskipun
metodenya agak dipertanyakan, namun sulit baginya untuk merayakannya sebanyak
yang ia inginkan.
“Karena
ini hari ulang tahunmu, aku ingin kamu meluapkan kebahagiaan. Meskipun
sejujurnya, aku tidak yakin apa ini akan berhasil—
kesempatannya cuma setengah-setengah.”
Amane
sudah mengambil risiko dianggap sebagai pengganggu, dimarahi, atau bahkan tidak
disukai karena tindakannya. Jadi, sungguh melegakan, bahwa Koyuki dan Mahiru
memaafkannya dengan mudah.
“Jika
sedikit berlari-lari dari diriku bisa membuat kalian bahagia, maka itu sepadan
dengan setiap detik yang kuhabiskan... Aku tahu kamu telah bekerja keras setiap hari
untukku juga, jadi aku ingin membalasnya kembali. Aku ingin melihatmu lebih
banyak tersenyum. Meskipun aku akhirnya membuatmu menangis tadi.”
Saat
Amane berbicara, air mata terus mengalir
dari sudut mata Mahiru, masing-masing merupakan tetesan yang jernih dan indah. Amane segera meraih saputangan itu
lagi, mengusap air matanya dengan lembut. Banyaknya emosi yang
diekspresikannya, sesuatu yang tidak terbayangkan dari Mahiru yang dulu
dikenalnya, membuatnya merasa seolah-olah saputangan itu sendiri akan segera
menangis. Namun, respons yang luar biasa ini meyakinkannya bahwa ia telah
menyentuh hati Mahiru dengan cara yang benar-benar berarti.
“Jadi,
apa itu membuatmu bahagia?”
“Ya,
tentu saja.”
Ketika
Mahiru tersenyum cerah dan riang sesuai dengan usianya, seolah-olah mengatakan dia tak bisa terus menangis, baik
Amane maupun Koyuki merasakan gelombang kelegaan menyelimuti mereka.
“Aku
ingin mendengar lebih banyak tentang pemuda di sebelahmu, Mahiru-san. Kalian
berdua berpacaran, ya?”
“... Ya, memang. Ia
adalah orang pertama yang benar-benar kucintai. Ketika aku bersamanya, aku
merasa tenang, dan hatiku terasa hangat. Ia adalah orang pertama yang
mencintaiku apa adanya, baik kedok penampilan
maupun diriku yang sebenarnya. Ia
adalah seseorang yang tahu segalanya tentang diriku, namun tetap menyayangiku. Ia melihat masa depan bersamaku
dan siap untuk berjalan di jalan itu bersama-sama.”
Amane
tidak menatap langsung ke arah Mahiru, melainkan ke layar di depannya. Meskipun
begitu, situasi memiliki seseorang yang disayangi Mahiru seperti orang tua di
dekatnya membuatnya merasa sangat malu. Cara Mahiru
dengan tulus, gembira dan penuh kasih berbicara tentang dirinya, memuji karakternya dan
mengekspresikan seberapa besar dia
ingin bersamanya, sungguh luar biasa. Namun, kegembiraan karena mengetahui
bahwa Mahiru sangat mencintainya, bahkan lebih kuat lagi. Tanpa mengalihkan
pandangannya dari layar, tangannya secara naluri mencari tangannya. Pada saat
yang sama, Mahiru tampaknya juga mengulurkan tangan, dan ujung jari mereka
bertemu dengan lembut di antara keduanya.
Saat
jari-jari mereka secara alami meluncur bersama dari ujung ke telapak tangan
mereka, terjalin, Amane merasakan kehangatan tangan Mahiru, jauh lebih hangat
dari biasanya, melebur menjadi miliknya.
“Benarkah?
Aku senang kamu tampaknya telah menemukan pasangan yang luar biasa. Sungguh,
aku sangat bahagia untukmu.”
Kehangatan
dan kepercayaan yang terpancar dari tangan Mahiru membuat Amane tersenyum, dan
Koyuki dengan cepat menangkapnya. Ekspresinya, meskipun lembut, membawa sedikit
kehangatan geli, bahkan lebih hangat dari tangan mereka yang saling bertautan.
Kesadaran ini membawa gelombang rasa malu yang membanjiri Amane, yang tiba-tiba
merasa sedikit—tidak,
cukup—malu
sebagai pacar yang diperkenalkan.
Sungguh
melegakan bahwa Koyuki, tidak seperti seorang ibu yang suka menggoda, tidak
berniat mengolok-oloknya. Dia
tetap mempertahankan penampilannya yang tenang dan lembut, hanya mengawasi
mereka dengan senyum yang nyaman dan penuh persetujuan.
“Sejak
kecil, Mahiru-san sudah lebih peka
dari kebanyakan orang, jadi aku khawatir kalau dia akan tumbuh menjadi gadis yang tidak
tertarik pada orang lain. Tetapi, tampaknya kekhawatiranku tidak berdasar.”
Kekhawatiran
yang muncul karena telah mengamati Mahiru sejak dia
masih kecil, adalah sesuatu yang bisa dipahami dan disetujui oleh Amane. Dirinya mau
tak mua jadi berpikir bahwa itu adalah sebuah keajaiban Mahiru
telah memilih seseorang seperti dirinya—pikiran
yang mungkin akan dimarahi Mahiru jika dia tahu.
“Ngomong-ngomong,
apa kamu
sudah memegang perutnya?” Koyuki bertanya, mengingat apa
yang dia katakan pada Mahiru
bertahun-tahun yang lalu.
“... Apa
aku sudah memegangnya...?” Mahiru bertanya
kembali dengan bingung.
“Ya,
dengan cengkeraman tangan besi,” kata Amane.
“Ya
ampun.”
Amane
mengangguk dengan tegas, tanpa sedikit pun keraguan dalam pikirannya. Ia disambut dengan senyum
Koyuki yang penuh pengertian, seakan-akan dia
tidak mengharapkan hal yang lebih dari itu. Setelah sering mendengar bahwa
kemampuan memasak Mahiru diasah di bawah bimbingan Koyuki, Amane, yang secara
teratur menikmati makanan lezat itu, merasa dirinya
harus membungkuk dalam rasa terima kasih yang dalam pada sumber kehebatan
kuliner Mahiru.
