Chapter 7 — Masa Persiapan Yang Penting
Setelah jadwal pertemuan orang tua-guru hampir berakhir, para
siswa kini diminta untuk mempersiapkan ujian reguler mendatang, yang
dijadwalkan berlangsung dari akhir bulan hingga awal bulan berikutnya.
Bersamaan dengan
persiapan ulang tahun Mahiru, pekerjaannya, dan pembelajaran pra-ujian yang
harus dilakukan sekaligus, Amane kini mendapati dirinya hanya punya sedikit
waktu untuk bersantai. Namun, itu bukan saat yang tidak menyenangkan baginya. Tapi sebaliknya, itu
memberinya rasa kepuasan.
“Astaga,
ini sangat menyedihkan. Perasaan baru kemarin kita ada pertemuan guru dan orang tua, tapi sekarang kita harus menghadapi
persiapan ujian,” Itsuki
menghela nafas sambil menatap tumpukan selebaran persiapan ujian yang dengan
baik hati disediakan oleh guru mereka.
Tergantung
pada mata pelajarannya, beberapa guru akan membagikan ringkasan topik yang
dibahas dalam ujian sebagai cara untuk menyemangati siswa, yang akan mereka
gunakan dengan senang hati. Namun, banyaknya materi ini sering kali membuat
banyak dari mereka merasa kewalahan hanya dengan melihatnya dari jumlah lembaran kisi-kisi yang diberikan,
terlihat jelas bahwa ada banyak sekali informasi yang harus dihafal karena
cakupan ujiannya yang luas.
“Ada jauh
lebih banyak tekanan dibandingkan tahun lalu. Ini benar-benar membuatku
khawatir tentang nilai-nilaiku sekarang. Ada banyak
sekali yang harus ditangani… Tapi meski begitu, cakupan kali ini sangat brutal. Meski aku sudah mendunganya mengingat seberapa cepatnya kelas kita.”
“Ini
masih terlalu berlebihan…” Sama seperti orang lain, Chitose datang dengan
setumpuk selebaran, menunjukkan ekspresi sedih yang sepertinya tidak cocok
untuk seorang gadis muda. Duduk di sebelahnya, Mahiru tersenyum pahit dan
masam. Amane menyimpulkan bahwa Mahiru pasti telah melihat betapa Chitose
sangat takut menghadapi ujian.
“Tidak,
sebenarnya. Aku tidak bisa melakukannya,” erang Chitose. “Ini tidak mungkin!”
“Ya.
Kurasa aku juga kurang menyukai beginian,”
Amane setuju.
“Amane, walaupun kamu bilang begitu, tapi kamu
selalu mendapat nilai bagus dan nilai tinggi…”
“Yah, itu
karena aku sangat memperhatikan pelajaran
di kelas,” jawab Amane.
“Oof … Kepercayaan dirimu…. Itu sangat menyilaukan…”
Meskipun
Chitose tampak begitu kalah, tidak banyak yang bisa dilakukan Amane selain
membantunya belajar. Karena nilai seseorang pada akhirnya mencerminkan usaha
yang mereka lakukan setiap hari untuk belajar, Chitose tidak punya pilihan
selain berusaha sendiri.
“Kamu
harus mencoba untuk meningkatkan motivasi, Chitose... Matematika adalah
satu-satunya mata pelajaran yang tidak kamu sukai,” saran Amane..
“Tapi
lalu apa yang harus aku lakukan? Aku tidak tahu bagaimana aku bisa mulai
menyukainya.”
“Jawaban
setiap orang berbeda-beda. Secara pribadi, aku cukup menyukai matematika.
Setidaknya dengan topik yang kita pelajari, jawabannya selalu dapat diperoleh
dengan cara apa pun. Itu seperti teka-teki—dan bagiku, menerapkan rumus itu
menyenangkan kamu sudah hafal untuk menemukan solusinya.”
“Sepertinya
aku juga mengalami hal yang sama,” Itsuki menimpali.
“Tapi
sepertinya aku tidak bisa mendapatkan jawabannya sama sekali!” keluh Chitose.
“Coba
hafal semua rumusnya dulu— baru kita bicara dari sana,”
kata Amane.
“Hmphh!!”
Chitose cemberut.
“Chitose-san,
masalahmu terletak pada
kurangnya kemampuanmu sehingga
membuatmu kehilangan motivasi untuk mencoba. Biasanya kamu tidak kesulitan
menghafal, jadi kenapa kamu tidak bisa mengingat rumus matematika?”
