Otonari no Tenshi-sama Jilid 9 Bab 8 Bahasa Indonesia

Chapter 8 — Dan Kemudian, Hari Yang Penting Pun Tiba

 

Acara penting selain ujian mereka tentu saja hari ulang tahun Mahiru.

Setelah berhasil menyeimbangkan pekerjaan paruh waktunya, belajar untuk ujian, dan persiapan ulang tahun, Amane berhasil menyelesaikan ujiannya dengan sebagian besar rencananya sudah ditetapkan. Suasana ruang kelasnya telah berubah menjadi mengerikan, yang menjadi buktinya betapa buruknya ujian kali ini. Chitose benar-benar kelelahan sampai-sampai dia membuat Mahiru khawatir akan kesehatannya, tapi yang bisa dilakukan Amane hanyalah berharap hasil ujiannya tidak akan menyebabkan gelombang kepanikan menyebar di antara yang lainnya.

Istirahat selama seminggu setelah ujian mengerikan tersebut bertepatan dengan ulang tahun Mahiru.

Saat itu adalah hari sebelum liburan—dengan kata lain, sehari sebelum ulang tahun Mahiru—dan kesibukan Amane mulai mencapai puncaknya. Namun, ada satu hal yang harus ia sampaikan pada Mahiru, sesuatu yang berpotensi menyakiti hatinya jika tidak disampaikan. Amane menegakkan postur tubuhnya dan berbalik menghadap Mahiru, yang duduk di sebelahnya.

Selama waktu luang mereka setelah makan malam, Mahiru sekarang sering mengerjakan soal-soal dari buku pelajaran. Hari ini tidak berbeda, karena dia dengan tekun melakukan apa yang telah menjadi rutinitas belajar mandiri yang biasa dilakukannya. Setelah selesai menilai jawabannya sendiri untuk ujian, Mahiru tampaknya sudah memikirkan tentang ujian tiruan yang akan datang. Tampaknya dia tidak menyadari bahwa besok adalah hari ulang tahunnya, bertindak seperti yang selalu dia lakukan.

“Mahiru-san.”

“Ya?”

Ketika Amane memanggil namanya, Mahiru menutup buku referensinya tanpa ragu-ragu dan mendongak. Merasakan bahwa Amane bertingkah berbeda dari biasanya, dia menegakkan postur tubuhnya dan berbalik menghadapnya. Namun, Mahiru sepertinya tidak tahu apa yang akan dikatakannya, karena ekspresi penasaran dan bingung terlihat dari setiap raut wajahnya.

“Boleh aku memintamu untuk tidak datang ke rumahku besok sampai aku memanggilmu?”

“Mengapa? ... Oh, ya, begitu. Baiklah, aku tidak keberatan.”

Walaupun dia tidak menyadarinya secara sadar sampai sekarang, Mahiru segera memahami dari tindakan Amane dan langsung setuju, ekspresinya berubah seolah-olah mengatakan, 'Oh, benar. Aku lupa tentang itu. Bukannya Mahiru tidak menantikan hari ulang tahunnya, tetapi dia juga tidak terlalu menyadarinya. Ini adalah sesuatu yang berakar pada kesadaran Mahiru sendiri, dan tidak ada yang bisa dilakukan Amane tentang hal itu, dia juga tidak ingin memaksanya untuk berpikir sebaliknya.

Untuk saat ini, lega karena ia bisa mendapatkan cukup waktu untuk kegiatan besok tanpa menimbulkan kesalahpahaman, Amane menatap dalam-dalam ke dalam mata Mahiru, yang masih terlihat agak terpisah dari masa sekarang.

Itu akan menimbulkan sedikit masalah jika kamu datang sebelum aku berhasil menyelesaikan persiapanku. Aku ingin menyambutmu dengan segala sesuatunya yang sudah diatur dengan sempurna, jadi kuharap kamu bisa mengerti.”

Mahiru terkikik. “Aku mengerti. Tapi tetap saja, aku melihatmu menanyakan hal ini secara langsung.”

“Aku sudah mengatakannya sejak awal bahwa aku akan menyiapkan sesuatu, jadi tidak ada kejutan di sini. Aku meminta dengan terbuka dan tulus: tolong, berikan aku sedikit waktumu.”

Pada hari itu sendiri, ada begitu banyak hal yang harus dilakukannya sehingga ia akan kewalahan. Jika Mahiru datang ke rumahnya, akan sangat mustahil untuk mempersiapkannya tanpa sepengetahuannya. Di samping itu, sudah pasti ia ingin menghabiskan waktu bersama Mahiru di hari ulang tahunnya. Karena Amane berniat untuk merayakannya dengan baik dan memberinya kejutan dalam hidupnya, maka, ia harus menghilangkan peluang apa pun, bahkan sekecil apa pun, untuk memprioritaskan keinginannya yang mendesak, di atas segala persiapannya.

Seolah-olah melihat antusiasme yang membuncah di dalam dirinya, Mahiru membelalakkan matanya sebelum menghembuskan napas pelan dan memberikan senyuman geli yang lembut. “Kalau begitu, yang harus kulakukan besok hanyalah menunggu dengan penuh semangat, kan?”

“Ya. Aku tidak bisa memastikan bahwa itu akan memenuhi harapanmu, tapi aku ingin merayakan ulang tahunmu dengan caraku yang spesial.”

“Jujur saja, merayakan ulang tahunku saja sudah membuatku sangat bahagia.”

“Aku tahu itu, tapi meskipun begitu ....”

Tidak ada yang lebih mengerti daripada Amane seberapa besar Mahiru mempedulikannya. Dirinya tahu bahwa hanya dengan berada di sisinya saja sudah cukup untuk membuatnya bahagia. Namun, meskipun kebahagiaan yang dirasakannya bersamanya juga sangat penting, namun hari itu adalah hari ulang tahunnya, sebuah kesempatan yang hanya datang setahun sekali. Amane ingin menjadikannya sebagai hari ulang tahun yang benar-benar dinikmati oleh Mahiru.

“Meskipun begitu, aku masih ingin membuatmu merasa spesial, Mahiru. Biarlah aku memberikan yang terbaik.”

“...Kalau begitu, aku akan menjaga ekspektasiku tetap tinggi.”

“Ah- ... Aku akan mencoba yang terbaik.”

Tentu saja, ia merasa senang dan bersemangat karena Mahiru memiliki harapan yang besar pada dirinya, tetapi pada saat yang sama, pertanyaan apakah dirinya bisa sepenuhnya memenuhi harapan itu perlahan-lahan menggerogotinya dari dalam.

“Caramu kehilangan kepercayaan diri sejauh ini sangat khas dirimu, Amane-kun.”

“Tidak percaya diri adalah kondisi normalku.”

“Astaga. Tetapi kamu telah berubah sejak saat itu, ‘kan, Amane-kun? Kamu sudah belajar untuk lebih percaya diri sekarang, kan?”

“Kalau menyangkut dirimu, Mahiru, aku selalu ekstra, ekstra hati-hati.”

Amane telah menghabiskan waktu sebulan untuk mempersiapkan ulang tahun Mahiru dan tidak meninggalkan satu hal pun yang terlewatkan, tetapi ia masih tidak bisa memastikan bahwa itu akan membuatnya bahagia.

Keinginannya untuk membahagiakan pacarnya dan keinginannya agar Mahiru merasakan puncak dari persiapannya merupakan perasaan tulus dan tidak tergoyahkan. Rasa tidak percaya dirinya semata-mata karena ia tidak ingin mengecewakan harapan Mahiru. Di atas semua itu, ada rencana tertentu yang dimilikinya, rencana yang meniadakan konsep kehati-hatian, yang semakin menambah kecemasannya.

“... Aku akan mencoba yang terbaik untuk membuatmu bahagia, Mahiru. Jadi...”

“Jadi?”

“Bolehkah aku mengisi ulang tenaga terlebih dahulu?”

Hari Amane besok penuh dengan pekerjaan, tetapi ia tidak bisa menemui Mahiru sampai semua persiapannya selesai. Ia membutuhkan energi sebelumnya, tetapi ia tidak akan bisa mengisi ulang sampai semuanya selesai. Oleh karena itu, dengan harapan ada kesempatan untuk mengisi ulang tenaga sekarang, Amane meminta izin untuk berpelukan. Mahiru berkedip manis dan kemudian tertawa, jelas terlihat geli.

“Kamu tidak perlu meminta izin, oke? Kamu bisa melakukannya kapanpun kamu mau.”

“Yah, um, kali ini kupikir aku harus memintanya dengan benar.”

Kamu selalu serius... Baiklah, kamu bisa mengisi ulang daya sebanyak yang kamu mau. Sebagai imbalannya-”

“Sebagai imbalannya?”

“Besok, itu akan menjadi giliranku, kan?” Saat Mahiru dengan lembut mengulurkan tangan dan menariknya lebih dekat di belakang kepalanya, Amane mengangguk dan mengikuti langkahnya, membenamkan wajahnya di bahunya.

Besok pagi, aku akan membereskan apa yang harus kulakukan di dapur, menyiapkan kamar, lalu memeriksa email untuk memastikan kembali jadwalku hari itu.

Apa semuanya berjalan lancar, tergantung pada usaha Amane dan seberapa baik Mahiru menerimanya.

Aku harus mempersiapkan diri sebaik mungkin besok, Amane bersumpah. Ia mendekatkan pipinya pada Mahiru, menikmati aroma manisnya, dan memejamkan matanya untuk sedikit memulihkan tenaga.

 

 

Hari ini merupakan salah satu dari tiga hari tersibuk dalam hidup Amane sejauh ini.

Hal pertama di pagi hari, ia berdiri di dapur, keterampilan yang sudah ditekuninya melalui pelatihan khusus hingga ujian. Di sore hari, ia memanggil bala bantuan untuk membantu mendekorasi ruangan dan mengadakan pertemuan dengan orang yang terlibat dengan kejutan terbesar. Di tengah semua ini, Ia terus berhubungan dengan Mahiru untuk memastikan bahwa Mahiru tidak pernah merasa kesepian saat Ia mengerjakan persiapannya.

Amane merasa kewalahan karena mengerjakan begitu banyak tugas secara bersamaan. Namun demikian, dibandingkan dengan apa yang biasanya dilakukan Mahiru, hal itu tidak ada apa-apanya. Sambil memuji Mahiru atas kecakapan multitasking-nya, ia dengan tekun terus menyiapkan segala sesuatunya.

 

 

Setelah melalui waktu yang begitu padat dan sibuk, matahari pun terbenam.

Pada saat Amane akhirnya merasa puas dengan apa yang telah dilakukannya dan melirik ke arah jam, waktu sudah menunjukkan waktu makan malam. Di luar jendela, langit memantulkan segudang warna yang bergeser dari merah tua ke gradasi warna nila pekat dan biru kehitaman.

Ia sempat khawatir tentang apa yang akan dilakukannya jika ia tidak menyelesaikannya tepat waktu, tetapi ia sangat lega karena telah menyelesaikan persiapannya-meskipun tepat pada waktunya. Amane membunyikan bel rumah di sebelahnya untuk memanggil Mahiru, yang telah menunggu aba-aba darinya.

Mahiru, yang membuka pintu segera setelah bel pintu berbunyi, tampak sudah siap dengan caranya sendiri.

Ketika ia melirik melalui celah pintu, Amane melihat sebuah vas bunga yang diletakkan di atas lemari sepatu. Pemandangan ini meredakan salah satu kekhawatirannya, dan memberi jalan bagi rasa lega yang lain.

“Ak-Aku sudah menunggumu,” katanya.

Mahiru keluar dari pintu dengan sedikit terburu-buru dan berbicara dengan gugup. Melihat hal ini, Amane hanya bisa tertawa kecil. Pipi Mahiru segera berubah menjadi merah muda samar-samar saat menyadari apa yang ditertawakannya dan dengan canggung memalingkan muka.

“… T-Tolong anggap saja kamu tidak melihatnya.”

“Kenapa begitu?”

“Y-Yah, um, karena…bukannya menurutmu memalukan jika aku terlalu bersemangat dan pusing tentang hal itu?”

“Hah? Bukankah itu berarti kamu sangat menantikannya? Itu membuatku senang, tau.”

Kalau ternyata itu hanya perayaan sepihak, itu akan menjadi syok besar bagi Amane, dan ia mungkin akan merasa sangat malu. Namun demikian, hanya dengan mengetahui bahwa Mahiru sangat bersemangat dan menantikannya, membuatnya sangat puas. Amane tidak yakin apa dirinya bisa memenuhi harapannya, mengingat betapa bersemangatnya dia mengantisipasi kunjungannya, tetapi Amane yakin bahwa dirinya telah mempersiapkan segalanya sesempurna mungkin.

Yang tersisa hanyalah menunjukkan hasil jerih payahnya.

Tampaknya Mahiru juga sudah mempersiapkan diri dengan matang, karena pakaiannya sangat imut dan jauh lebih rumit daripada pakaian santai yang biasa ia kenakan. Sambil menggenggam tangannya, Amane bertanya, “Apa kamu sudah siap, Mahiru?” Ia menyipitkan matanya dengan malu-malu dan dengan pelan menjawab, “Ya.”

Menuntun Mahiru, yang hanya membawa sebuah tas kecil, kembali ke rumahnya, Amane melihat dia mengerjap kaget saat menyadari bahwa semua lampu telah dimatikan, kecuali lampu di pintu masuk.

“... Hah? Gelap gulita,” kata Mahiru.

Rasanya tidak bakalan seru jika kamu bisa melihat semuanya dari pintu masuk, bukan?”

Meskipun ada pintu yang memisahkan lorong pintu masuk dengan ruang tamu dan ruang makan, pintu itu dipasangi panel kaca, jadi kamu masih bisa melihat ke dalam. Karena ia sudah bersusah payah merencanakan dan melaksanakan segala sesuatunya secara rahasia untuk Mahiru, maka, tentu saja, Amane tidak mungkin mengendurkan sentuhan akhir. Untuk memberikan kejutan yang tepat, keajaiban kontras sangatlah penting.

“Jadi, kalau boleh, bagaimana kalau aku menutup matamu sebentar? Mungkin agak menakutkan kalau kamu tidak bisa melihat, tetapi aku akan berada di sini. Jangan khawatir dan biarkan aku memandumu.”

Mahiru menjawab sambil tertawa kecil, “Kalau memang begitu, aku percaya sepenuhnya padamu, Amane-kun.” Anggukannya yang cepat tentu saja merupakan tanda kepercayaannya yang kuat pada Amane.

Tanpa ragu-ragu, dan bahkan sebelum Amane bisa menutupi pandangannya dengan tangannya, Mahiru segera memejamkan matanya.

Setidaknya dia bisa sedikit berhati-hati… pikir Amane lalu menyelipkan tangannya ke punggung dan di bawah lutut Mahiru dan menggendongnya dengan gendongan ala putri. Seperti biasa, bobot tubuhnya yang ringan membuat Amane sangat khawatir apakah dia benar-benar cukup makan. Dengan satu tangan yang masih bebas, ia membuka pintu ruang tamu dan menyalakan lampu.

Mahiru masih memejamkan matanya, tampaknya berniat menunggu sampai Amane mengatakan padanya bahwa tidak apa-apa untuk membukanya. Merasa lega dengan kepercayaannya, ia dengan hati-hati membimbingnya ke kursi ulang tahun yang sudah disiapkannya di sofa, memastikan Mahiru tidak akan terluka saat Amane dengan lembut menurunkannya ke kursi itu. Sepertinya Mahiru sudah mengetahui di mana dia berada dari jarak berjalan dan nuansa kursi, saat dia duduk tegak dengan mudah.

“Ah, tolong duduklah dan jangan buka matamu dulu. Bisakah kamu berjanji padaku untuk menunggu sebentar lagi?”

“Hehe, jangan perlakukan aku seperti anak kecil. Aku paham kalau kamu ingin memamerkan apa yang sudah kamu persiapkan dengan segala kemegahannya. Aku bisa menunggu sebentar lagi.”

“Maaf, maaf. Aku sangat menghargai memiliki pacar yang penuh pengertian.

Meskipun Amane berpikir bahwa dia mungkin sedikit terlalu pengertian, sisi cerdas dan tanggapnya juga merupakan ciri khas Mahiru. Sambil tersenyum kecut, Amane berdiri dan melirik sekilas ke arah kantong kertas di samping sofa sebagai langkah persiapan terakhirnya, yang berisi barang-barang yang ingin ia berikan pada Mahiru, memastikan tak ada yang kurang.

“Semuanya sudah siap. Kamu boleh membuka matamu sekarang,” kata Amane dengan lembut. Mahiru segera membuka matanya dengan perlahan, seakan-akan dia telah menunggu saat ini.

Matanya sedikit menyipit seolah-olah belum bisa menyesuaikan diri dengan cahaya, perlahan menampakkan dirinya.

Bagaimana pendapatnya tentang dekorasi di ruangan yang baru pertama kali dia masuki hari ini?

“Ini…” Suaranya yang tenang sedikit bergetar.

Tanpa perlu bertanya, Amane bisa mengetahui apa yang dimaksud Mahiru dari sudut pandangnya dan cara matanya berbinar.

"Itsuki, Chitose, Kadowaki, dan Kido semuanya membantuku mendekorasi ruangan. Um, kamu bilang tidak keberatan jika mereka mengetahui hari ulang tahunmu, kan? Aku tidak bisa membuat dekorasi menakjubkan seperti itu sendirian, jadi aku meminta bantuan mereka dan mereka dengan senang hati menyetujuinya. Mereka semua memiliki selera yang lebih baik terhadap hal-hal semacam ini ketimbang diriku, jadi aku sangat berterima kasih atas bantuan mereka. Bagaimana menurutmu? Lucu bukan?”

“Wow… ini sangat menggemaskan sekali.”

“Aku meminta mereka untuk berkreasi dengan dekorasinya, dan inilah yang mereka hasilkan.”

Dengan bantuan beberapa teman yang dipercaya Mahiru, Amane telah mengubah ruang tamu menjadi suasana bertema ulang tahun hanya dalam waktu satu hari.

