TN: Novel ini merupakan prekuel dari novel Koi ini Itaru Yamai, jadi silakan membaca novel itu dulu sebelum melanjutkan novel ini.
Kepompong Lesi
Kemungkinan
besar Kei memang
anak yang sangat pintar.
Aku
berpikir tentang hal yang mungkin dipikirkan oleh setiap orang tua setidaknya
sekali, dan menggelengkan kepala untuk mengusir pemikiran itu. Meskipun dia pintar, tapi dirinya tidak sampai
menonjol dibandingkan anak-anak lain, atau lebih unggul satu langkah dari yang
lain.
Hanya
saja, aku membaca kembali sedikit dari isi buku catatan yang dibawa pulang Kei
dari taman kanak-kanak hari ini.
Taman
kanak-kanak tempat Kei bersekolah menuliskan setiap hari tentang apa yang
terjadi dan keadaan anak-anak di buku catatannya,
memberikan informasi secara rinci. Aku sangat menyukai sistem yang sangat
teliti ini, sehingga aku memutuskan untuk mendaftarkan Kei di sana. Apalagi,
pengasuh bernama Ishikawa Yuki yang mengawasi Kei adalah tipe guru yang menulis
buku catatan dengan sangat hati-hati, dan aku selalu menantikan untuk
membacanya setiap hari.
Hari ini,
isi buku catatan Kei tertulis seperti ini:
[Kei-chan sangat baik hati dan
memiliki jiwa kepemimpinan yang hebat.
Berkat Kei-chan,
Ichikawa-kun
dan Takei-kun
yang sebelumnya tidak akur bisa berbaikan! Terima kasih banyak, Kei-chan, yang telah mengajarkan
betapa pentingnya saling berbagi. Aku merasa guru juga harus mencontoh hal ini.
Kei-chan tampaknya
sangat menantikan acara pertunjukan. Aku juga sangat menantikan pertunjukan Kei-chan!]
Bagian
akhirnya merupakan kata-kata yang penuh
semangat dan menghibur khas Ishikawa-sensei,
tetapi yang membuatku penasaran adalah bagian awalnya.
Mengajarkan
pentingnya saling berbagi dan membuat anak-anak yang sebelumnya tidak akur
menjadi akur? Memiliki jiwa kepemimpinan? Sampai
guru juga harus mencontoh hal itu?
Apa
hal-hal seperti itu bisa dilakukan oleh anak berusia lima tahun?
Meskipun
mungkin ada sedikit pujian atau layanan basa-basi dari Ishikawa-sensei, memangnya
ada anak yang bisa ditulis seperti itu?
Ketika di
dalam rumah, Kei tidak menunjukkan sisi
yang seperti itu. Aku tidak bisa membayangkan dia menjadi pemimpin yang
memerintah dan mengatur semua orang. Aku tahu bahwa ini bukan sisi yang
terlihat di rumah, tetapi aku merasakan ketidakcocokan dengan perbedaan tersebut.
Sekilas
aku melihat Kei yang sedang bermain dengan balok bangunan.
Cara Kei
bermain balok sangat unik. Aku mengira anak-anak biasanya akan mencoba
menumpuknya atau membuat sesuatu yang mereka suka dengan meniru, tetapi Kei
justru mereproduksi secara persis gambar kastil dan patung hewan yang ada di
kotak balok dan bermain dengan cara itu.
Karya
contoh yang digambar di kotak adalah hasil dari desain orang dewasa yang
merakit mainan tersebut. Tentu saja, desainnya
terlalu kompleks dan teratur untuk anak-anak. Namun, Kei segera mencoba untuk
menirunya setelah menerimanya.
Dan dia
tidak membuat hal lain. Setiap kali, dia membuat kastil yang sama, merakitnya
lalu membongkarnya, dan merakitnya lagi.
Kecepatan Kei dalam merakit meningkat, dan keterampilannya semakin halus, tapi
aku tidak tahu apa itu bisa dibilang
cara bermain yang benar.
Sambil
memperhatikan Kei dengan seksama, kastil dari balok bangunan itu perlahan-lahan
terbentuk. Ekspresi wajah Kei tampak serius, tetapi pada saat yang sama juga
terlihat bosan. Dalam situasi seperti ini, Kei tampak sangat dewasa. Mungkin
ini hanya perasaanku saja.