Saat
Amane hendak menundukkan kepalanya untuk berterima kasih dari sudut yang
berbeda, ia melihat Mahiru melambaikan tangannya yang bebas dengan bingung,
seolah-olah mencoba menghentikannya.
“Ah! Tapi
bukannya berarti seolah-olah ia menyerahkan
semuanya padaku! Amane-kun juga memasak! Ia
selalu membantuku di dapur, dan ia bahkan menyiapkan makanannya sendiri! Ini
lebih seperti kami bergantian atau bertukar giliran ... Ia benar-benar melakukan bagiannya
dalam, um, hidup bersama denganku!”
Mahiru
tidak ingin Koyuki salah mengira bahwa Amane menyerahkan segalanya padanya dan
memanfaatkan usahanya. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa Mahiru memikul
sebagian besar tanggung jawab. Jadi Amane menambahkan, “Tapi sebenarnya,
masakan Mahiru lah yang
terbaik, dan aku benar-benar menyukai masakannya,” yang membuat mata Mahiru
berkaca-kaca lagi.
Meskipun
dia tidak benar-benar menangis, Amane bisa merasakan sedikit gemetar dan
genggaman yang lebih kuat dari biasanya dari tangan Mahiru.
“Aku
tahu, aku tahu. Kamu
tidak perlu panik, Mahiru-san. Aku sangat mengerti. Ia adalah pasangan idealmu,
bukan?”
“Ya!”
Bahkan dengan matanya yang berkilauan karena emosi, Mahiru mengangguk dengan
tegas dan melanjutkan tanpa ragu-ragu. “Lagipula, kamu adalah orang yang
menyuruhku untuk memilih seseorang yang benar-benar akan membuatku bahagia,
Koyuki-san.”
“Ya, tentu
saja.”
“Kamu memang benar, Koyuki-san.
Bahkan ketika kamu bersamaku, tetapi terutama setelah kamu pergi, aku
berinteraksi dengan begitu banyak orang yang berbeda. Saat itulah aku
menyadari...orang yang akan membuatku bahagia adalah seseorang yang tidak mencoba
untuk membuatku sesuai dengan cetakan, yang tidak menghakimiku hanya dari apa
yang mereka lihat di permukaan, dan yang tidak pernah mengabaikan perasaanku.”
Karena
Mahiru telah dikelilingi oleh begitu banyak orang yang berbeda sepanjang
hidupnya, maka, standar untuk hubungannya kemungkinan besar adalah apakah pihak
lain dapat menghormatinya sebagai seorang individu atau tidak. Ini adalah
kriteria yang sederhana namun sangat penting-sesuatu yang esensial, namun
sering kali sulit ditemukan pada orang lain.
“Amane-kun
selalu mengutamakan perasaanku dan berusaha memahamiku. Ia jatuh cinta dengan diriku yang
sebenarnya, dan ia menerimaku terlepas dari pengalaman masa kecilku. Ia menghormatiku, dan itu
membuatku sangat bahagia... Meski demikian ia bisa menjadi sedikit terlalu segan, yang membuatnya malah menjadi begitu pasif.”
“Ini demi
kebaikanmu sendiri, Mahiru!”
“Ak—Aku tahu itu!…Aku mengerti betul
bahwa kamu hanya berhati-hati karena kamu sangat menghormatiku.”
Amane mau
tidak mau merasa seolah Mahiru baru saja secara halus memanggilnya pengecut,
meskipun Ia tahu “kehati-hatian” ini adalah sesuatu yang telah mereka sepakati
bersama. Namun, Amane jadi penasaran
apa ada ketidakpuasan yang mendasari ketidakpuasannya yang tidak ia tangkap.
Saat
Amane menatapnya, Mahiru buru-buru menambahkan, “Bu-Bukannya
aku tidak bahagia atau apa! Maksudku,
mungkin kamu tak
perlu selalu mengkhawatirkan perasaanku—kamu
bisa memprioritaskan perasaanmu sendiri.” dia
tampak malu dan agak tidak yakin dengan apa yang dikatakannya, membuat Amane,
sebagai pacarnya, memiliki satu hal lagi yang harus dipikirkan.
Tapi jika
aku melakukan itu, kamulah
yang akan kepanasan.
Ia tidak
berniat melanggar sumpah yang dibuatnya saat itu, tapi mendengar kata-kata
Mahiru membuatnya bertanya-tanya…
Selama
aku tidak mengingkari janji kita, mungkin kita bisa melakukan hal yang ingin
aku lakukan?
Amane
dengan serius mempertimbangkan apa memanjakan Mahiru dengan cara yang ia
sarankan adalah ide yang baik, mengingat toleransi yang terbatas untuk hal-hal
seperti itu. Ia menatapnya dengan tatapan serius, tapi Mahiru, mungkin malu
dengan kata-kata berani yang diucapkannya, hanya tersipu malu dan sepertinya
tidak menyadari pikiran yang ada di benaknya.
“Aku
senang melihat kalian berdua dekat. Meskipun begitu, aku penasaran tentang
bagaimana kamu
menyebutkan tinggal bersama.”
Meskipun
Koyuki tidak memarahi mereka, ada nada ketidakpercayaan dalam suaranya yang
membuat pipi Mahiru berkedut malu. Dia
menyadari bahwa membicarakan hal seperti itu di depan orang yang dia kagumi seperti orang tua
mungkin bukan ide yang baik.
“A-Ah!
T-Tidak, bukan seperti
itu! Amane-kun sebenarnya tetanggaku—maksudku, kami tinggal di gedung apartemen
yang sama! Sama sekali tidak ada yang terjadi yang membuatmu khawatir, Koyuki-san!”
Mahiru bergegas menjelaskan semuanya dengan jelas.
“Aku
bersumpah kalau aku
tidak melakukan apapun yang akan menyakiti Mahiru dengan cara apapun.”
Dari
sudut pandang Koyuki, wajar saja jika dia
khawatir seseorang yang dia anggap
sebagai anak kesayangannya akan dimanfaatkan oleh pria yang tidak dikenalnya.
Menyadari betapa cerobohnya kata-kata mereka, baik Mahiru maupun Amane
menyesali ungkapan mereka yang buruk. Namun, Koyuki, setelah menghela nafas
pelan yang menunjukkan campuran antara kekhawatiran dan kekesalan, mengalihkan
tatapan lembut ke arah Mahiru.
