
Chapter 7
“Ohhh…”
Entah
kenapa akhir-akhir ini aku jarang menghubungi Hibari.
Sembari
menatap ke luar jendela, ke arah gerimis yang menambah kelembapan musim panas
yang sudah lengket, Masaomi bermalas-malasan di sofa dua dudukan di ruang tamu,
memainkan ponselnya, pikiran itu terus berkelebat dalam benaknya.
Saat itu
tanggal 15 Agustus. Waktunya berada di tengah-tengah Obon, dan liburan musim
panas hampir berakhir. Setiap pagi, Masaomi akan bangun, memacu semangatnya
untuk menyelesaikan tugas-tugas yang sudah menumpuk dari semester sebelumnya—atau
mungkin tugas-tugas itu menjadi penjaga gerbang menuju semester baru—hanya
untuk kemudian langsung kehilangan motivasi dan kembali ke ruang tamu. Itulah
ritual musiman yang telah ia jalani sejak SD. Sambil
Mengenakan kaus dan celana pendek yang santai, bermalas-malasan seperti ibu
rumah tangga di sore hari, ia melahap Happy Turns.
Mau
bagaimana lagi—Hibari lebih penting daripada PR. Meski itu cuma alasan lemah
untuk mengalihkan pandangan dari bencana yang mengancam, ia tak kuasa menahan
diri untuk memiringkan kepala dengan ragu. Mungkin itu sebabnya bubuk Happy
Turn yang misterius, yang menyumbang 90% rasa mereka (menurut Masaomi), tidak
terlalu laris hari ini.
“Ehhh…”
Mengingat
kembali kencan di pantai itu—yang akhirnya menjadi kunjungan tak terduga
pertamanya ke rumah Hibari—semuanya berjalan baik-baik saja untuk sementara
waktu. Memang, ada beberapa gangguan karena penyelaman Hibari, tetapi mereka
tetap bisa berhubungan. Percakapan manis yang hanya bisa dilakukan pasangan
yang tenggelam dalam dunia mereka sendiri. Ada banyak sekali riwayat percakapan
mereka di riwayat obrolannya. Masaomi punya kebiasaan membacanya
berulang-ulang dengan seringai menyeramkan di wajahnya. Mohon maafkan dirinya atas hal itu.
Namun,
sekitar awal Agustus, keadaan mulai berubah. Sejak saat itu, balasan Hibari
menjadi sangat jarang. Dia bukan tipe yang suka kegiatan klub, jadi rasanya
tidak masuk akal jika dia lebih jarang merespons sekarang dibandingkan sebelum
liburan musim panas. Hal itu membuat Masaomi ingin memiringkan kepala
dan bertanya-tanya apa yang sedang terjadi.
Jumlah
bekas lukanya juga berkurang…
Ada rumor
bahwa Noble Lark—pengguna ‘Guardian’ yang dikenal karena
amukannya di dunia lain—cukup ceroboh. Dan sejak ia mulai berpacaran dengan Hibari,
tubuh Masaomi dipenuhi bekas luka pertempuran. Namun belakangan, bekas luka
itu—bukti aktivitas Guardian-nya—hampir tak terlihat lagi.
“Hmm…”
Namun,
frekuensi menyelam Hibari tidak teratur dan tidak jelas. Jika dia hanya
berkata, “Terkadang memang begitu,” Masaomi mungkin akan
menerimanya. Dirinya tidak ingin dicap sebagai “pacar yang terlalu
posesif” karena mengeluh tentang kurangnya balasan. Itu
juga sebagian karena harga diri—Masaomi tidak sanggup mengatakan sesuatu yang
terdengar lemah seperti “Dia belum membalas.”
Mana
mungkin Hibari main-main. Mana mungkin dia mulai mengabaikannya hanya karena
dia menemukan pria lain.
Ya,
benar… seolah-olah aku bisa bersikap angkuh dan acuh tak acuh tentang hal ini. Dia, sederhananya, lemah.
Maka, dua
minggu pun berlalu, keraguannya perlahan muncul di permukaan, tetapi tak pernah
diungkapkannya dengan lantang.
“Haaa…”
Bahkan
sekarang, ia membuka LINE dan menatap pesan terakhir, masih ditandai sudah
dibaca tapi tak terbalas. Pesan itu memang sudah dibaca —jadi
Hibari
pasti sudah melihatnya. Dia tidak meninggalkan ponselnya begitu saja. Ia juga
tidak melewatkannya saat tidur. Jadi mungkin pesan itu sulit dibalas? Apa
dirinya
mengatakan sesuatu yang membuatnya kesal? Atau mungkin Hibari frustrasi karena
ia sama sekali tidak melakukan apa-apa, dan ini hanyalah protes diam-diamnya?
Mungkin ini wajar saja? Tapi fakta bahwa ia terlalu banyak berpikir seperti ini
justru menunjukkan betapa menyedihkan harga dirinya sebenarnya.
“Hei,
Nii.
Bisa enggak kamu berhenti bersuara 'oh yeah ah huh'? Kamu
merusak waktu minum teh barley-ku yang menyenangkan.”
