Epilog
Keesokan
harinya setelah pelaksanaan
acara sosial. Ketika aku
tiba di akademi pagi-pagi sekali,
aku menemukan Narika di koridor.
“Narika.”
“…Itsuki.”
Tidak
ada siapa-siapa di koridor selain
kami. Jumlah siswa di dalam kelas juga masih sangat
sedikit.
Hari ini
aku berangkat lebih awal dari biasanya setelah berbicara dengan Shizune-san dan Hinako. Sebenarnya tidak ada alasan khusus,
tetapi... entah kenapa, aku merasa seperti ada sesuatu yang akan terjadi. Aku
merasa Narika mungkin sudah berada di akademi sejak pagi.
Jika dia
menunggu balasanku, pasti dia tidak bisa menunggu lebih lama... dan akhirnya
muncul lebih awal di akademi.
“Boleh
aku memberi jawabanku?”
“…Ah.”
Masih ada
waktu sebelum jam wali kelas dimulai. Kami berdua lalu menuju ke tempat bertangga
yang sepi.
Di
sana—aku memberikan jawabanku.
Aku
menyampaikan satu per satu hal-hal
yang sudah aku bicarakan dengan Yuri semalam. Selama aku berbicara, ekspresi Narika
tidak banyak berubah. Namun, jika diperhatikan dengan seksama, dia hanya berusaha menahan perubahan ekspresi wajahnya, dan
kelopak mata serta bibirnya terus bergetar lembut.
“Jadi...begitu,
ya……”
Setelah
aku selesai berbicara, Narika hanya mengangguk singkat.
“Maafkan aku. Dengan jawaban yang tidak jelas
seperti ini.”
“Tidak...
sejujurnya, aku sudah memperkirakannya.”
Narika
melanjutkan.
“Sebenarnya,
akulah yang terbawa suasana hingga
melakukan hal seperti itu... Aku pikir, saat ini kamu pasti sangat sibuk dan
mungkin belum siap.”
Seperti
yang dikatakan Yuri, Narika memahami perasaanku.
Aku
menundukkan kepala dan sekali lagi meminta maaf.
Aku
merasa bersalah karena memaksakan pemahamanku
kepada Narika.
“…Maaf.”
“Jangan
khawatir. Lagipula, bukan
berarti aku harus menyerah, ‘kan? Jika begitu, itu adalah
keberuntungan bagiku.”
Aku telah
menolak pengakuan Narika demi kepentinganku sendiri. Namun, Narika mengetahui
hal itu, tetapi dia tidak
menunjukkan kebencian padaku, dia malah
tersenyum.
Ah, gadis
yang bernama Narika ini
benar-benar...
Biasanya
dia orang yang pemalu, tapi... dia bisa menjadi
kuat demi orang lain.
Meskipun
begitu, kali ini dia tidak sempurna.
Dia
mungkin tidak menyadari bahwa suaranya bergetar.
“…Baiklah.”
Aku
menguatkan tekadku dan menatap Narika langsung.
“Narika.
Pukul aku sekali.”
“Eh?
Me-Memukulmu?”
“Kamu juga
boleh menamparku. Mengumpat juga boleh. Jadi...”
Jadi...
tolong jangan menangis.
Aku
menyimpan kalimat terakhir itu hanya di dalam hati.
“…Itsuki,
tolong jangan salah paham dulu.”
Entah
karena dia menangkap maksudku, Narika menggelengkan kepala.
“Bohong
rasanya jika aku bilang kalau aku
tidak merasa sedih. Tapi... aku juga mengerti
perasaanmu, Itsuki.”
Suara Narika
yang mengatakannya tidak bergetar.
Bukan
kata-kata yang pahit dan menyakitkan. Sekarang, Narika mengungkapkan
perasaannya yang sebenarnya.
“Seperti
yang sudah kubilang sebelumnya, aku sedikit
memperkirakan jawabanmu. Aku pikir kamu pasti ingin fokus pada hal-hal di
depanmu saat ini, jadi mungkin sekarang
bukan saat yang tepat... Namun, pada saat yang sama, aku juga bertanya pada
diriku sendiri, lalu bagaimana dengan diriku?”
Seperti
yang dikatakan Narika, saat ini ada banyak hal yang harus aku fokuskan.
Lalu,
bagaimana dengan Narika?
“Aku
juga... sama.”
Seolah-olah
berusaha mengangkat emosinya dengan
lembut, Narika menundukkan pandangan dan mengatakannya dengan hati-hati.
