
Chapter 1
Aku pertama
kali bertemu dengan
Yosuga Kei ketika duduk di bangku kelas 5 SD.
Keluargaku sering pindah-pindah karena pekerjaan ayahku, biasanya kami pindah
dalam waktu satu tahun, dan kepindahan kami ke kota ini akan menjadi yang ketujuh kalinya. Sejujurnya , aku cukup menyukai kehidupan begitu. Karena itu bisa berfungsi sebagai semacam alasan.
Tidak peduli jika aku tidak menyesuaikan diri
atau berteman – selama aku menunggu
beberapa saat , aku akan
cepat pulih dengan melanjutkan hidup tanpa terikat atau menyesali apa pun.
Itulah sebabnya aku merasa seperti dijatuhi hukuman mati
ketika ayahku memberitahu demikian, “Nozomu, kali ini terakhir kalinya kita pindah. Aku
merasa sudah mempersulit kehidupanmu karena pekerjaanku,”
lanjutnya . “Meskipun rumah
bekas, tapi aku sedang berpikir untuk membeli rumah agar kita bisa berumah tangga dengan baik,
dan mungkin aku akan meninggalkan sesuatu untukmu di masa depan.”
Ibuku ikut menimpali. “Dengarin baik-baik, kamu akan masuk
SMP bersama teman-temanmu kali ini, jadi pastikan kamu memberi kesan yang baik pada mereka.”
Dan begitulah, gaya
kehidupan nomaden keluargaku yang tadinya berpindah-pindah tempat, tiba-tiba berakhir . Mereka
terus tersenyum seolah menyampaikan bahwa itu merupakan
hal yang baik – mereka hanya mengharapkan yang terbaik dari masa depan. Orang
tuaku pasti sangat bahagia
membayangkan akan memiliki rumah. Di sisi
lain, aku justru
menahan napas karena panik.
Maksudku,
jika aku gagal di sini – apa yang harus
kulakukan ke depannya?
Mana mungkin
aku bisa menanyakan hal semacam itu kepada mereka. Jadi sebagai
gantinya, aku hanya mengatakan, “Bagus. Kedengarannya menyenangkan.”
Itu pertama kalinya aku
menyembunyikan sesuatu dari orang tuaku.
Dari sudut
pandangku, rumah yang mereka beli luar biasa megah dan tidak
menunjukkan tanda-tanda kerusakan – meskipun bekas. Aku tak mempercayai itu bukan bangunan baru.
Itulah mengapa aku merasa tak punya pilihan. Aku tak bisa kabur begitu saja.
Aku belum pernah tidur
sendiri sebelumnya, tapi tiba-tiba aku punya kamar sendiri di lantai dua.
Tekanan yang luar biasa bagi seorang siswa SD untuk diberi Anak kelas lima SD yang normal setidaknya akan
mengharapkan, apalagi menginginkan, instruksi tentang jenis poster apa yang
harus ditempel di dinding.
Tapi aku harus
menghadapinya. “Mulai
sekarang,” aku ingat bergumam pada
diri sendiri, “Aku tidak
bisa memulai dari awal lagi.” Saat itu
tengah malam, dan aku merasa sendirian karena untuk pertama kalinya, aku
sendirian.
Kehidupan
memang tidak selalu berjalan sesuai keinginanmu. Ini
bukan kisah pahit-manis di mana konflik awal itu terselesaikan bagiku.
Seperti pemrograman
simulasi, aku memetakan semua percakapan yang mungkin terjadi di kepalaku. Karena
sekarang baru memasuki tahun ajaran baru, jadi mungkin kehadiranku takkan
terlalu diperhatikan. Lagipula, ada begitu banyak siswa di kelas
lima, jadi aku bisa saja masuk tanpa mencolok. Selama aku tidak salah sangka
saat memperkenalkan diri, aku mungkin bisa berteman. Jadi aku terus meyakinkan
diri sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja, dan melatih percakapan itu
sampai mereka merasa lelah dan bosan. Kalau ada yang
tahu aku murid pindahan, aku bisa saja bilang “senang
bertemu denganmu” atau
semacamnya.
Daripada membicarakan
rencanaku, aku akan menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.
Simulasi-simulasiku itu tidak ada gunanya sama sekali.
Aku ditempatkan di Kelas
5-2. Ada banyak siswa yang sudah saling kenal sejak mereka mulai sekolah, dan
meskipun ini tahun ajaran baru, suasananya tetap ramai dan berisik sejak awal.
Itu hanya membuatku merasa semakin diasingkan.
Wali kelas kami,
Mayama-sensei, masuk dan dalam beberapa menit meminta kami semua berdiri, satu
per satu, untuk memperkenalkan diri. Aku tidak
terlalu keberatan – lagipula aku sudah
siap. Para siswa di barisan depan memulai perkenalan mereka yang membosankan,
mulai dari yang ortodoks hingga pasif, dan semuanya ditujukan kepada mereka
yang sudah mengenal mereka dengan baik. Sebagai tanggapan, aku mendengar para siswa berteriak: “Kita nareng dengan Nezuhara lagi!” dan kelompok itu mulai mencemooh
dan mengejek dengan akrab. Bahkan ada beberapa tepuk tangan yang meriah. Aku memaksa jantungku yang berdebar-debar untuk diam
dan menarik napas dalam-dalam.
Akhirnya, tibalah giliranku.
Hal pertama yang kulakukan
adalah berdiri perlahan, dan yang membuatku kecewa, aku disambut keheningan.
Aku mulai menyadari bahwa bagi kebanyakan penonton, aku hanyalah spesies asing
yang baru pertama kali dianalisa. Namun, tak masalah. Kupikir aku hanya akan
mengucapkan namaku dan mengucapkan “senang
bertemu denganmu” singkat
atau semacamnya, ketika tiba-tiba Mayama-sensei menghentikan kegiatanku.
“Tunggu,"
gumamnya, “kamu murid pindahan, kan?”
“Ah,” jawabku dengan bodohnya.
Kesadaran ini seakan
membangunkannya, dan ia mulai menunjuk ke arahku dengan panik. “Iya, ‘kan?”
tanyanya memastikan. “Hei –
kenapa kamu tidak maju ke depan agar
semua orang bisa melihat lebih jelas? Ayo!”.
Seolah benar-benar meyakini idenya yang brilian, Mayama-sensei mulai
memberi isyarat suapaya aku maju ke depan kelas. Suara kursiku bergesekan
dengan lantai kayu saat aku berdiri tiba-tiba terdengar sangat keras dan
memalukan. Aku tersentak menanggapi, dan saat sampai di papan tulis, tubuhku sudah
basah oleh keringat. Tanpa mendongak, aku membuka mulutku yang kering.
“A-Aku...”
“Ah – kamu mau menulis namamu di papan tulis
untuk memulai?” Mayama-sensei tiba-tiba
bertanya.
Aku tak sanggup
menatapnya. “Um... ya,” gumamku.
Melakukan apa yang diperintahkan,
aku mengambil sepotong kapur dan mulai menulis 'Miyamine' dengan
huruf-huruf canggung di papan tulis di belakangku, ketika tiba-tiba kapur yang
sama patah di genggamanku. Tawa bergumam pecah di kelas, dan huruf-huruf yang
tersisa, 'Nozomu', menjadi sangat besar. Aku sangat gugup sehingga aku
bahkan tidak bisa berbicara dengan benar lagi..
Itu bukan bencana total
atau semacamnya, tapi air mata sudah mengancam akan tumpah dan aku tidak bisa
mengucapkan kata-kata dengan benar. Mereka yang sebelumnya tertawa
terbahak-bahak terdiam dan menatapku – menungguku berbicara. Beberapa saat
hening mengubah ini dari ranah kegagalan yang bisa diperbaiki menjadi bencana
yang tak bisa diperbaiki, dan aku bahkan tidak bisa menyebutkan namaku sendiri.
Mayama-sensei
menyenggolku. "Hei, ada apa?" tanyanya.
Dan itulah hal terburuk
yang bisa ia lakukan – menarik perhatian pada kecemasan yang membungkamku. Ada
suara dengungan di ruangan itu ketika anak-anak di sekitarku mulai merasakan
ada yang tidak beres. Tepat ketika aku mulai merasa pusing dan hendak meringkuk
ketakutan, aku mendengar suara kursi berdecit, persis seperti milikku, dan
seseorang di belakang ruangan berdiri. Teman-teman sekelasku yang semuanya
terpaku padaku, mendadak menoleh
ke arah suara itu serempak.
Lebih tepatnya, dia duduk
di baris kedua dari jendela. Semua orang memandangnya bersamaan, seolah
semuanya sudah diatur sebelumnya. Mereka menatap seorang gadis yang sempurna,
dengan rambutnya disanggul ekor kembar.
Rambutnya yang diikat
menjadi dua ikat rambut merah itu melawan gravitasi. Kulit pucatnya berkilauan
diterpa cahaya yang masuk dari jendela di sebelah kanannya. Mengalahkan sorotan
cahaya alami, mata cokelatnya berkilauan cemerlang, dan seolah tubuhnya
diliputi rasa terkejut sekaligus gembira, dia
mengacungkan jari tepat ke arahku. Sebelum aku sempat berkata apa-apa, dia membuka bibirnya yang indah.
“Miyamine-kun!”
Suaranya aneh. Lebih
rendah dari suara anak-anak, tetapi lebih tinggi dari suara orang dewasa.
Setengah tuduhan, setengah merdu,
suaranya bergema di ruangan seperti gema, dan semua orang tercekat.
“Lama
tak berjumpa!” desahnya. “Ini aku – Kei!”
Dia mulai berbicara, dan
ekspresinya perlahan-lahan
melembut.
Aku sama sekali tidak tahu
siapa dirinya. Mustahil aku tidak mengenali
gadis seperti itu. Siapa pun yang pernah melihat Mona Lisa bisa mengetahuinya – mana mungkin melupakan senyum itu.
Dia tersenyum padaku seperti seseorang yang menyapa teman lama.
Tiba-tiba, aku merasa ada
tempat untukku di dunia ini. Ketegangan dan ketakutan yang melumpuhkan seluruh
tubuhku surut seperti ombak, dan semua gumaman serta desahan menghilang dalam
keheningan.
“Kamu mengenalnya, Yosuga?” tanya Mayama-sensei terkejut.
Pernyataan
itu mulai meluluhlantakkan bendungan di kelas, dan
mengembalikan suasana riang. Ada kehangatan dan keakraban yang tak biasa,
bercampur dengan keterkejutanku sendiri. Ketika gadis bernama Kei itu mulai
mengangguk penuh semangat, seluruh ruangan dipenuhi pertanyaan.
“Hah?
Temannya Kei?”
“Apa?
Serius?”
Kini, ejekan yang jauh
lebih ramah pun pecah. Seharusnya aku dikucilkan – seperti hewan aneh yang
merayap di wilayah yang tak menentu – tetapi dengan pengakuannya, aku tiba-tiba
tertarik ke dalam lingkaran, seolah terseret ke atas oleh matahari. Sisa
perkenalanku terasa alami.
“Aku...
sebenarnya baru saja pindah ke sini. Namaku
Miyamine Nozomu. Senang bertemu dengan kalian semua.”
Dia terkekeh di seberang ruangan, seolah
menyampaikan bahwa perkenalanku dilakukan dengan baik.
“Dan
mewakili semua orang,” serunya, “senang
bertemu denganmu juga!”
Tanpa rasa canggung lagi,
seluruh kelas melanjutkan perkenalan mereka. Dan hanya itu saja.
Cahayanya benar-benar
menyelamatkanku saat itu – gadis dengan bintang-bintang di matanya.
Ketika semua orang telah
kembali ke tempat duduk mereka dan perkenalan berakhir, waktu luang dimulai.
Kei dikelilingi oleh teman-teman sekelasnya sampai-sampai ia hampir menghilang
di balik tubuh-tubuh yang berdiri di sekitarnya. Aku ingin sekali pergi ke
belakang kelas dan berterima kasih padanya – atau bahkan sekadar mengobrol
dengannya sekali saja. Saat berpikir demikian,
aku meliriknya dengan ragu. Sekilas terlihat melalui celah di antara tubuh-tubuh yang sibuk, aku
melihatnya mengintip, dan mata kami bertemu sesaat. Terperanjat, aku
mengalihkan pandangan. Akhirnya, kami sama sekali tidak bisa mengobrol hari
itu. Aku menyadari dia mungkin saja makhluk dari planet lain, dan kami berada
di dunia yang berbeda.
Meski begitu, kami terhubung.
Lagipula – rumah yang
dibeli orang tuaku dengan harapan dan impian yang begitu tinggi itu terletak
tepat di sebelah rumah yang ditinggali Yosuga Kei.
“Lama tak bertemu,
Miyamine-kun – dan selamat pagi!”
Saat aku mulai mendaki
bukit menuju sekolah SD, aku
mendengar suara yang, bahkan hingga kini, masih terngiang di telingaku.
Pada hari
itu, aku ingat betul Yosuga Kei
mengikat rambutnya dengan dua ikat rambut biru bermotif polkadot – sangat
berbeda dengan ikat rambut merah tua yang dia kenakan
sehari sebelumnya. Rupanya, aksesori rambutnya berubah-ubah sesuai suasana
hatinya setiap hari – seberantakan cuaca. Saat dia
menatapku, rambut dan ransel yang digendongnya tampak bergoyang-goyang karena
kesal. Sambil mengangkat sudut mulutnya nakal seperti kucing, dia menunggu jawabanku.
