Koi ni Itaru Yamai Chapter 1 Bahasa Indonesia

 

Chapter 1

 

Aku pertama kali bertemu dengan Yosuga Kei ketika duduk di bangku kelas 5 SD.

Keluargaku sering pindah-pindah karena pekerjaan ayahku, biasanya kami pindah dalam waktu satu tahun, dan kepindahan kami ke kota ini akan menjadi yang ketujuh kalinya. Sejujurnya , aku cukup menyukai kehidupan begitu. Karena itu bisa berfungsi sebagai semacam alasan. Tidak peduli jika aku tidak menyesuaikan diri atau berteman – selama aku menunggu beberapa saat , aku akan cepat pulih dengan melanjutkan hidup tanpa terikat atau menyesali apa pun.

Itulah sebabnya aku merasa seperti dijatuhi hukuman mati ketika ayahku memberitahu demikian, “Nozomu, kali ini terakhir kalinya kita pindah. Aku merasa sudah mempersulit kehidupanmu karena pekerjaanku,” lanjutnya . “Meskipun rumah bekas, tapi aku sedang berpikir untuk membeli rumah agar kita bisa berumah tangga dengan baik, dan mungkin aku akan meninggalkan sesuatu untukmu di masa depan.

Ibuku​ ikut menimpali. “Dengarin baik-baik, kamu akan masuk SMP bersama teman-temanmu kali ini, jadi pastikan kamu memberi kesan yang baik pada mereka.

Dan begitulah, gaya kehidupan nomaden keluargaku yang tadinya berpindah-pindah tempat, tiba-tiba berakhir . Mereka terus tersenyum seolah menyampaikan bahwa itu merupakan hal yang baik – mereka hanya mengharapkan yang terbaik dari masa depan. Orang tuaku pasti sangat bahagia membayangkan akan memiliki rumah. Di sisi lain, aku justru menahan napas karena panik.

Maksudku, jika aku gagal di sini – apa yang harus kulakukan ke depannya?

Mana mungkin aku bisa menanyakan hal semacam itu kepada mereka. Jadi​ sebagai gantinya, aku hanya mengatakan, “Bagus. Kedengarannya menyenangkan.

Itu pertama kalinya aku menyembunyikan sesuatu dari orang tuaku.

Dari sudut pandangku, rumah yang mereka beli luar biasa megah dan tidak menunjukkan tanda-tanda kerusakan – meskipun bekas. Aku tak mempercayai itu bukan bangunan baru. Itulah mengapa aku merasa tak punya pilihan. Aku tak bisa kabur begitu saja.

Aku belum pernah tidur sendiri sebelumnya, tapi tiba-tiba aku punya kamar sendiri di lantai dua. Tekanan yang luar biasa bagi seorang siswa SD untuk diberi Anak kelas lima SD yang normal setidaknya akan mengharapkan, apalagi menginginkan, instruksi tentang jenis poster apa yang harus ditempel di dinding.

Tapi aku harus menghadapinya. Mulai sekarang, aku ingat bergumam pada diri sendiri, “Aku tidak bisa memulai dari awal lagi. Saat itu tengah malam, dan aku merasa sendirian karena untuk pertama kalinya, aku sendirian.

Kehidupan memang tidak selalu berjalan sesuai keinginanmu. Ini bukan kisah pahit-manis di mana konflik awal itu terselesaikan bagiku.

Seperti pemrograman simulasi, aku memetakan semua percakapan yang mungkin terjadi di kepalaku. Karena sekarang baru memasuki tahun ajaran baru, jadi mungkin kehadiranku takkan terlalu diperhatikan. Lagipula, ada begitu banyak siswa di kelas lima, jadi aku bisa saja masuk tanpa mencolok. Selama aku tidak salah sangka saat memperkenalkan diri, aku mungkin bisa berteman. Jadi aku terus meyakinkan diri sendiri bahwa semuanya akan baik-baik saja, dan melatih percakapan itu sampai mereka merasa lelah dan bosan. Kalau ada yang tahu aku murid pindahan, aku bisa saja bilang senang bertemu denganmu atau semacamnya.

Daripada membicarakan rencanaku, aku akan menceritakan apa yang sebenarnya terjadi.

Simulasi-simulasiku itu tidak ada gunanya sama sekali.

Aku ditempatkan di Kelas 5-2. Ada banyak siswa yang sudah saling kenal sejak mereka mulai sekolah, dan meskipun ini tahun ajaran baru, suasananya tetap ramai dan berisik sejak awal. Itu hanya membuatku merasa semakin diasingkan.

Wali kelas kami, Mayama-sensei, masuk dan dalam beberapa menit meminta kami semua berdiri, satu per satu, untuk memperkenalkan diri. Aku tidak terlalu keberatan – lagipula aku sudah siap. Para siswa di barisan depan memulai perkenalan mereka yang membosankan, mulai dari yang ortodoks hingga pasif, dan semuanya ditujukan kepada mereka yang sudah mengenal mereka dengan baik. Sebagai tanggapan, aku mendengar para siswa berteriak:Kita nareng dengan Nezuhara lagi! dan kelompok itu mulai mencemooh dan mengejek dengan akrab. Bahkan ada beberapa tepuk tangan yang meriah. Aku memaksa jantungku yang berdebar-debar untuk diam dan menarik napas dalam-dalam.

Akhirnya, tibalah giliranku.

Hal pertama yang kulakukan adalah berdiri perlahan, dan yang membuatku kecewa, aku disambut keheningan. Aku mulai menyadari bahwa bagi kebanyakan penonton, aku hanyalah spesies asing yang baru pertama kali dianalisa. Namun, tak masalah. Kupikir aku hanya akan mengucapkan namaku dan mengucapkan senang bertemu denganmu singkat atau semacamnya, ketika tiba-tiba Mayama-sensei menghentikan kegiatanku.

Tunggu," gumamnya, kamu murid pindahan, kan?

Ah, jawabku dengan bodohnya.

Kesadaran ini seakan membangunkannya, dan ia mulai menunjuk ke arahku dengan panik. “Iya, ‘kan? tanyanya memastikan. Hei – kenapa kamu tidak maju ke depan agar semua orang bisa melihat lebih jelas? Ayo!”.

Seolah benar-benar meyakini idenya yang brilian, Mayama-sensei mulai memberi isyarat suapaya aku maju ke depan kelas. Suara kursiku bergesekan dengan lantai kayu saat aku berdiri tiba-tiba terdengar sangat keras dan memalukan. Aku tersentak menanggapi, dan saat sampai di papan tulis, tubuhku sudah basah oleh keringat. Tanpa mendongak, aku membuka mulutku yang kering.

“A-Aku...”

“Ah – kamu mau menulis namamu di papan tulis untuk memulai? Mayama-sensei tiba-tiba bertanya.

Aku tak sanggup menatapnya. Um... ya, gumamku.

Melakukan apa yang diperintahkan, aku mengambil sepotong kapur dan mulai menulis 'Miyamine' dengan huruf-huruf canggung di papan tulis di belakangku, ketika tiba-tiba kapur yang sama patah di genggamanku. Tawa bergumam pecah di kelas, dan huruf-huruf yang tersisa, 'Nozomu', menjadi sangat besar. Aku sangat gugup sehingga aku bahkan tidak bisa berbicara dengan benar lagi..

Itu bukan bencana total atau semacamnya, tapi air mata sudah mengancam akan tumpah dan aku tidak bisa mengucapkan kata-kata dengan benar. Mereka yang sebelumnya tertawa terbahak-bahak terdiam dan menatapku – menungguku berbicara. Beberapa saat hening mengubah ini dari ranah kegagalan yang bisa diperbaiki menjadi bencana yang tak bisa diperbaiki, dan aku bahkan tidak bisa menyebutkan namaku sendiri.

Mayama-sensei menyenggolku. "Hei, ada apa?" tanyanya.

Dan itulah hal terburuk yang bisa ia lakukan – menarik perhatian pada kecemasan yang membungkamku. Ada suara dengungan di ruangan itu ketika anak-anak di sekitarku mulai merasakan ada yang tidak beres. Tepat ketika aku mulai merasa pusing dan hendak meringkuk ketakutan, aku mendengar suara kursi berdecit, persis seperti milikku, dan seseorang di belakang ruangan berdiri. Teman-teman sekelasku yang semuanya terpaku padaku, mendadak menoleh ke arah suara itu serempak.

Lebih tepatnya, dia duduk di baris kedua dari jendela. Semua orang memandangnya bersamaan, seolah semuanya sudah diatur sebelumnya. Mereka menatap seorang gadis yang sempurna, dengan rambutnya disanggul ekor kembar.

Rambutnya yang diikat menjadi dua ikat rambut merah itu melawan gravitasi. Kulit pucatnya berkilauan diterpa cahaya yang masuk dari jendela di sebelah kanannya. Mengalahkan sorotan cahaya alami, mata cokelatnya berkilauan cemerlang, dan seolah tubuhnya diliputi rasa terkejut sekaligus gembira, dia mengacungkan jari tepat ke arahku. Sebelum aku sempat berkata apa-apa, dia membuka bibirnya yang indah.

Miyamine-kun!

Suaranya aneh. Lebih rendah dari suara anak-anak, tetapi lebih tinggi dari suara orang dewasa. Setengah tuduhan, setengah merdu, suaranya bergema di ruangan seperti gema, dan semua orang tercekat.

Lama tak berjumpa! desahnya. Ini aku – Kei!

Dia mulai berbicara, dan ekspresinya perlahan-lahan melembut.

Aku sama sekali tidak tahu siapa dirinya. Mustahil aku tidak mengenali gadis seperti itu. Siapa pun yang pernah melihat Mona Lisa bisa mengetahuinyamana mungkin melupakan senyum itu. Dia tersenyum padaku seperti seseorang yang menyapa teman lama.

Tiba-tiba, aku merasa ada tempat untukku di dunia ini. Ketegangan dan ketakutan yang melumpuhkan seluruh tubuhku surut seperti ombak, dan semua gumaman serta desahan menghilang dalam keheningan.

Kamu mengenalnya, Yosuga? tanya Mayama-sensei terkejut.

Pernyataan itu mulai meluluhlantakkan bendungan di kelas, dan mengembalikan suasana riang. Ada kehangatan dan keakraban yang tak biasa, bercampur dengan keterkejutanku sendiri. Ketika gadis bernama Kei itu mulai mengangguk penuh semangat, seluruh ruangan dipenuhi pertanyaan.

Hah? Temannya Kei?

Apa? Serius?

Kini, ejekan yang jauh lebih ramah pun pecah. Seharusnya aku dikucilkan – seperti hewan aneh yang merayap di wilayah yang tak menentu – tetapi dengan pengakuannya, aku tiba-tiba tertarik ke dalam lingkaran, seolah terseret ke atas oleh matahari. Sisa perkenalanku terasa alami.

Aku... sebenarnya baru saja pindah ke sini. Namaku Miyamine Nozomu. Senang bertemu dengan kalian semua.

Dia terkekeh di seberang ruangan, seolah menyampaikan bahwa perkenalanku dilakukan dengan baik.

Dan mewakili semua orang, serunya, senang bertemu denganmu juga!

Tanpa rasa canggung lagi, seluruh kelas melanjutkan perkenalan mereka. Dan hanya itu saja.

Cahayanya benar-benar menyelamatkanku saat itu – gadis dengan bintang-bintang di matanya.

Ketika semua orang telah kembali ke tempat duduk mereka dan perkenalan berakhir, waktu luang dimulai. Kei dikelilingi oleh teman-teman sekelasnya sampai-sampai ia hampir menghilang di balik tubuh-tubuh yang berdiri di sekitarnya. Aku ingin sekali pergi ke belakang kelas dan berterima kasih padanya – atau bahkan sekadar mengobrol dengannya sekali saja. Saat berpikir demikian, aku meliriknya dengan ragu. Sekilas terlihat melalui celah di antara tubuh-tubuh yang sibuk, aku melihatnya mengintip, dan mata kami bertemu sesaat. Terperanjat, aku mengalihkan pandangan. Akhirnya, kami sama sekali tidak bisa mengobrol hari itu. Aku menyadari dia mungkin saja makhluk dari planet lain, dan kami berada di dunia yang berbeda.

Meski begitu, kami terhubung.

Lagipula – rumah yang dibeli orang tuaku dengan harapan dan impian yang begitu tinggi itu terletak tepat di sebelah rumah yang ditinggali Yosuga Kei.

“Lama tak bertemu, Miyamine-kun – dan selamat pagi!”

Saat aku mulai mendaki bukit menuju sekolah SD, aku mendengar suara yang, bahkan hingga kini, masih terngiang di telingaku.

Pada hari itu, aku ingat betul Yosuga Kei mengikat rambutnya dengan dua ikat rambut biru bermotif polkadot – sangat berbeda dengan ikat rambut merah tua yang dia kenakan sehari sebelumnya. Rupanya, aksesori rambutnya berubah-ubah sesuai suasana hatinya setiap hari – seberantakan cuaca. Saat dia menatapku, rambut dan ransel yang digendongnya tampak bergoyang-goyang karena kesal. Sambil mengangkat sudut mulutnya nakal seperti kucing, dia menunggu jawabanku.