Temanya: pesta ulang tahun yang menyenangkan, seperti yang dia dambakan sewaktu kecil.

Dindingnya apartemennya dihiasi dengan banyak balon yang diikat dan bunga kertas dengan warna yang serasi. Selain itu, lampu LED besar bertuliskan HAPPY BIRTHDAY ditempelkan di dinding, yang semakin menambah kemeriahan. Di langit-langit tergantung ornamen kaca kristal, bergoyang-goyang di udara yang hangat dan sesekali menebarkan cahaya lembut yang menyilaukan saat disinari. Di sofa tempat Mahiru duduk, boneka binatang kesayangannya dihiasi dengan pita, didandani dengan cantik dan menanti-nanti sang bintang hari itu.

Orang mungkin berpikir bahwa dengan dekorasi sebanyak ini, mungkin akan membuat ruangan terlihat mencolok atau tidak terkoordinasi, tetapi hal itu sama sekali tidak benar. Dekorasi dilakukan dengan warna-warna hangat yang lembut untuk menghindari benturan, dan berkat penataan dan skema warna yang bijaksana, ruangan ini memiliki suasana yang tenang namun tetap memiliki nuansa pop yang jelas.

Bahkan, Amane, yang menganggap dirinya cukup acuh tak acuh terhadap dekorasi semacam itu, dan bahkan pernah melihatnya dipersiapkan, tak kuasa menahan decak kagum setelah melihat ruangan yang sudah jadi. Bagi Mahiru, ini pasti merupakan kejutan yang lebih besar lagi.

Melihat dekorasi kamar yang berkilauan dan membaur dalam matanya yang terbuka lebar, Amane langsung tersenyum, karena tahu bahwa ia telah membangkitkan reaksi yang sangat diharapkannya. Namun demikian, masih banyak kejutan ulang tahun yang masih disiapkannya, jadi, tidak pantas baginya untuk berpikir bahwa ini adalah yang terakhir.

“Dan ini adalah buket bunga ulang tahunmu. Aku meminta Itsuki untuk merangkaikan bunganya.

Ruang tamu mereka telah benar-benar berubah sesuai dengan seleranya, dan Mahiru dengan penasaran melihat sekelilingnya dengan kagum. Sambil tersenyum, Amane mengambil buket bunga yang ia letakkan di luar pandangannya tadi. Dengan lembut ia menyerahkannya pada Mahiru, yang sejenak terkejut oleh sikapnya yang tiba-tiba.

Karena Amane bermaksud menciptakan ulang tahun yang akan menyenangkan hati Mahiru, buket itu tentu saja diisi dengan bunga dan warna kesukaannya. Meskipun Amane sudah memiliki gambaran umum mengenai kesukaannya, namun ia meminta bantuan Chitose dan Ayaka untuk menunjukkan selera Mahiru secara tepat. Berkat kerja sama mereka, ia dapat menyiapkan buket bunga ulang tahun yang mungkin mendekati sempurna di mata sang wanita, dan ia sangat berterima kasih kepada keduanya.

Jadi, itulah sebabnya Chitose-san dan Kido-san...?”

“Kamu sudah mengetahuinya, ya. Ya, Chitose dan Kido mencoba diam-diam meneliti seleramu... Mereka sangat antusias untuk membuatmu bahagia.”

Terutama Chitose, yang antusiasmenya tidak terkira.

Dalam kata-katanya, untuk “membuat Mahirun bahagia~”, Chitose telah mengumpulkan segala macam informasi secara halus dan alami. Bahkan mengetahui bahwa Amane sedang mempersiapkan sesuatu, Mahiru tidak curiga atau merasa ada yang tidak beres dengan percakapan mereka. Hal itu membuat Amane berpikir bahwa Chitose mungkin memiliki bakat untuk menjadi seorang detektif atau sesuatu yang serupa.

Kemampuan untuk menyelinap melewati penjagaan seseorang dan mendekati mereka adalah salah satu keterampilan dan kekuatan terbesar Chitose. Ini adalah sesuatu yang dikagumi Amane dan berharap bisa menirunya, meskipun tampaknya mustahil.

“Menurutku tidak semua orang menyukai bunga segar, tapi kamu punya vas di lorong depan rumahmu, kan, Mahiru? Aku kebetulan menyadarinya setiap kali aku datang menjemputmu, jadi kupikir kamu pasti menyukainya.”

“Sepertinya kamu sudah memperhatikanku dengan cermat.”

“Yah, bagaimanapun juga, kamu adalah pacarku.”

Amane setengah berharap Mahiru akan berkata, “Kalau begitu, kamu seharusnya sudah tahu bunga favoritku,” tapi Ia berharap Mahiru akan memberinya kelonggaran dalam hal itu.

Karena Amane ingin memberinya karangan bunga yang hanya berisi bunga-bunga yang dia sukai, penting untuk meneliti dan memeriksa rangkaian bunga yang tersedia di musim saat ini.

Apa dia menyukainya? Amane melirik ke arah Mahiru. Dengan sangat lembut, dia menggendong buket itu di dekat dadanya, berhati-hati agar tidak berantakan.

“…Indah sekali, sangat disayangkan jika bunga-bunga ini layu,” kata Mahiru.

“Nyonya, aku juga sudah menyiapkan beberapa gel silika sehingga kamu bisa mengawetkannya sebagai bunga kering.”

Fufu, kamu sangat perhatian sekali.”

“Yah, tentu saja. Aku ingin kamu menikmatinya sampai akhir. Bahkan bunga kering suatu hari nanti bisa hancur, aku ingin bunga itu membuatmu bahagia selama mungkin.”

“Terima kasih. Aku akan menikmati keindahannya baik saat masih segar maupun saat masih diawetkan… Setiap kali aku melihatnya, aku akan memikirkanmu, Amane-kun.”

Bisa mendengarmu mengatakan itu saja sudah membuatku sangat bahagia.”

“…Itu akan mengingatkanku kalau kamu selalu bersamaku, bahkan di apartemenku sendiri,” bisik Mahiru dengan suara yang begitu manis.

Menghadapi responsnya yang menawan, Amane tidak bisa menahan diri untuk tidak merapatkan bibirnya dan menahan jantungnya yang berdegup kencang, sambil mencengkeram kemejanya. Sebagai pacar, ia merasa senang mengetahui bahwa sang kekasih memikirkannya saat melihat hadiahnya, namun, mendengarnya secara langsung dari mulut Mahiru secara langsung, hal itu membuatnya merasa agak malu. Karena tidak dapat menahan rasa malunya, Amane menggaruk pipinya dengan canggung.

Mahiru memegang buket itu dengan ekspresi melamun, menatapnya seakan-akan itu adalah sesuatu yang sangat berharga. Bibir Amane bergerak-gerak dengan campuran rasa frustrasi dan malu.

“... Aku senang kamu menyukainya. Kalau begitu, aku, eh ... aku harus menyelesaikan persiapan makan malam, jadi aku akan melakukannya sekarang!”

Mahiru, masih memegang buket dan tersenyum malu-malu, melihat Amane berdiri, menggunakan kelanjutan perayaan ulang tahun sebagai alasan untuk melangkah pergi.

 

 

Amane menempatkan jarak beberapa meter di antara dirinya dan Mahiru, tampaknya berhasil menenangkan jantungnya yang berdegup kencang. Dirinya mulai menata piring yang telah disiapkan sebelumnya dan meletakkannya di atas meja makan.

Karena Mahiru kemungkinan besar sudah memiliki gambaran yang samar-samar tentang apa yang sedang dibuat Amane dari aromanya, maka, tidak akan ada kejutan atau hal yang baru dalam pilihan hidangannya. Namun, karena ini dimaksudkan untuk merayakan dan menghormati Mahiru, rasa yang sudah dikenalnya mungkin adalah pilihan yang tepat.

Berfokus pada masakan Jepang dengan sedikit bumbu Barat adalah pilihan yang dibuat secara khusus karena Mahiru adalah orang yang lebih menyukai rasa yang lebih ringan dan tidak terlalu berlebihan dalam makanannya.

“Kamu sudah berusaha keras untuk menyiapkan makanan yang lezat untuk ulang tahunku, jadi sekarang giliranku,” kata Amane. Ia tersenyum pada Mahiru saat dia mengambil tempat duduknya di meja sebelum melakukan hal yang sama.

Meskipun kemampuannya masih jauh dari Mahiru, Amane telah melakukan yang terbaik untuk menyiapkan makanan yang penuh dengan makanan favoritnya, berharap untuk menyenangkannya sebanyak mungkin.

Mahiru sama sekali bukanlah tipe orang yang pilih-pilih makanan, tetapi meskipun dia bisa memakan makanan apa pun, dia memiliki preferensi untuk rasa tertentu. Umumnya, dia lebih menyukai hidangan dengan bumbu yang lembut dan halus, lebih condong ke arah hidangan yang menonjolkan rasa alami dari bahan makanan dan rasa kaldu dengan sedikit garam. Menghadirkan rasa-rasa tersebut terbukti lebih menantang daripada menyiapkan hidangan dengan rasa yang kuat.

Rasa yang kuat sering kali dapat disesuaikan dan, dalam kasus terburuk, ditutupi dengan bumbu. Namun, dengan rasa yang lebih lembut, hal tersebut bukanlah suatu pilihan dua hal yang berbeda, dan masing-masing memerlukan metode memasak dan bumbu yang berbeda.

Oleh karena itu, menguasai gaya bumbu yang disukai Mahiru merupakan perjalanan yang panjang dan menantang.

Meski begitu, aku ingin menguasainya di masa mendatang.

Tidak bisa membuatkan masakan kesukaan orang yang ia cintai membuat Amane merasa malu sebagai pacarnya, dan perasaan ini semakin besar karena Mahiru bisa menyiapkan hidangan yang disesuaikan dengan seleranya dengan sempurna.

Meski Ia yakin makanan buatannya enak, Amane diam-diam merasa malu atas ketidakmampuannya sendiri, berpikir bahwa Ia masih punya banyak ruang untuk diperbaiki.

“...Enak sekali,” katanya. Mahiru dengan anggun mendekatkan mangkuk itu ke bibirnya dan diam-diam menyesap supnya.

Bahkan kuahnya pun disiapkan secara rumit dari awal, mengikuti metode yang diajarkan Mahiru secara menyeluruh, jadi kuahnya seharusnya dibumbui persis sesuai dengan keinginannya.

Harapan Amane tidak mengecewakan, karena Mahiru terus memakan makanannya dengan ekspresi lembut di wajahnya.

“Aku senang itu sesuai dengan seleramu. Sejujurnya, aku sangat gugup.”

“Aku sudah mengkritik masakanmu sebelumnya, tapi aku tidak pernah mengeluh.”

“Ya, kamu memang tidak salah, tapi mencemaskan kamu akan menikmatinya atau tidak merupakan hal yang sama sekali berbeda, bukan?” Saat Amane menggumamkan ini sambil memecah lobak daikon rebusnya yang berisi terasi dengan sumpitnya, ia mendengar suara yang agak bermasalah menjawab dari seberang meja.

“Itu benar, tapi… Kamu tahu, Amane-kun, kemampuan memasakmu meningkat pesat, bukan?”

“Mengenai keahlianku, hanya saja nilainya berubah dari negatif menjadi sekitar lima puluh poin. Keterampilanmu akan lebih seperti satu atau dua ratus poin. Aku tidak akan pernah bisa mengejarnya.”

Aku bakalan merasa minder jika kamu berhasil mengejar ketinggalan dengan mudah.”

“Aku sendiri merasa ragu apa aku bisa melakukannya meskipun aku menghabiskan seluruh hidupku untuk mencobanya. Pertama-tama, masakanmu akan selalu menjadi nomor satu bagiku, jadi tidak peduli seberapa bagus masakanku. Tapi selain itu, aku akan tetap berusaha keras membuatkan hidangan terbaik untukmu semampuku.”

“…Kamu ini lagi-lagi...Ya ampun.”

Kata “Ya ampun” itu bukan dimaksudkan untuk menegurnya, melainkan sebuah tanda bahwa Mahiru mengakui bahwa itu hanya bagian dari sifat Amane. Itu juga menyiratkan bahwa dia bukannya merasa tidak senang—bahkan, itu berarti bahwa dia cukup senang sesuatu yang dia pahami dengan baik selama mereka bersama.

Amane menyeringai lebar, membuat Mahiru melebarkan matanya karena terkejut. Dia dengan cepat membuang muka dengan ekspresi terpesona, dan dengan menggeliat di bibirnya, bergumam, “Astaga, Amane-kun…” pelan.

 

 

“Terima kasih untuk makanannya.”

Aku senang kamu bisa menikmatinya.”

Mereka segera menghabiskan makan malam dengan porsi yang tidak terlalu banyak dalam waktu singkat.

Mahiru bukanlah seorang pemakan makanan yang sangat ringan, tetapi mengingat apa yang menanti mereka selanjutnya, jelas bahwa dia tidak akan bisa menghabiskan semuanya jika Amane menghidangkannya terlalu cepat. Jadi, tanpa disadarinya, Amane telah menyiapkan porsi yang sedikit lebih kecil untuknya.

Amane telah memutuskan untuk membuat makanan Jepang sebagian karena itu adalah masakan favorit Mahiru, tetapi juga karena mangkuk tradisional yang kecil dan presentasi yang penuh warna membantunya menyesuaikan kesan keseluruhan makanan dan memiliki ukuran porsi yang lebih kecil. Namun, tampaknya Mahiru tidak menyadarinya.

“... Aku tidak pernah menyangka kamu akan melakukan banyak hal untukku,” ujar Mahiru.

Setelah bersikeras bahwa dia akan menangani semua pembersihan, Amane memandu tamu kehormatanMahiru—ke atas sofa. Dia tampak sedikit tidak senang dengan hal itu, mungkin ingin menawarkan bantuannya, tetapi ketika Amane kembali dari mencuci piring, dia menggumamkan kata-kata ini dengan rasa haru yang mendalam.

“Yah, kamu mencurahkan hati dan jiwamu ke dalam sesuatu untuk kekasihmu juga, kan, Mahiru?”

“Hmph. I-Itu mungkin benar, tetapi...”

“Jika ada, kamu bisa mengatakan bahwa aku telah melakukan semua ini karena aku menginginkannya, bukan hanya demi dirimu saja.”

Pada akhirnya, semua yang dilakukan Amane semata-mata didorong oleh kepuasan dirinya sendiri. Hal ini membuatnya ragu untuk menggunakan ungkapan yang terdengar nyaman dan sempurna seperti “demi Mahiru.”

“Jadi ya, ini adalah sesuatu yang aku lakukan atas inisiatifku sendiri.”

“…Kamu benar-benar punya kebiasaan melakukan itu, Amane-kun.”

Seolah-olah ingin menegurnya, Mahiru dengan bercanda menampar lengan atas Amane. Setelah menyadari bahwa Ia masih tidak mau menyerah, Mahiru kemudian menunjukkan senyuman yang rumit—yang secara sempurna mencerminkan perasaan tidak berdaya, pasrah, dan bahagia.

“…Tapi, hari ini, kamu membuatku sangat bahagia. Segalanya terasa begitu...”

“Ah, maaf. Bisakah kamu menunggu sebentar?”

“Hah?” Mata Mahiru membelalak karena disela, tapi dia tidak bisa mengabaikannya saja terhadap hal ini.

“Rasanya aku akan menyelesaikan semuanya, tapi ini belum semua rencanaku. Ulang tahunmu belum berakhir, kan?”

Mahiru berkata dengan bingung, “Hah?” tapi bagi Amane, ini hanyalah awal dari acara utama hari ini. Ia tidak akan menghabiskan waktu hampir sebulan untuk mempersiapkan dekorasi, karangan bunga, dan makan malam buatan sendiri bahagia, dan telah berlarian dengan bantuan orang-orang baik di sekitarnya. Amane masih belum menunjukkan hasil sebenarnya dari kerja kerasnya.

Karena Mahiru adalah orang yang cukup sederhana, dia sudah terlihat sangat puas. Tapi hari ini, Amane ingin memberinya begitu banyak kegembiraan hingga kerendahan hatinya pun akan hilang begitu saja.

“Bisakah kamu memejamkan matamu sekali lagi?”

Karena kejutannya akan hilang jika dia tetap membuka matanya, Amane mengajukan permintaan ini untuk kedua kalinya hari ini. Mahiru memejamkan matanya erat-erat dan mengangkat wajahnya ke atas. Bukan berarti dia menurutinya dengan patuh, tetapi lebih karena dia mengantisipasi sesuatu yang istimewa akan terjadi. Suasana tegang masih terasa.

Mahiru, yang tidak diragukan lagi sedang menantikan sesuatu, terlihat sangat menggemaskan, sehingga Amane secara tidak sengaja menutup mulutnya dengan tangan untuk menyembunyikan senyumnya. Meskipun gadis pujaannya masih tidak bisa melihatnya, namun ia tetap merasa ingin menyembunyikannya. Pemandangan pacarnya yang menunggunya dengan penuh harap, sungguh terlalu menawan untuk ditanggung.

“... Maaf, kali ini aku tidak meminta ciuman.” Karena tidak ingin menghancurkan harapannya, Amane membisikkan hal ini dengan lembut di telinganya.

Mata berwarna karamel Mahiru terbuka, hanya berfokus pada Amane. Kemudian, wajahnya berubah menjadi merah mencolok saat dia cemberut manis, bergumam “Amane-kun, No., Baka,” dengan irama yang sesuai dengan pukulan ringan yang juga dia berikan ke dadanya.

Diperlakukan seperti semacam drum, Amane hampir mulai menyeringai lagi melihat tingkahnya yang lucu. Namun, dirinya tahu bahwa jika ia menunjukkannya di wajahnya, pukulan lucu Mahiru akan menjadi lebih kuat, jadi ia menggigit bagian dalam pipinya untuk menahan senyumnya.

“Aduh, aduh, aduh. Maafkan aku... aku masih punya hal lain yang ingin kutunjukkan padamu, jadi aku ingin kamu memejamkan matamu lagi.”

“... Kamu seharusnya mengatakan itu lebih cepat.”