Aku tergagap, “Selamat pagi,”
balasku.
“Miyamine-kun,” lanjutnya dengan ringan, “Kamu berangkatnya pagi banget, ya? Kenapa?”
Dia benar – sekitar satu
jam lagi aku harus tiba di sekolah. Biasanya kami
baru masuk kelas sekitar pukul 8.20 pagi, tapi sekarang
baru
pukul 7.00 pagi ketika aku bertemu dengannya di lereng itu. Aku segera menyadari bahwa jalan itu yang biasanya penuh dengan siswa, tapi sekarang kami berdua benar-benar
sendirian.
“Yah …” aku memulai dengan malu-malu , “Aku
baru saja pindah ke sini, jadi ada banyak dokumen yang harus diperiksa dan
sebagainya. Aku harus datang lebih awal untuk pertemuan
pagi. Bagaimana denganmu?”
“Ah,” dia sedikit terpenjat. “Aku ? Aku sudah menjadi sukarelawan Dewan Anak
sejak tahun lalu, dan meskipun masa jabatanku sudah berakhir, aku ingin
melakukannya di kelas lima, jadi aku membantu di sela-sela pemilihan.”
“Biasanya
a[pa yang kamu lakukan di jam pelajaran pagi?” tanyaku.
“Umm...
kebanyakan membantu bersih-bersih dan dua kali seminggu kami menyapa siswa saat
mereka tiba di sekolah. Kamu tidak melakukannya di sekolahmu yang dulu? Seorang
anak yang memakai ban lengan menyambutmu di gerbang depan.”
Nah, di sekolah tempatku
dulu bersekolah, kegiatan-kegiatan itu dilakukan
terpisah. Biasanya aku disambut oleh kakak kelas di gerbang depan, dan ada
dewan terpisah untuk relawan kebersihan. Rupanya, Dewan Anak di sekolah ini
telah menggabungkan keduanya.
“Yosuga-san… kamu sudah
datang ke sekolah sepagi ini sejak kelas empat? Itu… mengesankan.”
“Sama sekali tidak,”
balasnya, “Ada banyak
murid yang melakukannya bersamaku.”
“Tetap saja, kurasa aku
tidak bisa bangun sepagi ini setiap hari…”
“Aku tahu,”seru Kei. “Dulu
aku sering menyetel alarm, tapi sekarang sudah terbiasa.”
Tanpa bersusah payah, dia
terus mendaki lereng yang membentang di hadapan
kami dengan santai di hadapan. Ada perbedaan yang mencolok
antara kami berdua – aku, anak laki-laki yang hanya sesekali bangun pagi dan
sekarang mendaki bukit yang sama sekali asing ini, dan dia, yang terbiasa
dengan keduanya. Langkahnya yang ringan membuat ransel sekolahnya terasa
seberat bulu.
“Itu… keren sekali,
Yosuga-san,” kataku terengah-engah.
Dia berbalik menatapku.
“Kalau kau mencoba memujiku, aku akan malu,” dia memperingatkan.
“Yah…” aku memulai.
“Apa?”
Sambil mencengkeram
erat tali ranselku, aku mencari kata-kata yang tepat. Rasanya seperti aku
berdiri di depan papan tulis lagi, dengan namaku tertulis asal-asalan di
belakangku, dan setiap detik yang berlalu sangat penting dalam menentukan
nasibku. Begitulah rasanya mengobrol dengan gadis sepopuler Kei.
“Kamu dan aku…” akhirnya aku memberanikan diri bertanya padanya. “Kita berdua belum pernah benar-benar
bertemu… ‘kan?”
Dia telah memberiku tempat
di dunia ini dengan menyiratkan bahwa kami saling kenal, seperti yang kutahu.
Mengatakannya sendiri hampir merendahkannya, tetapi entah kenapa, aku tak bisa
menahan diri.
Matanya yang besar
menyipit saat dia menatapku dengan
saksama.
“Itu
benar," kata Kei waspada, “Aku salah
paham. Memang benar saat aku melihatmu, kupikir kita pernah bertemu di suatu
tempat sebelumnya... Miyamine-kun.”
Dia
pembohong, pikirku. Ketika dia memanggilku dari seberang
kelas, dia seperti mengirimkan sekoci penyelamat ke arahku, dan dia begitu
licik sehingga tidak ada yang menyadarinya.
“Dan
itu benar,” lanjutnya, “Kupikir rasanya akan menyenangkan jika bisa mengenalmu dari suatu tempat.”
Dia mengatakan itu bahkan
sebelum aku sempat menjawab. Sambil tertawa
nakal, dia mempercepat langkahnya, dan melesat menjauh dariku. Dia setidaknya
dua langkah di depan.
“Tapi
seriusan,”
tambahku, sedikit meninggikan suaraku agar dia bisa mendengarku seiring jarak
di antara kami semakin menjauh, “Terima
kasih banyak. Kalau kamu tidak bicara,
mungkin aku akan mengacaukan semuanya. Aku tidak pandai berteman, tapi itu bisa
jadi bencana total... Maksudku, itu cukup sulit, tapi karena kamu ada di
sana...”
Artinya campur aduk –
hanya kalimat-kalimat yang tidak serasi dan direkatkan dengan canggung – tapi
bahkan dengan belas kasihan seorang gadis yang menawan, aku tidak ingin ada
yang disalahartikan. Aku sungguh-sungguh berterima kasih dan mencoba berterima
kasih padanya, meskipun aku agak terpesona. Dari sudut pandang siapa pun,
perkenalan singkat bukanlah hal yang besar, tapi bagiku itu sangat berarti. Aku
bahkan tidak bisa menatap matanya dengan jelas, tapi setidaknya aku bisa
mengungkapkan rasa terima kasihku padanya.
Pada waktu
itu, dua tangan dingin terulur dan menyentuh kedua pipiku secara bersamaan.
Aku tak punya pilihan
selain mendongak. Bertemu dengan mata cokelat tua berbintang yang bermandikan
cahaya pagi dan bertebaran putih, aku melihat cahaya di sekitar pupilnya.
“Hei,” gumamku canggung. “Apa yang kamu
lakukan?”
“Mau
berteman denganku?”
tanyanya, mengabaikanku.
Melihat pantulan dirinya
di mataku, Kei mulai tertawat ringan.
Dengan beban tas sekolahku dan berat badannya yang bersandar padaku, tubuhku
mulai roboh, dan kami berdua terguling ke belakang, membuatku hampir terduduk.
Aku menangkapnya dan dia
mengerjap kaget. “Tunggu,” katanya tergagap menuduh, “itu mengejutkanku.”
“Justru kamu
yang mengejutkanku,”
jawabku kesal.
Tangan yang tadinya
menggenggam pipiku dan kini menggenggam tanganku sendiri masih terasa agak
dingin.
“Aku
tak masalah,” kataku canggung, “Kalau kau mau berteman.”
Saat itu, dia tersenyum
padaku, seolah baru menyadari sesuatu. Senyumnya sungguh bahagia – tak seperti
yang pernah kulihat sebelumnya.
“Akhirnya
kamu mau
menatap mataku, Miyamine-kun,” katanya dengan nada
menggoda.
Begitu kata-kata itu
keluar dari mulutnya, kehangatan membanjiri wajahku. Tiba-tiba aku menyadari
tangannya menggenggam tanganku, dan aku menepisnya dengan cepat.
“Ma-Maaf,” desahku.
Dia cemberut. “Sakit, tau,”
gerutu Kei. “Jangan menepisku seperti
itu.”
Sambil menarik napas
dalam-dalam, dia melanjutkan mendaki
lereng tanpa menungguku.
Ketika aku menyadari jarak di antara kami semakin jauh, aku mulai bergegas
mengikutinya – lagipula, begitu mencapai puncak bukit, pada dasarnya kami sudah berada di sekolah. Aku
ingat merasa iba ketika melihat gerbang masuk di kejauhan, tapi aku tidak tahu
apa yang kami bicarakan untuk mengisi waktu itu. Yang kutahu hanyalah berbicara
dengannya terasa seperti kemewahan, dan entah bagaimana dia telah menemukanku di atas bukit itu.
Di pintu masuk sekolah,
kami berpisah. Rupanya dia
berencana bertemu dengan anggota Dewan Anak lainnya di suatu tempat di taman
bermain. Aku berganti ke sepatu
dalam ruangan dengan murung dan
berbalik ke arah ruang guru.
“Baiklah… terima kasih
untuk semuanya, Yosuga-san,” kataku.
“Kei,” jawabnya.
“Mm?”
“Panggil aku Kei,”
ulangnya. “Semua orang memanggilku
Kei, Kei-chan, atau Yosuga. Panggilan 'Yosuga-san' membuatku terdengar seperti
istimewa atau semacamnya.”
“...istimewa?” ulangku.
Lalu... tidak apa-apa,
kan?
Tapi aku tak punya
pilihan. Aku mulai memanggilnya dengan nama depannya untuk pertama kalinya,
meskipun aku sudah terbiasa memanggilnya Yosuga-san.
“Kei...” aku menghela napas. “Sampai jumpa di kelas.”
“Ya
– sampai jumpa lagi!”
Dia mengangguk puas dan
melesat menyusuri koridor, ranselnya bergoyang-goyang di belakangnya. Aku
terkejut, seolah tersapu ombak yang dahsyat. Kilatan biru dari ikat rambutnya menghilang
saat dia berbelok di tikungan, dan di pintu masuk, tempatku kini berdiri
sendirian, aku menyebut namanya sekali lagi.
Sambil menggenggamnya
erat—benda kejam dan berharga ini yang takkan pernah bisa kukenal—aku menuju
ruang guru.
• 🦋 ──────✧ 🦋 ✦ 🦋✧────── 🦋•
Setelah itu, kami jarang,
bahkan mungkin tidak pernah, berangkat sekolah
berbarengan. Meskipun dia berangkat ke sekolah pagi-pagi setiap hari untuk
menjadi sukarelawan di Dewan Anak, aku
hampir tidak sempat tiba di kelas tepat waktu. Tak pelak, ikatan singkat yang
kami jalin di lereng itu pun menguap, tetapi itu tidak serta merta berarti dia
melupakanku. Malahan, aku sekarang tahu bahwa dia selalu
memperhatikanku.
Aku
tidak mempunyai nyali untuk bergabung
dalam salah satu kelompok sosial yang terbentuk secara alami,
tetapi Kei mendukung keterlibatanku
dalam kelompok-kelompok yang tidak penting. Dia memudahkanku untuk menemukan jalan masuk,
atau mengalihkan pembicaraan kepadaku
ketika aku cuma jadi penonton.
Hal yang hebat tentang Kei adalah dia tidak pernah menunjukkan perhatian – hanya
pertimbangan – dan terlepas dari rekayasa halusnya di balik layar,
teman-teman sekelas kami entah bagaimana memiliki ilusi bahwa mereka telah
secara sukarela mengundangku atau
berbicara denganku.
Jadi, dengan bantuannya, aku mulai menyesuaikan diri dengan
teman-teman sekelas lainnya. Aku mulai
berteman dengan orang-orang yang sering aku
ajak bicara, dan ketika Golden Week berakhir sekitar sebulan kemudian, aku sudah menjadi ‘anak pendiam yang selalu
mengintai’. Berkat Kei, aku mendapatkan reputasi
itu—meskipun reputasi itu rapuh.
Kei adalah jantung kelas,
tetapi dia menghargai kami semua secara setara. Kalau dipikir-pikir, dia tidak
seperti siswa SD biasa, melainkan lebih seperti seorang guru. Dia berteman
dekat dengan seorang gadis bernama Hiyama-san—yang bertindak sebagai mediator
di kelas—dan seorang ketua kelas yang nakal bernama Nezuhara. Mereka adalah
teman sebaya dan pemimpin kami. Namun, Kei Yosuga unik. Dia setara dengan semua
orang.
Semua orang menyayanginya,
dan dia pun menyayangi mereka. Dia selalu terbalut dalam film kasih sayang
mereka. Setiap kali sinar matahari menyinari wajahnya yang tersenyum, suasana
kelas berubah. Dialah yang menjadi pemandu kelas.
Setelah kupikir-pikir lagi sekarang, keunikannya sungguh menakjubkan.
Biar aku
beri contoh: di Kelas 5-2, tidak diperlukan suara mayoritas.
Setiap kali ada sesuatu
yang perlu diputuskan, atau peran perlu diberikan, tidak pernah ada sedikit pun
perselisihan dalam kelompok. Tentu saja, solusi paling ortodoks adalah suara
mayoritas, tapi itu tidak pernah terjadi di kelas kami. Saat mengambil
keputusan, tiga puluh empat siswa tidak pernah terpecah belah. Kamu pikir kami bersikap dewasa dan membaca
suasana? Tidak mungkin. Kami memiliki konflik, percaya pada sihir
kekanak-kanakan, dan legenda urban juga populer. Kami adalah tipe anak yang
menggambar semanggi berdaun empat di buku catatan kami dengan pena hijau untuk
memastikan nilai bagus; atau berasumsi perasaan tak terbalas telah terbalas
ketika menerima penghapus dari seseorang yang mereka sukai; dan mempercayai bahwa kami telah dikutuk oleh
video di YouTube untuk diculik saat senja. Tidak, kami tidak terlalu pintar.
Meski begitu, para siswa Kelas 5-2 terkendali
dengan sempurna.