“Hanya
melihat angka saja membuatku merasa 'Ugh!'”
“U-Um, kurasa
aku tidak bisa membantu dengan itu…”
Pada
titik ini, kebencian Chitose
terhadap matematika begitu kuat sehingga hampir bisa disebut alergi. Mahiru,
yang mengambil peran sebagai gurunya, menatap tanpa daya ke arah Amane,
diam-diam memohon bantuan dengan tatapan gelisah.
Tanpa
usaha dan motivasi apa pun dari Chitose sendiri, Amane yakin mustahil baginya
untuk membuat kemajuan apa pun. Satu-satunya solusi yang bisa ditawarkan adalah menemukan cara
untuk memicu semangatnya.
“Mari
kita mulai dengan membuatmu menghafal rumus-rumus yang pasti akan muncul pada
ujian. Setelah kamu menguasai dasar-dasarnya, setidaknya itu akan mencegahmu
dari kegagalan. Aku tidak ingin melihat seorang teman berakhir di kelas
remedial.”
“Tidaaaak!!”
teriak Chitose.
“Jangan
mulai. Kamu yang melakukannya.”
“Uwaaah! Mamih Mahirun, Papih jahat padaku!” seru Chitose
sekali lagi. Dia memeluk Mahiru erat-erat, tapi mengingat perawakannya yang
lebih tinggi, dia sama sekali tidak terlihat seperti anak kecil.
“Aku
tidak ingat punya anak bertubuh besar sepertimu. Dan juga, jangan bergantung
pada Mahiru,” desak Amane.
“Iri ya?” balas
Chitose.
“Iya, iya, terserah kamu saja.”
“…Aku
akan menyerah jika kamu mengakui bahwa kamu merasa
cemburu.”
“Cuma perasaanku saja atau memang kamu bersenang-senang dengan
ini?”
“Itu cuma imajinasimu saja~,” jawab
Chitose sambil nyengir.
Dia
jelas-jelas menikmati situasi ini, dan tidak mengejutkan kalau Amane tiba-tiba
merasakan sakit kepala yang menjalar. Berbeda sekali dengan amukannya yang
kekanak-kanakan sebelumnya, sikap Chitose sekarang sangat lucu saat dia dengan
santai membalikkan badannya.
Chitose
kemudian bergumam, “Jadi kamu tidak menyangkal bagian tentang kalian sebagai
suami dan istri,” dengan pelan, Amane segera melotot tajam ke arahnya, secara
efektif membungkamnya. Sambil menyimpan
tumpukan selebaran yang telah diberikan, ia menghela nafas pelan.
Amane
memeriksa jadwalnya di ponselnya, mengatur rencananya secara mental karena Ia
tidak ada jadwal kerja hari ini, jadi Ia
bisa sedikit bersantai.
Saat dirinya sedang begitu, Chitose
tiba-tiba bertanya, “Ngomong-ngomong, apa yang akan kamu lakukan dengan
pekerjaanmu? Kita ‘kan ada ujian
dan sebagainya.”
“Yah,
untuk saat ini aku sudah menuliskan namaku seperti biasa. Aku mencoba untuk
tetap mengikuti pelajaranku setiap hari, dan aku telah mengambil hari sebelum
dan hari libur ujian untuk persiapan akhir.”
“Kamu
tampak yakin bisa mengatasinya.”
“Aku
harus berterima kasih pada Mahiru untuk itu. Dia telah mengajariku banyak hal
di rumah, dan dia sangat pandai
menjelaskan banyak hal.”
Meskipun
pandai belajar belum tentu sama dengan
menjadi guru yang baik, Mahiru unggul dalam keduanya. Dia sangat terampil dalam
mengajarkan topik dengan jelas.
Berkat
pemahamannya yang menyeluruh terhadap materi sebelumnya, Mahiru memahami
poin-poin penting dari setiap masalah dan dapat secara akurat menentukan di
mana seseorang mungkin mengalami kesulitan. Dia kemudian akan memberikan contoh
dan petunjuk untuk membimbing mereka menemukan solusinya sendiri dalam
menghafal cenderung memberi penghargaan kepada mereka yang berusaha untuk
belajar terus-menerus, untuk mata pelajaran lainnya, penjelasan Mahiru yang
cermat menyelesaikan topik apa pun yang menjadi masalah Amane.