“Kapan
aku bilang 'oh yeah ah huh'? Aku bukan anggota band BUMP OF CHICKEN.”
“Kamu
sering bilang begitu akhir-akhir ini. Ngomong-ngomong, apa itu 'bump'?”
Serius?
Masaomi mengerang tak percaya—karena dua alasan. Pertama,
rupanya ia memang mengatakannya . Dan kedua, Hinata
tidak tahu apa itu BUMP OF CHICKEN. Bahkan tinggal serumah, hal-hal yang
ingin kau bagi tak pernah tersampaikan, dan hal-hal yang tak ingin kau lakukan,
entah bagaimana tersampaikan. Ini rumit.
“Ngomong-ngomong,
bagaimana dengan klubmu hari ini—oh, benar juga.”
“Yap.
Hujan, jadi aku latihan sendiri. Kupikir aku akan memanfaatkan kesempatan ini
untuk menyelesaikan semua PR-ku dan menjadikan hari ini sebagai hari peringatan
'misi selesai'.”
Berbeda
dengan Masaomi yang lebih suka mengerjakannya di menit-menit terakhir,
adik perempuannya, Hinata merupakan pelajar teladan. Dia sudah mengerjakan
sebagian besar tugasnya sedikit demi sedikit selama jeda kegiatan klub, dan
hari ini tampaknya sudah menyapu bersih PR terakhir.
“Tidak
adil. Menyelesaikan PR-mu tanpa memberi tahuku. Aku bahkan belum menyentuh
PR-ku.”
“Yah,
kamu menghabiskan waktumu berpelukan dengan pacarmu dan cengengesan seperti orang
bodoh. Jadi, siapa yang sebenarnya tidak adil di sini?”
Kebenarannya
yang blak-blakan itu cukup menyakitkan.
“...Yah,
kalau kamu lagi ada masalah, kurasa aku bisa bantu. Kalau
kamu sampai nangis minta nasihat ke Hinata-sama, mungkin aku
mau dengerin. Hmm? Gimana?”
Dia
bersikap sangat sombong.
“Ini
bukan masalah serius. Sekarang pergilah, shoo~shoo.”
“Ini
rumahku,” geramnya sambil menghentakkan kaki ke arah sofa.
Tanpa
berpikir panjang, ia memberi ruang untuknya. Yang, sungguh, seperti pengakuan
kekalahan dalam hati.
Apa
dia baru saja mandi pagi? Aroma sampo yang jauh lebih mahal daripada sampo
Masaomi menggelitik hidungnya. Ada kalanya adiknya pernah menyabuni kulit
kepalanya dengan sampo yang sama yang digunakan ayah mereka dan Masaomi,
menggosoknya tanpa ampun. Tapi anak perempuan—makhluk yang disebut ‘wanita’—tumbuh begitu
cepat. Mereka meninggalkan anak laki-laki yang selamanya kekanak-kanakan.
Bahkan saudara laki-laki yang tinggal serumah pun tak mampu mengimbangi
kecepatan pertumbuhan mereka atau memahami apa yang ada di benak mereka.
Apalagi
seseorang yang bahkan tidak tinggal serumah.
“Kamu
dari tadi ngeliatin ponselmu terus. Cerita aja, deh. Enggak ada gunanya
pusing mikirin cewek—lagian kamu enggak akan ngerti. Oh, aku
mau ambil giliran yang menyenangkan.”
Hinata,
yang menikmati Happy Turn seperti hal yang paling wajar di dunia, mendapat
protes diam-diam dari Masaomi.
“Mm.
Biaya konsultasi.”
Dengan
tawaran absurd itu, protesnya segera berubah menjadi persetujuan diam-diam.
Sebuah langkah mundur yang strategis, mungkin begitulah.
Masaomi
mulai berbicara, menyusun berbagai hal dengan lantang, meninjau kembali
rangkaian kejadian terkini.
Bagi
Masaomi, hal tersebut mungkin kelihatan biasa-biasa, tapi mungkin—mungkin
saja—adik perempuannya, sebagai sesama perempuan, bisa menyadari sesuatu yang
lebih bermakna. Itulah alasan yang cukup untuk menelan sedikit harga
diri seorang kakak dan mendengarkan pendapatnya. Yang penting adalah
Hibari—bukan Masaomi. Itulah intinya.
Hinata,
dengan kuncir kuda pendeknya yang bergoyang-goyang, mendengarkan sambil
bertubi-tubi “oh yeah” dan “ah huh”, memberikan
respons penuh ala BUMP. Akhirnya, dia sampai pada kesimpulan
sederhana.
“Pasti ada
sesuatu yang terjadi.”
“Sudah kuduga, memang begitu, ‘kan? Mungkin itu hanya kebetulan—”
“Dua
minggu sudah cukup untuk apa pun terjadi, oke? Orang-orang bahkan bisa jatuh
cinta dengan orang baru dalam waktu itu. Dan jika bahkan kamu
—yang bukan orang yang paling perhatian atau bijaksana, dan agak
berpenampilan sedang—mengatakan ada yang terasa janggal, maka ada yang
benar-benar janggal.”