“Sekali lagi, aku minta maaf.”

Sambil dengan wajah yang semakin cemberut bahkan lebih dari sebelumnya, Mahiru berbalik dan memejamkan matanya lagi. Mengambil kesempatan itu, Amane mencondongkan tubuhnya dan dengan lembut menempelkan bibirnya pada pipi yang sedikit memerah, seperti buah persik yang lezat di depannya.

Mahiru sepertinya mengenali sentuhan dan kehangatan tubuhnya, karena telah mengalaminya beberapa kali sebelumnya. Dia membuka matanya dan langsung membeku di tempat. Amane tertawa pelan dan berkata, “Tutup matamu, oke?” Tenggorokannya yang ramping bergetar, dan geraman lembut frustrasi keluar dari bibirnya.

“Itu adalah kejutan yang lain.” Puas dengan kejutan dadakan yang ditambahkannya, Amane menuju ke dapur, merasa senang dengan dirinya sendiri.

Amane menyiapkan seluruh makan malam mereka dan bersikeras untuk melakukan semua pembersihan sendiri, meskipun Mahiru ingin membantu, itu semua adalah bagian dari rencananya untuk menjauhkan Mahiru dari area kulkas. Amanea mengambil puncak persiapannya selama berminggu-minggu dari lemari es, dengan hati-hati mengeluarkan kotaknya dan memegang piring itu dengan hati-hati dengan kedua tangannya.

Amane dengan hati-hati membawa piring itu ke meja, meluangkan waktunya. Ia melihat wajah Mahiru menoleh ke arahnya, merasakan melalui suara dan kehadirannya bahwa ia telah kembali.

Dalam hati, ia tersenyum pada dirinya sendiri.

Aku jadi tidak sabar untuk melihat reaksinya saat dia membuka matanya.

“Pejamkan matamu sedikit lebih lama lagi, oke?”

Karena Amane belum siap, ia membisikkan hal itu kepadanya, sambil secara hati-hati menekan lilin ulang tahun yang disembunyikannya ke dalam dasar krim putih. Lilin yang ia gunakan lebih tipis dan lebih berwarna daripada lilin pada umumnya.

Satu... Dua... Saat ia diam-diam memasukkan lilin satu per satu, ia mulai merasa bahwa tujuh belas lilin itu mungkin terlalu banyak. Kue itu sekarang didominasi oleh warna-warna pastel dari lilin. Merenungkan kesalahan perhitungannya, Amane menyalakan lilin dengan korek api, dan memutuskan untuk menggulungnya, meskipun kuenya menjadi jauh lebih berwarna daripada yang ia bayangkan.

Kelemahannya, menyalakan lilin sebanyak ini membutuhkan waktu yang cukup lama, tetapi setelah Amane berhasil menyalakan semuanya, ia meredupkan lampu ruangan dengan menggunakan remote control. Meskipun suasana di sekelilingnya menjadi redup, namun tidak sepenuhnya gelap. Cahaya lembut dari lilin, satu lilin untuk setiap tahun usia Mahiru, menerangi ruangan yang dihias dengan lembut, menerangi ruangan itu.

“Kamu bisa membuka matamu sekarang, Mahiru,” bisik Amane dengan lembut padanya, yang telah mengikuti instruksinya sampai akhir. Mahiru dengan perlahan dan hati-hati mengangkat kelopak matanya, dan—

“... Ah,” sebuah bisikan bergetar-antara ratapan atau keheranan-tak sengaja keluar dari bibirnya.

Cahaya lembut menerangi wajah Mahiru, memperlihatkan ekspresi yang hampir linglung yang membuat ketenangannya yang biasanya keluar dari jendela. Matanya memantulkan dengan jelas kerlipan api lilin di depannya.

Amane berdeham sekali sebelum perlahan-lahan membuka bibirnya untuk berbicara. Meski sejujurnya, hal ini membuatnya merasa sedikit malu, keinginannya untuk menyampaikan dan berbagi perasaan dengan Mahiru jauh lebih kuat. Meskipun ia tidak menganggap dirinya ahli dalam hal itu, Amane menyanyikan lagu selamat ulang tahun pendek yang biasa dinyanyikan orang tuanya saat ia masih kecil hanya untuknya, mencurahkan segenap hati dan jiwanya ke dalam setiap kata.

“Selamat ulang tahun yang ketujuh belas, Mahiru.”

Setelah sengaja menyimpan kata-kata yang ingin Ia ucapkan sejak mereka bertemu sebelumnya hari ini, Amane akhirnya mengungkapkan kegembiraan dan perayaannya atas kelahiran kekasih tercintanya. Saat Ia melihat ke arah Mahiru, dia benar-benar membeku karena terkejut.

Amane mengerti bahwa Mahiru mungkin kewalahan karena keterkejutan yang tidak terduga dan memberinya senyuman kecil saat dia berdiri di sana, membeku, tidak diragukan lagi mencoba memproses dan memahami apa yang baru saja terjadi.

“Aku memang merasa dilema apa ini mungkin terlalu kekanak-kanakan,” kata Amane dengan lembut. Ia mendekorasi ruangan dengan mewah, menyiapkan kursi ulang tahun khusus, membawakan kue utuh dengan banyak lilin, dan bahkan menyanyikan lagu selamat ulang tahun sebagai seorang anak SMA, perayaan yang mirip seperti pesta anak-anak. Tapi itulah tujuan Amane, dan Ia telah mempersiapkan segalanya hanya untuk saat ini.

“Pada akhirnya, kami juga masih anak-anak, jadi menurutku pesta seperti ini akan menyenangkan. Aku punya kenangan indah dan bahagia tentang ulang tahunku yang dirayakan seperti ini ketika aku masih kecil dulu. Kenangan pesta yang mereka lakukan untukku semasa kanak-kanak selalu melekat padaku, bahkan sampai sekarang.”

Meski ingatannya tentang masa kecilnya agak kabur, Amane masih mengingat kejadian itu dengan jelas hingga saat ini.

Orang tuanya sudah mendekorasi ruangan sesuai seleranya, meletakkan boneka binatang dan mainan favoritnya di meja, meletakkan lilin di atas kue favoritnya, dan memberinya hak istimewa untuk meniupnya. Mereka menghujaninya dengan ucapan “selamat ulang tahun” yang tak terhitung jumlahnya dan kasih sayanng yang berlimpah. Kenangan masa kecilnya yang indah itu tetap tertanam dalam di hatinya, memberinya kebanggaan karena disayangi. Keyakinan inilah yang telah membantunya mengatasi kesulitan yang paling sulit sekalipun.

Perkataanku ini mungkin kedengarannya lancang, tapi aku ingin berbagi kebahagiaan denganmu. Menurutku pesta seperti ini merupakan sesuatu yang kita semua impikan sebagai anak-anak,” imbuh Amane.

Sampai batas tertentu, pesta ulang tahun merupakan sesuatu yang dialami atau diidam-idamkan sebagian besar anak-anak. Meskipun tidak baik untuk mendasarkan semuanya pada pengalamannya sendiri, tapi itu tidak dapat disangkal bahwa bagi Amane sebagai seorang anak, tidak ada hari yang lebih menggembirakan daripada hari ulang tahunnya.

“Aku bertanya-tanya apa, mungkin saja, kamu pernah memimpikan hal seperti ini,” Amane melanjutkan. Meski Ia merasa sedikit bersalah karena membuat asumsi seperti itu sendiri, melihat reaksi Mahiru meyakinkannya bahwa Ia tidak salah. “Itulah sebabnya aku ingin kamu mengalaminya juga. Aku tahu kalau itu mungkin terlalu egois, tapi meski begitu…”

Tujuh belas lilin di atas kue dengan diameter lima belas sentimeter mungkin berlebihan, tapi setelah mempertimbangkan ulang tahun yang belum—atau tidak bisa —dirayakan Mahiru sebelumnya, hal itu tidak tampak berlebihan sama sekali saat nyala lilin bergoyang lembut Di udara yang hangat, kilau diam muncul di mata Mahiru dan mulai jatuh seperti air mata yang berkilauan.

Sesaat kemudian, tubuh Mahiru langsung meleleh seperti jeli. Amane panik—wajahnya berkerut, dan tetesan air mata yang tak terhitung jumlahnya mulai berjatuhan.

“A-Apa kamu tidak menyukainya?” Amane bertanya dengan khawatir.

“Tidak, bukan itu—hanya saja, um, aku sangat, sangat bahagia...dan emosi di dalam hatiku meluap-luap... Apa aku benar-benar pantas mendapatkan sesuatu yang begitu...menakjubkan?” Melalui isak tangisnya, Mahiru, kini mengalami sesuatu yang belum pernah dia alami sebelumnya secara keseluruhan, mencoba yang terbaik untuk merangkai perasaannya yang meluap-luap ke dalam kata-kata.

Amane berjongkok di samping Mahiru saat Mahiru berusaha mati-matian untuk mengungkapkan emosinya, menunjukkan penampilan yang sebenarnya. Merasakan air mata menggenang di matanya sendiri, Amane dengan lembut membungkus tangan Mahiru yang gemetar dengan tangannya.

Aku senang kamu menyukainya. Aku sudah banyak memikirkannya, bertanya pada diriku sendiri, 'Apa yang bisa aku lakukan di sini untuk membuat Mahiru bahagia?' Aku banyak memikirkan berbagai ide untuk ulang tahunmu dan berkonsultasi dengan banyak orang akhirnya, semuanya sangat sepadan,” kata Amane dengan lembut.

Hal ini berbeda dari pertama kali Amane merayakan ulang tahun Mahiru. Kali ini, ketika Itsuki dan Chitose membantu, mereka tahu bahwa itu semua demi Mahiru juga menawarkan nasihat mereka demi Mahiru, dan teman-teman seperti Yuuta dan Ayaka, serta para senior dan bahkan pemilik pekerjaan paruh waktunya, semuanya berkontribusi untuk mewujudkan hari itu dengan cara mereka masing-masing.

“Bukan hanya aku sajaada banyak orang yang ikut berpartisipasi dalam membantu acara hari ini. Itu menunjukkan bahwa ada banyak orang yang ingin merayakan ulang tahunmu dan bersedia membantuku.”

…Ya.

“Sekarang, tiup lilinnya sebelum meleleh. Itu hak istimewamu sebagai gadis yang berulang tahun.”

Setelah mengelap air mata Mahiru dengan saputangan, Amane memberinya senyuman jahil. Pipinya yang berlinang air mata sedikit mengendur, seolah dia geli lagi, matanya—meskipun masih basah—menjadi cerah kembali saat dia menangis tersenyum malu-malu namun gembira.

Mahiru turun dari sofa dan berlutut di depan meja. Saat nyala lilin menyala dengan lembut di tengah kegelapan, dia meniupnya dengan lembut. Nyala api hanya berkedip-kedip, mencoba menahan nafasnya yang lembut, dan setelah beberapa kali mencoba, Mahiru kembali menatap Amane dengan tatapan gelisah. Kebingungan awalnya justru lebih menggemaskan bagi Amane daripada apa pun.

Melihat Mahiru berjuang, tidak yakin bagaimana cara melanjutkannya, Amane dengan lembut menyemangati dengan menepuk-nepuk punggungnya. “Karena ada tujuh belas lilin, kamu harus meniupnya lebih keras lagi.” Dirinya terus mengawasinya, menginginkan Mahiru meniup semua lilinnya sendiri. Lagipula, meniup lilin kue ulang tahun adalah ritual yang hanya diperuntukkan bagi sang bintang acara.

Didukung oleh dorongan Amane, Mahiru menarik napas dalam-dalam dan meniup lilin seakan-akan ingin memadamkan setiap kekhawatirannya. Saat setiap lilin padam, ruangan menjadi semakin redup, tetapi Mahiru terus memadamkan api satu per satu. Saat dia meniup lilin terakhir, Amane menyalakan kembali lampu ruang tamu.

Kue itu sekarang bisa dilihat dengan segala kemegahannya.

Amane memilih kue yang sederhana. Kue itu dihiasi dengan stroberi dan krim kocok untuk menghormati kue pertama yang diberikan Amane kepada Mahiru tahun lalu. Namun, pada saat yang sama, Amane tidak bisa mengatakan bahwa itu adalah reproduksi yang tepat.

Dekorasinya memang bagus, tetapi di tengah-tengah kue itu terdapat plakat cokelat bertuliskan “Selamat Ulang Tahun” yang ditulis dengan kikuk oleh Amane. Hal itu, dipasangkan dengan lilin yang terletak di antara cokelat dan stroberi, membuatnya menjadi kue yang sama sekali berbeda dari kue yang dibelinya dulu. Meskipun begitu, ia secara khusus memilih kue ini untuk menambahkan kenangan tahun lalu di atas kenangan baru yang mereka buat hari ini.

“Sekarang lampunya sudah menyala, pinggiran kuenya terlihat lebih kasar, ya…” Amane terdiam sebelum meyakinkan, “Y-Yah, meski begitu, rasanya seharusnya enak! jadi aku bisa menjamin sebanyak itu! Karena aku sudah sering berlatih!”

“Hah? Ka–Kapan kamu melakukan itu? Di mana…?”

“Di tempat kerja. Aku meminta bosku untuk mengajariku cara-caranya sementara aku membantunya menguji resep baru.” Saat Ia menyajikan alat penguji rasanya, Amane dengan sungguh-sungguh meminta bantuan Fumika, dan dia langsung menyetujuinya dengan cepat, faktanya, hal itu membuat Amane benar-benar tercengang—dan dialah yang bertanya. “Begitulah caraku melakukannya tanpa pulang terlambat, kalau tidak, kamu pasti akan mengetahuinya. Aku benar-benar berterima kasih padanya.

Meskipun jadwalnya sibuk, Fumika meluangkan waktunya untuk mengajari Amane secara pribadi. Dia berkata, “Hal itu akan meringankan beban orang lain jika lebih banyak orang bisa membuat kue,” tapi Amane tahu bahwa dia hanya mencoba untuk tidak membuatnya tidak enakan, yang mana membuatnya merasa sedikit bersalah.

Di bawah bimbingan Fumika yang baik hati, Amane berhasil mempelajari resep yang sangat mudah untuk membuat kue bolu. Tentu saja, saat membuat kue, kemampuan untuk meniru resep tersebut sangatlah penting. Fumika memberinya instruksi menyeluruh tentang langkah-langkah dan tindakan pencegahan agar Amane bisa untuk memanggangnya sendiri menggunakan peralatan yang Ia miliki di rumah. Berkat itu, Amane sudah terbiasa membuat kue bolu. Meskipun keterampilannya dalam membuat kue bolu masih jauh dari yang diharapkan, Fumika meyakinkannya bahwa itu bukanlah sesuatu yang bisa Ia kuasai dengan mudah. Setidaknya Amane berhasil mempelajari bagaimana membuat kue terlihat rapi sebelum melanjutkan dalam membuat kue yang sebenarnya.

Syukurlah Mahiru tetap merasa senang dengan hal itu.

Dengan perasaan lega, Amane melihat kue yang sudah disiapkan untuknya. “Yah, walapaun itu ada harganya, sih.”

Ha-Harga...? Kau melakukan semua ini untukku dan—”

'Beritahu aku jika pacarmu menyukainya,' katanya... Jadi, bagaimana menurutmu?”

Sejak awal, Fumika tidak ingin meminta imbalan apapun. Namun untuk memenuhi permintaannya dan memuaskan rasa penasarannya sendiri, Amane dengan lembut namun penuh perhatian menatap Mahiru. Terlihat seperti akan menangis lagi, dia mengangguk.

Aku merasa sangat senang, aku bahkan tidak bisa menemukan kata-kata yang tepat. Sungguh, terima kasih banyak,” kata Mahiru, memberinya senyuman kegembiraan yang murni meskipun ia hampir menangis.

Dengan perasaan lega, Amane berterima kasih kepada Fumika dalam hati dan pergi mengambil piring dan pisau kue. Namun, Mahiru kemudian menatapnya dengan tatapan khawatir.

“... Apa beneran tidak apa-apa aku boleh mengalami kebahagiaan seperti ini?”

“Tidak.”

Amane tak sengaja menjawab secara refleks, dan Mahiru membeku di tempat. Dengan cepat menyadari bahwa mengatakan terlalu sedikit kata bisa disalahpahami, Amane buru-buru melanjutkan.

“Oh- Sekedar meluruskan, dengan kata 'tidak' tadi maksudku kebahagiaan yang kamu rasakan saat ini masih jauh dari kata cukup. Aku akan membuatmu lebih bahagia lagi dari ini, jadi kamu tidak boleh puas dulu.”

“... Oke.” Mahiru mengangguk sedikit, rona merah samar mewarnai pipinya.

Setelah berhasil menjernihkan kesalahpahaman, Amane merasa lega lagi. Ia mengambil semua yang dibutuhkan untuk memakan kue tersebut dan kemudian duduk di lantai di sebelah Mahiru.

“Ayo kita potong kuenya sekarang, ya? Tolong abaikan saja kalau semua lilinnya tidak rata.”

Amane sudah berusaha menempatkan lilin sedemikian rupa agar terlihat cantik, tetapi plakat cokelat dan stroberi menghalangi sebagian tempat yang ia tuju, sehingga hasilnya tidak sesuai dengan yang direncanakan. Terlepas dari upayanya, sebagian area memiliki lebih banyak lilin yang saling berdempetan daripada yang lain, yang menunjukkan bahwa ia masih memiliki ruang untuk perbaikan. Ia membuat catatan mental untuk menghindari masalah seperti itu di lain waktu, tetapi untuk saat ini, Amane menyingkirkan semua pikiran itu ke belakang pikirannya dan fokus pada tugas yang sedang dikerjakan, sambil merenungkan cara memotong kuenya.

Setelah mempertimbangkannya sejenak, Amane menyimpulkan, “Sebaiknya kita singkirkan saja lilin-lilin itu untuk saat ini,” dan mulai mencabutnya. Melihat ekspresi sedih pada wajah Mahiru, ia secara hati-hati menempatkan lilin pada piring terpisah untuk meyakinkannya.

Karena ukurannya hanya lima belas sentimeter, ia memutuskan untuk memotong kue itu menjadi empat bagian, sehingga mudah dipotong dan mudah dimakan. Amane menyerahkan piring dengan potongan utama, yang memiliki plakat cokelat di atasnya, kepada Mahiru. “Ini dia.”

Mahiru menerima piring itu dengan hati-hati. Pipinya melembut dan matanya berbinar-binar seolah-olah dia sedang menatap sosok benda yang sangat berharga. Meskipun Amane berpikir bahwa dia sedikit melebih-lebihkan, namun itu juga merupakan bukti betapa besar kegembiraan yang dirasakan Mahiru. Merasa sedikit geli di dalam hati, ia menyerahkan sebuah garpu kepadanya.

Silahkan dinikmati.”

“T-Terima kasih atas makanannya.”

Mahiru tampak sedikit ragu, karena dia tidak bisa memakan potongan itu tanpa mengganggu cokelat yang ada di atasnya.

Mahiru ragu-ragu untuk beberapa saat, tidak tahu harus berbuat apa. Kemudian, dengan ekspresi minta maaf, dia dengan hati-hati melepaskan cokelat dari permukaannya yang berwarna putih. Dirinya meluangkan waktu untuk memotong kue itu secara perlahan-lahan menjadi potongan-potongan seukuran gigitan, tetapi begitu ia mulai memakannya, semuanya lenyap dalam sekejap.

Dengan suara “nyam yang pelan, kontras warna putih dan merah yang indah menghilang dari bibir mungilnya. Matanya yang lebar berwarna karamel mengerjap terbuka, kemudian perlahan-lahan melembut dan menyempit karena gembira.

Melihat ekspresi wajahnya yang tadinya ragu-ragu, kini berganti dengan ekspresi lembut dan senang, Amane merasa yakin bahwa upayanya selama dua minggu terakhir ini, terbayar dengan indah.

“... Bagaimana?” Amane akhirnya bertanya.

“Rasanya lezat.”

Setelah mengunyah dan menelan, Mahiru mengangguk ke arah Amane sambil tersenyum malu-malu. Melihat hal ini, Amane akhirnya membiarkan dirinya rileks. Ia melepaskan napas berat yang telah ditahannya dan menarik napas yang segar, sekarang merasa jauh lebih ringan.

“Syukurlah. Kamu membuatkan kue saat ulang tahunku, jadi aku ingin membalasnya,” kata Amane.

Sebagai seseorang yang ingin membalas kebahagiaan dengan hal yang sama, Amane ingin Mahiru merasakan kegembiraan yang sama seperti yang ia berikan pada hari istimewanya. Karena ia adalah seorang pemula dan tidak memiliki banyak waktu untuk mempersiapkan diri, Amane menyadari bahwa dirinyaa harus memberikan yang terbaik. Daripada mencobanya sendiri, ia memutuskan untuk mencari bimbingan dari seorang ahli. Pendekatan ini begitu berhasil, sehingga Amane menyadari, bahwa memang bijaksana untuk mengandalkan orang lain apabila benar-benar dalam keadaan terdesak.

“Tetapi, dengan kemampuanku, mana mungkin aku bisa membuat sesuatu yang setingkat denganmu, Mahiru. Mengandalkan orang lain memang merupakan cara yang tepat.”

“... Bos baik hati yang mengajarimu, kan?”

“Ya, aku meminta bantuannya. Ketika aku mengatakan, 'Aku ingin membuat kue ulang tahun untuk pacarku,' dia hanya tersenyum padaku. Itu adalah hal yang sangat biasa dilakukannya. Pokoknya, aku sangat berterima kasih padanya,” kata Amane.

Fumika menjelaskan, “Semakin sederhana hidangannya, semakin banyak rasa dari bahan-bahan dan keterampilan pembuatnya yang mempengaruhi rasa akhir.” Karena Amane masih seorang amatir dalam hal membuat kue—meskipun sekarang ia sudah cukup mahir—maka Fumika memastikan untuk mengajarinya dari awal.

Fumika menyuruhnya mencicipi berbagai macam kue untuk menunjukkan bagaimana tekstur bolu yang berbeda dapat dicapai dengan mengubah cara pengocokan telur. Dia juga menunjukkan kepadanya bagaimana kandungan lemak krim mengubah waktu dan teknik pengocokan, membiarkannya bekerja dengan bahan-bahan yang berbeda untuk memahami sifat-sifatnya. Selain itu, dia bahkan memberitahu Amane di mana tempat untuk membeli bahan-bahan terbaik untuk membuat kue, mengarahkannya ke toko kue khusus. Fumika memberinya berbagai macam dukungan untuk membantunya berkembang.

Setelah menerima begitu banyak bantuan selain dipekerjakan olehnya sebagai pekerja paruh waktu, Amane merasa sangat berhutang budi padanya.

“Aku juga ingin mengucapkan terima kasih secara langsung atas bantuannya pada hari ulang tahunmu, tapi…kamu tidak ingin aku pergi, kan?” kata Mahiru ragu-ragu.

Bu-Bukannya aku melarangmu ke sana,” Amane dengan cepat menjawab. “Aku hanya lebih suka jika kamu datang setelah pekerjaanku menjadi lebih baik… Kamu tahu, rasanya akan memalukan jika aku tidak melakukan pekerjaan dengan baik dan sejeningnya.”

Amane sekarang sudah bekerja selama lebih dari sebulan, jadi dirinya yakin kalau Ia sudah terbiasa dengan pekerjaan itu. Tapi di saat yang sama, Ia tidak yakin kalau keterampilannya sudah cukup bagus untuk ditunjukkan kepada Mahiru.

Ia percaya bahwa sebagian besar orang merasa sedikit tidak nyaman diawasi oleh teman-teman mereka atau pasangannya saat mereka sedang bekerja, dan menunjukkan kepada Mahiru bagaimana kinerjanya di layanan pelanggan hanya akan memperburuk perasaan itu pada Amane. Jika dirinya ingin memamerkannya kepada Mahiru, Amane ingin Mahiru bisa melihat bahwa dirinya menangani semuanya dengan percaya diri. Ia merasa kasihan karena membuat Mahiru menunggu, tapi ini bukanlah sesuatu yang bisa dikompromikan oleh Amane.

Amane ingin menunjukkan sisi terbaiknya kapan pun, meskipun Mahiru sudah melihat banyak kelemahan dan momen canggungnya, ini adalah prioritas utamanya.

“Tapi bagiku, kamu tetap kelihatan manis meski sedang panik, Amane-kun.”

“Yah, itu tidak bagus… Aku ingin kamu menganggapku keren.”

Baiklah. Kalau begitu, aku akan menunggu.”

Meski bersedia memaafkan Amane karena telah membuatnya menunggu, Mahiru tersenyum gembira. Amane membungkuk dalam hati, berterima kasih atas kemurahan hati Mahiru sambil membawakan sepotong kue ke dalam mulutnya.

Berkat bimbingan Fumika, kuenya menyatu dengan indah. Sponsnya, yang diolesi sirup, lembab tanpa terlalu berat dan memiliki tekstur halus dan lembut yang meleleh lembut di mulut bersama dengan stroberi yang diapit di dalamnya agar rasanya tidak terlalu manis, sehingga rasa asam dan manis stroberinya benar-benar terpancar. Sementara Mahiru menyukai makanan penutup yang rumit dan penuh gaya, dia pada akhirnya tertarik pada rasa klasik seperti ini. Amane berpikir kalau dirinya berhasil membuat ulang kue yang sesuai selera Mahiru.

Amane melirik ke arah Mahiru, melihatnya menikmati kue dengan ekspresi lembut dan tenang, seolah-olah dia menghargai setiap gigitannya. Dia tampak lebih puas daripada biasanya saat menikmati hidangan penutup, alisnya mengendur karena kepuasan yang tulus.

“Ini benar-benar enak,” kata Mahiru lembut.

“…Syukurlah, aku senang mendengarnya.”

Jika Mahiru menyukainya, maka itu adalah kemenangan terbesar bagi Amane.

Membuat kue untuk Mahiru sesekali bukanlah ide yang buruk, pikirnya sambil perlahan menikmati kue manis namun tidak terlalu manis yang di atasnya diberi senyuman Mahiru.

 

 

Ketika Mahiru selesai makan, Amane mengatur waktu pergerakannya dan menuju ke dalam kamar tidur tempat Ia menyiapkan hadiah. Amane tahu bahwa jika ia membiarkannya terbungkus secara mencolok di ruang tamu yang terang benderang, rasanya akan terlalu mudah untuk menebak apa yang ada di dalamnya. Namun, Mahiru sepertinya merindukannya saat ia meninggalkan ruangan, mengikutinya dengan matanya saat ia pergi. Amane kembali dengan hadiah di tangannya, dan ia mengedipkan mata beberapa kali karena terkejut.

Amane merasa senang ketika ia menyadari bahwa ia telah melihat banyak ekspresi Mahiru seperti itu hari ini. Ia berlutut di kaki Mahiru sementara dia duduk di sofa dengan kebingungan, ia dengan lembut meletakkan kado itu di tangannya, yang berada di atas pahanya yang sejajar dengan rapi.

“Ini hadiah ulang tahunmu. Pengalaman dan kenangan memang penting, tetapi aku juga ingin memberimu sesuatu yang nyata yang bisa kamu pegang.”

Buket bunga itu tidak lebih dari sekadar pembuka, dengan kue dan hadiah ini menyusul setelahnya, dan kemudian satu barang terakhir yang menjadi acara utama.

Meskipun Amane menyebutnya sebagai hadiah, namun itu bukanlah sesuatu yang mewah. Sebagai seorang siswa SMA, pilihannya terbatas pada apa yang mampu dibelinya dan apa yang akan disukai Mahiru. Walau begitu, Amane percaya bahwa pemikiran dan alasan di balik pilihannya merupakan yang paling penting. Setelah banyak pertimbangan, ia memutuskan untuk memberikan hadiah ini kepada Mahiru dengan caranya sendiri.

“Sejujurnya, Mahiru, kamu selalu membeli barang yang kamu butuhkan, dan kamu tidak akan terlalu senang jika aku memberimu sesuatu yang mahal. Kamu mungkin akan merasa bersalah karenanya. Jadi, aku benar-benar kesulitan untuk memilih sesuatu.”

Ia pernah berbicara dengan Chitose sebelumnya, dan mereka berdua sepakat bahwa Mahiru bukanlah orang yang materialistis. Dia adalah seseorang yang membeli apa yang dibutuhkannya tanpa ragu-ragu, dan itu membuatnya menjadi orang yang cukup menantang untuk dibeli.

Amane tahu bahwa Mahiru akan senang dengan apa pun yang Ia berikan padanya, tapi itu hanya membuatnya semakin sulit untuk memilih.

Ketika ia berbisik dengan lembut, “Silakan buka,” Mahiru seakan tersadar dari kekakuannya. Cara dia meliriknya seolah-olah meminta izin membuat Amane geli, dan ia tidak bisa menahan tawanya. Mahiru sedikit cemberut melihat reaksinya, tetapi dengan campuran gugup dan antisipasi, dia mulai membuka pita yang melilit kotak itu dengan hati-hati. Amane menyadari jemarinya sedikit gemetar, tapi memutuskan untuk tidak mengatakannya.

Mahiru membuka ikatan pita merah mengkilap, sesuatu yang diasosiasikan oleh banyak orang dengan hadiah. Dia kemudian dengan hati-hati membuka kertas pembungkusnya, dan akhirnya membuka kotak yang berisi kado itu sendiri.

Ketika Mahiru menatapnya untuk meminta stempel persetujuannya lagi, Amane tertawa dan menyemangatinya, “Silakan, kamu bisa membukanya.” Sambil menahan napas, Mahiru dengan lembut mengangkat tutup kotak itu. Di dalamnya, terletak sebuah kotak yang terbuat dari bahan empuk, yang pas di kedua telapak tangan Mahiru. Yah, menyebutnya “kotak” tidak sepenuhnya akurat. Ini bukanlah situasi seperti matryoshka di mana hadiahnya hanya berupa serangkaian kotak polos. Amane tidak akan pernah memberikan hadiah yang hambar.

Yang dipegang Mahiru di tangannya sekarang adalah sebuah kotak perhiasan bergaya antik dari kayu. Warnanya yang berselera tinggi dan desain elegan yang menampilkan bunga-bunga favoritnya membuatnya menjadi barang yang halus dan indah, lebih canggih dan anggun daripada sekadar imut.

“Um, aku membawakanmu sebuah kotak perhiasan yang kupikir akan kamu sukai,” kata Amane.

Biasanya, memberikan perhiasan atau kosmetik adalah pilihan yang aman untuk hadiah ulang tahun pacar, tetapi setelah mempertimbangkan berbagai pendapat, Amane memutuskan untuk memberikan ini.

Sebagian karena kepribadiannya, Mahiru dikenal sangat menjaga barang miliknya, terutama barang yang diberikan oleh orang lain, yang cenderung dia jaga dengan cermat. Amane telah mendengar bahwa dia dengan hati-hati merawat dan menyimpan setiap barang yang diberikan kepadanya untuk mencegah kerusakan, dan dia sangat menghormatinya untuk itu. Oleh karena itu, ia ingin memberinya tempat khusus untuk menyimpan barang-barang yang disayanginya-sesuatu yang akan menyimpan dan melindungi kenangannya yang berharga.

“Mahiru, aku tahu kamu selalu menjaga dengan baik semua yang kuberikan padamu. Itu sebabnya aku pikir mungkin akan lebih baik jika kamu memiliki tempat khusus untuk menyimpan semuanya. jadi bukan berarti aku memaksamu untuk menggunakannya atau apa pun!”

Amane menekankan bahwa meskipun Ia telah memberikannya, Mahiru tidak berkewajiban untuk menggunakannya, dan mengatakan bahwa itulah perbedaan yang penting. Setelah itu, Ia berdeham.

“Kupikir akan menyenangkan jika memiliki tempat di mana kamu bisa menyimpan barang-barang yang akan kuberikan padamu di masa depan,” tambahnya, meski agak canggung. Amane merasa malu untuk mengatakannya secara langsung, sehingga membuat kata-katanya menjadi tidak jelas sulit untuk dibentuk. Namun perlahan, ia menyuarakan keinginan yang ada di dalam hatinya. “Aku hanya berpikir bahwa akan lebih baik jika kotak itu akhirnya terisi hanya dengan barang-barang yang kuberikan padamu… Maaf, itu hanya keinginan egoisku.

“…Itu tidak egois,” jawab Mahiru lembut.

Amane hendak menyunggingkan senyum mencela diri sendiri, berpikir bahwa ia egois karena memasukkan keinginannya sendiri ke dalam hadiah yang ia pilih. Namun, Mahiru, dengan kepala tertunduk, menggelengkan kepalanya. Suaranya sedikit bergetar, dan setetes air mata besar yang mirip dengan batu permata jatuh dari matanya, memercik ke punggung tangannya saat ia meletakkannya di atas kotak.

Dirinya tidak perlu diberitahu. Amane sudah tahu bahwa itu bukan air mata yang lahir dari kesedihan.

“... Mau berapa kali kamu ingin membuatku menangis hari ini, Amane-kun?”

“Jika itu karena kebahagiaan, maka sebanyak yang diperlukan.”

“…Duhh,” bisiknya, nada suaranya yang sedikit merajuk, namun penuh kasih sayang merupakan bukti kepercayaan mendalam yang dia miliki pada Amane.

Saat Mahiru akhirnya mengangkat kepalanya, dia memberikan Amane senyuman termanis dan paling mempesona, senyuman yang begitu puas hingga seakan meredakan kemerahan di sekitar matanya karena menangis.

Saat aku pulang, aku harus menyimpan semuanya di sini. Gelangku, jepit rambutku. Semua hartaku," Mahiru terkikik. "Setiap kali aku membukanya, aku akan dipenuhi dengan kebahagiaan.

Mahiru dengan lembut membuka tutupnya seolah sedang memegang sesuatu yang rapuh. Di dalamnya terdapat interior yang sederhana dan luas tanpa sekat untuk kompartemen, dan tempat penyimpanan tiga lapis tidak bisa menyembunyikan kegembiraan dalam suaranya saat dia mengagumi kotak itu.

“Aku ingin terus mengisi kotakmu dengan harta yang lebih banyak lagi,” kata Amane.

“Sepertinya ada banyak ruang bukan hanya untuk aksesoris, jadi aku harus menyimpan barang penting lainnya di sini juga,” jawab Mahiru.

Seperti apa?

“Hehe, kenangan dari kenangan yang kualami bersamamu, Amane-kun, itu hanya hal kecil, jadi aku akan merahasiakannya.”

Amane dengan jelas mengingat hadiah yang Ia berikan padanya, tapi dari cara Mahiru berbicara, sepertinya dia juga menghargai barang-barang lain yang sebenarnya tidak dimaksudkan sebagai hadiah.

Ia merasa sedikit bersalah saat menyadari bahwa ia tidak bisa mengingat benda apa itu. Namun, Mahiru, yang menyadari kegelisahannya, hanya tersenyum padanya, menunjukkan bahwa dia tidak merasa terganggu sama sekali.

“Kamu merahasiakannya, ya?”

“Ya… Itu adalah barang yang mungkin kamu berikan padaku tanpa banyak berpikir, atau barang yang kita dapatkan saat kita keluar bersama. Jadi wajar jika kamu tidak akan mengingat semuanya. Harap nantikan ketika waktunya tiba. Setelah kotaknya penuh, aku akan menunjukkan padamu semua yang tersimpan di dalamnya. Dengan begitu, kita bisa melihat ke belakang dan mengenangnya bersama.”

Tentu.

Tentu saja, mereka akan terus menciptakan lebih banyak kenangan bersama. Tidak, mereka akan menciptakannya— Amane yakin mereka akan menciptakannya.

Aku berharap suatu hari nanti, kotak ini akan penuh dengan kebahagiaan kita, harap Amane, diam-diam menyampaikan harapan ini kepada Mahiru dengan matanya ke masa depan yang akan mereka bangun bersama.