Aku tergagap, Selamat pagi, balasku.

Miyamine-kun, lanjutnya dengan ringan, “Kamu berangkatnya pagi banget, ya? Kenapa?

Dia benar – sekitar satu jam lagi aku harus tiba di sekolah. Biasanya kami baru masuk kelas sekitar pukul 8.20 pagi, tapi sekarang baru pukul 7.00 pagi ketika aku bertemu dengannya di lereng itu. Aku segera menyadari bahwa jalan itu yang biasanya penuh dengan siswa, tapi sekarang kami berdua benar-benar sendirian.

Yah …” aku memulai dengan malu-malu , “Aku baru saja pindah ke sini, jadi ada banyak dokumen yang harus diperiksa dan sebagainya. Aku harus datang lebih awal untuk pertemuan pagi. Bagaimana denganmu?”

“Ah,” dia sedikit terpenjat. “Aku ? Aku sudah menjadi sukarelawan Dewan Anak sejak tahun lalu, dan meskipun masa jabatanku sudah berakhir, aku ingin melakukannya di kelas lima, jadi aku membantu di sela-sela pemilihan.

“Biasanya a[pa yang kamu lakukan di jam pelajaran pagi? tanyaku.

Umm... kebanyakan membantu bersih-bersih dan dua kali seminggu kami menyapa siswa saat mereka tiba di sekolah. Kamu tidak melakukannya di sekolahmu yang dulu? Seorang anak yang memakai ban lengan menyambutmu di gerbang depan.”

Nah, di sekolah tempatku dulu bersekolah, kegiatan-kegiatan itu dilakukan terpisah. Biasanya aku disambut oleh kakak kelas di gerbang depan, dan ada dewan terpisah untuk relawan kebersihan. Rupanya, Dewan Anak di sekolah ini telah menggabungkan keduanya.

“Yosuga-san… kamu sudah datang ke sekolah sepagi ini sejak kelas empat? Itu… mengesankan.”

“Sama sekali tidak,” balasnya, “Ada banyak murid yang melakukannya bersamaku.”

“Tetap saja, kurasa aku tidak bisa bangun sepagi ini setiap hari…”

“Aku tahu,”seru Kei. “Dulu aku sering menyetel alarm, tapi sekarang sudah terbiasa.”

Tanpa bersusah payah, dia terus mendaki lereng yang membentang di hadapan kami dengan santai di hadapan. Ada perbedaan yang mencolok antara kami berdua – aku, anak laki-laki yang hanya sesekali bangun pagi dan sekarang mendaki bukit yang sama sekali asing ini, dan dia, yang terbiasa dengan keduanya. Langkahnya yang ringan membuat ransel sekolahnya terasa seberat bulu.

“Itu… keren sekali, Yosuga-san,” kataku terengah-engah.

Dia berbalik menatapku. “Kalau kau mencoba memujiku, aku akan malu,” dia memperingatkan.

“Yah…” aku memulai.

“Apa?”

Sambil mencengkeram erat tali ranselku, aku mencari kata-kata yang tepat. Rasanya seperti aku berdiri di depan papan tulis lagi, dengan namaku tertulis asal-asalan di belakangku, dan setiap detik yang berlalu sangat penting dalam menentukan nasibku. Begitulah rasanya mengobrol dengan gadis sepopuler Kei.

“Kamu dan aku…” akhirnya aku memberanikan diri bertanya padanya. “Kita berdua belum pernah benar-benar bertemu… kan?”

Dia telah memberiku tempat di dunia ini dengan menyiratkan bahwa kami saling kenal, seperti yang kutahu. Mengatakannya sendiri hampir merendahkannya, tetapi entah kenapa, aku tak bisa menahan diri.

Matanya yang besar menyipit saat dia menatapku dengan saksama.

Itu benar," kata Kei waspada, Aku salah paham. Memang benar saat aku melihatmu, kupikir kita pernah bertemu di suatu tempat sebelumnya... Miyamine-kun.

Dia pembohong, pikirku. Ketika dia memanggilku dari seberang kelas, dia seperti mengirimkan sekoci penyelamat ke arahku, dan dia begitu licik sehingga tidak ada yang menyadarinya.

Dan itu benar, lanjutnya, “Kupikir rasanya akan menyenangkan jika bisa mengenalmu dari suatu tempat.

Dia mengatakan itu bahkan sebelum aku sempat menjawab. Sambil tertawa nakal, dia mempercepat langkahnya, dan melesat menjauh dariku. Dia setidaknya dua langkah di depan.

Tapi seriusan, tambahku, sedikit meninggikan suaraku agar dia bisa mendengarku seiring jarak di antara kami semakin menjauh, “Terima kasih banyak. Kalau kamu tidak bicara, mungkin aku akan mengacaukan semuanya. Aku tidak pandai berteman, tapi itu bisa jadi bencana total... Maksudku, itu cukup sulit, tapi karena kamu ada di sana...

Artinya campur aduk – hanya kalimat-kalimat yang tidak serasi dan direkatkan dengan canggung – tapi bahkan dengan belas kasihan seorang gadis yang menawan, aku tidak ingin ada yang disalahartikan. Aku sungguh-sungguh berterima kasih dan mencoba berterima kasih padanya, meskipun aku agak terpesona. Dari sudut pandang siapa pun, perkenalan singkat bukanlah hal yang besar, tapi bagiku itu sangat berarti. Aku bahkan tidak bisa menatap matanya dengan jelas, tapi setidaknya aku bisa mengungkapkan rasa terima kasihku padanya.

Pada waktu itu, dua tangan dingin terulur dan menyentuh kedua pipiku secara bersamaan.

Aku tak punya pilihan selain mendongak. Bertemu dengan mata cokelat tua berbintang yang bermandikan cahaya pagi dan bertebaran putih, aku melihat cahaya di sekitar pupilnya.

Hei, gumamku canggung. Apa yang kamu lakukan?

Mau berteman denganku? tanyanya, mengabaikanku.

Melihat pantulan dirinya di mataku, Kei mulai tertawat ringan. Dengan beban tas sekolahku dan berat badannya yang bersandar padaku, tubuhku mulai roboh, dan kami berdua terguling ke belakang, membuatku hampir terduduk.

Aku menangkapnya dan dia mengerjap kaget. Tunggu, katanya tergagap menuduh, itu mengejutkanku.

“Justru kamu yang mengejutkanku, jawabku kesal.

Tangan yang tadinya menggenggam pipiku dan kini menggenggam tanganku sendiri masih terasa agak dingin.

Aku tak masalah, kataku canggung, “Kalau kau mau berteman.

Saat itu, dia tersenyum padaku, seolah baru menyadari sesuatu. Senyumnya sungguh bahagia – tak seperti yang pernah kulihat sebelumnya.

Akhirnya kamu mau menatap mataku, Miyamine-kun,” katanya dengan nada menggoda.

Begitu kata-kata itu keluar dari mulutnya, kehangatan membanjiri wajahku. Tiba-tiba aku menyadari tangannya menggenggam tanganku, dan aku menepisnya dengan cepat.

Ma-Maaf, desahku.

Dia cemberut. Sakit, tau,” gerutu Kei. Jangan menepisku seperti itu.

Sambil menarik napas dalam-dalam, dia melanjutkan mendaki lereng tanpa menungguku. Ketika aku menyadari jarak di antara kami semakin jauh, aku mulai bergegas mengikutinya – lagipula, begitu mencapai puncak bukit, pada dasarnya kami sudah berada di sekolah. Aku ingat merasa iba ketika melihat gerbang masuk di kejauhan, tapi aku tidak tahu apa yang kami bicarakan untuk mengisi waktu itu. Yang kutahu hanyalah berbicara dengannya terasa seperti kemewahan, dan entah bagaimana dia telah menemukanku di atas bukit itu.

Di pintu masuk sekolah, kami berpisah. Rupanya dia berencana bertemu dengan anggota Dewan Anak lainnya di suatu tempat di taman bermain. Aku berganti ke sepatu dalam ruangan dengan murung dan berbalik ke arah ruang guru.

“Baiklah… terima kasih untuk semuanya, Yosuga-san,” kataku.

“Kei,” jawabnya.

“Mm?”

“Panggil aku Kei,” ulangnya. Semua orang memanggilku Kei, Kei-chan, atau Yosuga. Panggilan 'Yosuga-san' membuatku terdengar seperti istimewa atau semacamnya.

...istimewa? ulangku.

Lalu... tidak apa-apa, kan?

Tapi aku tak punya pilihan. Aku mulai memanggilnya dengan nama depannya untuk pertama kalinya, meskipun aku sudah terbiasa memanggilnya Yosuga-san.

Kei... aku menghela napas. Sampai jumpa di kelas.

Ya – sampai jumpa lagi!

Dia mengangguk puas dan melesat menyusuri koridor, ranselnya bergoyang-goyang di belakangnya. Aku terkejut, seolah tersapu ombak yang dahsyat. Kilatan biru dari ikat rambutnya menghilang saat dia berbelok di tikungan, dan di pintu masuk, tempatku kini berdiri sendirian, aku menyebut namanya sekali lagi.

Sambil menggenggamnya erat—benda kejam dan berharga ini yang takkan pernah bisa kukenal—aku menuju ruang guru.

 

🦋 ────── 🦋 🦋────── 🦋

 

Setelah itu, kami jarang, bahkan mungkin tidak pernah, berangkat sekolah berbarengan. Meskipun dia berangkat ke sekolah pagi-pagi setiap hari untuk menjadi sukarelawan di Dewan Anak, aku hampir tidak sempat tiba di kelas tepat waktu. Tak pelak, ikatan singkat yang kami jalin di lereng itu pun menguap, tetapi itu tidak serta merta berarti dia melupakanku. Malahan, aku sekarang tahu bahwa dia selalu memperhatikanku.

Aku tidak mempunyai nyali untuk bergabung dalam salah satu kelompok sosial yang terbentuk secara alami, tetapi Kei mendukung keterlibatanku dalam kelompok-kelompok yang tidak penting. Dia memudahkanku untuk menemukan jalan masuk, atau mengalihkan pembicaraan kepadaku ketika aku cuma jadi penonton. Hal yang hebat tentang Kei adalah dia tidak pernah menunjukkan perhatian – hanya pertimbangan – dan terlepas dari rekayasa halusnya di balik layar, teman-teman sekelas kami entah bagaimana memiliki ilusi bahwa mereka telah secara sukarela mengundangku atau berbicara denganku.

Jadi, dengan bantuannya, aku mulai menyesuaikan diri dengan teman-teman sekelas lainnya. Aku mulai berteman dengan orang-orang yang sering aku ajak bicara, dan ketika Golden Week berakhir sekitar sebulan kemudian, aku sudah menjadi anak pendiam yang selalu mengintai. Berkat Kei, aku mendapatkan reputasi itu—meskipun reputasi itu rapuh.

Kei adalah jantung kelas, tetapi dia menghargai kami semua secara setara. Kalau dipikir-pikir, dia tidak seperti siswa SD biasa, melainkan lebih seperti seorang guru. Dia berteman dekat dengan seorang gadis bernama Hiyama-san—yang bertindak sebagai mediator di kelas—dan seorang ketua kelas yang nakal bernama Nezuhara. Mereka adalah teman sebaya dan pemimpin kami. Namun, Kei Yosuga unik. Dia setara dengan semua orang.

Semua orang menyayanginya, dan dia pun menyayangi mereka. Dia selalu terbalut dalam film kasih sayang mereka. Setiap kali sinar matahari menyinari wajahnya yang tersenyum, suasana kelas berubah. Dialah yang menjadi pemandu kelas.

Setelah kupikir-pikir lagi sekarang, keunikannya sungguh menakjubkan.

Biar aku beri contoh: di Kelas 5-2, tidak diperlukan suara mayoritas.

Setiap kali ada sesuatu yang perlu diputuskan, atau peran perlu diberikan, tidak pernah ada sedikit pun perselisihan dalam kelompok. Tentu saja, solusi paling ortodoks adalah suara mayoritas, tapi itu tidak pernah terjadi di kelas kami. Saat mengambil keputusan, tiga puluh empat siswa tidak pernah terpecah belah. Kamu pikir kami bersikap dewasa dan membaca suasana? Tidak mungkin. Kami memiliki konflik, percaya pada sihir kekanak-kanakan, dan legenda urban juga populer. Kami adalah tipe anak yang menggambar semanggi berdaun empat di buku catatan kami dengan pena hijau untuk memastikan nilai bagus; atau berasumsi perasaan tak terbalas telah terbalas ketika menerima penghapus dari seseorang yang mereka sukai; dan mempercayai bahwa kami telah dikutuk oleh video di YouTube untuk diculik saat senja. Tidak, kami tidak terlalu pintar.