Cara adiknya menyatakannya
dengan tegas membuat mustahil untuk membantahnya, dan setiap upaya
Masaomi
untuk mengatakan “wajahku tidak ada hubungannya dengan hal ini” pun
gagal.
“Jika ada
sesuatu yang salah, kuharap dia mau bicara padaku.”
“Dasar bego.”
Hinaan
terus terang itu menghantamnya jauh lebih keras dari yang diduganya.
“Dia
enggak mau membicarakannya denganmu karena dia nggak bisa. Entah itu sesuatu yang enggak mungkin bisa
kamu perbaiki, atau dia enggak mau membuatmu khawatir. Atau mungkin...
itu salahmu. Mungkin salah satunya, ya?”
“Salahku?
Mana
mungkin... mana mungkin, kan?"
“Jangan
tanya aku,” kata Hinata dingin. “Telepon dia. Ayo, telepon dia.”
“Sudah
kubilang, dia tidak mengangkatnya.”
“Tinggal lakukan
saja apa susahnya!”
Mendapat
tatapan mematikan adiknya, Masaomi dengan enggan menekan
tombol panggilan. Seperti yang diharapkan, Hibari tidak menjawab.
“Dia
tidak mengangkatnya.”
“Enggak
masalah! Kamu harus terus meneleponnya! Tunjukkan
kalau kamu peduli! Itulah yang seharusnya dilakukan pacar!!”
Diceramahi
seorang siswi SMP—yang bahkan belum pernah punya pacar—tentang bagaimana
seharusnya seorang pacar bersikap memang agak konyol, tetapi cara bicara Hinata
yang blak-blakan itu sungguh berbobot.
“Kamu
harus memberitahunya kalau kamu khawatir. Ada
beberapa hal yang takkan tersampaikan kecuali kamu mengatakannya dengan
lantang.”
Hinata
tiba-tiba berubah serius saat mengatakannya. Memang benar. Tanpa bersuara, Masaomi sama
sekali tidak memahami Hibari. Dan ke depannya, mungkin akan sama saja.
Menjadi
tipe kakak laki-laki yang tidak punya harapan yang harus diajari hal itu oleh
adik perempuannya, ya... ya, itu masuk akal.
“Gadis
memang menyebalkan.”
“Mana
ada yang namanya gadis yang nggak menyebalkam. Tahu nggak sih? Yang
begituan
cuma gadis yang 'gampangan'. Dan enggak ada yang
suka omongan kayak gitu.”
Benar
juga. Sejauh menyangkut hikmah yang didapat dari Happy Turns, yang satu ini
ternyata sangat mendalam.
“Oh,
ngomong-ngomong—hei, Nii, tunjukkan fotonya. Foto pacarmu.”
“…Kenapa?”
“Diam
dan tunjukkan saja padaku. Sejak kapan kamu berilusi bahwa Happy Turns adalah
satu-satunya biaya konsultasi?”
Ini sih pemerasan, pikirnya. Tapi Massaomi tidak keberatan
memamerkan pacarnya. Malahan, dirinya agak bangga akan hal
itu.
“Di sini.
Lihatlah kehebatan Sasuga Hibari.”
"Wah,
dia benar-benar bidadari... Pucat sekali! Kurus sekali! Astaga, Nii, kamu
benar-benar berhasil. Aku hampir terkesan. Tapi juga: nggak mungkin.”
Dia
menunjukkan foto Hibari dalam balutan baju renang dari liburan pantai mereka
(diambil dan dibagikan dengan persetujuan penuh), dan Hinata bereaksi seolah
baru saja menerima pukulan telak dari petinju profesional. Rasanya memuaskan.
“Baiklah,
terima kasih. Aku sendiri masih setengah tidak mempercayainya, tapi ini seperti
mimpi yang jadi kenyataan.”
“Mm-hmm,
mm-hmm,”
dia
mengangguk cepat, seperti boneka rusak. Perbedaan penampilan itu sungguh terasa
mendalam bagi Masaomi. Tak ada gunanya melawannya.
“Tapi
hei, punya pacar itu bukan masalah besar. Bukannya itu wajar?”
“Ugh, kamu
menyebalkan sekali.”
Masaomi sadar diri kalau dirinya mungkin menyebalkan, jadi mungkin komentar
terakhirnya hanya keceplosan.
“Maksudku,
fakta bahwa gadis secantik itu jadi pacarmu saja sudah membuatnya
benar-benar tidak normal. Kamu bertingkah seolah
terobsesi untuk menjadi 'normal' atau semacamnya, tapi akhirnya kamu jadi beneran
orang
aneh.”
Itu terasa
menghantamnya dari yang dibayangkan.
Hinata
mungkin tidak bermaksud apa-apa, tetapi kata-katanya terasa seperti menusuk
langsung pada kontradiksi yang ada dalam diri Masaomi sendiri.
Ia berusaha keras untuk berpegang teguh pada gagasan menjadi “normal”, hanya untuk
berakhir menjadi sesuatu yang tidak normal. Yang, jika dipikir-pikir, berarti
mungkin apa yang "abnormal" sebenarnya adalah apa yang normal
baginya.