 

 

Melihat Mahiru diam-diam memejamkan matanya, menikmati sisa-sisa perayaan ulang tahunnya, Amane merasa sedikit bangga, berpikir bahwa semuanya telah berjalan baik sejauh ini. Namun, dengan bagian terakhir dari rencana yang masih tersisa, Amane tidak yakin bagaimana Mahiru akan bereaksi. Ia merapatkan kedua bibirnya, mengingatkan dirinya sendiri untuk tidak lengah.

Pandangan sekilas ke dinding menunjukkan jarum jam dinding, yang tersembunyi secara halus oleh dekorasi, terus mendekati waktu yang dijanjikan..

…Sudah hampir waktunya.

Waktunya telah tiba untuk kejutan terakhir—dan mungkin yang terbesar —di ulang tahun Mahiru.

Mahiru, percaya bahwa semua perayaan hari ini sudah berakhir dan yang tersisa hanyalah menikmati hangatnya kebahagiaan, duduk di sofa, dengan lembut menekan bantalan kaki lembut boneka kucing itu.

Amane merasa benar-benar menyesal telah mengganggunya saat dia sedang begitu santai, tapi mereka sudah mencapai titik tidak bisa kembali lagi, sehingga Amane tidak punya pilihan selain menguatkan diri menghadapi apa yang akan terjadi.

“…Umm, Mahiru, begini…”

Ya?

Mahiru menatap ke arah Amane tanpa sedikitpun rasa waspada. Ekspresinya bahkan lebih lembut dan lebih santai dari biasanya, diwarnai dengan pancaran cahaya kegembiraan, yang dipenuhi dengan kasih sayang padanya, begitu lucu hingga Amane merasa seolah-olah hal itu bisa menyebabkan masalah lima sariawan tumbuh di bagian dalam pipinya hanya karena manisnya pemandangan itu.

Amane menggigit bagian dalam pipinya untuk menekan keinginan besar untuk menghujaninya dengan kasih sayang, lalu memaksa dirinya untuk tetap bersikap tenang sambil melanjutkan.

“Sebenarnya, masih ada satu kejutan lagi untukmu.”

“Kamu sudah melakukan cukup banyak, tapi masih ada lagi? Bukannya kamu sudah menyiapkan terlalu banyak hal?”

Yang ada itu masih belum cukup untuk menebus semua ulang tahun yang seharusnya kamu alami sampai sekarang. Tidak ada salahnya untuk menjadi sedikit lebih serakah dan meminta lebih banyak, tau?”

“T-Tidak, bukan itu… Maksudku, um, aku mungkin akan kewalahan, misalnya seperti, mungkin terlalu berat bagiku untuk mengambil semuanya sekaligus.”

“Yah, jika itu yang terjadi, aku minta maaf.”

Hah?

Faktanya, Amane telah menyiapkan kejutan terakhir dengan kesadaran penuh bahwa hal itu mungkin akan membuat dirinya kewalahan.

Mahiru menatap Amane dengan ekspresi bingung, jelas sekali tidak mengerti apa maksudnya. Karena tidak berani menjelaskan lebih lanjut, Amane diam-diam berdiri, siap membuka tirai untuk hadiah terakhir dan terbesar yang bisa Ia berikan—kejutan dari semua kejutan.

“Semuanya sudah siap, jadi tunggu saja sementara aku menyelesaikan sentuhan terakhir.”

Meninggalkan Mahiru yang kebingungan, Amane kembali ke dalam kamarnya untuk membawa kembali laptop yang sudah disiapkannya sebelumnya. Kemunculan tiba-tiba laptop yang baginya tampak seperti tidak ada hubungannya, hanya membuat Mahiru semakin penasaran, tetapi Amane tetap tabah dan memilih untuk tidak menjelaskan lebih lanjut. Ia hanya meletakkan laptop itu di atas meja rendah, sambil tetap menjaga suasana misterius dan antisipasi.

Layar yang dibukanya menampilkan ruang tunggu dari aplikasi konferensi video, siap untuk sebuah panggilan.

“Yah, aku mungkin... terlalu ikut campur dalam hal ini, tapi...”

Kejutan terbesar hari itu, diputuskan sepenuhnya oleh penilaian Amane sendiri dan mungkin sedikit rasa pembenaran diri, adalah sesuatu yang tidak dapat dia capai sendiri. Sementara hatinya dipenuhi dengan antisipasi, berharap Mahiru akan senang, rasa takut yang mengganggu tetap ada-kecemasan bahwa tindakan lancangnya mungkin tidak disukai. Bagi Amane, hal ini hampir seperti mengambil sebuah pertaruhan yang berisiko.

Tentu saja, ia tahu bahwa Mahiru akan sangat senang tanpa kejutan terakhir ini-dia sudah menangis bahagia sebelumnya. Jadi mungkin, ini bukanlah sesuatu yang seharusnya Amane lakukan. Tapi sekarang rencananya sudah dijalankan sampai sejauh ini, tidak ada jalan untuk kembali.

Amane perlu menguatkan dirinya dan menyelesaikannya sampai tuntas.

“Kamu mungkin berpikir ini hanyalah bantuan yang tidak diinginkan atau aku bertindak terlalu lancang, tapi aku bukan satu-satunya orang yang ingin mengucapkan selamat padamu. Ada orang lain yang peduli dan selalu memikirkanmu.”

Hari ini, ada banyak orang merayakan hari kelahiran Mahiru, dan memberi selamat padanya. Teman-teman terdekat dan paling disayanginya berkumpul untuk membantu dan merayakan ulang tahunnya. Pastinya, dia pasti sangat gembira, tidak ada yang perlu dikeluhkan. Namun, Amane tidak bisa menghilangkan perasaan bahwa ada sesuatu yang kurang. Tidaklah cukup baginya untuk dirayakan oleh teman-temannya saat ini dan mereka yang telah mengambil peran sebagai orang tua dalam hidupnya. Amane bertanya-tanya, memangnya tidak ada seseorang dari masa lalunya, seseorang yang pernah dikagumi dan sangat dicintai Mahiru, yang telah ditinggalkan. Seseorang yang ingin merayakan kelahirannya dari lubuk hati yang paling dalam.

Setelah mengirim pesan dalam obrolan untuk mengonfirmasi bahwa semuanya sudah siap, Amane menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan detak jantungnya yang berdegup kencang. Kemudian, ia menekan tombol dengan ikon telepon.

Layar bergeser dari ruang kosong dan gelap menjadi tampilan yang bersinar dengan warna-warna cerah.

Ojou-sama.”

Suara lembut terdengar pelan dari speaker komputer.

Suaranya, tidak keras maupun pelan, memiliki nada yang lembut dan tenang. Itu bukanlah suara yang dikenali Amane, tapi bagi Mahiru, mungkin ceritanya berbeda.

Ucapan “Hah?” yang terkejut keluar dari bibir Mahiru, suaranya sedikit bergetar.

Dalam sekejap, Mahiru melonjak dari sofa, mendarat di lantai dengan perasaan terdesak. Dia bersandar di dekat laptop di meja rendah, menatap layar dengan saksama, yang biasanya begitu tenang penuh dengan keterkejutan dan ketidakpercayaan.

Mata Mahiru terbelalak. Tidak dapat mempercayai apa yang dilihatnya, mulutnya yang agak menganga, membuatnya tampak hampir linglung. Tampak jelas bahwa dia benar-benar kebingungan, bahkan mungkin tercengang. Wanita di layar, yang tampaknya berusia sekitar satu dekade lebih tua daripada orang tua Amane sendiri, tampaknya menyadari ketidakpercayaan Mahiru. Dengan senyum elegan yang mengandung sedikit kejutan dan hiburan, wanita itu menatap langsung ke arah Mahiru.

Aku sudah mengundurkan diri dari tugasku, jadi mungkin cara menyapamu seperti ini sudah tidak tepat lagi. Mari kita lihat...”

Mahiru tetap terdiam, tubuhnya menegang saat dia menatap layar, sementara wanita ituKoyukimenatapnya melalui layar dan tersenyum lembut.

“... Mahiru-san, sudah lama tidak bertemu.”

Dengan anggun meletakkan satu tangan di dadanya, Koyuki memanggil nama Mahiru dengan senyuman halus. Tidak terpengaruh oleh keterkejutan Mahiru, Koyuki terus berbicara.

“Maafkan aku karena memanggil namamu secara tiba-tiba, tapi karena aku sudah tidak bekerja lagi, maukah kamu mengizinkanku memanggilmu dengan nama yang kamu berikan?”

Ke-KenapaBagaimana... Apa ini nyata?”

Apa kejutan kecil kita sukses?” Koyuki menggoda, terkikik kecil.

Tidak berlebihan jika dikatakan bahwa itu sukses besar-sampai-sampai Amane khawatir hal itu akan membuat Mahiru terkejut sampai-sampai jantungnya bisa berhenti. Kejutan itu benar-benar membuatnya lengah.

Bahkan dari jarak yang tidak terlalu jauh, Amane dapat melihat bagaimana Mahiru semakin dibuat bingung oleh nada suara Koyuki yang ceria namun halus. Itu tidak kasar tetapi membawa suasana keanggunan yang dewasa, membuat situasi menjadi lebih luar biasa bagi Mahiru.

“H-Hah? Apa? B-Bagaimana kita...”

“Ah, kamu pasti bingung bagaimana aku bisa ada di sini dalam panggilan video ini. Mengenai bagaimana caranya, kurasa pria jantan yang duduk di sebelahmu akan lebih cocok untuk menjawabnya.”

Menyadari bahwa subjek pembicaraan kini telah diarahkan padanya, Amane tidak bisa menahan tawa pelan. Saat Mahiru dengan cepat berbalik menghadapnya, ia tahu bahwa ia tidak punya pilihan lain selain menjelaskan. Dengan lembut membimbingnya untuk duduk kembali di sofa, ia menatapnya, menguatkan diri untuk memberikan penjelasan yang jelas-jelas ia tunggu.

Ehm... pertama-tama, izinkan aku meminta maaf dulu. Maafkan aku.”

“Hah?”

“Aku melakukan sesuatu yang buruk.”

“Bu-Buruk...?”

Bukannya kamu penasaran bagaimana aku bisa menghubunginya?”

Koyuki adalah pengurus rumah tangga dan guru Mahiru, yang bertanggung jawab menjaganya sebelum Mahiru bertemu Amane. Amane tidak memiliki hubungan langsung dengan Koyuki dan belum pernah berbicara dengannya atau bahkan mendengar suaranya sebelumnya. Tentu saja, Mahiru akan segera menyadari bahwa mana mungkin Amane bisa mengetahui informasi kontaknya sendiri.

Segera setelah Mahiru mengeluarkan “Ah” kecil, langsung menyadari apa yang dia maksud, perasaan bersalah muncul di benak Amane. Ia menarik napas dalam-dalam, mengatur penjelasan yang telah ia siapkan dalam pikirannya, dan kemudian perlahan mulai berbicara, siap untuk menjelaskan bagaimana semuanya terjadi.

Apa kamu ingat ketika, um, kita berbicara tentang bagaimana aku ingin menyapa KoyuKujigawa-san?”

“Y-Ya?”

“Saat kamu menunjukkan fotonya padaku, aku seperti ... melihat sekilas sebuah catatan. Dan aku, eh, benar-benar menghafal alamat dan nomornya.”

Begitulah cara Amane menemukan informasi pribadi Koyuki.

Ternyata, meskipun mereka biasanya berkomunikasi melalui surat, Koyuki meninggalkan beberapa metode kontak yang tersedia. Pada sebuah catatan yang disimpan bersama dokumen penting lainnya, alamat email, alamat surat, dan nomor telepon Koyuki tercantum. Ketika Amane melihat sekilas catatan itu, alamat emailnya terlihat menonjolitu khas dan mudah diingat. Meskipun ia tidak menatapnya secara saksama, namun alamat itu langsung melekat di benaknya.

Sejujurnya, Amane menghabiskan beberapa hari untuk mempertanyakan apakah ia benar-benar tidak masalah mengirim email itu, berulang kali bertanya pada dirinya sendiri apa ia telah melewati batasbukan hanya melanggar etiket, tetapi juga moralitas. Perutnya terasa sesak setelah menekan tombol KIRIM, sesuatu yang masih bisa diingatnya dengan jelas sampai sekarang.

Amane selalu berniat untuk memperkenalkan dirinya dengan baik suatu hari nanti, tetapi ia tahu bahwa melakukannya dengan cara seperti ini tanpa izin, bukanlah cara yang tepat untuk melakukannya.

Ia sepenuhnya sadar bahwa melibatkan Koyuki dalam hal ini didorong oleh keinginan egoisnya sendiri. Namun, meski mengetahui hal ini, Amane mau tidak mau merasa bahwa Ia membutuhkan bantuannya, apa pun yang terjadi.

“Mahiru, Kujikawa-san. Aku benar-benar meminta maaf karena telah memperoleh dan kemudian menggunakan informasi pribadimu tanpa izin. Aku sangat menyesali tindakanku.”

Mengetahui bahwa gambarnya disiarkan di ujung sana, Amane bergerak ke depan kamera dan membungkuk dalam-dalam, menundukkan kepala sebagai ungkapan permintaan maaf yang tulus. Ekspresi Koyuki berubah menjadi senyuman masam, seakan-akan mengatakan, “Mau bagaimana lagi.” Ketika Amane pertama kali menghubungi Koyuki, ia juga telah meminta maaf sebesar-besarnya, dan bahkan sekarang, ia merasa itu tidak cukup, jadi dia terus menundukkan kepalanya. Setelah beberapa saat, dia mendengar suara Koyuki yang sedikit jengkel mencapai bagian belakang kepalanya.

Ya ampun, tolong angkat kepalamu. Pada awalnya, aku menduga itu hanyalah email penipuan, dan aku bahkan berkonsultasi dengan anakku dan istrinya tentang hal itu.”

“Aku benar-benar minta maaf.”

“Aku akan memaafkanmu kali ini karena mempertimbangkan keputusasaanmu. Tekadmu untuk melakukan apa pun untuknya, bersama dengan rasa bersalah yang kamu rasakan, jelas terlihat. Tapi tolong, lain kali lebih berhati-hati, oke?”

“Ya. Itu tidak akan terjadi lagi.” Amane tidak berniat melakukan sesuatu yang begitu terang-terangan tidak sopan dan melewati batas seperti ini lagi.

Dari sudut pandang Koyuki, Amane pada dasarnya adalah orang asing, secara praktis tidak ada bedanya dengan orang yang mencurigakan. Fakta bahwa Koyuki tidak hanya mendengarkannya, tetapi juga setuju untuk membantu, membuat Amane merasa sangat berterima kasih, sekaligus merasa bersalah.

Bisakah kamu juga memaafkannya atas permintaanku, Mahiru-san? Ia menjelaskan semuanya padaku dengan sungguh-sungguh, sambil menundukkan kepalanya sepanjang waktu. Ia tahu bahwa itu adalah permintaan yang tidak sopan dan mungkin lancang, namun ia masih bertanya apa aku bisa membantunya.”

“A-aku tidak marah sama sekali! Amane-kun selalu berusaha keras demi diriku, dan aku tahu ia juga melakukan ini untukku. Aku hanya merasa sangat, sangat bahagia, bersyukur, sekaligus merasa bersalah.

“Jika kamu bahagia, maka tidak ada lagi yang bisa aku minta sebagai pacarmu.”

Ia sangat bersemangat saat berbicara kepadaku, tau? Ia mengatakan kepadaku bahwa ia menginginkan kamu mengalami pesta ulang tahun yang paling membahagiakan dalam hidupmu, dan bahwa keterlibatanku memainkan peran penting dalam mewujudkannya. Ketika ia memintaku dengan begitu tulus, bagaimana mungkin aku menolak untuk membantu? Selain itu, jika aku bisa menjadi bagian dari kebahagiaanmu, Mahiru-san, kehormatan apa lagi yang lebih baik?

Saat kata-kata lembut Koyuki tersampaikan padanya, air mata lain menetes dari mata Mahiru, mengalir pelan di pipinya yang memerah. Amane secara naluriah memahami sifat emosi yang meluap dan bermanifestasi sebagai air mata. Sadar bahwa ia telah melembutkan hati Mahiru sepanjang hari, ia memberikan sapu tangan yang ia simpan di dekatnya. Mahiru menerimanya dengan senyum kecil penuh syukur.

“Sekali lagi, sudah lama tidak bertemu, Mahiru-san.”

Setelah menunggu luapan emosi Mahiru terhapus dengan sapu tangan itu, Koyuki dengan lembut menyapanya sekali lagi.

Menyaksikan interaksi mereka, Amane berpikir mungkin akan lebih baik untuk meninggalkan mereka untuk reuni yang telah lama ditunggu-tunggu secara pribadi. Namun, saat ia mulai melangkah pergi, ujung jari Mahiru dengan lembut menggenggam lengan bajunya, sebuah isyarat kecil perlawanan yang secara alami membuatnya terpaku di tempat. Meskipun Mahiru mungkin tidak mempermasalahkan hal itu, Amane khawatir kehadirannya akan mengganggu reuni mereka. Namun ketika ia melirik Koyuki, dia hanya tersenyum hangat dan, dengan tatapannya, mendorongnya untuk tetap tinggal.

Sepertinya Koyuki tidak menganggapnya sebagai pengganggu reuni mereka.

Mahiru menepuk kursi di sebelahnya di sofa, dengan lembut mendorong Amane untuk duduk di sampingnya.

Ketika Amane melihat ke layar laptop, senyum Koyuki yang selalu ceria namun sulit dipahami muncul di wajahnya. Meskipun Ia ragu-ragu sejenak, Ia percaya bahwa Ia bukannya tidak diterima dan diam-diam duduk di sebelah Mahiru.

Kita telah bertukar surat dalam beberapa kesempatan, tetapi aku tidak pernah ... Kira-kira apa pantas bagiku untuk menghitung jumlah pertemuan kita, tetapi aku tidak pernah memiliki kesempatan untuk melihat seberapa banyak kamu telah berkembang... sampai saat ini. Aku benar-benar bersyukur atas kesempatan ini.

“Su-Sudah lama sekali, Koyuki-san...”

“Astaga, tolong tunjukkan senyummu daripada air mata itu. Bagaimanapun juga, kamu telah memberiku kesempatan berharga untuk melihat wajahmu.”

“Baiklah.”

Mahiru, akhirnya menangkap air mata besar yang terus tumpah dari matanya dengan sapu tangan, berhasil menunjukkan senyum cerah. Melihat hal ini, ekspresi Koyuki melembut menjadi senyuman lega.

“Tapi, setelah kupikir-pikir, fakta bahwa kamu bisa menangis secara terbuka sekarang merupakan suatu hal yang patut dirayakan. Itu menunjukkan bahwa kamu telah mendapatkan kekuatan untuk menunjukkan dirimu kepada orang lain di saat-saat yang rentan.”

Sebagai seorang anak kecil, Mahiru adalah seorang yang kuat tetapi juga rapuh, tidak pernah mau menunjukkan kelemahannya, bahkan kepada Koyuki. Dia jarang menunjukkan air matanya, memendam semua yang ada di dalam dirinya dan tidak dapat mengandalkan siapa pun, tidak peduli seberapa besar dia terluka. Mahiru tidak punya pilihan selain menanggung semuanya sendirian. Tapi sekarang, Mahiru telah melepaskan cangkang kaku itu. Dia sudah berubah menjadi lebih lembut, lebih terbuka, namun pada saat yang sama, dia telah tumbuh lebih kuat dan tangguh.

“Kamu telah tumbuh dengan cantik sekali, Mahiru-san.”

“... Terima kasih.”

“Kamu terlihat jauh lebih cerah dibandingkan dengan terakhir kali aku melihatmu. Ada cahaya yang berbeda di matamu. Kamu pasti diberkati dengan lingkungan yang indah. Aku benar-benar senang."

“Ya...”

Suara Koyuki, salah satu suara lega yang dalam, tidak salah lagi berasal dari seseorang yang benar-benar peduli pada Mahiru.

Senyum lembutnya membawa keprihatinan dan kelegaan, mengungkapkan betapa dia sangat mengkhawatirkan Mahiru saat itu.

Meskipun Mahiru akhirnya berhenti menangis, dia telah mengadopsi postur tubuh yang sangat baik, punggungnya lurus dan tubuhnya sedikit tegang, seolah-olah dia mencoba untuk mengecilkan dirinya sendiri. Melihat hal ini, Koyuki mendekatkan tangannya ke mulutnya dan tersenyum dengan anggun, geli melihat reaksi Mahiru.

Sambil tertawa, Koyuki berkata, Kamu tidak perlu bersikap terlalu formal begitu—aku bukan lagi salah satu karyawanmu. Aku hanya seorang wanita tua biasa sekarang.”

“A-Aku... sudah lama sekali, dan, um, aku sedikit gugup!” Mahiru tergagap.

“Ya ampun. Hehe, kurasa perasaan itu wajar, karena kebahagiaanku telah membuatku bersikap sedikit terlalu akrab juga.”

Melihat Mahiru dengan mudah merasa malu dengan jawabannya, senyum Koyuki sedikit melebar.

“Maafkan aku karena menanyakan hal yang sangat biasa, tapi bagaimana kabarmu? Meskipun aku sudah membaca surat-surat yang kau kirimkan dari waktu ke waktu, aku ingin mendengarnya langsung darimu.”

“Ya, aku baik-baik saja. Cukup...”

“Kaku sekali. Kamu tidak perlu terlalu gugup-aku tidak akan marah atau menghilang darimu.”

“Mengerti...”

Tuh, kamu bersikap formal lagi.”

“Uuu...”

“Ini adalah sesuatu yang harus kamu biasakan, Mahiru-san.”

Bahkan setelah ditunjukkan lagi, ketegangan Mahiru tampaknya tidak berkurang. Dia terus duduk dengan punggung yang sangat tegak, menunjukkan betapa gugupnya dirinya selama reuni yang sudah lama ditunggu-tunggu ini. Namun demikian, caranya menatap layar dengan mata penuh kepercayaan dan kasih sayang, menunjukkan bahwa hanya masalah waktu saja, sebelum dia merasa nyaman kembali.

Tapi sungguh, aku senang mendengar kamu baik-baik saja. Meskipun, aku sudah bisa tahu dari raut wajahmu... Kamu telah bertemu dengan seseorang yang luar biasa, bukan?

“Ya.”

Terkejut oleh pujian yang tidak terduga, Amane duduk dan membetulkan postur tubuhnya. Fakta bahwa Mahiru segera menegaskan hal itu membuatnya merasa malu, menyebabkan tatapannya mengembara dengan tidak nyaman.

“Jika kamu bilang begitu, maka kurasa aku tidak perlu khawatir. Asal kamu tahu saja, aku sudah tahu kalau ia sudah berlarian dan bekerja keras demi kekasihnya yang manis, jadi aku tidak pernah meragukan kalau ia orang yang baik.”

Koyuki mengeluarkan tawa yang lembut dan halus, berkata, Setelah hidup cukup lama, kamu bisa dengan mudah membedakan orang yang baik dan yang buruk.” Meskipun Amane merasakan sedikit rasa sakit di perutnya, ia tetap tersenyum sopan, ia tahu betul bahwa keputusannya sendiri untuk menghubunginya tanpa izinlah yang menyebabkan situasi ini. Amane menyimpan ketidaknyamanannya untuk dirinya sendiri.

Entah Koyuki menyadari perasaan campur aduk Amane atau tidak, dia mempertahankan ekspresi elegannya, tidak menunjukkan tanda-tanda perubahan.

“... Aku benar-benar tidak bisa berterima kasih pada Amane-kun,” ucap Mahiru. “Ia sudah melakukan banyak hal untuk mempersiapkan semua ini untukku, bahkan sampai mempertemukanku denganmu, Koyuki-san.”

“Mahiru, kamu tidak perlu khawatir. Aku hanya melakukannya karena aku ingin melakukannya.”

Sebenarnya, Amane merasa bahwa seharusnya ia yang selalu meminta maaf, namun kenyataan bahwa Mahiru begitu bahagia membuatnya merasa bangga sekaligus lega. Meskipun metodenya agak dipertanyakan, namun sulit baginya untuk merayakannya sebanyak yang ia inginkan.

Karena ini hari ulang tahunmu, aku ingin kamu meluapkan kebahagiaan. Meskipun sejujurnya, aku tidak yakin apa ini akan berhasil kesempatannya cuma setengah-setengah.

Amane sudah mengambil risiko dianggap sebagai pengganggu, dimarahi, atau bahkan tidak disukai karena tindakannya. Jadi, sungguh melegakan, bahwa Koyuki dan Mahiru memaafkannya dengan mudah.

Jika sedikit berlari-lari dari diriku bisa membuat kalian bahagia, maka itu sepadan dengan setiap detik yang kuhabiskan... Aku tahu kamu telah bekerja keras setiap hari untukku juga, jadi aku ingin membalasnya kembali. Aku ingin melihatmu lebih banyak tersenyum. Meskipun aku akhirnya membuatmu menangis tadi.

Saat Amane berbicara, air mata terus mengalir dari sudut mata Mahiru, masing-masing merupakan tetesan yang jernih dan indah. Amane segera meraih saputangan itu lagi, mengusap air matanya dengan lembut. Banyaknya emosi yang diekspresikannya, sesuatu yang tidak terbayangkan dari Mahiru yang dulu dikenalnya, membuatnya merasa seolah-olah saputangan itu sendiri akan segera menangis. Namun, respons yang luar biasa ini meyakinkannya bahwa ia telah menyentuh hati Mahiru dengan cara yang benar-benar berarti.

“Jadi, apa itu membuatmu bahagia?”

“Ya, tentu saja.”

Ketika Mahiru tersenyum cerah dan riang sesuai dengan usianya, seolah-olah mengatakan dia tak bisa terus menangis, baik Amane maupun Koyuki merasakan gelombang kelegaan menyelimuti mereka.

“Aku ingin mendengar lebih banyak tentang pemuda di sebelahmu, Mahiru-san. Kalian berdua berpacaran, ya?”

“... Ya, memang. Ia adalah orang pertama yang benar-benar kucintai. Ketika aku bersamanya, aku merasa tenang, dan hatiku terasa hangat. Ia adalah orang pertama yang mencintaiku apa adanya, baik kedok penampilan maupun diriku yang sebenarnya. Ia adalah seseorang yang tahu segalanya tentang diriku, namun tetap menyayangiku. Ia melihat masa depan bersamaku dan siap untuk berjalan di jalan itu bersama-sama.

Amane tidak menatap langsung ke arah Mahiru, melainkan ke layar di depannya. Meskipun begitu, situasi memiliki seseorang yang disayangi Mahiru seperti orang tua di dekatnya membuatnya merasa sangat malu. Cara Mahiru dengan tulus, gembira dan penuh kasih berbicara tentang dirinya, memuji karakternya dan mengekspresikan seberapa besar dia ingin bersamanya, sungguh luar biasa. Namun, kegembiraan karena mengetahui bahwa Mahiru sangat mencintainya, bahkan lebih kuat lagi. Tanpa mengalihkan pandangannya dari layar, tangannya secara naluri mencari tangannya. Pada saat yang sama, Mahiru tampaknya juga mengulurkan tangan, dan ujung jari mereka bertemu dengan lembut di antara keduanya.

Saat jari-jari mereka secara alami meluncur bersama dari ujung ke telapak tangan mereka, terjalin, Amane merasakan kehangatan tangan Mahiru, jauh lebih hangat dari biasanya, melebur menjadi miliknya.

“Benarkah? Aku senang kamu tampaknya telah menemukan pasangan yang luar biasa. Sungguh, aku sangat bahagia untukmu.”

Kehangatan dan kepercayaan yang terpancar dari tangan Mahiru membuat Amane tersenyum, dan Koyuki dengan cepat menangkapnya. Ekspresinya, meskipun lembut, membawa sedikit kehangatan geli, bahkan lebih hangat dari tangan mereka yang saling bertautan. Kesadaran ini membawa gelombang rasa malu yang membanjiri Amane, yang tiba-tiba merasa sedikittidak, cukupmalu sebagai pacar yang diperkenalkan.

Sungguh melegakan bahwa Koyuki, tidak seperti seorang ibu yang suka menggoda, tidak berniat mengolok-oloknya. Dia tetap mempertahankan penampilannya yang tenang dan lembut, hanya mengawasi mereka dengan senyum yang nyaman dan penuh persetujuan.

“Sejak kecil, Mahiru-san sudah lebih peka dari kebanyakan orang, jadi aku khawatir kalau dia akan tumbuh menjadi gadis yang tidak tertarik pada orang lain. Tetapi, tampaknya kekhawatiranku tidak berdasar.

Kekhawatiran yang muncul karena telah mengamati Mahiru sejak dia masih kecil, adalah sesuatu yang bisa dipahami dan disetujui oleh Amane. Dirinya mau tak mua jadi berpikir bahwa itu adalah sebuah keajaiban Mahiru telah memilih seseorang seperti dirinyapikiran yang mungkin akan dimarahi Mahiru jika dia tahu.

“Ngomong-ngomong, apa kamu sudah memegang perutnya?” Koyuki bertanya, mengingat apa yang dia katakan pada Mahiru bertahun-tahun yang lalu.

“... Apa aku sudah memegangnya...?” Mahiru bertanya kembali dengan bingung.

“Ya, dengan cengkeraman tangan besi,” kata Amane.

“Ya ampun.”

Amane mengangguk dengan tegas, tanpa sedikit pun keraguan dalam pikirannya. Ia disambut dengan senyum Koyuki yang penuh pengertian, seakan-akan dia tidak mengharapkan hal yang lebih dari itu. Setelah sering mendengar bahwa kemampuan memasak Mahiru diasah di bawah bimbingan Koyuki, Amane, yang secara teratur menikmati makanan lezat itu, merasa dirinya harus membungkuk dalam rasa terima kasih yang dalam pada sumber kehebatan kuliner Mahiru.

Saat Amane hendak menundukkan kepalanya untuk berterima kasih dari sudut yang berbeda, ia melihat Mahiru melambaikan tangannya yang bebas dengan bingung, seolah-olah mencoba menghentikannya.

“Ah! Tapi bukannya berarti seolah-olah ia menyerahkan semuanya padaku! Amane-kun juga memasak! Ia selalu membantuku di dapur, dan ia bahkan menyiapkan makanannya sendiri! Ini lebih seperti kami bergantian atau bertukar giliran ... Ia benar-benar melakukan bagiannya dalam, um, hidup bersama denganku!”

Mahiru tidak ingin Koyuki salah mengira bahwa Amane menyerahkan segalanya padanya dan memanfaatkan usahanya. Namun, tidak dapat dipungkiri bahwa Mahiru memikul sebagian besar tanggung jawab. Jadi Amane menambahkan, “Tapi sebenarnya, masakan Mahiru lah yang terbaik, dan aku benar-benar menyukai masakannya,” yang membuat mata Mahiru berkaca-kaca lagi.

Meskipun dia tidak benar-benar menangis, Amane bisa merasakan sedikit gemetar dan genggaman yang lebih kuat dari biasanya dari tangan Mahiru.

“Aku tahu, aku tahu. Kamu tidak perlu panik, Mahiru-san. Aku sangat mengerti. Ia adalah pasangan idealmu, bukan?”

“Ya!” Bahkan dengan matanya yang berkilauan karena emosi, Mahiru mengangguk dengan tegas dan melanjutkan tanpa ragu-ragu. “Lagipula, kamu adalah orang yang menyuruhku untuk memilih seseorang yang benar-benar akan membuatku bahagia, Koyuki-san.”

“Ya, tentu saja.”

“Kamu memang benar, Koyuki-san. Bahkan ketika kamu bersamaku, tetapi terutama setelah kamu pergi, aku berinteraksi dengan begitu banyak orang yang berbeda. Saat itulah aku menyadari...orang yang akan membuatku bahagia adalah seseorang yang tidak mencoba untuk membuatku sesuai dengan cetakan, yang tidak menghakimiku hanya dari apa yang mereka lihat di permukaan, dan yang tidak pernah mengabaikan perasaanku.”

Karena Mahiru telah dikelilingi oleh begitu banyak orang yang berbeda sepanjang hidupnya, maka, standar untuk hubungannya kemungkinan besar adalah apakah pihak lain dapat menghormatinya sebagai seorang individu atau tidak. Ini adalah kriteria yang sederhana namun sangat penting-sesuatu yang esensial, namun sering kali sulit ditemukan pada orang lain.

Amane-kun selalu mengutamakan perasaanku dan berusaha memahamiku. Ia jatuh cinta dengan diriku yang sebenarnya, dan ia menerimaku terlepas dari pengalaman masa kecilku. Ia menghormatiku, dan itu membuatku sangat bahagia... Meski demikian ia bisa menjadi sedikit terlalu segan, yang membuatnya malah menjadi begitu pasif.”

“Ini demi kebaikanmu sendiri, Mahiru!”

“Ak—Aku tahu itu!…Aku mengerti betul bahwa kamu hanya berhati-hati karena kamu sangat menghormatiku.”

Amane mau tidak mau merasa seolah Mahiru baru saja secara halus memanggilnya pengecut, meskipun Ia tahu “kehati-hatian” ini adalah sesuatu yang telah mereka sepakati bersama. Namun, Amane jadi penasaran apa ada ketidakpuasan yang mendasari ketidakpuasannya yang tidak ia tangkap.

Saat Amane menatapnya, Mahiru buru-buru menambahkan, “Bu-Bukannya aku tidak bahagia atau apa! Maksudku, mungkin kamu tak perlu selalu mengkhawatirkan perasaanku—kamu bisa memprioritaskan perasaanmu sendiri.” dia tampak malu dan agak tidak yakin dengan apa yang dikatakannya, membuat Amane, sebagai pacarnya, memiliki satu hal lagi yang harus dipikirkan.

Tapi jika aku melakukan itu, kamulah yang akan kepanasan.

Ia tidak berniat melanggar sumpah yang dibuatnya saat itu, tapi mendengar kata-kata Mahiru membuatnya bertanya-tanya…

Selama aku tidak mengingkari janji kita, mungkin kita bisa melakukan hal yang ingin aku lakukan?

Amane dengan serius mempertimbangkan apa memanjakan Mahiru dengan cara yang ia sarankan adalah ide yang baik, mengingat toleransi yang terbatas untuk hal-hal seperti itu. Ia menatapnya dengan tatapan serius, tapi Mahiru, mungkin malu dengan kata-kata berani yang diucapkannya, hanya tersipu malu dan sepertinya tidak menyadari pikiran yang ada di benaknya.

“Aku senang melihat kalian berdua dekat. Meskipun begitu, aku penasaran tentang bagaimana kamu menyebutkan tinggal bersama.”

Meskipun Koyuki tidak memarahi mereka, ada nada ketidakpercayaan dalam suaranya yang membuat pipi Mahiru berkedut malu. Dia menyadari bahwa membicarakan hal seperti itu di depan orang yang dia kagumi seperti orang tua mungkin bukan ide yang baik.

“A-Ah! T-Tidak, bukan seperti itu! Amane-kun sebenarnya tetanggaku—maksudku, kami tinggal di gedung apartemen yang sama! Sama sekali tidak ada yang terjadi yang membuatmu khawatir, Koyuki-san!” Mahiru bergegas menjelaskan semuanya dengan jelas.

“Aku bersumpah kalau aku tidak melakukan apapun yang akan menyakiti Mahiru dengan cara apapun.”

Dari sudut pandang Koyuki, wajar saja jika dia khawatir seseorang yang dia anggap sebagai anak kesayangannya akan dimanfaatkan oleh pria yang tidak dikenalnya. Menyadari betapa cerobohnya kata-kata mereka, baik Mahiru maupun Amane menyesali ungkapan mereka yang buruk. Namun, Koyuki, setelah menghela nafas pelan yang menunjukkan campuran antara kekhawatiran dan kekesalan, mengalihkan tatapan lembut ke arah Mahiru.