“Ada
apa, Bu?”
Kastil
dari balok bangunan selesai dibangun tepat saat Kei mengucapkan itu dan menoleh
ke arahku.
Sebelum
aku sempat mengatakan sesuatu, Kei segera berdiri dan berlari menghampiriku.
Kepala kecilnya menyentuh perutku, dan dalam sekejap, Kei sudah berada di
pelukanku. Hanya dengan itu saja sudah membuat
hatiku terasa cerah.
“Bu,
ayo bermain! Kita main susun
balok bersama-sama!”
“Tapi,
Kei-chan, kamu jago bermain balok? Ibu tidak
bisa melakukannya dengan baik.”
“Tidak
begitu, kok!”
Kei
tertawa ceria dengan raut wajah gembira.
“Kei-chan, apa taman kanak-kanak
menyenangkan?”
“Menyenangkan!
Sangat menyenangkan!”
“Begitu ya. Kalau begitu, Ibu juga merasa senang.”
Sambil
mengelus rambut Kei yang halus, aku bertanya kembali.
“Apa benar
hari ini Kei-chan
membuat teman-teman yang bertengkar jadi
berbaikan?”
Kemudian,
Kei terlihat kebingungan dan memiringkan kepalanya dengan
sudut yang paling menggemaskan.
“Ibu sedang membicarakan tentang
Ichikawa-kun dan Takei-kun.”
“Ohhh kami main bareng. Rasanya
seru banget!”
“Kalian
hanya bermain bersama saja?"
“Kami
bermain petak umpet! Seru banget!”
Kei
berkata dengan gembira dan kembali tertawa ceria. Melihatnya, entah kenapa aku
merasa sangat lega.
Apa yang
dilakukan Kei hanyalah mengajak dua orang yang bertengkar untuk bermain
bersama.
Dari sudut
pandang guru, itu pasti sangat membantu. Namun, bagi Kei, itu hanyalah bermain
dengan dua orang teman tanpa beban. Anak-anak hidup di dunia yang jauh lebih
sederhana dibandingkan orang dewasa. Meskipun begitu,
rasanya menakjubkan bahwa Kei
bisa bermain dengan baik bersama dua anak laki-laki itu…
Kei yang
kulihat adalah anak yang seumuran. Dia sangat suka membaca buku, menonton
televisi, dan bermain di luar, serta memiliki rasa penasaran yang tinggi. Kei pandai membuat
teman dan cepat beradaptasi di mana pun. Itulah kelebihan Kei.
Aku
sangat bangga dengan Kei dan mencintainya dari lubuk hatiku.
Namun,
terkadang aku merasa sedikit takut karena Kei adalah anak yang terlalu
istimewa. Melihat sisi-sisi normal dari seorang anak membuatku merasa tenang. Memikirkan
hal ini sendiri membuatku merasa agak canggung, seolah-olah aku terlalu
menyadari bahwa anakku ‘istimewa’…
Namun,
ada beberapa momen yang objektif yang membuktikan keistimewaan Kei.
Misalnya,
Kei mengembangkan kemampuan bahasanya sejak dini. Saat berusia dua tahun, kami
memberinya papan alfabet dengan harapan dia
akan terbiasa dengan bunyi-bunyinya. Kei mulai mengetik kalimat seperti “Halo,” “Terima
kasih,” dan “Aku menyayangi Ibu,” dan membacanya dengan suara
keras. Pada saat itu, aku dan suamiku, Hajime,
sangat senang dan terkesan dengan kepintaran putri kami. Kei yang dipuji menunjukkan
kegembiraan yang polos layaknya seorang anak kecil.
Tapi hal yang
mengejutkanku justru setelah
itu. Suatu hari, kami
bertengkar sebagai pasangan suami istri.
Isinya sangat sepele, mungkin tentang bagaimana merayakan Shichi-Go-San Kei.
Kami berdua sangat memperhatikan Kei, sehingga kami tidak mau mengalah.
Kei lah yang menghentikan pertengkaran
kami yang semakin memanas. Setelah berteriak, suasana di ruang tamu menjadi
canggung dan hening. Saat aku sedikit tenang, aku mulai berpikir tentang apa itu tindakan benar berteriak di depan
anak kecil.