Lagu untuk festival musik
sekolah diputuskan tanpa hambatan – bahkan tanpa usulan balasan. Apa kalian bisa mempercayai kalau kita semua
akan mengangkat tangan setuju bahwa kita harus membuka kafe jazz selama festival
budaya, padahal kebanyakan dari kita belum pernah mendengarkan jazz sebelumnya?
Nah, di Kelas 5-2,
kejadian-kejadian aneh ini terus terjadi.
“Kita semua setuju,” Kei
akan bersorak dari podium. “Ayo kita lakukan yang terbaik!”
Setiap kali dirinya berdiri di podium sebagai
perwakilan kelas, dia
berbicara dengan senyum lebar. Kelas yang rukun tentu saja sebuah keajaiban.
Tapi sekarang aku tahu keajaibannya.
“Miyamine-kun tuh cukup terorganisir, ya?”
Dia mengatakan itu
kepadaku sesaat sebelum para anggota
komite diputuskan. Aku senang dia memujiku, dan aku tak bisa melupakan
kata-kata itu untuk sementara waktu. Sekarang kupikir-pikir, aku sebenarnya
bukan orang yang terorganisir atau rapi, tapi
karena dia bilang begitu, jadi aku mulai bersikap seperti itu.
Sebuah kebaikan yang selama ini tak kusadari.
Jadi, ketika semua peran
telah ditentukan, aku mencalonkan diri untuk komite kecantikan. Tidak ada
kandidat oposisi lain yang muncul untuk putra, jadi aku terpilih langsung.
Sementara itu, satu-satunya kandidat untuk putri adalah Taninaka-san, dan dia
juga terpilih.
Aku mulai mengetahuinya sekarang. Bukan cuma aku satu-satunya yang begitu. Kei melakukan hal yang sama
untuk semua orang. Kayano-san bergabung dengan komite perawatan hewan, dan
Nezuhara akhirnya menjadi komite olahraga. Ide-kun mengambil alih sebagai
perwakilan kelas – semua karena Kei yang memintanya. Semuanya sudah diatur
sebelumnya olehnya. Tentu saja, tidak ada yang dipaksa untuk melakukan apa pun.
Kami semua senang Kei telah mengakui kualitas terbaik kami, dan hanya
menanggapinya. Dan lagu paduan suara
yang disarankan Kei adalah sesuatu yang disukai semua orang.
Dan lagu paduan suara yang
disarankan Kei adalah sesuatu yang disukai semua orang dari lubuk hati mereka. 'Fly
with the Wind' terdengar keren, bahkan bagiku,
yang sama sekali tidak tahu tentang musik jazz.
Bayangkan konsep kehendak
bebas. Semua orang di Kelas 5-2 dipimpin sepenuhnya oleh Kei, tapi kami merasa senang dengan itu. Bisakah kami
benar-benar mengatakan bahwa kami tidak punya niat sendiri? Kami hanya memilih untuk diarahkan olehnya,
bukan?
Bahkan sekarang, aku tidak mengetahuinya.
• 🦋 ──────✧ 🦋 ✦ 🦋✧────── 🦋•
Titik balik kehidupanku terjadi
pada hari kunjungan lapangan.
Di sekolah SD tempat kami bersekolah,
kunjungan lapangan ini diadakan setiap akhir November. Walaupun kami menyebutnya 'kunjungan
lapangan', tetapi karena kegiatannya hanya naik kereta menuju taman yang berjarak dua stasiun dari sekolah, memilih tempat
yang cocok, dan membuat sketsa apa pun yang kami lihat, terkadang terasa
seperti sebagian kecil dari perjalanan sekolah yang sebenarnya.
Bahkan pada hari-hari
yang mendung, kegiatan itu tetap berlangsung. Karena merupakan acara tahunan
yang diadakan pada hari yang berbeda oleh semua tingkatan, kegiatan itu tidak
sering dibatalkan. Kelas-kelas lain dipastikan tidak akan terpengaruh, jadi
meskipun cuaca tampak agak buruk, perjalanan itu tetap dilaksanakan.
Di bawah langit kelabu yang
menggantung itu, udara terasa dingin, dan motivasi para siswa, termasuk diriku, rata-rata rendah. Namun, itu
cukup mudah. Membuat sketsa adalah
kegiatan yang bisa dilakukan sendiri tanpa terasa terlalu asing. Berkat Kei, aku dianggap sebagai anggota kelas,
tetapi menyendiri selalu lebih mudah.
Jauh
dari tempat kami semua berkumpul, aku
menggambar sebuah bangku dengan bentuk yang unik dan aneh. Gambarnya tidak
terlalu bagus, tetapi aku juga
tidak menganggapnya sebagai usaha yang konyol.
Setelah selesai, aku mempunyai waktu luang sekitar tiga puluh menit. Aku memutuskan untuk berjalan-jalan
di taman setempat dan melihat-lihat. Mungkin karena cuaca yang mendung, tidak
banyak anak-anak yang bermain di sekitar sini,
dan semuanya tampak sepi. Langit di atas mulai berubah dari kelabu menjadi
hitam, dan anak-anak yang tersisa sedang dilarikan pergi oleh orang tua mereka.
Lalu aku melihat Kei mencoba menghibur
seorang gadis yang menangis.
Kei membungkuk sejajar
dengan mata gadis itu dan berbicara sambil memberi isyarat. Aku tak bisa mendengar percakapan mereka, tapi aku melihat wajah gadis itu
perlahan-lahan cerah saat ia mendengarkan dan mengangguk. Akhirnya gadis itu
melambaikan tangan dan pergi sambil menggosok matanya.
Aku menatap kosong ke arah
kejadian yang terjadi. Ini bukan pertama kalinya aku melihat Kei menggunakan
sihirnya untuk menenangkan seseorang. Namun, dengan perlengkapan seni dan
tabung cat berserakan di tanah di sekelilingnya saat dia berbicara dengan gadis itu, Kei bagaikan
kebalikan indah dari langit kelabu.
Saat aku bingung harus
berkata apa, dia berdiri dan
membersihkan debu dari roknya. Dia berputar dan tiba-tiba sudut pandang dunia
tertuju padaku. Karena terkejut, matanya melebar dengan jelas.
“Wah, kamu
mengejutkanku. Apa yang kamu lakukan
di sini?”
Menyerahkan diri pada
senyum puasnya, aku mulai mendekatinya.
“Yah...
aku menyelesaikan sketsaku lebih awal. Aku juga tidak menyangka akan melihatmu
di sini.”
“Kamu
seharusnya memanggilku lebih awal,”
tegurnya, “Tapi jujur saja—aku menyadari kamu ada di sana beberapa waktu lalu.”
Itu bohong, kan? Dia hampir
tidak mengalihkan pandangan dari gadis yang sedang diajaknya bicara. Tapi kalau
dia bilang begitu, ya sudahlah.
“Gadis
itu,”
Aku
memulai pembicaraan, mencoba meredakan kecanggungan
yang mulai kurasakan.
“Dia
datang membawa layang-layang,” Kei mulai
menjelaskan, “Tapi waktu dia ke kamar
mandi, layang-layang itu tiba-tiba menghilang. Anginnya mungkin luar biasa
kencang hari ini. Katanya itu buatan tangan waktu TK, jadi itu sangat berharga
untuknya.”
“Tapi,
kamu berhasil menghentikannya menangis.”
“Ya,
ya,” Kei mengangguk. “Aku sudah menceritakan semuanya tentang sifat
sementara dan logistik segala sesuatu.”
“Dasar pembohong.”
Aku mengatakannya tanpa
jeda, dan sebagai balasan, dia tertawa gembira. Sihir apa pun yang telah dia
rancang untuk gadis kecil itu tampaknya menjadi rahasia di antara mereka
berdua.
“Tetap saja, aku merasa senang bisa bertemu denganmu di sini. Aku
tidak menemukan apa pun yang ingin kugambar, jadi aku mondar-mandir tanpa
tujuan. Kita mungkin cocok.”
“Itu… yah.”
Dia mengatakannya dengan
begitu riang, aku mengalihkan pandanganku, dan di sudut pandanganku, aku
melirik sebuah benda mencolok berwarna hitam dan merah.
“Hah? Benda di sana itu.... bukannya itu layang-layang yang dibicarakan
gadis itu, ‘kan?”
Aku menunjuk ke sebuah perosotan
besar dengan tulisan ]Sedang
Diperbaiki]
tergantung di atasnya. Di puncak tangga yang menurun, ada sebuah kubah seperti
keranjang yang terbuat dari anyaman tipis, dan layang-layang yang dimaksud
tersangkut di jaring keranjang.
“Oh
syukurlah,”
desah Kei, “Aku akan mengambilnya dan
membawanya ke kantor taman, mungkin dia akan mengembalikannya.”
Aku tidak menghentikannya
ketika dia mulai memanjat perosotan.
Meskipun aku melihat papan
yang memperingatkan pengunjung taman bahwa perosotan sedang diperbaiki, aku
tidak bisa membayangkan orang seperti Kei akan terpeleset, jadi aku hanya
memperhatikannya dengan ragu-ragu. Setelah berhasil menangkap layang-layang
itu, dia menoleh ke arahku dan untuk sesaat, bertumpu pada pagar pembatas. Saat
itulah aku mendengar derit, diikuti oleh bunyi gedebuk pelan yang menggema di
sekitarku.
Selama beberapa detik yang
panjang, aku tidak yakin apa yang terjadi.
Tanpa menyadarinya sama sekali, Kei
telah ambruk dan jatuh di sampingku. Di sekelilingnya berserakan kayu-kayu
patah, dan aku langsung lega karena tak ada satu pun yang mengenainya. Jika itu
terjadi, aku pasti sudah panik.
“Kei!?... Apa kamu
baik-baik saja? Kei?”
Sambil berbicara, aku
bergegas membantunya berdiri. Dan kemudian, aku menggigil.
Di kelopak mata kanannya
terdapat satu bekas yang tampak seperti disayat binatang buas. Kulit yang robek
di sekitar luka itu tampak seperti potongan kain. Tak ada waktu untuk berdiri
terpaku di sana. Saat darah segar perlahan merembes dan menutupi lukanya,
dengan tangan pucatnya menekan matanya, ada aliran darah yang terbentuk di
antara jari-jarinya dan menciptakan aliran
di punggung tangannya. Mungkin terkejut dengan sensasi hangat itu, dia menarik napas tajam. Aku hampir berteriak
panik.
“Kei!
Apa yang harus kulakukan? Apa yang harus kulakukan? Kei, kita harus cepat
kembali—”
“Kakiku...”
“Hah?”
“Kakiku
sakit...”
Ucapnya lirih saat darah
mulai mengalir ke sikunya.
“Aku
akan menggendongmu di punggungku,”
kataku padanya.
Dia kebingungan, jadi aku memaksanya ke punggungku, dia lalu memegang bahuku erat-erat dengan kedua tangannya. Aku
pun memegang erat-erat setelah dia berada di posisi itu.
Aku tak ingat banyak
setelah itu. Bahuku basah oleh darahnya. Saat mereka semua melihat Kei dengan
darah mengucur dari wajahnya, semua orang – termasuk guru kami – gempar. Lagipula, korbannya
adalah Yosuga Kei. Ambulans segera dipanggil, dan kami dipisahkan, dia di satu
ambulans dan aku di ambulans lainnya.
Ketika mereka bertanya apa
yang terjadi, aku tak bisa bicara dengan jelas. Bahkan sambil bercucuran
darah,
Kei mampu menjelaskan situasinya lebih baik daripada diriku – dan aku bahkan tidak
terluka. Dia hanya mengatakan bahwa dia memanjat peralatan bermain yang sedang
diperbaiki saat mencoba mengambil layang-layang dan terjatuh. Ketika dia
menyadari bahwa dia tak bisa bergerak, “Miyamine-kun
menggendongku di punggungnya dan membawaku ke guru."
Aku kemudian dipuji karena melakukan
perbuatan baik di ambulans. Jarang
sekali kita mendapat pujian dari orang lain selain orang tua. Itu menghancurkan
hatiku.
Aku
dibawa ke rumah sakit bersamanya, tetapi mereka memeriksaku hanya untuk
memastikan aku tidak mengalami syok.
Setelah selesai pemeriksaan,
dan sebelum meninggalkan ruang pemeriksaan, aku
menoleh ke dokter.
“Apa
yang terjadi pada Kei?” tanyaku.
“Pergelangan
kakinya terkilir, tapi untuk matanya, tidak ada kerusakan pada kornea,” katanya meyakinkanku, sebelunya dirinya juga memujiku karena menggendong Kei di punggungku.
“Sayang
sekali—seorang gadis punya bekas luka di wajahnya,” gumamku.
Aku mengatakannya tanpa
berpikir. Kei adalah seorang gadis yang luar biasa cantik, jadi kata-kata itu
mengalir begitu saja. Aku merasa bersalah karena telah melewati batas dengan
kata-kata itu.
Aku tidak melakukan
apa-apa. Satu-satunya yang bisa menghentikannya memanjat perosotan adalah aku. Akulah yang sudah membuat Kei
terluka.
Seminggu setelah kejadian
itu, Kei tidak masuk sekolah.
Dia menjadi topik utama
pembicaraan di kelas. Karena ketidakhadirannya, rumor-rumor
itu menjadi semakin buruk, dan ketika pertama kali mendengar bahwa lukanya
mengancam jiwa, hatiku bergejolak. Seseorang mengatakan bahwa dia pingsan
setelah kepalanya terbentur saat jatuh, dan aku tidak mungkin bertanya langsung
padanya.