Dan seriusan, seberapa
berbedanya hal itu dari keseluruhan teori Sisi Astral Sasuga Hibari tentang
alam mental?
“Sekarang
kamu harus benar-benar berusaha sebaik mungkin. Kamu takkan pernah bisa
melihat wanita cantik seperti itu lagi. Tidak mungkin. Jangan
biarkan dia pergi.”
“Kamu terlalu
berlebihan. Dan kamu menekanku jauh lebih keras dari biasanya.”
“Habisnya…”
Hinata
ragu sejenak, lalu mengangguk dengan tekad.
“Kamu
terlihat sangat bahagia akhir-akhir ini.”
“Yah,
ya... Maksudku, punya pacar memang bisa begitu. Sama halnya dengan mencari
teman, ‘kan?”
“Tidak,
bukan seperti itu,” kata Hinata sambil menggelengkan kepalanya.
“Kamu
kelihatan asyik ngobrol sama Kei-chan dan Kasuka-chan juga, tapi itu... kelihatan
dangkal.
Kamu kelihatan cuma ngejalanin rutinitas sehari-hari aja. Nggak
ada suka dukanya. Agak dingin, ya? Dan di rumah juga begitu, sejak kecelakaan
itu.”
Tapi
sekarang, setelah punya pacar—ada sesuatu yang berubah. Itulah yang dikatakan
adiknya.
Sebagai seseorang yang memiliki ikatan darah, dan sebagai seseorang
yang telah mengenalnya lebih lama daripada siapa pun, Hinata bisa melihat
perubahan dalam diri Masaomi.
“Kalau
begitu, mungkin memang begitulah adanya… Aku, terlihat bahagia, ya.”
“Tepat
sekali. Makanya, apa pun yang terjadi, jangan menyerah. Aku lebih suka versimu
yang ini daripada yang dulu. Maksudku, caramu panik dan panik setiap kali
terjadi sesuatu—lucu banget ditontonnya.”
“Bagian
terakhir merusak momen yang seharusnya menyenangkan.”
Masaomi
memutuskan untuk tidak menegurnya karena dia terus-terusan
memalingkan muka dengan canggung. Itu adalah tindakan belas kasihan seorang kakak.
※※※※
Sayangnya
bagi kebanyakan siswa di [Klub Langsung
Pulang], SMA Afiliasi
Universitas Kisaragi Iriyo mewajibkan hari sekolah selama liburan musim panas.
Masaomi, seorang anggota yang bangga dengan kelompok non-klub yang suka berada
di dalam ruangan, selalu merasa terganggu dengan gagasan bersekolah selama
liburan.
Namun
musim panas ini, ia malah menyambutnya. Karena itu berarti dirinya mungkin bisa menemui Hibari di
sekolah.
Sejak
Hinata memberinya kata-kata penyemangat itu, Masaomi berusaha keras untuk lebih
sering menghubunginya. Namun, Hibari terus membiarkan pesannya terbaca, dan
akhirnya, ia memutuskan untuk langsung pergi ke kediaman Sasuga.
Dengan
Hinata yang mengacungkan jempol penuh kemenangan saat ia
keluar, dan dengan kenangan menggendong Hibari pulang hari itu yang berkelebat
di benaknya, ia pun berangkat. Setibanya di sana, ibu Hibari menyambutnya di
pintu.
Sama
seperti hari itu, dia masih terlihat sangat muda—dan hari ini, dia tersenyum
dengan sangat dipaksakan.
“Dia bilang dia tidak ingin bertemu denganmu sekarang, oke? Dia tadi
memasang wajah sumirngah, 'Aku sangat senang~', tapi tiba-tiba dia jadi
merajuk. Apa kalian berdua bertengkar atau apa?”
“Tidak, kami tidak pernah... setahuku tidak.”
“Kalau
begitu suasana hatinya lagi tidak mendukung saja. Cewek itu bisa
susah diatur. Jangan menyerah padanya, ya?”
Dari
sikap ibu Hibari, sepertinya tidak ada masalah yang berarti. Ia tidak curiga
ada pengkhianatan dari Masaomi dan sepertinya menganggap semua itu karena emosi
Hibari. Ia bahkan terkekeh dan berkata, “Kamu masih muda—bertengkar
dan berbaikan merupakan bagian masa muda,” seolah-olah dia menikmati
dramanya.
Itulah sebabnya, Masaomi mundur untuk saat ini. Setidaknya ia tahu Hibari
tidak terluka atau sakit. Dan mengingat betapa keras kepalanya Hibari,
menerobos masuk sepertinya tidak akan menyelesaikan apa pun. Hubungan mereka
sudah cukup lama sehingga Masaomi setidaknya bisa membaca suasana hatinya.
Itulah yang membawanya hari ini—hari sekolah selama liburan musim panas.
Hibari merupakan
murid
tipe yang serius. Kalau saja dia tidak sakit, mungkin dia akan muncul. Mungkin
setengahnya hanya karena harga diri—menolak orang lain mengira dia kalah—tapi
itu tetap kesempatan.
