Chapter 4 —Kitchen Aono
Kami
berhasil melarikan diri dari sekolah dan menuju rumahku yang berjarak sepuluh
menit berjalan kaki. Karena jaraknya cukup jauh dari sekolah, kami beristirahat
sejenak untuk mengatur napas.
“Haah.... haah.... Kamu
baik-baik saja?”
“Iya.
Ternyata, mengikuti kecepatan penuh pria itu cukup melelahkan, ya.”
Dia
perlahan melepaskan tangannya yang semula digenggam.
“Hanya bisa mengikutiku saja sudah cukup mengagumkan.”
Kalau
dipikir-pikir lagi, aku dengar dia sering diajak bergabung
dengan berbagai klub, tapi dia menolak
semuanya dan kadang diminta untuk membantu
sesekali, dan ternyata dia sangat berprestasi.
“Itu sama
sekali tidak benar.”
Seragamnya
yang basah mulai kering di bawah sinar matahari. Sepertinya ini sudah cukup
baik. Kami secara tidak sadar merapikan rambut kami yang acak-acakan.
“Kalau
begitu, ayo pergi.”
“Tapi,
Senpai. Sepertinya kamu terlalu sering
menggodaku... Apa penjelasanmu yang sangat buruk itu disengaja atau memang
begitu? Pasti salah satu dari itu, kan?”
Dia
menggembungkan pipinya sedikit dan mengeluh.
“Mungkin
yang pertama.”
Itu
bohong. Aku sengaja memberi kesan yang ambigu.
“Dasat pembohong.”
Sepertinya
dia menyadarinya. Yah,
sambil bercanda seperti itu, kami sudah sampai di tujuan. Seolah-olah kami
adalah teman lama, kami bisa berbicara dengan mudah. Dalam arti tertentu, mungkin
karena kami hampir mati dan telah
melewati batas bersama.
Aono Kitchen.
Rumahku sekaligus restoran Barat.
Ayahku yang sudah meninggal adalah
seorang koki. Setelah berlatih di sebuah hotel terkenal dan mengumpulkan uang,
ia membuka restorannya sendiri di
kota ini. Dirinya jatuh
cinta dengan ibuku yang bekerja di resepsi hotel, dan mereka bersama-sama
membuka restoran Barat.
Ayahku lebih suka memasak masakan
rumahan daripada hidangan kursus yang formal, dan menu andalan restoran ini
adalah ‘Omurice’, ‘Hamburger’, dan ‘Semur daging sapi’,
yang merupakan masakan yang akrab.
Sebelum
meninggal karena sakit, dia mempercayakan catatan resep rahasia kepada kakakku,
dan sekarang kakakku yang sudah lulus dari sekolah kuliner berusaha keras
sebagai pemilik generasi kedua. Ibuku membantu dengan pekerjaan akuntansi dan
pelayanan.
“Aku pulang.”
Karena waktunya masih sebelum tengah hari, jadi tempat
ini belum ramai. Ini adalah kawasan perkantoran, jadi saat siang hari, tempat
ini akan sangat ramai.
“Oh,
selamat datang kembali. Tumben banget kamu pulang
lebih cepat.”
Ibuku
menyambut dengan terkejut. Dia menyebut dirinya ‘gadis
poster’, tetapi sebenarnya terlihat sangat muda. Dia
tampak seperti di usia dua puluhan, setengah dari usianya yang sebenarnya.
Karena dia juga melayani pelanggan, rambutnya dipotong pendek dan riasan
wajahnya tipis.
“Ohh, selamat datang kembali.”
Aku bisa
mendengar suara kakakku
dari arah dapur.
“Seperti
yang kuduga, aku merasa kurang sehat dan pulang lebih awal.
Lalu, kouhai-ku juga akan pulang lebih awal,
jadi aku mengajaknya makan siang.”
“Oh,
begitu, ya? Apa
jangan-jangan kamu membolos?
Kamu mulai melakukan itu juga, ya. Tidak apa-apa. Tempat ini akan segera ramai, jadi
gunakan ruang istirahat di belakang. Jarang sekali kamu mengajak teman, jadi
aku akan mentraktirmu.”
Ibuku cukup pengertian. Karena beberapa hari terakhir
aku merasa tidak enak badan, dia pasti khawatir.
“Ichijou-san.
Tidak apa-apa, ayo masuk.”
Aku
memanggil kouhai-ku yang
menunggu di luar. Dia masuk dengan wajah sedikit tegang.
“Salam
kenal. Namaku
Ichijou Ai, juniornya
Aono-senpai. Aku selalu dibantu oleh senpai... Hari ini, aku minta maaf atas
kunjungan mendadak ini.”
Aku
terkesan dengan cara bicaranya yang formal.
Kakakku
mungkin juga datang untuk meledekku ketika melihat wajah temanku.
Dia melangkah masuk dengan terkejut.
“Waduh,
waduh...”
Dirinya pasti terkejut karena aku
membawa gadis cantik. Miyuki juga
cukup cantik, tapi... Ichijou-san memang berbeda.
Ngomong-ngomong,
mungkin ibu dan kakakku sudah menyadari bahwa aku telah berpisah dengan Miyuki. Soalnya, aku sudah
bersembunyi sejak hari ulang tahun.
“Ah,
umm...”
Ichijou-san
terlihat cemas melihat mereka berdua
yang kehilangan kata-kata.
“Maaf.
Aku tidak menyangka bahwa Eiji akan membawa gadis secantik ini... Maaf ya kalau tempatnya berantakan. Silakan bersantai.
Makanlah apa yang kamu suka.”
Ibu
buru-buru membersihkan ruang istirahat dan menyambut kami.
Meskipun
disebut ruang istirahat, tempat ini cukup besar.
Ini
adalah ruangan dengan tatami, dilengkapi meja besar dan televisi. Di zaman
sekarang, ada Wi-Fi gratis untuk pelanggan, jadi kami
juga bisa menonton video di ponsel.