Setelah mengkhawatirkan
diriku sendiri, aku menguatkan tekadku
dan memutuskan untuk mengunjunginya di rumah setelah sekolah selesai. Berdiri
di depan papan nama hitam, dengan nama Yosuga terukir di atasnya, aku menarik
napas dalam-dalam. Di sekelilingku berserakan peti-peti kayu untuk menyimpan
koran-koran bekas dan bunga pansy yang ditanam di sekolah, berjajar rapi dalam
pot-pot. Bunga-bunga itu indah karena ditanam olehnya. Tatapanku terpaku
beberapa detik, lalu akhirnya, aku membunyikan interkom rumahnya.
Aku sudah mempersiapkan
diri secara mental untuk diusir, tetapi ibunya
justru mengizinkanku masuk tanpa ragu.
Rumah itu sangat rapi.
Foto-fotonya menghiasi dinding ruang tamu, mulai dari foto keluarga Kei yang
digendong kedua orang tuanya dan tersenyum lebar ke arah kamera, hingga
foto-foto profesionalnya saat dia sedang
memodelkan pakaian anak-anak. Aku memandangi semuanya. Aku merasa ini adalah
satu keluarga yang sangat bahagia.
Aku menyerahkan kue castella yang kubawa kepada
ibunya, dan dia berterima kasih
kepadaku karena telah membantu putrinya dalam karyawisata sekolah. Karena merasa canggung, aku mengalihkan
pandanganku dan mengikutinya diam-diam ke arah kamar tidur Kei.
“...Kei?” panggilku dengan
ragu.
Sebuah suara terdengar
jelas dari balik pintu. “Masuklah,”
katanya, meskipun tak ada tanda-tanda keceriaannya yang khas. Dia tampak hampir tertunduk.
Kei sedang duduk di tempat
tidurnya ketika aku memasuki kamarnya.
Dia membelakangiku, dan mengintip ke
luar jendela. Tanpa bergerak, dia mulai
berbicara.
“Terima
kasih sudah datang mengunjungiku,”
katanya dengan nada lesu, “Kupikir aku masih perlu berterima kasih
padamu dengan semestinya.”
“Tentu...” Aku menjawab dengan canggung, “Ehm...
kamu baik-baik saja? Semua orang bertanya-tanya
kapan kamu akan kembali ke sekolah.”
“Aku
takkan kembali ke sekolah.”
Setelah mengatakan itu, dia berbalik menghadapku dan aku melihat mata kanannya tertutup
perban. Bau darah yang menyengat dari taman kembali membanjir ke arahku.
“Aku tidak akan pergi,”
ulangnya. “Lihat keadaanku.”
Dia
mengangkat tangannya dan menyentuh area di dekat mata kanannya.
“Keadaanmu…?” gumamku
ragu.
“Kalau ada orang lain yang
melihat wajahku sekarang, mereka pasti akan
merasa jijik padaku.”
Suaranya bergetar menahan
emosi. Saat itulah aku tersadar. Foto-foto model profesional di ruang tamu
menjadi saksi bisu kecantikan seorang gadis yang luar biasa – seorang gadis yang
langsung kucintai sejak pertama kali melihatnya. Dia
mungkin terus-menerus dipuji karena kesempurnaannya, dan dipandang kurang dari
standar harga dirinya sungguh mengerikan.
Tentu saja pesonanya bukan
hanya sebatas kulit, tetapi mudah dimengerti bagaimana dia akan merasa lebih takut daripada orang
lain dalam situasi yang sama.
“Jangan
konyol,” tegurku, “Mana
ada orang yang merasa jijik—”
“Meski
penampilanku begini?”
Sambil berbicara demikian, dia
perlahan-lahan mulai membuka perban dengan
tangannya. Ketika dia
membuka kain kasa putih itu, terdapat luka dalam yang
membentang vertikal dari kelopak matanya hingga ke kelenjar air mata di
bawahnya. Seperti jurang merah tua, luka itu jauh lebih parah daripada yang kubayangkan,
dan air mata mulai menggenang di mataku.
“…Maafkan aku,
Miyamine-kun. Aku tahu jika aku menunjukkannya padamu…”
“Bukan begitu – kamu tetap kelihatan cantik
apa pun yang terjadi.”
Kata-kata yang biasanya
akan membuatku malu itu terlontar begitu saja. Matanya sedikit melebar,
seolah-olah membuatnya lengah.
“Aku menangis karena aku
menyedihkan…” jelasku. “Seharusnya aku yang memanjat perosotan itu, dan kamu pasti akan baik-baik saja. Aku benar-benar minta maaf.”
Seharusnya aku yang
terluka seperti itu. Aku lupa berapa kali aku berharap bisa memutar waktu. Aku
meminta maaf berulang kali, maafkan aku, maafkan aku, sampai semuanya menjadi
berantakan, tak berarti, dan berdoa kepada Tuhan agar aku ditimpa luka yang
sama.
“Kurasa
tak ada yang akan membencimu,”
lanjutku, “dan jika ada yang
mengatakan hal buruk tentangmu... aku akan melawan mereka.”
Kata-kata itu agak
berlebihan bagiku – setidaknya, bukan kata-kata yang pantas diucapkan dengan
wajah merah, berbintik-bintik, dan berlinang air mata – tetapi aku harus
mengatakannya. Kei perlahan membuka mulutnya.
“Kalau
begitu... Miyamine, maukah kamu menjadi
pahlawanku?”
Saat Yosuga Kei menanyakan
pertanyaan itu, sisa kehidupanku pun dimulai.
Meskipun masih anak kecil, aku sudah tahu bahwa sejak saat
itu, tak ada yang bisa mengalahkannya. Jadi kuputuskan, ya, aku akan menjadi
pahlawannya.
“Tidak
peduli kapan pun itu atau versi diriku yang mana pun –
maukah kamu melindungiku, Miyamine?
Maukah kamu terus berada di pihakku?”
“...Tentu.
Aku janji. Apa pun yang terjadi, aku
akan melindungimu. Aku selalu berada di
pihakmu.”
“Kalau
begitu, itu janji.”
Dengan
lukanya yang masih terbuka, Kei mengulurkan
tangan kepadaku yang bersandar di
tempat tidur. “Dalam sakit maupun sehat,” dia
memulai.
“...Bukannya itu mirip seperti
sumpah pernikahan?” tanyaku,
dan untuk pertama kalinya hari itu, dia
tertawa menanggapi. Jari kelingkingnya yang melingkari jari kelingkingku terasa
hangat. Aku masih mengingat
sensasi itu.
Keesokan harinya, pintu
kelas terbuka, dan saat aku melihat Kei masuk, waktu seakan-akan berhenti.
Meski mengenakan penutup
mata, dia tetap menyeringai seperti biasa. Kuncir
rambutnya yang menjadi ciri khasnya diikat dengan pita merah tipis, dan dengan
warna putih penutup mata itu, menciptakan kontras yang aneh.
Semua orang menarik napas
dan menatapnya. Tiba-tiba dia tak
lagi tampak seperti gadis yang akan menyembunyikan mata kanannya karena merasa malu. Malah sebaliknya. Dia kelihatan cantik.
Saat itu aku tak tahu
kalau penutup mata bisa memiliki kekuatan sebesar itu. Mereka yang memandangnya
secara alami tertarik padanya dan menangkap kilauan di mata kirinya yang
membuat mereka terpesona. Sampai dia
berbicara, tak seorang pun bergerak seolah-olah mereka semua melayang dalam
ruang dan waktu.
“Selamat
pagi semuanya,” sapanya dengan gembira.
Bersamaan dengan
kata-kata itu, semua orang kembali terduduk. Mereka
semus bergegas ke sisinya, menyuarakan kekhawatiran
mereka dan sebagai tanggapan, dia
menghela napas lega. Aku mungkin satu-satunya orang di ruangan itu yang
menyadarinya.
Setelah seminggu,
untungnya dia berhasil melepas
penutup mata itu sepenuhnya. Bekas lukanya bahkan takkan terlihat kecuali jika
cukup dekat untuk menciumnya—dari kejauhan hampir tak terlihat. Namun, janji
yang kubuat padanya tak pernah pudar—dan aku tak akan melupakannya sampai dia meninggal.
Kehidupanku berubah drastis setelah
karyawisata itu.
Karena tepat ketika aku
menjadi 'pahlawan'-nya Kei,
perundungan yang kualami dari Nezuhara Akira dimulai.
Semuanya dimulai seminggu
setelah karyawisata itu.
Awalnya penghapus. Saking
seringnya aku menggunakannya, penghapus itu sudah kecil saat itu, jadi aku tak
terlalu khawatir terjatuh.
Lalu pensil. Awalnya aku
punya tiga pensil—masing-masing dengan tutup merah, biru, atau hijau di
ujungnya, dan pensil dengan tutup merah itulah yang lenyap. Kupikir itu aneh,
tapi aku masih punya dua pensil lainnya dan karena aku kelas atas, aku tetap
bisa menggunakan pensil mekanik. Wajar saja, pensil mekanik itu hilang keesokan
harinya. Suasana di kelas belum banyak berubah. Hanya aku yang merasakan
sesuatu, jadi aku berusaha untuk tidak terlalu mengkhawatirkan apa yang terjadi
padaku.
Lalu, pada hari ketiga, aku mengambil
pensil yang patah terbelah dua dari kotak pensilku. Wajahku memucat. Saat itu,
sulit untuk tidak berpikir ada niat jahat di baliknya. Diam-diam, aku menutup
kotak pensilku dan mendengarkan seluruh kelas tanpa mencatat apa pun.
Masalah yang berawal dari
sebuah penghapus perlahan-lahan bertambah besar. Setiap kali aku mengalihkan
pandangan, barang-barangku lenyap. Aku berusaha untuk tidak beranjak dari
tempat dudukku, tetapi ada kalanya kami harus membersihkan atau pindah ke ruang
kelas lain, dan aku tidak selalu bisa mencegahnya.
Kalau dipikir-pikir lagi,
kurasa aku bisa saja bicara dan berkonsultasi dengan orang dewasa saat itu.
Seseorang mencuri barangku, dan aku
merasa terintimidasi. Mungkin mereka bisa mengatasinya, tetapi aku tidak
mengatakan apa-apa.
Aku mendongak. Kei sedang
mengobrol dengan ramah dengan sekelompok orang di sudut kelas. Setelah berjanji
seperti itu, kami memang tidak terlalu dekat, tetapi setiap kali kami
membicarakan hal-hal sepele, suaranya terdengar lebih lembut dari sebelumnya.
Itulah sebabnya aku tidak ingin Kei tahu, dan karena itulah, aku tidak memberi tahu siapa
pun.
Buku pelajaranku terendam
air dan dibuang ke laci mejaku hari itu. Diam-diam, sepulang sekolah, aku
mencoba mengelapnya. Dengan buku teks kering di bawah lengan dan pensil mekanik
tersimpan rapi di saku, aku melanjutkan sekolah.
Tepat setelah liburan
musim dingin, Kei terserang flu.
Dialah yang pertama kali
terserang flu musim dingin itu, sehingga semua orang, termasuk wali kelas,
mengkhawatirkannya. Tentu saja, aku pun tak terkecuali. Tanpanya, ruangan
terasa lebih dingin, dan jauh lebih kecil. Aku menyembunyikan perundunganku
dari Kei, tetapi aku sangat menyadari bahwa kehadirannya berfungsi sebagai
penengah.
Di kelas, ada banyak
keributan tentang siapa yang akan membawakannya selebaran dari kelas setiap
hari. Dia sedang flu, jadi dia dipastikan libur seminggu, dan itu berarti semua
orang bergantian. Kurasa itu seharusnya menjadi beban, tapi karena orang yang dikunjungi adalah Kei,
rasanya lebih seperti acara.
Jika aku mengunjunginya,
apakah dia akan senang? Aku bertanya-tanya.
Aku menyadari bahwa jika
semua orang bergantian mengunjunginya, takkan ada selebaran tersisa untuk
segera dibagikan. Apa dia akan merasa
senang jika aku yang mengantarkannya? Mungkin ketika demamnya turun, aku bisa
membawakannya sesuatu yang manis.
Saat makan siang hari itu,
aku menemukan syal yang dibelikan untukku robek-robek oleh seorang tukang
potong dan mengembalikannya ke mejaku. Aku sedang bertugas makan siang hari
itu, dan terpaksa meninggalkan kelas untuk itu.
Kali ini berbeda. Syal itu
diletakkan dengan cara yang hampir sombong. Hatiku berdebar kencang. Ini
pertama kalinya mereka begitu terang-terangan tentang hal itu. Saat itu,
seseorang sengaja menabrakku saat aku berdiri di depan meja.
“Kamu menghalangi,”
bentak mereka.
Aku mendongak. Orang yang
menyeringai ke arahku saat mereka berbicara adalah Nezuhara Akira. Secara naluriah aku tahu siapa
dalang di balik perundunganku. Rasa dingin menjalar di tulang punggungku dan
aku merasa lemas. Nezuhara melirikku tajam, permusuhan dan ketidaksenangannya
terlihat jelas. Aku melirik sekeliling dan melihat semua teman sekelasku
menundukkan pandangan.
Harus kuakui, aku tidak terlalu disukai
di kelas. Hanya ada beberapa orang yang berbicara denganku. Namun, itu pertama
kalinya aku diabaikan begitu saja.
