Chapter 8
Bermandikan
cahaya menyilaukan dari dua matahari—satu besar, satu kecil— Noble Lark melesat melewati gedung-gedung pencakar
langit di kota medis Farlance, terbang
bagai embusan angin bersama rekannya, Sang Juru Selamat Mesianik.
Hal yang
paling menonjol ialah sayap putihnya yang megah dan berwibawa. Masing-masing
sayapnya sepanjang tinggi badannya sendiri, mengepak kuat seolah terbang sudah
menjadi nalurinya. Matanya terpaku pada targetnya: Sang Pengganggu yang dikenal
sebagai Sylphie, yang bergerak dengan kelincahan tak wajar
menembus bentang alam di depannya. Beberapa saat yang lalu, dia menyerang salah
satu markas Mesianik di Farlance, menjatuhkan dua orang yang kembali. Dia sedang mengejarnya.
── Ini adalah Sisi Astral,
dunia spiritual. Sebuah saluran yang diakses oleh pasien CCD.
Misalnya saja Farlance, meskipun berbeda dalam tekstur dan kepadatan
struktur, tapi tempat tersebut mencerminkan tata letak kota
Kutsuna di dunia nyata. Rumah Noble Lark di Sisi Material berfungsi sebagai
markas bagi para Mesias di sini. Di sisi lain, SMA Iryoudai adalah benteng
tanpa pintu masuk yang terlihat. Namun, posisi umum di peta hampir identik.
Kemungkinan
besar, karena ada universitas kedokteran ‘di sana’, tempat ini
menjadi ‘Kota Medis’ di sini. Entah
karena
Sisi Astral merupakan manifestasi dari citra bersama kolektif penyelam,
pelengkap dari imajinasi masing-masing penyelam, atau dunia yang benar-benar
terpisah, hal itu masih menjadi bahan perdebatan bahkan di antara
para penyelam. Namun setidaknya, bagi Noble Lark—Sasuga Hibari—itu
adalah medan perang tempat dirinya dapat bertarung dengan
indra arah bawaan, betapapun kebetulannya hal itu.
“Dia
menuju ke area festival Farlance, Lark. Dengan kecepatanmu, kau seharusnya bisa
mendahuluinya. Kupikir kita bisa menjepitnya dari kedua sisi, tapi—”
Apa yang
akan ia katakan jika melihatku seperti ini?
Sembari
mengepakkan sayapnya di udara, Hibari berpikir demikian di dalam hatinya.
Penampilan
Noble Lark, gadis petarung seperti yang pernah dia gambarkan,
bagaikan sesuatu yang langsung muncul dari game atau komik: helm biru langit,
pelindung dada berkilap cermin dengan warna yang sama, baju zirah yang
dirancang untuk kelincahan di sekeliling tubuhnya, rok yang dirancang untuk
menangkis serangan, dan sepatu bot berbulu yang dirancang untuk menendang
langit. Senjata utamanya adalah tombak panjang yang kokoh. Rasanya hampir
menggelikan seperti cosplay—dia tak bisa menahan diri untuk tidak
merendahkan diri.
Bahkan di
dunia ini, akal sehat tampaknya masih meminjam dari Sisi Material. Jika kamu menyukai game, wujudmu mungkin
menyerupai karakter gim. Jika kamu menyukai musik, seperti
teman yang terbang di sampingnya, wujudmu mungkin menyerupai santo
musikal. Bagaimanapun, begitu kamu terbang di langit, kamu tak lagi terikat
oleh realitas.
(── Dia bilang itu awalnya
cuma sanksi
hukuman, bukan?)
Kilas
balik itu kembali menghantamnya—apa yang baru saja terjadi di Sisi Material.
Sebuah kenangan yang tak akan pernah dia lupakan, tak
peduli seberapa keras dia mencobanya.
Butuh
waktu lama baginya untuk menyadari bahwa dirinya telah dikhianati sejak
awal. Karena hatinya sudah begitu bergantung padanya sehingga tak bisa kembali
begitu saja.
Maka
kenangan yang terikat pada perasaan itu—begitu cemerlang, begitu indah—terlalu
berharga untuk sekadar dikunci.
“Ya.
Aku menyukaimu, Sasuga Hibari. Kamu unik—baik di dunia ini
maupun di Sisi Astral.”
── Hanya
satu kalimat itu saja yang
dibutuhkan untuk membuatnya jatuh
cinta pada Masaomi.
Sebut
saja dirinya bodoh, sebut saja dirinya naif—tapi cuma Masaomi
satu-satunya
pria yang
menerima Sasuga Hibari, dan Sisi Astral bersamanya.
Entah dalam
keadaan tertidur
atau terjaga, menyelam atau tidak, keberadaannya selalu menempati
bagian penting dalam benak Hibari. Sebagai kekasih. Sebagai
Guardian.
Masaomi
telah menjadi jangkar emosionalnya. Hibari tak tahu seberapa besar
perasaan itu telah benar-benar tersampaikan padanya. Karena
raut wajah Masaomi mustahil dibaca. Namun kehangatan yang dia rasakan setiap
kali mereka bersentuhan— itu nyata. Itu saja sudah
cukup untuk membuatnya percaya padanya.
Dan
sekarang dia harus menyegel kenangan berkilauan berwarna musim panas itu
bagaikan permata yang tersembunyi dari pandangan.
── “Dia hanya berkencan denganmu karena sanksi permainan atau karena rasa
kasihan, kan?”
Pengungkapan
yang menyakitkan dan kejam itu telah menghalanginya untuk menanyakan kebenaran.
Sebab
jika Masaomi tidak mengingkarinya—jika itu benar-benar hanya sanksi permainan—maka
semua yang ia katakan kepadanya hanyalah kabut gelap dan dusta yang dibangun di
atas tipu daya.
Dan
Sasuga Hibari… dia mungkin takkan pernah pulih dari keputusasaan itu.
“...Lark?
Hei, Lark? Kau dengar? Kalau kamu terus melamun seperti itu, para
Pengganggu akan melakukan apa pun yang mereka mau pada kita."
(Gawat.
Fokus. Aku harus fokus.)
“...Ya.
Aku baik-baik saja. Maaf. Tapi jangan ikut gerakan menjepit. Mungkin itu
jebakan yang dimaksudkan untuk memisahkan kita. Mari kita pertahankan jumlah
kita agar kita bisa bertahan jika memang begitu.”
“Siap.”
Meskipun Hibari
berusaha
tetap menjaga penampilannya, ia sepenuhnya sadar ia tenggelam dalam pikirannya.
Dan setiap kali pikirannya melayang ke masa lalu, rasanya seperti ada rasa sakit yang
tajam menusuk langsung ke pelindung dada yang dikenakannya.