“Aku bukan berada di posisi
untuk mengkritik hubungan kalian,
tapi setidaknya jika kalian menghabiskan begitu banyak waktu bersama dan masih
rukun, itu pertanda baik. Semakin banyak waktu yang kalian habiskan bersama,
semakin kalian akan melihat sifat-sifat yang tidak diinginkan satu sama lain.”
“Ku-Kurasa tidak ada... Um, kalaupun
ada, kami selalu bisa membicarakannya dan berusaha untuk memperbaikinya
bersama.”
Sering
dikatakan bahwa hidup bersama dapat mengungkapkan perbedaan kebiasaan,
kebiasaan keuangan, kebersihan, akal sehat, dan etika, yang dapat membuat
frustrasi. Namun, meskipun telah menghabiskan begitu banyak waktu bersama,
Amane belum pernah menemukan masalah besar dengan Mahiru yang mengganggunya.
Jika dia harus menunjukkan sesuatu, itu adalah kecenderungannya untuk menahan
diri terlalu banyak dan tindakannya yang kadang-kadang berani didorong oleh
pengaruh Chitose. Yang pertama adalah sesuatu yang telah diperbaiki oleh Mahiru
saat dia menjadi lebih jujur, dan yang
kedua lebih merupakan masalah dengan Chitose sendiri— sesuatu yang mungkin memerlukan
pembicaraan serius dengannya.
Hal ini
membuat Amane mempertimbangkan apa Mahiru memiliki keluhan tentang dirinya. Dia
tidak menunjukkan banyak masalah akhir-akhir ini, meskipun ketika mereka
pertama kali mulai berinteraksi, dia cukup jujur tentang hal-hal yang tidak
disukainya. Ada kemungkinan bahwa Amane
sudah membahas sebagian besar hal yang Mahiru ingin
ubah darinya. Namun demikian, Amane masih
khawatir bahwa mungkin masih ada hal-hal yang belum dia sebutkan, jadi ia memasang
wajah serius dan berkata kepadanya.
“Kalau
ada sesuatu yang tidak kamu sukai, jangan ragu-ragu untuk mengatakannya
kepadaku, oke? Aku tidak ingin membuatmu kesulitan. Aku ingin kita berdua
merasa nyaman, dan kalau aku bisa mengubah sesuatu, aku akan melakukannya”
Sebagai
tanggapan, Mahiru dengan cepat menggelengkan kepalanya, jelas bingung dengan
saran itu.
“Jika
ada, kamu terlalu perhatian padaku! Kamu adalah orang yang sangat luar biasa
bagiku, oke!?”
“Kamu
tidak perlu menyanjungku.”
“...
Kalau begitu, itu adalah sesuatu yang ingin kamu perbaiki. Tolong belajarlah
untuk menerima pujian dengan baik ketika aku memberikannya.”
Melihat
Mahiru cemberut dengan begitu jelas, bibirnya mengerucut dengan manis saat dia menepuk paha Amane dengan
lembut, dirinya tahu ia tak bisa membiarkannya
merajuk lebih jauh lagi. Sambil tersenyum, Amane
dengan cepat menjawab, “Mengerti, terima kasih,” berhasil mencegah pipinya menggembung
lebih besar lagi.
“Mahiru-san
benar-benar sudah membuka
hatinya untukmu, ya?”
Ketika
Amane melihat kembali ke layar setelah mendengar kata-kata yang menyentuh hati
itu, ia menyadari bahwa Koyuki, yang secara diam-diam memperhatikan interaksi
mereka, sedang melihat ke tempat di mana tangan mereka bermain-main. Jelas
sekali bahwa dia bisa
melihatnya dengan jelas.
Mahiru,
secara alami merasa malu, membungkukkan bahunya dan tersipu malu, yang membuat
Amane berjuang untuk menekan gelombang pasang rasa malunya sendiri, mencoba
yang terbaik untuk tidak membiarkan hal itu terlihat di wajahnya.
Koyuki
mengeluarkan tawa kecil yang lembut dan geli. Sembari
masih tersenyum, dia
mengalihkan pandangannya dengan lembut pada Amane.
“Dan kamu, Fujimiya-san? Bagaimana
pendapatmu tentang dirinya?”
“Aku...?”
“Oh,
abaikan saja aku. Itu terdengar seperti sebuah wawancara, bukan? Bukan itu yang
kumaksudkan...” Koyuki menatap Amane dengan
tatapan lembut namun tajam. “Aku ingin tahu bagaimana kamu melihat
Mahiru-san, bagaimana dia terlihat dari sudut pandangmu.”
Daripada
memberikan jawaban yang cepat, Amane memutuskan untuk mengambil waktu, berpikir
dengan hati-hati sebelum menjawab.
—Bagaimana
Amane melihat Mahiru.
Dengan
kata lain, Koyuki bertanya seperti apa sosok Mahiru di mata Amane. Rasanya
seperti dia mencoba untuk mengkonfirmasi apakah Amane, yang Mahiru katakan
telah memilihnya apa adanya, benar-benar memahaminya.
Amane
bisa mengetahui dari sikap Koyuki bahwa dia bertanya karena khawatir akan kesejahteraan
Mahiru.
Memahami
maksudnya, Amane mendapati dirinya dengan hati-hati mempertimbangkan cara
terbaik untuk menjawab pertanyaannya.
Bagaimana
aku melihat Mahiru...
Saat
Amane diam-diam melihat ke arah Mahiru yang duduk di sebelahnya, tatapan mata mereka bertemu. Perpaduan
antara harapan dan kecemasan terpantul
di matanya, menunjukkan bahwa dia
sangat ingin mendengar bagaimana perasaan Amane
yang sebenarnya. Melihat hal itu, Amane memutuskan untuk benar-benar jujur,
mengekspresikan perasaannya tanpa kepura-puraan.
“... Dia
cenderung memasang wajah berani dan memendam sesuatu, tetapi jauh di lubuk
hatinya, dia hanyalah seorang gadis kesepian yang ingin dimanja.”
Begitulah
cara Amane melihat Mahiru.
“Amane-kun!?”
“Yah,
maksudku, bukannya
menikmatinya saat aku memanjakanmu?”
“Tentu
saja! Tapi tolong, jangan katakan itu dengan santai di depan Koyuki-san!”
Tiba-tiba
saja sisi pribadinya yang tersembunyi terekspos, wajah Mahiru menjadi lebih
merah saat dia
memukul pelan lengan Amane sebagai bentuk protes. Namun, Amane tidak berniat
menarik kembali kata-katanya.