Karena
ibu cukup menyukai hal-hal
baru, restoran ini juga menerima pembayaran dengan uang elektronik, dan bisa
memutar musik latar dengan Alexa, bahkan menonton Netflix dan YouTube di
televisi ruang istirahat.
“Kenapa
tatami? Bukankah restoran Barat seharusnya punya ruang barat?” aku pernah bertanya
demikian, tetapi sepertinya lebih nyaman tidur di ruangan
tatami saat istirahat.
Aku
merasa ruangan ini agak kurang romantis karena terlihat seperti kehidupan
sehari-hari, tapi ini adalah satu-satunya ruang pribadi di restoran, jadi lebih
mudah berbicara dengan Ichijou-san. Sejujurnya, mungkin ada hal-hal yang tidak
ingin aku bicarakan di depan orang tua.
“Silakan
bersantai senyaman mungkin, Ai-chan.”
Aku
sedikit terkejut saat ibu memanggil Ichijou-san dengan nama kecilnya, tetapi
segera merasa tenang saat ibu kembali ke pekerjaannya.
Menu dan
air dingin ditinggalkan.
“Hanya
dengan melihat hamburger dan omurice bisa membuat kita
bahagia, ya. Senpai, apa ada
rekomendasi?”
“Oh,
kalau begitu, menu spesial ini bagus. Omurice terbaik kami menjadi menu utama,
ditambah mini hamburger dan napolitan dalam satu porsi.”
Paket
menu tersebut merupakan hidangan makan
siang yang dirancang oleh ayahku.
Menu tiga
teratas dalam peringkat popularitas ini terlihat seperti kumpulan bintang.
Omurice dan hamburger menggunakan saus demi-glace khusus yang dibuat dengan
proses semalaman. Napolitan menggunakan sosis dengan banyak saus tomat seperti zaman dulu. Terdapat
salad dan sup juga, dan pelanggan saat makan siang pada umumnya memesan
ini.
Aku
merasa sedikit lega melihat kouhai-ku
yang matanya bersinar sambil berseru, “Hee~”.
Sejak tadi, aku hanya melihat sisi dirinya
yang tidak cocok dengan citra gadis SMA, atau lebih
tepatnya, tidak sesuai dengan usianya.
Aku
memesan kepada ibu dan kembali ke ruang istirahat. Melihat kontras antara
pemandangan yang sudah familiar dan kecantikan luar biasa membuatku sedikit
pusing, sehingga aku merasa perlu memberi alasan.
“Maaf
ya. Tempat ini agak kuno untuk mengundang gadis SMA.”
“Tidak,
justru ini terasa segar. Di rumahku maupun
di apartemen yang sekarang aku tinggali, tidak ada ruang tatami. Duduk di
ruangan tatami ini sedikit menyenangkan.”
Dia memang
Ojou-sama sejati, ya.
“Syukurlah
kalau begitu. Ini adalah ruang istirahat ibu dan kakakku, dan setelah jam makan
siang, mereka istirahat di sini selama dua jam sebelum buka kembali malam hari.”
“Jadi,
itu sebabnya tempat ini terasa hangat. Aku belum pernah berkunjung ke rumah
orang lain, jadi ini pengalaman yang cukup
menyegarkan.”
“Tapi
rasanya agak memalukan bagiku.
Televisi untuk menonton drama luar negeri milik ibu dan buku masak milik
kakakku terlalu mencerminkan rumah kami.”
“Justru itu
hal yang membahagiakan. Aku iri dengan kepribadian
keluarga yang terlihat di rumah Senpai.
Selain itu, dari percakapan, aku bisa tahu bahwa senpai akrab dengan keluarga Senpai.”
Aku
merasakan ada sesuatu yang rumit dalam lingkungan keluarga kouhai-ku yang ini. Istilah ‘rumah’ jarang digunakan oleh siswa SMA.
Mungkin dia tinggal sendiri jauh dari orang tuanya. Di sekolah swasta yang
kompetitif, tidak jarang siswa tinggal di asrama, tetapi sekolah kami adalah
sekolah negeri. Mungkin ada alasan di balik itu. Namun, aku tidak berani menanyakan hal itu.
Karena
dia sudah berusaha untuk tidak terlalu mendalami urusanku. Sepanjang perjalanan
ke sini, pasti ada banyak kesempatan untuk bertanya, tetapi dia berperilaku
seolah-olah tidak ingin menyentuh topik itu. Itu adalah bentuk kebaikannya dan
semacam perjanjian antara kami untuk tidak membahas hal-hal yang tidak ingin
diketahui.
“Rumahku
juga dulunya tempat yang hangat seperti ini.”
Melihatnya
berbicara dengan nostalgia membuatku merasa sakit hati. Aku tidak boleh terlalu
menyelidiki.
Setelah
sekitar sepuluh menit berbincang-bincang, makanan pun tiba. Karena ini adalah
menu paling populer, semuanya sudah
disiapkan agar bisa disajikan dengan cepat.
“Ini
dia, makan siang spesial untuk Ai-chan. Sebagai layanan khusus, kami akan
menyajikan teh atau kopi setelah makan, jadi silakan pilih mana yang kamu suka.”
Sup hari
ini adalah tonjiru (sup daging babi). Sup ini berganti setiap hari, dengan
pilihan seperti sup krim jagung, sup konsomé, dan sup telur. Terutama tonjiru
adalah sup yang populer, jadi aku beruntung.
“Kalau
begitu, aku pilih teh.”
Pada
umumnya, banyak pelanggan yang memilih kopi. Namun...
“Oh,
Ai-chan. Kamu penggemar teh ya? Rasanya senang
sekali. Sebenarnya, aku juga begitu.”
Ibuku juga penggemar teh. Jadi, ketika ada pelanggan yang memilih teh, suasana hatinya
langsung baik. Sangat jelas.
