SS 6
Kegiatan menginap
biasanya dianggap sebagai acara istimewa bagi kebanyakan pasangan, tetapi bagi
Amane dan Mahiru, hal itu tidak lagi terasa istimewa. Yah, itu masih istimewa, tetapi
karena mereka sekarang menginap setidaknya sebulan sekali, hal itu tidak lagi
membuat jantung Amane berdebar kencang, seperti di awal-awal.
Mereka
tidak bertujuan untuk melakukan tindakan fisik seperti yang dibayangkan
orang. Sebaliknya, mereka hanya
menghabiskan waktu bersama, berbaring berdampingan, merasakan kehangatan satu sama
lain, dan tertidur—waktu yang damai dan lembut yang dipenuhi dengan kebahagiaan
yang menenangkan. Tentu saja, Amane tidak dapat menyangkal bahwa ia terkadang
bereaksi atau bahwa pikiran tertentu terkadang terlintas di benaknya, tapi dirinya selalu menepati janjinya.
Bahkan tanpa hubungan fisik, kebahagiaan yang mereka bagi lebih dari cukup
baginya.
Amane
mulai menghargai kenyamanan berbaring di samping seseorang yang berharga
baginya saat mereka membicarakan hari itu, hal-hal yang membuat mereka bahagia,
atau rencana untuk besok sebelum perlahan-lahan tertidur. Ketika dirinya masih kecil, ia sering melakukan itu bersama
orang tuanya. Dan sekarang, ia bersama gadis yang ingin ia habiskan masa hidupnya bersamanya.
“…Hehe.”
Mahiru
meringkuk dalam pelukannya ketika tiba-tiba dia
terkekeh pelan, mendorong Amane untuk bangkit dari tidurnya.
“Ada apa?” tanya Amane.
Setelah
menyelesaikan semua persiapan untuk malam dan hari berikutnya, kehangatan yang
mereka rasakan di balik selimut memenuhi mereka dengan rasa gembira yang tak
terlukiskan. Amane, yang larut dalam kebahagiaan itu, mengajukan pertanyaan itu
dengan suara lelah, dan Mahiru tertawa pelan sekali lagi.
“Tidak, bukan apa-apa, tapi… Um…”
“Hm?”
“…Aku
hanya merasa sangat bahagia,” kata Mahiru. “Menghabiskan malam yang nyaman dan
hangat bersama seperti ini, bukannya
ini kemewahan?”
Saat
kelopak matanya yang berat berusaha untuk terangkat karena beban rasa kantuk, Amane menangkap
senyum lembut dan puas Mahiru, yang tampak seperti baru saja menggosok matanya.
Fakta bahwa dia
merasakan hal yang sama membuatnya lebih bahagia daripada apa pun.
Tanpa
menyadarinya, senyum lembut tersungging di bibir Amane. Karena ingin lebih
merasakannya, ia dengan lembut mengencangkan lengannya di punggung Mahiru dan
menarik tubuh kecil dan lembutnya lebih dekat. Amane
pikir ia akan merasakan gelombang panas, tetapi sebaliknya,
yang memenuhinya adalah sesuatu yang tenang dan lembut—kehangatan lembut yang
membelai hatinya dengan lembut seperti angin musim panas yang hangat.
Seolah-olah
itu merupakan hal yang paling alami di dunia,
seolah-olah kehangatan di sisinya ialah
sesuatu yang selalu dapat diandalkannya, Amane berbagi kedekatan itu tanpa
berpikir dua kali.
Mahiru
terkikik malu-malu. “…Kamu sangat hangat, Amane-kun.”
“Selama
kamu merasa nyaman, maka aku ikut merasa senang… Kehangatanmu juga cocok
untukku.”
“Kamu
bilang kakiku dingin sebelumnya.”
“Tolong
jangan salahkan aku… Itu berarti kamu sudah menghangat karena panas tubuhku, ‘kan?” Kaki Mahiru, yang dingin
saat pertama kali naik ke tempat tidur, kini hangat dan lembut melilit kaki
Amane. Ujung jari kakinya menelusuri betis Amane, menggelitiknya dengan lembut.
“Ini
tidak membuatmu terkejut?”
“Sama
sekali tidak... Meskipun, aku yakin aku bisa membuatmu terkejut jika aku mau.”
Sebelum
Mahiru sempat bertanya, “Apa
maksudmu?”
Amane dengan lembut mengusap sisi tubuh Mahiru
dengan jari-jemarinya.
Seperti yang diduga, dia mengeluarkan suara “Kyaa!” yang menggemaskan dan bernada
tinggi.
Masih
geli seperti biasanya, Amane terkekeh pelan pada
dirinya sendiri. Sebagai tanggapan, Mahiru menekan lututnya ke paha Amane,
cemberut pelan sambil berkata “Dasar ihh...” seolah-olah itu sudah cukup
untuk membalas dendam. Fakta bahwa dia pikir itu mungkin berhasil hanya
membuatnya semakin menggemaskan, meskipun dia sendiri mungkin tidak
menyadarinya.
“Amane-kun,
dasar jahil. Lain kali, aku akan membawa
kompres es.”
“Maafkan
aku.”
“Mana
permintaan maafmu?”
“Aku
benar-benar minta maaf.”
“Anak
baik.”
Ekspresi
wajah Mahiru berubah menjadi sombong, jelas puas dengan permintaan maafnya yang
terus terang. Melihat ini, Amane hampir tersenyum tetapi menggigit bibirnya
untuk menyembunyikannya. Ia menepuk
punggung Mahiru dengan lembut, memberi isyarat bahwa sudah waktunya untuk
berhenti bermain-main dan beristirahat. Menanggapi isyaratnya, Mahiru dengan
patuh menempelkan wajahnya ke dadanya, mendesah pelan dan puas.
Karena tidak
pernah begadang, Mahiru segera tertidur saat Amane membelai punggungnya dengan
lembut. Itu adalah bukti betapa nyamannya Mahiru
ketika berada di dekatnya, melihat
dia menurunkan kewaspadaannya, dan seberapa dalam dia mempercayainya.
Mendengarkan
napas Mahiru yang teratur saat dia terlelap,
Amane tersenyum lembut lagi. Mengikuti arahannya, dirinya ikut memejamkan mata. Itu bukan
sesuatu yang luar biasa, tapi kehangatan dan kenyamanan saat itu membuatnya
tidak mungkin untuk melepaskannya. Saat Amane memeluk kebahagiaan yang diharapnya akan bertahan selamanya, ia
membiarkan kesadarannya melayang ke dalam
dunia mimpi.