“Mahiru
pada dasarnya bisa melakukan apa saja sendiri. Dia lebih suka menjaga jarak
dengan orang lain, mencoba menangani semuanya sendiri. Karena tidak bisa
mengandalkan orang lain, dia, dengan cara tertentu, menghambat dirinya, bisa dikatakan, terjebak
oleh batasan yang dia tetapkan untuk dirinya sendiri.”
Mahiru
selalu rendah hati dan pendiam, jarang sekali mengutamakan dirinya sendiri.
Tampaknya, mungkin secara tidak sadar, dia
menghindari bersandar sepenuhnya pada Amane, karena takut menjadi beban atau
ditinggalkan. Kecenderungan ini bahkan lebih kuat pada orang lain, karena
ketidakmampuannya untuk sepenuhnya mempercayai orang lain, menyebabkan dorongan
bawah sadar untuk menjadi “orang yang ideal”. Akibatnya, dia menghindari menunjukkan sisi
dirinya yang rentan, dan memilih untuk mengenakan kedok dan menampilkan dirinya sebagai
gadis yang sempurna kepada dunia luar, membuat tampilan itu tampak sepenuhnya
alami.
Itulah sisi “Bidadari”
yang dilihat semua orang. Tetapi sekarang, Mahiru sudah berbeda.
“Sekarang,
dia telah belajar bagaimana mengandalkan orang lain, bersandar pada orang-orang
di sekelilingnya. Dia memilih untuk membiarkanku tinggal di sisinya. Dia cukup
mempercayaiku untuk
menunjukkan jati dirinya. Itu pasti keputusan yang sulit dan penting bagi
Mahiru, dan bagiku, itu adalah tanda kepercayaan dan cintanya yang sangat
besar.”
Karena
Mahiru percaya bahwa dirinya
tidak perlu memasang kedok persona,
bahwa tidak masalah untuk
bergantung pada seseorang, dan bahwa dia
bisa menjadi rentan, Mahiru yang sekarang ekspresif secara emosional, sedikit
sayu, dan benar-benar mencari Amane dengan hati yang terbuka, bisa muncul hari ini. Amane merasa bangga
akan hal itu sebagai harta terbesarnya.
“Aku
sudah mengatakan padanya, bahwa saat
bersamaku, dia tidak perlu bertingkah seperti gadis yang sempurna. Dia tidak
perlu berusaha terlalu keras. Dia bisa menjadi dirinya sendiri dan bergantung
padaku. Dan ketika dia seperti itu, dia sangat menggemaskan... Itulah yang membuatku sangat ingin
memanjakannya.”
Setelah
melihat perubahan dalam diri Mahiru—dari seseorang yang menjaga
kesopanan, mempunyai dinding tak
terlihat, selalu menahan diri, menjadi seseorang yang sekarang, meskipun masih
rendah hati, secara terbuka bersandar padanya dan mengungkapkan perasaannya
yang sebenarnya—hanya membuatnya semakin menawan bagi Amane. Tentu
saja, dirinya yang biasa, tenang, dan mandiri, serta sisi nakal yang terkadang
mencoba memanjakannya, juga tidak dapat disangkal, sangat menggemaskan. Tetapi,
ini adalah jenis manis yang berbeda.
Kadang-kadang,
Amane tidak bisa tidak merasakan
dorongan yang luar biasa untuk memanjakannya sepenuhnya, sampai-sampai
membiarkannya melebur ke dalam kondisi kebahagiaan yang murni. Namun demikian,
ia tahu bahwa hal itu mungkin bertentangan dengan perasaan Mahiru sendiri.
Jadi, Amane menetapkan batas, memilih untuk
memanjakannya hanya sebanyak yang dia inginkan. Ia bertanya-tanya apakah Mahiru
menyadari keseimbangan halus yang coba dipertahankan Amane.
Wajah
Mahiru berubah menjadi merah padam. Sedikit gemetar, rasa malunya terisi saat
kata-kata Amane terus meresap. Ia terlihat seperti akan menangis, tapi dalam
hal ini, Amane berharap wajahnya yang hampir menangis ini masih dalam zona
aman.
“Ah, tapi
bukan hanya karena kamu imut aku jadi
ingin memanjakanmu. Aku sangat mengagumi dan menghormati betapa pekerja keras,
berdedikasi, dan disiplinnya kamu, Mahiru. Karena itu, aku ingin menjadi tempat
yang nyaman untukmu. Aku tidak akan memanjakanmu saat kamu tidak
menginginkannya!”
Tidak
peduli seberapa besar Amane mencintai Mahiru, memanjakannya secara berlebihan
di luar keinginannya tidak akan ada gunanya bagi mereka berdua. Amane berhati-hati untuk tidak
membiarkan keinginannya sendiri mengesampingkan apa yang terbaik untuknya.
Prioritas utamanya adalah memastikan bahwa Mahiru dapat hidup setiap hari
dengan bahagia dan damai, jadi bahkan ketika dia memanjakannya, dia tidak
pernah melakukan segala cara.
“Um, aku
bersumpah bahwa aku takkan pernah melakukan sesuatu seperti merampas sesuatu
yang berharga darinya, membuat tuntutan sepihak, atau menyakitinya—apa pun
yang mungkin kamu khawatirkan, Kujikawa-san. Aku tahu perkataanku saat ini mungkin tidak
memiliki bobot yang besar, tapi aku tidak berniat untuk melanggar janji ini.”
Koyuki
membelalakkan matanya sedikit karena terkejut sebelum menghela napas pelan dan
menyetujui. Amane menyadari bahwa ia telah memahami maksud pertanyaannya dengan
benar. Sepertinya jawaban yang dirinya
berikan adalah jawaban yang diharapkan Koyuki.
“Bagiku,
Mahiru adalah gadis yang kucintai dan kusayangi, gadis yang ingin kubuat
bahagia, tapi dia juga setara denganku. Aku tidak mau membebaninya atau
mengabaikan pendapatnya. Aku ingin kami membicarakan segala sesuatunya dan
bekerja sebagai sebuah tim untuk membuat waktu kami bersama senyaman mungkin.
Inilah harapanku agar kami dapat menjadi tempat yang aman dan bahagia bagi satu
sama lain. Dan aku
benar-benar meyakini bahwa aku dan Mahiru dapat mencapai hal itu
bersama-sama."