Meski begitu,​ para siswa Kelas 5-2 terkendali dengan sempurna.

Lagu untuk festival musik sekolah diputuskan tanpa hambatan – bahkan tanpa usulan balasan. Apa kalian bisa mempercayai kalau kita semua akan mengangkat tangan setuju bahwa kita harus membuka kafe jazz selama festival budaya, padahal kebanyakan dari kita belum pernah mendengarkan jazz sebelumnya?

Nah, di Kelas 5-2, kejadian-kejadian aneh ini terus terjadi.

“Kita semua setuju,” Kei akan bersorak dari podium. “Ayo kita lakukan yang terbaik!”

Setiap kali dirinya berdiri di podium sebagai perwakilan kelas, dia berbicara dengan senyum lebar. Kelas yang rukun tentu saja sebuah keajaiban. Tapi sekarang aku tahu keajaibannya.

“Miyamine-kun tuh cukup terorganisir, ya?”

Dia mengatakan itu kepadaku sesaat sebelum para anggota komite diputuskan. Aku senang dia memujiku, dan aku tak bisa melupakan kata-kata itu untuk sementara waktu. Sekarang kupikir-pikir, aku sebenarnya bukan orang yang terorganisir atau rapi, tapi karena dia bilang begitu, jadi aku mulai bersikap seperti itu. Sebuah kebaikan yang selama ini tak kusadari.

Jadi, ketika semua peran telah ditentukan, aku mencalonkan diri untuk komite kecantikan. Tidak ada kandidat oposisi lain yang muncul untuk putra, jadi aku terpilih langsung. Sementara itu, satu-satunya kandidat untuk putri adalah Taninaka-san, dan dia juga terpilih.

Aku mulai mengetahuinya sekarang. Bukan cuma aku satu-satunya yang begitu. Kei melakukan hal yang sama untuk semua orang. Kayano-san bergabung dengan komite perawatan hewan, dan Nezuhara akhirnya menjadi komite olahraga. Ide-kun mengambil alih sebagai perwakilan kelas – semua karena Kei yang memintanya. Semuanya sudah diatur sebelumnya olehnya. Tentu saja, tidak ada yang dipaksa untuk melakukan apa pun. Kami semua senang Kei telah mengakui kualitas terbaik kami, dan hanya menanggapinya. Dan lagu paduan suara yang disarankan Kei adalah sesuatu yang disukai semua orang.

Dan lagu paduan suara yang disarankan Kei adalah sesuatu yang disukai semua orang dari lubuk hati mereka. 'Fly with the Wind' terdengar keren, bahkan bagiku, yang sama sekali tidak tahu tentang musik jazz.

Bayangkan konsep kehendak bebas. Semua orang di Kelas 5-2 dipimpin sepenuhnya oleh Kei, tapi kami merasa senang dengan itu. Bisakah kami benar-benar mengatakan bahwa kami tidak punya niat sendiri? Kami hanya memilih untuk diarahkan olehnya, bukan?

Bahkan sekarang, aku tidak mengetahuinya.

 

🦋 ────── 🦋 🦋────── 🦋

 

Titik balik kehidupanku terjadi pada hari kunjungan lapangan.

Di sekolah SD tempat kami bersekolah, kunjungan lapangan ini diadakan setiap akhir November. Walaupun kami menyebutnya 'kunjungan lapangan', tetapi karena kegiatannya hanya naik kereta menuju taman yang berjarak dua stasiun dari sekolah, memilih tempat yang cocok, dan membuat sketsa apa pun yang kami lihat, terkadang terasa seperti sebagian kecil dari perjalanan sekolah yang sebenarnya.

Bahkan pada hari-hari yang mendung, kegiatan itu tetap berlangsung. Karena merupakan acara tahunan yang diadakan pada hari yang berbeda oleh semua tingkatan, kegiatan itu tidak sering dibatalkan. Kelas-kelas lain dipastikan tidak akan terpengaruh, jadi meskipun cuaca tampak agak buruk, perjalanan itu tetap dilaksanakan.

Di bawah langit kelabu yang menggantung itu, udara terasa dingin, dan motivasi para siswa, termasuk diriku, rata-rata rendah. Namun, itu cukup mudah. ​​Membuat sketsa adalah kegiatan yang bisa dilakukan sendiri tanpa terasa terlalu asing. Berkat Kei, aku dianggap sebagai anggota kelas, tetapi menyendiri selalu lebih mudah.

Jauh dari tempat kami semua berkumpul, aku menggambar sebuah bangku dengan bentuk yang unik dan aneh. Gambarnya tidak terlalu bagus, tetapi aku juga tidak menganggapnya sebagai usaha yang konyol.

Setelah selesai, aku mempunyai waktu luang sekitar tiga puluh menit. Aku memutuskan untuk berjalan-jalan di taman setempat dan melihat-lihat. Mungkin karena cuaca yang mendung, tidak banyak anak-anak yang bermain di sekitar sini, dan semuanya tampak sepi. Langit di atas mulai berubah dari kelabu menjadi hitam, dan anak-anak yang tersisa sedang dilarikan pergi oleh orang tua mereka.

Lalu aku melihat Kei mencoba menghibur seorang gadis yang menangis.

Kei membungkuk sejajar dengan mata gadis itu dan berbicara sambil memberi isyarat. Aku tak bisa mendengar percakapan mereka, tapi aku melihat wajah gadis itu perlahan-lahan cerah saat ia mendengarkan dan mengangguk. Akhirnya gadis itu melambaikan tangan dan pergi sambil menggosok matanya.

Aku menatap kosong ke arah kejadian yang terjadi. Ini bukan pertama kalinya aku melihat Kei menggunakan sihirnya untuk menenangkan seseorang. Namun, dengan perlengkapan seni dan tabung cat berserakan di tanah di sekelilingnya saat dia berbicara dengan gadis itu, Kei bagaikan kebalikan indah dari langit kelabu.

Saat aku bingung harus berkata apa, dia berdiri dan membersihkan debu dari roknya. Dia berputar dan tiba-tiba sudut pandang dunia tertuju padaku. Karena terkejut, matanya melebar dengan jelas.

Wah, kamu mengejutkanku. Apa yang kamu lakukan di sini?

Menyerahkan diri pada senyum puasnya, aku mulai mendekatinya.

Yah... aku menyelesaikan sketsaku lebih awal. Aku juga tidak menyangka akan melihatmu di sini.

“Kamu seharusnya memanggilku lebih awal, tegurnya, “Tapi jujur ​​sajaaku menyadari kamu ada di sana beberapa waktu lalu.

Itu bohong, kan? Dia hampir tidak mengalihkan pandangan dari gadis yang sedang diajaknya bicara. Tapi kalau dia bilang begitu, ya sudahlah.

Gadis itu,

Aku memulai pembicaraan, mencoba meredakan kecanggungan yang mulai kurasakan.

Dia datang membawa layang-layang, Kei mulai menjelaskan, “Tapi waktu dia ke kamar mandi, layang-layang itu tiba-tiba menghilang. Anginnya mungkin luar biasa kencang hari ini. Katanya itu buatan tangan waktu TK, jadi itu sangat berharga untuknya.

Tapi, kamu berhasil menghentikannya menangis.

Ya, ya, Kei mengangguk. Aku sudah menceritakan semuanya tentang sifat sementara dan logistik segala sesuatu.

“Dasar pembohong.

Aku mengatakannya tanpa jeda, dan sebagai balasan, dia tertawa gembira. Sihir apa pun yang telah dia rancang untuk gadis kecil itu tampaknya menjadi rahasia di antara mereka berdua.

“Tetap saja, aku merasa senang bisa bertemu denganmu di sini. Aku tidak menemukan apa pun yang ingin kugambar, jadi aku mondar-mandir tanpa tujuan. Kita mungkin cocok.”

“Itu… yah.”

Dia mengatakannya dengan begitu riang, aku mengalihkan pandanganku, dan di sudut pandanganku, aku melirik sebuah benda mencolok berwarna hitam dan merah.

“Hah? Benda di sana itu.... bukannya itu layang-layang yang dibicarakan gadis itu, kan?

Aku menunjuk ke sebuah perosotan besar dengan tulisan ]Sedang Diperbaiki] tergantung di atasnya. Di puncak tangga yang menurun, ada sebuah kubah seperti keranjang yang terbuat dari anyaman tipis, dan layang-layang yang dimaksud tersangkut di jaring keranjang.

Oh syukurlah, desah Kei, Aku akan mengambilnya dan membawanya ke kantor taman, mungkin dia akan mengembalikannya.

Aku tidak menghentikannya ketika dia mulai memanjat perosotan.

Meskipun aku melihat papan yang memperingatkan pengunjung taman bahwa perosotan sedang diperbaiki, aku tidak bisa membayangkan orang seperti Kei akan terpeleset, jadi aku hanya memperhatikannya dengan ragu-ragu. Setelah berhasil menangkap layang-layang itu, dia menoleh ke arahku dan untuk sesaat, bertumpu pada pagar pembatas. Saat itulah aku mendengar derit, diikuti oleh bunyi gedebuk pelan yang menggema di sekitarku.

Selama beberapa detik yang panjang, aku tidak yakin apa yang terjadi.

Tanpa menyadarinya sama sekali, Kei telah ambruk dan jatuh di sampingku. Di sekelilingnya berserakan kayu-kayu patah, dan aku langsung lega karena tak ada satu pun yang mengenainya. Jika itu terjadi, aku pasti sudah panik.

Kei!?... Apa kamu baik-baik saja? Kei?

Sambil berbicara, aku bergegas membantunya berdiri. Dan kemudian, aku menggigil.

Di kelopak mata kanannya terdapat satu bekas yang tampak seperti disayat binatang buas. Kulit yang robek di sekitar luka itu tampak seperti potongan kain. Tak ada waktu untuk berdiri terpaku di sana. Saat darah segar perlahan merembes dan menutupi lukanya, dengan tangan pucatnya menekan matanya, ada aliran darah yang terbentuk di antara jari-jarinya dan menciptakan aliran di punggung tangannya. Mungkin terkejut dengan sensasi hangat itu, dia menarik napas tajam. Aku hampir berteriak panik.

Kei! Apa yang harus kulakukan? Apa yang harus kulakukan? Kei, kita harus cepat kembali—

Kakiku...

Hah?

Kakiku sakit...

Ucapnya lirih saat darah mulai mengalir ke sikunya.

Aku akan menggendongmu di punggungku, kataku padanya.

Dia kebingungan, jadi aku memaksanya ke punggungku, dia lalu memegang bahuku erat-erat dengan kedua tangannya. Aku pun memegang erat-erat setelah dia berada di posisi itu.

Aku tak ingat banyak setelah itu. Bahuku basah oleh darahnya. Saat mereka semua melihat Kei dengan darah mengucur dari wajahnya, semua orang – termasuk guru kami – gempar. Lagipula, korbannya adalah Yosuga Kei. Ambulans segera dipanggil, dan kami dipisahkan, dia di satu ambulans dan aku di ambulans lainnya.

Ketika mereka bertanya apa yang terjadi, aku tak bisa bicara dengan jelas. Bahkan sambil bercucuran darah, Kei mampu menjelaskan situasinya lebih baik daripada diriku – dan aku bahkan tidak terluka. Dia hanya mengatakan bahwa dia memanjat peralatan bermain yang sedang diperbaiki saat mencoba mengambil layang-layang dan terjatuh. Ketika dia menyadari bahwa dia tak bisa bergerak, Miyamine-kun menggendongku di punggungnya dan membawaku ke guru."

Aku kemudian dipuji karena melakukan perbuatan baik di ambulans. Jarang sekali kita mendapat pujian dari orang lain selain orang tua. Itu menghancurkan hatiku.

Aku dibawa ke rumah sakit bersamanya, tetapi mereka memeriksaku hanya untuk memastikan aku tidak mengalami syok. Setelah selesai pemeriksaan, dan sebelum meninggalkan ruang pemeriksaan, aku menoleh ke dokter.

Apa yang terjadi pada Kei? tanyaku.

Pergelangan kakinya terkilir, tapi untuk matanya, tidak ada kerusakan pada kornea, katanya meyakinkanku, sebelunya dirinya juga memujiku karena menggendong Kei di punggungku.

Sayang sekali—seorang gadis punya bekas luka di wajahnya, gumamku.

Aku mengatakannya tanpa berpikir. Kei adalah seorang gadis yang luar biasa cantik, jadi kata-kata itu mengalir begitu saja. Aku merasa bersalah karena telah melewati batas dengan kata-kata itu.

Aku tidak melakukan apa-apa. Satu-satunya yang bisa menghentikannya memanjat perosotan adalah aku. Akulah yang sudah membuat Kei terluka.

Seminggu setelah kejadian itu, Kei tidak masuk sekolah.

