Chapter 5 — Orang Dewasa Yang Dapat Diandalkan
── 5 September ──
Pagi yang ditakdirkan telah tiba.
Aku sudah
mmeberitahu Satoshi kalau aku
akan bersekolah hari ini. Namun, sejujurnya, aku
masih dipenuhi rasa takut.
Aku tidak
ingin menjadi sasaran kebencian yang sama seperti kemarin. Apakah ini juga akan
menjadi seperti sasaran pembullyan
di internet? Rasanya seolah-olah orang-orang yang tidak terlibat juga
mengarahkan niat buruk kepadaku.
Aku
memaksakan diri untuk menghabiskan roti panggang sarapanku dengan meminum sup
konsome. Stres mengakibatkan perutku menjadi sakit
dan aku juga merasa mual. Kondisi terburuk.
“Aku pergi
berangkat dulu.”
Aku
memberitahu ibuku dan kakakku yang sedang menyiapkan sesuatu, lalu keluar.
Cahaya matahari bersinar terang, membuat tubuhku semakin berat.
Seorang
gadis berseragam menunggu di depan rumah. Apa jangan-jangan, itu
Miyuki? Usai berpikir begitu,
keringat dingin mengalir di punggungku karena rasa penolakan.
Namun,
saat dia berbalik, dia tampak anggun bak bidadari. Ada seorang teman yang tak tergantikan di sana yang
bukan Miyuki.
“Ah,
Senpai. Selamat pagi.”
Rupanya itu
Ichijou Ai. Setelah menyaksikan
momen yang tidak biasa ini, aku
mundur ke dalam rumah.
“Eh!!
Kenapa kamu menutup pintunya? Padahal aku
sudah susah payah bangun
pagi karena berpikir kita bisa pergi ke sekolah bersama hari ini.”
Kekhawatiran
dari kouhai yang sedikit panik semakin
menekankan perasaan tidak biasa itu.
“Owalah,
suara Ai-chan! Jadi dia datang menjemput. Cepat pergi sana, Eiji. Tidak sopan membiarkan
gadis menunggu.”
Sambil
berkata demikian, ibuku juga dengan semangat datang untuk menyapa Ichijou-san.
“Selamat
pagi, Ai-chan. Terima kasih sudah datang
jauh-jauh kemari, ya. Terima
kasih banyak untuk anak bodoh ini. Oh iya, ngomong-ngomong, Ai-chan, apa kamu suka katsu tiram? Kami
mulai menjual katsu tiram hari ini, jadi datanglah malam ini untuk
mencobanya. Katsu tiram dengan saus tartar melimpah adalah menu musiman yang
sangat populer. Untukmu, selalu gratis
kapan saja!”
Obrolan
ibu seketika langsung jadi
meriah.
“Ahh, Ibu Senpai!! Selamat pagi. Aku
sangat suka katsu tiram. Tapi, aku merasa tidak enak jika sering diundang,
jadi kali ini aku akan membayar dengan baik.”
“Waduh, waduh, kamu memang sangat bertanggung
jawab. Kamu tidak perlu khawatir. Kami juga
bisa menyediakan makanan untuk dibawa pulang, jadi katakan saja ya.”
“Ya,
terima kasih!! Aku menantikan katsu tiramnya.”
Ibu dan Ichijou-san masih saja terlihat akur. Pembicaraan mereka tidak berhenti, dan aku bisa
merasakan bahwa mereka berdua tidak berusaha memaksakan
diri mereka.
“Ayo, cepat
berangkat sana” kata ibuku,
dan aku terpaksa keluar.
“Baiklah,
kalian berdua, hati-hati di
jalan.”
※※※※
Kami berdua berjalan di jalan menuju sekolah.
Perlahan-lahan, keberadaan
siswa lain mulai bermunculan.
Sejujurnya, ketakutanku jadi berkurang drastis berkat
Ichijou-san yang menemaniku berangkat
sekolah. Kami memiliki kecocokan yang membuat kami bisa berbicara dengan
santai, sehingga meskipun dalam keadaan seperti ini, kami bisa tertawa saat
berangkat ke sekolah. Dia tampaknya benar-benar suka katsu tiram.
“Tapi,
apa kamu yakin baik-baik
saja? Jika kamu berangkat sekolah bersamaku, Ichijou-san juga mungkin akan dibully...”
Kekhawatiran
seperti itu langsung dia anggap remeh.
“Mana
mungkin ada yang melakukan itu. Meskipun aku mengatakan ini
sendiri, aku cukup populer, lho. Baik di kalangan pria maupun wanita.”
Sebenarnya,
aku belum pernah mendengar rumor buruk tentang dirinya. Memang, dia dengan
tegas menolak pengakuan cinta, tetapi sepertinya tidak ada dendam yang tersisa.
Meskipun dia menolak pengakuan dengan tegas, dia tetap memberikan dukungan yang
tulus, sehingga seolah-olah ada anggapan bahwa membenci dirinya merupakan sesuatu yang tidak pantas. Dia
menarik perhatian dari pria dan wanita, dan dikenal sebagai sosok yang baik
hati serta perhatian.
“Yah, kurasa
itu benar.”
“Senpai,
sebaiknya kamu memanfaatkan kesempatan yang ada. Jika berjalan bersamaku, kamu
akan merasa jauh lebih aman. Setidaknya, kemungkinan untuk dimaki-maki secara langsung akan
jauh lebih berkurang.”
Itu memang benar. Aku telah berpapasan
dengan beberapa siswa, dan siswa yang menyaksikan itu lebih terkejut daripada
melontarkan kata-kata kasar kepadaku.
“Kenapa,
Ichijou-san yang benci pria, bisa
berjalan bersama pria?!”
"Hei,
bukannya ia si pria yang terkenal 'Aono'.
Jangan-jangan, dia dipaksa...”
“Tidak,
itu tidak mungkin. Lihatlah, Ichijou-san
terlihat sangat senang.”
“Benar.
Ini adalah pertama kalinya aku melihatnya begitu bahagia.”
Reaksi
seperti ini terus berlanjut.
“Jika
semuanya berjalan baik, mungkin pencemaran nama baik itu akan tergantikan oleh
rumor hari ini. Ketertarikan pihak ketiga biasanya tidak bertanggung jawab.
Lagipula, rumor tentang hubungan percintaan
jauh lebih disukai oleh perempuan.”
Dia
tersenyum bahagia.
“Tapi,
aku tidak ingin reputasi Ichijo-san ternodai
karena diriku.”
“Senpai,
kamu sangat baik. Namun, itu terlalu berlebihan. Reputasiku tidak akan turun
hanya karena berjalan ke sekolah dengan sahabat. Orang-orang yang mengarahkan
niat buruk tanpa mengenal karakternya, aku tidak
terlalu menghiraukannya.”
Padahal,
kami baru mengenal satu hari.
“Hebat
sekali...”
Aku
merasa beruntung memiliki sahabat yang luar biasa, dan beberapa kali hampir
menangis bahagia.
“Rasanya masih
terlalu cepat untuk menangis. Setelah semuanya selesai, mari kita menangis
bersama-sama.”
Berkat
Satoshi, aku memutuskan untuk pergi ke sekolah.
Berkat
Ichijou-san, aku bisa bertekad untuk berjuang
bersama.
Aku
hampir kehilangan kepercayaan pada manusia, tetapi sepertinya aku masih bisa
mempercayai orang. Kami melangkah maju selangkah
demi selangkah.
※※※※
Kami
memang menarik perhatian banyak siswa. Dengan sekolah yang semakin dekat, pasangan
yang tidak biasa ini menjadi pusat perhatian.
Di satu
sisi, ada Ichijou Ai,
seorang gadis cantik dan cerdas yang terkenal di sekolah.
Di sisi
lain, ada Aono Eiji, pria terburuk yang melakukan kekerasan terhadap teman masa
kecilnya.
Meskipun
orang-orang di sekitarku
memandangku dengan sinis, mereka tertegun oleh keberadaan Ichijou-san di sampingku dan tidak bisa
berkata apa-apa. Jika mereka membicarakan keburukan tentang seseorang, bahkan idol sekolah pun bisa
mendengarnya. Jika itu yang terjadi,
mungkin mereka akan kehilangan tempat di sekolah.
Dan yang
terpenting, Ichijou-san di
sampingku terlihat bersenang-senang. Dia
berangkat sekolah bersamaku atas kemauannya sendiri.
Senyumnya begitu ceria sehingga semua orang di sekitar bisa merasakannya. Senyumnya
cukup untuk menarik perhatian siapa pun. Tidak ada yang bisa mengganggu
kebahagiaan yang terpancar darinya.
“Ah,
kita sudah hampir sampai di sekolah. Senpai, kamu akan
pulang bersamaku hari ini, ‘kan?”
Itu
adalah bentuk perhatian darinya. Dia berperan sebagai pelindung agar aku tidak
mengalami gangguan. Dia terutama menekankan kata “hari ini” untuk memberi tahu orang-orang
di sekitar bahwa kami juga pulang bersama kemarin.
“Kamu
yakin?”
“Apa
yang kamu bicarakan? Aku sendiri yang
memintanya.”
Dia bahkan sengaja meninggikan suaranya agar
banyak orang bisa mendengar. Jika dia sudah melakukan ini, tidak ada pria yang
bisa menolak. Malahan, ada banyak siswa yang terputus dari
hubungan karena ingin memiliki hubungan seperti ini.
“Baiklah,
aku minta tolong.”
“Fufufu
jadi belikan aku katsu tiram, ya! Hanya bercanda!"
Kami
berpisah di depan area loker sepatu. Kami berjanji untuk
bertemu lagi di sini sepulang
sekolah nanti.