“Ada
apa?” tanyaku dengan patuh, mendengar suara
kecilku sendiri bergema di kelas yang sepi.
“Jangan
sombong, Miyamine,” balas
Nezuhara, mendorongku lagi.
Kali ini tubuhku
menghantam meja. Entah bagaimana rasanya tak nyata – lantai dingin di bawahku
dan rasa sakit yang tiba-tiba kurasakan.
Tak ada keraguan dalam
benakku bahwa kehadiran Kei saja telah mencegah hal ini terjadi lebih cepat.
Namun, aku tak pernah menyangka bahwa tanpa
kata-kata paksaannya, perundungan akan meningkat begitu parah. Hanya ada satu
alasan mengapa hal itu terjadi. Sementara aku berusaha menyembunyikan apa yang
terjadi dari Kei, Nezuhara juga melakukan hal yang sama.
Aku menelan ludah dan
menatap Nezuhara.
Seminggu tanpa Kei terasa
seperti neraka.
Pada akhirnya, aku tak pergi menjenguknya. Aku bahkan tak punya waktu
untuk memikirkannya. Di bawah langit musim dingin yang menusuk tulang itu,
seember air disiramkan ke tubuhku, dan aku tak lagi punya kekuatan untuk
berpikir. Akibat Kei yang
absen seminggu karena flu, Nezuhara bebas berbuat sesuka hatinya dan melancarkan
kampanye perundungan yang jauh lebih brutal dan terang-terangan daripada
sebelumnya. Teman-teman sekelasku mulai memperlakukanku seolah-olah aku tak terlihat dan bahkan tak
menghentikannya ketika aku dipukuli di
sudut kelas.
“Wajahmu
seperti perempuan,”
geramnya, “menyeramkan.”
Dirinya mencibirku sambil menjambak
rambutku. Mereka tahu aku akan mencoba kabur, jadi aku diapit oleh Samura dan
Ooi yang merupakan teman baiknya. Saat aku membuka mulut untuk bicara, Nezuhara
dengan cepat menendang perutku sekuat tenaga. Aku tak mengerti mengapa aku
harus menanggung semua ini. Tepat saat mereka memasukkan sampah ke dalam
ranselku, mereka menjejalkan kata-kata seperti ‘mati’ ke telingaku, dan yang bisa
kulakukan hanyalah menangis.
Namun, semuanya berakhir
secepat awalnya ketika Kei kembali berangkat ke
sekolah.
Saat dia masuk mengenakan penutup telinga berbulu
dan syal merah muda, semuanya berubah.
“Semuanya
– selamat pagi!” sapanya.
“Lama tak berjumpa, kurasa. Yah, rasanya sudah
lama sekali.”
Sambil berkata begitu, dia tersenyum agak cemas. Semua orang langsung
mengerumuninya. Apa ini benar-benar baik-baik saja? Dia menjawab dengan riang ketika
diberitahu bahwa ia dirindukan, dan bahkan Nezuhara berbicara dengan riang
ketika ia mengatakan bahwa ia mengkhawatirkannya.
Saat aku melihatnya, aku
mulai merasa bahwa semuanya sampai saat ini hanyalah mimpi. Meskipun masih ada
memar yang belum hilang di balik pakaianku, Kei telah kembali, dan dunia
kembali seperti semula.
Perundungan yang
terang-terangan itu tiba-tiba berhenti. Rasanya seperti semuanya sejauh ini
hanyalah kebohongan. Teman-teman sekelas yang selama ini mengabaikanku
tiba-tiba mulai berbicara lagi, dan Nezuhara berhenti memukuliku. Tentu saja,
barang-barangku masih terus hilang, tapi semuanya dilakukan dengan sangat cerdik
agar Kei tidak pernah tahu. Aku hampir berpikir, untuk sesaat, bahwa
perundungan itu akan mereda suatu hari nanti.
Kamu mungkin bisa membayangkan betapa besar
dampak naik ke kelas enam, ketika aku akhirnya berada di kelas yang berbeda
dengan Yosuga Kei.
• 🦋 ──────✧ 🦋 ✦ 🦋✧────── 🦋•
Ketika aku naik kelas 6, aku memasuki
kelas yang terpisah dengan Kei. Namun, Nezuhara dan
kroni-kroninya akhirnya sekelas denganku. Itu adalah kesepakatan yang kejam.
Kei yang kelasnya di sebelah, melambaikan tangan dengan penuh penyesalan dan
aku terpaksa mengulang kembali minggu yang menyiksa itu tanpa Kei berulang kali.
Kei tak kunjung kembali.
Setiap hari, aku diabaikan dan diserang dengan kasar oleh Nezuhara dan yang
lainnya. Wali kelas kami ternyata adalah Mayama-sensei yang pernah mengajar
kami di kelas lima, yang entah bagaimana memperburuk keadaan. Prioritasnya
adalah memastikan tidak ada masalah di kelas, jadi dirinya hanya berpura-pura tidak menyadari adanya
perundungan dan melihatku terbunuh.
“Kenapa?”
Aku pernah bertanya satu kali pada
Nezuhara. Kenapa aku? Kenapa kau membuatku menanggung ini? Sesaat, aku
pikir ini hukuman karena telah menyakiti Kei, tapi dia tak pernah memberi tahu
siapa pun bahwa akulah penyebab lukanya. Tak seorang pun akan menghukumku untuk
itu. Nezuhara menjawab dengan dingin, dengan seringai yang membuatku menciut. “Kenapa tidak?”
Dan keadaan pun semakin liar.
Sekolah SD tempat kami bersekolah, sebagian
besar, mengizinkan penggunaan smartphone.
Hal ini terutama karena ada siswa yang sedang belajar untuk ujian masuk SMP
yang langsung mengikuti bimbingan belajar setelah kelas selesai. Tentu saja,
kami dilarang menggunakannya sebelum jam
pelajaran sekolah selesai, dan jika ketahuan, ponsel kami
disita.
Namun, tidak ada yang
benar-benar mematuhi aturan itu. Anak-anak yang licik menyadari bahwa jika
mereka meredamkan bunyi ponsel mereka selama kelas,
selama guru tidak melihatnya, mereka
masih bisa menggunakannya.
Nezuhara dan aku adalah ‘teman’ di aplikasi perpesanan. Saat
kami kelas lima, Kei pernah meminta semua orang untuk bertukar informasi
kontak. Jadi, meskipun kami tidak pernah berkirim pesan, aku tetap terhubung
dengan setiap anggota Kelas 5-2.
Sekitar sebulan setelah kami menduduki bangku kelas 6, Nezuhara mulai
mengirimiku pesan.
Mungkin karena takut
meninggalkan bukti, ia menolak mengirimiku
pesan langsung seperti ‘mati’ atau ‘jangan datang ke sekolah’. Sebaliknya, hal pertama yang ia
kirimkan padaku justru tautan sebuah blog. Aku sudah punya firasat buruk. Butuh
beberapa menit bagiku untuk
memberanikan diri mengetuk tautan itu. Aku
menyaksikan ikon pemuatan berputar-putar sambil menelan ludah.
Akhirnya, sebuah blog
sederhana dengan format dasar
dimuat. Blog itu yang berjudul 'Ensiklopedia Kupu-kupu', hanya memuat
gambar tangan manusia tanpa konteks.
Tidak ada yang ditampilkan
di atas pergelangan tangan, meskipun latar belakangnya masih dapat dikenali.
Namun, tidak seorang pun akan pernah tahu siapa pemilik pergelangan tangan itu.
Tapi aku segera mengenalinya karena
itu adalah foto tanganku sendiri.
Saat aku mengenalinya,
perutku langsung mual.
Aku mengenali adegan
ketika aku disiram air saat bersih-bersih. Adegan lain ketika aku ditusuk
pulpen di paha. Adegan lain ketika mereka mengambil semua pakaianku dan
mengunciku di gedung olahraga.
Lalu tanganku terulur putus asa sambil mereka menginjak-injak punggungku.
Makanya muncullah 'Ensiklopedia
Kupu-Kupu'. Akulah serangga yang tertangkap, dimasukkan ke dalam kotak
spesimen dan dipamerkan untuk dilihat semua orang. Mereka punya naluri penamaan
yang buruk, dan yang memperburuknya ialah
akarnya begitu mudah dikenali. Tiba-tiba aku merasa tidak nyaman dengan diriku
sendiri.
Kurasa dia tahu bahwa
menampilkan wajahku di foto-foto itu akan menimbulkan masalah karena pasti ada
yang tahu. Namun, jika 'Ensiklopedia Kupu-Kupu' hanya menampilkan
tangan, itu akan lebih sulit dikenali.
Bahkan jika aku melaporkan
blog itu karena pelanggaran privasi, karena hanya menampilkan foto satu bagian
itu, apa blog itu akan dihapus? Lagipula, tak ada orang lain selain Nezuhara
dan diriku yang bisa memastikan bahwa foto-foto itu memang diriku. Dia memang diam-diam
melakukannya. Akhirnya aku belajar untuk pertama kalinya tentang kapasitas
manusia yang tak terbatas untuk melakukan kekejaman.
Aku mengulurkan
tangan dan menyentuh telapak tanganku
sendiri di foto tersebut. Dengan
kehangatan yang terpancar dari layar sentuh, aku
merasa seperti benar-benar menyentuh kulitku
sendiri saat itu. Pada saat itu
juga, aku mulai muntah. Aku hampir tidak berhasil menutup halaman web itu. Syukurlah aku berhasil menutupnya karena mana mungkin aku
bisa menunjukkannya kepada orang tuaku.
Mereka dengan lembut
membelai rambutku dan
memberi air hangat untuk diminum segera setelah mereka menyadariku tiba-tiba muntah. Meskipun
mereka berdua sangat sibuk dengan pekerjaan, mereka mengambil cuti setengah
hari untuk membawaku ke klinik.
Itulah sebabnya aku tidak bisa memberi tahu mereka
apa yang sebenarnya terjadi. Mereka benar-benar meyakini
kalau aku cuma sakit biasa.
Namun, ada keberuntungan
di balik kemalanganku – aku sudah mulai menunjukkan
tanda-tanda insomnia, dan muntah-muntah itu, bersama dengan kesehatan fisikku yang buruk dan kurangnya nafsu
makan, dikaitkan dengan hal itu. Ternyata insomnia mendadak tidak terlalu
jarang terjadi di kalangan anak SD,
jadi mereka tidak berani mencari tahu penyebabnya.
Aku
diberi obat, tapi aku
diam-diam membuangnya. Sebaliknya, aku terjaga sepanjang malam, menatap
langit-langit. Aku tak ingin insomniaku sembuh – karena
itu bisa menjadi alasan yang kugunakan untuk menutupi penderitaanku
yang sebenarnya.
Aku begitu mengantuk
keesokan harinya, sampai-sampai aku terhuyung-huyung saat mendaki lereng menuju
sekolah. Aku hanya mengandalkan ingatan otot untuk membawaku dari titik A ke
titik B.
“Kalau
kau tidak datang ke sekolah, aku akan memberimu hukuman dua kali lipat sebagai
ganti rugi,” Nezuhara memperingatkanku.
Dan aku tidak melupakannya. Aku hanya kehilangan semangat
untuk melawan.
Jadi sekali lagi, hari
itu, 'Ensiklopedia Kupu-Kupu' mendapat pembaruan, memberi seluruh dunia
jendela untuk melihat penindasan keji yang kuhadapi. Semakin aku memikirkannya, semakin parah rasa sakit
emosional dan fisik itu. Bunyi rana di klimaks penindasan adalah isyarat sang
algojo.
Namun, bukan hanya aku saja–——
Nezuhara juga mulai bertindak aneh. Mustahil, membunuh jiwa seseorang secara
bertahap, hari demi hari, tidak akan membebani si penyerang. Semua orang mulai
menjauhinya, tetapi ia tetap melanjutkan seolah diperintahkan—menyiksaku
seolah-olah itu rutinitas belaka.
Dan karena terus berlanjut
seperti itu, tanpa henti, hanya masalah waktu sebelum Yosuga Kei mengetahuinya—dan memang begitu.
Totalnya ada enam orang, termasuk
Nezuhara, dan mereka biasanya menyerang sepulang sekolah, mengepungku saat aku
mencoba meninggalkan kelas dengan cukup presisi hingga dianggap ritualistik.
Sayangnya, tak seorang pun datang hari itu. Aku tak lagi berharap bisa pulang
tanpa insiden, jadi jantungku berdebar kencang.
Tentu saja, aku langsung
berlari menuju pintu keluar gedung. Hampir seketika aku bertemu salah satu
kroninya—seorang anak laki-laki keras kepala, jauh lebih tinggi daripada
kebanyakan anak kelas enam lainnya yang bernama Amano. Anehnya, ia sendirian,
dan aku melirik ke sekeliling dengan ragu, perutku serasa diremas menyadari
bahwa aku mungkin akan diserbu oleh mereka semua. Sebaliknya, Amano melirikku
dengan mata ketakutan, lalu mulai bergumam lirih.
“Kamu,”
katanya dengan nada jijik, “Karena kamu, Yosuga—”
Sebelum ia selesai
berbicara, ia terhuyung-huyung berlari menyusuri koridor, meninggalkanku
sendirian.
