PERINGATAN: novel ini membahas beberapa topik yang sangat berat ( bundir dan melukai diri sendiri) seringkali dengan cara yang sengaja blak-blakan dan apatis. Jika kamu mungkin merasa kesulitan dengan topik serupa, sebaiknya jangan dilanjutkan membaca dan lebih baik membaca novel romcom yang membuat kalian cengar-cengir. Bijaklah dalam membaca.
Prolog
“Miyamine, maukah kamu menjadi pahlawanku?”
Saat Yosuga Kei
mengajukan pertanyaan itu, sisa kehidupanku dimulai.
Meskipun masih muda, aku sudah
mengetahuinya bahwa sejak saat itu, tak ada
yang bisa mengalahkannya. Jadi aku memutuskan
untuk menjawab, “Iya” dan menjadi
pahlawannya. Meskipun aku tak
memenuhi syarat untuk itu, tetapi jika dia berkata begitu, aku bertekad untuk
tetap di sisinya sampai akhir. Perasaan itu tak pernah berubah – bahkan ketika
dia menjadi siswa SMP, lalu SMA, dan membunuh lebih dari seratus lima puluh
orang.
• 🦋 ──────✧ 🦋 ✦ 🦋✧────── 🦋•
Badanku terasa remuk setiap kali aku terbatuk. Aku tak menyangka hanya
bisa melihat dengan satu mata akan membuatku begitu cemas. Hampir dipastikan kalau aku mengalami beberapa
patah tulang. Aku tak bisa melindunginya dalam kondisi seperti ini, tetapi aku
harus melakukannya, sampai semua darah mengalir dari luka di perutku.
Aku berhasil tersenyum
kepada pria di depanku – sebuah upaya pengelakan terakhir. Aku berusaha sekuat tenaga untuk menjaga penampilan. Ia mengangkat alisnya dengan jijik dan aku
mengartikannya sebagai isyarat untuk terus berbicara.
“Benar sekali,” aku menegaskan, “Kei membun*h lebih dari seratus lima puluh orang. Dia bahkan tidak melakukannya dengan tangannya sendiri. Dia membun*h mereka seperti wabah, tanpa sedikit pun rasa bersalah. Dia monster. Jadi aku membun*hnya.”
Ekspresi wajahnya seketika berubah saat aku membuat
pengakuan. Ia pasti menganggapku
menjijikkan, jauh di lubuk hatinya.
Dan satu-satunya alasan
aku belum ditikamnya karena masih ada
pertanyaan yang perlu kujawab.
Aku bisa merasakan kalau kesadaranku mulai memudar,
dan kurasa aku tak bisa berharap apa pun dalam keadaan seperti ini.
Dengan bibir gemetar, ia
bertanya padaku: “Kenapa?”
“Karena, aku adalah pahlawannya,” jawabku singkat.
Kurasa ia tak menyukai tanggapanku. Tinjunya tiba-tiba mendarat di
tubuhku. Sekali lagi, semuanya meredup dan aku mendapati diriku berenang dalam
kegelapan dingin ketidaksadaran.
Dan aku masih tak tahu
apakah dia menungguku di alam lain.
Inilah kisah bagaimana aku mencintai seorang monster.
