SS 2
Pagi hari
setelah menginap di tempat Amane merupakan saat-saat indah bagi Mahiru. Apa Amane
yang bangun lebih dulu, atau Mahiru?
Karena
mereka berdua orang yang suka bangun pagi, tidak ada yang tahu siapa yang akan
bangun lebih dulu. Ketika Mahiru bangun sebelum Amane, dia akan dengan senang
hati memperhatikan wajah tidur kekasihnya
sampai ia terbangun. Di sisi lain, ketika Amane bangun lebih dulu, ia akan
diam-diam mengawasinya, dan bahkan setelah Mahiru bangun, dia akan terus
menempel pada Amane,
menikmati kehangatannya untuk sementara waktu.
Pagi ini,
Mahiru lah orang pertama yang bangun, sehingga dia
pantas mendapatkan hak istimewa untuk menatap wajah tidur
Amane sepuasnya. Tadi malam, dia tertidur dalam pelukannya, tapi sekarang Amane
berbaring telentang, tertidur dengan damai.
Mahiru
bangkit dengan hati-hati dari
tempatnya di samping Amane,
memastikan untuk tidak membangunkannya sebelum kembali menatap wajah tidurnya
saat ia bermimpi. Di usianya yang ke-tujuh belas, raut wajahnya sudah lebih dewasa
dibandingkan saat mereka pertama kali bertemu, tetapi wajah tidurnya masih
menyimpan pesona kekanak-kanakan yang menurutnya sangat menggemaskan.
Amane
sering berpikir bahwa tatapan matanya cukup tajam,
tetapi sebenarnya, itu hanyalah rasa waspadanya yang tinggi. Tatapan matanya
menjadi lembut di sekitar orang-orang yang dekat dengannya, dan ketika bersama Mahiru, ia akan tersenyum lebih lembut. Mungkin karena lelah
dengan jadwalnya yang padat baru-baru ini, Amane tidak menyadari Mahiru yang terbangun. Ekspresinya yang damai
dan kekanak-kanakan tetap ada saat ia menghirup udara tidurnya dengan tenang.
Karena ia tidak punya jadwal
pekerjaan, rencana, atau bahkan joging pagi seperti biasanya hari ini, Mahiru
berpikir akan lebih baik untuk membiarkannya tidur sedikit lebih lama.
Amane
terus tidur seperti bayi, tampak sangat puas, dan Mahiru tidak bisa menahan
sedikit kenakalan. Dia mengangkat teleponnya dengan hati-hati, menekan jarinya
ke speaker untuk meredam suaranya, dan mengambil gambar—lalu gambar lainnya.
Karena dia tahu Amane pernah diam-diam mengambil gambarnya saat tidur
sebelumnya, Mahiru berpikir
ini adalah kesempatan yang adil. Setelah menambahkan foto-foto barunya yang
menggemaskan ke dalam koleksinya, Amane masih belum bangun dari tidurnya. Ia sedikit bergeser di tempat tidur,
berguling untuk menghadapinya dengan sedikit menggigil.
Meskipun
pemanas ruangan menyala, mereka tetap menyalakannya dengan suhu rendah
semalaman. Setelah Mahiru duduk, selimutnya terbuka sedikit, membuat Amane
kedinginan. Lengannya secara naluriah terulur untuk mendapatkan kehangatan dari
Mahiru. Pemandangan itu begitu menawan sehingga Mahiru merasakan campuran rasa
bersalah karena membiarkannya kedinginan dan sedikit kenikmatan nakal saat
melihatnya mengulurkan tangan padanya. Namun, sisi rasionalnya dengan cepat
memarahinya karena pemikiran
seperti itu, mengingatkannya untuk tidak menggodanya. Jadi, Mahiru dengan tenang
menyelinap kembali ke bawah selimut dan meringkuk di dekat Amane, menjadi sumber kehangatan
yang dicarinya.
Tidak
lama kemudian lengan Amane terulur, dan Mahiru mendapati dirinya ditarik dengan
lembut ke dalam pelukannya yang kini lebih kuat, seperti yang secara tidak
sadar dicarinya. Yang berbeda dari cara mereka tidur tadi malam adalah posisi
mereka. Mahiru sekarang berbaring di tempat yang sedikit berbeda dengan lengan
Amane melingkari punggungnya, menyebabkan wajahnya secara alami menempel di
dadanya. Bohong rasanya jika
hal itu tidak memengaruhinya sama sekali, tetapi entah mengapa, rasanya sangat
berbeda dibandingkan saat Amane melakukan hal seperti ini saat terjaga. Mahiru bahkan menganggap tindakan itu
manis, yang mana itumengejutkannya.
Jika
Amane sengaja melakukan ini saat benar-benar terjaga, Mahiru yakin jantungnya
akan berdebar kencang hingga dia
mungkin akan mati karena terkejut. Namun saat ini, detak jantungnya hanya
sedikit lebih cepat.
Si tukang
tidur Amane-kun juga kelihatan sangat
imut...
Perasaannya
tenang, dan itulah satu-satunya pikiran di kepalanya.
...Aku
bisa melihatnya meminta maaf begitu ia bangun.
Mahiru terkekeh
membayangkan Amane bangun dengan wajah merah padam, mencoba meminta maaf sambil
duduk bersimpuh. Hampir segera setelah
itu, Amane mengeluarkan suara pelan, “Mmmm...” yang terdengar seperti sedang mengigau.
Saat
melirik jam di meja samping tempat tidur, Mahiru menyadari bahwa waktu bangunnya yang biasa sudah dekat.
Sekarang,
apa yang akan ia lakukan...? Dia membelai rambut Amane
dengan lembut sambil tersenyum nakal saat ia tanpa sadar semakin meringkuk.
Seperti yang diharapkan, hal pertama yang dilakukan Amane setelah dirinya benar-benar bangun adalah
segera meminta maaf.
“Aku
benar-benar minta maaf.”
Amane
duduk tegak dan menundukkan kepalanya begitu rendah hingga hampir menyentuh
kasur. Mahiru tidak bisa menahan tawa dalam hatinya.
Sesuai tebakanku, pikirnya.
Dia menepuk kepala Amane dengan lembut lagi dan meyakinkannya, “Jangan mengkhawatirkan hal itu.”