Ibu
dengan acuh tak acuh meletakkan paket makan
siang B yang aku pesan tanpa sepatah kata pun. Jelas ada
perbedaan besar di sini. Ngomong-ngomong, paket makan
siang B adalah makan siang
yang terdiri dari kari daging sapi khusus dan kroket. Tentu
saja, kari juga menggunakan saus demi-glace sebagai bumbu rahasia.
“Baiklah,
silakan dinikmati. Aku
akan membawakan tehnya
setelah kamu selesai makan.”
Setelah
ibu kembali bekerja, Kouhai-ku
melirik ke arahku. Dari tatapannya, aku bisa mengerti. Dia ingin cepat-cepat makan.
Aku
mengangguk seolah memberi isyarat. Dia dengan senang hati mengucapkan “itadakimasu” dan mulai makan...
Setelah mencoba sesuap omurice, sepertinya dia tidak bisa menahan diri
untuk mengucapkan “enak”. Ekspresinya terlihat bahagia,
jauh dari kesan gadis yang seolah ingin mati tadi.
Wajahnya
terlihat seperti dewi. Aku merasa
sedikit bersyukur karena
takdir yang sudah mempertemukanku
dengannya.
Kami
menikmati makan siang dengan gembira.
Sup
tonjiru memang terasa enak.
Perpaduan antara masakan Barat dan sup miso,
dua budaya yang berbeda. Ini cukup populer, dan di antara sup-sup yang ada, sup
onigiri gratin dan tonjiru berbagi popularitas.
Ayahku berpikir, “Semoga ini menjadi hadiah untuk
hari Senin yang membosankan,”
dan menambahkan tonjiru ke dalam menu harian. Sup yang lembut dan kaya dengan
banyak daging, sayuran akar, dan kentang.
“Baik itu Omurice,
hamburger, dan napolitan semuanya enak. Tapi, terutama tonjiru ini memberikan
rasa nyaman. Apa ini yang disebut rasa masakan
rumahan?”
Sepertinya
kouhai-ku yang satu ini juga merasa puas.
“Ini
adalah resep kesukaan almarhum ayahku. Resep
ini dibuat dengan merebus sayuran akar dan bawang dengan baik,
dan dimasak dalam panci besar, jadi meskipun menggunakan miso rendah garam,
rasa umami yang lembut masih
terjaga dan memberikan kepuasan.”
Aku merasa sedikit bangga saat menjelaskan.
Berbeda
denganku, Ayahku sangat disayangi
oleh banyak orang. Dirinya aktif
berpartisipasi dalam acara yang diselenggarakan oleh organisasi sukarela
setempat, seperti pembagian makanan untuk tunawisma, orang tua yang tinggal
sendiri, dan anak-anak yang kesulitan mendapatkan makanan. Ia juga seorang ayah yang baik,
yang secara aktif terlibat dalam kegiatan sukarela di daerah yang terkena
bencana besar seperti gempa bumi atau banjir.
Ia
dicintai oleh masyarakat setempat dan dijuluki sebagai “pahlawan tanpa nama”.
Beliau
benar-benar ayah yang membuatku bangga.
Namun,
ayahku tiba-tiba meninggal dunia karena serangan jantung saat berusia empat
puluhan ketika aku sedang kelas dua SMP. Ia
pingsan saat sedang memasak tonjiru untuk pembagian makanan. Itu benar-benar
seperti dirinya.
Banyak orang
yang hadir di pemakamannya. Para anggota dewan kota yang berasal dari daerah
setempat yang sejalan dengan prinsip-prinsip ayahku, walikota saat itu,
pelanggan tetap, dan orang-orang yang pernah menikmati tonjiru di acara
pembagian makanan. Banyak orang datang untuk memberikan penghormatan mereka. Meskipun sedih, keluarga kami
merasa bangga. Kami tahu bahwa ayahku menjalani kehidupannya sesuai dengan idealismenya
dan dicintai oleh banyak orang sebelum pergi dari dunia ini. Sampai sekarang,
kakakku dan ibuku masih meneruskan kegiatan sukarela ayah, sekitar sebulan
sekali. Mereka juga tertarik untuk berpartisipasi dalam program dapur
anak.
“Begitu
ya. Maaf, apa aku terlalu tidak peka?”
“Tidak,
bukan begitu. Justru, aku merasa senang
bisa mendengar pujian tentang ayahku yang telah tiada.”
Setelah
mendengar kata-kataku, dia berbicara dengan nada suara yang sedikit lebih
cerah.
“Aku senang
mendengarnya. Ayahmu pasti adalah orang yang baik. Tonjiru
ini membuktikannya. Aku bisa merasakan bahwa ini dibuat dengan penuh perhatian
dan waktu. Senpai juga sama.”
Aku yakin
kalau
Ichijou-san juga pandai memasak. Aku merasa begitu secara
instingtif. Jika seseorang tidak sering memasak, mereka mungkin tidak akan
menyadari kelezatan tonjiru ini. Meskipun bahan-bahannya biasa saja, cara
membuatnya dengan teliti membuat rasa umami-nya menonjol.
“Aku senang
kamu menyukainya.”
“Ya!
Senang rasanya bisa menikmati sup sebaik ini. Aku
benar-benar merasa begitu.”
Aku bisa
sedikit melihatnya dengan tenang. Sepertinya keinginan bunuh diri yang ada
dalam dirinya mulai memudar dengan resep ayahku.
“Sup
ini bisa ditambah lagi, jadi
silakan.”
Selagi aku mengatakan itu, aku
diam-diam menatap kouhai
yang sedikit meneteskan air matanya.
“Senpai,
apa aku boleh hidup? Aku sudah lama memikirkannya. Hari ini, aku juga ragu
untuk pergi ke atap, mempersiapkan diri, dan akhirnya bisa memberanikan diri. Tapi, kamu yang baru aku temui
berani mengambil risiko untuk membantuku, dan bisa menikmati makanan yang
begitu enak ini, dan... akhirnya, keberanianku mulai goyah.”