※※※※
Dari
sini, ini akan menjadi pertarungan sendirian. Aku menguatkan tekad dan menuju loker sepatu. Mungkin sepatu dalam ruanganku sudah hilang lagi. Mungkin ada
paku atau sampah yang dimasukkan ke dalamnya. Aku membayangkan situasi
terburuk.
Namun,
kotak sepatuku tetap dalam keadaan bersih seperti kemarin. Tidak ada
tanda-tanda dirusak. Saat melihat sekeliling, aku melihat guru kepala tahun ajaran, Iwai-sensei, berkeliaran dengan
tidak wajar di dekat pintu masuk.
“Jadi begitu
ya.”
Rupanya
beliau mengawasi untuk mencegah terjadinya gangguan pada
barang-barang milikku sejak pagi-pagi sekali. Tentu saja, tidak ada orang yang
berani berbuat jahat di depan mata guru kepala
tahun ajaran.
“Oh,
Aono. Selamat pagi. Kamu sudah mendengar dari Imai, ‘kan?”
“Ya.
Saya sudah mendengarnya.”
Guru
kepala itu tersenyum ceria, “Begitu,
begitu”.
“Kalau
begitu, tolong temui Takayanagi-sensei di ruang
guru dulu. Ia sudah
khawatir sejak kemarin.”
Aku
sempat berpikir mungkin dia akan menegurku karena membolos dari sekolah kemarin, tetapi tidak ada tanda-tanda
seperti itu.
“Ya.”
Meskipun
percakapan kami hampir tidak ada, guru tersebut
kelihatan puas dan tersenyum.
※※※※
Aku
menuju ruang guru di lantai satu. Sejujurnya, aku tidak ingin masuk ke dalam ruang guru dalam situasi seperti
ini. Pasti akan mengundang banyak
perhatian, dan mungkin ada guru yang meragukanku, sehingga aku bisa saja
dipandang dengan sinis.
“Selamat
pagi, Aono.”
Ketika
aku mengkhawatirkan hal itu, wali kelasku, Takayanagi-sensei, menunggu di
koridor depan ruang guru.
“Selamat
pagi. Kenapa Sensei ada di luar?”
“Ah,
ya. Karena situasinya sudah
seperti ini. Kupikir
sendirian di dalam ruang guru akan membuatmu merasa tidak nyaman, jadi aku
menunggu di sini.”
Cara
bicaranya yang pelan seperti biasa, tetapi aku bisa merasakan bahwa ia sangat
memperhatikanku, dan aku merasa bersyukur.
“Terima
kasih banyak.”
“Itu
hanya perhatian minimal. Kamu tidak
perlu berterima kasih. Yang terpenting,
aku ingin mendengar ceritamu. Rasanya
kurang etis kalau membicarakannya di koridor atau ruang guru.
Mari kita gunakan ruang rapat di sana.”
Eh,
bukankah seharusnya menggunakan ruang bimbingan siswa dalam situasi seperti
ini? Pertanyaan sederhana itu muncul di benakku,
tetapi sepertinya Sensei
bisa menebaknya.
“Apa kamu lebih suka menggunakan ruang
bimbingan siswa? Di sana, suasananya memang membuat guru terlihat lebih
dominan. Kali ini, aku ingin berbicara setara dengan
Aono, jadi aku tidak berniat menggunakannya...”
Aku
langsung menggelengkan kepala. Aku tidak ingin berbicara di tempat yang begitu
menekan.
“Begitu,
kan?”
Setelah
beliau mengatakan begitu, kami memasuki
ruang rapat.
“Aono,
duduklah di sampingku. Rasanya lebih
mudah untuk berbicara dibandingkan duduk berhadapan, kan?”
Sensei
tersenyum sambil mencoba mengurangi keteganganku.
“Sebelum
aku mendengarkan ceritamu, ada hal yang harus kukatakan
terlebih dahulu.”
Ekspresi
Sensei tiba-tiba berubah menjadi serius dan mengubah nada suaranya. Keteganganku
semakin meningkat.
“Aono,
aku benar-benar minta maaf. Aku tidak bisa menyadari perubahan pada dirimu
kemarin, dan membuatmu merasakan penderitaan. Seandainya aku bisa menciptakan
lingkungan untuk berkonsultasi sebelum liburan musim panas, mungkin aku bisa
meredakan penderitaanmu. Kasus ini juga merupakan tanggung jawabku. Aku sangat
minta maaf.”
Takayanagi-sensei
menundukkan kepalanya
dalam-dalam.
Dirinya tetap dalam posisi itu selama
lebih dari satu menit. Sejujurnya, aku merasa sangat bersalah.
“Sensei,
angkatlah kepalamu. Aku juga tidak berkonsultasi. Malahan, hanya dengan menyadari masalah
ini dengan cepat saja sudah luar biasa...”
Ketika
aku terbata-bata mengucapkan itu, akhirnya Sensei
mengangkat kepalanya dan berkata “terima
kasih” sambil menatapku dengan mata
yang tulus.
“Aono.
Aku sudah mengetahui bahwa kamu mengalami hal yang sulit. Kemarin, aku juga
mendengar beberapa potongan cerita dari Imai. Jadi, tidak apa-apa jika kamu
ingin mengatur perasaanmu terlebih dahulu. Sedikit demi sedikit juga tidak
masalah. Maukah kamu menceritakannya
padaku?”
Bila
dipikirkan secara logika, aku tidak ingin menceritakan
kisah patah hatiku kepada
guru. Selain itu, aku dihina oleh mantan pacarku yang kupercayai, menjulukiku sebagai “pria penguntit dan kasar” dan memintaku untuk putus. Aku
tidak ingin menceritakannya
kepada siapa pun.
Akibatnya,
aku bukan saja dijauhi oleh teman-teman sekelasku dan anggota klub, tetapi
mereka bahkan membullyku.
Bahkan ketika aku mengingatnya, rasanya terlalu memalukan. Namun, mungkin aku
bisa bercerita kepada guru.
Jika aku
memiliki sedikit keberanian lagi... Yang lebih menakutkan adalah, jika aku
berkonsultasi dengan guru, aku mungkin harus mengambil tindakan tertentu.
Mereka yang menggangguku mungkin akan membalas dendam dengan mengatakan “aku telah melaporkan kepada
guru” dan pembullyan itu bisa semakin parah.
Mungkin Sensei menyadari betapa sulitnya keadaanku.
“Maafkan
aku, Aono. Mungkin aku
terlalu terburu-buru, ya? Kamu tidak perlu memaksakan diri. Kamu tidak perlu berbicara hari ini juga. Kamu juga perlu mengatur
perasaanmu, ‘kan?”
“…Maafkan aku.”
“Itu
bukan hal yang perlu dimaafkan. Apa kamu haus? Sebenarnya ini tidak boleh, tapi
hari ini adalah pengecualian. Aku akan mentraktirmu minuman kaleng. Apa ada yang ingin kamu minum?”
Sensei
berbicara lembut padaku seolah ingin menghiburku.
“Kalau
begitu, cola.”
“Baiklah.
Tunggu sebentar.”
“Tapi,
Sensei. Apa tidak apa-apa untuk jam pelajaran pertama? Waktunya sudah
dekat, ‘kan?”
“Ya.
Di situ, aku bisa mengatur dengan baik sebagai orang dewasa. Jam pelajaran sejarah dunia pertama,
wakil kepala sekolah yang menggantikanku. Wakil kepala sekolah itu sebenarnya
adalah guru sejarah, jadi prioritas utama sekolah saat ini adalah mendampingi
Aono yang paling menderita.”
Sepertinya,
para guru juga memperhatikanku dengan berbagai cara. Hal yang sama berlaku dengan apa yang dilakukan
Iwai-sensei. Aku merasa sangat berterima kasih, tetapi merasa tidak berdaya
karena tidak bisa berbicara dengan baik.
“Terima
kasih.”
Tanpa
sadar, kata-kata itu meluncur keluar dari
mulutku.
“Hei,
hei, aku belum membeli cola untukmu, lho.
Kamu bisa mengucapkan terima
kasih nanti saja.”
Sedikit candaan yang biasa ia lontarkan
membuatku senang.
※※※※
“Ini,
minumlah.”
Takayanagi-sensei
kembali dengan cola dingin yang baru dibeli dari mesin penjual otomatis. Dirinya memegang dua kaleng merah di
kedua tangannya.
“Terima
kasih.”
“Karena
cuacanya terlalu panas, aku juga akan
melanggar pembatasan konsumsi
gulaku dan meminumnya.”
Sensei
mengatakan itu dengan tersenyum sambil membuka kaleng cola, ia berperilaku lebih mirip seperti kakak sepupu daripada
seorang guru.
“Kenapa
kamu percaya padaku, Sensei?
Orang lain bahkan tidak mau mendengarkan penjelasanku.”
“Begini.
Ada dua alasan.”
“Dua?”
“Ya.
Alasan pertama, sebagian besar siswa saat ini terombang-ambing oleh rumor yang
tidak bertanggung jawab, dan tampaknya mengalami kepanikan massal. Kami sedikit
lebih dewasa daripada kalian, jadi kami bisa melihat kepanikan itu dengan
sedikit objektivitas. Kalian sering melihat perang
komentar di internet, ‘kan?
Bagi kebanyakan orang di internet, siapa pun yang
terlibat dalam kritikan
itu akan selalu dianggap jahat, tidak peduli apa pun latar belakangnya. Oleh
karena itu, mereka merasa seolah-olah berada di pihak yang benar dan
melontarkan kata-kata kasar.”
“Iya.”
Itulah
posisiku.
“Tetapi,
sering kali kita tidak tahu dari mana asal muasal
permasalahan itu. Ketika saat-saat seperti itu, jika kita ikut
serta dalam rumor dan dengan mudah melukai orang lain, kita juga bisa
kehilangan segalanya. Bahkan kita bisa kehilangan kesadaran akan hal itu.
Mereka yang terlibat dalam pembullyanmu
adalah contoh nyata dari hal ini.”