Apa
maksudnya itu? Aku menoleh ke arah asalnya dan melihat
pintu-pintu gimnasium yang berat di kejauhan. Ada ruang penyimpanan peralatan
di sudut, yang juga merupakan tempat nongkrong Nezuhara. Aku tahu betul
sekarang. Aku sudah cukup sering diseret ke sana hingga merasa tersiksa.
Tubuhku gemetar karena merasakan firasat buruk. Sejujurnya, aku
ingin pulang secepat mungkin sebelum Nezuhara menemukanku. Dengan begitu, aku
bisa lolos dari amukannya hari ini. Namun, kakiku punya ide lain, dan membawaku
ke ruang peralatan terlepas dari niatku. Amano telah menyebut namanya – aku
ingin tahu kenapa.
Aku memasuki gedung olahraga dan langsung menuju ruang
penyimpanan. Aku tahu ruang itu akan digunakan dalam satu jam – sepulang
sekolah, ruang itu digunakan bersama oleh berbagai klub olahraga – jadi aku
tahu jika terjadi sesuatu, seseorang akan dapat membantunya dalam jangka waktu
tersebut. Bukan aku yang harus melakukannya – tetapi aku tak bisa menahan diri.
Di dalam kegelapan. Aku dengan panik menyalakan
lampu dan melihat sekeliling.
Kotak lompat di tengah
ruangan bergoyang di depan mataku. Dengan beban di tutupnya, tongkat-tongkat
yang digunakan dalam bola voli dan inflator untuk bola ditumpuk di atasnya.
Perutku terasa mulas dan aku bergegas menghampiri. Saat itulah aku mendengar
ratapan teredam dan penuh air mata dari dalam.
“Kei!” teriakku.
Mengambil kotak pertama
dari tumpukan itu, aku melemparnya dan mengintip ke dalam.
“...Miyamine.”
Meskipun matanya yang
melebar kelihatan merah, aku tidak melihat air mata
di wajah Kei. Dia gadis yang gigih, tetapi sesuatu memberitahuku bahwa dia
hampir berteriak ketika dia menggigit bibirnya erat-erat.
“Kamu menepati janjimu."
“Tidak
juga – kurasa aku tidak bisa masuk.”
“Tentu
saja kau bisa. Kamu
pahlawanku, ‘kan?”
Dia mulai tertawa
terbahak-bahak, dan air mata yang mengancam akan tumpah pun membanjiri. Tawa
itu mereda menjadi erangan.
“Aku
tidak bisa menghentikannya.”
“...Hah?”
“Aku
bertanya pada Nezuhara-kun – aku memperingatinya
kalau ia sudah melakukan sesuatu yang mengerikan padamu dan aku
ingin dia segera berhenti. Dirinya justru semakin
marah...”
Akhirnya aku mengerti
maksudnya. Dia akhirnya tahu – tahu tentang semua perundungan yang selama ini
kualami. Dan dengan ketegasan memilih lagu paduan suara dan slogan kelas, dia
langsung menghampirinya untuk menghadapinya. Hanya saja, sihirnya tidak
berhasil kali ini. Nezuhara, yang konon memuja Kei sama seperti orang lain,
tidak mendengarkannya.
“Ia
menakutkan – dan semakin marah ketika aku menyebut namamu. Ia lalu mengurungku di sini.”
Aku menghubungkan
titik-titiknya.
Alasan mengapa Nezuhara
terus-menerus menyiksaku; alasan mengapa Kei mampu menyatukan semua orang, dan
alasan mengapa sihirnya secara misterius tidak berhasil kali ini – semuanya
satu dan sama. Setelah aku memahaminya, semuanya menjadi sangat sederhana.
Karena Nezuhara
Akira jatuh cinta pada Kei.
Ketika aku muncul,
menggendongnya di punggungku di taman, aku menjadi sasaran kecemburuannya. Dirinya ingin menjadi orang yang
menyelamatkannya saat itu, tapi dia salah. Aku telah melakukan kebalikan dari
menolongnya. Mungkin inilah yang pantas kudapatkan, pikirku, karena menjadi seorang
pengecut. Aku mulai runtuh di bawah beban hukuman ini – hukuman yang kurasa
terlalu keras – dan memang sudah sepantasnya selama ini.
Aku melawan rasa bersalah,
sakit hati, dan kebencian pada diri sendiri cukup lama untuk menggenggam tangan
Kei. Hal terakhir yang perlu kami lakukan sekarang adalah berlama-lama di
gudang sambil mengasihani diri sendiri. “Kei,” kataku ramah, “Situasinya
akan
gawat kalau kita ketemu Nezuhara di sini – kita harus pergi.”
“Baiklah,” gumamnya menanggapi.
Dengan keberuntunganku,
kami hampir pasti akan bertemu gengnya sekarang, tetapi aku tidak melepaskan
tangan Kei dan berdoa dalam hati. Tak satu pun dari kami berkata apa-apa saat
kami melewati gerbang sekolah dan mendekati lereng menuju rumah masing-masing.
Baru ketika kami mendekati
persimpangan dekat rumah kami, Kei membiarkan dirinya menangis, meratap dengan
suara seperti anak kecil.
Keesokan harinya, Nezuhara
tidak mengatakan apa-apa tentang Kei. Meskipun mustahil seorang anak SD bisa
menyelinap keluar dari kotak loncatan sendirian, ia tampak puas mempercayai
bahwa Kei telah melakukannya. Ia mungkin menyesali perbuatannya saat marah
nanti, dan pasti sedikit menghiburnya bahwa Kei telah lolos dengan mudah. Ia
tidak tega melakukan sesuatu yang begitu buruk padanya. Rutinitas harianku berlanjut tanpa henti, dan kali
ini akulah yang dikurung di kotak lompat,
diikat dengan tali lompat. Ketika mereka memasukkanku ke dalamnya, saya berada dalam posisi yang
canggung dan dibiarkan di sana selama yang terasa seperti satu jam, jadi aku sangat kesakitan hingga mual.
“Tahu enggak,
ayam makan pasir untuk membantu menenangkan perutnya,” kata Nezuhara sambil tersenyum.
Aku
disuruh menjilati pasir. Lalu aku bukan hanya mual—aku muntah di halaman
sekolah.
Aku dibebaskan ketika
mereka memotret tanganku. Masih merasa otakku kekurangan oksigen selama aku
dikurung di kotak loncatan, aku berjalan, linglung, ke pintu masuk. Perasaanku
semakin buruk mengetahui bahwa Kei pernah mengalami hal yang sama.
Akhir-akhir ini, aku
menyimpan sepatu olahragaku di rak sepatu di sisi guru agar tidak ada yang
membuangnya. Tindakan pencegahan kecil seperti ini menjadi krusial—ada batasnya
aku bisa meminta barang baru kepada orang tuaku karena barang-barangku menjadi
kotor.
Namun, sepatuku tidak ada
di sana. Aku terlalu lelah untuk bereaksi lebih dari sekadar muram saat
menyadari bahwa tempat persembunyianku pasti telah ditemukan oleh Nezuhara dan
kroni-kroninya. Tiba-tiba aku merasa seseorang menepuk bahuku.
“Ini
– sepatumu.”
Sambil berbicara, Kei
menyerahkan sepasang sepatu bersih yang kusimpan. Aku menatapnya dengan takjub.
“Kudengar mereka sedang
membersihkan rak sepatu staf hari ini, dan kupikir akan ada masalah jika ada
yang menemukan sepatumu di sana, jadi aku diam-diam memindahkannya ke kotak
sepatuku saat waktu bersih-bersih.”
Dia
berbicara dengan nada yang tenang,
tanpa ragu, dengan nada bicaranya yang biasa. Nada bicaranya bergema di ruangan
di sekitarnya tanpa rasa takut. Aku mengambil sepatuku dan menatapnya di bawah
sinar matahari yang mulai memudar.
“Maaf. Terima kasih,”
gumamku.
“Untuk apa kamu minta maaf?” tegurnya. “Orang jahat adalah
orang yang membuang sepatu orang lain untuk kesenangan bodoh mereka sendiri.”
Dia berbicara dengan ekspresi tidak senang, dan aku tak berani menatap
matanya. Aku merasa malu
karena dia tahu perundungan itu terus berlanjut
meskipun dia sudah turun tangan dan
aku masih harus mengambil tindakan untuk memastikan barang-barangku aman dengan
menyembunyikannya di mana-mana.
Dia
melihat perundungan itu secara langsung. Setiap kali teringat hal ini, aku
merasa sangat sedih sampai-sampai
ingin mati.
Wajahnya perlahan melembut
menjadi senyum lemah, tetapi ketika dia melihat keadaanku, wajahnya mendung.
“Dan
Nezuhara?” gumamku penuh tanya.
“Ia
datang ke ruang Dewan Anak pagi ini untuk meminta maaf – tapi aneh. Jika dirinya bisa meminta maaf kepadaku,
mengapa dia tidak bisa meminta maaf kepadamu? Jadi aku mengabaikannya. Tapi aku
tidak mengerti. Mengapa semua orang melakukan hal-hal ini kepadamu? Aku
bertanya, tetapi aku masih tidak mengerti.”
“Kamu bertanya padanya...?”
“Yah,
aku tidak mengharapkan jawaban yang jujur darinya,
jadi aku mengumpulkan semua orang di sekitarku dan bertanya kepada mereka – 'Mengapa
kau melakukan hal-hal ini pada Miyamine-kun?' tanyaku – dan coba tebak?
Mereka tidak bisa memberiku jawaban sama sekali. Aku bahkan bertanya pada
Murai-kun dan Fujiya-kun. Mereka terus mengatakan itu karena Nezuhara 'mengatakannya'.
Aneh sekali, ‘kan?”
Dia tampak benar-benar
bingung dengan situasi ini. Wajar saja, jika ada sosok yang mengancam dan
berkuasa di kelas menuntutmu untuk mengabaikan seseorang, abaikan saja mereka.
Aku tahu itu. Tapi Kei
tidak. Atau setidaknya, dia tidak menerimanya.
Aku ingat berpikir bahwa
dia pasti benar-benar percaya pada doktrin bahwa kodrat manusia pada dasarnya
baik.
“Semua
orang sepertinya hanya mengikuti arus,”
gumamnya dalam hati. “Bukannya
mereka membencimu, mereka hanya menuruti perintah Nezuhara.”
“Sepertinya
begitu,” aku mengakui dengan muram. “Mau bagaimana lagi. Jika kamu mencoba membantuku, kamu mungkin akan menjadi target berikutnya.”
Bahkan saat mengatakannya,
aku sendiri meragukannya. Meskipun Nezuhara tidak segan-segan menggunakan
kekerasan sebagai refleks di saat-saat penuh gairah, seperti yang dilakukannya
terakhir kali Kei menghadapinya, aku tidak yakin targetnya akan pernah bergeser
dari punggungku. Mungkin dia akan terus menghajarku sampai aku mati. Dan
kalaupun aku selamat dan lulus SD, dia mungkin akan mengejarku di SMP juga.
Mungkin perundungan ini takkan pernah berakhir.
Usai memikirkannya
seperti itu, tenaga di dalam kakiku seketika menghilang dan aku hampir menangis
tersedu-sedu, meskipun Kei ada di depanku. Dia telah menempatkanku di atas
tumpuan dengan komitmenku yang kekanak-kanakan untuk menjadi pahlawannya, dan
aku pun jatuh tersungkur. Berusaha menepis kenyataan bahwa aku hampir tersandung
dan hampir menangis, aku menggumamkan terima kasih dan mulai memakai sepatuku
dengan kepala tertunduk. Ubin di bawah kakiku diwarnai warna matahari terbenam,
dan saat sepatuku kupakai, aku mendengarnya.
“Tunggu,” katanya, dengan nada yang tak terbaca.
Seharusnya aku langsung
pergi saat itu juga, tetapi suara itu—yang memerintah sekaligus
lembut—menghentikanku dan membuatku terpaku.
“Aku
sudah melihat 'Ensiklopedia Kupu-Kupu'.”
Meskipun suaranya terdengar tegang, tapi suaranya terdengar sejelas siang
hari. Aku telah menunggu waktu yang tepat untuk menyampaikan hal ini padanya,
tetapi hanya mendengar kata-kata itu saja sudah membuatku merinding. “Aku tidak bilang apa-apa kemarin,” katanya, “tapi
aku tahu semuanya karena aku dengar tentang blog itu.”
Kei punya jaringan
pertemanan yang luas di sekitarnya – apa pun yang terjadi di sekolah ini, cepat
atau lambat dia pasti akan mengetahuonya. Namun, aku tak percaya
keberadaan blog itu ternyata lebih dikenal luas daripada yang kuduga. Berapa
banyak teman sekelasku yang tahu tentang permainan jahat Nezuhara?
Tiba-tiba, aku merasa
tenggorokanku tercekat dan lapisan air mata mulai mengaburkan pandanganku.
Percuma saja. Aku menderita.
“...Hei,
Miyamine,” katanya ramah, “kamu tidak perlu terus seperti ini. Kamu
bahkan tidak perlu memberi tahu guru, tapi orang dewasa lain mungkin bisa
membantumu. Kalau begini terus, Miyamine-”
“Tidak
mungkin. Aku tidak bisa,” aku
menahan diri.
“Dia
tidak akan berhenti. Kamu tahu itu, kan? Kalau kamu bicara, pasti ada yang
membantumu. Aku khawatir padamu – kita bisa melawan ini bersama-sama.”
“Berhenti,
Kei,” kataku dengan nada getir,
“jangan bicara seperti itu.”