Sisi
Astral ini—alam spiritual ini—merupakan tempatnya. Di mana ia dbisa menjalankan
misinya: mengoreksi tindakan egois para Pengganggu. Keyakinan itu tidak
berubah. Dia masih mengejar Sylphie, yang baru saja
menyerang salah satu markas mereka di Farlance. Setidaknya, itu benar.
Seharusnya begitu.
Namun—dia
masih saja meraih kebohongan manis itu.
Bisikan setan yang mengisyaratkan bahwa mungkin—hanya mungkin—dia
bisa menjadi “pacar normal.”
Dirinya telah
tergoda oleh aroma yang manis, namun, yang tertinggal di mulutnya sekarang
hanyalah rasa pahit yang luar biasa.
Pacar
yang normal—itu berarti meninggalkan Sisi Astral dan hidup di dunia nyata.
Dan
kenyataan bahwa keinginan seperti itu sudah tertanam dalam dirinya.
(—Meskipun pada awalnya aku
hanyalah seorang pacar karena sanksi permainan.)
Berpegang
teguh pada pikiran yang merendahkan diri itu hanyalah sebuah harapan
yang rapuh— “Ia
tidak pernah mengatakannya kepadaku secara langsung.”
Mungkin,
mungkin saja, itu bukan sanksi permainan. Mungkin ia benar-benar—
“Aku
melihatnya! Tempat festival!”
Suara rekannya memecah
lamunannya yang sunyi.
Lapangan
Festival Farlance merupakan replika dari Taman Atletik Kutsuna. Bila
dilihat
dari atas, lapangan itu merupakan alun-alun batu persegi panjang yang luas,
dikelilingi di keempat sisinya oleh dinding-dinding misterius yang dibangun
dari konstruksi batu yang tumpang tindih, mirip gerbang kuil. Hanya ada dua
pintu masuk—satu di depan, tempat Sylphie Pengganggu baru saja
melarikan diri, dan satu lagi di ujung yang berlawanan. Bagian tengah alun-alun
ditinggikan di atas tangga yang cukup curam untuk menguras tenaga hanya dengan
menaikinya. Tepat di tengah-tengah ketinggian itu terdapat sebuah peti batu
besar tanpa tujuan atau fungsi yang jelas.
“Persis seperti
perkataanmu.
Kita
benar-benar dipancing ke sini.”
Noble
Lark mengangguk.
Dari
balik peti batu raksasa—yang tingginya lebih dari dua meter—tiga Pengganggu
lainnya muncul, seolah-olah sedang menunggu mereka mendarat di dekat pusat
alun-alun. Fakta bahwa mereka sengaja bersembunyi agar tak terlihat dari udara
memperjelas: ini jebakan.
“Aku
sebenarnya tidak ingin bertarung di sini, tapi kurasa kamu tidak mau
mendengarkan alasan, kan?”
"Pertanyaan
bodoh sekali, kalian para Mesias. Memang, 'orang-orang' itu mungkin
berharga bagi kalian yang cinta keadilan—tapi bagi kami, mereka hanyalah 'benda'.
Kami tidak peduli berapa banyak yang terjebak dalam baku tembak. Ini mungkin
markas kecil kalian untuk saat ini, tapi menggunakan sandera? Wah, itu
kemenangan mutlak. Hahaha!”
Salah
satu Pengganggu yang baru datang mencibir dan mengejek mereka.
“Kamu tahu kan kalau
Farlance adalah wilayahku— wilayah kekuasaan Noble Lark ?”
“Noble Lark?! Salah satu dari Empat Kilatan Surgawi Bunga
Angin yang terkenal itu?!”
Ekspresi
mereka langsung berubah. Sejujurnya, gelar itu bukanlah sesuatu yang akan
dipilih Sasuga Hibari sendiri, tetapi entah ketenaran atau keburukan, jika itu
bisa digunakan sebagai senjata intimidasi, dia akan menggunakannya.
Persis seperti saat pertama kali menolaknya.
Dadanya
kembali berdenyut nyeri. Bahkan dengan baju zirah terberkati yang menangkis
sebagian besar serangan, baju zirah itu tak mampu menyembuhkan luka hati.
“Kalau
kita bisa mengalahkan orang sehebat dirinya di sini, kita akhirnya
bisa bebas bermain-main tanpa khawatir. Hei, cepat cari saja pasaknya—
kalian gak
mau dia panggil bala bantuan, kan?”
“Santai
saja. Kita berempat. Meskipun dia agak merepotkan, kita hanya perlu
menyelesaikannya sebelum dia meniup peluitnya.”
Mereka
mengobrol sependapat, tetapi tidak ada koordinasi yang nyata di antara mereka.
Hibari melirik tajam ke arah kelompok Pengganggu yang terpisah-pisah dan
mendesah jijik. Arogan sekali, berpikir mereka bisa menjebaknya hanya dengan
empat orang.
Ini
adalah markas Mesias—dan dia adalah Noble Lark , pelindungnya.
Menunggu
tanpa mengamankan taruhannya dulu? Itu kesalahan fatal.
“Mungkin
aku belum pernah mengatakannya sebelumnya, tapi Sisi Astral adalah tentang
kendali wilayah.”
Hibari kembali
mengingat
sesuatu yang pernah dia jelaskan kepadanya. Sambil menggelengkan kepala, dia mencoba
mengusir kenangan pahit-manis yang menyertainya.
Pertarungan
antara Mesias dan Pengganggu di Sisi Astral mungkin sekilas tampak seperti
pertarungan psikis, tetapi pada kenyataannya, pertempuran mereka lebih seperti
permainan perebutan wilayah.
Di zona
pertempuran khusus seperti arena festival ini, tim dapat menanam ‘pasak’ untuk
mendeklarasikan kendali markas. Menahannya selama lima belas menit akan
mengubah radius 500 meter di sekitarnya menjadi benteng mereka. Di dalam zona
tersebut, kemampuan akan diperkuat, sementara musuh akan dibatasi. Karena hanya
satu pasak yang dapat berada dalam radius yang sama, untuk merebut markas
musuh, diperlukan pembongkaran dan penggantian markas asli—diikuti dengan
pertahanan lima belas menit lagi. Bahkan ada teknik-teknik kecil tentang cara
menanam pasak dengan lebih efisien, yang semakin meningkatkan pengalaman
bermain.
Singkatnya:
pasangkan pasak terlebih dahulu, dan jadikan markas kapan pun ada kesempatan.
Bertarung hanyalah hasil sampingan alami dari proses itu.
“Tunggu
dulu. Orang berambut keriting itu lumayan, tapi Noble Lark ini —dia lumayan enak dipandang, ya?”