Masaomi
melamun di tengah pengumuman dan jam pelajaran setengah hari—pengingat tak berguna
yang hanya ada di hari-hari libur sekolah musim panas—dan meninggalkan kelasnya
begitu kelas berakhir. Ia sempat ragu sejenak untuk langsung pergi mengunjungi kelas Hibari,
tetapi menegurnya lewat teman sekelasnya terasa menyebalkan. Lebih parahnya lagi,
kalau Hibari kabur saat itu, dirinya akan celaka. Jadi ia
langsung menuju ke kelas lain yang asing baginya.
Atau
mencoba.
“Ah… kamu
lagi. Tuan Terlambat.”
“…Hah?”
Nadanya
terdengar kasar dan dingin, nyaris mengancam. Bukan hanya karena ekspektasinya hancur—tetapi
juga karena suara itu tak lain milik Kajiura, gadis yang sama yang pernah
menghina Hibari sebelumnya.
“Wah,
serem banget~ Apa aku melakukan sesuatu? Kayaknya nggak? Jadi kenapa aku harus
dipelototin kayak gitu~?”
“Aku
tidak ada urusan denganmu, aku tidak melotot, dan kau tidak melakukan apa-apa.
Jadi, bisakah kau minggir saja, Lupin Ketiga?”
“Kalau
kamu sedang
mencari Fujiko-chan kesayanganmu, dia tidak ada di sini. Kau masih berencana
masuk, Tuan Terlambat?”
Nada mengejeknya
saat Masaomi mencoba menerobos memang terang-terangan, tetapi dia sama sekali
tidak peduli dengan sikapnya. Yang penting adalah informasi penting yang baru
saja dia bocorkan.
Masaomi
berhenti, menarik napas, dan mencoba menjaga nadanya sesopan mungkin saat
bertanya:
“Dia
tidak ada di sini? Dia tidak datang hari ini?”
“Kamu
pacarnya dan kamu bahkan tidak tahu itu? Wah. Ya, dia bilang dia sedang tidak
enak badan atau apalah, lalu pergi ke ruang UKS pagi-pagi sekali. Entah
itu penyakit yang dibuat-buat atau cuma dramatisasinya, tapi sejujurnya, dia
tidak merasa buruk, tapi dia hanya suasana hatinya saja sedang buruk. Seperti, auranya benar-benar buruk. Kalau dia seperti
itu, seharusnya dia di rumah saja. Dia juga merusak suasana hatiku
, tahu?”
Semuanya bisa kelihatan jelas dari setiap kata dan gesturnya bahwa dia sedang mengejek
Hibari—dan lebih tepatnya, Masaomi. Tapi mengamuk di sini tidak akan
menyelesaikan apa pun. Entah bagaimana, mungkin berkat kepribadiannya yang
disebut ‘penyabar’ yang pernah disebutkan Hibari, Masaomi berhasil tetap
tenang dan melanjutkan percakapan.
“Aku
cuma menggodanya sedikit, tapi dia langsung marah. Kayaknya aku menyinggung
perasaan, ya? Lihat, lihat lenganku—dia mencengkeramku kuat sekali.
Aku benar-benar berpikir dia akan mematahkannya. Gadis itu bukan cuma aneh, dia
juga kasar. Kayak, psikopat banget—aduh, aduh! Lupa kalau kamu juga salah satu
dari mereka. Maaf ya, lidahku memang tajam, tapi nggak ada perasaan
dendam, oke? Serius, aku serius.”
Satu-satunya
alasan Masaomi tidak melancarkan pukulan adalah tekadnya yang
kuat. Sebuah keajaiban, sungguh. Hibari sama sekali tidak ingin kondisinya
memburuk. Hanya itu yang mencegahnya meledak. “Bertemperamen tenang”? Sama sekali
tidak.
“Apa
sebenarnya yang kamu 'godakan' padanya?”
"Oh,
aku kebetulan lihat kalian berdua mesra-mesraan di hari liburmu. Dan tahu
nggak, aku agak jengkel juga kalau cewek yang cuma cantik dapat pacar, padahal
aku nggak punya. Jadi aku bilang, 'Kamu mungkin pacaran sama dia cuma karena
kasihan atau karena kamu kalah taruhan atau apa,' terus—Oi! Jangan langsung
pergi di tengah obrolan, itu nggak sopan banget !”
Masaomi
sudah cukup mendengar. Lebih dari cukup, sungguh—dirinya
bahkan
tidak yakin bisa sanggup mendengar lebih banyak lagi.
Dengan paksa
menyingkirkan gadis itu dari pikirannya, Masaomi langsung menuju ke kantor
perawat.
Monyet
bermulut kotor itu masih berteriak-teriak di belakangnya, tetapi dirinya tidak peduli.
Mengabaikan
aturan ‘dilarang berlarian di lorong’ yang terkesan tak berarti,
ia berlari cepat ke ruang UKS—hanya untuk diberitahu oleh perawat
sekolah bahwa Hibari sudah pulang. Ia menggertakkan giginya frustrasi.