“…Tapi,
bagaimana jika aku memang seperti yang dirumorkan?”
“Kemungkinan
tersebut memang tidak nol. Dan ini terkait dengan alasan kedua.
Meskipun kamu terlibat dalam masalah, aku tidak melihatmu sebagai orang yang
akan melakukan kekerasan terhadap orang lain. Ketika sesuatu yang buruk terjadi
padamu, terlihat bahwa kamu bukan tipe
yang menyalahkan orang lain, melainkan menyalahkan diri sendiri. Setidaknya,
kamu tidak terlihat seperti siswa yang pantas mendapatkan pembullyan semacam itu. Dalam istilah yang
lebih kasar, itu disebut insting seorang guru.”
Sensei
meneguk minuman cola seolah-olah mengalihkan perhatian. Aku tahu
bahwa Takayanagi-sensei adalah orang yang sangat cerdas. Jadi, kupikir istilah ‘insting guru’ hanyalah
ungkapan yang sedikit dipoles.
Mungkin
ia sengaja menggunakan ungkapan itu untukku. Jika dia adalah guru biasa, dirinya pasti akan mengatakan “aku percaya padamu”. Namun,
jika ia mengatakannya kepadaku yang berada dalam posisi lemah sekarang, hal itu akan memberikan tekanan. Karena ada nuansa “jadi, cepat beri tahu aku” di dalamnya. Kali ini, dia
menyampaikan kepercayaannya padaku dengan sedikit lebih halus.
Jika Sensei bersedia melakukan itu demi diriku, lalu aku juga...
Keputusan
sudah bulat.
Aku
menatap langsung ke mata Sensei.
Mungkin tekadku tersampaikan kepadanya,
karena Sensei mengangguk lembut.
“Takayanagi-sensei.
Ada sesuatu yang ingin kusampaikan.”
──Sudut
Pandang Takayanagi──
Aono
menguatkan tekadnya dan mulai menceritakannya padaku.
“Sensei,
kamu tahu bahwa aku berpacaran
dengan Miyuki... Amada Miyuki, ‘kan?”
“Ah, iya.”
Seperti dugaanku,
semuanya dimulai dari hubungan
percintaan. Masalah di kalangan remaja sering kali berkaitan dengan cinta.
“Jadi,
aku sudah berjanji untuk pergi bermain bersama
Miyuki pada hari ulang
tahunku, tanggal 30 Agustus. Namun, tiba-tiba dia
menghubungiku dan mengatakan bahwa dia tidak bisa pergi. Ketika aku sedang
berjalan-jalan di kota, aku melihatnya. Dia sedang berjalan bergandeng tangan dengan
Kondo-senpai dari kelas tiga di kawasan
hiburan...”
Mendengar
cerita seperti itu membuatku merasa tidak nyaman.
Apa Amada
berselingkuh? Kondo dari tim sepak bola. Anak itu juga populer di kalangan gadis-gadis sebagai bintang sepak bola. Kalau tidak salah, orang
tuanya adalah anggota dewan kota. Aku pernah mendengar bahwa ia ditawari untuk
bergabung dengan universitas sepak bola yang kuat. Nilai akademiknya juga tidak
buruk. Namun, dirinya jauh
dari kata murid
teladan.
Sejujurnya,
Kondo memiliki reputasi buruk di
kalangan guru. Meskipun terlihat seperti pemuda ceria
dari tim sepak bola, ia cenderung banyak terlibat
dalam masalah percintaan.
Yang
menyulitkan adalah ia cukup licik dalam bertindak.
Selingkuh
jelas-jelas merupakan hal yang buruk.
Tindakan yang secara moral tidak dapat diterima. Namun, jika itu antara pria
dan wanita yang tidak terikat dalam pernikahan, secara hukum tidak ada yang
bisa menganggapnya salah.
Jika
salah satu pasangan dalam pernikahan berselingkuh, mereka bisa dituntut untuk
membayar ganti rugi, tetapi jika dalam hubungan pacaran biasa, tidak ada ganti
rugi yang bisa dituntut jika salah satu dari mereka berselingkuh.
Tentu
saja, itu adalah tindakan yang tidak dapat diterima secara manusiawi. Itulah
premis dasar.
Akan tetapi,
jika itu hanya perselingkuhan dan tidak ada tindakan ilegal lain yang jelas seperti kekerasan,
narkoba, atau pencurian, maka sekolah pun akan menghadapi kesulitan untuk
mengambil tindakan terhadap siswa.
Aku
pernah mendengar bahwa ketika wali kelas Kondo tahun lalu secara halus
memperingatkan tentang hubungan percintaan, dia justru diancam, “Apa guru memiliki hak untuk
mencampuri hubungan percintaan siswa?”
Dalam hubungan percintaan yang tidak bisa diintervensi oleh sekolah, ada banyak siswa yang kehidupannya terganggu.
Apa hal itu akhirnya berkembang menjadi
masalah?
“Aku
mendekati mereka berdua untuk menanyai
mereka, dan aku menarik lengan Miyuki. Aku merasa kalau aku menariknya tidak terlalu
kuat, tetapi dia merasa sakit... Lalu, Kondo yang berdiri di sampingnya
mendadak...”
Aono tampak kesulitan dalam memilih
kata-katanya.
Bagi
seorang remaja laki-laki, menceritakan kisah patah hati kepada guru merupakan perkata yang
sangat sulit.
Ketika
aku berusaha untuk mengatakan bahwa dirinya tidak
perlu memaksakan diri untuk bercerita, Aono menatap mataku dengan tegas dan
menjawab, “Tidak
apa-apa.”
“Ia
memukul wajahku... sambil mengatakan ‘Dasar
pria kejam. Penguntit sialan’...”
“Ap—...?”
Aku dibuat terdiam saat mendengar perkataan Aono
selanjutnya. Apa yang dikatakan Kondo tadi?
Sebenarnya,
ini bukan lagi masalah perselingkuhan, melainkan kasus kekerasan.
“Setelah
itu, Kondo bertanya kepada Miyuki, siapa yang dia pilih antara aku dan dia.
Dan... dia memilih...”
Aono tampak
gemetaran ketika ia menundukkan kepalanya.
“Dia
memilih Kondo?”
Aku
segera menyesali kata-kata yang terucap. Seharusnya aku tidak mengatakannya. Apa gunanya
menambah beban pada Aono yang sudah menderita?
“Iya,
benar...”
Melihat
Aono yang mengeluarkan jeritan tak terucap, pandanganku mulai kabur. Mungkin aku terlalu naif untuk
seorang guru lajang yang telah melewati usia tiga puluh.
“Itu pasti menyakitkan, kan? Pasti rasanya berat bagimu, Aono. Terima
kasih sudah mau menceritakannya denganku.”
Melihat
kondisi Aono, aku yakin ia tidak pergi ke rumah sakit setelah dipukul. Ia bahkan berusaha menyembunyikan hal ini dari orang tuanya. Jika ada
bukti objektif seperti surat keterangan dokter, Kondo pasti bisa segera
dihukum.
Namun,
tanpa adanya itu, Kondo yang licik dan cerdik
itu mungkin akan memutarbalikkan fakta atau membenarkan tindakannya. Aku bisa
membayangkan dia dengan senyum sinis berkata, “Aku
hanya membantu karena gadis itu diserang oleh penguntit,” atau “Aku hanya menariknya sedikit, dan
dia menganggapnya sebagai pukulan”.
Jika itu benar, maka aku harus mengumpulkan informasi sebanyak mungkin dan
menemukan titik lemah dalam pernyataan Kondo untuk menjatuhkannya.
“Mulai
sekarang, ini adalah pekerjaan orang dewasa.”
Prioritas
utama sekarang adalah memastikan bahwa kehidupan sekolah Aono di masa mendatang tidak
akan terlalu terpengaruh. Jika ia terus-menerus menghadapi niat jahat dan
permusuhan hanya dengan berada di kelas, memaksanya untuk mengikuti pelajaran
hanya akan meninggalkan luka batin seumur hidup. Tidak
ada gunanya jika lukanya
semakin dalam.
Kepala
sekolah berkata, “Jika
korban pembullyan memilih untuk keluar dari
sekolah atau tidak bersekolah, itu tidak akan menyelesaikan masalah. Kita juga
tidak boleh memberikan kerugian yang membuatnya tidak bisa berpartisipasi dalam
pelajaran”. Ia meminta guru-guru untuk menyesuaikan
agar Aono tidak dirugikan meskipun dia absen dari pelajaran karena remedial
atau pengumpulan tugas. Namun, semakin lama masalah ini berlarut-larut, semakin
jelas Aono akan berada dalam posisi yang sulit.
“Maafkan aku, Sensei. Aku sudah merepotkan
banyak orang karena diriku.”
Sungguh, ia justru memikirkan orang lain daripada
dirinya sendiri dalam keadaan yang paling sulit.
“Tidak
ada yang merepotkan sama sekali.
Dengarkan ini baik-baik, Aono?
Mungkin kamu menganggap ini hanya masalahmu, tapi ini juga masalahku sebagai
guru dan masalah seluruh sekolah. Jadi, tindakan yang dilakukan aku dan guru lain untuk
menyelesaikan masalah ini bukanlah suatu beban. Dan kamu terlalu bertanggung
jawab dan terlalu baik.”
“......”
Ia
tampak kebingungan.
“Itu
adalah suatu kebajikan, tetapi justru karena kamu bisa bersikap baik kepada
orang lain, orang-orang di sekitarmu juga ingin bergantung padamu.”
“Apa
itu baik-baik saja?”
“Iya.
Dalam artian tertentu, mencintai
seseorang adalah perasaan yang paling murni. Jika perasaan itu diinjak-injak,
bahkan orang dewasa pun bisa hancur hatinya. Apalagi kalian yang sedang dalam
masa remaja. Jadi, saat-saat sulit seperti ini, percayalah kepada seseorang.