“Berkat
kehadiranmu di Akademi Kekaisaran ini, aku bisa melakukan banyak
hal yang sebelumnya tidak bisa kulakukan. Aku mendapatkan lebih banyak teman,
dan rasanya rencana hidupku di masa depan menjadi lebih konkret. Mencalonkan
diri sebagai ketua OSIS juga salah satunya.”
Narika
mengangkat wajahnya dan menatapku.
Tatapannya
kini tidak lagi bergetar.
“Aku
juga memiliki banyak hal yang harus dilakukan. Hal-hal yang ingin aku pikul,
hal-hal yang ingin aku capai... Sekarang adalah waktu di mana aku harus
memikirkan hal-hal seperti itu.”
Tatapan
matanya yang tegas terasa menembusku. Perasaan Narika
tersampaikan dengan jelas.
Jika
dipikir-pikir lagi—mungkin
ini memang sudah sewajarnya.
Ini
adalah Akademi Kekaisaran.
Tempat berkumpulnya putri-putri dari keluarga terhormat yang penuh kebanggaan.
Di masa depan, semua orang akan berada di posisi yang membawa tanggung jawab
besar, seperti pengusaha atau politisi.
Bukan
hanya aku yang berusaha keras.
Narika
pun pasti memiliki banyak hal yang harus dikerjakan saat ini.
“Jadi,
tidak apa-apa. ...Aku akan menyimpan perasaan
ini di dalam hatiku untuk saat ini.”
Narika
berkata sambil meletakkan tangannya di depan dadanya.
“Namun, meski begitu... aku ingin
mengatakannya dengan jelas sekali lagi.”
Sambil
tersenyum lembut, Narika menggerakkan bibirnya dengan lembut.
“Aku
menyukaimu, Itsuki.”
Kata-kata
yang sederhana.
Perasaannya yang tulus.
Meskipun
aku seharusnya sudah tahu perasaan itu, aku tidak akan pernah terbiasa dengan
kejutan ini meskipun sudah mendengarnya berkali-kali. Justru, entah kenapa, pengakuatnya lebih menyentuh daripada
saat dia mencium pipiku.
Mungkin
karena aku mengetahui niat Narika, dan dia sekali lagi mengungkapkan
perasaannya padaku.
Aku telah
mengutamakan kepentinganku sendiri dan tidak bisa membalas perasaan Narika.
Namun, Narika tetap menyampaikan perasaan yang sama padaku.
Kalau ini
bukan disebut cinta murni, lalu apa
namanya?
Kalau ini
bukan cinta yang sejati, lantas apa?
“……”
Air mata
mulai menggenang di sudut mataku.
Bukan
karena bahagia atau malu, tetapi aku merasa bahwa memiliki perasaan biasa
seperti itu terhadap perasaan ini terasa tidak pantas.
Hanya saja, aku merasa sangat
terhormat...
Dan kemudian, aku menyadari bahwa saat ini
aku tidak memiliki perasaan yang sepadan untuk membalas perasaannya ini...
“Terima
kasih.”
Karena sudah
menyampaikan perasaan yang begitu murni kepada diriku yang seperti ini.
“…Maaf.”
Saat ini,
aku tidak memiliki cara untuk membalas perasaan itu.
Aku
menahan diri, tetapi tetap saja, ada sedikit
air mata yang menetes. Dasar bodoh sekali—aku menghukum diriku
sendiri di dalam hati. Sekarang, bukan aku yang seharusnya menangis.
Sambil
mengelap air mata dengan jari, aku
mengangkat wajahku dan melihat bahwa Narika juga sedang mengelap air matanya.
“…Jangan
menangis.”
“Ha-Habisnya...
Itsuki menangis...”
Mendengar
suara Narika yang bergetar, air mataku kembali menggenang.
Pada saat
itu, kami mendengar suara obrolan siswa-siswa dari bawah tangga.
Kami
berdua secara bersamaan mengangkat bahu, terkejut dan saling memandang.
“……Haha.”
“Hahaha……”
Kami
tertawa tanpa sadar.
Suasana
menjadi lebih santai.
Hubungan
kami yang biasa kembali pulih.
“Entah
kenapa, rasanya jadi
lega. ...Aku merasa bisa mengeluarkan apa yang perlu dikeluarkan.”
“……Begitu.”
Syukurlah
kalau memang begitu.
Suara
obrolan dari bawah tangga perlahan menjauh. Namun, waktu kedatangan siswa-siswa lain sudah dekat.
Sebaiknya pembicaraan penting ini diakhiri di sini.
“Ngomong-ngomong...
kapan waktu yang tepat?”
Narika
bertanya.
Waktu
yang dimaksud adalah saat aku bisa menghadapi cinta.
“Saat
ini merupakan waktu tersibuk bagiku. Aku masih belum tahu, tetapi... aku ingin
bisa menghadapi hal-hal seperti itu ketika masa depanku sudah lebih jelas.”
Misalnya,
saat aku sudah menentukan perusahaan mana yang akan kutuju untuk bekerja, atau
perusahaan apa yang ingin aku dirikan. Mungkin pada saat itu, aku akan lebih
siap.
(……Sejujurnya,
aku sendiri tidak tahu kapan itu akan terjadi.)
Bisa
jadi, saat itu tidak akan datang sampai aku hampir lulus dari akademi.
Namun,
sebaliknya, mungkin saat itu akan datang dalam sebulan.
Memikirkan
jadwal padat selama enam bulan terakhir, ada kemungkinan saat itu akan datang
lebih cepat dari yang diperkirakan. Aku juga tidak ingin menunda hubunganku dengan Narika, dan itu lebih
menguntungkan.
“Begitu ya. Jika memang begitu, sampai saat itu tiba, aku akan berusaha sekuat tenaga
untuk menarik perhatianmu."
“Eh?”
Mau tak
mau aku bertanya balik atas pernyataan Narika
yang begitu mendadak.
“Ha-Habisnya...
bukannya itu kelihatan menyedihkan jika perasaanmu mulai berubah dan kamu
mulai melirik orang lain sementara aku menahan diri?!”
“Tidak,
itu tidak akan terjadi...”
Karena
aku sudah menolak pengakuan Narika, aku tidak berniat melakukan hal seperti
itu...
“……Tadi
kamu sendiri yang bilang kalau kamu
juga memiliki banyak hal yang harus dilakukan. Secara logika, aku pikir kamu
akan lebih fokus pada hal itu untuk sementara waktu...”
“Aku
sebenarnya ingin segera berpacaran denganmu, Itsuki.”
Eh?
“Aku
hanya mengatakan bahwa aku mengerti perasaanmu, bukan berarti aku merasakan hal
yang sama. Jika kita bisa berpacaran sekarang, aku ingin kita berpacaran.”
Ga-Gadis ini...
Lama-lama
dia mulai semakin berani...!
“Tidak,
maksudku... jika kamu terus menggoda dan
merayuku, itu akan merepotkan...”
“……Menggoda?”
Saat aku
menyampaikan perasaanku dengan lembut, Narika tampak bingung.
“Kamu
merasa itu sebagai... godaan?”
Tentu
saja—.
Mungkin
ekspresi wajahku menunjukkan pikiranku.
Narika lalu tersenyum lebar.
“Sepertinya
aku baru saja mendengar hal yang bagus.
...Jadi, jika aku terus menggoda, mungkin kamu akan tidak bisa menahan diri dan
mau menerima perasaanku.”
Ini
berbahaya.
Aku
mungkin telah menggali lubang kuburku sendiri.
“Baiklah,
mari kita coba satu hal.”
Itu
terlalu cepat.
Setidaknya
aku ingin sedikit lebih banyak waktu... Namun, tanpa mempedulikan perasaanku, Narika perlahan-lahan mendekat.
“N-Narika,
tunggu sebentar...”
Tanpa
sadar aku mundur dan punggungku menempel di dinding.
Narika
tidak membiarkanku melarikan diri, dengan
satu tangan dia menempelkan tangan di dinding—dan mendekatkan
wajahnya padaku.
Kalau tidak
salah posisi begini disebut
apaan ya?
Ah iya, aku mengingatnya—ini adalah ‘kabedon’.
“…………Eh?”
“Aku
tidak begitu mengerti, tapi belakangan ini, banyak
yang senang jika aku melakukan ini kepada
mereka.”
Sambil
berkata demikian, Narika menatap wajahku tanpa berbicara sepatah kata pun.
Namun,
daripada merasa berdebar-debar, aku lebih merasa bingung. Tidak kusangka aku
akan mengalami pengalaman kabedon.
Apalagi, sebagai pihak yang “ditindih”.
Setelah
berusaha tetap tenang, aku menatap wajah Narika.
Meskipun
masih tersisa sedikit kepolosan, wajahnya yang cantik dan menawan pasti akan
membuat siapa pun, bahkan perempuan, terpesona, kini sedikit memerah.
“……Narika.”
“……”
“……Wajahmu
kelihatan memerah, tau.”
Narika
yang wajahnya merah padam, perlahan-lahan menjauh dariku.
“Ugh,
ternyata dengan Itsuki itu tidak semudah yang kupikirkan...”
“Apa
maksdunya denganku...”
Aku merasakan ada firasat buruk.
“Tu-Tunggu sebentar. Jangan-jangan,
kamu melakukan ini dengan orang lain juga?”
“Eh?
Ah iya,
kadang ada perempuan yang meminta hal ini. Tapi saat itu, aku melakukannya
dengan lebih santai dibanding sekarang... Mungkin ini adalah permainan yang
sedang tren belakangan ini?”
Mana
mungkin lah.
Saat aku
berpikir dalam hati, tiba-tiba aku membayangkan kemungkinan tertentu.
Apa yang
kupikirkan saat melihat wajah Narika tadi?
Dia memiliki
wajah yang cantik dan menawan—bahkan perempuan pun pasti
terpesona.
“Onee-sama!”
Saat itu,
terdengar suara dari ujung koridor.
Jika kuingat
dengan benar... dia
adalah siswi yang berbicara dengan Narika setelah game manajemen selesai. Saat itu
juga, dia mendekati Narika di koridor.
“……Kebetulan sekali.”
Narika
berkata kepada siswi yang datang dengan langkah kecil.
“Ada sesuatu yang penting yang ingin kubicarakan.”
“Eh...
apa jangan-jangan itu tentang yang
sebelumnya...?”
“Iya.”
Narika
mengangguk dalam-dalam dan membuka mulutnya.
“Maafkan aku. Sepertinya aku tidak bisa
membalas perasaanmu.”
“………………Eh?”
Mata gadis itu tampak terbelalak.
Itu
jelas-jelas adalah jawaban untuk pengakuan cinta.
“Ja-Jadi, begitu ya... aku... mengerti...”
Gadis
yang memanggil Narika “Onee-sama” itu mengangguk pelan meskipun matanya mulai
berkaca-kaca.
(Umm, jadi...)
Ternyata orang yang menyatakan perasaan cintanya kepada
Narika bukanlah Kita, melainkan gadis
itu.
Memang benar kalau belakangan ini, Narika
sering dipanggil “Onee-sama!” oleh sesama perempuan... Namun,
sepertinya setelah melakukan kabedon
seperti yang kulihat tadi, dia mulai mendapatkan perhatian serius.
Saat aku
mencoba menjernihkan
pikiranku, ada seseorang
yang melintas di sampingku.
(……Suminoe-san?)
Sepertinya
dia baru saja tiba di sekolah.
Sambil
membawa tas di tangannya, Suminoe-san mendekati siswi yang
baru saja ditolak oleh Narika—dan meletakkan tangannya di bahunya.
“Aku
mengerti.”
Mengerti
tentang apa?
Gadis
itu menatap dengan mata berkaca-kaca dan menjabat tangan Suminoe-san dengan
kuat.
Aku sangat penasaran, apaan sih yang sedang aku lihat ini...?
“……Narika.”
Setidaknya untuk saat ini, aku memutuskan untuk
menyampaikan satu hal kepada Narika.
“Jangan
lagi-lagi melakukan Kabedon, itu dilarang.”
“Kabe...?
Apa itu?”
◇◇◇◇
Pada saat
yang sama. Minato Maki sedang
merapikan dokumen di ruang OSIS.
Laporan
wawancara yang diterima dari para anggota
dan calon anggota OSIS
berikutnya, jika digabungkan, jumlahnya mencapai seratus lembar. Meskipun
informasi ini terlalu banyak untuk mengenal seseorang, mengingat tujuan di
baliknya yang merupakan penyelidikan perilaku, tumpukan kertas ini menjadi
informasi yang sangat diperlukan.
Setelah
merangkum laporan dari Tennouji Mirei, selanjutnya dia merangkum
laporan dari siswa lain.
Tomonari Itsuki. Dia merapikan laporan dari
siswa laki-laki yang berharap menjadi wakil ketua.
(……Apa
Tomonari-kun sudah berhasil menemukan teman untuk diajak berkonsultasi?)
Ia
adalah orang yang jujur. Jika Itsuki
memang menginginkannya, pasti siapa pun akan mau menjadi teman konsultasinya. Dirinya pasti bisa mengatasi masalah
ini.
Berdasarkan
laporan yang dibaca Maki,
tampaknya ia adalah orang yang cenderung memendam
masalahnya sendiri. Oleh karena itu, Maki menyarankan
agar Itsuki mencari teman untuk berkonsultasi...
(Hmm... mau dilihat sebanyak apapun, sepertinya
ia terlalu tegang.)