Amane
senang memanjakan Mahiru dan ingin mendedikasikan dirinya untuknya, tetapi ia
tahu bahwa Mahiru tidak ingin hanya menjadi penerima dari perhatian itu. Yang
diinginkan Mahiru adalah agar mereka berdua saling menerima kelebihan dan
kekurangan masing-masing, tumbuh bersama dengan cara yang tepat, dan menjalani
kehidupan damai yang dipenuhi dengan rasa saling peduli dan pengertian. Hal ini
tidak akan berhasil jika hanya dilakukan secara sepihak. Mereka berdua perlu
berbagi beban, saling mendukung, dan hidup bersama secara setara. Inilah yang
diinginkan Mahiru, dan itulah yang dirasakan Amane juga.
“Jadi,
jangan khawatir. Aku akan membuat Mahiru bahagia. Bersama-sama, kita akan
menjadi bahagia.”
Meskipun
mungkin terdengar sedikit murahan bagi siapa pun yang mendengarnya, Amane tahu
bahwa kata-kata itu adalah perasaannya yang tulus, keyakinan yang tidak
berubah, dan janji untuk terus berusaha. Hidup bersama berarti saling
menghormati, mempercayai, dan memahami, menerima perbedaan satu sama lain,
berbagi beban, dan mendukung satu sama lain. Itulah jalan menuju kebahagiaan.
Amane yakin bahwa dirinya bisa
berjalan di jalan ini dan berjuang untuk kebahagiaan bersama Mahiru.
Meskipun
Amane merasa sedikit malu, namun inilah satu hal yang ingin ia sampaikan dengan
kejujuran dan ketepatan. Sembari menatap
langsung ke mata Koyuki dengan tulus, Amane
mengungkapkan perasaannya. Koyuki perlahan-lahan menarik napas dalam-dalam,
seakan-akan meresapi beratnya kata-katanya.
Amane
tidak mempedulikan detak jantungnya yang semakin cepat saat ia menunggu respon
dari Koyuki. Setelah beberapa saat, dia memberinya senyuman hangat dan lembut
yang membawa perasaannya yang paling dalam, seakan sekuntum bunga yang baru
saja mekar. Seakan-akan ketegangan di dalam ruangan itu tiba-tiba menghilang.
Tekanan halus dari Koyuki yang memaksanya untuk mempertahankan ketenangannya,
lenyap tanpa bekas.
“Sekali
lagi, aku yakin Mahiru-san telah memilih orang yang tepat.”
Apakah
kata-kata itu dimaksudkan untuk meyakinkan Amane atau untuk menegaskan kembali
pemikirannya sendiri? Jawabannya tidak jelas. Namun demikian, yang pasti, Amane telah mendapatkan pengakuannya.
“Aku
percaya pada penilaian Mahiru-san, tentu saja, tapi aku ingin memastikan... Aku
minta maaf karena telah membuatmu merasa tidak nyaman. Jika aku memiliki
kekhawatiran tentang karaktermu, aku siap untuk melakukan apa pun, bahkan di
usia tuaku, untuk menarikmu menjauh darinya."
Amane
menyadari bahwa segala sesuatunya dapat dengan mudah meningkat menjadi situasi
yang cukup sulit jika dirinya salah
langkah, dan dia benar-benar lega—meskipun ia
hanya memendam
hal ini untuk dirinya sendiri—bahwa dirinya
telah memenuhi standar Koyuki. Pikiran untuk menjauh dari Mahiru, yang telah
berkomitmen penuh untuk membahagiakan dirinya selama sisa hidup mereka, tidak
tertahankan. Namun, apa yang akan menjadi lebih sulit untuk diterima adalah
gagasan bahwa ia mungkin telah gagal memenuhi harapan Koyuki, menyoroti
kekurangannya sendiri.
“Ti-Tidak perlu seperti itu!
Amane-kun adalah orang yang baik, dan orang tuanya juga baik...!”
“Oh,
sepertinya kamu sudah memperkenalkan dirimu pada orang tuanya.”
Kujikawa-san
mungkin mirip dengan ibuku. Mereka fokus pada detail yang memicu rasa ingin
tahu mereka, pikir Amane sejenak. Meskipun kepribadian
mereka jelas berbeda, ada kekuatan halus dalam diri Koyuki yang membuatnya
merasa tangguh.
“Pintar
sekali. Mendapatkan pasangan yang menghargaimu dan kemudian memastikan untuk
menutupi semua kekuranganmu tentu saja merupakan langkah yang penting untuk
dilakukan. Orang seperti itu sudah jarang ditemukan akhir-akhir ini.”
“U-Uuu...
Koyuki-san, itu mungkin sedikit terlalu blak-blakan-mengatakannya seperti itu
membuatnya terdengar buruk. Bukan itu yang ingin aku lakukan...” Mahiru
menjelaskan.
“Maaf,”
Amane menyela. “Jika ada, akulah yang menutupi semua dasarnya.”
“Amane-kun!?”
“Meski,
sebenarnya, ibuku mungkin telah melakukan setengah dari pekerjaan untuk kami...
Dia sangat bersemangat, seperti 'Mana
mungkin aku melewatkan kesempatan untuk memiliki anak perempuan yang lucu,
sopan, dan luar biasa!’”
Menengok
ke belakang, Amane tidak dapat menghilangkan perasaan bahwa Shihoko telah
dengan antusias meletakkan dasar-dasarnya, bahkan sebelum ia sendiri jatuh hati
pada Mahiru. Entah itu intuisi dan kesadarannya yang luar biasa, atau tekadnya
yang bulat, yang jelas, dia terlihat seperti sedang
menjalankan sebuah misi.
Ada
kalanya Amane menganggap kegigihan Shihoko terlalu berlebihan, tapi Ia tidak
bisa menyangkal kalau orang tuanya berperan dalam mempertemukan dirinya dan
Mahiru. Jadi, meskipun Amane tidak bisa sepenuhnya membenci
keterlibatan mereka, sebagai seseorang yang ingin menangani segala sesuatunya
sendiri, ia terkadang berharap bisa memberi tahu mereka bahwa itu adalah campur
tangan yang tidak perlu.
“…Jika kamu mengatakannya seperti itu, aku
merasa seolah-olah tongkat estafet diserahkan kepadaku untuk babak kedua…”
“Hah?”