“Aku bukan berada di posisi untuk mengkritik hubungan kalian, tapi setidaknya jika kalian menghabiskan begitu banyak waktu bersama dan masih rukun, itu pertanda baik. Semakin banyak waktu yang kalian habiskan bersama, semakin kalian akan melihat sifat-sifat yang tidak diinginkan satu sama lain.”

Ku-Kurasa tidak ada... Um, kalaupun ada, kami selalu bisa membicarakannya dan berusaha untuk memperbaikinya bersama.”

Sering dikatakan bahwa hidup bersama dapat mengungkapkan perbedaan kebiasaan, kebiasaan keuangan, kebersihan, akal sehat, dan etika, yang dapat membuat frustrasi. Namun, meskipun telah menghabiskan begitu banyak waktu bersama, Amane belum pernah menemukan masalah besar dengan Mahiru yang mengganggunya. Jika dia harus menunjukkan sesuatu, itu adalah kecenderungannya untuk menahan diri terlalu banyak dan tindakannya yang kadang-kadang berani didorong oleh pengaruh Chitose. Yang pertama adalah sesuatu yang telah diperbaiki oleh Mahiru saat dia menjadi lebih jujur, dan yang kedua lebih merupakan masalah dengan Chitose sendiri— sesuatu yang mungkin memerlukan pembicaraan serius dengannya.

Hal ini membuat Amane mempertimbangkan apa Mahiru memiliki keluhan tentang dirinya. Dia tidak menunjukkan banyak masalah akhir-akhir ini, meskipun ketika mereka pertama kali mulai berinteraksi, dia cukup jujur tentang hal-hal yang tidak disukainya. Ada kemungkinan bahwa Amane sudah membahas sebagian besar hal yang Mahiru ingin ubah darinya. Namun demikian, Amane masih khawatir bahwa mungkin masih ada hal-hal yang belum dia sebutkan, jadi ia memasang wajah serius dan berkata kepadanya.

“Kalau ada sesuatu yang tidak kamu sukai, jangan ragu-ragu untuk mengatakannya kepadaku, oke? Aku tidak ingin membuatmu kesulitan. Aku ingin kita berdua merasa nyaman, dan kalau aku bisa mengubah sesuatu, aku akan melakukannya

Sebagai tanggapan, Mahiru dengan cepat menggelengkan kepalanya, jelas bingung dengan saran itu.

“Jika ada, kamu terlalu perhatian padaku! Kamu adalah orang yang sangat luar biasa bagiku, oke!?”

“Kamu tidak perlu menyanjungku.”

“... Kalau begitu, itu adalah sesuatu yang ingin kamu perbaiki. Tolong belajarlah untuk menerima pujian dengan baik ketika aku memberikannya.”

Melihat Mahiru cemberut dengan begitu jelas, bibirnya mengerucut dengan manis saat dia menepuk paha Amane dengan lembut, dirinya tahu ia tak bisa membiarkannya merajuk lebih jauh lagi. Sambil tersenyum, Amane dengan cepat menjawab, “Mengerti, terima kasih,” berhasil mencegah pipinya menggembung lebih besar lagi.

“Mahiru-san benar-benar sudah membuka hatinya untukmu, ya?”

Ketika Amane melihat kembali ke layar setelah mendengar kata-kata yang menyentuh hati itu, ia menyadari bahwa Koyuki, yang secara diam-diam memperhatikan interaksi mereka, sedang melihat ke tempat di mana tangan mereka bermain-main. Jelas sekali bahwa dia bisa melihatnya dengan jelas.

Mahiru, secara alami merasa malu, membungkukkan bahunya dan tersipu malu, yang membuat Amane berjuang untuk menekan gelombang pasang rasa malunya sendiri, mencoba yang terbaik untuk tidak membiarkan hal itu terlihat di wajahnya.

Koyuki mengeluarkan tawa kecil yang lembut dan geli. Sembari masih tersenyum, dia mengalihkan pandangannya dengan lembut pada Amane.

“Dan kamu, Fujimiya-san? Bagaimana pendapatmu tentang dirinya?”

“Aku...?”

“Oh, abaikan saja aku. Itu terdengar seperti sebuah wawancara, bukan? Bukan itu yang kumaksudkan...” Koyuki menatap Amane dengan tatapan lembut namun tajam. “Aku ingin tahu bagaimana kamu melihat Mahiru-san, bagaimana dia terlihat dari sudut pandangmu.”

Daripada memberikan jawaban yang cepat, Amane memutuskan untuk mengambil waktu, berpikir dengan hati-hati sebelum menjawab.

Bagaimana Amane melihat Mahiru.

Dengan kata lain, Koyuki bertanya seperti apa sosok Mahiru di mata Amane. Rasanya seperti dia mencoba untuk mengkonfirmasi apakah Amane, yang Mahiru katakan telah memilihnya apa adanya, benar-benar memahaminya.

Amane bisa mengetahui dari sikap Koyuki bahwa dia bertanya karena khawatir akan kesejahteraan Mahiru.

Memahami maksudnya, Amane mendapati dirinya dengan hati-hati mempertimbangkan cara terbaik untuk menjawab pertanyaannya.

Bagaimana aku melihat Mahiru...

Saat Amane diam-diam melihat ke arah Mahiru yang duduk di sebelahnya, tatapan mata mereka bertemu. Perpaduan antara harapan dan kecemasan terpantul di matanya, menunjukkan bahwa dia sangat ingin mendengar bagaimana perasaan Amane yang sebenarnya. Melihat hal itu, Amane memutuskan untuk benar-benar jujur, mengekspresikan perasaannya tanpa kepura-puraan.

“... Dia cenderung memasang wajah berani dan memendam sesuatu, tetapi jauh di lubuk hatinya, dia hanyalah seorang gadis kesepian yang ingin dimanja.”

Begitulah cara Amane melihat Mahiru.

Amane-kun!?”

“Yah, maksudku, bukannya menikmatinya saat aku memanjakanmu?”

“Tentu saja! Tapi tolong, jangan katakan itu dengan santai di depan Koyuki-san!”

Tiba-tiba saja sisi pribadinya yang tersembunyi terekspos, wajah Mahiru menjadi lebih merah saat dia memukul pelan lengan Amane sebagai bentuk protes. Namun, Amane tidak berniat menarik kembali kata-katanya.

“Mahiru pada dasarnya bisa melakukan apa saja sendiri. Dia lebih suka menjaga jarak dengan orang lain, mencoba menangani semuanya sendiri. Karena tidak bisa mengandalkan orang lain, dia, dengan cara tertentu, menghambat dirinya, bisa dikatakan, terjebak oleh batasan yang dia tetapkan untuk dirinya sendiri.”

Mahiru selalu rendah hati dan pendiam, jarang sekali mengutamakan dirinya sendiri. Tampaknya, mungkin secara tidak sadar, dia menghindari bersandar sepenuhnya pada Amane, karena takut menjadi beban atau ditinggalkan. Kecenderungan ini bahkan lebih kuat pada orang lain, karena ketidakmampuannya untuk sepenuhnya mempercayai orang lain, menyebabkan dorongan bawah sadar untuk menjadi “orang yang ideal”. Akibatnya, dia menghindari menunjukkan sisi dirinya yang rentan, dan memilih untuk mengenakan kedok dan menampilkan dirinya sebagai gadis yang sempurna kepada dunia luar, membuat tampilan itu tampak sepenuhnya alami.

Itulah sisiBidadari” yang dilihat semua orang. Tetapi sekarang, Mahiru sudah berbeda.

“Sekarang, dia telah belajar bagaimana mengandalkan orang lain, bersandar pada orang-orang di sekelilingnya. Dia memilih untuk membiarkanku tinggal di sisinya. Dia cukup mempercayaiku untuk menunjukkan jati dirinya. Itu pasti keputusan yang sulit dan penting bagi Mahiru, dan bagiku, itu adalah tanda kepercayaan dan cintanya yang sangat besar.

Karena Mahiru percaya bahwa dirinya tidak perlu memasang kedok persona, bahwa tidak masalah untuk bergantung pada seseorang, dan bahwa dia bisa menjadi rentan, Mahiru yang sekarang ekspresif secara emosional, sedikit sayu, dan benar-benar mencari Amane dengan hati yang terbuka, bisa muncul hari ini. Amane merasa bangga akan hal itu sebagai harta terbesarnya.

Aku sudah mengatakan padanya, bahwa saat bersamaku, dia tidak perlu bertingkah seperti gadis yang sempurna. Dia tidak perlu berusaha terlalu keras. Dia bisa menjadi dirinya sendiri dan bergantung padaku. Dan ketika dia seperti itu, dia sangat menggemaskan... Itulah yang membuatku sangat ingin memanjakannya.”

Setelah melihat perubahan dalam diri Mahirudari seseorang yang menjaga kesopanan, mempunyai dinding tak terlihat, selalu menahan diri, menjadi seseorang yang sekarang, meskipun masih rendah hati, secara terbuka bersandar padanya dan mengungkapkan perasaannya yang sebenarnyahanya membuatnya semakin menawan bagi Amane. Tentu saja, dirinya yang biasa, tenang, dan mandiri, serta sisi nakal yang terkadang mencoba memanjakannya, juga tidak dapat disangkal, sangat menggemaskan. Tetapi, ini adalah jenis manis yang berbeda.

Kadang-kadang, Amane tidak bisa tidak merasakan dorongan yang luar biasa untuk memanjakannya sepenuhnya, sampai-sampai membiarkannya melebur ke dalam kondisi kebahagiaan yang murni. Namun demikian, ia tahu bahwa hal itu mungkin bertentangan dengan perasaan Mahiru sendiri. Jadi, Amane menetapkan batas, memilih untuk memanjakannya hanya sebanyak yang dia inginkan. Ia bertanya-tanya apakah Mahiru menyadari keseimbangan halus yang coba dipertahankan Amane.

Wajah Mahiru berubah menjadi merah padam. Sedikit gemetar, rasa malunya terisi saat kata-kata Amane terus meresap. Ia terlihat seperti akan menangis, tapi dalam hal ini, Amane berharap wajahnya yang hampir menangis ini masih dalam zona aman.

“Ah, tapi bukan hanya karena kamu imu aku jadi ingin memanjakanmu. Aku sangat mengagumi dan menghormati betapa pekerja keras, berdedikasi, dan disiplinnya kamu, Mahiru. Karena itu, aku ingin menjadi tempat yang nyaman untukmu. Aku tidak akan memanjakanmu saat kamu tidak menginginkannya!”

Tidak peduli seberapa besar Amane mencintai Mahiru, memanjakannya secara berlebihan di luar keinginannya tidak akan ada gunanya bagi mereka berdua. Amane berhati-hati untuk tidak membiarkan keinginannya sendiri mengesampingkan apa yang terbaik untuknya. Prioritas utamanya adalah memastikan bahwa Mahiru dapat hidup setiap hari dengan bahagia dan damai, jadi bahkan ketika dia memanjakannya, dia tidak pernah melakukan segala cara.

“Um, aku bersumpah bahwa aku takkan pernah melakukan sesuatu seperti merampas sesuatu yang berharga darinya, membuat tuntutan sepihak, atau menyakitinyaapa pun yang mungkin kamu khawatirkan, Kujikawa-san. Aku tahu perkataanku saat ini mungkin tidak memiliki bobot yang besar, tapi aku tidak berniat untuk melanggar janji ini.”

Koyuki membelalakkan matanya sedikit karena terkejut sebelum menghela napas pelan dan menyetujui. Amane menyadari bahwa ia telah memahami maksud pertanyaannya dengan benar. Sepertinya jawaban yang dirinya berikan adalah jawaban yang diharapkan Koyuki.

“Bagiku, Mahiru adalah gadis yang kucintai dan kusayangi, gadis yang ingin kubuat bahagia, tapi dia juga setara denganku. Aku tidak mau membebaninya atau mengabaikan pendapatnya. Aku ingin kami membicarakan segala sesuatunya dan bekerja sebagai sebuah tim untuk membuat waktu kami bersama senyaman mungkin. Inilah harapanku agar kami dapat menjadi tempat yang aman dan bahagia bagi satu sama lain. Dan aku benar-benar meyakini bahwa aku dan Mahiru dapat mencapai hal itu bersama-sama."

Amane senang memanjakan Mahiru dan ingin mendedikasikan dirinya untuknya, tetapi ia tahu bahwa Mahiru tidak ingin hanya menjadi penerima dari perhatian itu. Yang diinginkan Mahiru adalah agar mereka berdua saling menerima kelebihan dan kekurangan masing-masing, tumbuh bersama dengan cara yang tepat, dan menjalani kehidupan damai yang dipenuhi dengan rasa saling peduli dan pengertian. Hal ini tidak akan berhasil jika hanya dilakukan secara sepihak. Mereka berdua perlu berbagi beban, saling mendukung, dan hidup bersama secara setara. Inilah yang diinginkan Mahiru, dan itulah yang dirasakan Amane juga.

“Jadi, jangan khawatir. Aku akan membuat Mahiru bahagia. Bersama-sama, kita akan menjadi bahagia.”

Meskipun mungkin terdengar sedikit murahan bagi siapa pun yang mendengarnya, Amane tahu bahwa kata-kata itu adalah perasaannya yang tulus, keyakinan yang tidak berubah, dan janji untuk terus berusaha. Hidup bersama berarti saling menghormati, mempercayai, dan memahami, menerima perbedaan satu sama lain, berbagi beban, dan mendukung satu sama lain. Itulah jalan menuju kebahagiaan. Amane yakin bahwa dirinya bisa berjalan di jalan ini dan berjuang untuk kebahagiaan bersama Mahiru.

Meskipun Amane merasa sedikit malu, namun inilah satu hal yang ingin ia sampaikan dengan kejujuran dan ketepatan. Sembari menatap langsung ke mata Koyuki dengan tulus, Amane mengungkapkan perasaannya. Koyuki perlahan-lahan menarik napas dalam-dalam, seakan-akan meresapi beratnya kata-katanya.

Amane tidak mempedulikan detak jantungnya yang semakin cepat saat ia menunggu respon dari Koyuki. Setelah beberapa saat, dia memberinya senyuman hangat dan lembut yang membawa perasaannya yang paling dalam, seakan sekuntum bunga yang baru saja mekar. Seakan-akan ketegangan di dalam ruangan itu tiba-tiba menghilang. Tekanan halus dari Koyuki yang memaksanya untuk mempertahankan ketenangannya, lenyap tanpa bekas.

“Sekali lagi, aku yakin Mahiru-san telah memilih orang yang tepat.”

Apakah kata-kata itu dimaksudkan untuk meyakinkan Amane atau untuk menegaskan kembali pemikirannya sendiri? Jawabannya tidak jelas. Namun demikian, yang pasti, Amane telah mendapatkan pengakuannya.

Aku percaya pada penilaian Mahiru-san, tentu saja, tapi aku ingin memastikan... Aku minta maaf karena telah membuatmu merasa tidak nyaman. Jika aku memiliki kekhawatiran tentang karaktermu, aku siap untuk melakukan apa pun, bahkan di usia tuaku, untuk menarikmu menjauh darinya."

Amane menyadari bahwa segala sesuatunya dapat dengan mudah meningkat menjadi situasi yang cukup sulit jika dirinya salah langkah, dan dia benar-benar legameskipun ia hanya memendam hal ini untuk dirinya sendiribahwa dirinya telah memenuhi standar Koyuki. Pikiran untuk menjauh dari Mahiru, yang telah berkomitmen penuh untuk membahagiakan dirinya selama sisa hidup mereka, tidak tertahankan. Namun, apa yang akan menjadi lebih sulit untuk diterima adalah gagasan bahwa ia mungkin telah gagal memenuhi harapan Koyuki, menyoroti kekurangannya sendiri.

“Ti-Tidak perlu seperti itu! Amane-kun adalah orang yang baik, dan orang tuanya juga baik...!”

“Oh, sepertinya kamu sudah memperkenalkan dirimu pada orang tuanya.”

Kujikawa-san mungkin mirip dengan ibuku. Mereka fokus pada detail yang memicu rasa ingin tahu mereka, pikir Amane sejenak. Meskipun kepribadian mereka jelas berbeda, ada kekuatan halus dalam diri Koyuki yang membuatnya merasa tangguh.

“Pintar sekali. Mendapatkan pasangan yang menghargaimu dan kemudian memastikan untuk menutupi semua kekuranganmu tentu saja merupakan langkah yang penting untuk dilakukan. Orang seperti itu sudah jarang ditemukan akhir-akhir ini.”

“U-Uuu... Koyuki-san, itu mungkin sedikit terlalu blak-blakan-mengatakannya seperti itu membuatnya terdengar buruk. Bukan itu yang ingin aku lakukan...” Mahiru menjelaskan.

“Maaf,” Amane menyela. “Jika ada, akulah yang menutupi semua dasarnya.”

“Amane-kun!?”

“Meski, sebenarnya, ibuku mungkin telah melakukan setengah dari pekerjaan untuk kami... Dia sangat bersemangat, seperti 'Mana mungkin aku melewatkan kesempatan untuk memiliki anak perempuan yang lucu, sopan, dan luar biasa!’”

Menengok ke belakang, Amane tidak dapat menghilangkan perasaan bahwa Shihoko telah dengan antusias meletakkan dasar-dasarnya, bahkan sebelum ia sendiri jatuh hati pada Mahiru. Entah itu intuisi dan kesadarannya yang luar biasa, atau tekadnya yang bulat, yang jelas, dia terlihat seperti sedang menjalankan sebuah misi.

Ada kalanya Amane menganggap kegigihan Shihoko terlalu berlebihan, tapi Ia tidak bisa menyangkal kalau orang tuanya berperan dalam mempertemukan dirinya dan Mahiru. Jadi, meskipun Amane tidak bisa sepenuhnya membenci keterlibatan mereka, sebagai seseorang yang ingin menangani segala sesuatunya sendiri, ia terkadang berharap bisa memberi tahu mereka bahwa itu adalah campur tangan yang tidak perlu.

“…Jika kamu mengatakannya seperti itu, aku merasa seolah-olah tongkat estafet diserahkan kepadaku untuk babak kedua…”

“Hah?”

“Oh, bukan apa-apa.”

Mahiru menggumamkan sesuatu dengan pelan, mungkin untuk menambahkan apa yang dikatakan Amane, tetapi karena terjebak dalam gerutuan batinnya tentang Shihoko, Amane tidak mendengarnya dan bertanya padanya apa yang dikatakannya. Namun, Mahiru, yang sekarang tampak tidak mau melanjutkan, berbalik sambil mendengus kecil. Ini adalah isyarat yang sering dia gunakan ketika mencoba menyembunyikan sesuatu, tetapi Amane memutuskan untuk tidak mendesaknya. Dia hanya harus menunggu sampai dia siap untuk membaginya dengannya suatu hari nanti.

Tampaknya mikrofon telah menangkap kata-kata Mahiru, dan Koyuki, yang telah mendengarnya dengan jelas, menanggapi dengan geli, Wah, wah, wah,” disertai dengan senyum yang jenaka dan tidak dapat disangkal lagi. Dia membiarkan masalah itu berlalu dengan anggukan kepala yang lembut.

Sepertinya aku mengkhawatirkan sesuatu yang tidak perlu. Mungkin karena usia tua, aku jadi terlalu berhati-hati... Aku minta maaf atas campur tangan dan kekhawatiranku yang tidak perlu, kata Koyuki, menundukkan pandangannya untuk merenungkan tindakannya. Ketika Mahiru tampak seperti akan protes, Koyuki dengan lembut menghentikannya dengan pandangan sekilas. Dengan ini, akhirnya aku bisa meredakan kekhawatiranku yang sudah lama ada. Meskipun aku tidak lagi dalam posisi untuk ikut campur, aku tidak bisa menahan diri untuk tidak memikirkan ke arah mana jalan yang dipilih Mahiru-san.

Hampir tak terdengar, Amane mendengar suara pelan Ah— dari sampingnya.

Tapi sekarang, aku tahu semuanya akan baik-baik saja. Setelah melihat bagaimana keadaan sekarang, aku merasa yakin untuk meninggalkannya dalam penjagaanmu. Aku tahu mungkin tampak lancang untuk mengatakannya, sebagai orang luar yang pernah terpisah darinya sebelumnya, tetapi sebagai orang dewasa yang pernah merawat Mahiru-san di masa lalu, itulah perasaanku yang sebenarnya.

Koyuki telah menguji Amane, semuanya demi kepentingan terbaik Mahiru. Amane memahami hal ini dengan baik. Sejak masa kecil Mahiru, Koyuki selalu berada di sisinya untuk melindunginya dari rasa kesepian, memastikan bahwa dia dididik dengan baik sehingga dia tidak akan disakiti oleh orang lain, dan membantunya tumbuh menjadi seseorang yang tidak akan menghadapi kesulitan di masa depan. Dia telah membesarkan Mahiru dengan cinta yang melimpah, memastikan bahwa dia tidak akan kehilangan harapan pada orang lain dan bahwa suatu hari dia bisa membuka hatinya untuk seseorang.

Dan sekarang, setelah semua cinta dan perhatian yang telah dia curahkan kepada Mahiru, Koyuki telah memutuskan bahwa sudah aman untuk menyerahkan tongkat estafet kepada Amane.

“Lain kali, silakan datang mengunjungiku bersama. Aku ingin sekali memperkenalkan kalian kepada putraku dan istrinya juga. Aku akan memberitahu mereka tentang anakku yang menggemaskan lainnya dan pacarnya. Oh, dan jangan khawatir, putraku tidak akan cemburu hanya karena aku mendapatkan satu atau dua anak lagi.”

Setelah mendengar Koyuki memanggilnya sebagai anaknya, Mahiru tampaknya tidak dapat menahan diri lebih lama lagi. Air matanya yang tadinya reda kini mengalir deras lagi, seolah-olah dia sedang menebus semua air matanya yang tidak pernah dia tumpahkan sepanjang hidupnya. Lapisan pertahanan yang rapuh yang dibangunnya tampak terkelupas, dan dengan isak tangis samar, Mahiru membiarkan dirinya menangis tanpa tertahan. Melihat Mahiru menangis begitu terbuka, ekspresi Koyuki melembut menjadi cinta keibuan yang murni, senyumnya hangat dan menyelimuti. Bersama Amane, dia diam-diam menunggu Mahiru untuk mengendalikan gelombang emosinya sendiri.

“Ufufu, tapi aku belum memberikan restuku untuk menikah. Aku perlu melihat dengan mataku sendiri dirinya itu pira seperti apa, bukan hanya melalui panggilan video.”

Saat Mahiru sudah mulai tenang, Koyuki dengan jenaka dan sengaja mengumumkan niatnya, membuat Amane hampir tersedak napasnya. Ia mencoba untuk menanggapi, bibirnya sedikit gemetar, tetapi tatapan penuh pengertian yang diberikan Koyuki kepadanya—yang menyiratkan bahwa dia mengerti persis apa yang direncanakan Amane—membuatnya terdiam. Yang bisa ia lakukan hanyalah membiarkan bibirnya bergetar dalam diam.

Sudah kuduga! Pada dasarnya, dia mirip seperti ibuku!

Pemikiran mengenai Koyuki dan Shihoko bekerja sama membuatnya merinding. Mereka berpotensi menjadi orang paling mematikan kedua bagi Amane (yang pertama adalah Chitose). Namun, fakta bahwa Koyuki tidak segera menindaklanjuti dengan lebih banyak godaan menunjukkan bahwa dia sedikit lebih pemaaf dibandingkan dengan Shihoko atau Chitose.

Merasa bahwa Amane tidak dapat menanggapi dengan tegas, Koyuki tertawa kecil. Kemudian, dia menegakkan postur tubuhnya dan berbalik menghadap Mahiru. Ekspresinya melembut menjadi ekspresi yang memancarkan cinta keibuan yang murni, jenis ekspresi yang hanya akan diberikan seorang ibu kepada anak kesayangannya.

“Ingat, jangan ragu untuk datang mengunjungi kami. Kami akan menyambut kalian berdua dengan tangan terbuka.”

“…Oke!” seru Mahiru, bersemangat.

“Terima kasih banyak,” jawab Amane.

Rasanya seolah-olah mereka baru saja berjanji untuk memberikan salam kepada keluarga orang tua Mahiru, membawa serta campuran kehangatan yang lembut dan rasa senang serta lega yang meningkat. Mulut Amane melembut menjadi senyuman, dan Mahiru, yang diliputi kebahagiaan, membiarkan satu air mata jatuh dari matanya, yang dia pikir sudah mengering. Koyuki menyambut mereka berdua dengan senyuman yang indah dan hangat.

“Oh, dan jika kamu membuat Mahiru-san menangis, aku tidak akan menunjukkan belas kasihan padamu.”

“…Padahal bukan aku yang membuatnya menangis tadi, kan?”

“Oh, itu…” Koyuki terkikik, “Mari kita lupakan saja sekali ini saja, oke?”

Melihat senyum main-main Koyuki, Amane dan Mahiru saling bertukar pandang, tidak dapat menahan tawa mereka sendiri, wajah mereka berubah menjadi senyum geli.

“Jika itu adalah air mata kebahagiaan, maka buatlah dia menangis sebanyak yang kamu suka. Mahiru-san tidak terlalu terbiasa mengalami kebahagiaan, jadi tolong gantikan semua kegembiraan yang telah dia lewatkan.”

“Kalau begitu aku tidak akan menahan diri. Aku akan melakukan yang terbaik untuk terus membuatnya menangis karena bahagia.”

“Tung— Amane-kun!?”

Mahiru, yang terssipu dengan apa yang dikatakan Amane, tampak ingin protes, tetapi Amane tidak berniat menarik kembali kata-katanya.

Membuatnya menangis karena sedih atau marah, tentu saja, mustahil. Namun, air mata kebahagiaan merupakan sesuatu yang sama sekali berbeda. Air mata adalah luapan emosi dari hati, dan jika emosi itu positif, jika berasal dari kebahagiaan, maka tidak ada alasan untuk menghindarinya. Mempertimbangkan semua kesempatan untuk mendapatkan kebahagiaan seperti itu yang terlewatkan Mahiru di masa lalu, tidak ada yang bisa menyalahkan Amane karena ingin memberinya kebahagiaan sebanyak mungkin sekarang. Dan jika dirinya satu-satunya yang menyaksikan dan berbagi air mata kebahagiaan itu, tidak ada yang bisa mengkritiknya karena itu.

Kalau begitu, kuserahkan padamu, kata Koyuki. ... Mahiru-san, biarkan dia memberimu banyak kebahagiaan. Lain kali kita bertemu, kamu bisa berbagi semua cerita itu denganku. Aku akan menantikan kesempatan itu.

Tanggapan Amane tampaknya memuaskan Koyuki, saat dia tersenyum hangat, ekspresinya yang cerah penuh kasih sayang saat dia menatap lembut ke arah mereka berdua. Itu adalah tatapan yang mengingatkannya pada cara Shihoko pernah menatapnya.

Baiklah, sampai jumpa lagi. Semoga Mahiru-san terus hidup bahagia dan sehat.

Dengan suara yang jelas dan tak tergoyahkan, Koyuki mendoakan kesehatan dan kebahagiaan Mahiru di masa depan. Perkataannya tidak mengandung sedikit pun keraguan, dan dengan pandangan lembut dan sedih ke arah Mahiru yang tersentuh secara emosional, dia mengakhiri panggilan, membiarkan layar memudar menjadi gelap. Layar yang sekarang kosong hanya memantulkan gambar mereka sendiri dan dekorasi ruangan. Meskipun perpisahan itu singkat, hati Amane dipenuhi dengan rasa puas yang hangat dan bertahan lama setelah panggilan berakhir.

Kehangatan itu pasti juga dirasakan oleh Mahiru. Karena dia terus menatap layar kosong seolah masih menyerap emosi yang masih tersisa, tatapannya memantulkan kebahagiaan yang baru saja dialaminya... Setelah beberapa saat, dia perlahan mencondongkan tubuhnya ke arah Amane, menyandarkan kepalanya di bahu dan lengan Amane dengan gerakan manja. Mahiru kemudian menarik napas dalam-dalam untuk menenangkan diri, menikmati momen itu.

Saat rambut halus Mahiru terurai lembut di bahunya, naik turun mengikuti napasnya, Amane menunggu dengan tenang, memberinya ruang dan waktu yang dia butuhkan untuk menata pikirannya.

... Amane-kun.

Ya?

Panggilan yang pelan dan lembut.

Aku... tidak yakin harus berkata apa. Aku begitu bahagia sampai-sampai kepalaku terasa kacau... Tidak sekali pun dalam hidupku aku membayangkan hari seperti ini akan datang.

Tentu saja, jauh di lubuk hatinya, Mahiru sudah mendambakan hal ini—untuk terhubung dengan Koyuki seperti keluarga.

Tapi, dia tidak pernah punya tekad untuk mewujudkannya sendiri.

Mahiru selalu cenderung mengutamakan orang lain. Dan lebih dari itu, dia ragu-ragu, bahkan mungkin sedikit takut.

Meskipun Mahiru dapat dengan mudah menemukan cara untuk menghubungi Koyuki—melalui telepon, surat, atau bahkan kunjungan—dia tidak melakukannya. Amane menduga itu karena, jauh di lubuk hatinya, Mahiru takut ditolak bahkan oleh pengasuhnya, tanpa sadar menahan diri.

Sementara dirinya masih merenungkan fakta bahwa ia telah membangkitkan ketakutan dan kecemasan itu, Amane tidak menyesal menghubungi Koyuki. Bagaimanapun, ekspresi kepuasan di wajah Mahiru sekarang, setelah semuanya berakhir, memperjelas bahwa itu adalah keputusan yang tepat.

“…Apa itu membawa sedikit lebih banyak kegembiraan di hatimu?”

Amane tahu bahwa bertanya sesuatu yang sudah diketahui jawabannya adalah tindakan yang buruk. Namun, ia tidak bisa menahannya—ia ingin mendengarnya langsung darinya, apa pun yang terjadi. Walaupun itu demi kepuasannya sendiri, Amane perlu mengetahui apa ia benar-benar sudah membawa kebahagiaan bagi pacar tercintanya.

“Tentu saja. Um, aku sangat bahagia sampai-sampai aku tidak bisa menyimpan semuanya di dalam hati—kepalaku terasa pusing, dan jantungku berdebar kencang… Tapi saat aku memikirkannya berakhir, itu membuatku merasa sedikit sedih. Emosiku campur aduk sekarang.”

“Ya, kamu mengalami banyak hal hari ini. Mari kita hadapi sedikit demi sedikit, oke?”

Mahiru berbicara dengan suara yang lebih lembut dan lebih kekanak-kanakan dari biasanya, kata-katanya lebih seperti upaya untuk memilah emosi yang berputar-putar di dalam dirinya daripada upaya untuk menyampaikannya kepada Amane. Ia menanggapinya dengan anggukan lembut, tidak terburu-buru, membiarkannya mengambil waktu.

Sembari masih berjuang untuk memandu gelombang emosi yang telah melandanya, Mahiru bergeser dari bersandar di bahu Amane menjadi melingkarkan lengannya di bahunya, menempelkan wajahnya ke lengan atasnya. Dia mengusap dahinya ke dahinya, seolah mencoba melepaskan emosi yang terpendam di dalam dirinya. Amane tidak bisa menahan tawa pelan, mengulurkan tangannya yang bebas untuk dengan lembut merapikan helaian rambutnya yang kusut dan pirang.

“…Jangan khawatir, kebahagiaan ini akan tetap ada. Luangkan waktumu dan nikmati saja. Bersama-sama, mari kita pastikan kita tidak akan pernah melupakan semua hal baik yang terjadi hari ini.”

“…Oke.”

Aku berharap suatu hari nanti, saat kita mengenang hari ini, kamu bisa tersenyum dan mengingatnya sebagai hari kebahagiaan sejati.”

Aku ingin menjadikan hari ini sebagai salah satu dari banyak kenangan indah yang akan kita bagikan bersama.

Amane ingin menciptakan kenangan bahagia yang tak terhitung jumlahnya dengan Mahiru di hari-hari mendatang, dan bertekad untuk membuatnya bahagia. Amane berharap hari ini akan dikenang bukan hanya sebagai hari kebahagiaan tunggal, tetapi sebagai salah satu dari banyak momen kegembiraan yang akan mereka bagi.

“…Hei, ulang tahunmu belum berakhir, tau?”

“Aku sudah kenyang—aku begitu kenyang sampai rasanya ingin meledak.”

“Benarkah? Yah, aku tidak bisa memakannya… Kita masih punya kue tersisa.”

Amane tahu persis apa yang dimaksud Mahiru dengan merasa “kenyang,” tetapi ia sengaja menurutinya, membuat wajah pura-pura kecewa saat dia meratapi kue yang tersisa. Sebagai tanggapan, Mahiru dengan malu-malu menempelkan dahinya ke lengannya, seolah mencari kenyamanan dan kasih sayang.

“…Jika kamu menyuapiku, mungkin aku bisa makan sedikit lagi.”

“Tentu. Jika itu yang kamu inginkan, maka aku akan melakukannya sebanyak yang kamu mau.”

Mahiru menatap Amane dengan sedikit harapan di matanya, tanda bahwa dia mencoba untuk bergantung padanya dan mengungkapkan kebutuhannya dengan caranya sendiri. Amane, yang tahu bahwa dirinya memiliki kapasitas untuk menerima perasaannya, dengan lembut menepuk kepalanya, seolah mengatakan bahwa dirinya akan memenuhi apa pun yang diinginkannya.

Mata Mahiru menyipit karena puas. Yah, aku tidak bisa menghabiskan semuanya, jadi aku akan menyuapimu juga, Amane-kun.

Terima kasih... Tahun depan, aku akan membuat kue yang lebih kecil. Dengan begitu, kita bisa menghabiskannya bersama tanpa merasa kekenyangan.

Jadi tahun depan juga...

Mendengar kata-kata tahun depan, Mahiru mengulanginya dengan lembut, seolah-olah merangkul pikiran itu. Dia mungkin membayangkan masa depan yang tidak lama lagi, di mana dia masih akan berada di sisi Amane. Pipinya memerah dengan lembut namun mencolok, seperti cahaya lembut dalam kegelapan, dan dia menatapnya dengan tatapan yang membawa sedikit harapan yang tidak bisa dia sembunyikan.

Amane sangat gembira melihat Mahiru menantikan masa depan dengan penuh semangat, tidak menunjukkan tanda-tanda takut terhadap hari ulang tahunnya dan sebaliknya hanya merasakan antisipasi. Ia bisa merasakan kebahagiaan ini mengalir dari dalam, dan itu secara alami menyebar di wajahnya, mencerminkan kehangatan di hatinya.

Tentu saja, tahun depan juga. Apa kamu menantikannya? tanya Amane.

Ya.

“Syukurlah. Aku juga menantikannya.

Hari-hari yang akan dihabiskan bersama Mahiru, kegembiraan karena bisa membuatnya bahagia, kegembiraan karena mengetahui bahwa dia percaya dan yakin padanya—semua hal ini adalah sumber kebahagiaan Amane, kegembiraannya, dan kesenangannya untuk masa depan.

Dan sekarang, Amane tahu dengan keyakinan penuh bahwa Mahiru merasakan hal yang sama.

...Terima kasih banyak karena telah dilahirkan, dan karena telah jatuh cinta padaku. Aku berjanji akan membuatmu bahagia.

Kata-kata itu keluar dari mulut Amane, belum tentu dimaksudkan untuk didengar Mahiru, tapi tampaknya kata-kata itu sampai padanya dengan keras dan jelas. Mata kuningnya yang mengilap terbuka lebar karena terkejut, lalu dia melembutkan wajahnya untuk menunjukkan senyum manis yang hampir meleleh. Setelah itu, dia menjadi santai, bersandar pada Amane, sepenuhnya percaya dan menyerahkan dirinya pada pelukannya.

 

 

Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama