Epilog
“Ryuuto,
itu sudah berapa mangkuk?”
“Eh,
entahlah. Mungkin sekitar delapan puluh.”
“Eh,
luar biasa! Aku sudah lima puluh dan perutku hampir penuh!"
Seminggu
setelah pernikahan, aku dan Luna sedang makan di luar.
Luna
mencari informasi dan menemukan bahwa ada restoran
wankosoba di Shinjuku, itulah sebabnya
kami datang ke tempat ini.
Di dalam
restoran, mangkuk berisi mi soba
dalam porsi satu suap berputar seperti sushi, dan para pelanggan mengambil soba
dari sana dengan cara berdiri.
Di depan
kami, sudah ada tumpukan menara
mangkuk yang terbuat dari sepuluh mangkuk.
“...Ah,
mungkin aku sudah tidak bisa memakannya lagi.”
“Aku
juga, rasanya sudah cukup puas.”
“Kalau
begitu, ayo kita keluar!”
Kami pun
keluar dari restoran wan-kosoba dan berjalan menyusuri
jalan utama yang ramai menuju stasiun.
Suasananya masih
pagi. Hari ini, aku akan
membantu Luna mengemas barang-barangnya di rumahnya. Perusahaan pengambilan barang akan datang sore
ini, jadi kami harus berusaha sedikit lagi, dan sengaja naik kereta untuk
makan.
“Wankosoba
itu menyenangkan!”
Luna
berkata dengan senang.
“Meski
rasanya sedikit berbeda dari yang aku
bayangkan sih!”
“Iya.
Aku membayangkan seseorang
akan menaruh mis soba ke dalam mangkuk.”
“Tapi,
yang begini juga menyenangkan! Rasanya
seperti menjadi food fighter!”
Luna yang
berkata demikian terlihat puas.
“Senang
sekali aku bisa memakan wankosoba ketika masih ada di Jepang!”
“Benar.”
“Karena
aku sudah pergi ke Chiba, jadi aku tidak menyesali apapun untuk sementara waktu
sekarang!”
Kemarin,
kami mengunjungi Chiba untuk sehari. Karena khawatir tentang perut kami, kami hanya puas dengan satu
gelas tapioka masing-masing setelah makan
siang. Hidangan tanful yang kucicipi pertama kali
juga rasanya enak.
Besok,
kami akan meninggalkan Jepang.
“Senang
rasanya bisa mencicipi wankosoba pertama
kali dengan Ryuuto!”
Luna
menggenggam tanganku dan aku membalas dengan senyuman.
“Entah
itu yang pertama atau bukan, kita akan terus melakukan berbagai pengalaman
bersama.”
“Iya!”
Luna
mengangguk sambil tersenyum dan
mendekatkan dirinya dengan
memeluk lenganku.
“Seumur
hidup!”
◇◇◇◇
Kondisi kamar Luna sebagian besar sudah hampir rapi. Kecuali
furnitur besar yang akan ditinggalkan, hampir semuanya sudah masuk ke dalam
kotak kardus dan tertata di koridor.
“Yang
terakhir adalah isi mejaku! Aku
sudah
memakai sejak SD, jadi banyak sekali isinya dan
susunannya sulit! Kemarin, aku membaca catatan yang dikirim oleh teman saat
kelas di SMP!”
“Itu
hal yang umum saat beres-beres.”
“Baiklah,
aku akan berusaha!”
Kemudian,
aku mulai membantu Luna mengemas barang-barang yang dia pilih dari laci meja
dan rak ke dalam kotak kardus. Aku
mendesak Luna yang mencoba berbicara menyimpang dengan berkata, “Ini album saat festival olahraga!” dan akhirnya, pengemasan selesai
beberapa jam kemudian.
“Ah,
akhirnya selesai juga! Terima
kasih, Ryuuto!”
Setelah
aku mengeluarkan kotak kardus terakhir ke koridor, Luna tersenyum dan mengucapkan
itu.
“Semua
kotak ini tinggal dibawa ke bawah!”
“Pengambilan
jam 5 sore, ‘kan?
Waktunya cukup mepet.”
Ketika
aku melihat jam dinding, waktunya sudah
menunjukkan pukul 4 sore.
Meskipun tampak hampir rapi, meja yang sudah bertahun-tahun digunakan ternyata
adalah lawan yang tangguh.
Saat
memastikan tidak ada yang tertinggal, aku memeriksa sekitar meja.
“Eh?
Ada sesuatu yang jatuh di celah antara meja dan dinding...”
Itu
adalah selembar kertas yang terlipat kecil sekitar tiga sentimeter persegi.
Dari ketebalannya, sepertinya berukuran B4. Meskipun kertas itu dipaksa untuk
dilipat kecil, saat diambil dari celah, kertas itu tidak terbuka, jadi
sepertinya sudah disimpan terlipat seperti itu selama bertahun-tahun.
“Eh,
kira-kira apaan ya?”
Luna
mengambilnya dariku dan membukanya.
Bagian dalam
kertas itu dipenuhi tulisan tangan. Ternyata bukan hanya satu
lembar, tapi dua lembar kertas catatan.
“…………”
“Apa
itu?”
Luna
mulai membaca dan setelah beberapa saat tidak mengatakan apa-apa, aku berpikir
mungkin itu adalah sesuatu yang tidak boleh disentuh, tapi tetap saja aku
bertanya.
“…Iya.”
Luna
menyerahkan kertas itu padaku.
“…Ada
sesuatu yang nostalgia. Apa kamu ingat malam Natal saat kelas dua SMA?”
“Eh?
…Iya…”
Malam
Natal saat kelas dua SMA... itu adalah saat Luna berharap ayah dan ibunya
kembali bersama, dan dia merencanakan pesta Natal yang dikenal sebagai “Operasi Duo Lotte” dengan bantuan Kurose-san.
“Saat
itu, aku menulis surat untuk dibaca di depan ayah dan ibuku. Tapi pada akhirnya
tidak bisa disampaikan. …Ini adalah surat dari saat itu.”
“Eh,
boleh aku membacanya?”
“Iya.
Jika Ryuuto yang membacanya,
kurasa aku akan merasa tenang. Begitulah perasaanku saat itu.”
“…………”
Dengan
perasaan campur aduk, aku mulai membaca surat itu.
Untuk Ayah
dan Ibu,
Ayah,
Ibu, aku sekarang sedang menulis surat ini sambil menangis. Aku tidak pernah menyangka aku akan menulis surat lagi untuk kalian
berdua.
Pada
pernikahan sepupuku Nao-chan tahun lalu, aku menangis saat membaca ‘Surat dari Pengantin Wanita
kepada Orang tuanya’ yang ditulis Nao-chan. Salah satu alasannya
karena surat Nao-chan bagus, tetapi mungkin juga karena kupikir aku tidak akan
bisa menulis surat untuk orang tuaku di pesta pernikahanku sendiri. Jadi hari ini, aku akan menulis
surat ini untuk kalian berdua
seolah-olah aku adalah pengantin waniya.
Aku
sangat menyukai aroma roti yang Ibu panggang di pagi hari Minggu ketika kami berlima tinggal bersama. Aku menikmati sarapan pada hari libur
karena lauk-pauknya lebih banyak daripada hari kerja dan juga ada buah. Ayah
adalah orang yang
terakhir bangun, lalu seharian hanya bersantai. Namun, tiba-tiba Ayah bisa
mengajak kami pergi berkemah. Saat pergi berkemah, aku sangat senang bisa
menikmati masakan Ayah. Dengan kotak makan besar, rasa nasi yang kami masak
bersama masih tak terlupakan hingga sekarang.
Aku
sangat mencintai Ayah dan Ibu.
Aku
sangat menyukai rumah Shirakawa yang ada Ayah dan Ibu. Jika Santa masih
bertanya padaku tentang apa yang aku inginkan, aku pasti akan mengatakan, “Tolong berikan aku rumah
Shirakawa yang ada Ayah dan Ibu”.
Namun,
yang bisa mewujudkan permintaan itu bukanlah Santa.
Karena
itulah, hari
ini aku merencanakan pesta ini. Bagaimana jika kita membuat kenangan
menyenangkan di rumah Shirakawa sekali lagi? Jika Ayah dan Ibu setuju, aku
berharap kita bisa membuat hari-hari seperti ini sekali seminggu… atau bahkan
sebulan sekali.
Aku akan mengatakannya sekali
lagi.
Ayah,
Ibu, aku sangat mencintai kalian. Selamat Natal!
Dari
Santa Luna
“…………”
Aku
teringat pada hari malam Natal itu. Ayah mertua muncul
sambil membawa Misuzu-san di pesta Natal yang direncanakan
dengan perasaan seperti ini. Kekecewaan Luna tidak terukur.
Malam
ketika aku merawat Luna yang pulang dengan demam tinggi setelah pulang ke
rumah, aku juga teringat pagi yang kami sambut bersama, dan sedikit demi
sedikit aku bisa kembali tenang. Semua yang terjadi saat itu membentuk keadaan
kita sekarang... bagi siapapun juga.
“…………”
Saat aku
berpikir tentang kata-kata apa yang harus kukatakan kepada Luna dan tidak bisa mengalihkan
pandanganku dari surat itu, aku mendengar
suara langkah kaki kecil yang riuh dari bawah.