“Begitulah yang terjadi padaku, tapi
untuk memahami segala sesuatunya dengan cepat, pertama-tama kamu harus memiliki
pemahaman yang kuat tentang dasar-dasarnya—sebuah fondasi,” Amane menjelaskan
lebih lanjut.
“Itulah sebabnya kami menyebutnya sebagai
fondasi,” tambah Mahiru. “Itu adalah sesuatu yang kamu bangun.”
“Berhentilah
memberitahuku kebenaran yang menyakitkan!” keluh Chitose.
Jika itu
menyakitkan, maka kamu sendirilah yang harus disalahkan
— mungkin itu sesuatu yang dianggap
terlalu kasar untuk diucapkan oleh Amane. Meski
demikian, Chitose pasti merasakan apa yang dipikirkan
Amane dari tatapan yang diberikannya. Ia menanggapi dengan ekspresi yang lesu,
seakan-akan semua energinya sudah terkuras habis.
“Selain itu, aku mempunyai senior di tempat kerja yang
hebat dalam belajar, jadi aku mendapat sedikit bantuan darinya ketika
keadaannya lambat. Menurutku kamu harus punya teman, Mahiru, dan senior yang
membantumu.”
“Ugh…
Kakakku bahkan tidak bisa belajar untuk
menyelamatkan nyawanya… Ia tidak
akan berguna sama sekali.”
“Ia mungkin akan menangis kalau
mendengarnya, Chi,” goda Itsuki.
“Ia sudah
membuatku menangis berkali-kali sebelumnya, jadi ini bukan
masalah!” Seolah berkata, ' Astaga. Walaupun
kami kakak beradik, kamu tidak pernah tahu apa yang
akan terjadi selanjutnya ,' Chitose mengangkat bahu dan
membuat isyarat melambai dengan tangannya. Amane menduga kalau dia mungkin
punya banyak pemikiran sendiri tentang topik tersebut.
Meskipun
Amane tahu bahwa Chitose memiliki hubungan yang sangat baik dengan keluarganya,
jadi tidak ada yang perlu dikhawatirkan, Ia masih agak khawatir dengan
nilai-nilainya.
✧ ₊
✦
₊ ✧
“Jadwalmu kelihatan padat sekali. Kamu yakin bisa mengaturnya?”
tanya Itsuki dengan prihatin.
Grup mereka
telah berpisah, dengan laki-laki dan perempuan masing-masing bertindak secara
terpisah. Amane dan Itsuki tetap tinggal di ruang kelas sementara Chitose
membawa Mahiru ke toko terdekat karena Amane ingin mendiskusikan rencananya
secara langsung dengan Itsuki. Ia telah meminta Chitose untuk secara diam-diam
membawa Mahiru ke tempat lain. Tapi mengingat kekhawatiran Mahiru tentang ujian
yang akan datang, Ia cukup khawatir akan menyita terlalu banyak waktunya.
Amane
mengangguk. “Ya, aku akan mengaturnya dengan cara apa pun. Kalau terus begini,
aku seharusnya bisa menjaga keseimbangan dengan baik, dan ini akan menjadi
pengalaman yang berharga.”
“Ah,
kekuatan cinta…”
“Berisik luh.”
“Tentu,
tentu.”
Percakapan
semacam ini sudah lama menjadi rutinitas bagi mereka, dan setelah segera
mengabaikannya, Amane memeriksa untuk memastikan tidak ada orang di sekitar
yang mungkin mendengar dan berpotensi membocorkan percakapan tersebut kepada
Mahiru sebelum beralih ke topik utama.
“Ngomong-ngomong,
apa menurutmu kamu bisa menangani apa yang aku minta?”
Amane
sudah sering mengandalkan
Itsuki sebelumnya, tapi kali ini, selain membantu persiapan, Ia juga memintanya
melakukan sesuatu yang hanya bisa dilakukannya.
Demi bisa memberikan kebahagiaan sebanyak mungkin kepada Mahiru
di hari istimewanya, Amane mempercayakan Itsuki dengan permintaan khusus
tertentu—yang dimungkinkan hanya berdasarkan tempat Itsuki bekerja dan tugasnya.
“Maksudku,
tentu saja, aku bisa melakukannya, tapi manajerku pasti akan melakukan
pekerjaannya lebih baik daripada aku.”
“Kamu
mungkin benar. Tapi meski begitu, aku ingin kamu melakukannya.”