“Tidak
akan seburuk itu, kau tahu... menganiayanya secukupnya agar dia tidak
dipulangkan, dan membuatnya menjerit sedikit.”
“Benar,
kan? Senang melihatnya menangis dan memohon, lalu meremukkan wajahnya saat dia terpuruk.”
“Hah!
Dasar brengsek. Yah, aku memang mau menghajarnya habis-habisan, jadi cara mana
pun cocok buatku.”
Memang,
sebagian besar Pengganggu adalah orang-orang bejat yang menyimpang—egois,
kasar, dan kecanduan kekerasan pertempuran di Sisi Astral. Beberapa hanya ingin
melawan para Mesias. Yang lain ingin menghancurkan Sisi Astral itu sendiri. Dan
dampak dari tindakan mereka pasti meninggalkan jejak—besar atau kecil—di Sisi
Material.
Itulah
sebabnya para Mesias harus membersihkan mereka—demi menjaga
ketertiban. Dan terkadang, itu berarti merebut pangkalan musuh dengan paksa.
Gelar
bergengsi dan berlebihan milik Noble Lark—peringkat ketiga dalam Empat
Kilatan Surgawi Bunga Angin—merupakan hasil langsung dari serangan berulang
kali terhadap wilayah yang dikuasai musuh.
“Kalian sudah
selesai bicara?”
“Ya,
persetan dengan pasaknya. Ayo kita nikmati waktu kita bersama,
sayang."
Ada satu
aturan tak tertulis yang dianut oleh para Mesias dan para Pengganggu—
Jika kamu tak menyukai
sesuatu, hancurkan saja dengan cita-cita dan kehendakmu yang mahakuasa. Aturan
di dunia ini berbeda dengan ‘di sana’—jauh lebih
sederhana.
Dan bagi
Sasuga Hibari saat ini, kesederhanaan itulah yang dia butuhkan.
Cinta
atau benci, kebenaran atau kebohongan, ia atau dirinya—tak satu pun
yang penting.
Semua itu
hanyalah kebisingan yang menganggu pikiran.
“Baiklah
kalau begitu. Asal kamu tahu, suasana hatiku sedang buruk sekali sekarang. Aku tidak
akan menahan diri.”
Meski
gejolak berkecamuk dalam hatinya, bilah gambaran yang menembus pikiran Hibari
terus meluas.
Dia
menarik napas dalam-dalam.
Begitu
pertempuran dimulai, bimbingan roh akan menyulut panas dalam tubuh. Pikiran-pikiran
yang melayang akan berhamburan bagai kabut.
Genggamannya
pada tombak bergagang panjang itu semakin erat. Tak peduli bagaimana mereka
menyerangnya, dia bisa menepisnya. Keyakinannya membuncah tanpa henti,
perasaan mahakuasa menguasai hatinya.
Lalu—dia
membiarkannya begitu saja.
Ayunan
kasual. Tanpa gaya, tanpa hiasan.
Dan hanya
dengan itu, para Pengganggu di hadapannya tertiup pergi bagaikan daun yang
tertiup angin, tak bergerak sebelum mereka menyadari apa yang telah terjadi.
Hembusan
angin kencang merobek udara di belakang tombak itu. Baru sekarang angin menderu
menanggapi serangan dahsyat Noble Lark.
Tubuh
para Pengganggu tu memudar, tersapu arus.
Return —fenomena saat
otak penyelam lumpuh sementara akibat kerusakan berat, memutuskan hubungan
kognitif yang menyatukan kesadaran di Sisi Astral, dan secara paksa menarik
mereka kembali ke Sisi Material.
Keempatnya
pasti sekarang terjebak dalam tubuh berat mereka di dunia nyata, menderita
sakit kepala hebat dan mual.
Hibari
sendiri telah mengalami reaksi tidak menyenangkan yang sama berkali-kali.
“Kamu terlihat sedang
dalam kondisi sulit, Lark—tapi kamu hebat. Kupikir kita
mungkin perlu menanam kembali pasaknya kalau kita kewalahan,
tapi ternyata kamu sudah mengatasinya—benar-benar kewalahan.”
Ada taktik—seperti
‘bom’ dalam gim
tembak-menembak—di mana menanam kembali pasak di markas yang sudah ada akan,
lima belas menit kemudian, secara paksa mengembalikan semua
pasukan musuh di area tersebut. Namun, jika pasak itu dicabut saat pemasangan
ulang, markas tidak hanya akan kembali, tetapi juga membekukan pemain di tempat
selama tiga puluh detik. Sebuah langkah yang berisiko. Dan seperti yang
tersirat dari pujian rekan baiknya, taktik semacam itu bahkan belum terlintas
dalam pikiran mereka. Sebegitu dahsyatnya hal itu.
── Aku seharusnya tidak bisa melakukan ini
sebelumnya.
── Aku seharusnya memutuskan hubungan dengan
dunia ini dengan obat itu.
Dan
kemudian, seolah diberi isyarat, dia teringat percakapannya dengan Keiji, teman
Masaomi.
“Datanglah
ke belakang gedung olahraga sepulang sekolah. Kurasa kamu sudah bosan dengan
ajakan-ajakan seperti ini, tapi ada cowok di kelasku—Kusunoki—yang katanya
ingin membicarakan sesuatu denganmu.”
Pertama
kali, ia bertingkah seperti teman yang ikut campur dan mencoba
menjembatani pengakuan temannya.
"Jadi,
kudengar kalian berdua resmi pacaran. Selamat. Dan hei, dia bilang kamu mungkin
bisa bantu perawatan. Kedengarannya mencurigakan, kan? Aku mengerti. Tapi
intinya—keluargaku juga punya penyakit yang sama. Jadi, hei, kalau kamu pacar
temanku, setidaknya aku akan berusaha membantu."
Kedua
kalinya, sebagai teman sah pacarnya.
“Maukah
kamu mencoba menjadi pasangan 'normal' dengan Masaomi? Obat ini mungkin bisa
mewujudkannya.”
Dan yang
ketiga kalinya—ia memakai kedok dewa sekaligus iblis.
Meski
begitu, Keiji telah menjelaskan efek obat itu dengan sangat adil. Itulah
sebabnya Hibari tidak bisa langsung memutuskan. Dia terus bergelut
dengan obat itu untuk waktu yang lama. Mengabaikan berkali-kali Keiji
menghubunginya, menghindari tugasnya sebagai seorang Guardian
.
Kalau
dipikir-pikir lagi, mungkin itu tak lebih dari sekadar melarikan diri. Dia tak bisa
memahaminya. Apa semua yang ia ceritakan kepada Masaomi hanyalah kebohongan?
Atau hanya awalnya saja yang merupakan kebohongan? Atau mungkin... tidak ada
kebohongan sama sekali. Sekeras apa pun ia memikirkannya, ia tak menemukan
jawabannya. Lalu Keiji memberinya pilihan baru— obat —dan
pikirannya hampir hancur karena beban itu.