[Keluarga
harus akur, bertengkar itu tidak baik]
Suara
mesin yang tidak selaras mulai terdengar. Aku dan Hajime sama-sama terkejut dan melihat ke arah
suara itu. Di sana, Kei berdiri dengan papan huruf hiragana di tangannya.
Ketika
Kei menekan tombol putar sekali lagi, suara ‘Keluarga
harus akur, bertengkar itu tidak baik’ kembali
terdengar. Sambil memperhatikan suara itu,
Kei menatap Hajime dengan ragu.
Pada saat
itu juga, kami berdua saling meminta maaf
tanpa ada yang memulai terlebih dahulu, lalu memeluk Kei yang terlihat cemas.
Seketika, Kei melepaskan papan hurufnya dan tersenyum, terlihat sangat senang
dan ceria.
Kenangan
ini tampaknya juga menjadi hal yang penting bagi Hajime, karena dirinya sering kali menceritakannya kembali. Bagiku, ini adalah episode
yang mengharukan dan membahagiakan juga.
Namun,
setiap kali aku mengingat kejadian itu,
aku selalu dibuat penasaran.
Bukannya itu
terlalu sempurna?
Rasanya
terlalu sempurna. Terlalu indah untuk menjadi
kenyataan. Tidak peduli seberapa
cepat Kei mengembangkan kemampuan bahasanya dan betapa
pintarnya dia, apa dia
mampu menengaji pertengkaran orang dewasa sebagus itu? Jika Kei masuk di tengah-tengah kami sambil menangis dan meminta
kami berhenti bertengkar, kami mungkin hanya bisa berdamai di permukaan. Kami mungkin hanya
berpikir, “Baiklah,
kita berhenti sejenak karena Kei memintanya.” Itu
adalah pemikiran yang sangat penuh perhitungan.
Alasan
mengapa hal itu tidak terjadi karena Kei mengeluarkan mainan papan huruf hiragana
kesukaannya. Ide untuk menghentikan pertengkaran dengan papan huruf itu
melunakkan hati kami dan membuat kami ingin berhenti bertengkar. Suara mesin
yang tidak sumbang itu
membuat perasaan kami hangat.
Sekarang aku
jadi penasaran, apa itu beneran hanya
kebetulan? Apa Kei hanya berpikir untuk membuat pesan sambil bermain dengan
mainan kesukaannya? Atau apa dia menilai bahwa kejenakaan dari tindakan tak
terduga itu adalah cara terbaik untuk menghentikan pertengkaran?
Jika
dipikirkan baik-baik, kurasa kemungkinan yang terakhir itu mustahil.
Karena Kei masih anak-anak. Dia belum berada pada usia untuk bisa berpikir dengan
cara seperti itu. Namun, ekspresi wajahnya saat itu—yang menunjukkan
ketakutannya terhadap pertengkaran—terlalu sempurna, sehingga membuatku merasa
tidak nyaman.
Ada juga
kejadian lain.
Kei mulai
masuk TK sejak usia tiga tahun. Aku dan suamiku sama-sama
bekerja, dan kami berpikir bahwa lebih baik Kei berinteraksi
dengan anak-anak seusianya lebih awal. Kei pergi ke taman kanak-kanak tanpa
rewel dan mulai bermain dengan teman-temannya dengan senang hati. Melihatnya seperti itu, aku merasakan ketenangan
yang mendalam.
Aku
pernah merasa khawatir tentang hal-hal kecil seperti ini dan berkonsultasi
dengan dokter anak kami tentang Kei. Namun, dokter itu tertawa dan berkata:
“Banyak
orang tua yang khawatir tentang keterlambatan perkembangan anak, tapi jarang sekali ada yang khawatir jika anaknya
terlalu cepat berkembang. Kemungkinan besar Kei-chan memiliki IQ yang lebih tinggi
dibandingkan anak-anak lain. Aku juga kadang melihat anak-anak seperti itu.”
—Mendengar
bahwa ‘IQ-nya tinggi’ terasa masuk akal. Rasanya sangat mengejutkan bahwa anak
seperti itu lahir dari pasangan biasa seperti kami, dan aku juga mengerti bahwa
ada anak-anak yang disebut ‘berbakat’.
Namun—
“Aku
rasa mungkin benar, tetapi aku juga merasa ini bukan hanya tentang kepintaran.