Ini hanya
firasatnya, tetapi semakin dia membaca laporannya, semakin
terasa bahwa Tomonari Itsuki adalah orang yang terlalu
serius. Maki berpikir mungkin karena ia adalah murid pindahan dan berusaha keras untuk
mengikuti teman-temannya, tetapi sekarang ia sudah memiliki banyak teman di
sekelilingnya dan dalam enam bulan terakhir, ia sudah bisa mengikuti pelajaran.
Dengan tempat yang hangat dan nyaman
sekarang, mengapa Tomonari Itsuki
masih mempertahankan keseriusan itu...?
Perusahaan
Grup Rakuou, yang merupakan perusahaan keluarga Maki, memang besar,
tetapi sejarahnya jauh lebih singkat dibandingkan dengan keluarga teman-temannya.
…Karena Maki adalah bagian dari kelompok minoritas, dia tahu bahwa semua siswa
di Akademi Kekaisaran sangat
serius, tetapi ambisi mereka tidak terlalu kuat.
Karena di
depan mereka terdapat rel yang
kokoh. Sejak kecil, mereka sangat
menyadari keberadaan rel tersebut, sehingga mereka secara tidak sadar berpikir
bahwa masa depan mereka sudah ditentukan.
Namun,
meskipun begitu, Tomonari Itsuki memiliki
ambisi yang kuat. Seolah-olah ia sama sekali tidak melihat rel yang ada di
depannya.
Sebenarnya—apa
motivasi Tomonari Itsuki untuk
menjadi anggota OSIS?
Ia
mengatakan kalau dirinya ingin
menjadi konsultan... tetapi, sebagai anak dari perusahaan IT menengah, alasan
apa yang membuatnya memilih jalur tersebut?
Keputusan
dia tampaknya sangat tegas. Itulah sebabnya, ketidakjelasan sumber ambisi itu
membuat Maki merasa tidak nyaman.
Untuk apa
dirinya hidup dengan begitu lurus, dan
untuk siapa?
“……Sepertinya,
aku harus bertanya padanya.”
Maki
menggerakkan jarinya di smartphone-nya.
Setelah
beberapa saat, panggilan dimulai.
“Maaf
mengganggu di pagi-pagi sekali. Apa kamu sedang ada waktu sekarang?”
“……Sudah kubilang jangan terlalu sering menghubungiku.”
“Maaf.
Tapi ada sesuatu yang
ingin kutanyakan.”
Meskipun
sikapnya jelas-jelas tidak senang, Maki
sudah memperkirakan hal itu, jadi dia tidak
perlu merasa ragu.
“Tomonari
Itsuki. Kamu mengenalnya, ‘kan? Aku
ingin tahu lebih banyak tentang dirinya—”
“Maaf,
tapi aku tidak berniat menjawab pertanyaan itu.”
Orang di
ujung telepon menjawab dengan tenang.
“……Boleh
aku tahu alasannya?”
“Karena itu
informasi pribadi. Aku ingin menjaga muridku dengan baik.”
Mulut mana
yang berhak mengatakan itu... Maki menggerutu dalam hati.
Ia
adalah seseorang yang akan menyebarkan
informasi rahasia ke seluruh dunia jika diperlukan.
“……Apa
kamu tidak ingin menjaga
mantan muridmu dengan baik?”
“Itu salahmu sendiri karena tidak
menunjukkan kemampuan yang cukup untuk membuatku
menghargaimu. …Aku sibuk, jadi aku akan memutuskan
panggilan.”
Panggilan
itu terputus secara sepihak tanpa mendengar jawabannya.
Maki
menghela napas. Kemudian, dia melihat laporan di tangannya.
Tomonari
Itsuki. Siswa kelas 2 Akademi Kekaisaran yang
ingin menjadi wakil ketua.
Dan———muridnya orang itu.
(…………Sepertinya,
aku tidak bisa menahan rasa cemburu.)
Di masa lalu, Maki
juga menjadi muridnya seperti Tomonari Itsuki... tetapi dirinya dibuang di tengah jalan, jadi
wajar saja jika dirinya merasa
terombang-ambing dengan perasaan ini.
Sikap
yang tidak pantas bagi seorang ketua OSIS.
Namun,
meskipun begitu... Maki tidak
bisa menyingkirkan perasaan pribadinya
terhadap Tomonari Itsuki.
“……Jika
kamu kalah dalam pemilihan... kira-kira, ekspresi seperti apa yang akan ditunjukkan orang itu, ya?”
Maki membayangkan wajah mantan mentornya
yang tidak akan pernah menoleh lagi.
Akademi
Kekaisaran sedang bersiap menghadapi pemilihan OSIS—.