Misalnya,
anggap saja pengakuan itu memang
sanksi permainan.
Apa Masaomi
akan memilih versi Astral Diver-nya, atau versi ‘normal’-nya? Sasuga Hibari si gadis
aneh, atau Sasuga Hibari si
gadis biasa?
Seandainya saja dirinya normal, bahkan
jika awalnya hanya sankso permainan—bahkan jika semua yang dibangun
setelahnya palsu—mungkin dia bisa memulai lagi. Mungkin dia bisa menjadi pacar
normalnya.
(Kalau
begitu mungkin... aku harus—)
Jika dia
melepaskan Sisi Astral, mungkin dia bisa tetap di sisinya.
Keseimbangan
emosionalnya sudah runtuh. Begitu Hibari mulai berpikir seperti
itu, dia sudah selangkah lagi menuju jurang kehancuran.
Dan dari
situlah, kejatuhannya sudah ditentukan.
Gagasan
bahwa hubungan mereka hanyalah sanksi permainan, seperti yang
terlihat melalui mata teman-teman sekelasnya yang tidak berperasaan—entah benar
atau tidak—dia tidak lagi memiliki kejernihan mental atau emosional untuk
mempertanyakannya.
Jadi dia
berpegang pada bagian penjelasan Keiji yang mudah dipahami, membiarkan dirinya
bergantung pada kebutuhan emosionalnya, dan meminum obat itu.
(Demi
menjadi pacar yang normal.)
Pacar yang asli, bukan karena sanksi permainan.
Tetapi
bahkan saat itu—dia juga mendengar bagian yang tidak
menyenangkan.
“Hasil
bagi pasien yang mengonsumsi obat tersebut adalah…”
── Dalam kasus terburuk, mereka tidak akan
pernah kembali.
Hibari
menunduk menatap tangan yang menggenggam tombaknya. Bayangan apa yang baru saja
dia
lakukan beberapa saat lalu terputar kembali di benaknya.
Kekuatan
destruktif yang dilepaskan oleh satu ayunan tombak terasa luar biasa kuatnya,
seperti sesuatu yang langsung muncul di game. Tapi ini Sisi Astral—tak seorang
pun bertarung sesuai aturan realitas di sini.
Dan
terutama sekarang, arena festival ini berada di bawah kendali Messianik. Angin bertiup
sangat kencang mendukungnya.
Meski
begitu, dia seharusnya tidak memiliki kebebasan sebanyak ini.
Berarti, satu-satunya penjelasan yang tersisa ialah—
“Baiklah
sekarang… tampaknya kamu sudah 'terjatuh' cukup jauh, ya kan, Noble Lark?”
Seketika
dia
mendengar suara itu, kehadiran rekannya langsung lenyap.
Dia
melompat mundur secara naluriah—satu kepakan sayap putihnya melontarkannya
sejauh tiga meter.
Penyelam
baru yang baru saja mengembalikan seorang Messian
dalam satu serangan, bahkan tanpa menimbulkan teriakan, tidak mengejarnya.
Bahkan
dari jarak sejauh ini, bahkan tanpa melihat wajahnya—Hibari bisa merasakannya.
Senyum puas dan mengejek itu, penuh kegembiraan.
“Aduh,
dan tepat ketika kau akhirnya ingat namaku. Maaf, tapi kurasa sudah saatnya
kita akhiri hubungan kita yang rumit ini, Wind. Apa
aksi kecilmu itu dimaksudkan untuk menunjukkan kepercayaan diri?”
Wind
—yang
disebut-sebut sebagai bos para Pengganggu yang beroperasi di wilayah Farlance.
Hoodie indigo khasnya, dengan tudung yang ditarik rendah menutupi wajahnya,
begitu familiar dengan banyaknya bentrokan mereka sehingga Hibari bersumpah
untuk tidak pernah membeli pakaian berwarna itu, bahkan saat berada di Sisi
Material.
(── Aku sudah bilang begitu padanya, kan? Saat
kencan pertama kita.)
Hibari masih mengingat seberapa terkejutnya Masaomi dengan pernyataannya yang
tiba-tiba dan blak-blakan. Ekspresinya tak berubah, tetapi dia masih bisa
merasakan komentar bisu di matanya— “Kamu tidak perlu
mengatakannya sejauh itu juga kali”.
Ia
berusaha membuat kencan itu menyenangkan dengan caranya sendiri, dan saat itu,
ia bahkan belum siap menerima pertimbangan seperti itu.
Sekali
lagi Hibari menyingkirkan ingatan itu. Di mana pun dia berada, atau
apa pun yang dia lakukan, sosok Masaomi terus-menerus muncul di
benaknya.
Hibari
tak pernah membayangkan bisa begitu terpaku pada orang lain.
“Melamun
di depanku? Kamu cukup berani. Itu 'Pendalaman' yang luar biasa.”
Kaki Wind
yang panjang, terekspos oleh celana pendek berpotongan tajam, bergerak dengan
langkah berirama saat dia berbicara dengan nada seperti dia hendak bersiul.
“Sampai
sekarang, kamu hanyalah Messian menyebalkan yang terus muncul—tapi kalau gadis
setengah matang itu sudah sampai sejauh ini, mungkin aku akhirnya bisa
bersenang-senang. Aku muak terus-terusan diganggu di taman bermainku. Kupikir
sudah waktunya kita bereskan semuanya.”
Suara
tinggi dan serak yang familiar itu—suara yang sudah sering didengar Hibari.
Nadanya sopan, tetapi Hibari bisa dengan jelas mendengar nada merendahkan di
baliknya.
Seorang
penyelam berdandan aneh. Semua pertarungan mereka di masa lalu hanyalah
permainan baginya. Dia akan melawan Noble Lark sampai bosan—lalu
menghilang. Berkali-kali.
Dan dia bisa melakukan
itu karena kemampuannya yang luar biasa. Seorang penyelam dengan bakat yang
luar biasa dan sama sekali tidak peduli dengan Sisi Material, yang otaknya
mampu menahan penyelaman yang dalam dan lama. Itulah yang memberinya kebebasan
yang mengerikan.
Dan
sekarang, penyelam tingkat tinggi itu akhirnya menyadari Noble Lark sebagai
musuh yang layak dilenyapkan.
“Baiklah,
terima kasih. Aku merasa terhormat telah menarik perhatianmu.”
Menyentuh
lembut ornamen bersayap di helmnya, Hibari mengatur napasnya. Dia baik-baik
saja—ketenangannya belum hilang.
