Epilog
Aku
mungkin pernah mengatakan ini sebelumnya, tapi salah satu hal yang paling
menghancurkan jiwa tentang menjadi orang dewasa yang bekerja adalah pulang di
kereta terakhir.
Bukannya aku
punya gairah atau keterikatan emosional dengan pekerjaanku. Aku punya banyak
dendam. Tentu, aku memilih karier ini, tetapi motivasiku untuk itu pada
dasarnya tidak ada.
Jadi,
kenapa aku harus bekerja sampai kereta terakhir?
Padahal—bahkan
itu pun tetap salah satu hari yang lebih baik.
Karena
pekerjaan tidak hanya menyita hari kerjamu. Pekerjaan juga menyita akhir pekanmu.
Kegagalan
sistem? Masalah jaringan? Bukannya
seseorang baru saja mengatakan itu adalah kerusakan pada mesin yang sama sekali
tidak terkait dengan perusahaan kami? Bagaimana itu bisa menjadi masalah kami?
—Andai saja aku bisa mengatakannya dengan lantang. Seberapa ringankah hatiku
nantinya?
Tetapi
kenyataannya, meskipun itu bukan salah kami, kami tetap meminta maaf
sebesar-besarnya. Selain itu, kami membatalkan akhir pekan kami untuk memberikan
dukungan di tempat. Tetap saja... ada sesuatu yang sama menyedihkannya bagiku
seperti semua itu.
Yaitu
pulang ke rumah yang kosong.
Kalian bebas
menetertawakanku karena begitu sentimental. Tapi memang begitulah perasaanku
yang sebenarnya. Aku tak bisa menahannya.
Aku tak
punya pasangan, tak punya teman sekamar, tak punya pacar.
Sementara
itu, orang-orang di sekitarku menikah di mana-mana. Beberapa dari mereka sudah
punya anak. Setiap kali pengumuman seperti itu muncul di grup obrolan SMA—grup
obrolan yang hanya kuikuti untuk pamer—aku tak bisa menahan diri untuk
membandingkannya dengan hidupku sendiri.
Itulah sebabnya bahkan di malam seperti ini,
ketika aku tidak banyak lembur, pulang ke rumah yang kosong terasa hampa.
Tapi
malam ini... malam ini berbeda.
“Ah!
Kyouya-san! Aya-chan, Kyouya-san sudah pulang!”
Di depan
gedung apartemen.
Sambil
berusaha menyeret tubuhku yang kelelahan, aku disambut oleh Airi, yang
muncul dari kamar sebelah. Apa dia mengintip dari lubang intip selama ini?
Sambil
membiarkan pintu depannya terbuka, Airi berbalik dan memanggil ke dalam
ruangan.
“Aya-chan!
Cepat, cepat!”
“Kamu tidak perlu terburu-buru, Airi.
Aku sudah mendengarmu sejak awal."
Setelah
itu, Minase muncul di pintu masuk.
Dia
mengenakan kaus putih polos dan celana jin tipis seperti biasanya—sederhana dan
kasual.
Namun
tidak seperti biasanya, dia mengenakan celemek.
“...Bukankah
kamu bilang akan pulang lebih awal?
Apa kamu selalu bekerja selarut ini?”
“Akhir-akhir
ini ada masalah peralatan. Aku tidak punya pilihan selain pulang malam hari. Maksudku... kamu, dari semua orang, yang
mengungkit soal lembur itu agak ironis, ya?"
“Ada
benarnya juga... Yah, semuanya sudah siap."
Dia
memberi isyarat agar aku masuk.
Di saat
yang sama, aroma hangat dan lezat tercium. Perutku berbunyi nyaring, seolah
tiba-tiba teringat akan rasa lapar.
Tapi
sebelum aku sempat melangkah, Airi melompat di depanku seperti penjaga gerbang.
Dia
menarik lengan baju Minase, menariknya agar duduk, lalu membisikkan sesuatu di
telinganya.
“Ayo,
Aya-chan, ayo kita lakukan!”
“Eh...
a-apa kita benar-benar melakukannya? H–Horikoshi-kun pasti kaget...”
“Tidak
apa-apa! Ayo, kita sudah janji, kan?”
“O–Oke,
oke...”
Sambil masih
duduk di belakang, Minase dan Airi mulai melakukan apa yang hanya bisa
digambarkan sebagai rapat strategi rahasia dengan nada berbisik.
Apa yang
sebenarnya mereka rencanakan...?
Saat aku
mengerutkan kening bingung, mereka berdua berdiri dan menghadapku.
Pipi
Minase sedikit merona, jelas-jelas merasa
malu. Di sisi lain, Airi tampak berseri-seri, sama sekali
tidak terganggu.
Aku tidak
tahu apa yang akan mereka lakukan.
Tapi
meskipun aku benar-benar lelah bekerja, melihat senyum mereka entah bagaimana
membuatku juga tersenyum.
Di bawah
sinar bulan yang tak berawan...
Di depan
apartemen kumuh ini, di mana cahaya hangat rumah menyinari koridor dengan
lembut...
Minase
dan Airi saling berpandangan, lalu kembali menatapku. Mereka tersenyum, suara
mereka seirama.
“Kyouya-san!” “Horikoshi-kun!”
““Satu, dua—””
““—Selamat
datang kembali di rumah!””