Perkataan
jahat Kajiura terhadap Hibari lebih dari sekadar tidak tepat—itu benar-benar
kejam. Dan tak disangka dia berani mengatakan semua itu di depan orang yang dianggap
pacar Hibari. Namun, meskipun begitu, Hibari yang Masaomi kenal—Hibari yang
bertingkah angkuh di sekolah—tak akan gentar dengan hinaan remeh seperti itu.
──
Setidaknya,
begitulah Hibari yang biasanya.
Namun
kali ini, dia justru balik membalas. Dia
bahkan
mencengkeram lengan Kajiura dengan keras.
Tindakan tersebut benar-benar bukan seperti dirinya. Sama
seperti bagaimana perilakunya akhir-akhir ini yang tidak beres.
Ada
sesuatu yang penting yang terlewatkan olehnya.
Masaomi
tidak tahu apa yang bisa dilakukannya. Namun, dengan begitu sedikit teman atau
kontak, tidak banyak tempat yang bisa dituju Masaomi.
Dalam
upaya terakhir, ia mengeluarkan ponselnya dan hendak menelepon Keiji, si
berandalan yang membolos sekolah lagi hari ini.
Saat
itulah ia mendengar—
“Oh?
Masaomi, kupikir kamu sudah pulang.”
Dengan nada santai
seperti biasanya, Kasuka tiba-tiba berdiri di depannya.
Entah
mengapa, pada saat itu, bagi Masaomi, penampilan Kasuka tampak seperti
shinigami berjubah putih, yang mengayunkan sabit besar dengan kegembiraan yang
polos.
※※※※
──
Wow…
Masaomi, kamu kelihatan sangat menakutkan saat
ini.
Hari
sekolah biasa saja, dan Kasuka datang sangat terlambat—seolah-olah
itu sudah biasa. Begitu tiba, sekolah sudah bubar, jadi dia memutuskan
untuk berjalan-jalan santai di kampus. Dia tidak ingin kembali
ke dalam
kelas dan tidak menemukan siapa pun di sana, dan dia sungguh
tidak ingin dimarahi karena terlambat. Kemampuannya untuk melupakan masa
lalu dan melanjutkan hidup dengan cepat mungkin salah satu dari sedikit
kelebihannya.
Saat
berjalan-jalan di dekat ruang UKS, Kasuka tak sengaja
bertemu Masaomi. Anggota Oriks yang biasanya tenang itu memasang ekspresi muram
dan tampak seperti hendak menelepon.
──
Mungkin
dia bosan tanpa Keiji, yang benar-benar membolos hari ini seperti yang dia
katakan?
Jika
Keiji melewatkannya, Kasuka menduga dia mungkin ‘ada di sana’. Tapi Masaomi
mungkin tidak tahu tentang ‘ada di sana’. Dan Keiji pernah
memberi tahu Kasuka untuk tidak memberi tahu kecuali seseorang bertanya.
──
Kuharap ada sesuatu yang dapat kulakukan untuk
membantu.
Dia
tak bisa bercanda dengan Masaomi seperti Keiji. Itu membuatnya merasa sedikit
tak berguna—dan mungkin itulah sebabnya kedua anggota Oriks itu seperti objek
penghormatan baginya.
“Kasuka?
Ngapain kamu di sini—ah, iya juga. Kamu telat hari ini, kan? Terlambat banget,
ya.”
“Hehe~” Kasuka tertawa
malu, tetapi Masaomi tidak tersenyum balik sama sekali.
“Kamu
kelihatan sama seperti Sasuga-san tadi di gerbang sekolah…”
Reaksi
Masaomi begitu cepat hingga Kasuka yang tadinya riang pun terkejut, matanya
terbelalak.
“Kamu
melihat
Hibari? Di gerbang sekolah? Kapan? Dia mau ke mana? Seperti apa ekspresinya?”
Kasuka
terkejut dengan intensitas pertanyaan itu, seolah-olah Masaomi akan mencengkeram
kerah bajunya kapan saja. Berusaha keras untuk mengimbangi situasi, dia terbata-bata
tetapi berhasil menjawab, berpikir bahwa, untuk saat ini, dia hanya perlu
menjawab permintaan Masaomi.
“Eh,
aku melihatnya waktu aku terlambat ke sekolah. Aku tidak melihat jam, tapi
kurasa sekitar dua puluh atau tiga puluh menit yang lalu. Aku menyapanya, tapi
kurasa dia tidak mendengarku—dia tidak menjawab. Aku juga tidak tahu dia mau ke
mana. Tapi...”
“Tapi
apa? Apa
pun boleh. Katakan saja apa yang kamu pikirkan. Kumohon.”
“Dia...
Sasuga-san tampak seperti sedang menangis.”
"Begitu
ya... Ya, masuk akal. Orang-orang menyebutnya aneh dan sebagainya. Tapi dia kan
cuma gadis seusia kita. Tapi... kenapa dia tidak mau minta tolong padaku?"
──
Aku
belum pernah melihat Masaomi seputus asa ini sebelumnya.