Dengan
kata lain, Noble Lark—Sasuga Hibari—kini telah diakui sebagai penyelam sejati
yang telah meninggalkan Sisi Material. Sebagai seorang Penyelam Astral, itu
hampir seperti pujian.
(──Lalu
kenapa... kenapa rasanya begitu menyedihkan?)
“Jika
aku mengalahkanmu, tak akan ada lagi Pengganggu di Farlance yang berani
menentangku. Setelah itu, mengubah dunia ini tak akan sesulit dulu. Aku akan
melindungi dunia yang kucintai—dengan caraku sendiri.”
(──Apa
itu... yang membuatku merasakan sakit ini?)
Emosi
yang mengkhianati kata-katanya bergema di hatinya seperti engsel yang
mengerang.
“Dan aku
penasaran, dunia manakah yang benar-benar kamu cintai?”
Usai mendengar
pertanyaan Wind, Hibari mendapati dirinya tersedak saat hendak menjawab. Sekali
lagi, dia tidak bisa langsung menjawab.
Sisi
Astral atau Sisi Material? Mengapa dia bahkan mencoba memenuhi misi Mesias? Apa
artinya semua itu?
Semakin
dirinya
ragu, keraguan itu semakin merasuk ke dalam hatinya bagai racun.
Jadi
Sasuga Hibari— Noble Lark —melakukan satu-satunya hal
yang bisa dia lakukan.
Dia
berhenti berpikir.
Untungnya,
Wind
memilih saat itu untuk berbicara lagi—
“Kamu sudah tidak membutuhkan Guardian-mu yang biasa lagi? Atau kau
sudah menyingkirkannya? Kecerobohanmu itu... membuatmu tampak lebih seperti
kami para Pengganggu, iya ‘kan?”
Krang.
Suara
mental terdengar di kepala Hibari—seperti bunyi palu baja yang dipukul.
Dia telah
disentuh di bagian yang seharusnya tidak disentuh.
Itu lebih
dari cukup untuk membuatnya meledak.
“Menjijikkan.
Semuanya. —Akan kuhancurkan semuanya.”
Tanpa
ragu, Noble Lark menancapkan kembali pasak itu ke
tanah di pangkalnya.
※※※※
“Aku
tidak keberatan kalau kamu ingin mengejekku, tapi menjelek-jelekkan
gadis yang tidak ada di sini itu tindakan yang payah.”
Dalam
suatu pertemuan acak di lorong, seorang anak laki-laki yang tidak disebutkan
namanya telah mengatakan sesuatu yang melekat dalam benak
Hibari
lebih dari yang seharusnya.
Dia sudah
terbiasa dihina seperti korban tabrak lari—kata-kata kasar dari
orang asing. Rasanya memang tak pernah enak, tetapi dia telah membangun
toleransi yang cukup untuk menepisnya dengan ‘sosok’ yang acuh tak acuh.
Itulah
sebabnya kata-kata itu—yang diucapkan secara kebetulan, diucapkan untuk
membelanya—tetap terkenang padanya.
Entah
siapa nama murid itu, pikirnya. Itulah betapa besar penghematan yang
telah Hibari dapatkan saat itu.
── Aku menang.
Bebas
dari emosi, tenang dan sabar, Noble Lark menilai situasi
secara objektif dan mencapai kesimpulan itu.
── Aku mengalahkan Wind—perwujudan
kekerasan, kekejaman, dan badai.
Senjata Wind ialah tongkat
sepanjang lengannya, seperti tongkat konduktor. Dengan
senjata tersebut,
dia
bisa melepaskan ledakan kejut seperti gelombang yang menyapu semua yang ada di
jalurnya—seperti sihir angin versi terpelintir. Kepribadiannya
yang ceria dan sadis semakin mempertegas citra ‘karakter kuat’-nya. Dia sering menyerang
sambil menyeringai, tangan di saku, hanya untuk pamer.
Namun,
begitu dia mencabut tongkat itu, bencana selalu datang. Setiap kali dia menggunakannya
untuk berperang, kehancuran pun mengikutinya.
Namun—kali
ini—berbeda.
Mungkin
tidak seimbang, tapi mereka bertarung. Mereka berdua enar-benar
bertarung.
Hampir
seperti semakin Hibari membenci dunia nyata, semakin kuat dia jadinya—sebuah
sistem yang ironis dan menyakitkan.
“Aku
sudah menyukaimu sejak lama. Ayo, berpacaran denganku. Aku
mohon padamu.”
Siapa
yang mengatakan hal seperti itu dengan wajah datar?
Itu bukan
kegugupan. Itu juga bukan keseriusan. Nada bicaranya sungguh berbeda—mustahil
diungkapkan dengan kata-kata.
Dia
langsung menyadari bahwa itu anak laki-laki yang sama. Apa ia
membelaku karena menyukaiku? Tidak... sepertinya bukan
dmeikian.
Wajahnya tidak menunjukkan apa-apa.
Hibari
mungkin berharap, mungkin, akan sesuatu yang berbeda. Tapi tak cukup untuk
mengharapkannya.
── Itu hanya pola lama yang terulang lagi, pikirnya pada dirinya sendiri.
“Nah,
sekarang aku mengerti. Tombakmu yang tak terkalahkan itu—sangat mengesankan.
Kurasa gelarmu sebagai salah satu dari Empat Kilat Surgawi Bunga Angin bukan
lagi sekadar isapan jempol belaka.”
“Jika
hanya itu yang kamu punya, kamu boleh menangis setelah kamu Dikembalikan —!”
Wind tidak meremehkan Pendalaman milik Noble Lark —sama sekali
tidak. Dia telah menembakkan gelombang kejut dengan
tongkatnya sejak awal.
Namun,
setiap kali Noble Lark menyerang dengan tombaknya, dia dengan mudah
menangkal serangan Wind—persis seperti yang dikatakan oleh kekuatannya
yang luar biasa.
Dan
ketika dia mengejarnya, Wind selalu mundur ke jarak aman.
Meskipun mampu menciptakan penghalang gelombang kejut untuk menetralkan hampir
semua serangan, dia tetap menjaga jarak.
Hal menunjukkan dia sekarang menganggap tombak Noble Lark
sebagai ancaman sesungguhnya.
“Kamu
terus bertingkah seolah-olah tidak ada yang akan memahamimu.
Berhentilah."
Perkataan Masaomi sangat mengena hatinya.
Hibari
meyakinkan dirinya sendiri bahwa, seperti biasa, tak seorang pun akan pernah
memahaminya. Bahwa keadaannya tak akan pernah berubah.
Dia
ingin seseorang memahami Sisi Astralnya, jati dirinya yang aneh dan tak mudah
dipahami, yang hanya bisa disebut ‘denpa’. Namun, dia telah mengubur
keinginan itu sendiri, menyangkalnya sebelum orang lain bisa.