“Oh, bukan apa-apa.”
Mahiru
menggumamkan sesuatu dengan pelan, mungkin untuk menambahkan apa yang dikatakan
Amane, tetapi karena terjebak dalam gerutuan batinnya tentang Shihoko, Amane tidak mendengarnya dan bertanya
padanya apa yang dikatakannya. Namun, Mahiru, yang sekarang tampak tidak mau
melanjutkan, berbalik sambil mendengus kecil. Ini adalah isyarat yang sering
dia gunakan ketika mencoba menyembunyikan sesuatu, tetapi Amane memutuskan
untuk tidak mendesaknya. Dia hanya harus menunggu sampai dia siap untuk
membaginya dengannya suatu hari nanti.
Tampaknya
mikrofon telah menangkap kata-kata Mahiru, dan Koyuki, yang telah mendengarnya
dengan jelas, menanggapi dengan geli, “Wah, wah, wah,”
disertai dengan senyum yang jenaka dan tidak dapat disangkal lagi. Dia
membiarkan masalah itu berlalu dengan anggukan kepala yang lembut.
“Sepertinya
aku mengkhawatirkan sesuatu yang
tidak perlu. Mungkin karena usia tua, aku
jadi terlalu berhati-hati... Aku minta maaf atas campur tangan dan
kekhawatiranku yang tidak perlu,”
kata Koyuki, menundukkan pandangannya untuk merenungkan tindakannya. Ketika
Mahiru tampak seperti akan protes, Koyuki dengan lembut menghentikannya dengan
pandangan sekilas. “Dengan
ini, akhirnya aku bisa meredakan kekhawatiranku yang sudah lama ada. Meskipun
aku tidak lagi dalam posisi untuk ikut campur, aku tidak bisa menahan diri
untuk tidak memikirkan ke arah mana
jalan yang dipilih Mahiru-san.”
Hampir
tak terdengar, Amane mendengar suara pelan “Ah—” dari sampingnya.
“Tapi
sekarang, aku tahu semuanya akan baik-baik saja. Setelah melihat bagaimana
keadaan sekarang, aku merasa yakin untuk meninggalkannya dalam penjagaanmu. Aku
tahu mungkin tampak lancang untuk mengatakannya, sebagai orang luar yang pernah
terpisah darinya sebelumnya, tetapi sebagai orang dewasa yang pernah merawat
Mahiru-san di masa lalu, itulah perasaanku yang sebenarnya.”
Koyuki
telah menguji Amane, semuanya demi kepentingan terbaik Mahiru. Amane memahami
hal ini dengan baik. Sejak masa kecil Mahiru, Koyuki selalu berada di sisinya
untuk melindunginya dari rasa kesepian, memastikan bahwa dia dididik dengan
baik sehingga dia tidak akan disakiti oleh orang lain, dan membantunya tumbuh
menjadi seseorang yang tidak akan menghadapi kesulitan di masa depan. Dia telah
membesarkan Mahiru dengan cinta yang melimpah, memastikan bahwa dia tidak akan
kehilangan harapan pada orang lain dan bahwa suatu hari dia bisa membuka
hatinya untuk seseorang.
Dan
sekarang, setelah semua cinta dan perhatian yang telah dia curahkan kepada
Mahiru, Koyuki telah memutuskan bahwa sudah aman untuk menyerahkan tongkat
estafet kepada Amane.
“Lain
kali, silakan datang mengunjungiku bersama. Aku ingin sekali memperkenalkan
kalian kepada putraku dan istrinya juga. Aku akan memberitahu mereka tentang
anakku yang menggemaskan lainnya dan pacarnya. Oh, dan jangan khawatir, putraku
tidak akan cemburu hanya karena aku mendapatkan satu atau dua anak lagi.”
Setelah
mendengar Koyuki memanggilnya sebagai anaknya, Mahiru tampaknya tidak dapat
menahan diri lebih lama lagi. Air matanya yang tadinya reda kini mengalir deras
lagi, seolah-olah dia sedang menebus semua air matanya yang tidak pernah dia
tumpahkan sepanjang hidupnya. Lapisan pertahanan yang rapuh yang dibangunnya
tampak terkelupas, dan dengan isak tangis samar, Mahiru membiarkan dirinya
menangis tanpa tertahan. Melihat Mahiru menangis begitu terbuka, ekspresi
Koyuki melembut menjadi cinta keibuan yang murni, senyumnya hangat dan
menyelimuti. Bersama Amane, dia diam-diam menunggu Mahiru untuk mengendalikan
gelombang emosinya sendiri.
“Ufufu,
tapi aku belum memberikan restuku untuk menikah. Aku perlu melihat dengan
mataku sendiri dirinya itu pira
seperti apa, bukan hanya melalui panggilan video.”
Saat
Mahiru sudah mulai tenang, Koyuki dengan
jenaka dan sengaja mengumumkan niatnya, membuat Amane hampir tersedak napasnya.
Ia mencoba untuk menanggapi, bibirnya sedikit gemetar, tetapi tatapan penuh
pengertian yang diberikan Koyuki kepadanya—yang menyiratkan bahwa dia mengerti persis apa yang
direncanakan Amane—membuatnya terdiam. Yang bisa ia lakukan hanyalah membiarkan
bibirnya bergetar dalam diam.
Sudah kuduga!
Pada dasarnya, dia mirip
seperti ibuku!
Pemikiran
mengenai Koyuki dan Shihoko bekerja sama membuatnya
merinding. Mereka berpotensi menjadi orang paling mematikan kedua bagi Amane
(yang pertama adalah Chitose). Namun, fakta bahwa Koyuki tidak segera menindaklanjuti
dengan lebih banyak godaan menunjukkan bahwa dia
sedikit lebih pemaaf dibandingkan dengan Shihoko atau Chitose.
Merasa
bahwa Amane tidak dapat menanggapi dengan tegas, Koyuki tertawa kecil.
Kemudian, dia
menegakkan postur tubuhnya dan berbalik menghadap Mahiru. Ekspresinya melembut
menjadi ekspresi yang memancarkan cinta keibuan yang murni, jenis ekspresi yang
hanya akan diberikan seorang ibu kepada anak kesayangannya.
“Ingat,
jangan ragu untuk datang mengunjungi kami. Kami akan menyambut kalian berdua
dengan tangan terbuka.”