Dia menjadi topik utama pembicaraan di kelas. Karena ketidakhadirannya, rumor-rumor itu menjadi semakin buruk, dan ketika pertama kali mendengar bahwa lukanya mengancam jiwa, hatiku bergejolak. Seseorang mengatakan bahwa dia pingsan setelah kepalanya terbentur saat jatuh, dan aku tidak mungkin bertanya langsung padanya.

Setelah mengkhawatirkan diriku sendiri, aku menguatkan tekadku dan memutuskan untuk mengunjunginya di rumah setelah sekolah selesai. Berdiri di depan papan nama hitam, dengan nama Yosuga terukir di atasnya, aku menarik napas dalam-dalam. Di sekelilingku berserakan peti-peti kayu untuk menyimpan koran-koran bekas dan bunga pansy yang ditanam di sekolah, berjajar rapi dalam pot-pot. Bunga-bunga itu indah karena ditanam olehnya. Tatapanku terpaku beberapa detik, lalu akhirnya, aku membunyikan interkom rumahnya.

Aku sudah mempersiapkan diri secara mental untuk diusir, tetapi ibunya justru mengizinkanku masuk tanpa ragu.

Rumah itu sangat rapi. Foto-fotonya menghiasi dinding ruang tamu, mulai dari foto keluarga Kei yang digendong kedua orang tuanya dan tersenyum lebar ke arah kamera, hingga foto-foto profesionalnya saat dia sedang memodelkan pakaian anak-anak. Aku memandangi semuanya. Aku merasa ini adalah satu keluarga yang sangat bahagia.

Aku menyerahkan kue castella yang kubawa kepada ibunya, dan dia berterima kasih kepadaku karena telah membantu putrinya dalam karyawisata sekolah. Karena merasa canggung, aku mengalihkan pandanganku dan mengikutinya diam-diam ke arah kamar tidur Kei.

...Kei? panggilku dengan ragu.

Sebuah suara terdengar jelas dari balik pintu. Masuklah, katanya, meskipun tak ada tanda-tanda keceriaannya yang khas. Dia tampak hampir tertunduk.

Kei sedang duduk di tempat tidurnya ketika aku memasuki kamarnya. Dia membelakangiku, dan mengintip ke luar jendela. Tanpa bergerak, dia mulai berbicara.

Terima kasih sudah datang mengunjungiku, katanya dengan nada lesu, Kupikir aku masih perlu berterima kasih padamu dengan semestinya.

Tentu... Aku menjawab dengan canggung, Ehm... kamu baik-baik saja? Semua orang bertanya-tanya kapan kamu akan kembali ke sekolah.

Aku takkan kembali ke sekolah.

Setelah mengatakan itu, dia berbalik menghadapku dan aku melihat mata kanannya tertutup perban. Bau darah yang menyengat dari taman kembali membanjir ke arahku.

“Aku tidak akan pergi,” ulangnya. “Lihat keadaanku.”

Dia mengangkat tangannya dan menyentuh area di dekat mata kanannya.

“Keadaanmu…?” gumamku ragu.

“Kalau ada orang lain yang melihat wajahku sekarang, mereka pasti akan merasa jijik padaku.”

Suaranya bergetar menahan emosi. Saat itulah aku tersadar. Foto-foto model profesional di ruang tamu menjadi saksi bisu kecantikan seorang gadis yang luar biasa – seorang gadis yang langsung kucintai sejak pertama kali melihatnya. Dia mungkin terus-menerus dipuji karena kesempurnaannya, dan dipandang kurang dari standar harga dirinya sungguh mengerikan.

Tentu saja pesonanya bukan hanya sebatas kulit, tetapi mudah dimengerti bagaimana dia akan merasa lebih takut daripada orang lain dalam situasi yang sama.

Jangan konyol, tegurku, “Mana ada orang yang merasa jijik—

“Meski penampilanku begini?

Sambil berbicara demikian, dia perlahan-lahan mulai membuka perban dengan tangannya. Ketika dia membuka kain kasa putih itu, terdapat luka dalam yang membentang vertikal dari kelopak matanya hingga ke kelenjar air mata di bawahnya. Seperti jurang merah tua, luka itu jauh lebih parah daripada yang kubayangkan, dan air mata mulai menggenang di mataku.

“…Maafkan aku, Miyamine-kun. Aku tahu jika aku menunjukkannya padamu…”

“Bukan begitu – kamu tetap kelihatan cantik apa pun yang terjadi.”

Kata-kata yang biasanya akan membuatku malu itu terlontar begitu saja. Matanya sedikit melebar, seolah-olah membuatnya lengah.

“Aku menangis karena aku menyedihkan…” jelasku. “Seharusnya aku yang memanjat perosotan itu, dan kamu pasti akan baik-baik saja. Aku benar-benar minta maaf.”

Seharusnya aku yang terluka seperti itu. Aku lupa berapa kali aku berharap bisa memutar waktu. Aku meminta maaf berulang kali, maafkan aku, maafkan aku, sampai semuanya menjadi berantakan, tak berarti, dan berdoa kepada Tuhan agar aku ditimpa luka yang sama.

Kurasa tak ada yang akan membencimu, lanjutku, dan jika ada yang mengatakan hal buruk tentangmu... aku akan melawan mereka.

Kata-kata itu agak berlebihan bagiku – setidaknya, bukan kata-kata yang pantas diucapkan dengan wajah merah, berbintik-bintik, dan berlinang air mata – tetapi aku harus mengatakannya. Kei perlahan membuka mulutnya.

Kalau begitu... Miyamine, maukah kamu menjadi pahlawanku?”

Saat Yosuga Kei menanyakan pertanyaan itu, sisa kehidupanku pun dimulai.

Meskipun masih anak kecil, aku sudah tahu bahwa sejak saat itu, tak ada yang bisa mengalahkannya. Jadi kuputuskan, ya, aku akan menjadi pahlawannya.

“Tidak peduli kapan pun itu atau versi diriku yang mana pun – maukah kamu melindungiku, Miyamine? Maukah kamu terus berada di pihakku?

...Tentu. Aku janji. Apa pun yang terjadi, aku akan melindungimu. Aku selalu berada di pihakmu.

Kalau begitu, itu janji.

Dengan lukanya yang masih terbuka, Kei mengulurkan tangan kepadaku yang bersandar di tempat tidur. Dalam sakit maupun sehat, dia memulai.

...Bukannya itu mirip seperti sumpah pernikahan? tanyaku, dan untuk pertama kalinya hari itu, dia tertawa menanggapi. Jari kelingkingnya yang melingkari jari kelingkingku terasa hangat. Aku masih mengingat sensasi itu.

Keesokan harinya, pintu kelas terbuka, dan saat aku melihat Kei masuk, waktu seakan-akan berhenti.

Meski mengenakan penutup mata, dia tetap menyeringai seperti biasa. Kuncir rambutnya yang menjadi ciri khasnya diikat dengan pita merah tipis, dan dengan warna putih penutup mata itu, menciptakan kontras yang aneh.

Semua orang menarik napas dan menatapnya. Tiba-tiba dia tak lagi tampak seperti gadis yang akan menyembunyikan mata kanannya karena merasa malu. Malah sebaliknya. Dia kelihatan cantik.

Saat itu aku tak tahu kalau penutup mata bisa memiliki kekuatan sebesar itu. Mereka yang memandangnya secara alami tertarik padanya dan menangkap kilauan di mata kirinya yang membuat mereka terpesona. Sampai dia berbicara, tak seorang pun bergerak seolah-olah mereka semua melayang dalam ruang dan waktu.

Selamat pagi semuanya, sapanya dengan gembira.

Bersamaan dengan kata-kata itu, semua orang kembali terduduk. Mereka semus bergegas ke sisinya, menyuarakan kekhawatiran mereka dan sebagai tanggapan, dia menghela napas lega. Aku mungkin satu-satunya orang di ruangan itu yang menyadarinya.

Setelah seminggu, untungnya dia berhasil melepas penutup mata itu sepenuhnya. Bekas lukanya bahkan takkan terlihat kecuali jika cukup dekat untuk menciumnya—dari kejauhan hampir tak terlihat. Namun, janji yang kubuat padanya tak pernah pudar—dan aku tak akan melupakannya sampai dia meninggal.

Kehidupanku berubah drastis setelah karyawisata itu.

Karena tepat ketika aku menjadi 'pahlawan'-nya Kei, perundungan yang kualami dari Nezuhara Akira dimulai.

Semuanya dimulai seminggu setelah karyawisata itu.

Awalnya penghapus. Saking seringnya aku menggunakannya, penghapus itu sudah kecil saat itu, jadi aku tak terlalu khawatir terjatuh.

Lalu pensil. Awalnya aku punya tiga pensil—masing-masing dengan tutup merah, biru, atau hijau di ujungnya, dan pensil dengan tutup merah itulah yang lenyap. Kupikir itu aneh, tapi aku masih punya dua pensil lainnya dan karena aku kelas atas, aku tetap bisa menggunakan pensil mekanik. Wajar saja, pensil mekanik itu hilang keesokan harinya. Suasana di kelas belum banyak berubah. Hanya aku yang merasakan sesuatu, jadi aku berusaha untuk tidak terlalu mengkhawatirkan apa yang terjadi padaku.

Lalu, pada hari ketiga, aku mengambil pensil yang patah terbelah dua dari kotak pensilku. Wajahku memucat. Saat itu, sulit untuk tidak berpikir ada niat jahat di baliknya. Diam-diam, aku menutup kotak pensilku dan mendengarkan seluruh kelas tanpa mencatat apa pun.

Masalah yang berawal dari sebuah penghapus perlahan-lahan bertambah besar. Setiap kali aku mengalihkan pandangan, barang-barangku lenyap. Aku berusaha untuk tidak beranjak dari tempat dudukku, tetapi ada kalanya kami harus membersihkan atau pindah ke ruang kelas lain, dan aku tidak selalu bisa mencegahnya.

Kalau dipikir-pikir lagi, kurasa aku bisa saja bicara dan berkonsultasi dengan orang dewasa saat itu. Seseorang mencuri barangku, dan aku merasa terintimidasi. Mungkin mereka bisa mengatasinya, tetapi aku tidak mengatakan apa-apa.

Aku mendongak. Kei sedang mengobrol dengan ramah dengan sekelompok orang di sudut kelas. Setelah berjanji seperti itu, kami memang tidak terlalu dekat, tetapi setiap kali kami membicarakan hal-hal sepele, suaranya terdengar lebih lembut dari sebelumnya. Itulah sebabnya aku tidak ingin Kei tahu, dan karena itulah, aku tidak memberi tahu siapa pun.

Buku pelajaranku terendam air dan dibuang ke laci mejaku hari itu. Diam-diam, sepulang sekolah, aku mencoba mengelapnya. Dengan buku teks kering di bawah lengan dan pensil mekanik tersimpan rapi di saku, aku melanjutkan sekolah.

Tepat setelah liburan musim dingin, Kei terserang flu.

Dialah yang pertama kali terserang flu musim dingin itu, sehingga semua orang, termasuk wali kelas, mengkhawatirkannya. Tentu saja, aku pun tak terkecuali. Tanpanya, ruangan terasa lebih dingin, dan jauh lebih kecil. Aku menyembunyikan perundunganku dari Kei, tetapi aku sangat menyadari bahwa kehadirannya berfungsi sebagai penengah.

Di kelas, ada banyak keributan tentang siapa yang akan membawakannya selebaran dari kelas setiap hari. Dia sedang flu, jadi dia dipastikan libur seminggu, dan itu berarti semua orang bergantian. Kurasa itu seharusnya menjadi beban, tapi karena orang yang dikunjungi adalah Kei, rasanya lebih seperti acara.

Jika aku mengunjunginya, apakah dia akan senang? Aku bertanya-tanya.

Aku menyadari bahwa jika semua orang bergantian mengunjunginya, takkan ada selebaran tersisa untuk segera dibagikan. Apa dia akan merasa senang jika aku yang mengantarkannya? Mungkin ketika demamnya turun, aku bisa membawakannya sesuatu yang manis.

Saat makan siang hari itu, aku menemukan syal yang dibelikan untukku robek-robek oleh seorang tukang potong dan mengembalikannya ke mejaku. Aku sedang bertugas makan siang hari itu, dan terpaksa meninggalkan kelas untuk itu.

Kali ini berbeda. Syal itu diletakkan dengan cara yang hampir sombong. Hatiku berdebar kencang. Ini pertama kalinya mereka begitu terang-terangan tentang hal itu. Saat itu, seseorang sengaja menabrakku saat aku berdiri di depan meja.

Kamu menghalangi, bentak mereka.

Aku mendongak. Orang yang menyeringai ke arahku saat mereka berbicara adalah Nezuhara Akira. Secara naluriah aku tahu siapa dalang di balik perundunganku. Rasa dingin menjalar di tulang punggungku dan aku merasa lemas. Nezuhara melirikku tajam, permusuhan dan ketidaksenangannya terlihat jelas. Aku melirik sekeliling dan melihat semua teman sekelasku menundukkan pandangan.