Aku bisa membantu, atau Mitsui-sensei,
atau guru lainnya juga khawatir. Teman seperti Imai, orang tua, saudara juga
bisa. Di saat-saat sulit, prioritaskan dirimu sendiri. Aku mohon.”
Setelah
mengucapkan kata-kata yang membuatku
merasa canggung sendiri,
aku bertekad untuk mencurahkan semua tenaga untuk menyelesaikan masalah ini.
※※※※
(Sudut
Pandang Aono Eiji)
Aku
berada di ruang UKS. Mulai
besok, para guru akan mengadakan remedial, tetapi sepertinya hari ini mereka
tidak sempat mengatur semuanya. Sejujurnya, aku tidak menyangka pihak sekolah akan begitu memperhatikanku,
jadi aku merasa seperti sedang bermimpi. Tinggal di ruang UKS sepanjang hari terasa sulit. Aku
merasa bosan, dan meskipun tubuhku sehat, meminjam tempat tidur ini membuatku
merasa tidak enakan.
“Aono-kun,
kamu pasti mengalami banyak kesulitan. Apa keadaanmu baik-baik saja?”
Mitsui-sensei datang untuk memeriksaku.
“Iya,
terima kasih.”
“Syukurlah.
Tapi meskipun tubuhmu baik-baik saja, kamu telah mengalami hal yang sulit, jadi
jangan memaksakan diri. Hatimu pasti merasa lelah.”
Sejak tadi,
aku terus-menerus mendapatkan kata-kata lembut.
“Aku
merasa sangat dilindungi oleh para guru, jadi aku merasa tenang.”
“Begitu?
Tapi Takayanagi-semsei lah
yang paling berusaha untukmu, jadi setidaknya ingatlah
itu.”
“Ya.”
“Tentu
saja, menghabiskan tujuh jam di ruang kesehatan pasti membosankan, ‘kan? Bagaimana kalau aku
pinjamkan buku dari perpustakaan untuk menghiburmu? Aku sudah mendapatkan izin
khusus.”
Sejujurnya, jika aku tidak melakukan apa-apa, aku
merasa tertekan oleh suasana negatif. Aku ingin melakukan sesuatu.
“Apa
itu tidak masalah?”
“Iya,
tetapi jangan terlalu mencolok. Jika terlalu mencolok, kamu akan dimarahi.”
Aku
tidak bisa menahan tawa melihat perbedaan antara Mitsui-sensei yang tampak baik dan niat nakalnya.
“Tentu
saja.”
“Baiklah,
di sini cuma ada kita
berdua saja, Aono-kun. Ini adalah rahasia
kita berdua.”
Aku
merasakan bahwa ruang UKS ini
menjadi lingkungan yang lebih nyaman.
※※※※
Mitsui-sensei meminjamkan beberapa novel.
Terutama karya-karya populer yang baru-baru ini menjadi buku terlaris. Ada buku sastra yang
masuk peringkat atas dalam kontes pegawai toko buku tahun lalu, manga medis
karya maestro yang dijuluki dewa manga, serta buku wawancara yang ditulis
berdasarkan pembicaraan dengan para ahli di berbagai bidang.
Sepertinya
dia memilih buku-buku dengan konten yang tidak terlalu berat, mengingat diriku yang seharusnya merasa
terpuruk. Sebagian besar isinya lebih ke drama manusia.
Karena
aku relatif cepat dalam membaca, hanya dalam waktu jam istirahat pagi aku sudah
menyelesaikan sastra tersebut. Bagi seorang pelajar SMA, membeli buku bersampul
lebih dari seribu yen merupakan perkata
yang sulit, jadi aku sangat berterima kasih bisa membaca buku yang ingin aku
baca dalam bentuk seperti ini.
“Eh,
kamu sudah membacanya? Cepat sekali. Bagaimana
kalau kita istirahat dulu? Mau aku buatkan teh?”
Ketika Sensei kembali dari ruang guru setelah mengambil dokumen, dia
melihat keadaanku dan tersenyum.
“Apa itu diperbolehkan?”
“Itu
khusus. Bagaimana kalau teh hijau? Aku tidak bisa minum kopi, jadi tidak ada di
sini.”
“Terima
kasih.”
Aku
mengetahui sisi tak terduga dari Mitsui-sensei
yang tampak sangat bisa diandalkan. Aromanya
harum. Ketika melihat kotak kantong teh,
sepertinya itu teh hijau yang cukup mahal. Setelah merasa cukup rileks, aku
tanpa sadar membuka mulutku.
“Sensei, kenapa
Sensei ingin menjadi pengajar?”
Mendengar
pertanyaanku, dia tertawa, “Fufufu”.
“Sejujurnya, mendapatkan lisensi mengajar
itu seperti asuransi. Aku ingin memiliki kualifikasi saat di universitas.
Karena tidak ada yang benar-benar ingin kulakukan, aku masuk ke fakultas
pendidikan di universitas lokal dan mendapatkan kualifikasi.”
Kupikir
dia sangat jujur. Melihat ekspresiku, dia tertawa.
“Sebenarnya,
mungkin aku tidak seharusnya memberitahu muridku. Tapi, karena ini cuma kita berdua, aku akan menjawab
dengan jujur.”
“Jadi,
setelah lulus universitas langsung jadi guru?”
“Tidak,
sebenarnya aku bekerja di perusahaan umum dulu, lalu pindah pekerjaan lima
tahun yang lalu.”
“Eh,
itu mengejutkan. Kupikir
Mitsui-sensei sudah jadi guru terus-menerus.”
“Yah,
aku memang berpikir untuk menjadi dosen
di universitas, tetapi aku menyerah sekali.”
Dia
menunjukkan ekspresi sedikit sedih. Aku merasa mungkin tidak seharusnya
menanyakan lebih jauh, jadi aku berhenti sejenak.
“Tak
apa-apa. Bukan berarti aku tidak bisa mengatakannya. Dalam arti tertentu, aku
melarikan diri. Praktik mengajar itu menyenangkan, dan orang-orang di sekitarku
bilang aku cocok jadi guru, tapi aku merasa
takut.”
“Takut?”
Mitsui-sensei sangat populer di kalangan
siswa. Aku mendengar bahwa dia selalu menerima banyak konsultasi dari
siswa.
“Ya.
Aku merasa takut. Menjadi guru itu memiliki tanggung jawab besar, bisa mengubah
masa depan anak-anak dengan satu kata saja. Begitu aku menyadarinya, aku jadi
takut.”
“Jadi,
apa kamu masih takut sekarang?”
Itu
adalah pertanyaan yang cukup tidak sopan. Namun, aku ingin bertanya padanya.
“Ya.
Aku masih merasa takut. Apalagi sekarang Aono-kun sedang dalam
masa yang sangat penting, jadi lebih terasa. Tapi, aku ingin sedikit
menceritakan tentang diriku. Apa kamu mau
mendengarkannya?”
“Ya.”
Dia
menatap mataku dan mulai bercerita.
“Sebenarnya,
di pekerjaan sebelumnya, aku mengalami masalah dalam hubungan antar manusia.
Hatiku hancur. Aku bekerja di perusahaan yang berorientasi pada olahraga, dan
bisa dibilang, itu adalah perusahaan dengan budaya yang agak kuno...”
Aku
mengangguk. Tempat-tempat seperti itu sering digambarkan dalam dunia novel.
Perusahaan dengan budaya lama sering kali memiliki masalah seperti pelecehan,
dan itu sangat sulit. Mungkin situasinya
mirip dengan yang aku alami sekarang.
“Dengan
budaya lama itu, baik mental maupun fisikku sudah mencapai batasnya. Tapi, aku hanya bisa berusaha.
Semakin keras aku berusaha, semakin mentalku terkikis dan semakin dekat dengan
batas. Namun, aku tidak bisa konsultasi dengan siapa pun. Aku merasa
tertekan, sendirian.”
Seharusnya
aku juga akan mengalami hal yang sama. Jika Ichijou-san,
Satoshi, dan Takayanagi-sensei
tidak menyadari, mungkin aku masih terpaksa mengikuti pelajaran dan menahan pembullyan...
“Pada
akhirnya, aku jatuh pingsan karena
kelelahan, dibawa ke rumah sakit, dan saat aku terbangun, ibuku menangis di sampingku.
'Maafkan aku, maafkan aku. Aku tidak bisa menyadari apa yang terjadi
padamu,' katanya. Pada waktu
itu, aku tinggal sendirian, jadi sulit bagi ibuku untuk menyadari keanehanku
hanya dengan berbicara di telepon sesekali.”
Meskipun seharusnya itu cerita dari Mitsui-sensei, entah bagaimana rasanya
sangat mirip dengan diriku.
“Ketika
aku bilang 'maaf' kepada ibuku, dia marah dan berkata, 'Kenapa kamu
tidak memberi tahu? Kamu akan menyesalinya
seumur hidup.' Ketika anak-anak mengalami kesulitan, tidak
memberi tahu orang tua juga menyakitkan. Dia bilang berkali-kali, 'Jika itu
akan membuatmu menyesal seumur hidup, lebih baik kamu merepotkan kami.' Dan
itulah yang membawaku hingga sekarang.”
Tanpa
sadar, aku menempelkan mataku pada selimut. Melihatku yang menyedihkan, Sensei dengan lembut berkata seperti
seorang Bunda Maria, “Tidak
apa-apa. Kami ada di sini untukmu”.
── Sudut
Pandang Ichjou
Ai ──
Setelah
berpisah dengan Senpai, aku menuju ke dalam ruang kelas.
Kemarin, diam-diam aku meninggalkan kelas dan membolos
sekolah, sehingga tatapan teman sekelas menjadi bingung. Sebagai langkah
berjaga-jaga, aku sudah memberi tahu wali kelasku
bahwa aku tidak enak badan, jadi seharusnya aku dianggap izin pulang lebih
awal.