“Kalau
kamu tidak mau, kamu
tidak memberiku pilihan selain bicara sendiri. Apa pun yang terjadi, aku—”
“Aku
bilang berhenti!”
bentakku.
Suaraku begitu keras
hingga membuatnya tertegun. Untuk pertama kalinya, aku melihatnya mundur saat
melihatku—terisak dan kesulitan bernapas di depannya. Air matanya jatuh ke
ubin, membasahinya. Aku menyedihkan. Menjijikkan.
“Kumohon,
aku mohon padamu,” kataku,
"jangan katakan apa-apa.”
“...Miyamine...”
“Kalau
kau mengatakan apa pun kepada orang tuaku, atau polisi, atau siapa pun, aku
tidak akan bisa berada di sisimu lagi.”
“Kenapa?
Kenapa kamu mengatakan hal seperti
itu?”
“Karena
kalau aku mulai terlihat lebih menyedihkan dari yang sudah-sudah, aku sebaiknya mati saja.”
Seandainya
saja pikiranku lebih jernih, aku pasti tahu dia benar, tapi dalam
kondisiku yang kurang tidur, aku hampir tak menyadari apa yang keluar dari
mulutku, apalagi mulutnya. Wajahnya meringis.
Prioritasku berantakan.
Aku tak punya jawaban. Jika perundungan itu terbongkar, orang-orang dewasa akan
menemukan Ensiklopedia Kupu-kupu. Bekas luka dan memar yang susah payah
kusembunyikan setiap hari saat aku bergegas mandi, bisa terungkap semua dan
semua orang bisa melihatnya. Membayangkannya saja sudah membuatku takut. Aku tahu aku tak sanggup
menghadapinya. Aku akan mati sebelum mendapatkan sedikit pun keadilan.
“Aku
tahu kau sedang berjuang sekarang... makanya aku mengungkitnya. Kamu tidak tidur nyenyak, kan? Jadi—”
“Aku
mengerti,” bentakku, “Tapi kurasa takkan pernah ada hari
di mana aku bisa tidur nyenyak lagi.”
“Hei,
jangan bicara seolah kamu akan
menyerah dan mati di hadapanku. Kumohon. Jangan berpikir yang aneh-aneh lagi.”
“Kalau
begitu berhentilah mendesakku,” kataku
padanya, “kalau kamu ingin aku hidup.”
Aku berbalik dan menuju
pintu. Kali ini, dia tidak menghentikanku. Sungguh memilukan membayangkan dia
mungkin dibebani rasa bersalah karena telah mencoba memaksaku, tetapi aku
sangat ingin melindungi diriku sendiri. Agar tidak terlihat menangis, aku
berhenti di taman dan mencuci muka di wastafel toilet umum, jadi ketika aku
tiba di rumah, satu-satunya jejak bukti bahwa aku telah menangis hanyalah
mataku yang merah dan sedikit bengkak.
Jadi aku menolak sarannya,
dan ejekan serta siksaan itu terus berlanjut.
Tidak ada yang membantuku,
karena aku tidak meminta bantuan. Semakin lama, aku yakin bahwa aku terhanyut
dalam lamunan, dan kekerasan menghujaniku.
Nezuhara menyiksaku seolah
itu pekerjaannya, dan aku hanya menanggungnya. Lalu, suatu hari, aku ditendang menuruni tangga dan
lengan kiriku patah. Jarang sekali ia
menyerangku sebrutal itu di tempat
terbuka, jadi ia pasti sedang mengalami hari yang sangat buruk.
Dimulai dengan memukul
perutku di lorong, memaksaku mundur dengan setiap pukulan. Saat
aku terhuyung tanpa sadar ke posisi semula, aku merasakan kakinya menyentuh
punggungku, dan tanpa kusadari, aku berguling menuruni tangga. Karena kurang
tidur, aku menjadi peserta pasif dalam kehancuranku sendiri, dan aku berguling
seperti tong, baru berhenti ketika aku menabrak dinding bordes.
Hal
pertama yang kupikirkan adalah, “Aku
mungkin tidak bisa membuka pakaian di depan orang tuaku untuk sementara waktu”. Mungkin lebih baik kukatakan aku terpeleset
di tangga atau semacamnya. Aku sangat berharap itu
tidak meninggalkan memar berbentuk jejak kaki di punggungku. Dengan mengingat
hal itu, aku perlahan bangkit.
Saat itulah aku menyadari rasa sakit yang membakar. Aku
melirik ke arah sumber suara dengan kaget, dan kulihat lenganku tertekuk ke
arah yang salah.
Pada titik ini dalam
hidupku, aku telah merasakan segala macam rasa sakit, tetapi untuk pertama
kalinya, aku mematahkan sesuatu. Ketika aku melihat anggota tubuhku sendiri
tertekuk dengan cara yang tidak seharusnya, rasa takut secara naluriah muncul,
karena aku punya firasat seluruh tubuhku akan hancur berantakan. Air mata mulai
menggenang di mataku.
Tetap saja mereka telah
melewati batas, dan aku tahu bahwa perundungan itu akan berhenti hari ini.
Napasku pendek-pendek saat aku terhuyung berdiri, keringat di wajahku terasa
lembap. Bahkan jika aku hanya menonton dari pinggir lapangan, aku pasti akan
merasa sengsara melihat diriku sendiri. Mereka tidak perlu melempar batu lagi.
Kerusakan sudah terjadi.
Aku melihat mereka
perlahan menuruni tangga, mengamatiku, menilai kerusakannya. Aku hanya tahu
Nezuhara akan menggendongku ke ruang UKS
sendiri, menggerutu sepanjang perjalanan, lalu ia akan membuatku berbohong dan
mengatakan bahwa aku terpeleset atas kemauanku sendiri. Itu skenario terburuk,
tetapi aku sangat kesakitan, dan aku kehilangan keinginan untuk peduli.
Tanpa ekspresi, ia
melangkah turun ke bordes dan menatapku, yang terhuyung-huyung di atas ubin.
Lalu, tanpa sepatah kata pun, ia mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Aku melihat
kilatan perak dan menyadari kalau itu smartphone-nya.
Tentu saja. Nezuhara mendorongku ke belakang, dan mulai menarik lenganku
seolah-olah sedang berpose, menyesuaikan posisinya agar tidak ada fitur yang
dikenali dari foto yang akan diambilnya. Semuanya berjalan seperti biasa.
Sebuah kenang-kenangan berupa lenganku yang menggantung, patah di antara siku
dan tangan. Seperti sebuah piala. Lalu, persis seperti yang kubayangkan, ia
membawaku ke ruang UKS.
Aku memberitahu semua
orang – orang tuaku, guru-guru – bahwa aku terpeleset saat menuruni
tangga. Aku pergi ke rumah sakit dan menerima perawatan. Dokter, dengan
wajahnya yang bersih dan cantik, tertawa menghibur dan menepuk-nepuk rambutku
yang acak-acakan.
“Kamu
masih muda, jadi kamu akan segera pulih,”
katanya.
Aku mendengar kata-kata
itu seperti suara gemericik, diucapkan di bawah air. Rasanya seperti aku telah
meninggalkan jiwaku di tangga itu. Ibu terus membelai rambutku seperti dokter,
bergumam, “Tidak apa-apa, ini akan
sembuh,” berulang-ulang. Rasanya seperti masalah
orang lain. Aku masuk ke mobil, minum obat pereda nyeri, bukan pil tidur, lalu
merangkak ke atas tempat
tidurku. Dan kemudian, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku mengakses
blog Ensiklopedia Kupu-Kupu.
Ada lebih banyak foto
daripada terakhir kali aku melihatnya. Tepat di bagian atas, ada foto dari hari
itu, sebuah telapak tangan di ujung lengan yang patah. Menggantung. Tentu saja,
yang bisa dilihat hanya dari pergelangan tangan ke bawah, jadi itu tidak cukup
untuk menggambarkan penderitaan yang kualami
waktu itu.
Ada penghitung akses di
blog. Ada dua belas pengunjung hari itu. Aku
tertawa terbahak-bahak saat melihatnya.
Mengapa cuma aku yang
harus menanggung ini? Jawabannya sederhana. Karena aku
telah memicu ketidaksenangannya pada hari di mana aku menggendong Kei di
punggungku. Dirinya ingin menjadi pahlawan Kei – tetapi akulah yang terpilih.
Alasannya
sangat sepele. Bahkan fakta bahwa salah satu dari kami memiliki kesempatan
untuk menyelamatkannya sejak awal pun sangat, sangat, sangat sepele. Dan
sekarang dirinya
menyiksaku untuk menindasku, dan menjauhkanku darinya. Aku tak punya pilihan
selain membiarkan itu terjadi.
Setelah menutup
halaman web, aku memejamkan mata dan mulai menggosok lengan kiriku yang sakit.
Tidak ada yang berubah. Aku tidak tidur.
Terlepas dari semua itu, aku tetap bersekolah. Entah kenapa
aku memaksakan diri untuk menanggungnya, tapi aku melakukannya. Sekarang
setelah kupikir-pikir, rasanya aku harus tetap bertahan pada status quo, kalau
tidak, aku akan mati jika melawannya. Kalau dipikir-pikir lagi, mungkin tak
apa-apa jika aku melarikan diri, atau memohon bantuan seseorang. Aku bisa saja
mengubah keadaan. Tapi aku baru memikirkannya
sekarang setelah semuanya sudah terlambat.
Aku kelelahan. Aku tidak sanggup menahannya lagi. Aku tak
bisa berpikir jernih saat berdiri di tengah badai. Lagipula, aku hanyalah
seorang anak kecil. Tak ada jalan keluar. Jika Nezuhara menyuruhku melompat,
aku akan melompat.
Kekurangan jam tidur membuatku pusing, dan saat
sinar mentari menyilaukanku, mataku mulai
berair. Aku hampir gila. Sensasi terbakar sinar matahari membuatku ingin
menutup mata selamanya. Meskipun hatiku memohon untuk tidak pergi ke sekolah,
kakiku bergerak sendiri.
Seandainya aku tidak
melihat Kei, berdiri di tengah kaca spion titik buta untuk mobil di
persimpangan yang ramai, aku pasti langsung menuju ke sana tanpa menyadarinya.
Namun, aku tak bisa mengabaikannya, terutama ketika dia menoleh padaku dengan mata yang
menyala-nyala.
“Kei...”
Tanpa berkata sepatah kata
pun, dia melirik antara wajahku dan lenganku. Sambil meremas
tali ranselnya, dia
bertanya langsung padaku.
“Apa ia yang melakukannya?”
Dia bahkan tak perlu menyebut namanya – kami
berdua tahu siapa yang sedang kami
bicarakan. Ekspresinya galak. Meskipun tak ada yang bisa dia tangisi, dia
menggigit bibirnya seolah-olah sedang menahan
air mata. Aku tak menyesal lenganku patah, tetapi aku menyesal dia harus melihatku dalam kondisi seperti itu.
Aku mencoba menenangkannya.
“Tidak
apa-apa, tidak apa-apa. Rasanya sudah tidak sakit lagi.”
“Rasanya pasti
sangat sakit waktu patah...”
“Yah...
aku tidak mau membahas itu. Tapi
kurasa ia tidak bermaksud sampai sejauh
ini. Aku kepleset, jadi...”
“Kenapa
kamu malah
memaafkan tindakannya?”
“Aku...
tidak memaafkannya. Tapi aku baik-baik saja. Aku sepenuhnya baik-baik saja. Jadi jangan khawatir...”
Aku tergagap, dan seperti
bendungan yang jebol, mataku mulai dibanjiri air mata. Hidungku mulai sakit.
Air mata yang sama masih menggenang.
Percuma saja. Pahlawan
memang tak pernah menangis, dan di sinilah aku,
melakukan hal terburuk yang bisa kulakukan di depan Kei – menangis seperti
bayi. Menangis dengan buruk. Rasanya memalukan. Aku mengerang dan mengendus,
tapi air mataku tak kunjung berhenti. Air mataku menetes dari daguku.
“Aku...
tidak mau... kamu... melihatku seperti
ini,” aku terisak.
Aku hampir tidak bisa berkata-kata dan akhirnya bergumam tidak jelas. Pandanganku kabur
sehingga aku juga tak bisa membaca ekspresinya. Rasanya sakit. Semuanya sakit. Kei,
tolong aku, pikirku. Lakukan sesuatu. Pikiran-pikiran menyedihkan menyerbu
pikiranku seperti jeritan, bergema muram. Aku hampir tersedak oleh rasa maluku
sendiri.
Yang menenangkan napasku
adalah kehangatan yang menjalar di tangan kananku yang masih utuh. Sebelum aku
sempat memproses apa yang terjadi, samar-samar aku menyadari dia menggenggam tanganku, terisak pelan di
sampingku.
Mataku terasa panas karena
air mata, tetapi ketika mulai jernih, aku bisa melihat bahwa meskipun kami
berdua menangis, dia tetap
cantik. Tangan yang digenggamnya mulai terasa sakit, dan aku bisa merasakan dia menahan diri untuk tidak memelukku. Dia merasa ada jarak, dan tak ingin
menekan lenganku yang terluka karena takut menyakitiku.
“Tidak
apa-apa,” hiburnya, “Jangan
khawatir, Miyamine. Semuanya akan baik-baik saja.”
Suaranya yang berlinang
air mata masih terdengar jelas.
“Serahkan
semuanya padaku,” katanya.