Harus kuakui, aku tidak terlalu disukai di kelas. Hanya ada beberapa orang yang berbicara denganku. Namun, itu pertama kalinya aku diabaikan begitu saja.

Ada apa? tanyaku dengan patuh, mendengar suara kecilku sendiri bergema di kelas yang sepi.

Jangan sombong, Miyamine, balas Nezuhara, mendorongku lagi.

Kali ini tubuhku menghantam meja. Entah bagaimana rasanya tak nyata – lantai dingin di bawahku dan rasa sakit yang tiba-tiba kurasakan.

Tak ada keraguan dalam benakku bahwa kehadiran Kei saja telah mencegah hal ini terjadi lebih cepat. Namun, aku tak pernah menyangka bahwa tanpa kata-kata paksaannya, perundungan akan meningkat begitu parah. Hanya ada satu alasan mengapa hal itu terjadi. Sementara aku berusaha menyembunyikan apa yang terjadi dari Kei, Nezuhara juga melakukan hal yang sama.

Aku menelan ludah dan menatap Nezuhara.

Seminggu tanpa Kei terasa seperti neraka.

Pada akhirnya, aku tak pergi menjenguknya. Aku bahkan tak punya waktu untuk memikirkannya. Di bawah langit musim dingin yang menusuk tulang itu, seember air disiramkan ke tubuhku, dan aku tak lagi punya kekuatan untuk berpikir. Akibat Kei yang absen seminggu karena flu, Nezuhara bebas berbuat sesuka hatinya dan melancarkan kampanye perundungan yang jauh lebih brutal dan terang-terangan daripada sebelumnya. Teman-teman sekelasku mulai memperlakukanku seolah-olah aku tak terlihat dan bahkan tak menghentikannya ketika aku dipukuli di sudut kelas.

Wajahmu seperti perempuan, geramnya, menyeramkan.

Dirinya mencibirku sambil menjambak rambutku. Mereka tahu aku akan mencoba kabur, jadi aku diapit oleh Samura dan Ooi yang merupakan teman baiknya. Saat aku membuka mulut untuk bicara, Nezuhara dengan cepat menendang perutku sekuat tenaga. Aku tak mengerti mengapa aku harus menanggung semua ini. Tepat saat mereka memasukkan sampah ke dalam ranselku, mereka menjejalkan kata-kata seperti mati ke telingaku, dan yang bisa kulakukan hanyalah menangis.

Namun, semuanya berakhir secepat awalnya ketika Kei kembali berangkat ke sekolah.

Saat dia masuk mengenakan penutup telinga berbulu dan syal merah muda, semuanya berubah.

Semuanya – selamat pagi! sapanya. Lama tak berjumpa, kurasa. Yah, rasanya sudah lama sekali.

Sambil berkata begitu, dia tersenyum agak cemas. Semua orang langsung mengerumuninya. Apa ini benar-benar baik-baik saja? Dia menjawab dengan riang ketika diberitahu bahwa ia dirindukan, dan bahkan Nezuhara berbicara dengan riang ketika ia mengatakan bahwa ia mengkhawatirkannya.

Saat aku melihatnya, aku mulai merasa bahwa semuanya sampai saat ini hanyalah mimpi. Meskipun masih ada memar yang belum hilang di balik pakaianku, Kei telah kembali, dan dunia kembali seperti semula.

Perundungan yang terang-terangan itu tiba-tiba berhenti. Rasanya seperti semuanya sejauh ini hanyalah kebohongan. Teman-teman sekelas yang selama ini mengabaikanku tiba-tiba mulai berbicara lagi, dan Nezuhara berhenti memukuliku. Tentu saja, barang-barangku masih terus hilang, tapi semuanya dilakukan dengan sangat cerdik agar Kei tidak pernah tahu. Aku hampir berpikir, untuk sesaat, bahwa perundungan itu akan mereda suatu hari nanti.

Kamu mungkin bisa membayangkan betapa besar dampak naik ke kelas enam, ketika aku akhirnya berada di kelas yang berbeda dengan Yosuga Kei.

 

🦋 ────── 🦋 🦋────── 🦋

 

Ketika aku naik kelas 6, aku memasuki kelas yang terpisah dengan Kei. Namun, Nezuhara dan kroni-kroninya akhirnya sekelas denganku. Itu adalah kesepakatan yang kejam. Kei yang kelasnya di sebelah, melambaikan tangan dengan penuh penyesalan dan aku terpaksa mengulang kembali minggu yang menyiksa itu tanpa Kei berulang kali.

Kei tak kunjung kembali. Setiap hari, aku diabaikan dan diserang dengan kasar oleh Nezuhara dan yang lainnya. Wali kelas kami ternyata adalah Mayama-sensei yang pernah mengajar kami di kelas lima, yang entah bagaimana memperburuk keadaan. Prioritasnya adalah memastikan tidak ada masalah di kelas, jadi dirinya hanya berpura-pura tidak menyadari adanya perundungan dan melihatku terbunuh.

Kenapa?

Aku pernah bertanya satu kali pada Nezuhara. Kenapa aku? Kenapa kau membuatku menanggung ini? Sesaat, aku pikir ini hukuman karena telah menyakiti Kei, tapi dia tak pernah memberi tahu siapa pun bahwa akulah penyebab lukanya. Tak seorang pun akan menghukumku untuk itu. Nezuhara menjawab dengan dingin, dengan seringai yang membuatku menciut. Kenapa tidak?

Dan keadaan pun semakin liar.

Sekolah SD tempat kami bersekolah, sebagian besar, mengizinkan penggunaan smartphone. Hal ini terutama karena ada siswa yang sedang belajar untuk ujian masuk SMP yang langsung mengikuti bimbingan belajar setelah kelas selesai. Tentu saja, kami dilarang menggunakannya sebelum jam pelajaran sekolah selesai, dan jika ketahuan, ponsel kami disita.

Namun, tidak ada yang benar-benar mematuhi aturan itu. Anak-anak yang licik menyadari bahwa jika mereka meredamkan bunyi ponsel mereka selama kelas, selama guru tidak melihatnya, mereka masih bisa menggunakannya.

Nezuhara dan aku adalah teman di aplikasi perpesanan. Saat kami kelas lima, Kei pernah meminta semua orang untuk bertukar informasi kontak. Jadi, meskipun kami tidak pernah berkirim pesan, aku tetap terhubung dengan setiap anggota Kelas 5-2.

Sekitar sebulan​ setelah kami menduduki bangku kelas 6, Nezuhara mulai mengirimiku pesan.

Mungkin karena takut meninggalkan bukti, ia menolak mengirimiku pesan langsung seperti mati atau jangan datang ke sekolah. Sebaliknya, hal pertama yang ia kirimkan padaku justru tautan sebuah blog. Aku sudah punya firasat buruk. Butuh beberapa menit bagiku untuk memberanikan diri mengetuk tautan itu. Aku menyaksikan ikon pemuatan berputar-putar sambil menelan ludah.

Akhirnya, sebuah blog sederhana dengan format dasar dimuat. Blog itu yang berjudul 'Ensiklopedia Kupu-kupu', hanya memuat gambar tangan manusia tanpa konteks.

Tidak ada yang ditampilkan di atas pergelangan tangan, meskipun latar belakangnya masih dapat dikenali. Namun, tidak seorang pun akan pernah tahu siapa pemilik pergelangan tangan itu. Tapi aku segera mengenalinya karena itu adalah foto tanganku sendiri.

Saat aku mengenalinya, perutku langsung mual.

Aku mengenali adegan ketika aku disiram air saat bersih-bersih. Adegan lain ketika aku ditusuk pulpen di paha. Adegan lain ketika mereka mengambil semua pakaianku dan mengunciku di gedung olahraga. Lalu tanganku terulur putus asa sambil mereka menginjak-injak punggungku.

Makanya muncullah 'Ensiklopedia Kupu-Kupu'. Akulah serangga yang tertangkap, dimasukkan ke dalam kotak spesimen dan dipamerkan untuk dilihat semua orang. Mereka punya naluri penamaan yang buruk, dan yang memperburuknya ialah akarnya begitu mudah dikenali. Tiba-tiba aku merasa tidak nyaman dengan diriku sendiri.

Kurasa dia tahu bahwa menampilkan wajahku di foto-foto itu akan menimbulkan masalah karena pasti ada yang tahu. Namun, jika 'Ensiklopedia Kupu-Kupu' hanya menampilkan tangan, itu akan lebih sulit dikenali.

Bahkan jika aku melaporkan blog itu karena pelanggaran privasi, karena hanya menampilkan foto satu bagian itu, apa blog itu akan dihapus? Lagipula, tak ada orang lain selain Nezuhara dan diriku yang bisa memastikan bahwa foto-foto itu memang diriku. Dia memang diam-diam melakukannya. Akhirnya aku belajar untuk pertama kalinya tentang kapasitas manusia yang tak terbatas untuk melakukan kekejaman.

Aku mengulurkan tangan dan menyentuh telapak tanganku sendiri di foto tersebut. Dengan kehangatan yang terpancar dari layar sentuh, aku merasa seperti benar-benar menyentuh kulitku sendiri saat itu. Pada saat itu juga, aku mulai muntah. Aku hampir tidak berhasil menutup halaman web itu. Syukurlah aku berhasil menutupnya karena mana mungkin aku bisa menunjukkannya kepada orang tuaku.

Mereka dengan lembut membelai rambutku dan memberi air hangat untuk diminum segera setelah mereka menyadariku tiba-tiba muntah. Meskipun mereka berdua sangat sibuk dengan pekerjaan, mereka mengambil cuti setengah hari untuk membawaku ke klinik. Itulah sebabnya aku tidak bisa memberi tahu mereka apa yang sebenarnya terjadi. Mereka benar-benar meyakini kalau aku cuma sakit biasa.

Namun, ada keberuntungan di balik kemalangankuaku sudah mulai menunjukkan tanda-tanda insomnia, dan muntah-muntah itu, bersama dengan kesehatan fisikku yang buruk dan kurangnya nafsu makan, dikaitkan dengan hal itu. Ternyata insomnia mendadak tidak terlalu jarang terjadi di kalangan anak SD, jadi mereka tidak berani mencari tahu penyebabnya.

Aku diberi obat, tapi aku diam-diam membuangnya. Sebaliknya, aku terjaga sepanjang malam, menatap langit-langit. Aku tak ingin insomniaku sembuh – karena itu bisa menjadi alasan yang kugunakan untuk menutupi penderitaanku yang sebenarnya.

Aku begitu mengantuk keesokan harinya, sampai-sampai aku terhuyung-huyung saat mendaki lereng menuju sekolah. Aku hanya mengandalkan ingatan otot untuk membawaku dari titik A ke titik B.

Kalau kau tidak datang ke sekolah, aku akan memberimu hukuman dua kali lipat sebagai ganti rugi, Nezuhara memperingatkanku.

Dan aku tidak melupakannya. Aku hanya kehilangan semangat untuk melawan.

Jadi sekali lagi, hari itu, 'Ensiklopedia Kupu-Kupu' mendapat pembaruan, memberi seluruh dunia jendela untuk melihat penindasan keji yang kuhadapi. Semakin aku memikirkannya, semakin parah rasa sakit emosional dan fisik itu. Bunyi rana di klimaks penindasan adalah isyarat sang algojo.

Namun, bukan hanya aku saja—— Nezuhara juga mulai bertindak aneh. Mustahil, membunuh jiwa seseorang secara bertahap, hari demi hari, tidak akan membebani si penyerang. Semua orang mulai menjauhinya, tetapi ia tetap melanjutkan seolah diperintahkan—menyiksaku seolah-olah itu rutinitas belaka.

Dan karena terus berlanjut seperti itu, tanpa henti, hanya masalah waktu sebelum Yosuga Kei mengetahuinya—dan memang begitu.

Totalnya ada enam orang, termasuk Nezuhara, dan mereka biasanya menyerang sepulang sekolah, mengepungku saat aku mencoba meninggalkan kelas dengan cukup presisi hingga dianggap ritualistik. Sayangnya, tak seorang pun datang hari itu. Aku tak lagi berharap bisa pulang tanpa insiden, jadi jantungku berdebar kencang.

Tentu saja, aku langsung berlari menuju pintu keluar gedung. Hampir seketika aku bertemu salah satu kroninya—seorang anak laki-laki keras kepala, jauh lebih tinggi daripada kebanyakan anak kelas enam lainnya yang bernama Amano. Anehnya, ia sendirian, dan aku melirik ke sekeliling dengan ragu, perutku serasa diremas menyadari bahwa aku mungkin akan diserbu oleh mereka semua. Sebaliknya, Amano melirikku dengan mata ketakutan, lalu mulai bergumam lirih.

Kamu, katanya dengan nada jijik, “Karena kamu, Yosuga—

Sebelum ia selesai berbicara, ia terhuyung-huyung berlari menyusuri koridor, meninggalkanku sendirian.