“…Oke!”
seru Mahiru, bersemangat.
“Terima
kasih banyak,” jawab Amane.
Rasanya
seolah-olah mereka baru saja berjanji untuk memberikan salam kepada keluarga
orang tua Mahiru, membawa serta campuran kehangatan yang lembut dan rasa senang
serta lega yang meningkat. Mulut Amane melembut menjadi senyuman, dan Mahiru,
yang diliputi kebahagiaan, membiarkan satu air mata jatuh dari matanya, yang
dia pikir sudah mengering. Koyuki menyambut mereka berdua dengan senyuman yang
indah dan hangat.
“Oh, dan
jika kamu
membuat Mahiru-san menangis, aku tidak akan menunjukkan belas kasihan padamu.”
“…Padahal bukan aku yang membuatnya menangis tadi,
kan?”
“Oh,
itu…” Koyuki terkikik, “Mari kita lupakan saja
sekali ini saja, oke?”
Melihat
senyum main-main Koyuki, Amane dan Mahiru saling bertukar pandang, tidak dapat
menahan tawa mereka sendiri, wajah mereka berubah menjadi senyum geli.
“Jika itu
adalah air mata kebahagiaan, maka buatlah dia menangis sebanyak yang kamu suka.
Mahiru-san tidak terlalu terbiasa mengalami kebahagiaan, jadi tolong gantikan
semua kegembiraan yang telah dia lewatkan.”
“Kalau
begitu aku tidak akan menahan diri. Aku akan melakukan yang terbaik untuk terus
membuatnya menangis karena bahagia.”
“Tung—
Amane-kun!?”
Mahiru,
yang terssipu dengan apa yang dikatakan Amane,
tampak ingin protes, tetapi Amane tidak berniat menarik kembali kata-katanya.
Membuatnya
menangis karena sedih atau marah, tentu saja, mustahil. Namun, air mata
kebahagiaan merupakan sesuatu
yang sama sekali berbeda. Air mata adalah luapan emosi dari hati, dan jika
emosi itu positif, jika berasal dari kebahagiaan, maka tidak ada alasan untuk
menghindarinya. Mempertimbangkan semua kesempatan untuk mendapatkan kebahagiaan
seperti itu yang terlewatkan Mahiru di masa lalu, tidak ada yang bisa
menyalahkan Amane karena ingin memberinya kebahagiaan sebanyak mungkin
sekarang. Dan jika dirinya
satu-satunya yang menyaksikan dan berbagi air mata kebahagiaan itu, tidak ada
yang bisa mengkritiknya karena itu.
“Kalau
begitu, kuserahkan padamu,”
kata Koyuki. “...
Mahiru-san, biarkan dia memberimu banyak kebahagiaan. Lain kali kita bertemu,
kamu bisa berbagi semua cerita itu denganku. Aku akan menantikan kesempatan
itu.”
Tanggapan
Amane tampaknya memuaskan Koyuki, saat dia tersenyum hangat, ekspresinya yang
cerah penuh kasih sayang saat dia menatap lembut ke arah mereka berdua. Itu
adalah tatapan yang mengingatkannya pada cara Shihoko pernah menatapnya.
“Baiklah,
sampai jumpa lagi. Semoga Mahiru-san terus hidup bahagia dan sehat.”
Dengan
suara yang jelas dan tak tergoyahkan, Koyuki mendoakan kesehatan dan
kebahagiaan Mahiru di masa depan. Perkataannya
tidak mengandung sedikit pun keraguan, dan dengan pandangan lembut dan sedih ke
arah Mahiru yang tersentuh secara emosional, dia mengakhiri panggilan,
membiarkan layar memudar menjadi gelap. Layar yang sekarang kosong hanya
memantulkan gambar mereka sendiri dan dekorasi ruangan. Meskipun perpisahan itu
singkat, hati Amane dipenuhi dengan rasa puas yang hangat dan bertahan lama
setelah panggilan berakhir.
Kehangatan
itu pasti juga dirasakan oleh Mahiru. Karena dia
terus menatap layar kosong seolah masih menyerap emosi yang masih tersisa,
tatapannya memantulkan kebahagiaan yang baru saja dialaminya... Setelah beberapa saat, dia perlahan mencondongkan
tubuhnya ke arah Amane, menyandarkan kepalanya di bahu dan lengan Amane dengan
gerakan manja. Mahiru
kemudian menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri, menikmati momen itu.
Saat
rambut halus Mahiru terurai lembut di bahunya, naik turun mengikuti napasnya,
Amane menunggu dengan tenang, memberinya ruang dan waktu yang dia butuhkan untuk menata
pikirannya.
“...
Amane-kun.”
“Ya?”
Panggilan
yang pelan dan lembut.
“Aku...
tidak yakin harus berkata apa. Aku begitu bahagia sampai-sampai kepalaku terasa
kacau... Tidak sekali pun dalam hidupku aku membayangkan hari seperti ini akan
datang.”
Tentu
saja, jauh di lubuk hatinya, Mahiru sudah mendambakan hal ini—untuk terhubung
dengan Koyuki seperti keluarga.
Tapi, dia
tidak pernah punya tekad untuk mewujudkannya sendiri.
Mahiru
selalu cenderung mengutamakan orang lain. Dan lebih dari itu, dia ragu-ragu,
bahkan mungkin sedikit takut.
Meskipun
Mahiru dapat dengan mudah menemukan cara untuk menghubungi Koyuki—melalui
telepon, surat, atau bahkan kunjungan—dia tidak melakukannya. Amane menduga itu
karena, jauh di lubuk hatinya, Mahiru takut ditolak bahkan oleh pengasuhnya,
tanpa sadar menahan diri.
Sementara
dirinya masih merenungkan fakta bahwa
ia telah membangkitkan ketakutan dan kecemasan itu, Amane tidak menyesal
menghubungi Koyuki. Bagaimanapun, ekspresi kepuasan di wajah Mahiru sekarang,
setelah semuanya berakhir, memperjelas bahwa itu adalah keputusan yang tepat.
“…Apa itu
membawa sedikit lebih banyak kegembiraan di hatimu?”
Amane tahu
bahwa bertanya sesuatu yang sudah diketahui jawabannya adalah tindakan yang
buruk. Namun, ia tidak bisa menahannya—ia ingin mendengarnya langsung darinya,
apa pun yang terjadi. Walaupun itu demi
kepuasannya sendiri, Amane perlu mengetahui apa ia benar-benar sudah membawa kebahagiaan bagi pacar
tercintanya.