“Ichijou-san,
dengar-dengar katanya kamu
tidak enak badan. Apa kamu sudah baik-baik
saja sekarang?”
Ketua
kelas bertanya dengan khawatir. Penampilannya yang mirip siswa teladan dengan
kacamata dan kepang membuatku merasa tenang.
“Ya.
Kemarin aku beristirahat dengan cukup dan sekarang sudah
baikan. Sepertinya aku hanya sedikit terpengaruh cuaca panas.”
Aku
merespons dengan ramah seperti biasa.
“Begitu
ya, karena cuacanya masih panas sih. Jangan memaksakan diri ya.”
“Iya.
Terima kasih atas perhatianmu.”
Ini adalah
kedokku di dalam kelas. Bersikap baik kepada semua
orang, tetapi tetap menjaga jarak sedikit. Dengan begitu, aku tidak merasa
terasing dan tidak ada kekhawatiran membuat orang lain salah paham.
Kecantikan
di lingkungan tertutup seperti sekolah bisa menjadi pedang bermata dua. Mudah
memicu masalah dalam hubungan romantis dan mudah menimbulkan kecemburuan. Oleh
karena itu, aku berusaha semaksimal mungkin untuk tidak membuat musuh. Dan di
saat yang sama, aku juga tidak ingin terlalu terlibat.
Aku benar-benar
merasa kalau aku ini wanita yang merepotkan.
Sebenarnya, aku ingin bergantung pada seseorang, tetapi tidak bisa. Itu
sebabnya, sama seperti
kemarin, aku terlalu menekan diriku sendiri. Aku merasa kasihan pada diriku
yang menderita karena kontradiksi. Di sisi lain, aku harus berperan sebagai Ichijou Ai yang diharapkan di
sekolah. Tidak ada yang melihat siapa diriku yang sebenarnya, baik guru, teman,
maupun pelayan...
Bahkan
orang tuaku sendiri.
Oleh
karena itu, titik khusus dalam hidupku adalah Senpai yang baru saja aku temui
kemarin dan menjadi sahabat.
Aku mampu
mengungkapkan padanya bagian-bagian
diriku yang paling memalukan, diriku yang sebenarnya, bahkan diriku yang tidak
aku ketahui.
“Diriku
yang sebenarnya ternyata bisa tersenyum seperti ini. Aku bahkan tidak pernah mengetahuinya.”
Anehnya,
saat berjalan bersamanya, aku tidak merasa tertekan. Senpai pasti berpikir bahwa aku bertindak sebagai perisai untuk melindunginya dari orang-orang di sekitarnya. Karena
ia terlalu baik dan aku yang licik.
Justru,
aku rasa Senpai yang melindungi hatiku. Itulah sebabnya, aku ingin menghabiskan
waktu yang lebih lama dengan orang yang penting bagiku.
Kurasa,
beginilah cara cewek jatuh cinta. Mungkin aku memang orang yang agak
spesial.
“Hei,
Ichijou-san. Maaf ya. Boleh aku bertanya satu hal lagi?”
Ketua
kelas kembali berbicara padaku.
“Iya, ada
apa?”
“Jadi
gini, maafin aku ya. Aku
melihatnya.”
“Melihat?
Apa yang kamu lihat?”
Aku sudah
mengetahuinya, tapi tetap saja aku ingin memastikan. Aku sudah bisa
memprediksi bahwa pembicaraan ini akan terjadi. Jadi, tidak perlu merasa
terkejut.
“Umm,
pagi tadi, aku melihat kamu dan Senpai
yang sedang dibicarakan, berjalan ke sekolah bersama.”
Seperti
yang kutebak.
“Oh,
maksudmu tentang Aono-senpai?”
Aku
sengaja menyebut namanya dengan jelas supaya
semua orang bisa
mendengarnya. Seperti yang kuharapkan, setelah
mendengar nama itu, teman-teman sekelas mulai berbisik.
“Kenapa
Ichijou-san bisa dengan orang itu...?”
“Aono
tuh,
Senpai yang terlibat masalah kekerasan itu, ‘kan?”
“Tidak
mungkin. Pasti ada kesalahan.”
Ketua
kelas mengangguk sedikit dengan wajah yang tampak canggung. Dia pasti ingin
bertanya secara diam-diam agar posisiku tidak buruk. Itulah sebabnya dia terlihat sedikit
terkejut ketika perihal ini berubah menjadi masalah besar.
“Ya,
aku yang pergi ke rumah Senpai dan berangkat ke sekolah bersamanya.”
Aku
mengatakannya dengan tegas, seolah-olah ingin menyebarkan berita ini ke seluruh
kelas. Hal itu seharusnya bisa menjadi tindakan penangkal.
“Berangkat
bersama dari rumah!? Ichijou-san, apa hubunganmu sedekat itu dengan Senpai itu?”
“Ya.
Hubungan kami lumayan dekat sampai diundang
makan malam oleh ibunya Senpai.”
Teman-teman
sekelas mulai sangat terkejut karena
sebelumnya tidak pernah ada rumor tentangku dengan siswa laki-laki mana pun.
Dalam
arti tertentu, aku seolah-olah menyatakan bahwa orang tuanya pun mengizinkan hubungan ini,
mungkin karena sifat posesifku.
Aku tidak berbohong, tapi...
“Ichijou-san,
apa kamu tahu rumor tentang Aono-senpai!? Soalnya, aku tidak pernah
dengar rumor baik tentang orang itu!!”
Maehira-kun
dari tim sepak bola yang duduk dekat tiba-tiba ikut bicara. Ia adalah siswa laki-laki yang
terkesan santai, jadi mungkin dirinya
tidak bisa menahan diri untuk ikut berbicara.
“Ya,
aku tahu.”
Aku langsung mengakuinya dengan santai.
“Kalau
begitu, kenapa... orang seperti itu tidak pantas untuk Ichijou-san...”
Biasanya,
aku tidak akan memotong pembicaraan orang lain, tetapi kali ini aku sedikit
menunjukkan ketidaknyamanan dan menatapnya dengan tajam. Mengirimkan tatapan
marah.
“Hei,
Maeira-kun? Apa kamu pernah berbicara langsung dengan Aono-senpai?”
“Tidak
pernah.”
“Kalau
begitu, apa kamu pernah melihat langsung situasi yang dirumorkan?”
“...
tidak.”
Aku
menanyakan dengan menekannya. Mungkin
karena merasakan kemarahanku, para siswa
di sekitar yang sebelumnya berbicara tentang rumor dengan tidak bertanggung
jawab kini terdiam dalam suasana seperti pemakaman.
“Senpai
bukan orang yang melakukan hal seperti rumor itu. Itu karena, sebagai
sahabatnya, aku yang paling mengenalnya.
Ia adalah orang yang berjasa
bagiku. Jadi, aku harap kamu tidak mengucapkan hal yang tidak bertanggung
jawab. Aku sangat benci orang yang hanya bisa menghina tanpa mengenal orang
tersebut.”
Jika
terlalu menekannya, itu akan berakibat buruk. Karena itulah, aku berniat untuk mengubah nada
bicaraku menjadi lebih lembut. Namun, aku tidak bisa menahan diri untuk
memperkuat nada bicaraku. Aku membayangkan diriku yang dulu dan dirinya.
“Ya,
maafkan aku karena sudah mengucapkan hal
yang tidak bertanggung jawab tanpa mengenal.”
Aku
senang dia meminta maaf dengan cukup tulus. Meskipun ia terlihat santai, aku
tahu dirinya bukan orang yang jahat, jadi
aku merasa lega.
“Ah,
tidak, aku juga minta maaf telah berbicara dengan cara yang agak keras.”
Aku
menyelesaikan situasi itu dengan senyum yang sopan.
“Maaf
ya, karena aku yang menanyakan hal yang aneh-aneh,” Ketua kelas juga meminta
maaf.
“Tidak
apa-apa, bukan berarti aku menyembunyikan sesuatu yang aneh.”
Sebaliknya,
aku merasa sedikit bersalah karena telah melibatkan mereka dalam rencanaku yang
licik.
Karena
Senpai menjadi korban fitnah, meskipun ia terbukti tidak bersalah, sulit untuk
menghapus reputasi buruk yang sudah beredar luas.
Aku tidak ingin melihat Senpai menderita karena rumor yang menjadi warisan
negatif itu di kemudian hari.
Oleh
karena itu, aku ingin mengganti rumor buruk dengan rumor positif, meskipun
sedikit.
Aku akan
melakukan apa saja yang
bisa kulakukan demi Senpai.
Aku telah menetapkan tekad itu.
── Sudut
Pandang Kondo ──
Sialan,
rasanya sangat menyebalkan. Karena pertandingan latihan akan
segera dilaksanakan, aku terpaksa ikut latihan pagi yang biasanya aku lewatkan, dan aku merasa tidak
senang.
“Jangan
terjebak oleh tipu muslihat sepele ini, Mitsuda!! Selain itu, jangan terlalu
banyak memberi ruang, bek samping kelas satu.
Dengan begini, kita tidak akan bisa menang di pertandingan latihan, dasar bodoh!”
Aku melampiaskan kekesalanku
kepada rekan satu tim. Seriusan,
bagaimana jika kita kalah di sini dan
karierku yang cemerlan tercoreng? Akulah raja
di tim ini.
Aku
dibebaskan dari tugas bertahan. Ada kesepakatan tidak tertulis dari pelatih dan
rekan satu tim bahwa aku hanya perlu menunjukkan kemampuanku saat
menyerang.
Oleh
karena itu, aku tidak
perlu berusaha keras mengejar bola yang lolos.
Para gelandang dan bek di belakangku akan mengikutinya. Jika aku menghabiskan
tenaga untuk hal-hal membosankan seperti bertahan, aku takkan bisa melakukan
serangan yang artistik. Itu sudah jelas.