Karena sekarang hari Sabtu, Misuzu-san, yang selesai bekerja dari
klinik pada pukul satu siang, mungkin membawa pulang si kembar dari taman
kanak-kanak. Ayah mertua sedang
bekerja hari ini.
“Nee-nee~!”
“Kami pulang!”
Pintu
terbuka dengan suara ceria, dan akhirnya aku bisa
mengalihkan pandanganku dari surat itu.
“Haruna,
Haruka! Selamat datang kembali!”
Luna, dengan
ekspresi ceria yang berubah drastis, menyambut adik-adiknya.
“Wah,
kamar Nee-nee, tidak ada barangnya!”
“Tidak
ada barangnya!”
Keduanya
berseru melihat ke dalam kamar Luna.
“Ah,
Ryuuto ada di sini lagi!”
“Ryuuto,
kami pulang!”
“Selamat
datang, Haruka-chan, Haruna-chan.”
Karena
selama dua minggu terakhir kami sering bertemu, aku sedikit lebih akrab dengan
keduanya.
“Ryuuto,
itu apa?”
“Apa
itu?”
Keduanya
tiba-tiba memperhatikan dua lembar kertas yang penuh lipatan di tanganku.
“Tunjukkan,
tunjukkan!”
Haruka-chan
menggenggam lenganku dan tanpa memberi kesempatan untuk menghentikannya, dia
mengambil kertas itu.
Setelah
melihatnya bersama Haruna-chan, dia langsung mengangkat wajahnya.
“Surat?
Apa yang tertulis di sana?"
"Tidak
bisa dibaca! Bacakan dong~!”
“…………”
Atas desakan
mereka berdua, aku dan Luna bertukar pandang dan tersenyum
pahit.
“……Ini
adalah…”
Luna
berkata kepada adik-adiknya dengan suara yang agak
pelan.
“Ini
surat yang Nee-nee tulis untuk Papa dan Mama yang mengatakan 'Aku sangat
mencintai kalian'.”
“…………”
Aku tidak
tahu bagaimana pemahaman si kembar yang masih kecil tentang hubungan darah
mereka dengan Luna. Mungkin mereka menganggapnya sebagai kakak yang lahir dari
ibu yang sama.
“Begitu
ya!”
Haruna-chan
berkata sambil tersenyum bahagia.
“Haruna
dan yang lainnya juga sangat mencintai Papa dan Mama!”
“Nee-nee
juga sama!”
Mendengar
itu, wajah Luna mulai berkerut.
“Begitu…
itu benar juga…”
Suara itu
bercampur dengan air mata, Luna berlutut dan
memeluk kedua adik perempuannya dengan penuh kasih
sayang.
“Kalau
begitu, aku yakin dengan
begini, semuanya
baik-baik saja…!”
Luna
menangis, dia menangis sejadi-jadinya.
Mendengar
tangisan Luna seperti itu mengingatkanku pada malam Natal waktu itu
“Ada
apa, Nee-nee?"
“Apa kamu
merasa kesepian karena kamu
akan pergi ke luar negeri besok?”
“Tenang saja,
Haruna dan yang lainnya akan selalu meneleponmu!”
“Bagus,
bagus, kamu anak baik, Nee-nee!”
Ketika Luna
terus menangis, si kembar mengelus kepala kakak mereka seolah menenangkan teman
sekelas mereka.
Takdir
yang tidak diinginkan kadang-kadang bisa mengajarkan sesuatu yang tak terduga.
Bagi Luna,
hal itu mengenai adik perempuan yang
berbeda ibu, dan bagiku, hal
itu mengenai cinta pertama yang hancur.
Luna
mungkin tidak akan berpikir untuk menjadi pengasuh jika dia tidak merawat
adik-adiknya, dan aku juga takkan bercita-cita menjadi editor jika tidak diajak
oleh Kurose-san untuk bekerja paruh waktu di redaksi.
Kehidupan
kita dibentuk dan diwarnai oleh kebetulan aneh yang berada di luar kendali kita.
Misalnya,
bagaimana jika pada hari itu orang yang
diminta Shirakawa-san untuk meminjam pensil mekanik bukanlah aku.
Bagaimana jika
nilai ujianku lebih buruk dibandingkan Iccchi dan Nisshi, sehingga aku tidak dijatuhi sanksi hukuman.
Dan
bagaimana jika Shirakawa-san sedang tidak
jomblo.
Kehidupanku saat ini terdiri dari begitu
banyak kebetulan yang membuatku pusing. Semua itu sangat berharga dan aku
tidak bisa membayangkan bagaimana rasanya jika hal-hal itu tidak ada.