Kata-kata
itu berat. Aku tidak tahu apa-apa tentang dirinya, jadi aku tidak yakin apa aku
harus menjawabnya. Namun,
satu-satunya jawaban yang bisa aku berikan, karena aku juga pernah berpikir
untuk bunuh diri, adalah bahwa aku ingin dia hidup. Karena dia ada di sana, aku
merasa diselamatkan.
“Aku
tidak tahu apa yang terjadi pada Ichijou-san, jadi aku hanya bisa mengatakan
hal-hal yang tidak bertanggung jawab.”
“Begitu
ya. Jika ditanya seperti ini tiba-tiba, tentu saja kamu akan merasa kebingungan...”
“Tapi,
aku ingin kamu tetap hidup, Ichijou-san.
Karena aku diselamatkan karena kamu ada di sana.”
Dia
menangis tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Mungkin karena sudah menahan diri
terlalu lama, air matanya tidak berhenti mengalir.
“Ibu,
Ibu...”
Melihatnya
menangis tersedu-sedu sambil
memanggil ibunya, aku merasa seolah melihat sosok asli seorang gadis yang bernama Ichijou
Ai.
※※※※
Ibuku
membawa teh sore. Teh
dengan rasa Rosé dan Stroberi.
Teh yang diberi
aroma mawar dan ditambahkan dengan stroberi
kering, memperkuat rasa buah dari anggur dan stroberi. Teh ini adalah favorit
ibuku dan biasanya disajikan untuk tamu penting.
Ichijou-san
tampak tenang, seolah-olah semua
bebannya menghilang,
dan kembali dengan senyuman yang indah.
“Terima
kasih untuk makanannya. Makan siang sangat enak.”
“Aku senang
mendengarnya. Teh ini juga merupakan salah satu koleksiku yang terbaik.
Meskipun diberi aroma anggur, alkoholnya sudah menguap, jadi Ai-chan yang masih di bawah umur
bisa meminumnya. Meskipun tanpa gula sudah enak, sedikit gula bisa membuatmu
merasa bahagia.”
Ngomong-ngomong,
ibuku memang memiliki selera Inggris yang cukup kuat, dan dia juga suka minuman
beralkohol seperti Scotch whiskey dan gin. Di hari-hari dingin, dia
sering menambahkan satu sendok teh brendi atau anggur ke dalam teh untuk
membuat koktail panas.
Tentu
saja dia tidak akan mengizinkanku
meminumnya, tetapi teh brendi tidak
memiliki bau alkohol yang mengganggu dan justru memperkuat aroma teh. Hanya
dengan aromanya saja, aku sudah merasa bahagia.
Karena
aku tampak sangat iri, ibuku mencari teh dengan rasa serupa di toko teh, dan
itulah mengapa ada teh Rosé dan Stroberi.
“Rasanya enak.
Aromanya kaya, dan memang lebih cocok jika ditambahkan gula daripada tanpa
gula!”
“Iya, ‘kan?
Ngomong-ngomong, Ai-chan suka
teh yang seperti apa? Kalau aku sih, kalau teh hitam, pasti Darjeeling.”
“Aku
juga menyukai Darjeeling. Belakangan ini, aku
juga suka teh hitam Jepang.
Untuk teh beraroma, aku menyukai rasa aprikot
dan buah-buahan tropis...”
“Wah!
Selera yang cukup bagus.
Aku ingin sekali pergi ke toko teh yang kamu rekomendasikan. Di sana, ada kafe
di sebelahnya, dan kita bisa mencicipi teh yang menarik sambil makan scone atau
kue.”
“Tak kusangka ada tempat
semenarik itu! Tolong
bawa aku ke sana.”
Ichijou-san
sudah sangat akrab dengan ibuku.
“Aku
senang. Aku memang ingin punya putri. Selain Eiji,
jadilah teman baikku juga.”
“Baik!”
Melihat
wanita-wanita yang asyik berbicara tentang hobi, aku hanya bisa tersenyum
kecut.
※※※※
“Kalau
begitu, aku pamit pulang dulu.”
Setelah
menikmati teh selama sekitar tiga puluh menit, Ichijou-san bersiap untuk keluar
karena waktu istirahat hampir tiba.
“Aku
akan mengantarmu sampai stasiun.”
“Aku
baik-baik saja sendiri. Rasanya terlalu menyenangkan,
jadi justru membuatku semakin sedih.”
Dia
tersenyum nakal. Meskipun dia berusaha mengalihkan perhatian, ada sedikit
ketulusan di balik kata-katanya.
“Begitu
ya. Kalau begitu hati-hati ya.”
Apa aku
benar-benar bisa membiarkan kouhai
yang tadi ingin bunuh diri pulang sendirian? Aku merasa sedikit cemas.
“Tidak
apa-apa. Sekarang setelah aku
mengenalmu. Sekarang aku punya alasan untuk tetap di sini.”
Kami
berdua sepakat untuk tidak mengatakan hal itu secara langsung.
Dalam
situasi terburuk, aku merasa sudah bisa mengatasinya.
“Nee,
Senpai?”
“Iya?”
“Kita
sudah menjadi 'teman', ‘kan?”
“Tentu
saja. Dalam arti tertentu, kita sudah jadi sahabat dalam sehari.”
“Fufu,
senang sekali. Semoga kita bisa terus berhubungan, Senpai!”
Dia
dengan sopan mengucapkan selamat tinggal kepada ibuku dan kakakku sebelum
keluar.
──Sudut
Pandang Ichijou Ai──
Aku
keluar meninggalkan Kitchen Aono. Mungkin ini
adalah dua jam terbahagia dalam hidupku. Sambil mengingat wajah sahabat
pertamaku, aku menuju mobil jemputan.
“Untuk
sekarang, kita masih bisa jadi teman, kan?"
Aku
bertanya pelan kepada Senpai yang seharusnya tidak mendengar.
“Selamat
datang, Ojou-sama.”
Sopir,
Kuroi, menatapku dengan ekspresi khawatir.
“Terima
kasih.”