Aku
menguasai bola dan mengirimkan umpan yang sempurna ke ruang kosong. Sentuhan
halus inilah keahlianku yang paling menonjol.
Orang-orang
biasa berusaha keras untuk bertahan, tetapi sia-sia. Nilai bakatku benar-benar jauh berbeda. Ketika
melihat mereka yang terombang-ambing oleh sentuhan bolaku, aku teringat wajah
memalukan Aono Eiji.
Apa cowok itu masih bisa pergi ke sekolah? Aku
penasaran sampai kapan ia bisa datang ke sekolah.
Kemarin, budak-budakku mengacak-ngacak mejanya. Rumor bahwa ia melakukan
kekerasan mulai menyebar di seluruh sekolah. Jika reputasinya sudah jatuh
sejauh ini, ia pasti
akan merasa sangat menderita hanya dengan tetap hidup.
Ia pasti akan menjadi tidak masuk
sekolah.
Selain
itu, ada sesuatu yang menarik.
Sepertinya
Miyuki mulai melarikan diri dari kenyataan.
Malam
kemarin, aku diundang ke rumahnya yang tidak ada orang tuanya dan kami
bersenang-senang semalaman.
“Biarkan
aku melupakan segalanya.”
“Aku
sudah tahu bahwa tidak ada jalan kembali.”
“Hanya
kamu yang benar-benar ada untukku.”
Aku
hampir tidak bisa menahan tawa saat kami berpelukan.
Ya,
wanita ini juga sudah terjebak. Dia cukup mengerti. Kamu juga, seperti Aono,
akan terus terjatuh.
“Ah,
aku akan selalu bersamamu. Karena kita berbagi
takdir yang sama.”
Ketika
aku membisikkan kata-kata
manis seperti itu, Miyuki berulang
kali mengucapkan “terima
kasih” sambil meneteskan air
mata kebahagiaan. Dan demi
persiapan pertemuan dengan guru di masa depan, aku memberinya saran tentang
bagaimana cara menghadapinya. Ini seharusnya cukup aman untuk sementara
waktu.
Jika Aono
benar-benar hancur, aku berencana untuk berpisah dengan Miyuki dan menjalin
hubungan dengan wanita lain.
Bahkan
sekarang, rasa bersalah karena mengkhianati teman masa kecil membuat mentalnya
hampir hancur, dan saat wajah cantiknya mulai hancur
oleh keputusasaan merupakan
momen terbaik.
Dia bahkan mengatakan hal seperti ini.
“Aku
memilihmu meskipun harus meninggalkan teman masa kecilku yang sangat aku cintai.”
“Tidak,
tidak, jangan tinggalkan aku.”
“Aku
akan melakukan apa saja!”
Jika aku
mengatakan ini kepada wanita yang merayu, wanita mana pun pasti akan
menangis.
“Berhentilah,
dasar wanita peselingkuh.”
“Mana
mungkin aku bisa mempercayai wanita sepertimu."
“Aku
tidak tahan dengan wanita berperasaan berat sepertimu.”
Momen
saat dia menangis dan terjatuh merupakan momen
yang meningkatkan rasa percaya diriku.
Ah, aku berharap kedua orang itu segera hancur!
※※※※
Latihan
pagi yang membosankan akhirnya selesai, dan aku mengganti pakaian di ruang
klub.
Huh.
Akhirnya selesai juga.
“Ah,
Kondo-senpai. Coba lihat ini,
ada hal begini yang beredar!”
Anak kelas 2,
Aida, menunjukkan layar smartphone-nya padaku. Sepertinya itu adalah layar
obrolan anggota kelas.
“Apaan sih? Jadi──”
Aku mendapati diriku terdiam ketika melihat layar itu.
Karena di
sana ada foto yang seharusnya tidak mungkin ada.
Di situ,
ada foto Aono yang baru saja aku siksa dan idola sekolah tersenyum saat
berangkat sekolah bersama.
Anak-anak
kelas 3 lainnya melihatnya dengan rasa penasaran dan mulai tertawa.
“Bukannya
dia itu Ichijo Ai dari kelas
satu? Kenapa dia bisa berangkat sekolah dengan pria tukang pukul? Mereka berdua bahkan terlihat
sangat bahagia..."
“Iya,
kan? Konyol banget. Ichijo dibilang kalau dia merupakan gadis sempurna,
tapi ternyata ada kelemahannya. Dia tidak bisa memilih pria.”
Aida juga
ikut tertawa.
“Benar banget. Bagaimanapun juga,
memilih Aono enggak
banget. Selera wanita ini jelek banget.”
Setelah
berkata demikian, mereka berdua pergi keluar.
Namun,
aku gemetar karena merasa terhina.
Ichijou Ai...
Ketika
aku mencoba mengajaknya bermain di semester pertama, dia menolak dengan dingin,
“Maaf, aku takut pergi bermain
dengan pria yang tidak aku kenal”.
Kenapa dia bisa bersama orang yang introvert seperti itu? Aku baru saja merebut
pacarnya dan kini seluruh sekolah menjadi
musuhnya... Apa yang sebenarnya terjadi?
Kenapa
aku harus menerima penghinaan seperti ini?
Raja di
sekolah ini adalah aku.
Mana
mungkin aku kalah dari orang biasa seperti itu.
Jika
sudah begini, aku akan membuatnya lebih mengerti. Tentang perbedaan derajatnya denganku!!
── Sudut
Pandang Takayanagi ──
Karena
aku berhasil mendapatkan informasi yang pasti dari Aono, aku memutuskan untuk
tidak memaksanya dan membuatnta menunggu
di ruang UKS. Memang,
setelah semua yang terjadi, sulit baginya untuk kembali ke kelas dan berpartisipasi
dalam pelajaran.
Ia
juga sependapat denganku, jadi sesuai permintaanku sebelumnya kepada Mitsui-sensei, ia akan menjalani sistem
belajar di ruang UKS untuk
sementara waktu. Namun, jika studi Aono terganggu, itu tidak ada artinya, jadi
aku meminta kerjasama dari guru-guru di jam-jam di mana mereka tidak mengajar
agar bisa mengatur kelas kosong untuk bimbingan belajar. Hari ini cukup sulit,
jadi Kepala Sekolah dan Wakil Kepala Sekolah membantu mengatur agar bisa
dilaksanakan mulai besok.
Kepala
Sekolah adalah guru bahasa Inggris, jadi dia juga akan mengajar di sana.
Kepala
tahun ajaran, Iwai-sensei, juga dengan senang hati
bersedia membantu.
Ketika
aku meminta maaf karena membuat Aono bersembunyi, ia menjawab, “Justru itu perhatian yang sangat
dihargai. Aku sangat berterima kasih.”
Mengenai
Aono, ada satu masalah yang muncul adalah
ketika aku menyampaikan keinginanku untuk berbagi informasi tentang masalah
kali ini dengan orangtuanya, ia berkata, “aku sama
sekali tidak menginginkan itu,” dan tidak mengangguk.
Sepertinya, ia tidak ingin membuat ibunya, yang membesarkannya seorang diri,
dan kakaknya, yang masih muda tetapi berjuang untuk menjaga usaha keluarga demi
dirinya, khawatir.
Ia
menunjukkan penolakan yang paling kuat dalam
diskusi hari ini.
Untuk
saat ini, aku menangguhkan keputusan ini dan mundur, tetapi aku tidak bisa
tidak menyampaikan informasi ini. Sebagai guru yang bertanggung jawab atas anak
yang berharga, aku ingin berbagi informasi secepat mungkin. Jika ada sesuatu yang terjadi, itu sudah terlambat.
Tidak, itu sudah terjadi.
Namun,
ada risiko lebih lanjut yang bisa melukai perasaannya. Memikirkan perasaan Aono
yang telah mempercayai kami, aku sangat memahami perasaannya yang tidak ingin
orangtuanya tahu.
“Pada
akhirnya, jawaban mana pun yang dipilihnya, itu adalah jawaban yang benar,
bukan jawaban yang salah.”
Untuk
pertama kalinya sejak aku berurusan
dengan masalah ini, aku mengeluarkan keluhan pertamaku.
Tadi, aku
berkonsultasi dengan kepala sekolah, dan dia berkata, “Itu adalah pembicaraan yang cukup
sulit. Dari posisi pihak sekolah,
kami ingin segera menghubungi. Namun, aku juga memahami perasaan Aono. Masalah
seperti ini merupakan hal yang
tidak kami kuasai. Aku adalah generasi yang belajar teori mentalitas, jadi aku
mungkin tanpa sadar melukainya. Maka, aku akan meminta Mitsui-sensei, yang merupakan ahli dalam
bidang ini. Aku juga sedang mengatur agar konselor sekolah
segera dikirim ke sini.”
Memang, walaupun kami sudah berusaha
sebaik mungkin, rasanya masih
sulit untuk memasuki ruang pribadi siswa remaja. Aku akan memanfaatkan
kata-katanya. Aku berharap bisa berbagi kekhawatiran dengan Mitsui-sensei, dan semoga hati Aono bisa lebih
positif...
Aku akan
melakukan apa yang bisa kulakukan sekarang.
Pertama-tama, aku akan mewawancarai Aida dan
Shimokawa dari klub sepak bola kelasku. Setelah itu, ada Amada yang menunggu. Mengingat
kepribadiannya, kecil kemungkinan Amada akan membully
Aono secara langsung. Jika begitu, orang yang paling mencurigakan adalah orang-orang terdekat Kondo,
yang merupakan bintang di klub sepak bola. Untuk saat ini, aku akan
mendengarkan cerita mereka, dan jika tidak ada masalah, aku berencana untuk
memeriksa siswa yang berasal dari SMP yang sama dengan Kondo.