Bahkan
saat dia berusaha keras untuk menjawab rentetan pertanyaan Masaomi
yang tak henti-hentinya, sebagian kecil pikiran Kasuka melayang ke arah pikiran
itu.
Saat
bertemu dengannya, Masaomi sudah sering bergaul dengan Keiji, tapi Keiji tidak
terlalu ramah atau mudah didekati. Bahkan sekarang, Keiji bukanlah tipe orang
yang mudah akrab dengan orang lain.
Ia
memiliki rentang emosi yang sempit dan jarang meninggikan suaranya. Ia
terkadang mengatakan hal-hal konyol, tetapi matanya tak pernah benar-benar
tersenyum. Ia menjalani setiap hari dengan tenang dan tak terpengaruh,
berbicara dengan nada yang sama, hampir seperti mengikuti semacam program yang
memberi tahunya apa yang harus dilakukan. Begitulah sosok
Keiji
di mata Kasuka, meskipun kesan Keiji tentangnya tampak berbeda.
Untuk
seseorang seperti Kasuka, yang tak bisa menyembunyikan emosinya sekeras apa pun
dia
berusaha, sikap Masaomi terasa aneh. Seolah ada sesuatu yang hilang
darinya—suatu emosi spontan yang esensial. Bahkan, dia pernah
menyaksikan Keiji berpura-pura menjadi garis keras tetapi tak mampu menjaga
ketenangan, setelah menatap kucing liar selama dua puluh menit penuh.
Ia pernah
mengungkapkan kesannya tentang Masaomi secara langsung. Saat itu, Masaomi
berkata, “Aku memang
memikirkan banyak hal, tapi pada akhirnya, itu terlalu merepotkan, jadi aku
tidak menunjukkannya di wajahku.” Kasuka juga
percaya itu. Mungkin dia hanya... canggung.
Dan
sekarang, Masaomi yang sama itu pun putus asa.
Dirinya pasti sangat
peduli dengan Sasuga Hibari.
Pada awalnya
ia bilang itu cuma sanksi hukuman, tapi akhirnya Masaomi serius dan tulus
menyukainya.
Ya...
Benar. Ngomong-ngomong soal permainan hukuman, ekspresi Hibari tadi—
Ketika
aku bertemu Sasuga-san di Rumah Sakit Iryoudai tempo
hari dan memberitahunya bahwa Masaomi mulai
menembaknya dan berpacaran dengannya karena
sanksi
hukuman—dia juga menunjukkan ekspresi yang sama di wajahnya.
Pipi
Masaomi berkedut mendengarnya, lalu tubuhnya menegang, seolah-olah ia telah
berubah menjadi batu oleh semacam mantra yang membatu. Matanya, seperti biasa,
tidak tersenyum.
"...Tunggu.
Tunggu sebentar. Kasuka, apa cerita itu benar?”
“Iya.
Sasuga-san memang cantik waktu nangis, tapi... menurutku dia masih jauh lebih
manis waktu senyum, jadi aku mau dia bahagia.”
“Bukan
itu,” kata Masaomi, bahunya gemetar saat menatap Kasuka. Atau lebih
tepatnya, tatapannya seperti tatapan tajam—tatapannya begitu tajam hingga
Kasuka mulai merasa cemas, bertanya-tanya apakah ia telah melakukan kesalahan
besar. Tidak—mungkin saja ia telah melakukan kesalahan. Masaomi selalu benar.
Artinya, Kasuka-lah yang salah.
“Kamu
bilang awalnya itu sanksi hukuman? Kapan itu? Kamu bilang ke Hibari?”
“Y-Ya.
Itu sekitar awal Agustus. Aku sudah mengatakannya dengan jelas. Tapi aku juga
bilang padanya sekarang, kamu serius, benar-benar mencintainya.”
“Waktunya
cocok… Dan meskipun kamu mengatakan itu, dia menangis?”
“Aku
tidak melihatnya menangis, tapi... mungkin dia tidak mendengar apa yang
kukatakan. Wajahnya tiba-tiba memucat, dan dia tampak seperti hendak menangis,
lalu pergi begitu saja.”
Masaomi
terdiam, mendongakkan kepalanya ke arah langit. Kasuka sekarang
merasa yakin—dia telah melakukan sesuatu yang mengerikan.
“Ma-Maaf, Masaomi. Aku
mengatakan sesuatu yang tidak seharusnya, kan? Aku benar-benar minta maaf.”
Masaomi
terdiam sejenak, berpikir keras, lalu akhirnya berbicara.
“Tidak...
bukan
apa-apa. Ini bukan salahmu. Akulah yang harus disalahkan.”
“Itu
tidak mungkin benar. Kalau Masaomi terluka, itu
pasti salahku.”
“Tidak.
Bukan begitu masalahnya, Kasuka. Kali ini, semua ini—itu
sepenuhnya salahku. Jadi, jangan khawatir. Kamu tidak melakukan kesalahan apa
pun.”
Jawabannya
datar dan hampa seperti saat mereka pertama kali bertemu. Sebaliknya,
bagi Kasuka, hal itu terasa seperti dia sedang dengan paksa menekan ledakan
emosi yang mengancam akan meluap.