Tentu
saja, Amane memahami bahwa seorang profesional bisa melakukan pekerjaan lebih
baik daripada Itsuki.
Meski
begitu, Amane ingin Ia melakukannya.
Amane
mengatakan itu dengan tulus, tapi sebagai balasannya, Itsuki memasang wajah
aneh. Pipi dan bibirnya berubah aneh, lalu ia menghela nafas dalam-dalam. Saat
ini masih terlalu dini untuk matahari terbenam, tapi pipinya mencerminkan warna
yang mengingatkan dari cahaya matahari sore.
“…Kamu
benar-benar harus mengatakan itu, ya?” keluh Itsuki.
“Ya. Aku
benar-benar harus mengatakan itu.”
“Ugh. Apa
kamu tidak punya rasa malu? Sialan, ini membuatku jadi malu sekarang.”
“Hahaha.”
“Kamu membuatku kesal, sialan.”
“Jadilah
kesal sesukamu… Aku percaya padamu, jadi aku mengandalkanmu
di sini.”
“Kamu
sudah tahu kalau aku
tidak bisa mengkhianati kepercayaan itu, sial, terserah. Aku akan melakukan
yang terbaik untuk memenuhi harapanmu.”
“Tentu.
Terima kasih.”
Kesediaan Itsuki untuk melakukan apa pun
yang ia bisa demi orang lain, entah itu demi Mahiru atau Amane, adalah sesuatu
yang benar-benar dibanggakan dan disyukuri oleh Amane. Terlepas dari semua
ejekan itu, Amane dengan tulus menghargai bagaimana Itsuki selalu bertindak
demi kepentingan terbaiknya tidak pernah bisa cukup berterima kasih padanya.
Amane
berterima kasih padanya dari lubuk hatinya, tapi Itsuki, yang tidak merasakan
kemarahan atau ketidakpuasan, mulai mengerutkan keningnya dengan kesal dan
menghela nafas lagi.
“… Tapi asli seriusan, sepertinya kamu akan
melakukan apa pun untuk Shiina-san. Kamu sangat berdedikasi untuk semua ini,
bahkan mungkin sembrono.”
“Sembrono? Aku menganggap itu sebagai
pujian.”
Biasanya,
seseorang mungkin menganggap hal itu negatif, tapi belum tentu demikian, tapi
bisa juga dianggap positif. Ini menunjukkan bahwa Itsuki menyadari Amane sudah
cukup percaya diri untuk berani meminta bantuan.
Aku
benar-benar telah berubah. Sebelumnya, aku bahkan tidak pernah mempertimbangkan
untuk mencari bantuan dari orang lain seperti ini, pikir
Amane dengan nostalgia sambil merenungkan kata-kata Itsuki yang
memperhatikannya dengan ekspresi rumit, yang membuat Amane kembali menatapnya
sambil tersenyum khasnya.
“Kuakui
bahwa aku sembrono, tapi aku
tidak akan menerima begitu saja. Kamu selalu membantuku, jadi lain kali jika kamu mengalami masalah,
aku pasti akan ada di sana untuk mendengarkan.
Jika ada yang bisa aku lakukan untuk membantu, aku
akan melakukannya… Jika kamu bersedia memberikan bantuan,
maka aku akan memastikan untuk membalas budi.”
Itsuki memang sering menggoda dan
mengolok-olok Amane, tapi Ia selalu ada di sana mengawasinya, membantu ketika
dibutuhkan. Jika Itsuki mendapati dirinya berada di tempat yang bermasalah,
wajar saja jika Amane mengulurkan tangan dan membantunya seperti yang dilakukan
Itsuki padanya.
“…Suatu
hari nanti, aku akan bersandar padamu
sekuat tenaga hingga aku akan menjatuhkanmu bersamaku.”
“Aku
sedang berolahraga, jadi tidak mungkin kamu bisa membuatku terjatuh.”
“…Betapa
pintarnya kamu.”
“Hahaha.” Jadi selama ini aku
menari di telapak tangannya, pikir Amane, tertawa kecil. Saat Itsuki yang
malu membuang muka dan mengalihkan pandangannya
ke luar jendela, Amane juga membuang muka sejenak.