(── Mungkin… ini baik-baik saja.)
Itu
pertama kalinya dia merasakan hal itu. Rasa panas menjalar di
dadanya begitu kuat hingga dia ingin berteriak. Rasanya seperti kebohongan.
Mustahil untuk dipercaya.
Namun,
ketika menoleh ke belakang—Hibari menyadari bahwa dia
mungkin telah jatuh cinta pada saat itu juga.
“Wind, mungkin kamu
agak ceroboh kalau ini tantangan yang kamu anggap remeh. Sepertinya waktunya
anginmu mereda akhirnya tiba!"
Pertarungan
telah lama berlangsung di udara. Sebuah pertarungan tiga dimensi yang
sesungguhnya. Sejauh apa pun Wind mundur, sayap putih
Hibari mampu menutup jarak dalam sekejap.
Dia
mengayunkan tombak besarnya dengan mudah, tak memberi Wind kesempatan untuk
membalas. Bahkan di tengah gerakan yang begitu dahsyat, tudung kutukan Wind tak
pernah lepas—bukti bahwa itu bukan pakaian asli, melainkan desain avatar yang
sengaja dipilih.
(── Waktunya habis, pengecut bersembunyi di
balik tudung.)
Kecepatan,
kekuatan, dan tekad yang tak kenal takut—setiap elemen telah diasah hingga
setajam silet.
Tanpa
memikirkan pertahanan, hanya mengarahkan serangannya ke depan, Noble Lark menghitung waktu di dalam kepalanya. Dua belas
menit sejak pertempuran dimulai. Tiga menit lagi dan pasak akan terpasang
kembali sepenuhnya. Setelah itu, area tersebut akan diselimuti oleh penghalang
khusus Mesias.
Dan
kemudian, penyelam mana pun yang ditetapkan sebagai terlarang
dari area tersebut—termasuk Wind—akan dipulangkan secara
paksa .
“Maksudmu
itu bahkan tidak terlihat di wajahku? Wah, agak mengejutkan. Aku
bersenang-senang, lho.”
Perkataannya masih saja terdengar membual,
pikirnya
sambil merasa sedikit merajuk.
Masaomi
selalu bersembunyi di balik ekspresi yang tak terbaca itu, membuat
Hibari
terus menebak-nebak—selalu membuat jantungnya berdebar kencang karena
ketidakpastian.
Beberapa
kebiasaan sudah terlalu mengakar. Dia tidak bisa begitu saja memercayai semua
hal.
Tapi
meski begitu—saat-saat ini, menghabiskan waktu di Sisi Material, berbagi
segalanya tentang Sisi Astral dan dirinya sendiri—
Itu
adalah kenangan paling berharga yang dimilikinya.
Hibari
tidak dapat menahan diri untuk tidak semakin jatuh cinta padanya.
“Nagi,
ya? Aku benci itu. Aku benci kata itu, dan aku bahkan benci perasaan
membencinya.”
Dia
mungkin seorang gamer, pikir Noble Lark. Maksudku, Penyelam
Astral pertama.
Di dunia
di mana realitas dikesampingkan, seseorang dapat menggunakan kekuatan yang tidak
nyata, menegaskan dominasinya dengan teman-temannya—seolah-olah dalam sebuah
permainan.
Sama
seperti yang dilakukannya sekarang.
“Yah,
kalau terus begini, aku pastinya akan terdorong keluar.”
Walaupun
nyaris tak mampu menahan gempuran badai Noble Lark—yang diperkuat oleh
restu markasnya—Wind masih memperlihatkan senyum puas yang
menyebalkan di sudut mulutnya.
Bahkan
dengan hukuman bertempur di dalam benteng musuh, dia tetap mempertahankan sikap
itu. Lebih buruk lagi—
“Biar aku
tanya lagi—apakah kamu benar-benar baik-baik saja tanpa Guardian-mu ?”
Brak.
Bentak
Noble Lark.
Hanya
menyebutkan hal itu saja sudah cukup untuk membuatnya kalut dan jijik.
Jika Wind berani menyentuh
ingatan itu— ingatan sanksi
permainan itu —untuk kedua kalinya…
“Beraninya kamu!”
Meski
tahu betul kalau itu ejekan yang memancing, Hibari tidak bisa
mengabaikannya.
Dia ingin
menusukkan tombaknya ke mulut yang menyeringai itu dan menempelkan kepala Wind
yang terpenggal di pangkalan mereka sebagai peringatan.
“Jangan
khawatir, oke? Aku Guardianmu. Aku siap mendukungmu... jadi santai saja.”
Masaomi
menerima tawaran menjadi Guardiannya
seperti
sebuah lencana kehormatan.
Tak
peduli Hibari merupakan orang macam apa—Masaomi akan menerima
semua sinyal “denpa”-nya dengan kepekaannya yang tenang dan sabar.
Karena
itu …
Untuk sesaat, pemikiran
itu terlintas— mungkin tidak akan terlalu buruk jika Sisi Astral menghilang
seluruhnya.
Dan itu
membuatnya merasa seperti sedang menyangkal masa lalunya sendiri—dirinya yang pernah
menolak Sisi Material.
Emosinya
jungkir balik, berputar-putar di otaknya bagai sumsum tulang yang dikeruk.
Racun tajam memurnikan pikirannya, menimpa inti dirinya dalam sekejap.
Dia
membantin tutupnya rapat-rapat, mengubur keinginan samar dan tak berarti itu ke
dalam lubang ingatannya.
Dia
selalu tahu kebenarannya. Dia tak perlu ragu.
Pacar biasa? Versi Sasuga Hibari tanpa Sisi Astral? Yang
tidak bisa memancarkan sinyalnya?
Mana
mungkin versi itu bisa sampai ke hatinya.
Jadi
versi dirinya saat ini—yang semakin terpuruk—adalah satu-satunya
jawaban yang tepat . Satu-satunya yang bisa membalas orang yang
menjadikannya pacar dalam sanksi
permainan.
Karena—
Sekarang,
tidak ada lagi yang dapat dilakukan selain mempercayainya.
Tombaknya
semakin tajam, seolah bereaksi terhadap emosinya. Semakin tajam dan runcing, Hibari menjelma menjadi
predator dalam nama dan wujud, menerjang penyelam yang menyandang nama angin.
Dan
akhirnya—dia menangkap ekor Wind.
Tombaknya
merobek sisi jaket berkerudung itu.
Bahkan
senyum puas Wind pun membeku—setidaknya begitulah yang terlihat.
Hibari
akhirnya berhasil menembus penghalang Wind yang seharusnya tidak bisa
ditembus—pertahanannya yang tak terkalahkan, kini retak.