Jadi
Hibari menjauhiku karena itu. Dia menderita selama ini...
“Hei,
apa sesuatu terjadi pada Sasuga-san? Dia
menghindarimu, jadi mungkin itu karena aku—”
"Sudah
kubilang itu bukan salahmu, kan? Kalau salah, aku pasti sudah menghajarmu
sekarang juga. Tapi sejujurnya, aku lebih suka menghajar diriku sendiri.”
“Jangan
lakukan itu. Keiji pasti akan mengejekmu.”
“Itu akan
menjadi yang terburuk,” jawab Masaomi, suaranya benar-benar dipenuhi rasa
jijik.
Melihat
kilatan emosi itu, Kasuka yakin. Pada akhirnya, satu-satunya yang benar-benar
bisa menyentuh Masaomi... ialah Keiji. Itu bukan tempatnya.
Lalu
siapakah yang bisa menghubungi Keiji saat dia sendiri yang menderita?
Pertanyaan
itu terlintas di benaknya—tapi ia tahu Masaomi bukanlah orang yang bisa
menjawabnya. Artinya, Kasuka juga tidak tahu. Jika hubungan mereka tidak
berjalan baik hanya antara dirinya dan Masaomi, atau antara dirinya dan
Keiji...
“Hei,
Masaomi. Kenapa tidak coba tanya Keiji? Sasuga-san
bilang dia pernah bertemu dengannya sebelumnya, jadi mungkin ia tahu sesuatu.”
Sekali
lagi, seolah-olah ada yang telah menyihir Masaomi.
“Tunggu
sebentar. Maksudmu Hibari bilang begitu waktu kamu bertemu
dengannya
di rumah sakit?”
“Ya.
Katanya ada yang pernah mengobrol dengannya sebelumnya.
Katanya dia agak liar.”
“Aku
belum pernah dengar yang seperti itu. Baik dari Hibari... maupun dari Keiji.”
“Benarkah?”
Menanggapi
pertanyaan sederhana dan tulus Kasuka, Masaomi mengangguk perlahan. Lalu,
setelah jeda sejenak, dia menanyakan sesuatu.
Kasuka
tahu jawabannya. Tapi ia kesulitan.
Kalau itu
yang diminta Masaomi, ia tak akan ragu—bahkan sedetik pun. Kasuka memang
seperti itu.
Tapi kali
ini... pertanyaannya berbeda. Dia tak bisa menahan keraguan.
Dia
gelisah memikirkan hal itu—gelisah lagi dan lagi—hingga akhirnya, dia
memberikan satu jawaban.
Ada satu
orang lagi yang berdiri di tempat yang sama dengan Masaomi. Selama keduanya
menghadap ke arah yang sama, Kasuka tak perlu meragukan apa pun, apa pun itu.
Namun
jika mereka berbalik menghadap arah yang berbeda—
Kalau
begitu Kasuka tidak akan tahu pilihan mana yang tepat.
Dan itu,
baginya, merupakan jenis dilema yang benar-benar biasa.
Tapi
Masaomi tidak sedang menatap Keiji. Ia sedang menatap Sasuga Hibari. Meski
Keiji tidak ada di sana saat ini, hatinya tertuju padanya. Dan Keiji—ia mungkin
juga sedang menatap orang lain selain Masaomi.
Jika
memang begitu... maka mungkin Kasuka dapat melihat sesuatu yang tidak dapat
mereka berdua lihat.
“Hei,
Kasuka. Soal kejadian di rumah sakit... bisa ceritakan apa yang kamu tahu
tentang Keiji? Dan kenapa kamu sampai menyinggung soal sanksi
hukuman
itu pada Hibari?”
Awalnya,
Masaomi mengira dirinya salah mendengar jawabannya.
Ia sudah
terbiasa, tapi suara Kasuka, sesuai namanya, terdengar pelan—begitu samar
sehingga mudah terlewat jika ia tidak memperhatikan. Mungkin ia kurang fokus.
Atau mungkin ia lebih gelisah secara emosional daripada yang disadarinya. Atau
mungkin... ia hanya tidak mempertimbangkan kemungkinan jawaban itu.
Tapi itu
hanya alasan.
Masaomi
memang mendengarnya. Dirinya hanya tidak mau mempercayai apa yang
didengarnya, dan berusaha meyakinkan dirinya sendiri bahwa dia salah dengar.
Itulah sebabnya,
Masaomi
pun bertanya lagi padanya—kali ini, memastikan bahwa dia tidak akan memberi
dirinya alasan apa pun, mendengarkan dengan saksama, bertekad untuk tidak
melewatkan satu kata pun.
Namun
tentu saja jawabannya tidak berubah.
Kasuka—sesama
Oriknya, teman yang dihormatinya, seseorang yang, dalam beberapa hal, bahkan
seperti wali baginya—tanpa diduga, telah menolak permintaan
Kusunoki Masaomi.
── “Karena aku disuruh diam
saja. Jadi, aku tidak bisa bicara.”