Sudah saatnya kembali ke dalam sangkar
seperti burung.
※※※※
──Sudut Pandang Aono Eiji──
Setelah Ichijou-san
pergi, aku kembali ke dalam kamarku.
Apa yang
harus kulakukan mulai besok? Tentu saja, seharusnya aku pergi ke sekolah. Tapi,
aku merasa takut. Tadi, aku mungkin bisa melupakan ketakutan itu berkat Ichijou-san. Namun, setelah sendirian di
kamar, perasaan kesepian dan ketakutan tiba-tiba menguasai diriku.
“Sial,
aku tidak bisa berhenti gemetaran.”
Hanya
dengan berjalan di koridor, kata-kata kasar dari siswa yang tidak dikenal sudah
mulai menghampiriku. Kotak sepatu yang dipenuhi sampah.
Dan
setelah bertahan dengan makian, ketika akhirnya sampai di kelas, aku disambut
dengan tatapan dingin seperti, “Kenapa
cowok itu datang lagi hari ini?” atau “Cepatlah mengerti dan berhenti
sekolah”. Aku terus diabaikan dan semakin
tertekan secara mental.
Di atas
mejaku ada bunga, dan aku harus terus belajar di meja yang sudah
dicoret-coret.
Aku
membayangkan semua hal negatif yang mungkin terjadi, dan hanya bisa menghela
napas. Ujian kemampuan akan segera datang, tetapi aku tidak bisa fokus belajar.
Aku ingin menangis. Satu kouhai
mau mendukungku. Itu saja sudah cukup untuk menyelamatkan hatiku.
Tapi,
tetap saja, hal yang menakutkan tetap menakutkan.
Aku hanya
merasa mengantuk. Aku pernah mendengar bahwa saat mental seseorang hampir
hancur, mereka akan merasa sangat lesu dan tidur tidak pernah cukup. Mungkin
aku juga sedang mengalaminya.
Aku tidak
tahu seberapa besar keberadaan Ichijo-san telah menyelamatkanku sampai saat ini.
Hanya
saat berbicara dengannya, aku bisa melupakan semua penderitaan yang kurasakan.
Tiba-tiba,
smartphone-ku berbunyi. Pasti serangan mental dari akun sampah. Aku sudah malas untuk memblokirnya, mungkin lebih baik menghapus
akun saja. Ketika aku berpikir bergitu, aku berusaha membuka
smartphone. Namun, yang muncul bukanlah keputusasaan, melainkan harapan
lain.
“Hei,
Eiji. Apa kabar? Smartphone-ku rusak saat
perjalanan. Aku benar-benar minta maaf.”
Pesan
yang hanya terdiri dari huruf-huruf dan simbol-simbol yang kaku. Aku sudah
mengenalnya hampir sama lamanya dengan Miyuki, dan ia adalah teman terdekatku
sejak kami masih anak-anak, Imai Satoshi.
Satoshi
adalah teman masa kecilku. Ia mengambil
jurusan sains, jadi kami berada di kelas yang berbeda, tetapi kami sudah
berteman baik sejak sekolah SD.
“Lumayan,
kamu sendiri?”
Aku
membalas dengan susah payah.
“Bagus.
Sementara itu, bisa kita ketemuan setelah kegiatan klub selesai? Di restoran
keluarga seperti biasa.”
Pesan-pesannya
selalu singkat.
Tapi,
kata-katanya tetap sama seperti biasanya. Tidak berubah sejak sebelum terlibat
dalam kejadian itu.
“Baiklah.”
Aku sudah
merasa takut. Karena dikhianati oleh Miyuki. Jika Satoshi juga mengkhianatiku,
aku tidak akan punya apa-apa lagi. Teman sekelas dan anggota klub yang dulu
akrab dengan mudahnya berpaling dariku.
Satoshi
pun mungkin... bisa saja mengkhianatiku.
Tapi, aku
tahu dirinya akan memperlakukanku seperti
dulu. Itu saja sudah membuatku hampir menangis.
※※※※
“Hei,
Eiji. Di sini, di sini.”
Aku
datang ke restoran keluarga murah seperti biasa. Seharusnya saat ini merupakan waktunya kegiatan klub,
tetapi aku yakin ia pasti menyempatkan diri
untuk datang. Tubuhnya yang kekar dan wajahnya yang tampak cerdas dengan
kacamata.
Dia
adalah bintang di klub panahan sekaligus
kapten di klub shogi yang
dipimpin oleh Takayanagi-sensei. Ia selalu berada di peringkat
sepuluh teratas di kelas. Orang
yang sempurna dan berbakat.
Biasanya,
ia pasti akan memesan kentang goreng karena lapar, tetapi hari ini ia hanya
memesan minuman dari bar.
“Kamu
rupanya cepat juga.”
“Ya,
ini masalah besar bagi temanku.
Aku lebih memprioritaskan ini daripada klub.”
Dari nada
bicaranya, sepertinya Satoshi sudah memahami situasinya.
Mungkin
kata-kata penolakan akan segera menyusul.
Aku
sedikit merasa takut.
Setelah
aku duduk, Satoshi segera menundukkan kepala.
“Maafkan
aku, Eiji!! Aku bahkan tidak menyadari keadaan daruratmu. Aku tidak layak
disebut teman. Maafkan aku!!”
Satoshi
yang biasanya rasional kini terlihat sangat
emosional.
“Hah?”
“Aku
tidak terlalu aktif menggunakan media
sosial, jadi aku tidak menyadari ada fitnah yang beredar. Karena kita sudah terpisah
kelas sejak kelas dua...
dan ditambah dengan perjalanan klub, aku tidak tahu apa yang terjadi padamu
sampai setelah sekolah. Kamu selalu membantuku... tetapi aku tidak bisa ada di
sampingmu saat kamu sangat membutuhkanku. Aku benar-benar minta maaf!”
Aku belum
pernah melihat Satoshi seperti ini.
Kenapa...
kenapa...
“Satoshi,
apa kamu percaya padaku?"