Namun, ketika aku mengonfirmasinya dengan ketua kelas kemarin, dia bersaksi, “Ketika aku datang ke kelas pada
pukul delapan, sudah ada coretan di meja”.
Jika pelakunya sudah berada di sekolah lebih
awal dari ketua kelas, kemungkinan besar mereka
adalah anggota klub yang melakukan latihan pagi. Jika demikian, daftar
tersangka pasti akan menyusut.
※※※※
Setelah wawancaraku dengan Aida, ia bertukar tempat dan aku memulai pertemuan dengan Shimokawa.
Aku sudah meminta mereka berdua meninggalkan kelas untuk datang menemuiku.
“Maaf ya, Shimokawa. Karena sudah tiba-tiba memanggilmu kemari.”
Di ruang
bimbingan siswa, aku memulai wawancara
dengan Shimokawa yang berambut cokelat.
“Kira-kira kenapa aku dipanggil?”
“Ah,
karena namamu muncul dalam daftar teratas murid yang ingin
kuajak bicara hari ini. Kemarin, aku juga sudah
mendengarkan dari anggota klub langsung
pulang ke rumah. Ini hanya sekadar untuk memastikan saja. Mohon
pengertiannya. Aku juga sedang bekerja.”
Untuk
sedikit meredakan ketegangan, aku melakukan akting seperti biasa. Wajahnya
terlihat sedikit lebih rileks.
“Ini
tentang Aono, ‘kan? Apa
aku dicurigai?”
Dia
banyak bicara. Aku merasa diuntungkan karena
ia epat dalam menjawab.
“Tentu
saja tidak. Ketika aku memeriksa siswa yang datang pagi-pagi kemarin, dia
bilang sudah ada coretan di meja saat dirinya
datang. Jadi, aku harus mendengarkan dari anak-anak klub olahraga.”
Aku
berpura-pura menjadi guru yang tidak terlalu bersemangat.
“Ah~, Sensei
juga pasti kesulitan, ya. Tapi, itu bukan aku. Soalnya, kami dari klub sepak
bola langsung pergi ke ruang klub tanpa mampir ke kelas.”
“Benarkah?”
“Benar.
Makanya, kami juga kaget saat melihat
keadaan kelas jadi seperti
itu di pagi hari.”
“Baiklah.
Kalau begitu, apa kamu bertemu teman sekelasmu sebelum latihan pagi?”
“Eh,
tidak. Cuma Aida doang. Karena
ia juga dari klub sepak bola.”
“Begitu,
ya.”
“Lagian, kalau
kalian mencurigai kami, seharusnya beri beberapa
bukti, dong, Takayanagi-sensei!!”
“Oh,
benar juga. Aida juga mengatakan hal yang sama. Baiklah, aku mengerti. Kamu boleh kembali ke
kelas.”
“Baik.”
Ia
keluar dari ruang bimbingan dengan
senyum yang tampak santai.
Melihat
tingkahnya, aku menghela napas.
“Ya ampun,
kenapa mereka berdua memberikan kesaksian yang persis sama. Setidaknya tunjukkan
sedikit usaha untuk menyembunyikannya.”
Sesuai
dugaanku, kedua orang itu mencurigakan. Mereka pertama
kali memastikan apa mereka dicurigai, lalu menjelaskan bahwa mereka pergi ke
ruang klub untuk latihan pagi dan tidak masuk kelas, serta tidak bertemu teman
sekelas lainnya, sambil meminta bukti jika ada kecurigaan.
Jawaban
mereka sama persis seperti sedang membaca naskah. Rasanya terlalu mencurigakan. Selain itu, Aida dan Shimokawa, kalian berdua pasti menyapa Makabe dari klub
basket. Aku tahu karena kemarin aku sudah memastikannya
dengan Makabe.
Nah, apa
yang harus dilakukan? Untuk saat ini, aku akan memantau kedua orang itu. Aku
perlu mengejar dalang yang mengendalikan mereka dari belakang.
※※※※
Sekarang,
waktunya pertemuan berikutnya.
Siswa
yang dituju masuk ke ruang bimbingan siswa.
Amada
Miyuki. Teman masa kecil Aono dan satu-satunya siswa selain Kondo yang
seharusnya mengetahui semua rahasia.
Dia
adalah siswa yang sangat berprestasi dan pernah menjabat sebagai wakil ketua
kelas pada semester sebelumnya. Seharusnya, dia sudah menjalin hubungan berpacaran dengan Aono sejak musim dingin
tahun lalu. Sejujurnya, dia cantik dan sangat populer
di kalangan lawan jenis. Dia tidak terlihat seperti siswa yang akan berselingkuh,
tetapi cinta merupakan sesuatu
yang bisa membuat orang gila, seperti obat terlarang.
Sejak
zaman kuno, banyak pemuda yang hancur karena buah terlarang ini. Sebagai guru
sejarah, aku bisa mengingat banyak insiden besar yang berkaitan dengan percintaan.
Dalam
sejarah Jepang, ada kisah Kusuko dan Yadoukyou.
Dalam
sejarah Tiongkok, ada Kaisar Xuanzong dan permaisurinya.
Dalam
sejarah Inggris, ada masalah perceraian Henry VIII dan cinta yang dipertaruhkan
untuk mahkota.
Bahkan
para penguasa tertinggi negara pun bisa kehilangan akal karena cinta, jadi
siswa berprestasi yang sedang pubertas pasti sangat rentan.
Yah,
mungkin karena aku adalah otaku yang mengatur pikiranku dengan topik sejarah di
saat-saat seperti ini, aku jadi kesulitan untuk menikah. Meskipun dikatakan kalau orang bodoh
belajar dari pengalaman sendiri
dan orang bijak belajar dari sejarah, ini memang sesuatu
yang perlu dipikirkan.
“Maaf ya, Amada. Aku memanggilmu.”
“Tidak
apa-apa, ini tentang Eiji, kan?”
“Iya,
benar.”
Amada tidak terlalu terguncang seperti yang kubayangkan. Hanya saja, kantung matanya
tidak bisa disembunyikan dan wajahnya terlihat pucat.
“Untuk
masalah kali ini... Aku tidak ada sangkut pautnya
sama sekali!!”
Dia
menyatakan itu dengan nada sedikit histeris.
“Hmm?”
“Habisnya,
Sensei memanggilku karena mencurigaiku, ‘kan!! Memang benar kalau aku dan Eiji mengalami masalah saat
membahas perpisahan... dan saat itu, aku terlihat berjalan bersama Kondo-senpai
yang memberi nasihat, sehingga Eiji
salah paham.”
Suasana
tenang yang sebelumnya langsung hancur seketika.
Dia berbicara cepat tentang hal-hal yang tidak ditanyakan, jauh dari sosok
wakil ketua kelas yang aku kenal dari
semester pertama.
“Setelah itu,
Aono memegang tanganmu?"
“Benar sekali. Eiji
sangat terkejut dan menarik tanganku dengan kuat untuk memisahkanku dari Senpai! Kami sudah membahas
perpisahan sejak beberapa waktu lalu... jadi...”
“Ceritamu
kok sangat berbeda dari apa yang dikatakan Aono?”
“Itu...
pasti ada yang disembunyikan.”
Hmm.
Untuk saat ini, aku akan mendengarkan semua argumennya sampai akhir.
“Lalu, apa
kamu tahu tentang postingan di media sosial yang menyebutkan kalau Aono melakukan kekerasan padamu?”
Ada
cahaya mencurigakan di wajahnya. Ini mungkin sesuai dengan jawaban yang
kuduga.
“Kurasa Kondo-senpai
pasti mengkhawatirkan keadaanku dan membicarakannya dengan
seseorang, yang kemudian bocor. Ia
bukan orang yang suka menyebarkan rumor hanya untuk bersenang-senang. Selain
itu, memang benar ada sedikit bekas karena ditarik dengan kuat.”
Sekilas, dia kembali menjadi siswa
berprestasi seperti biasanya.
“Aku
hanya punya satu pertanyaan, boleh aku
menanyakannya?”
“Iya.”
Siswa
berprestasi itu terllihat ragu sejenak
sebelum menjawab. Wajahnya menunjukkan bahwa dia tidak
menyangka akan ditanya pada momen seperti ini.
“Maaf,
tapi aku sudah memeriksa postingan media
sosial yang menjadi masalah untuk memastikan
faktanya. Jika benar Aono melakukan kekerasan terhadapmu, pihak sekolah harus menghukum Aono.
Jadi, izinkan aku untuk memverifikasi fakta itu. Sesuai dengan informasi di
media sosial, apa kamu benar-benar mengalami kekerasan dari Aono?”
Hal ini juga
merupakan salah satu strategi. Dengan menyebutkan hukuman
untuk Aono, aku mencoba menarik hati nuraninya. Melihat caranya terguncang sebelumnya dan
kesaksian mencurigakan dari dua orang sebelumnya, hampir bisa dipastikan Aono
adalah korban. Perkataanku hanya gertakan
semata. Aku menyimpannya sebagai kartu terakhir, tapi
aku juga memberi tahu Aono untuk menyimpan riwayat
pesan di media sosial dengan Amada. Sepertinya, riwayat
tersebut masih ada. Mengingat ada masalah privasi siswa, aku lebih suka
menghindarinya, tapi jika aku meminta Aono untuk menunjukkannya, kemungkinan besar aku bisa segera mengetahui siapa yang berbohong.
Yah,
karena aku sudah melihat Aono dengan jujur menggunakan fitur tangkapan layar di
ponselnya untuk menyimpan riwayatnya,
aku sudah tahu siapa yang berbohong. Mana
mungkin ada orang baik yang langsung mengambil dan menyimpan riwayat percakapan yang
bisa merugikan dirinya sendiri.
Pasti ada
rasa bersalah di dalam diri Amada karena berselingkuh dan menuduh Aono secara
tidak adil. Karena itulah, aku
harus mengguncangnya.
