Epilog — Aku Sekali lagi disuruh menjadi ‘Guardian’ oleh Gadis Halu
Pemandangan
yang pernah dilihat di suatu tempat. Sebuah pemandangan yang terpatri kuat di
benak dan tak pernah memudar.
Itulah
pemandangan musim panas yang mirip sinyal nyentrik.
Seperti
biasa, area di belakang GOR sekolah tampak berantakan dan tak terawat. Insinerator
masih teronggok di sana seperti sebelumnya, dan cahaya merah darah dari
matahari terbenam, seperti hembusan terakhir matahari itu sendiri, kini bahkan
lebih singkat daripada sebelumnya. Hal itu semakin menambah nostalgia yang
sunyi. Bahkan suara gagak, meskipun menyeramkan, kini terdengar seperti lagu
tambahan dramatis yang membangun klimaks.
Sasuga
Hibari berdiri di sana, sama seperti yang dilakukannya hari itu.
Kusonoki
Masaomi berdiri di sana, persis seperti yang dilakukannya hari itu.
Tetapi
perasaan yang berputar-putar di dalam hati mereka berdua
sepenuhnya
berbeda.
Masaomi,
berdiri di hadapan seorang gadis yang tidak berubah sedikit pun sejak hari itu—masih
secantik dulu—hanya bisa merasakan ketegangan yang menyakitkan.
※※※※
Ketika
Masaomi kembali dari Sisi Astral ke Sisi Material dan tersadar kembali, ayah
Hibari memasuki ruangan hampir di saat yang sama. Tepat satu jam telah berlalu.
Sebuah janji suci.
Ia tidak
ingat posisi apa yang ia tempati sebelum mengonsumsi obat itu, tetapi
tampaknya, ia telah menyelam sedemikian rupa sehingga
setengah badannya menindih badan Hibari yang sedang tidur di tempat tidur. Melihat
kejadian malang itu, kesan ayah Hibari terhadapnya pun hancur total.
Jika
Hibari tidak kembali tak lama kemudian, laporan polisi bukanlah hal yang
mustahil.
Ketika
ibu Hibari tiba dengan panik setelah mendengar cerita itu, dia memeluk Hibari
dengan erat bak pegulat profesional. Setelah Masaomi berhasil membuktikan bahwa
tidak ada hal yang tidak senonoh terjadi, ayah Hibari-lah yang tersisa dan
meminta maaf sedalam-dalamnya. Suasananya sungguh heboh.
Entah itu
efek samping obat atau akibat dari penyelaman yang lama, Hibari tetap dalam
keadaan linglung hampir setengah tertidur sepanjang waktu. Masaomi, yang merasa
pusing sendiri, buru-buru mundur. Menolak dengan sopan tawaran orang tua Hibari
untuk tinggal makan malam saja sudah merupakan perjuangan tersendiri, tetapi setelah
semua yang baru saja terjadi, ia terlalu lelah untuk melanjutkan. Lebih dari
segalanya, ia merasakan malu yang luar biasa dari semua hal yang terdengar
keren yang ia katakan di Sisi Astral. Versi ideal dirinya itu benar-benar
berlebihan. Ia sudah bisa membayangkan dirinya sendiri, dalam waktu dekat,
wajah terbenam di bantal sambil berteriak “Ughhhhh!” dan berjingkrak-jingkrak. Ia bisa dengan
jelas membayangkan Hinata berteriak, "Diam dan tidurlah,
dasar Onii bodoh!”.
Mengesampingkan
momen menyedihkan itu—untuk saat ini—Masaomi mengirimi Hibari satu pesan
setelah dia pulang ke rumah malam itu.
“Selamat
datang kembali. Ayo bertemu lagi di sekolah setelah keadaan membaik.”
Tak ada
balasan. Namun tak lama kemudian, ia melihat status ‘dibaca’ muncul, dan
dengan itu, Masaomi akhirnya bisa tertidur.
※※※※
Dan
sekarang, di depan insinerator sepulang sekolah, Masaomi dipenuhi dengan
penyesalan yang mendalam.
Mengapa ia
tidak mengirim pesan “Ayo
ketemuan besok” ?
Liburan
musim panas—yang pernah dianggap sebagai akhir—terasa terlalu lama tanpa
Hibari. Karena ia meninggalkan jeda yang begitu lama, ia
jadi punya terlalu banyak waktu untuk berpikir.
Dan
sekarang, semuanya sudah terlambat untuk tiba-tiba berkata, “Sebenarnya, ayo kita
bertemu hari ini”.
Lagipula,
ia masih anak SMA yang pengecut. Jadi, Masaomi tak punya pilihan selain
membiarkan sisa liburan musim panas berlalu begitu saja, diliputi
pikiran-pikiran gelisah, menunggu semester baru dimulai.
Selain
itu, Hibari tidak menghubunginya lagi sejak itu.
Dan yang
lebih parahnya lagi, Hibari melewatkan upacara pembukaan. Tanpa disadarinya,
ujian keterampilan pasca-libur sudah tiba. Rasanya salah memanggilnya di minggu
ujian. Dan tanpa disadarinya—begitu saja—bulan September telah tiba.
Hasil
akhir dari pilihan orang bodoh.
—Dan
masih saja.
“Rasanya
sudah lama kita tidak ketemuan,” katanya.
“Iya,” jawab Hibari. “Liburan musim
panas sudah berakhir. Bagaimana ujianmu, Masaomi-kun?”
“Jangan
tanya,” katanya sambil mengangkat kedua tangannya sebagai tanda protes— Jangan!
Hibari
terkekeh pelan.
Dia
tersenyum untuknya.
Senyum
itu menghapus semua penyesalan kecil Masaomi dan dengan lembut mendorongnya
maju.
“Aku tahu
agak aneh berbicara di sini seperti ini secara tiba-tiba…”
"Ya.
Sejujurnya, kupikir kita seharusnya pulang bareng saja.”
“Ada
sesuatu yang mengganggu pikiranku. Aku cuma ingin membicarakannya di sini.”
Tempat di
mana sanksi permainan itu dimulai.
Tempat di
mana hubungan mereka dimulai.
── Dan kemudian.
“Hibari…
Aku tahu ini terlalu mendadak, tapi kumohon, dengarkan aku sampai
akhir.”
“Jadi,
kau memintaku untuk berhenti menyelam dan tinggal bersamamu? Apa itu semacam...
tuntutan yang mengikat?”
“Aku bukannya
memintamu untuk jangan menyelam. Tapi kalau kamu pergi ke Sisi Astral, aku
akan sendirian sampai kamu kembali. Nanti aku dicap aneh—pria yang melamun
memeluk perempuan di depan umum.”
“Kedengarannya
seperti ancaman. Tapi... kuakui, kedengarannya lucu juga.”
“Yang benar saja,” kata Masaomi, tetapi mata Hibari tampak
setengah serius.
Mata
tetap jernih dan lurus seperti sebelumnya.
── Mata itu…
Jantungnya
mulai berdebar kencang. Ekspresi macam apa yang ia tunjukkan sekarang? Masaomi tak bisa melihat
dirinya sendiri—sungguh menyebalkan. Apa itu wajah kusam dan biasa-biasa saja
yang sama seperti saat pertandingan hukuman yang panas membara itu? Atau...?
“Meski
begitu, meski itu berarti berakhir dalam situasi seperti itu… ada sesuatu yang
perlu kudengar, Hibari.”
“Oke.”
Sama
seperti dulu—tapi, tidak seperti dulu lagi. Mereka berdua.
Namun
anehnya, itu terasa benar.
“Sasuga
Hibari-san… Kumohon, putuslah denganku.”
Kalau
dipikir-pikir lagi, bahkan sore itu sepulang sekolah, ia sudah merasakan ke
sinilah arahnya.
※※※※
Di
samping adik perempuannya—Orito Nagi, yang terbangun untuk
pertama kalinya dalam lebih dari setahun—Orito Keiji duduk diam, hanya memegang
tangan adik perempuannya yang lemah dan seperti ranting dan
berdoa.
“…cha…sa...kit…”
Suaranya,
yang sudah lama tidak digunakan, belum bisa membentuk kata-kata yang tepat.
Namun
Keiji mengerti.
── Onii-chan. Sakit.
“Tentu
saja... Tentu saja. Aku menggenggam tanganmu seperti ini...! Aku sudah dewasa,
sialan. Menggenggam tangan adik perempuan yang kutinggalkan, meskipun ia
terluka dan penuh luka... Aku menggenggamnya seolah takkan pernah
melepaskannya...”
Keiji
tidak tahu apa yang telah dilakukan Nagi di Sisi Astral itu, dunia di dalam
pikirannya.
Yang ia
tahu hanyalah ketika ia menerima telepon dari rumah sakit dan bergegas ke
kamarnya bersama Kasuka, rasanya seperti tempat itu baru saja dihantam tornado
lokal. Benar-benar hancur.
Saat itu,
Kasuka-lah yang memberikan Keiji dorongan yang ia butuhkan saat dirinya
merasa
ragu di ambang pintu.
Lebih
baik menyesali sesuatu daripada tidak punya apa pun untuk disesali.
Benar.
Inilah masa muda yang ia janjikan untuk Nagi. Ia rela meninggalkan sahabatnya,
bahkan pacar sahabatnya, demi melindungi ruang ini—kali ini—untuk Nagi.
Setiap
kali ia melangkah masuk ke ruangan itu, luka-luka baru muncul di sekujur
tubuhnya. Tercabik angin kencang, dihantam peralatan yang beterbangan, dan
bahkan ketika tak ada yang mengenainya, darah mengucur deras dari kulitnya
bagai kutukan. Sungguh mengherankan ia belum mati.
Setelah
apa yang terasa seperti seabad—atau mungkin hanya sejam—akhirnya Keiji sampai di tempat
tidur. Ia menggenggam tangan Nagi, yang menyembul dari balik selimut, dalam
pelukannya bagai harta karun yang berharga.
Kumohon… kumohon…
“Gh—!”
Rasa
sakit yang menusuk menusuk dadanya, seolah jantungnya tertusuk. Rasanya seluruh
tubuhnya seperti tertusuk—dan jika ia melepaskannya, jika ia menyerah sekarang,
semuanya akan berakhir. Begitu mudah.
Tetapi
baik Masaomi maupun Kasuka tidak akan memaafkan Keiji karena pingsan di sini
seperti seorang pecundang.
Dan
begitu pula Nagi.
“Aku
tidak meminta ampun...! Kamu bebas mengutukku, membenciku,
maupun
balas dendam—apa pun! Cuma...!”
Jangan
cuma berbaring di sana. Tatap mataku dan jawab aku—!
Perubahannya
terjadi seketika dan dramatis. Badai mereda seakan tak
pernah terjadi sebelumnya. Tempat perlindungan yang mengamuk kembali menjadi
kamar rumah sakit yang tenang. Dan doanya—setidaknya
kepada seseorang yang bukan Tuhan—telah mencapai sasarannya.
Beberapa
saat kemudian, Nagi perlahan membuka matanya.
Bahkan
saat mata mereka bertemu, dan Keiji tetap terdiam karena tidak percaya, tatapan
Nagi mengungkapkan banyak hal.
── Onii-chan yang satu lagi
keren banget. Dia selalu datang menyelamatkanku. Tapi akhirnya... dia juga enggak mau mendengarkanku,
kan?
Keini
merasa seperti bisa mendengar kata-kata tanpa suara. Dengan ekspresi
agak kesal, Nagi menatap lurus ke mata Keiji.
Seolah
mencoba menjembatani waktu, ruang, dan jarak di antara hati mereka hanya dengan
mata mereka.
“Maaf...
karena sudah menjadi kakak yang buruk. Tapi mulai
sekarang, sedikit demi sedikit, aku bersumpah akan selalu ada untukmu. Aku
tidak akan pernah meninggalkanmu lagi, jadi... jadi kumohon—tinggallah di sini,
sedikit lebih lama. Oke?”
Maaf,
katanya
lagi.
Orito
Keiji, yang masih menganggap dirinya sebagai seorang garis keras yang bangga, tidak
akan menangis.
Air mata
tidak punya tempat di pintu gerbang.
Sedikit
demi sedikit, untuk memahami dunia Nagi.
Meski
hanya sedikit, untuk melindungi dunia Nagi.
── Wah, aku juga benar-benar
berubah menjadi pria denpa sejati, ya.
Wajahnya
membentuk setengah senyum, setengah meringis, ia menggenggam tangan adik perempuannya
seperti dia ingin menghancurkannya, namun masih menunda menekan tombol panggil
perawat— sedikit lebih lama, pikirnya.
“Si cowok pembohong itu... apa ia pikir ia juga masih bertahan seperti
ini di sana? Atau dia masih berpura-pura? Pokoknya—yah, cowok-cowok itu memang
bodoh, ya...”
“Kalian berdua sama-sama bodoh—aku juga bodoh,
jadi kita bertiga adalah orang idiot!”
Kasuka
mengatakannya dengan nada nakalnya yang biasa. Keiji menggoyangkan kepalanya
dengan jenaka dan teringat sahabatnya yang berandalan yang tidak ada di sana.
Mungkin
karena tidak bisa mengatakan “Semoga beruntung” di
hadapannya adalah salah satu alasan mengapa dia menjadi orang
yang keras kepala.
ᯤ
※※※※
── Aku mengkhianati mata itu.
Atau
lebih tepatnya, Masaomi sudah mengecewakannya jauh sebelum pengkhianatan. Ia bahkan belum
benar-benar menghadapinya sejak awal. Bajingan macam itu memang ada—namanya
Kusonoki Masaomi.
Seseorang
seperti Sasuga Hibari tidak pantas mendapatkan pria seperti itu.
Seseorang
seperti pria yang suka berbohong karena sanksi hukuman seperti
itu seharusnya tidak boleh mendekatinya.
Hibari
tampak tenang dari luar, tidak menunjukkan tanda-tanda emosi.
Mungkin
dia juga merasakannya.
Bahwa apa
pun yang terjadi, segala sesuatunya tidak bisa berjalan seperti semula lagi.
Ekspresi
Hibari tidak berubah sedikit pun saat dia menatap Masaomi. Menahan diri untuk
mengalihkan pandangannya, Masaomi terus menatap matanya.
Keheningan
terus menyelimuti mereka, ditelan oleh bayang-bayang matahari terbenam
yang semakin panjang.
Seperti
ada tombak yang ditekan ke tenggorokannya—tombak Noble Lark yang sama
dari Sisi Astral—ketegangan di antara kedua mantan kekasih ini berderak seperti
duel terakhir.
Dan
Hibari-lah yang berhasil menembus keheningan yang tampaknya tak berujung itu.
“Kali
ini.”
Suaranya
jelas. Tegas.
“Kali
ini… ini bukan sanksi permainan, kan?”
Itu bukan
pertanyaan. Melainkan konfirmasi.
“Ya.
Itu bukan kebohongan.”
Masaomi
menjawab dengan mata terbelalak, begitu kering hingga terasa seperti akan
berdarah.
“Aku
benci kebohongan. Tapi... aku lebih benci lagi kalau ada yang tidak mau
mengatakan yang sebenarnya.”
Ekspresi
Hibari seketika berubah. Begitu keseimbangannya
hancur, segalanya hancur dalam sekejap. Dirinya hancur
berkeping-keping.
Begitu saja. Itu bukti betapa besar kepercayaannya pada Masaomi.
Tanpa
peduli roknya menjadi kotor, dia menjatuhkan diri ke tanah, menutupi wajahnya
dengan kedua tangan, gemetar—entah karena malu, sedih, atau kecewa.
Masaomi
sudah mengetahuinya sejak lama.
Tidak ada
emosi di wajahnya? ── Ya, benar.
Suara
yang tenang? ── Tidak mungkin.
Lagipula,
Hibari selalu meraih dan menyentuh jepit rambutnya. Motif
berbentuk sayap itu—dia selalu menggenggamnya tanpa sadar ketika ingin melarikan
diri ke dalam dunia idealnya. Itu berarti dia sedang menanggung sesuatu.
Ekspresi
seperti topeng itu, suara tegang yang berusaha keras agar tidak gemetar—Masaomi mengenali
semuanya.
Itu
adalah gelombang denpa beracun yang sama yang selalu
dipancarkannya terhadap teman sekelas dan pelamar yang gigih. Namun
medan listriknya, dinding pertahanannya—tidak berhasil pada Kusonoki Masaomi.
Karena
dia bisa menangkap frekuensi Sasuga Hibari dengan keras dan jelas.
Jadi
sebelum intinya benar-benar runtuh—ia mengirimkan sinyalnya sendiri.
“Sasuga
Hibari-san... Aku menyukai denpa-mu. Kumohon—sekali lagi, apa
kamu mau berpacaran denganku?”
Hibari
perlahan menurunkan tangannya yang menutupi wajahnya, memperlihatkan senyum
berkaca-kaca yang pernah ia kenakan di Sisi Astral.
Matanya berbicara dengan jelas— Aku tidak mengerti
apa yang kamu katakan.
Masaomi
diam-diam melangkah maju dan membantunya berdiri dengan tangannya.
Hibari terasa ringan,
seperti cangkang kosong. Dengan lembut, Masaomi menopangnya dan berkata,
“Aku
benar-benar tak tahan membayangkan melanjutkan hubungan palsu yang dibangun di
atas kebohongan. Aku tahu ini egois, tapi aku ingin melenyapkan semua yang
tercipta dari sanksi permainan itu... dan memulai dari awal. Jadi—ini
adalah pengakuan terburuk dan parah yang bisa dibayangkan.
Lebih buruk dari sanksi permainan. Tapi ini kebenaran. Aku yang
sebenarnya, tanpa satu pun kebohongan.”
Inilah
wajah asli Kusonoki Masaomi—pria membosankan yang berpura-pura menjadi pacarmu.
Sarafnya
hampir putus. Pikirannya terasa kosong. Meski begitu, entah bagaimana Masaomi berhasil
mengatakan apa yang perlu ia katakan. Apa yang harus ia katakan.
“…Itu
saja?”
Suara
Hibari tajam dan keras. Seperti dugaannya. Sebuah pengakuan yang
begitu berat sebelah, begitu egois—tak mungkin itu baik-baik saja. Kamu
takkan
bisa asal mengatakan “Aku menyukaimu” atau “Ayo berpacaran,” atau menyebutnya
permainan lalu putus. Seharusnya memang begitu.
Maka
Masaomi pun berbicara sambil menyeka keringat di telapak tangannya yang basah
ke celana seragamnya—keringat itu bukan karena panas, melainkan karena rasa
bersalah—seolah-olah mengakui dosa-dosanya.
Sama
seperti di Sisi Astral, Hibari-lah yang akan menghakimi. Ia hanya perlu
mengungkapkan perasaannya.
Karena
itulah pengakuan yang sesungguhnya. Sebuah pertaruhan serius, semua atau tidak
sama sekali.
“Aku
belum pernah membahas ini sebelumnya, tapi... tepat sebelum masuk SMA,
aku hampir mati dalam kecelakaan mobil. Aku koma beberapa lama. Dan selama itu,
aku berpikir— Wah, orang-orang memang mati begitu saja. Jadi
kupikir apa yang terjadi, atau seberapa dalam perasaanku, tidak penting. Ketika
saatnya mati, itu terjadi begitu saja. Jadi, tidak ada gunanya berusaha sekuat
tenaga. Aku akan puas hanya dengan menjalani hidup biasa.”
Masaomi terus melanjutkan.
“Tapi
kemudian aku bertemu denganmu. Mengobrol denganmu. Kita akhirnya ....mulai
berpacaran.
Dan aku mulai berpikir, mungkin tidak memberikan segalanya akan sia-sia.
Kehidupan yang biasa-biasa saja, membosankan, dan biasa-biasa saja itu?
Persetan dengan itu.”
Ya
ampun, Masaomi meringis
menyadari betapa kikuk perkataannya—bahkan pada dirinya sendiri.
Ada
banyak sekali yang ingin ia katakan, tapi ia tidak dapat
mengungkapkannya.
Dulu di
Sisi Astral, Masaomi bisa mengatakannya begitu mudah. Tapi di
dunia nyata, ucapannya terdengar blepotan. Kesenjangan antara ideal
dan kenyataan—mungkin itulah mengapa para Penyelam Astral merindukan dunia lain
itu.
Meski
begitu, saat ini, ia dan Hibari berdiri kokoh di dunia nyata. Jika frekuensi
mereka tak selaras, jika sinyal denpa mereka tak berhasil—maka ia terpaksa
melemparkan hatinya pada Hibari.
Masaomi
tidak tahu seperti apa raut wajahnya.
Namun
Hibari, yang setengah menangis, menatapnya dengan mata terbelalak—jadi itu
pasti pemandangan yang luar biasa.
“Aku
harus menyelamatkan dunia.”
Hibari
pernah mengatakan hal yang sama sebelumnya, saat dia mencoba mendorong
Masaomi menjauh.
Dengan
caranya sendiri—mungkin karena pertimbangan atau ketulusan—dia menawarkan
metode untuk melindungi dirinya dari denpa.
Penolakan
yang tegas. Tapi kali ini, Masaomi tak bisa mundur.
“Aku
tahu. Makanya... biarkan aku menunggangi denpa penyelamat duniamu. Meski aku
hanya suara bising bagimu... aku tetap ingin berada di sisimu.”
“Kedengarannya
seperti dipaksa masuk ke dalam sanksi permainan.”
Kata-katanya
menusuk sangat dalam, dan Masaomi menunduk melihat kakinya karena malu.
Sekalipun
dirinya
pantas mendapatkannya… mengetahui perasaannya tidak sampai padanya sungguh
menyakitkan.
“Apa kamu
tahu seberapa sedihnya aku ketika aku menyadari hubungan kita
dimulai karena sanksi permainan?”
"...Ya.
Aku tahu. Aku memang pria brengsek. Benar-benar
pria kurang ajar.”
“Kamu membuatku merasa
bisa menerima segalanya—Sisi Astral, Sisi Material, semuanya. Kamu mengangkatku ke
surga... lalu langsung menjatuhkanku ke neraka. Dan bahkan setelah semua itu,
kamu
masih saja mengatakan hal-hal ini. Bukannya menurutmu itu sangat
egois?”
── Ya. Ini gawat.
Bahkan
seseorang yang tidak peka dan membosankan seperti Masaomi dapat
merasakannya dengan jelas. Nada bicara Hibari dingin,
logikanya tajam. Ia mengutuknya dengan ketenangan yang mencekam.
Masaomi
sudah tahu hal ini akan terjadi. Ia sudah menyiapkan
diri.
Namun—ditolak oleh orang yang dicintainya jauh lebih menyakitkan
daripada yang bisa ia tanggung.
“...Maaf.
Sungguh. Jadi, silakan—putuskan sambunganku. Akhiri dengan bersih.”
Seorang
bajingan sepertiku, yang membuat Hibari merasa seperti ini, seharusnya ambruk
begitu saja ke dalam senja seperti sampah—
“Tapi
orang yang pertama kali mengangkatku ke surga… tetaplah kamu, Masaomi-kun.”
“…Hah?”
“Jangan
pasang wajah seperti itu, Masaomi-kun. Aku belum memberimu jawabanku."
Menghadapi
penolakan, Masaomi tampak begitu putus asa, begitu menyedihkan, dan benar-benar
konyol.
“Jika
kamu menangis karena ini… itu pasti berarti sesuatu.”
Itulah
sebabnya Kusonoki Masaomi bahkan tidak menyadari bahwa dirinya sedang menangis.
“Ap… huh…
tunggu, apa aku menangis?”
“Seperti
benar-benar berantakan. Tapi—melihatmu terpuruk seperti itu, rasanya agak lucu.
Berbeda dari wajah datarmu yang biasa. Melihatmu sekarang, jelas sekali
bahwa apa yang kita alami hanyalah sanksi permainan. Kau terlalu
putus asa.”
Jari-jari
Hibari yang panjang dan ramping dengan lembut menyeka air mata dari pipi
Masaomi.
Sentuhan
itu hangat dan lembut. Namun, Masaomi merasa bisa menerimanya,
meskipun ternyata itu akan menjadi perpisahan terakhirnya.
Masaomi,
sekarang dalam kebingungan total, tidak tahu lagi apa yang dipikirkan Hibari.
Apa
maksudnya semua ini? Apa ini baik atau buruk? Apakah ini denpa atau normal?
Apa dia…
punya hak untuk tetap di sisi Hibari?
“Aku adalah
seorang Penyelam Astral. Jika sesuatu terjadi di Sisi Astral, aku harus memprioritaskannya
sebagai Yang Mesianik.”
“Aku
tahu. Dan itulah alasannya—di sana, aku ingin kamu menjadikanku Guardianmu lagi. Sekalipun
aku bukan pacarmu di dunia ini.”
Masaomi
tak kuasa menahan diri untuk tak menatapnya. Menyedihkan, dan dirinya
sadar betul.
Tapi jika berusaha bersikap tenang berarti kehilangan Hibari, itu merupakan sesuatu yang akan
ia sesali bahkan sampai mati.
Kalau kau
putus asa, kau harus menunjukkannya.
Ada
seulas senyum getir. Sangat pahit—tapi tak salah lagi, itu tetap
senyum Hibari.
“Sejujurnya—kamu
sama sekali tidak normal.”
“Jika itu
demi dirimu,
Hibari, aku tidak perlu menjadi normal.”
“Jadi
kamu membuang gelar pacar pertamaku dan puas menjadi yang kedua?”
“Eh…
baiklah… kurasa… ya?”
“Kamu
memang abnormal. Tapi... mungkin itu bukan hal yang buruk. Malahan, mungkin
lebih baik begitu.”
Ia
pasti menunjukkan ekspresi kebingungan, karena Hibari memberinya
jawaban dengan senyum nakal yang dapat membuat dewi cemburu.
“Kalau
kamu
sampai segitunya, maka aku tetap menjadikanmu sebagai Guardianku—Guardian
dari Noble Lark,
Empat Kilatan Surgawi Bunga Angin Peringkat Tiga. Anggap dirimu merasa
terhormat,
oke? Selain itu… aku tidak ingat pernah menolakmu sebagai
pacarku, Masaomi-kun. Iya, ‘kan?”
Senyum
puas dan penuh kemenangan yang diperlihatkan Hibari saat itu—Masaomi tidak akan
pernah melupakannya seumur hidupnya.
Penuh kegembiraan, Masaomi mengeluarkan gemuruh perayaan pertama dalam seluruh hidupnya.
Entah itu
denpa atau apa pun—ini bukan lagi sanksi permainan. Beginilah
seharusnya pengakuan yang sesungguhnya.
Itu bukan
sanksi permainan, tetapi burung
gagak tetap saja berisik sekali, sinar matahari putih tidak memberi ruang bagi
mata, cuaca panas, poninya menempel di dahinya dengan bau keringat—semuanya,
musim panas yang biasa untuk siswa kelas 2 SMA.
"Hei,
Hibari. Tadi, waktu kamu bilang 'mungkin itu lebih baik', apa maksudmu?”
Dengan
tatapan yang seolah berkata, “Oh?
Kamu tidak mengerti?”, Hibari—tetap—sangat cantik.
“Karena… pepatah bilang
kalau
cinta pertama tidak pernah berhasil.”
Di musim
panas ketika orang paling nyentrik di sekolah, Sasuga
Hibari, menyiarkan sinyal denpa-nya dengan keras dan jelas—dan Masaomi
menerimanya dengan keras dan jelas—
Kusonoki
Masaomi mendapatkan pacar keduanya.
Begitulah
musim panas yang penuh denpa ini berakhir.
Sebelumnya | Daftar isi | Selanjutnya