“Ya,
sepulang sekolah, seorang kouhai dari klub memperlihatkan postingan tentangmu.
Tapi, aku langsung mengerti. Postingan seperti itu pasti bohong. Lagipula, kamu
tidak pernah sekali pun memukul
gadis. Apalagi jika itu Miyuki. Itu tidak mungkin. Kamu tidak akan melakukan
hal seperti itu. Ini pasti kesalahpahaman.”
“......”
Aku
merasakan emosiku menjadi kacau mendengar perkataan
Satoshi.
“Aku
buru-buru memeriksa dengan anggota klub yang sekelas denganmu, dan mereka
bilang kamu menghilang sebelum rapat umum sekolah hari ini dan pulang lebih
awal. Aku segera pergi menemui
guru wali kelasmu, Takayanagi-sensei.
Jika mereka berniat mengabaikan atau menyembunyikan masalah Eiji, aku sudah berniat untuk
memukul mereka.”
Aku
khawatir Satoshi bisa di-skorsing atau dikeluarkan karena aku. Pemikiran itu melintas di kepalaku,
membuatku merasa pucat.
Ketika
masalah seperti ini muncul, biasanya sekolah cenderung menyembunyikannya.
Karena
itulah, aku hampir menyerah. Orang
dewasa tidak bisa diandalkan. Itu sudah menjadi kenyataan.
“Jadi, bagaimana
dengan tanggapan guru?”
Wajah
marah Satoshi berubah menjadi ekspresi penuh kekhawatiran.
Dirinya sedikit ragu sebelum melanjutkan.
“Takayanagi-sensei sangat khawatir tentangmu.
Sepertinya ia juga menyadari masalah tersebut
pagi ini, dan setelah sekolah, ia bertemu dengan beberapa siswa untuk
mengumpulkan informasi. Tapi, sepertinya ia kesulitan mengumpulkan informasi.”
“......”
Aku
mengangguk tanda setuju.
“Guru
itu, biasanya terlihat tidak bersemangat, tapi ketika aku pergi menemuinya, ia
dengan serius berkata, 'Tolong, jika kamu tahu sedikit saja tentang apa yang
terjadi pada Aono, beritahu aku’'
Ia mengetahui bahwa aku dekat denganmu sejak
SD. Jadi, aku menceritakan postingan yang diperlihatkan junior itu. Maaf karena
tidak berkonsultasi sebelumnya.”
Satoshi
sepertinya memperhatikan harga diriku.
Aku membalas
dengan menggelengkan kepala perlahan.
“Jadi,
Sensei berkata, 'Jika memungkinkan,
sampaikan kepada Aono. Mungkin ia merasa takut, tapi percayalah pada kami orang
dewasa. Masalah ini akan aku selesaikan dengan tanggung jawab penuh. Jadi,
percayalah sedikit saja.'”
Mendengar
kata-kata itu, aku merasa sedikit demi sedikit es di dalam hatiku mencair.
Aku meluapkan
emosi yang kupendam dari lubuk hatiku di depan sahabatku. Air mataku tidak bisa berhenti mengalir.
──Sudut
Pandang Miyuki──
Aku
datang mengunjungi restoran Kitchen Aono
untuk meminta maaf kepada Eiji, setelah pulang lebih awal dari sekolah. Aku
merasa takut untuk masuk. Seharusnya aku bisa masuk dengan santai, tetapi
sekarang rasanya ada tembok transparan
yang menghalangiku.
Saat aku
bingung harus berbuat apa, aku merasakan kehadiran seseorang yang keluar dari
dalam, dan aku buru-buru bersembunyi.
Itu
adalah gadis berseragam sekolah yang sama. Si kucing garong tadi!
Sambil
berpikir demikian, aku menatap wajahnya dan menyadari bahwa dia adalah
seseorang yang tidak pernah kuduga.
“Ichijou,
Ai?”
Kenapa
idol sekolah ada di sini?
Dia
berasal dari keluarga terpandang dan dikenal sebagai siswa yang berprestasi.
Dia masuk dengan nilai hampir sempurna di ujian masuk. Dan dia terkenal tidak suka pada
laki-laki, selalu menolak semua pengakuan cinta.
Aku tidak
ingin mempercayainya, tapi aku memahaminya dengan baik. Karena
aku sendiri kecanduan dalam
cinta.
Dia jelas
memiliki wajah seorang gadis yang jatuh cinta.
Aku bisa
membayangkan kepada siapa perasaannya ditujukan. Di
sana cuma ada Eiji yang
cuma aku satu-satunya yang memahami pesonanya. Kenapa, kenapa, kenapa?
Kenapa harus Ichijou Ai!?
Mana
mungkin aku bisa menang. Dia adalah gadis yang berada di dimensi yang berbeda
dariku. Jika aku tidak cepat bergerak,
Eiji akan diambil. Dengan pemikiran itu, aku berusaha untuk segera menemui
Eiji.
Namun,
pintu itu kemudian terbuka.
Yang
keluar adalah ibu Eiji.
“Astaga,
Miyuki-chan. Kenapa kamu malah bersembunyi
di situ?”
Dia tersenyum dengan nada yang tidak
berubah.
Dia masih
tersenyum seperti
biasa, tetapi matanya tidak tersenyum.
Aku
segera mengetahui apa yang dirasakan ibu Eiji terhadapku.
Kemarahan
dan kekecewaan murni. Kenapa semua itu ditujukan padaku? Jangan-jangan Eiji
sudah membicarakannya?
“Selamat siang,
Bibi.”
Aku juga
mencoba membalas salamnya dengan sebaik mungkin. Semoga ini hanya perasaanku. Sambil gemetar dalam hati, aku membalas dengan senyum yang
tegang.
“Iya,
selamat siang. Ada keperluan apa kamu ke sini?”
Aku
terkejut dengan tatapan dingin dari bibi yang biasanya memberikan senyuman
lembut.
Biasanya
ketika dia melihatku, dia akan berkata, “Oh,
kamu mencari Eiji? Aku akan segera memanggilnya.”
“Ehm, Eiji ada di mana...?”
“Ia sedang ada di dalam, tapi ada keperluan
apa?”
Jawabannya
dingin dan langsung tanpa jeda.
“Itu...”
Reaksinya
yang terlalu dingin membuatku ragu sejenak.
“Maaf.
Sebenarnya, sebagai orang tua, aku seharusnya tidak ikut campur dalam hubungan
kalian.”
Melihat
bibi yang menunjukkan penolakan yang sangat formal, aku hampir menangis.
“Apa
maksudnya?”
“Kamu bisa bertanya pada dirimu
sendiri, kamu memahaminya sendiri, ‘kan?
Sebenarnya, aku sudah menyadari bahwa kamu
berselingkuh sebelum Eiji.”
Kata-kata
tajam itu membekukan hatiku. Selingkuh. Bahkan lebih cepat dari Eiji. Kenapa,
apa maksudnya?
“......”
Aku
merasakan darahku surut.
“Sebenarnya,
saat aku minum teh di sebuah acara
kumpul-kumpul di pusat perbelanjaan, aku melihatmu berjalan bergandengan tangan
dengan seorang pria yang bukan Eiji.”
“......”
Aku
berteriak di dalam hati. Tidak,
bibi selalu bersikap baik padaku. Dia selalu lembut dan lebih memperhatikanku
dibandingkan Eiji. Tapi aku justru...
“Tentu
saja, selama kalian belum menikah, kalian bebas berpacaran dengan siapa saja
secara hukum. Karena kalian berdua masih remaja, jadi mungkin akan
saling menyakiti. Mungkin akan terjadi kesalahpahaman. Aku pikir Eiji hanya
diam karena sulit untuk mengatakannya. Sayangnya, kalian sepakat untuk
berpisah.”
Dengan
keringat dingin di punggungku,
aku berusaha merangkai kata-kata. Namun, semua alasan tidak bisa terucap.
“Aku
menyadari bahwa pemahamanku salah pada hari ulang tahun Eiji. Eiji sudah bilang
sebelumnya bahwa dia akan pergi kencan denganmu. Lalu, ia pulang dengan wajah
putus asa dan mengurung diri. Dari situ, aku menyadari bahwa kamu telah mengkhianati Eiji.”
Aku memahami betul bahwa tidak ada alasan
yang bisa diterima oleh bibi yang lebih berpengalaman dalam hidup. Dalam
keputusasaan, aku hanya bisa membuka dan menutup mulutku.
“Itu
bukan seperti itu, itu...”
“Memang, kamu mungkin punya alasanmu sendiri. Tapi aku tidak memiliki
kewajiban untuk mendengarnya. Aku tidak ingin semakin membencimu, jadi bisakah kamu berhenti membuat alasan
yang aneh?”
Aku
merasa seperti dicekik perlahan-lahan.
Aku semakin terpojok.
“Maafkan aku.”
Aku hanya
bisa mengucapkan itu dan menundukkan kepala untuk menahan air mataku.
“Aku
tidak ingin mendengar permintaan maaf seperti itu. Kita sudah saling mengenal
selama lebih dari sepuluh tahun, jadi izinkan aku memberikan satu saran
terakhir. Cinta itu bebas, tapi tidak
ada seorang pun yang berhak mempermainkan
atau menginjak-injak kasih sayang seseorang
yang tulus. Mungkin itu bukan kejahatan, tetapi menurutku
itu jauh lebih berdosa. Mulai sekarang, jaga sikapmu.”
“......
Bisakah bibi membiarkan aku bertemu Eiji?”
Dia
menjawab dengan suara yang sedikit marah.
“Tidak.
Mana ada ibu yang memaafkan wanita
yang berselingkuh dan menginjak-injak perasaan baik anaknya? Aku tidak sebaik
itu. Aku pikir ini adalah masalah
yang harus diputuskan Eiji. Tapi setidaknya, jangan menunjukkan wajahmu di haddapanku lagi.
Kamu tidak layak untuk anakku.”
Penolakan
yang jelas itu membuatku hancur secara emosional. Dalam arti tertentu, bibi
memperlakukanku seperti ibu kandungku. Almarhum paman juga begitu. Kakak
juga...
Orang
yang memperlakukanku seperti keluarga kini mengatakan untuk tidak datang lagi.
Kata-kata penolakan itu menjadi pemicu kehancuran hal-hal penting dalam
diriku.
Aku
terjatuh seperti mainan yang rusak di trotoar.
“Tidak mau, tidak mau...”
Ketika aku
masih terus menangis seperti bayi, bibi datang untuk menambah
luka.
“Maaf.
Kamu melakukannya di depan
toko. Jika kamu
menangis di sini, itu akan mengganggu bisnis. Jadi,
cepetan minggir dari sini.”
Saat dia
menurunkan tirai penutup jam buka, dia melirik dan berkata, “Selamat tinggal, Miyuki-chan,” menegaskan fakta bahwa segala
sesuatunya tidak akan pernah kembali lagi.
Biasanya,
idia akan mengatakan, “Sampai
jumpa nanti”.
Aku tidak
bisa bergerak untuk sementara waktu. Air mataku
tidak mau berhenti mengalir. Karena
terjatuh di aspal, lututku menjadi merah. Mungkin rasanya perih, tetapi anehnya aku tidak
merasakan sakit.
Karena
hatiku sudah mati.
Entah
bagaimana, aku melarikan diri dari Kitchen Aono dan pulang ke rumah.
Hari ini,
ibuku seharusnya kerja malam. Aku tidak ingin bertemu dengannya, tetapi dia pasti ada di
rumah.
“Aku pulang.”
Setelah
menyapa dengan singkat, ibuku
yang sedang menonton acara televisi menyambutku dengan senyuman seperti
biasa.
“Oh,
selamat datang kembali. Hari ini, kamu pulang cepat
sekali ya.”