“It-Itu...”
Dia
menunduk dan terdiam.
“Itu
hal yang penting.”
Satu
keputusan dapat menentukan kehidupan seorang pemuda. Dengan nuansa itu, aku
menatapnya.
“Aku...
tidak tahu. Aku juga sedang terguncang.”
Jadi begitu
rupanya.
“Baiklah.
Untuk saat ini, mari kita akhiri pembicaraan
sampai di sini. Mungkin aku akan berbicara
denganmu lagi, dan jika kamu ingat sesuatu, jangan ragu
untuk segera mengatakannya. Jika ada yang ingin kamu sampaikan, silakan
berbicara di sini.”
“...
Tidak ada.”
Amada
berpikir sejenak dan kemudian menyimpang dari jalurnya sendiri.
"Begitu.
Terima kasih. Kamu boleh kembali
ke kelas.”
Sejujurnya, aku merasa sangat kecewa. Jika
dia mau menceritakan semua kebenaran di sini, mungkin ada jalan lain.
Namun, apa boleh buat. Jika sudah begini, aku
harus menyelidiki secara menyeluruh dan menemukan titik-titik kontradiksi
darinya untuk mendekati dalang di balik semua ini. Cuma itu satu-satunya cara. Amada juga
harus dihukum.
Jika aku
menggunakan riwayat SNS Aono
dan satu kartu truf lainnya... maka tidak akan ada jalan keluar lagi. Namun, aku
masih kekurangan pukulan telak untuk memburu
dalang di balik semua ini. Untuk sementawa waktu,
aku akan membiarkannya sedikit lebih lama.
Rasanya
sangat disayangkan sekali, Amada.
※※※※
Dan
akhirnya, orang terakhir yang diwawancarai pun tiba.
Kondo, murid kelas tiga yang seharusnya
menjadi dalang dan penyebab segala masalah.
“Halo~”
Ia menyapa
sambil tersenyum ceria. Dipanggil ke ruang bimbingan dengan sikap seperti ini.
Dalam arti tertentu, ia mungkin
memang jenius.
“Maaf sudah memanggilmu kemari. Apa
kamu sudah mendengar ceritanya?”
“Ya!!
Sensei ingin mendengar tentang Aono
yang melakukan kekerasan terhadap Miyuki, ‘kan?
Tentu saja!”
Benar-benar
dibutuhkan bakat untuk sampai sejauh ini dan masih mampu berbicara seolah-olah
Aono lah yang salah. Pada tingkat yang tidak
seharusnya dikembangkan.
“Oh,
sepertinya Amada sedang terguncang dan tidak bisa menjelaskan dengan baik
tentang hari yang menjadi perbincangan. Jadi, aku ingin mendengar darimu yang seharusnya paling dekat di tempat kejadian.”
“Begitu
ya. Tentu saja, jika pacar melakukan kekerasan, gadis biasa pasti akan
merasakannya. Hari itu, Miyuki menghubungiku untuk
meminta nasihat. Dia ingin putus tetapi tidak mendapatkan
persetujuan. Pacarnya mulai bersikap seperti penguntit, dan Miyuki merasa
takut.”
“Hmm.”
Nada
bicaranya dipenuhi kepercayaan diri, seolah-olah bisa membuat siapa saja langsung mempercayainya
jika tidak memeriksa lebih lanjut.
“Jadi,
ia melihat kita kebetulan berjalan bersama dan mengira pacarnya berselingkuh. Ia mulai
berteriak dengan marah dan menarik lengan Miyuki dengan paksa.
Miyuki berusaha menolak karena merasa kesakitan. Kemudian,
aku berusaha turun tangan untuk
memisahkan mereka. Kupikir
bisa jadi berbahaya jika aku tidak melakukannya, karena aku tidak tahu apa yang akan
terjadi.”
Ia
berbohong semudah dirinya bernapas.
“Aono
bilang kamu lah yang
memukulnya.”
“Yah, itu
sih cuma ocehan omong kosong pria penguntit. Karena cowok itu duluan yang berusaha memegang
lengan wanita yang kurus dan ia bilang cuma
memegangnya doang. Padalah,
ia dulu yang melakukan kekerasan.”
“Hmm.”
Tujuan
utamaku kali ini hanya untuk bertemu dan mendengar cerita dari pihak mereka. Aku masih harus bersabar.
“Apa Sensei
memahami niatku?”
“Baiklah,
satu pertanyaan lagi. Kenapa kamu menulis tentang itu di media sosial?”
“Ah~ jadi Sensei
juga berpikir begitu, ya? Tapi itu bukan akunku, kok.
Aku hanya meminta bantuan anggota klub untuk melindungi Miyuki dari penguntit. Kurasa
akulah yang salah karena mengirimkan foto luka Miyuki saat itu kepada semua orang. Jadi,
mungkin ada yang tergerak karena kemarahan
dan menyebarkannya dengan akun palsu.”
Jadi, ia sengaja membuat cerita seperti itu? Kamu mungkin lebih cocok sebagai
penipu daripada pemain sepak bola.
“Jadi,
kamu tidak tahu siapa yang melakukannya?”
“Kalau sudah
pakai akun palsu sih aku juga mana mungkin bisa mengetahuinya.
Aku justru punya permohonan kepada Sensei. Saat ini, tim sepak bola akan
menghadapi pertandingan penting, jadi saat ini
merupakan waktu yang krusial. Orang yang menyebarkannya
pasti tidak berniat jahat. Mungkin ia melakukannya demi Miyuki. Jadi, bahkan jika Sensei menemukan pelakunya, bisakah Sensei menyelesaikannya dengan cara
yang baik?"
Dia
benar-benar tidak mau kehilangan citranya. Perilaku dan
tindak-tanduknya sangat mencerminkan seperti seorang
politisi.
“Aku
tidak tahu bagaimana hal itu akan berjalan, tetapi aku akan berusaha semaksimal
mungkin.”
Supaya
tidak terjebak dalam permainan tipu daya penipu seperti ini, aku memilih untuk
mundur selangkah dan fokus untuk mendapatkan informasi.
“Terima
kasih. Ternyata, Takayanagi-sensei memang
pengertian banget. Aku khawatir jika kamu melindungi pria penguntit itu, bagaimana jadinya. Itu akan
menjadi aib bagi sekolah.”
Memperbolehkan
orang seperti kamu masuk ke sekolah ini justru
menjadi aib terbesar bagi sekolah ini.
Aku
hampir meledak karena marah, tapi aku berhasil menahan diri.
Jika aku
menunjukkan permusuhan secara terbuka, ia
pasti akan menghalangi penyelidikan dengan segala cara. Pria jahat seperti ini
sebaiknya baru menyadari bahwa dirinya sudah terpojok sebelum jatuh ke
neraka.
“Satu
hal lagi. Jika Aono melakukan kekerasan terhadap Amada, pihak sekolah juga
mungkin harus menghukumnya. Kami
mungkin harus meminta bantuan polisi. Oleh karena,
beri tahu aku dengan jelas. Kamu pasti melihat kejadian itu.”
Jika ada
sedikit niat baik dalam hatinya, dia seharusnya mempertimbangkan pertanyaan
ini. Namun, jawaban yang sudah kuduga justru keluar dari mulutnya.
“Aku
memang melihatnya. Hanya saja, Miyuki mungkin tidak ingin melaporkannya ke
polisi.”
Aku tidak
bisa menahan diri untuk menyipitkan mata mendengar kata-katanya.
“Kenapa?”
“Karena
semakin besar masalahnya, reputasi Miyuki akan semakin buruk, dan dia harus
mengingat kembali kenangan menakutkan itu. Itu sangat menyedihkan, bukan? Makanya, dia juga berbohong kepada Sensei.”
Jika
dipikirkan dengan logis, penjelasannya bisa diterima, tetapi...
Ketika
kata polisi disebutkan, wajah Kondo
menunjukkan ekspresi pahit sejenak. Rupanya ia
merasa khawatir jika penyelidik profesional terlibat. Artinya, jika kami
menyelidiki situasi ini dengan lebih mendetail, kami akan menemukan kebenaran
yang tidak menguntungkan baginya.
Sebenarnya,
aku hanya mengatakan bahwa Amada tidak bisa menjelaskan dengan baik karena
sedang terguncang, tapi Kondo dengan tegas menyatakan bahwa “Amada berbohong,” seolah-olah ia tahu segalanya. Batang hidungnya sedikit
terbongkar. Sepertinya ia
sendiri yang mengaku sedang bersekongkol satu sama lain.
“Jadi begitu
ya.”
Dengan
segala macam makna dalam pikiran, aku membuka mulutku.
“Kalau
begitu, boleh aku pergi sekarang? Sebenarnya, aku diundang untuk bergabung
dalam latihan tim sepak bola di universitas di Tokyo hari ini. Aku harus segera
pergi.”
“Ah iya, maaf sudah merepotkanmu.”
Kondo meninggalkan ruangan dengan langkah
ringan. Memang benar kalau Kondo memiliki otak yang cerdik dan fasih dalam berbicara. Namun, itu hanya
dibandingkan dengan teman sebayanya. Ujung-ujungnya,
ia tetaplah seorang pelajar SMA. Aku merasa
sedikit kasihan sebagai seorang guru melihatnya berusaha maju tanpa menyadari
hal itu, tetapi segera saja, sisi kemanusiaanku muncul.
Aku
menatap tajam kursi tempat didudukinya sebelumnya dengan tatapan penuh
penghinaan.
“Silakan
teruslah maju. Jalan yang mengarahkanmu menuju neraka.”
── Sudut
Pandang Kondo ──
“Hah,
gampang banget. Apa sekarang sudah selesai? Ya ampun, rupanya
para guru cuma
sebatas ini saja!!”
Aku tidak
bisa berhenti tertawa.