Senyum
buas tersungging di bibir Noble Lark. Bagaimana mungkin dia tidak tertawa?
Semua
kenangan indah nan beracun yang telah menggerogoti pikirannya—sudah saatnya
untuk mengakhirinya.
── Di dunia ini, aku akan mengklaim segalanya.
Dia akan
menumbangkan bahkan sosok yang sangat kuat, dan berkuasa penuh atas Sisi
Astral.
Jadi rasa
sakit di dadanya, kerinduan akan dunia lain itu—
“Semuanya
──── mendingan
menghilang sajaaaaaa!!”
Tombaknya
menerjang udara, menembus angin, menuju sumber penderitaannya, untuk melahap
musuh di hadapannya—
“ ── Maaf,
tapi sayang sekali. Kamu membiarkan kakimu terbuka lebar.”
Tiba-tiba,
berkah dari pangkalan itu lenyap.
Tombaknya,
yang tumpul dan memendek, bergerak lebih lambat daripada yang diinginkan bayangannya.
Karena perlindungannya hilang, serangannya tersendat—ditolak oleh penghalang Wind sekali lagi,
kekuatannya terkuras.
Berkah
telah hilang. Sebuah kebuntuan yang fatal. Pembekuan yang Dipaksa.
Sialan,
gerutunya
dalam hati.
Sensasinya
terasa familier. Hibari tahu persis apa yang terjadi— pasaknya telah ditarik.
Karena dia terlalu fokus pada kebenciannya, pada keinginannya untuk
menghancurkan Wind, hingga dia mengabaikan musuh yang tersembunyi.
Dia
telah melupakan esensi dunia ini: ini adalah permainan perebutan wilayah.
Menghancurkan kepingan hanyalah cara—bukan tujuan.
Noble
Lark,
yang terobsesi untuk menghancurkan Wind, telah kehilangan pandangan terhadap
kebenaran tersebut.
Dan tentu
saja, itu berarti pancang baru telah ditanam—oleh para Pengganggu.
Tiga
puluh detik yang terasa seperti selamanya itu mencekik Noble
Lark, seolah mengejek rasa urgensinya yang semakin kuat untuk bertindak
cepat. Kegelapan—sentuhannya yang meraba dan membelai—menggerogoti sayap,
anggota tubuh, dan cita-citanya, membuatnya melayang di udara dalam posisi yang
mengerikan, seolah-olah dia terpaku di tempat, tak mampu menggerakkan satu otot pun.
Sekalipun ia ingin membebaskan diri, inti jiwanya—esensi Penyelamnya—telah
tertusuk dan tertelan oleh pedang terkutuk. Sebuah ikatan yang dipaksakan oleh
aturan dunia.
Dia
menyesal tidak memanggil Penyelam lain saat tempat ini masih menjadi markasnya.
Tapi semuanya sudah terlambat. Begitu suatu lokasi tidak stabil,
pemanggilan tidak mungkin lagi. Dengan kata lain—tidak akan ada bala bantuan.
“Sepertinya
sayapku terlalu berat… untuk mengembalikanku menjadi 'Nagi' saja,
bagaimana menurutmu?”
Sebelum
pikirannya sempat memproses kata-kata itu, tubuhnya yang tak berdaya—masih
terikat oleh efek tiang pancang—terbanting ke tanah.
Tubuhnya
yang telah melayang lebih dari sepuluh meter di udara, tiba-tiba jatuh. Tak ada
waktu untuk mengepakkan sayap—hanya jatuh langsung ke Ground Zero. Benturan
dahsyat itu, cukup kuat untuk menghentikan jantungnya dalam sekejap, menggores
medan perang suci dan meremukkan tubuh Noble Lark sepenuhnya.
“Gah—!”
Seluruh
oksigen terkuras paksa dari paru-parunya. Didera rasa sakit dan penderitaan
yang mendalam, Hibari terengah-engah. Zirah gadis perang itu hancur
berkeping-keping, dan rambutnya yang berlumuran darah kebiruan keperakan
terurai dari celah-celah helmnya. Lengannya—bahkan ujung jarinya—menolak untuk
merespons, seolah lumpuh oleh rasa tak berdaya yang luar biasa.
Dari
sudut pandangnya yang datar, dia melihat tombaknya, yang telah lama terlempar
dari tangannya, lenyap seiring hancurnya bayangan yang seharusnya terurai.
Sejujurnya, sungguh ajaib dia masih bisa mempertahankan posisi
loncatnya dalam kondisi seperti ini. Cepat atau lambat, Noble
Lark sendiri pasti akan terlempar dengan paksa.
“…Haa…
agh… haah…!”
Dipadukan
dengan erangan terengah-engah yang mencabik jiwanya, ada perasaan yang tak
terelakkan bahwa seseorang sedang mendekat. Siapa pun orangnya, mereka tidak
dibekukan paksa—jadi kemungkinan besar mereka bukan sekutu. Artinya, orang yang
mencabut pasak itu pasti Sylphie
si Pengganggu.
Pada saat
yang sama, rasa terikat oleh sulur-sulur gelap itu lenyap. Tiga puluh detik
pasti telah berlalu. Namun, kerusakan mental yang dideritanya begitu parah
sehingga dengan atau tanpa tiang pancang, itu tak banyak berpengaruh.
Sambil
menggertakkan giginya untuk menahan rasa sakit, dia mengangkat wajahnya—dan
menatap ke arah orang yang telah mencabut pasak itu.
Dia
bahkan lupa akan hangatnya darah yang mengalir di dahinya, dan menghembuskan
napas terakhirnya sambil tersentak kaget.
“K-Kamu…
Kenapa…?”
"Kenapa?
Bukankah sudah jelas? Lagipula, ia adalah Guardianku.”
Wind
menjawab
pertanyaan Noble Lark , tetapi hampir tidak terdengar
di telinganya.
Karena
satu kenangan tunggal telah menguasai seluruh pikirannya.
Kata itu
— Nagi —diucapkan oleh Wind untuk mematahkan
keinginannya.
Dia
pernah mendengarnya sebelumnya. Nama saudara perempuannya. Nama seseorang.
Seorang pasien CCD. Ketiga kalinya. Sebuah percakapan. Tentang dia. Dari
temannya.
── Adik perempuanku juga menderita penyakit yang
sama. Namanya Nagi. Orito… Nagi. ──
Jadi
begitulah,
pikir Noble Lark —tidak, Sasuga Hibari akhirnya
mengerti.
“Orito…
kun…?”
Masih di
bawah tatapan Wind, orang yang kini berdiri kokoh di
jalannya— Guardiannya —memakai wajah
yang tak lain adalah Orito Keiji.