Apa maksudnya itu? Aku menoleh ke arah asalnya dan melihat pintu-pintu gimnasium yang berat di kejauhan. Ada ruang penyimpanan peralatan di sudut, yang juga merupakan tempat nongkrong Nezuhara. Aku tahu betul sekarang. Aku sudah cukup sering diseret ke sana hingga merasa tersiksa.

Tubuhku gemetar karena merasakan firasat buruk. Sejujurnya, aku ingin pulang secepat mungkin sebelum Nezuhara menemukanku. Dengan begitu, aku bisa lolos dari amukannya hari ini. Namun, kakiku punya ide lain, dan membawaku ke ruang peralatan terlepas dari niatku. Amano telah menyebut namanya – aku ingin tahu kenapa.

Aku memasuki gedung olahraga dan langsung menuju ruang penyimpanan. Aku tahu ruang itu akan digunakan dalam satu jam – sepulang sekolah, ruang itu digunakan bersama oleh berbagai klub olahraga – jadi aku tahu jika terjadi sesuatu, seseorang akan dapat membantunya dalam jangka waktu tersebut. Bukan aku yang harus melakukannya – tetapi aku tak bisa menahan diri.

Di dalam kegelapan. Aku dengan panik menyalakan lampu dan melihat sekeliling.

Kotak lompat di tengah ruangan bergoyang di depan mataku. Dengan beban di tutupnya, tongkat-tongkat yang digunakan dalam bola voli dan inflator untuk bola ditumpuk di atasnya. Perutku terasa mulas dan aku bergegas menghampiri. Saat itulah aku mendengar ratapan teredam dan penuh air mata dari dalam.

Kei! teriakku.

Mengambil kotak pertama dari tumpukan itu, aku melemparnya dan mengintip ke dalam.

...Miyamine.

Meskipun matanya yang melebar kelihatan merah, aku tidak melihat air mata di wajah Kei. Dia gadis yang gigih, tetapi sesuatu memberitahuku bahwa dia hampir berteriak ketika dia menggigit bibirnya erat-erat.

Kamu menepati janjimu."

Tidak juga – kurasa aku tidak bisa masuk.

Tentu saja kau bisa. Kamu pahlawanku, kan?

Dia mulai tertawa terbahak-bahak, dan air mata yang mengancam akan tumpah pun membanjiri. Tawa itu mereda menjadi erangan.

Aku tidak bisa menghentikannya.

...Hah?

Aku bertanya pada Nezuhara-kun – aku memperingatinya kalau ia sudah melakukan sesuatu yang mengerikan padamu dan aku ingin dia segera berhenti. Dirinya justru semakin marah...

Akhirnya aku mengerti maksudnya. Dia akhirnya tahu – tahu tentang semua perundungan yang selama ini kualami. Dan dengan ketegasan memilih lagu paduan suara dan slogan kelas, dia langsung menghampirinya untuk menghadapinya. Hanya saja, sihirnya tidak berhasil kali ini. Nezuhara, yang konon memuja Kei sama seperti orang lain, tidak mendengarkannya.

“Ia menakutkan – dan semakin marah ketika aku menyebut namamu. Ia lalu mengurungku di sini.

Aku menghubungkan titik-titiknya.

Alasan mengapa Nezuhara terus-menerus menyiksaku; alasan mengapa Kei mampu menyatukan semua orang, dan alasan mengapa sihirnya secara misterius tidak berhasil kali ini – semuanya satu dan sama. Setelah aku memahaminya, semuanya menjadi sangat sederhana.

Karena Nezuhara Akira jatuh cinta pada Kei.

Ketika aku muncul, menggendongnya di punggungku di taman, aku menjadi sasaran kecemburuannya. Dirinya ingin menjadi orang yang menyelamatkannya saat itu, tapi dia salah. Aku telah melakukan kebalikan dari menolongnya. Mungkin inilah yang pantas kudapatkan, pikirku, karena menjadi seorang pengecut. Aku mulai runtuh di bawah beban hukuman ini – hukuman yang kurasa terlalu keras – dan memang sudah sepantasnya selama ini.

Aku melawan rasa bersalah, sakit hati, dan kebencian pada diri sendiri cukup lama untuk menggenggam tangan Kei. Hal terakhir yang perlu kami lakukan sekarang adalah berlama-lama di gudang sambil mengasihani diri sendiri. Kei, kataku ramah, “Situasinya akan gawat kalau kita ketemu Nezuhara di sini – kita harus pergi.

Baiklah, gumamnya menanggapi.

Dengan keberuntunganku, kami hampir pasti akan bertemu gengnya sekarang, tetapi aku tidak melepaskan tangan Kei dan berdoa dalam hati. Tak satu pun dari kami berkata apa-apa saat kami melewati gerbang sekolah dan mendekati lereng menuju rumah masing-masing.

Baru ketika kami mendekati persimpangan dekat rumah kami, Kei membiarkan dirinya menangis, meratap dengan suara seperti anak kecil.

Keesokan harinya, Nezuhara tidak mengatakan apa-apa tentang Kei. Meskipun mustahil seorang anak SD bisa menyelinap keluar dari kotak loncatan sendirian, ia tampak puas mempercayai bahwa Kei telah melakukannya. Ia mungkin menyesali perbuatannya saat marah nanti, dan pasti sedikit menghiburnya bahwa Kei telah lolos dengan mudah. ​​Ia tidak tega melakukan sesuatu yang begitu buruk padanya. Rutinitas harianku berlanjut tanpa henti, dan kali ini akulah yang dikurung di kotak lompat, diikat dengan tali lompat. Ketika mereka memasukkanku ke dalamnya, saya berada dalam posisi yang canggung dan dibiarkan di sana selama yang terasa seperti satu jam, jadi aku sangat kesakitan hingga mual.

“Tahu enggak, ayam makan pasir untuk membantu menenangkan perutnya, kata Nezuhara sambil tersenyum.

Aku disuruh menjilati pasir. Lalu aku bukan hanya mual—aku muntah di halaman sekolah.

Aku dibebaskan ketika mereka memotret tanganku. Masih merasa otakku kekurangan oksigen selama aku dikurung di kotak loncatan, aku berjalan, linglung, ke pintu masuk. Perasaanku semakin buruk mengetahui bahwa Kei pernah mengalami hal yang sama.

Akhir-akhir ini, aku menyimpan sepatu olahragaku di rak sepatu di sisi guru agar tidak ada yang membuangnya. Tindakan pencegahan kecil seperti ini menjadi krusial—ada batasnya aku bisa meminta barang baru kepada orang tuaku karena barang-barangku menjadi kotor.

Namun, sepatuku tidak ada di sana. Aku terlalu lelah untuk bereaksi lebih dari sekadar muram saat menyadari bahwa tempat persembunyianku pasti telah ditemukan oleh Nezuhara dan kroni-kroninya. Tiba-tiba aku merasa seseorang menepuk bahuku.

Ini – sepatumu.

Sambil berbicara, Kei menyerahkan sepasang sepatu bersih yang kusimpan. Aku menatapnya dengan takjub.

“Kudengar mereka sedang membersihkan rak sepatu staf hari ini, dan kupikir akan ada masalah jika ada yang menemukan sepatumu di sana, jadi aku diam-diam memindahkannya ke kotak sepatuku saat waktu bersih-bersih.”

Dia berbicara dengan nada yang tenang, tanpa ragu, dengan nada bicaranya yang biasa. Nada bicaranya bergema di ruangan di sekitarnya tanpa rasa takut. Aku mengambil sepatuku dan menatapnya di bawah sinar matahari yang mulai memudar.

“Maaf. Terima kasih,” gumamku.

“Untuk apa kamu minta maaf?” tegurnya. “Orang jahat adalah orang yang membuang sepatu orang lain untuk kesenangan bodoh mereka sendiri.”

Dia berbicara dengan ekspresi tidak senang, dan aku tak berani menatap matanya. Aku merasa malu karena dia tahu perundungan itu terus berlanjut meskipun dia sudah turun tangan dan aku masih harus mengambil tindakan untuk memastikan barang-barangku aman dengan menyembunyikannya di mana-mana.

Dia melihat perundungan itu secara langsung. Setiap kali teringat hal ini, aku merasa sangat sedih sampai-sampai ingin mati.

Wajahnya perlahan melembut menjadi senyum lemah, tetapi ketika dia melihat keadaanku, wajahnya mendung.

Dan Nezuhara? gumamku penuh tanya.

“Ia datang ke ruang Dewan Anak pagi ini untuk meminta maaf – tapi aneh. Jika dirinya bisa meminta maaf kepadaku, mengapa dia tidak bisa meminta maaf kepadamu? Jadi aku mengabaikannya. Tapi aku tidak mengerti. Mengapa semua orang melakukan hal-hal ini kepadamu? Aku bertanya, tetapi aku masih tidak mengerti.

Kamu bertanya padanya...?

Yah, aku tidak mengharapkan jawaban yang jujur ​​darinya, jadi aku mengumpulkan semua orang di sekitarku dan bertanya kepada mereka – 'Mengapa kau melakukan hal-hal ini pada Miyamine-kun?' tanyaku – dan coba tebak? Mereka tidak bisa memberiku jawaban sama sekali. Aku bahkan bertanya pada Murai-kun dan Fujiya-kun. Mereka terus mengatakan itu karena Nezuhara 'mengatakannya'. Aneh sekali, kan?

Dia tampak benar-benar bingung dengan situasi ini. Wajar saja, jika ada sosok yang mengancam dan berkuasa di kelas menuntutmu untuk mengabaikan seseorang, abaikan saja mereka. Aku tahu itu. Tapi Kei tidak. Atau setidaknya, dia tidak menerimanya.

Aku ingat berpikir bahwa dia pasti benar-benar percaya pada doktrin bahwa kodrat manusia pada dasarnya baik.

Semua orang sepertinya hanya mengikuti arus, gumamnya dalam hati. Bukannya mereka membencimu, mereka hanya menuruti perintah Nezuhara.

Sepertinya begitu, aku mengakui dengan muram. Mau bagaimana lagi. Jika kamu mencoba membantuku, kamu mungkin akan menjadi target berikutnya.

Bahkan saat mengatakannya, aku sendiri meragukannya. Meskipun Nezuhara tidak segan-segan menggunakan kekerasan sebagai refleks di saat-saat penuh gairah, seperti yang dilakukannya terakhir kali Kei menghadapinya, aku tidak yakin targetnya akan pernah bergeser dari punggungku. Mungkin dia akan terus menghajarku sampai aku mati. Dan kalaupun aku selamat dan lulus SD, dia mungkin akan mengejarku di SMP juga. Mungkin perundungan ini takkan pernah berakhir.

Usai memikirkannya seperti itu, tenaga di dalam kakiku seketika menghilang dan aku hampir menangis tersedu-sedu, meskipun Kei ada di depanku. Dia telah menempatkanku di atas tumpuan dengan komitmenku yang kekanak-kanakan untuk menjadi pahlawannya, dan aku pun jatuh tersungkur. Berusaha menepis kenyataan bahwa aku hampir tersandung dan hampir menangis, aku menggumamkan terima kasih dan mulai memakai sepatuku dengan kepala tertunduk. Ubin di bawah kakiku diwarnai warna matahari terbenam, dan saat sepatuku kupakai, aku mendengarnya.

Tunggu, katanya, dengan nada yang tak terbaca.

Seharusnya aku langsung pergi saat itu juga, tetapi suara itu—yang memerintah sekaligus lembut—menghentikanku dan membuatku terpaku.

Aku sudah melihat 'Ensiklopedia Kupu-Kupu'.

Meskipun suaranya terdengar tegang, tapi suaranya terdengar sejelas siang hari. Aku telah menunggu waktu yang tepat untuk menyampaikan hal ini padanya, tetapi hanya mendengar kata-kata itu saja sudah membuatku merinding. Aku tidak bilang apa-apa kemarin, katanya, tapi aku tahu semuanya karena aku dengar tentang blog itu.

Kei punya jaringan pertemanan yang luas di sekitarnya – apa pun yang terjadi di sekolah ini, cepat atau lambat dia pasti akan mengetahuonya. Namun, aku tak percaya keberadaan blog itu ternyata lebih dikenal luas daripada yang kuduga. Berapa banyak teman sekelasku yang tahu tentang permainan jahat Nezuhara?

Tiba-tiba, aku merasa tenggorokanku tercekat dan lapisan air mata mulai mengaburkan pandanganku. Percuma saja. Aku menderita.

...Hei, Miyamine, katanya ramah, kamu tidak perlu terus seperti ini. Kamu bahkan tidak perlu memberi tahu guru, tapi orang dewasa lain mungkin bisa membantumu. Kalau begini terus, Miyamine-

Tidak mungkin. Aku tidak bisa, aku menahan diri.

Dia tidak akan berhenti. Kamu tahu itu, kan? Kalau kamu bicara, pasti ada yang membantumu. Aku khawatir padamu – kita bisa melawan ini bersama-sama.

Berhenti, Kei, kataku dengan nada getir, jangan bicara seperti itu.