“Jadi,
apa menurutmu kita semua bisa menyesuaikan jadwal kita?” Mereka berdua tetap
diam selama beberapa waktu, dengan lembut membenamkan diri dalam ketenangan di
sekitar mereka. Namun, karena mereka tidak bisa duduk diam selamanya, Amane
mengangkat topik tersebut yang awalnya ingin mereka diskusikan. Meskipun
bantuan yang dia minta dari Itsuki memang penting, permintaan yang dia miliki
untuk teman-teman mereka yang lain juga sama pentingnya.
“Chi dan
aku bisa melakukannya,” jawab Itsuki. “Aku akan segera menghubungi Yuuta, tapi
dia akan baik-baik saja. Sedangkan untuk Kido, kamu lebih dekat dengannya
daripada aku, jadi kupikir kamu
harus menanyakannya sendiri.”
“Oke,
mengerti… Tapi aku hanya bisa berharap dia ada waktu bebas.”
“Dia
mungkin akan datang karena ini untuk Shiina-san.”
“Tetapi
jika dia benar-benar tidak dapat hadir, maka kita harus mengaturnya dengan
siapa pun yang punya waktu luang.
Aku tidak ingin merepotkan siapa pun.”
“Aku ragu
mereka akan menganggapnya sebagai ketidaknyamanan. Kita semua berteman di sini,
dan tidak setiap hari kamu meminta bantuan kepada kami. Begitu mereka menyadari
bahwa mereka bisa membuatmu berhutang budi pada mereka, aku yakin mereka akan
melakukannya. Aku akan dengan senang hati membantu.”
“…Kuharap
begitu.” Bahkan tanpa diberitahu, Amane tahu kalau Itsuki sengaja menambahkan
lelucon kecil itu untuk menggodanya lebih jauh tepat sekali maksudku,” sebelum
membenturkan tinjunya ke bahu Amane.
“Tapi, kamu benar-benar yakin? Chitose
dan yang lainnya mungkin juga ingin merayakannya di hari yang sebenarnya.”
Untuk
berjaga-jaga, Amane telah bertanya kepada Mahiru beberapa waktu lalu apa boleh
memberi tahu Chitose dan teman-teman mereka yang lain tentang hari ulang
tahunnya, dan Mahiru menyetujuinya. Ketika meminta bantuan mereka, Amane memberi mereka gambaran singkat
tentang situasinya. Masalahnya, bantuan yang ia minta kepada mereka pada
dasarnya akan membuat Amane menyimpan hari istimewa Mahiru untuk dirinya
sendiri. Ini berarti semua orang harus menunda perayaan ulang tahunnya.
“Apa kamu pikir semua orang tidak keberatan dengan hal itu?”
Menyadari
kekhawatiran Amane, Itsuki menanggapi dengan satu kalimat: “Kamu memang bodoh,”
menepis semua kekhawatirannya dalam satu pukulan.
“Setidaknya, prioritas Shiina-san terletak
pada... yah, ini mungkin terdengar buruk untuk dikatakan, tapi kebahagiaannya
terkait denganmu, Amane. Chi juga berkata, 'Yang terpenting adalah Mahirun
bahagia,' dan aku juga berpendapat sama. Juga...”
“Apa?”
“Dia
kemudian berkata, 'Aku akan membiarkan pacarnya menjadi yang nomor satu.”
“Memangnya dia pikir dia itu siapa...”
Amane
tidak bisa menahan tawa mendengar bagaimana Chitose membuatnya terdengar
seolah-olah Mahiru adalah miliknya. Meskipun begitu, ia merasakan kebahagiaan
yang tulus karena mengetahui bahwa Mahiru telah menjadi orang yang begitu
penting bagi Chitose.
Awalnya,
Mahiru lebih suka menyendiri-dia bahkan secara aktif menghindari menjalin
pertemanan dekat. Tetapi sekarang, dia
memiliki seorang teman yang bisa ia percayai.
Tidak
diragukan lagi, hal itu merupakan sumber kebahagiaan yang luar biasa bagi
Mahiru.
Dan bagi
Amane, itu hal yang sama.
“Kalau
begitu, jangan keberatan kalau aku akan
menggantikannya sebagai yang nomor satu.”
Merasa
sangat berterima kasih atas perhatian dan kebaikan teman-temannya, Amane
menerima perasaan mereka dengan sepenuh hati. Itsuki mengangguk padanya dengan
penuh kasih sayang, seolah-olah berpikir bahwa memang begitulah seharusnya.
“Yang
tersisa hanyalah tinggal
melakukan apa yang aku bisa.”