Perkataannya
semakin melukai hatiku yang sudah hancur.
“Yah,
sepertinya Eiji tidak enak badan, jadi aku pergi menjenguknya.”
Rasa
bersalah karena berbohong kepada ibuku semakin memperkuat kebencian terhadap
diriku sendiri.
“Oh,
kalian masih saling mencintai seperti biasa ya. Aku senang
mendengarnya. Sejak kecil, kamu
selalu bilang ingin menjadi istri Eiji. Kamu
menjalani masa muda yang baik.”
Kata-kata
yang tampaknya biasa saja itu
benar-benar menusuk hatiku seperti senjata. Aku dipaksa untuk menguatkan
kerinduan pada tempat yang tidak akan pernah bisa kutuju lagi.
“Ya.
Tolong jangan ingatkan aku tentang hal-hal memalukan.”
Biasanya,
candaan ibuku yang memalukan itu membuatku merasa bahagia, tetapi kali ini
terasa seperti pisau tajam.
Ya, aku
sudah tahu sejak kecil. Seharusnya aku sudah menyadarinya.
Ketika
tahun lalu Eiji mengungkapkan perasaannya, aku merasakan kebahagiaan yang luar
biasa. Seharusnya aku selalu bersamanya. Tahun depan, kami akan belajar bersama
untuk ujian dan masuk universitas yang sama. Setelah itu, ketika di
universitas, kami akan sedikit bolos dan pergi bersenang-senang ke berbagai
tempat. Kami akan bekerja paruh waktu, dan sedikit memanjakan diri saat
merayakan ulang tahun atau Natal.
Meskipun
setelah menjadi orang dewasa yang bekerja, kami
mungkin akan bertengkar sedikit, tetapi ketika kami sudah terbiasa dengan
pekerjaan masing-masing, mungkin kami akan menikah, membangun keluarga yang
bahagia, dan menua bersama. Seharusnya aku selalu membayangkan masa depan yang
bahagia dan kekanak-kanakan seperti itu.
“Maaf,
sebentar lagi ada ujian kemampuan, jadi aku akan belajar di kamar.”
“Oh,
begitu. Aku akan segera pergi, jadi aku sudah menyiapkan kari di kulkas. Kamu
bisa memanaskannya dan memakannya nanti ya.”
“Ya,
terima kasih! Semoga pekerjaanmu lancar.”
Aku
nyaris hanya bisa mengucapkan itu sebelum melarikan diri ke dalam kamarku.
Aku telah
mengkhianati bukan hanya Eiji dan bibi, tetapi juga ibuku. Akhirnya, aku
dihadapkan pada beratnya perbuatan
yang telah kulakukan. Masa depan bahagia yang aku bayangkan tidak akan pernah datang.
Aku
mengunci pintu kamarku dan menjatuhkan diri di atas tempat tidur.
Kesedihan
dan kebencian terhadap diriku sendiri karena telah tercemar membuatku
menggenggam tangan dengan kuat. Kuku-kuku ini menancap dalam, menyebabkan darah menetes ke selimut
pink.
Ada suara
dari diriku yang lain yang membenci diriku yang tenggelam dalam hasrat.
'Dasar parah! Kenapa kamu terus-menerus mengkhianati
orang yang begitu penting bagimu?!'
Itu
adalah pertanyaan yang wajar. Aku membenci sisa-sisa niat baik dan akal sehat
yang masih tersisa dalam diriku.
Mau
bagaimana lagi. Aku tahu itu tidak bisa dihindari.
Tapi, aku
juga terluka, jadi tidak ada yang bisa dilakukan.
Lututku
yang tergores akhirnya mulai merasakan sakitnya. Jiwaku dipenuhi keputusasaan, dan aku merasakan
hatiku menuju arah yang buruk.
Gawat. Aku tidak boleh terhanyut oleh gelombang emosi di sini. Begitu pikiranku yang lemah berusaha keras untuk menahanku. Namun, bendungan hatiku telah hancur sekali. Semuanya itu terjadi ketika Kondo-senpai mendekatiku.
Oleh
karena itu, aku tidak bisa menahan perasaanku yang ingin jatuh ke dalam
kegelapan.
'Apa yang
kamu
lakukan? Sekarang, meskipun kamu
mulai menghargai Eiji, semuanya sudah
terlambat.'
'Akulah yang mengkhianati Eiji, jadi tidak ada gunanya
berpura-pura sekarang.'
'Apa kamu merasa hanya dirimu yang
menjadi korban? Eiji pasti lebih menderita.'
'Sebenarnya,
setelah berselingkuh, kamu
juga membantu rencana untuk menjebak Eiji dan mengisolasinya. Mana mungkin kamu akan dimaafkan
setelah melakukan hal seperti itu.'
Diriku di
dalam hati melontarkan caci makian dan hinaan kepadaku.
Hatiku yang lemah sudah berada di batasnya. Aku ingin melarikan diri. Terbawa
arus.
Saat ini,
aku hanya ingin kata-kata yang lembut. Jadi, dengan tangan yang bergetar, aku
meminta bantuan.
Kepada
Kondo-senpai.
“Senpai,
aku ingin bertemu denganmu.”
Dengan
penuh harapan, aku mengucapkannya dengan kuat meskipun itu adalah monolog untuk
diriku yang terbawa arus.
“Aku sudah
tidak punya pilihan lain. Cuma ini satu-satunya pilihan yang
tersisa untukku yang hina ini!!”
Aku hanya
bisa bergantung pada kebaikannya.
Aku akan
menjadi wanita paling bejat dan hina. Tidak
ada pilihan lain. Dalam keadaan putus asa, aku tidak memiliki cara untuk
menghentikan keinginanku.
Aku
mengambil foto yang diambil saat upacara masuk sekolah bersama Eiji dari meja,
memeluknya sambil menangis tanpa suara. Seharusnya aku merobeknya dan
membuangnya. Meskipun begitu, aku tidak bisa menggerakkan tanganku.