Namun
pastinya, di suatu tempat, sesuatu mungkin sedikit berbeda.
Pada
akhirnya, kupikir Luna ada di
sisiku saat ini.
Alasan
kenapa aku tidak bisa mengiabaikan perasaan itu karena perjalanan ini
terasa seperti serangkaian keajaiban yang hanya bisa dianggap sebagai takdir.
◇◇◇◇
Setelah
pengambilan barang selesai dengan baik, aku keluar bersama Luna. Karena di luar masih terang, sepertinya dia
akan mengantarkanku ke stasiun.
Sekarang
setelah kupikir-pikir, kamu benar-benar tidak menulis surat pengantin wanita,
ya.”
Aku
merasa aneh karena dia tidak mengungkit masalah surat yang tadi, jadi
ketika percakapan terputus, aku mengatakannya.
“Benar.
…Aku disarankan untuk melakukannya oleh
orang-orang di tempat acara resepsi,
dan aku sempat berpikir mungkin aku bisa melakukannya… tapi entahlah.”
Luna
menjawab sambil berjalan tanpa mengubah ekspresinya,
matanya masih sedikit merah.
“……Mungkin
karena aku berpikir, jika aku membacanya
di sana… mungkin ada orang-orang yang akan terluka.”
“……Begitu ya.”
Aku jadi mengingat wajah Misuzu-san dan si
kembar.
Meskipun
itu adalah panggung di mana dia bisa menjadi bintang utama sekali dalam seumur hidup, Luna sangat
memikirkan orang lain.
“……Tapi
tidak apa-apa. Aku akan mengirimkan banyak surat kepada mereka berdua ke
depannya.”
“Eh?”
Saat aku
melihat ke samping, Luna berkata dengan senyum ceria.
“Habisnya,
seluruh kehidupanku itu sendiri adalah surat untuk
Ibu dan Ayahku, ‘kan?”
Kemudian,
dia menatap langit dengan
ekspresi ceria.
“Aku
akan menulis banyak surat bahagia. …bahkan jika suatu hari aku harus
mengirimkannya ke langit. Sampai suatu hari aku pergi ke langit.”
Setelah
berkata demikian, Luna tersenyum padaku.
“Jadi, bahkan jika aku dilahirkan kembali, aku
ingin bersamamu lagi, Ryuuto.”
“……Benar juga. Jika memang harus dilahirkan
kembali, aku juga ingin
seperti itu.”
“Eh?
Apa maksudnya? Apa kamu tidak ingin dilahirkan kembali?”
“Habisnya,
aku merasa sangat bahagia 'sekarang'.”
“……Begitu ya. Jadi
begitu maksudnya."
Mungkin
teringat percakapan kami di
Okinawa, Luna tampak mengerti.
“……Aku
mencintaimu, Luna.”
Setiap
kali aku mengucapkan kata-kata itu, aku
merasa harus menegakkan badanku.
Aku
sedikit malu dan tersenyum, membuat Luna juga ikut tersenyum
malu-malu.
“……Aku
juga. Aku mencintaimu, Ryuuto.”
Aku masih mengingat musim semi kelas 2 SMA saat aku pertama kali jatuh
cinta pada Luna.
Shirakawa
Luna adalah gadis tercantik di angkatanku. Bagiku, dia adalah sosok yang
seperti matahari.
Keberadaannya
begitu menyilaukan sehingga aku tidak
berani menatapnya secara
langsung, dan jika aku mendekat terlalu dekat, orang introvert seperti diriku ini bisa langsung terbakar habis menjadi abu.
Akan tetapi,
matahari itu sebenarnya adalah bulan.
Alih-alih
membuatku terbakar karena terlalu dekat, dia menyelimutiku dengan cahaya yang
lembut dan terus menerangi jalan yang kami lalui bersama.
Selamanya.
◇◇◇◇
“Semuanya, jaga diri kalian baik-baik ya!”
Keesokan harinya, di depan pos pemeriksaan keamanan bandara, kami melambai kepada keluarga yang datang mengantar.
Satu
tangan lainnya tetap terpegang erat.
““Kami
pergi ya!””
Dengan
langkah mantap, kami menginjak lantai resin halus di bandara.
“Fufu”
Aku
tersenyum kepada Luna yang berada
di sampingku.
Masa
lalu, masa depan, dan cinta
abadi, semuanya berada
di dalam genggaman tanganku saat ini juga.
TAMAT
Catatan Penerjemah:
Terima kasih banyak buat kalian yang sudah mengikuti LN ini dari awal hingga volume terakhir ini dan mengawasi bagaimana perkembangan cerita kehidupan mereka berdua ^_^