Rambutnya yang panjang,
berwarna cokelat yang dicat sempurna, sedikit bergoyang, dan di telinganya,
anting-anting berkilau merah seperti matahari terbenam. Guardian yang berdiri di
sana dengan pakaian kasual—begitu canggung hingga terasa surealis—tidak
menjawab.
Karena para Guardian tidak memiliki
kehendak mereka sendiri. Kecuali Wind memerintahkan mereka untuk
berbicara, mereka takkan bersuara. Mereka hanya bergerak
atas kehendak majikannya, menjadi pedang atau perisai sesuai kebutuhan.
Tak lebih dari sekadar teman yang hampa dan tak bernyawa.
Bahkan
Keiji yang dikenal Hibari pun tak pernah memiliki tatapan kosong seperti
itu. Tatapan itu mungkin terbakar oleh rasa frustrasi, tetapi tatapan itu juga
menyimpan keyakinan teguh setiap kali ia berinteraksi dengannya.
Sesuatu
dalam dadanya bergejolak—rasa sakit yang menusuk dan menusuk yang tidak ada
hubungannya dengan tubuhnya yang terbanting ke tanah.
(Aku
menggunakannya dengan cara yang sama... jadi mengapa?)
Mengapa
versi Keiji ini tampak… menyedihkan baginya?
“...Jadi
kalian saling kenal di sana. Harus kuakui, itu bukan bagian dari rencana.”
Sama
sekali tidak menyadari siksaan batin yang dialami Sasuga Hibari, Wind mendarat dengan santai di samping Guardiannya
dengan
sikap percaya diri, seolah-olah semua itu tidak berarti apa-apa.
“Dia
Guardianku. Namanya Oracle. Ia adalah satu-satunya
makhluk yang bisa memberiku 'Kemenangan'. Sebuah simbol harapan itu
sendiri. Tidak seperti yang asli dari
sisi
sana.”
Saat dia
mengucapkan ‘hal yang asli,” sebuah distorsi tersungging
di
bibirnya—sebuah emosi yang tidak dapat dia sembunyikan tertanam dalam ingatan
Hibari.
(Dia
pasti meninggalkan sesuatu yang berharga di dunia nyata juga...sama sepertiku.)
“Oracle
tidak akan mengkhianatiku. Dan dia tidak akan pernah kalah. Ia Guardian terkuat. Itulah sebabnya aku menyegelnya sampai
sekarang. Karena kalau tidak... semuanya akan terlalu mudah.”
“Kesombongan
seperti itu… akan membuatmu terbunuh.”
“Itu
bukan kesombongan. Itu namanya ketenangan.”
Dikatakan
bahwa kekuatan seorang Guardian sebanding dengan
kekuatan ikatan mereka di dunia nyata.
Hubungan
antara Wind —Orito Nagi—dan kakak laki-lakinya
Keiji masih belum jelas.
Tapi bagi
Wind untuk memperlihatkannya dengan begitu berani… dia
pasti cukup percaya diri untuk menghancurkan Noble Lark tanpa
usaha.
"Baiklah.
Ini agak mengecewakan, tapi aku akan tetap menggunakan pangkalan ini selagi aku
di sini.”
Dengan
senyum penuh kemenangan yang mengembang di bibirnya, Wind mengeluarkan perintah kepada Oracle.
Tanpa
senjata, Oracle dengan santai mengangkat satu kaki
untuk memenuhi perintah tuannya.
Tak
mungkin ini sekadar ketukan ringan untuk menyatakan kemenangan. Jika ia masih
bisa menyebut dirinya ‘yang terkuat’ bahkan tanpa
senjata, maka serangan ini pastilah sebuah serangan mematikan—ledakan dan
mutlak.
Noble
Lark menutup
matanya tanda menyerah.
Kalau dia
diusir dari sini, markas ini pasti akan jatuh ke tangan pasukan Sylphie
si Pengganggu. Hanya itu saja sudah membuat frustrasi.
Namun,
yang lebih menyakitkan adalah kesadaran yang terpendam—bahwa tanpa seorang Guardian, dia bahkan tak bisa
melukai Wind. Bahwa kekalahannya segampang ini.
(Bahkan
setelah meninggalkan kenyataan… jarak sejauh ini masih tetap ada di antara
kita. Ah… entah di sisi sana maupun
sisi ini… aku hanyalah orang yang setengah-setengah)
Hibari menyadari kalau dirinya egois. Dia sendiri yang salah paham,
terbawa suasana, lalu kecewa dan membuang segalanya. Namun, emosi yang memenuhi
hatinya yang hancur sama egoisnya dan mustahil dihentikan.
(Suaranya yang mengatakan ia
menyukaiku. Kehangatan tangannya di kulitku, seolah berusaha menyembunyikan
detak jantungnya. Wajah lelaki yang berbagi frekuensi yang sama.)
“Selamat
tinggal, Noble Lark . Sebelum medan perang
berikutnya... Kuharap kamu jatuh lebih dalam lagi, oke?”
Saat
tongkat Wind terayun ke bawah, tekanan mematikan yang
dapat menghancurkan jiwanya mendekat.
Namun,
sesaat sebelum keinginan itu sampai padanya, Noble Lark —Sasuga
Hibari—membisikkan keinginannya dengan napas tegang.
“Masaomi-kun
──────── tolong
bantu aku—”
“Oke.”
Suaranya sampai
padanya.
Dan
begitulah, sosok mematikan yang siap mengakhiri hidupnya tak
pernah menyentuh Noble Lark.
“…Hah?”
Dia
mengerjap tak percaya, menatap sosok yang menolak pengusiran paksa dirinya.
Bahkan
sebelum dia mendongak, dia sudah tahu pasti siapa orangnya.
“Hei,
Keiji. Kamu benar-benar cowok yang paling parah kalau di sini lagi coba tendang
pacar orang lain. Aku yang tendang. Enggak—aku baru aja tendang.”
Kusonoki Masaomi berdiri di sana, berbalut kesetiaan untuk melindungi
semua yang ada di belakangnya. Suaranya hanya terdengar oleh Sasuga
Hibari—dalam gelombang suara yang sangat pribadi—saat ia melangkah ke tanah
Sisi Astral seolah-olah tanah itu bukan apa-apa.
Itu
wajahnya yang biasa dan dapat diandalkan.
Dan
terlepas dari segalanya, detak jantung Hibari berdebar begitu kencang hingga
tak kunjung tenang. Sakit. Sakit… namun tetap saja membuatnya bangga.
Punggung
itu—berdiri di sana untuk melindunginya dari setiap bencana—merupakan wujud sempurna
dari seorang Guardian bagi Noble Lark.
Mungkin itu hanya pandangan biasnya. Mungkin itu terlalu berlebihan dalam memuja diri sendiri. Namun hal itu tidak membuatnya menjadi kurang benar.