Apa yang seharusnya kuserahkan padanya, aku tidak bertanya.
Aku tidak bisa bicara dengan jelas dalam kondisiku saat itu. Namun, rasa lega
menyelimutiku saat dia mengatakan itu – sesuatu yang meyakinkanku, padahal
kata-kata dokter maupun ibuku tidak bisa mendekatinya.
“Aku
akan melindungimu,”
lanjutnya.
Nezuhara Akihara ditemukan bunuh diri dengan
melompat dari atap gedung apartemennya hanya seminggu setelah itu.
• 🦋 ──────✧ 🦋 ✦ 🦋✧────── 🦋•
Benar sekali,
Nezuhara Akira meninggal
setelah melompat dari atap gedung delapan lantai hanya beberapa kilometer dari
sekolah SD tempat kami bersekolah. Awalnya,
aku merasa terkejut
karena orang yang sangat kutakuti bisa meninggal begitu...
mudahnya. Tentu saja, bahkan Nezuhara Akira,
seorang anak laki-laki yang wajahnya seolah mewakili kedengkian itu sendiri –
perwujudan sejati dari semua penderitaanku
– akan mati jika jatuh dari ketinggian seperti itu.
Yang lebih mengejutkan
daripada kematiannya yang terlalu dini ialah
kondisi jenazahnya.
“Kudengar
ada bolpoin yang menancap di mata
kirinya...”
Benar. Penyebab kematian
Nezuhara secara resmi adalah bunuh diri dengan melompat, tetapi apa yang
dibisikkan orang-orang juga benar: entah kenapa, bolpoinnya tertancap kuat di salah
satu bola matanya.
Sejujurnya, kasus bunuh
diri siswa SD bukanlah sesuatu yang sering terjadi.
Namun, karena alasan-alasan yang telah disebutkan sebelumnya, kematiannya
diselidiki secara saksama. Selain itu, karena ia merupakan tokoh sentral – seorang
pemimpin, jika boleh dibilang – di kelas, serta fakta bahwa ia tidak
memiliki masalah di rumah, diyakini ia tidak punya alasan untuk mati seperti
itu.
Seseorang mengancamnya,
dan ia dipaksa untuk melompat. Aku tidak
meragukannya. Namun, polisi tidak pernah menangkap pelakunya.
Anehnya, atau mungkin
tidak mengherankan, tidak seorang pun memberi tahu polisi tentang perang yang
ia lancarkan di kelas. Jika ada yang berbicara tentang perundungan tersebut,
mereka akan dipaksa untuk mengakui keterlibatan mereka sendiri, meskipun mereka
diperintahkan untuk melakukan apa pun yang diminta Nezuhara. Dan dengan begitu
banyak siswa yang mengikuti ujian masuk SMP, mereka tidak ingin ada yang terlibat dalam kasus dan menghalangi peluang
mereka untuk masuk ke sekolah yang layak. Lihat, bahkan perundungan yang mereka
alami pun merepotkan bagi mereka, sementara pengalaman
itu justru neraka kenyataan bagiku.
Jadi, Akira Nezuhara
meninggal dunia dan dikenang sebagai siswa SD
yang ceria dan energik. Setidaknya salah satu dari kami meninggal sebelum ia
diadili. Di pemakamannya, kami semua mengenakan pakaian duka yang minim dan
membakar dupa. Aku
menangkupkan kedua tangan dalam doa. Aku
tidak ingat bagaimana perasaanku saat
itu, tetapi aku ingat ibu Nezuhara begitu
terpukul sehingga dia dibawa
keluar oleh kerabatnya karena tak henti-hentinya meratap. Ayahnya ditinggalkan,
dan ia mengalihkan pandangannya dengan canggung.
Kei-lah yang membacakan
pidato penghormatan untuk Nezuhara Akira
sebagai perwakilan kelas enam.
“Nezuhara-kun,”
dia memulai, “adalah orang yang sangat
berpengaruh di kelas kami, dan semua orang mengikuti jejaknya.”
Sambil mengenakan
gaun hitam, suaranya terasa familiar namun menenangkan. Namun, mendengarnya
berbicara tentang Nezuhara masih terasa seperti pengalaman di luar nalar. Aku
jadi benar-benar yakin dia
pasti sedang berduka.
“Menurutku,” lanjut Kei, “Nezuhara-kun seperti
air mancur yang tak pernah kering, dan aku
tidak akan pernah melupakannya karena telah menciptakan aliran yang membawa
kami semua.”
Setelah dia selesai membaca, seseorang mengeluarkan
tangisan duka, dan pemakaman berlanjut tanpa insiden. Peristiwa itu sungguh
menyedihkan. Semua orang benar-benar berduka. Sungguh nyata. Namun, aku tetap terkagum-kagum.
Nezuhara telah tiada.
Orang yang telah menyiksaku begitu lama telah tiada.
Aku memperhatikan Kei saat
dia membungkuk, dan melihat bibirnya terkatup
rapat hingga memutih. Jantungku berdebar kencang. Aku masih ingat bagaimana dia menyuruhku untuk menyerahkan semuanya
padanya. Setiap kali aku memikirkannya,
perutku terasa mulas.
Segalanya berubah sejak
saat itu. Meskipun, akan lebih tepat untuk mengatakan bahwa segala sesuatunya
terhenti, alih-alih mengalir seperti biasa. Perundungan yang sering terjadi, terasa seperti rutinitas,
terhenti total.
Persis seperti
kata Kei, semua orang telah mengikuti Nezuhara secara membabi buta. Ketika
orang yang menciptakan arus itu pergi, tak ada lagi yang tersisa untuk disapu.
Kehidupan sekolah terasa damai tanpanya. Tak ada yang menyakitiku. Buku-buku
pelajaranku tidak hilang. Sebaliknya, mereka yang terang-terangan mengabaikanku
mulai berbicara kepadaku secara normal lagi – yah, jarang lebih dari sekadar
menyapa atau memberi tahuku tentang tugas administratif yang membosankan,
tetapi itu membuatku merasakan kegembiraan yang tak pernah kurasakan
sebelumnya. Hanya satu orang yang perlu mati agar hidupku layak dijalani lagi, dan
itu sudah terjadi. Hanya Ensiklopedia Kupu-kupu yang tersisa. Aku baru menyadari bahwa dialah satu-satunya
yang mengelola blog itu, sehingga nama pengguna dan kata sandinya adalah
rahasia yang telah ia bawa hingga liang lahat.
Tak seorang pun bisa menghapusnya, tak peduli
seberapa besar aku berharap demikian.
Satu-satunya cara yang
bisa kulakukan adalah melapor ke polisi dan menghapusnya dengan cara begitu. Namun, pada akhirnya aku
tidak melakukannya. Aku tetap tidak ingin siapa pun tahu bahwa aku telah dirundung.
Tak seorang pun perlu tahu bahwa kupu-kupu yang disematkan di blog itu adalah
Miyamine Nozomu. Hanya fakta bahwa blog itu tak
akan pernah diperbarui lagi sudah cukup bagiku.
Sebenarnya,
siapapun masih bisa menjelajahi situs itu. Sebuah rekam jejak penderitaanku – serpihan kenangan masa itu, dan nisan
daring Nezuhara Akira.
Terkadang aku mengaksesnya dan
mengingat keputusasaanku sendiri. Dalam arti tertentu, situs itu memberiku
kekuatan untuk terus maju. Terkadang aku berharap server blog itu berhenti
beroperasi, tetapi sekarang aku bersyukur itu tidak terjadi. Sekitar enam bulan
setelah Nezuhara Akira
meninggal mendadak, di suatu pagi musim dingin yang dingin, Yosuga Kei menekan bel pintu dan berbicara
dengan jelas melalui interkom, mengumumkan kehadirannya di rumahku.
“Selamat
pagi!” sapanya, “Mau
pergi ke sekolah bareng?”
“Oh,
Kei-chan,” sapa ibuku dengan
gembira, membuka pintu sebelum aku sempat, “Bukannya kamu sudah besar?”
Kei sepertinya sudah
terbiasa dengan perhatian dan menjawab dengan riang. Aku segera menghabiskan
sisa sarapanku, meraih tas sekolahku, dan berjalan keluar.
“Selamat
pagi,” sapanya dengan senyum lebar, seolah-olah dia tidak menyadari betapa dinginnya cuaca di
luar.
“Bukankah
seharusnya kamu bekerja untuk Dewan Anak?" tanyaku dengan muram.
“Tidak!
Aku sudah pensiun,” serunya.
Ketika dia mengatakannya,
aku menyadari bahwa itu pasti benar. Kami sekarang sudah kelas enam. Setelah liburan musim
dingin, kami berdua akan masuk SMP. Sambil aku berpikir
demikian, dia menatapku dengan rasa ingin tahu.
“Kamu
terlihat baikan,” katanya puas. “Apa
semuanya baik-baik saja sekarang?”
Perkataannya bisa memiliki banyak arti, tetapi aku tahu
persis apa yang dia tanyakan. Kamu tidak menderita, kan? Kamu tidak ingin
mati lagi, kan? Matanya terkadang berbicara banyak sementara mulutnya diam
tak bergerak. Aku memahaminya secara implisit dan menganggukkan kepala
perlahan.
“Aku
baik-baik saja,” jawabku dengan jujur padanya.
“Tapi aku juga mengkhawatirkanmu. Maaf. Aku
kurang tidur dan aku tidak berpikir jernih.
Aku mengatakan beberapa hal yang mengerikan...”
“Apa
kamu sudah bisa tidur nyenyak sekarang?”
“Ya...
aku baik-baik saja.”
Insomniaku hilang – tepat
setelah Nezuhara meninggal dan perundungan berhenti. Kondisi fisikku membaik
dan aku berpikir jernih kembali. Kalau dipikir-pikir lagi, aku ngeri
membayangkan bagaimana kurang tidur paling memengaruhi kesehatan mentalku. Aku
mungkin benar-benar mati. Bisa saja akulah
yang lompat dari atap itu.
“Sudah
lama sejak kita sekolah bareng, ya?”
kata Kei.
“Iya.”
“Rasanya agak
sedih juga kita tidak bisa mendaki
bukit ini bareng setelah musim dingin berakhir.”
“...Iya.”
Kami mengobrol tentang
hal-hal yang paling membosankan. Aku memuji pengabdiannya pada Dewan Anak, juga
tentang pensiunnya dia dari
sana, dan dia mendengarkanku sambil tersenyum seolah-olah aku murid yang jauh
lebih muda, menghujaninya dengan kekaguman. Kami mengisi waktu dengan sia-sia,
dan tanpa kusadari, kami sudah sampai di gerbang sekolah lagi. Aku menyimpan
sepatuku di tempat yang tepat, karena tidak akan ada yang membuangnya lagi.
“Sampai
jumpa,” katanya dengan nada
riang.
“...Iya...”
Tapi saat dia berjalan
menyusuri koridor, tiba-tiba aku mendapati diriku memanggilnya.
“Kei.”
“Apa?” tanyanya sambil berbalik.
Rambutnya yang panjang berayun saat dia berbalik,
dan aku mendengar gemerisik tas sekolahnya. Sesaat, dengan lengan terentang, dia tampak seperti kupu-kupu yang baru saja
keluar dari kepompong. Usai melihatnya,
aku menelan ludah.
Aku benar-benar dalam
bahaya. Jika polisi sampai tahu tentang Ensiklopedia Kupu-Kupu, aku pasti sudah
jadi tersangka pertama mereka. Dan semua orang yang terlibat dalam
perundunganku pasti akan ikut berjatuhan bersamaku. Bukan rasa malu yang
menghentikanku untuk bersuara mengingat bunuh diri Nezuhara. Melainkan fakta
bahwa polisi sedang mempertimbangkan kemungkinan ia telah dibunuh.
Tak ada yang punya motif
lebih baik daripada diriku.
Akulah sasaran perundungannya. Masalahnya, aku tak bergerak sedikit pun.
Sesederhana mengurangi satu angka dari angka lainnya – kalau bukan aku, pasti
ada yang melakukannya. Bahkan anak kecil pun bisa mengerti itu. Dan bagaimana
jika hanya ada satu orang di dunia ini yang memiliki motif yang persis sama?
Dia tertawa ketika melihatku kesulitan menemukan kata-kata
yang tepat.
“Miyamine,
aku tidak tahu apa yang ingin kamu
katakan,” dia terkekeh.
Yang sebenarnya ingin
kukatakan...
Kamulah yang membunuhnya, kan?
Nezuhara
tidak hanya jatuh. Matanya ditusuk dengan bolpoin. Sungguh indah,
bagaimana mata kanan Kei dan mata
kiri Nezuhara memiliki arti. Aku merasa
seperti satu-satunya orang di bumi yang mengerti arti luka itu – bahkan polisi
pun tak akan mampu menghubungkannya. Napasku menjadi tersenggal-senggal. Apa yang akan terjadi
jika semua hal ini
terungkap?
Aku
samar-samar berkata padanya,
“Kei, sampai
jumpa.”
Dia tampak terkejut,
tetapi segera menepisnya. “Ya,” dia setuju, “sampai
jumpa.”
Hari-hari kami sebagai
anak SD tidak berakhir begitu saja,
tetapi diwarnai oleh kematian salah satu teman kami. Apa yang ingin kukatakan
terus terucap hingga lenyap ditelan udara musim dingin—hilang. Aku tak punya
nyali untuk menanyakannya meski merasa penasaran akan
kebenarannya.