Kalau kamu tidak mau, kamu tidak memberiku pilihan selain bicara sendiri. Apa pun yang terjadi, aku—

Aku bilang berhenti! bentakku.

Suaraku begitu keras hingga membuatnya tertegun. Untuk pertama kalinya, aku melihatnya mundur saat melihatku—terisak dan kesulitan bernapas di depannya. Air matanya jatuh ke ubin, membasahinya. Aku menyedihkan. Menjijikkan.

Kumohon, aku mohon padamu, kataku, "jangan katakan apa-apa.

...Miyamine...

Kalau kau mengatakan apa pun kepada orang tuaku, atau polisi, atau siapa pun, aku tidak akan bisa berada di sisimu lagi.

Kenapa? Kenapa kamu mengatakan hal seperti itu?

Karena kalau aku mulai terlihat lebih menyedihkan dari yang sudah-sudah, aku sebaiknya mati saja.

Seandainya saja pikiranku lebih jernih, aku pasti tahu dia benar, tapi dalam kondisiku yang kurang tidur, aku hampir tak menyadari apa yang keluar dari mulutku, apalagi mulutnya. Wajahnya meringis.

Prioritasku berantakan. Aku tak punya jawaban. Jika perundungan itu terbongkar, orang-orang dewasa akan menemukan Ensiklopedia Kupu-kupu. Bekas luka dan memar yang susah payah kusembunyikan setiap hari saat aku bergegas mandi, bisa terungkap semua dan semua orang bisa melihatnya. Membayangkannya saja sudah membuatku takut. Aku tahu aku tak sanggup menghadapinya. Aku akan mati sebelum mendapatkan sedikit pun keadilan.

Aku tahu kau sedang berjuang sekarang... makanya aku mengungkitnya. Kamu tidak tidur nyenyak, kan? Jadi—

Aku mengerti, bentakku, “Tapi kurasa takkan pernah ada hari di mana aku bisa tidur nyenyak lagi.

Hei, jangan bicara seolah kamu akan menyerah dan mati di hadapanku. Kumohon. Jangan berpikir yang aneh-aneh lagi.

Kalau begitu berhentilah mendesakku, kataku padanya, kalau kamu ingin aku hidup.

Aku berbalik dan menuju pintu. Kali ini, dia tidak menghentikanku. Sungguh memilukan membayangkan dia mungkin dibebani rasa bersalah karena telah mencoba memaksaku, tetapi aku sangat ingin melindungi diriku sendiri. Agar tidak terlihat menangis, aku berhenti di taman dan mencuci muka di wastafel toilet umum, jadi ketika aku tiba di rumah, satu-satunya jejak bukti bahwa aku telah menangis hanyalah mataku yang merah dan sedikit bengkak.

Jadi aku menolak sarannya, dan ejekan serta siksaan itu terus berlanjut.

Tidak ada yang membantuku, karena aku tidak meminta bantuan. Semakin lama, aku yakin bahwa aku terhanyut dalam lamunan, dan kekerasan menghujaniku.

Nezuhara menyiksaku seolah itu pekerjaannya, dan aku hanya menanggungnya. Lalu, suatu hari, aku ditendang menuruni tangga dan lengan kiriku patah. Jarang sekali ia menyerangku sebrutal itu di tempat terbuka, jadi ia pasti sedang mengalami hari yang sangat buruk.

Dimulai dengan memukul perutku di lorong, memaksaku mundur dengan setiap pukulan. Saat aku terhuyung tanpa sadar ke posisi semula, aku merasakan kakinya menyentuh punggungku, dan tanpa kusadari, aku berguling menuruni tangga. Karena kurang tidur, aku menjadi peserta pasif dalam kehancuranku sendiri, dan aku berguling seperti tong, baru berhenti ketika aku menabrak dinding bordes.

Hal pertama yang kupikirkan adalah, Aku mungkin tidak bisa membuka pakaian di depan orang tuaku untuk sementara waktu. Mungkin lebih baik kukatakan aku terpeleset di tangga atau semacamnya. Aku sangat berharap itu tidak meninggalkan memar berbentuk jejak kaki di punggungku. Dengan mengingat hal itu, aku perlahan bangkit.

Saat itulah aku menyadari rasa sakit yang membakar. Aku melirik ke arah sumber suara dengan kaget, dan kulihat lenganku tertekuk ke arah yang salah.

Pada titik ini dalam hidupku, aku telah merasakan segala macam rasa sakit, tetapi untuk pertama kalinya, aku mematahkan sesuatu. Ketika aku melihat anggota tubuhku sendiri tertekuk dengan cara yang tidak seharusnya, rasa takut secara naluriah muncul, karena aku punya firasat seluruh tubuhku akan hancur berantakan. Air mata mulai menggenang di mataku.

Tetap saja mereka telah melewati batas, dan aku tahu bahwa perundungan itu akan berhenti hari ini. Napasku pendek-pendek saat aku terhuyung berdiri, keringat di wajahku terasa lembap. Bahkan jika aku hanya menonton dari pinggir lapangan, aku pasti akan merasa sengsara melihat diriku sendiri. Mereka tidak perlu melempar batu lagi. Kerusakan sudah terjadi.

Aku melihat mereka perlahan menuruni tangga, mengamatiku, menilai kerusakannya. Aku hanya tahu Nezuhara akan menggendongku ke ruang UKS sendiri, menggerutu sepanjang perjalanan, lalu ia akan membuatku berbohong dan mengatakan bahwa aku terpeleset atas kemauanku sendiri. Itu skenario terburuk, tetapi aku sangat kesakitan, dan aku kehilangan keinginan untuk peduli.

Tanpa ekspresi, ia melangkah turun ke bordes dan menatapku, yang terhuyung-huyung di atas ubin. Lalu, tanpa sepatah kata pun, ia mengeluarkan sesuatu dari sakunya. Aku melihat kilatan perak dan menyadari kalau itu smartphone-nya. Tentu saja. Nezuhara mendorongku ke belakang, dan mulai menarik lenganku seolah-olah sedang berpose, menyesuaikan posisinya agar tidak ada fitur yang dikenali dari foto yang akan diambilnya. Semuanya berjalan seperti biasa. Sebuah kenang-kenangan berupa lenganku yang menggantung, patah di antara siku dan tangan. Seperti sebuah piala. Lalu, persis seperti yang kubayangkan, ia membawaku ke ruang UKS.

Aku memberitahu semua orang – orang tuaku, guru-guru – bahwa aku terpeleset saat menuruni tangga. Aku pergi ke rumah sakit dan menerima perawatan. Dokter, dengan wajahnya yang bersih dan cantik, tertawa menghibur dan menepuk-nepuk rambutku yang acak-acakan.

Kamu masih muda, jadi kamu akan segera pulih, katanya.

Aku mendengar kata-kata itu seperti suara gemericik, diucapkan di bawah air. Rasanya seperti aku telah meninggalkan jiwaku di tangga itu. Ibu terus membelai rambutku seperti dokter, bergumam, Tidak apa-apa, ini akan sembuh, berulang-ulang. Rasanya seperti masalah orang lain. Aku masuk ke mobil, minum obat pereda nyeri, bukan pil tidur, lalu merangkak ke atas tempat tidurku. Dan kemudian, untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku mengakses blog Ensiklopedia Kupu-Kupu.

Ada lebih banyak foto daripada terakhir kali aku melihatnya. Tepat di bagian atas, ada foto dari hari itu, sebuah telapak tangan di ujung lengan yang patah. Menggantung. Tentu saja, yang bisa dilihat hanya dari pergelangan tangan ke bawah, jadi itu tidak cukup untuk menggambarkan penderitaan yang kualami waktu itu.

Ada penghitung akses di blog. Ada dua belas pengunjung hari itu. Aku tertawa terbahak-bahak saat melihatnya.

Mengapa cuma aku yang harus menanggung ini? Jawabannya sederhana. Karena aku telah memicu ketidaksenangannya pada hari di mana aku menggendong Kei di punggungku. Dirinya ingin menjadi pahlawan Kei – tetapi akulah yang terpilih.

Alasannya sangat sepele. Bahkan fakta bahwa salah satu dari kami memiliki kesempatan untuk menyelamatkannya sejak awal pun sangat, sangat, sangat sepele. Dan sekarang dirinya menyiksaku untuk menindasku, dan menjauhkanku darinya. Aku tak punya pilihan selain membiarkan itu terjadi.

Setelah menutup halaman web, aku memejamkan mata dan mulai menggosok lengan kiriku yang sakit. Tidak ada yang berubah. Aku tidak tidur.

Terlepas dari semua itu, aku tetap bersekolah. Entah kenapa aku memaksakan diri untuk menanggungnya, tapi aku melakukannya. Sekarang setelah kupikir-pikir, rasanya aku harus tetap bertahan pada status quo, kalau tidak, aku akan mati jika melawannya. Kalau dipikir-pikir lagi, mungkin tak apa-apa jika aku melarikan diri, atau memohon bantuan seseorang. Aku bisa saja mengubah keadaan. Tapi aku baru memikirkannya sekarang setelah semuanya sudah terlambat.

Aku kelelahan. Aku tidak sanggup menahannya lagi. Aku tak bisa berpikir jernih saat berdiri di tengah badai. Lagipula, aku hanyalah seorang anak kecil. Tak ada jalan keluar. Jika Nezuhara menyuruhku melompat, aku akan melompat.

Kekurangan jam tidur membuatku pusing, dan saat sinar mentari menyilaukanku, mataku mulai berair. Aku hampir gila. Sensasi terbakar sinar matahari membuatku ingin menutup mata selamanya. Meskipun hatiku memohon untuk tidak pergi ke sekolah, kakiku bergerak sendiri.

Seandainya aku tidak melihat Kei, berdiri di tengah kaca spion titik buta untuk mobil di persimpangan yang ramai, aku pasti langsung menuju ke sana tanpa menyadarinya. Namun, aku tak bisa mengabaikannya, terutama ketika dia menoleh padaku dengan mata yang menyala-nyala.

“Kei...

Tanpa berkata sepatah kata pun, dia melirik antara wajahku dan lenganku. Sambil meremas tali ranselnya, dia bertanya langsung padaku.

Apa ia yang melakukannya?

Dia bahkan tak perlu menyebut namanya – kami berdua tahu siapa yang sedang kami bicarakan. Ekspresinya galak. Meskipun tak ada yang bisa dia tangisi, dia menggigit bibirnya seolah-olah sedang menahan air mata. Aku tak menyesal lenganku patah, tetapi aku menyesal dia harus melihatku dalam kondisi seperti itu. Aku mencoba menenangkannya.

Tidak apa-apa, tidak apa-apa. Rasanya sudah tidak sakit lagi.

“Rasanya pasti sangat sakit waktu patah...

Yah... aku tidak mau membahas itu. Tapi kurasa ia tidak bermaksud sampai sejauh ini. Aku kepleset, jadi...

Kenapa kamu malah memaafkan tindakannya?

Aku... tidak memaafkannya. Tapi aku baik-baik saja. Aku sepenuhnya baik-baik saja. Jadi jangan khawatir...

Aku tergagap, dan seperti bendungan yang jebol, mataku mulai dibanjiri air mata. Hidungku mulai sakit. Air mata yang sama masih menggenang.

Percuma saja. Pahlawan memang tak pernah menangis, dan di sinilah aku, melakukan hal terburuk yang bisa kulakukan di depan Kei – menangis seperti bayi. Menangis dengan buruk. Rasanya memalukan. Aku mengerang dan mengendus, tapi air mataku tak kunjung berhenti. Air mataku menetes dari daguku.

Aku... tidak mau... kamu... melihatku seperti ini, aku terisak.

Aku hampir tidak bisa berkata-kata dan akhirnya bergumam tidak jelas. Pandanganku kabur sehingga aku juga tak bisa membaca ekspresinya. Rasanya sakit. Semuanya sakit. Kei, tolong aku, pikirku. Lakukan sesuatu. Pikiran-pikiran menyedihkan menyerbu pikiranku seperti jeritan, bergema muram. Aku hampir tersedak oleh rasa maluku sendiri.

Yang menenangkan napasku adalah kehangatan yang menjalar di tangan kananku yang masih utuh. Sebelum aku sempat memproses apa yang terjadi, samar-samar aku menyadari dia menggenggam tanganku, terisak pelan di sampingku.

Mataku terasa panas karena air mata, tetapi ketika mulai jernih, aku bisa melihat bahwa meskipun kami berdua menangis, dia tetap cantik. Tangan yang digenggamnya mulai terasa sakit, dan aku bisa merasakan dia menahan diri untuk tidak memelukku. Dia merasa ada jarak, dan tak ingin menekan lenganku yang terluka karena takut menyakitiku.

Tidak apa-apa, hiburnya, “Jangan khawatir, Miyamine. Semuanya akan baik-baik saja.

Suaranya yang berlinang air mata masih terdengar jelas.

Serahkan semuanya padaku, katanya.

Apa yang seharusnya kuserahkan padanya, aku tidak bertanya. Aku tidak bisa bicara dengan jelas dalam kondisiku saat itu. Namun, rasa lega menyelimutiku saat dia mengatakan itu – sesuatu yang meyakinkanku, padahal kata-kata dokter maupun ibuku tidak bisa mendekatinya.

Aku akan melindungimu, lanjutnya.

Nezuhara Akihara ditemukan bunuh diri dengan melompat dari atap gedung apartemennya hanya seminggu setelah itu.

 

🦋 ────── 🦋 🦋────── 🦋

 

Benar sekali, Nezuhara Akira meninggal setelah melompat dari atap gedung delapan lantai hanya beberapa kilometer dari sekolah SD tempat kami bersekolah. Awalnya, aku merasa terkejut karena orang yang sangat kutakuti bisa meninggal begitu... mudahnya. Tentu saja, bahkan Nezuhara Akira, seorang anak laki-laki yang wajahnya seolah mewakili kedengkian itu sendiri – perwujudan sejati dari semua penderitaanku – akan mati jika jatuh dari ketinggian seperti itu.

Yang lebih mengejutkan daripada kematiannya yang terlalu dini ialah kondisi jenazahnya.

Kudengar ada bolpoin yang menancap di mata kirinya...

Benar. Penyebab kematian Nezuhara secara resmi adalah bunuh diri dengan melompat, tetapi apa yang dibisikkan orang-orang juga benar: entah kenapa, bolpoinnya tertancap kuat di salah satu bola matanya.

Sejujurnya, kasus bunuh diri siswa SD bukanlah sesuatu yang sering terjadi. Namun, karena alasan-alasan yang telah disebutkan sebelumnya, kematiannya diselidiki secara saksama. Selain itu, karena ia merupakan tokoh sentral – seorang pemimpin, jika boleh dibilang – di kelas, serta fakta bahwa ia tidak memiliki masalah di rumah, diyakini ia tidak punya alasan untuk mati seperti itu.

Seseorang mengancamnya, dan ia dipaksa untuk melompat. Aku tidak meragukannya. Namun, polisi tidak pernah menangkap pelakunya.

Anehnya, atau mungkin tidak mengherankan, tidak seorang pun memberi tahu polisi tentang perang yang ia lancarkan di kelas. Jika ada yang berbicara tentang perundungan tersebut, mereka akan dipaksa untuk mengakui keterlibatan mereka sendiri, meskipun mereka diperintahkan untuk melakukan apa pun yang diminta Nezuhara. Dan dengan begitu banyak siswa yang mengikuti ujian masuk SMP, mereka tidak ingin ada yang terlibat dalam kasus dan menghalangi peluang mereka untuk masuk ke sekolah yang layak. Lihat, bahkan perundungan yang mereka alami pun merepotkan bagi mereka, sementara pengalaman itu justru neraka kenyataan bagiku.

Jadi, Akira Nezuhara meninggal dunia dan dikenang sebagai siswa SD yang ceria dan energik. Setidaknya salah satu dari kami meninggal sebelum ia diadili. Di pemakamannya, kami semua mengenakan pakaian duka yang minim dan membakar dupa. Aku menangkupkan kedua tangan dalam doa. Aku tidak ingat bagaimana perasaanku saat itu, tetapi aku ingat ibu Nezuhara begitu terpukul sehingga dia dibawa keluar oleh kerabatnya karena tak henti-hentinya meratap. Ayahnya ditinggalkan, dan ia mengalihkan pandangannya dengan canggung.

Kei-lah yang membacakan pidato penghormatan untuk Nezuhara Akira sebagai perwakilan kelas enam.

Nezuhara-kun,” dia memulai, “adalah orang yang sangat berpengaruh di kelas kami, dan semua orang mengikuti jejaknya.”

Sambil mengenakan gaun hitam, suaranya terasa familiar namun menenangkan. Namun, mendengarnya berbicara tentang Nezuhara masih terasa seperti pengalaman di luar nalar. Aku jadi benar-benar yakin dia pasti sedang berduka.

Menurutku,” lanjut Kei, “Nezuhara-kun seperti air mancur yang tak pernah kering, dan aku tidak akan pernah melupakannya karena telah menciptakan aliran yang membawa kami semua.”

Setelah dia selesai membaca, seseorang mengeluarkan tangisan duka, dan pemakaman berlanjut tanpa insiden. Peristiwa itu sungguh menyedihkan. Semua orang benar-benar berduka. Sungguh nyata. Namun, aku tetap terkagum-kagum.​​

Nezuhara telah tiada. Orang yang telah menyiksaku begitu lama telah tiada.

Aku memperhatikan Kei saat dia membungkuk, dan melihat bibirnya terkatup rapat hingga memutih. Jantungku berdebar kencang. Aku masih ingat bagaimana dia menyuruhku untuk menyerahkan semuanya padanya. Setiap kali aku memikirkannya, perutku terasa mulas.

Segalanya berubah sejak saat itu. Meskipun, akan lebih tepat untuk mengatakan bahwa segala sesuatunya terhenti, alih-alih mengalir seperti biasa. Perundungan yang sering terjadi, terasa seperti rutinitas, terhenti total.

Persis seperti kata Kei, semua orang telah mengikuti Nezuhara secara membabi buta. Ketika orang yang menciptakan arus itu pergi, tak ada lagi yang tersisa untuk disapu. Kehidupan sekolah terasa damai tanpanya. Tak ada yang menyakitiku. Buku-buku pelajaranku tidak hilang. Sebaliknya, mereka yang terang-terangan mengabaikanku mulai berbicara kepadaku secara normal lagi – yah, jarang lebih dari sekadar menyapa atau memberi tahuku tentang tugas administratif yang membosankan, tetapi itu membuatku merasakan kegembiraan yang tak pernah kurasakan sebelumnya. Hanya satu orang yang perlu mati agar hidupku layak dijalani lagi, dan itu sudah terjadi. Hanya Ensiklopedia Kupu-kupu yang tersisa. Aku baru menyadari bahwa dialah satu-satunya yang mengelola blog itu, sehingga nama pengguna dan kata sandinya adalah rahasia yang telah ia bawa hingga liang lahat. Tak seorang pun bisa menghapusnya, tak peduli seberapa besar aku berharap demikian.

Satu-satunya cara yang bisa kulakukan adalah melapor ke polisi dan menghapusnya dengan cara begitu. Namun, pada akhirnya aku tidak melakukannya. Aku tetap tidak ingin siapa pun tahu bahwa aku telah dirundung. Tak seorang pun perlu tahu bahwa kupu-kupu yang disematkan di blog itu adalah Miyamine Nozomu. Hanya fakta bahwa blog itu tak akan pernah diperbarui lagi sudah cukup bagiku.

Sebenarnya, siapapun masih bisa menjelajahi situs itu. Sebuah rekam jejak penderitaanku – serpihan kenangan masa itu, dan nisan daring Nezuhara Akira. Terkadang aku mengaksesnya dan mengingat keputusasaanku sendiri. Dalam arti tertentu, situs itu memberiku kekuatan untuk terus maju. Terkadang aku berharap server blog itu berhenti beroperasi, tetapi sekarang aku bersyukur itu tidak terjadi. Sekitar enam bulan setelah Nezuhara Akira meninggal mendadak, di suatu pagi musim dingin yang dingin, Yosuga Kei menekan bel pintu dan berbicara dengan jelas melalui interkom, mengumumkan kehadirannya di rumahku.

Selamat pagi! sapanya, Mau pergi ke sekolah bareng?

Oh, Kei-chan, sapa ibuku dengan gembira, membuka pintu sebelum aku sempat, Bukannya kamu sudah besar?

Kei sepertinya sudah terbiasa dengan perhatian dan menjawab dengan riang. Aku segera menghabiskan sisa sarapanku, meraih tas sekolahku, dan berjalan keluar.

Selamat pagi, sapanya dengan senyum lebar, seolah-olah dia tidak menyadari betapa dinginnya cuaca di luar.

Bukankah seharusnya kamu bekerja untuk Dewan Anak?" tanyaku dengan muram.

Tidak! Aku sudah pensiun, serunya.

Ketika dia mengatakannya, aku menyadari bahwa itu pasti benar. Kami sekarang sudah kelas enam. Setelah liburan musim dingin, kami berdua akan masuk SMP. Sambil aku berpikir demikian, dia menatapku dengan rasa ingin tahu.

Kamu terlihat baikan, katanya puas. Apa semuanya baik-baik saja sekarang?

Perkataannya bisa memiliki banyak arti, tetapi aku tahu persis apa yang dia tanyakan. Kamu tidak menderita, kan? Kamu tidak ingin mati lagi, kan? Matanya terkadang berbicara banyak sementara mulutnya diam tak bergerak. Aku memahaminya secara implisit dan menganggukkan kepala perlahan.

Aku baik-baik saja,” jawabku dengan jujur ​​padanya. Tapi aku juga mengkhawatirkanmu. Maaf. Aku kurang tidur dan aku tidak berpikir jernih. Aku mengatakan beberapa hal yang mengerikan...

Apa kamu sudah bisa tidur nyenyak sekarang?

Ya... aku baik-baik saja.

Insomniaku hilang – tepat setelah Nezuhara meninggal dan perundungan berhenti. Kondisi fisikku membaik dan aku berpikir jernih kembali. Kalau dipikir-pikir lagi, aku ngeri membayangkan bagaimana kurang tidur paling memengaruhi kesehatan mentalku. Aku mungkin benar-benar mati. Bisa saja akulah yang lompat dari atap itu.

Sudah lama sejak kita sekolah bareng, ya? kata Kei.

Iya.

“Rasanya agak sedih juga kita tidak bisa mendaki bukit ini bareng setelah musim dingin berakhir.

...Iya.

Kami mengobrol tentang hal-hal yang paling membosankan. Aku memuji pengabdiannya pada Dewan Anak, juga tentang pensiunnya dia dari sana, dan dia mendengarkanku sambil tersenyum seolah-olah aku murid yang jauh lebih muda, menghujaninya dengan kekaguman. Kami mengisi waktu dengan sia-sia, dan tanpa kusadari, kami sudah sampai di gerbang sekolah lagi. Aku menyimpan sepatuku di tempat yang tepat, karena tidak akan ada yang membuangnya lagi.

Sampai jumpa, katanya dengan nada riang.

...Iya...

Tapi saat dia berjalan menyusuri koridor, tiba-tiba aku mendapati diriku memanggilnya.

Kei.

Apa? tanyanya sambil berbalik.

Rambutnya yang panjang berayun saat dia berbalik, dan aku mendengar gemerisik tas sekolahnya. Sesaat, dengan lengan terentang, dia tampak seperti kupu-kupu yang baru saja keluar dari kepompong. Usai melihatnya, aku menelan ludah.

Aku benar-benar dalam bahaya. Jika polisi sampai tahu tentang Ensiklopedia Kupu-Kupu, aku pasti sudah jadi tersangka pertama mereka. Dan semua orang yang terlibat dalam perundunganku pasti akan ikut berjatuhan bersamaku. Bukan rasa malu yang menghentikanku untuk bersuara mengingat bunuh diri Nezuhara. Melainkan fakta bahwa polisi sedang mempertimbangkan kemungkinan ia telah dibunuh.

Tak ada yang punya motif lebih baik daripada diriku. Akulah sasaran perundungannya. Masalahnya, aku tak bergerak sedikit pun. Sesederhana mengurangi satu angka dari angka lainnya – kalau bukan aku, pasti ada yang melakukannya. Bahkan anak kecil pun bisa mengerti itu. Dan bagaimana jika hanya ada satu orang di dunia ini yang memiliki motif yang persis sama?

Dia tertawa ketika melihatku kesulitan menemukan kata-kata yang tepat.

Miyamine, aku tidak tahu apa yang ingin kamu katakan, dia terkekeh.

Yang sebenarnya ingin kukatakan...

Kamulah yang membunuhnya, kan?

Nezuhara tidak hanya jatuh. Matanya ditusuk dengan bolpoin. Sungguh indah, bagaimana mata kanan Kei dan mata kiri Nezuhara memiliki arti. Aku merasa seperti satu-satunya orang di bumi yang mengerti arti luka itu – bahkan polisi pun tak akan mampu menghubungkannya. Napasku menjadi tersenggal-senggal. Apa yang akan terjadi jika semua hal ini terungkap?

Aku samar-samar berkata padanya, Kei, sampai jumpa.

Dia tampak terkejut, tetapi segera menepisnya. Ya, dia setuju, sampai jumpa.

Hari-hari kami sebagai anak SD tidak berakhir begitu saja, tetapi diwarnai oleh kematian salah satu teman kami. Apa yang ingin kukatakan terus terucap hingga lenyap ditelan udara musim dingin—hilang. Aku tak punya nyali untuk menanyakannya meski merasa penasaran akan kebenarannya.

 

 


Sebelumnya  |  Daftar isi  |  Selanjutnya

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama