
Chapter Ekstra
“Horikoshi,
ayo kita keluar minum-minum
malam ini.”
“Hah?”
Di suatu
gedung perkantoran sederhana di jantung kota Tokyo. Di luar jendela, malam telah lama
tiba, dan lampu-lampu jalan yang berkilauan menerangi kota. Kantor kami
terletak di dekat kawasan bar.
Membayangkan
bir dingin saja sudah membuat tenggorokanku refleks tercekat. Dengan betapa
lelah dan gerahnya tubuhku, rasanya mungkin akan luar biasa sekarang.
Kebetulan,
aku baru saja menyelesaikan pekerjaanku, jadi tidak masalah, tapi—
“...Maaf,
aku tidak ikutan malam
ini.”
“Ayolah,
lagi? Kamu sering menolak kami akhir-akhir
ini.”
“Aku
sudah punya rencana. Mau bagaimana lagi.”
Sambil
berkata begitu, aku mulai mengemasi barang-barangku.
Pergi
keluar untuk minum.
Sejujurnya,
ketika mendengar kata-kata itu, gambaran yang muncul di kepalaku bukanlah
bir—melainkan sesuatu yang sama sekali berbeda. Seorang gadis yang dulu teman
sekelasku di SMA, dan sekarang tetangga sebelah rumahku—bersama putri
tirinya—menunggu di rumah.
Begitu
wajah mereka terlintas di benakku, pergi minum-minum sama sekali tak jadi
pilihan.
Aku
mengeluarkan ponsel dari saku dan melihat satu notifikasi LINE dari tiga puluh
menit yang lalu.
Bunyinya:
【—Kamu makan bersama kami lagi hari ini, ‘kan?】
Aku
bahkan tidak ingat sudah berapa lama sejak Minase bilang akan memberiku ucapan ‘selamat datang di rumah’.
Namun,
bahkan sekarang, aku terus menerima ucapan selamat datang di rumah’ itu dari keluarga Minase.
◇◇◇◇
“Hah?
Kamu diajak pesta minum-minum hari ini?”
Setelah
makan malam di rumah Minase. Aku
sedang mencuci piring di wastafel. Hanya
itu yang bisa kulakukan. Saat bekerja dari rumah, aku berusaha menyelesaikan
pekerjaan lebih awal dan membantu menjaga Airi, tetapi aku merasa itu tak
pernah cukup.
Itulah sebabnya aku mencuci piring sekarang. Di
sebelahku, Minase sedang mengeringkan piring dengan serbet, mengerutkan
alisnya.
“Kamu seharusnya tinggal bilang saja kalau
sudah punya rencana. Kamu tidak perlu
memprioritaskan kami hanya karena kita sudah membuat rencana duluan, tau?”
“Aku
memang mau simpan makanannya buat besok,”
tambahnya santai.
Sekalipun
dia bilang begitu, aku tidak bisa begitu saja menerimanya begitu saja.
“Aku
tidak bisa begitu. Aku sudah punya rencana—dan lagipula...”
“Lagipula?”
“Aku
tidak terlalu suka pesta minum-minum.”
“Hm.”
“Ada
apa dengan tatapanmu itu?”
“Kamu
sepertinya bukan tipe orang seperti itu.”
Minase
melirikku dengan curiga.
“Tapi
mungkin lebih baik menguranginya sedikit. Kamu mungkin akan muntah di depan
apartemen lagi.”
“...Bisakah
kita tidak membahas itu lagi?”
“Tidak.
Kalau tidak, kamu mungkin akan membuat kesalahan yang sama lagi.”
Minase
menyeringai nakal, tampak
seperti sedang bersenang-senang. Dia bercerita tentang saat kami bertemu lagi
setelah sepuluh tahun. Kenangan yang sangat ingin kulupakan, tapi ternyata itu
lucu baginya, dan dia enggan melupakannya.
Lalu—
“Kyouya-san,
bagaimana kalau kita sikat gigi bareng lagi malam ini…?”
“Ya,
tentu. Ayo.”
Saat aku
mengangguk, Airi tersenyum lebar dan berteriak, “Aku ambil sikat gigi dulu!”
sebelum bergegas menuju wastafel.
Antusiasmenya
membuatku tersenyum tanpa berpikir.
Mungkin
ini rutinitas yang aneh—tapi ini baru dimulai seminggu yang lalu.
Bermula
saat Minase sibuk dengan pekerjaan rumah, dan aku menyikat gigi bersama Airi
agar dia tetap rajin. Rupanya, Airi
dulu malas menyikat gigi. Tapi kalau kami melakukannya bersama, dia
melakukannya tanpa repot—jadi Minase akhirnya memintaku membantunya.
Namun—
“...Memang merepotkan kalau aku harus pergi
mengambilnya setiap saat.”
Gumamku
dalam hati.
Lagipula,
ini bukan rumahku. Tentu
saja, aku tidak punya sikat gigi sendiri di sini, jadi aku harus kembali dan
mengambilnya dari tempatku.
Akhir-akhir
ini, aku makan malam di rumah Minase lebih dari setengah minggu. Saat itu,
kembali ke apartemenku setiap kali untuk mengambilnya mulai terasa seperti
pekerjaan rumah—
Mungkin
dia mendengar gumamanku.
Minase
menoleh ke arahku dengan santai dan berkata,
“Lalu
kenapa tidak meninggalkannya saja di sini?”
“Hah?”
“Maksudku,
kamu bisa meninggalkannya saja di tempat kita. Ini bukan
hal yang hanya terjadi sekali.”
Tenang
dan apa adanya. Dia
mengatakannya sambil mengeringkan piring, seolah-olah itu hal yang paling wajar
di dunia. Ketika
dia menyadari aku membeku tak percaya, dia menatapku dengan bingung.
“Apa...?
Ada apa? Apa aku mengatakan sesuatu yang aneh?”
“Tidak,
sama sekali tidak.”
Minase
mungkin tidak bermaksud sesuatu yang istimewa. Dia hanya bilang aku boleh
meninggalkannya di sana kalau rasanya terlalu
merepotkan.
Dan—meninggalkan
barang-barangku di rumah Minase.
Meski
hanya sikat gigi, pemikiran
itu membuatku bahagia, seolah-olah aku telah diterima sebagai bagian dari
keluarga kecil mereka.
Aku mulai
menerima ucapan ‘selamat
datang di rumah’ mereka.
Keinginanku
yang sudah lama terpendam itu telah terwujud, namun... sekarang aku merasa
menginginkan lebih.
Selamat
pagi.
Ayo
makan.
Aku
pulang.
Di tengah
momen-momen kecil yang biasa namun memesona itu—aku ingin menjalani kehidupanku.
Suatu
hari nanti, jika memungkinkan, bersama gadis yang kusukai saat SMA... dan putri
tirinya.
Sebelumnya | Daftar isi | Selanjutnya