“Tentu
saja. Um, aku sangat bahagia sampai-sampai aku tidak bisa menyimpan semuanya di
dalam hati—kepalaku terasa pusing, dan jantungku berdebar kencang… Tapi saat
aku memikirkannya berakhir, itu membuatku merasa sedikit sedih. Emosiku campur aduk sekarang.”
“Ya, kamu
mengalami banyak hal hari ini. Mari kita hadapi sedikit demi sedikit, oke?”
Mahiru
berbicara dengan suara yang lebih lembut dan lebih kekanak-kanakan dari
biasanya, kata-katanya lebih seperti upaya untuk memilah emosi yang
berputar-putar di dalam dirinya daripada upaya untuk menyampaikannya kepada
Amane. Ia menanggapinya dengan anggukan
lembut, tidak terburu-buru, membiarkannya mengambil waktu.
Sembari masih
berjuang untuk memandu gelombang
emosi yang telah melandanya, Mahiru bergeser dari bersandar di bahu Amane menjadi melingkarkan lengannya
di bahunya, menempelkan wajahnya ke lengan atasnya. Dia mengusap dahinya ke
dahinya, seolah mencoba melepaskan emosi yang terpendam di dalam dirinya. Amane
tidak bisa menahan tawa pelan, mengulurkan tangannya yang bebas untuk dengan
lembut merapikan helaian rambutnya yang kusut dan pirang.
“…Jangan
khawatir, kebahagiaan ini akan tetap ada. Luangkan waktumu dan nikmati saja.
Bersama-sama, mari kita pastikan kita tidak akan pernah melupakan semua hal
baik yang terjadi hari ini.”
“…Oke.”
“Aku berharap suatu hari nanti, saat
kita mengenang hari ini, kamu bisa tersenyum dan mengingatnya
sebagai hari kebahagiaan sejati.”
Aku
ingin menjadikan hari
ini sebagai salah
satu dari banyak kenangan indah yang akan kita bagikan bersama.
Amane
ingin menciptakan kenangan bahagia yang tak terhitung jumlahnya dengan Mahiru
di hari-hari mendatang, dan bertekad untuk membuatnya bahagia. Amane berharap hari ini akan dikenang
bukan hanya sebagai hari kebahagiaan tunggal, tetapi sebagai salah satu dari
banyak momen kegembiraan yang akan mereka bagi.
“…Hei,
ulang tahunmu belum berakhir, tau?”
“Aku
sudah kenyang—aku begitu kenyang sampai rasanya ingin meledak.”
“Benarkah?
Yah, aku tidak bisa memakannya… Kita masih punya kue tersisa.”
Amane
tahu persis apa yang dimaksud Mahiru dengan merasa “kenyang,” tetapi ia
sengaja menurutinya, membuat wajah pura-pura kecewa saat dia meratapi kue yang
tersisa. Sebagai tanggapan, Mahiru dengan malu-malu menempelkan dahinya ke
lengannya, seolah mencari kenyamanan dan kasih sayang.
“…Jika
kamu menyuapiku, mungkin aku bisa makan sedikit lagi.”
“Tentu.
Jika itu yang kamu inginkan, maka aku akan melakukannya sebanyak yang kamu
mau.”
Mahiru
menatap Amane dengan sedikit harapan di matanya, tanda bahwa dia mencoba untuk
bergantung padanya dan mengungkapkan kebutuhannya dengan caranya sendiri.
Amane, yang tahu bahwa dirinya
memiliki kapasitas untuk menerima perasaannya, dengan lembut menepuk kepalanya,
seolah mengatakan bahwa dirinya
akan memenuhi apa pun yang diinginkannya.
Mata
Mahiru menyipit karena puas. “Yah,
aku tidak bisa menghabiskan semuanya, jadi aku akan menyuapimu juga, Amane-kun.”
“Terima
kasih... Tahun depan, aku akan membuat kue yang lebih kecil. Dengan begitu,
kita bisa menghabiskannya bersama tanpa merasa kekenyangan.”
“Jadi
tahun depan juga...”
Mendengar
kata-kata “tahun
depan”,
Mahiru mengulanginya dengan lembut, seolah-olah merangkul pikiran itu. Dia
mungkin membayangkan masa depan yang tidak lama lagi, di mana dia masih akan
berada di sisi Amane. Pipinya memerah dengan lembut namun mencolok, seperti
cahaya lembut dalam kegelapan, dan dia menatapnya dengan tatapan yang membawa
sedikit harapan yang tidak bisa dia sembunyikan.
Amane
sangat gembira melihat Mahiru menantikan masa depan dengan penuh semangat,
tidak menunjukkan tanda-tanda takut terhadap hari ulang tahunnya dan sebaliknya
hanya merasakan antisipasi. Ia
bisa merasakan kebahagiaan ini mengalir dari dalam, dan itu secara alami
menyebar di wajahnya, mencerminkan kehangatan di hatinya.
“Tentu
saja, tahun depan juga. Apa kamu menantikannya?”
tanya Amane.
“Ya.”
“Syukurlah.
Aku juga menantikannya.”
Hari-hari
yang akan dihabiskan bersama Mahiru, kegembiraan karena bisa membuatnya
bahagia, kegembiraan karena mengetahui bahwa dia percaya dan yakin
padanya—semua hal ini adalah sumber kebahagiaan Amane, kegembiraannya, dan kesenangannya untuk masa depan.
Dan sekarang, Amane tahu dengan keyakinan penuh bahwa Mahiru merasakan hal yang sama.
“...Terima
kasih banyak karena telah dilahirkan, dan karena telah jatuh cinta padaku. Aku
berjanji akan membuatmu bahagia.”
Kata-kata
itu keluar dari mulut Amane, belum tentu dimaksudkan untuk didengar Mahiru, tapi
tampaknya kata-kata itu sampai padanya dengan keras dan jelas. Mata kuningnya
yang mengilap terbuka lebar karena terkejut, lalu dia melembutkan wajahnya
untuk menunjukkan senyum manis yang hampir meleleh. Setelah itu, dia menjadi
santai, bersandar pada Amane, sepenuhnya percaya dan menyerahkan dirinya pada
pelukannya.