Entah kenapa… aku merasa dia adalah anak yang istimewa.”
Selama
percakapan kami berlangsung,
Kei sedang bermain di ruang anak di ruang
tunggu. Di ruang pertemuan, ada monitor yang menampilkan suasana ruang anak,
dan terlihat Kei bermain dengan seorang gadis yang tidak dikenal menggunakan
model kereta api.
“Yah, memang...
dia mungkin anak yang cukup unik. Dia sangat ramah. Dia berbicara dan
bergaul dengan anak-anak yang baru ditemui tanpa rasa takut. Dari pengalamanku,
anak-anak yang berkembang lebih cepat cenderung dikucilkan.”
“Benar.
Kei tidak takut pada siapa pun dan sangat ramah.”
“Tapi,
bukannya itu hal yang baik?”
Jawaban
yang disampaikan dengan santai itu membuatku bingung untuk menanggapinya. Sementara itu, dokter tersebut
melanjutkan dengan senyuman.
“Barangkali,
cara membesarkan orang tua yang baik membuatnya tumbuh menjadi anak riang yang tanpa beban. Jika tidak ada
masalah yang muncul, kurasa Anda
bisa merasa senang.”
“Tidak
ada masalah, sih...”
“Begitu,
‘kan? Selain itu, ketakutannya
terhadap suntikan itu cukup sesuai dengan usianya. Melihat Kei yang biasanya
dewasa menjadi takut, membuatku merasa hangat. Mungkin dokter seharusnya tidak
mengatakan hal seperti ini."
Memang
benar, Kei tidak menyukai suntikan, dan saat vaksinasi, dia menunjukkan
ketegangan dan kesedihan seperti anak-anak kecil
pada umumnya. Setelah selesai, kami selalu pergi ke toko es krim favoritnya
untuk menghiburnya. Dan Kei pun segera kembali ceria.
Namun,
rasanya semuanya terlalu nyaman. Aku merasa Kei ketakutan karena alasan bahwa
anak-anak memang seharusnya takut
pada suntikan, dan dia kembali ceria karena es krim. Rasanya seperti semua ini hanyalah sebuah pertunjukan tentang
kepolosan anak-anak.
Tetapi, aku
yakin jika aku mengatakannya, tidak ada seorang pun
yang akan memahami. Lagi pula, dokter di hadapanku
ini melihat Kei dengan pandangan yang hangat. Ketidakpastian ini pasti tidak
akan dipahami.
Selain
itu, aku juga merasa Kei itu imut.
Hanya saja, kepolosan ini terasa terlalu ideal sehingga membuatku merasa takut.
“Kei
tidak seperti anak-anak seperti biasanya?
Justru dia sangat sesuai dengan gambaran anak-anak. Tidak ada yang mengerti apa
yang dia pikirkan, dan dia bebas. Persis seperti yang kubayangkan.”
Ketidakpahaman
suamiku, Hajime, terhadap keistimewaan
Kei sangat mencolok. Hajime dengan antusias mengatur foto-foto Kei yang ada di
ponselnya, sambil tersenyum bahagia.
“Dia
sangat kompetitif dan mudah terbawa emosi. Dia bahkan mencoba mengalahkanku
dalam adu panco! Aku
yakin dia pasti akan jadi anak yang kuat di masa depan nanti,” katanya.
“Memang sih... tapi, hmmm, bagaimana ya aku
harus menjelaskannya ya...”
“Sudah
kuduga, mungkin ada hal-hal yang hanya bisa dipahami oleh
sesama perempuan.”
Aku langsung
terdiam saat ia meringasnya begitu. Padahal bukan itu masalahnya, tapi aku sendiri tidak bisa menjelaskan
apa yang berbeda. Kebingungan terus mengumpul dalam diriku.
“Papa
mah enak ya, merasa santai saja.”
Aku
mengatakannya seolah-olah balas dendam, tetapi sepertinya tidak berpengaruh
pada Hajime. Sambil melirik wajah Kei yang sedang tidur, dia terlihat seperti
malaikat. Namun, kadang-kadang, sifatnya
yang seperti malaikat itu membuatku merasa ngeri.
Karena kejadian semua itu, aku jadi merasa sangat terganggu oleh
catatan kecil di buku komunikasi ini. Momen ketika Kei menengahi pertengkaran anak-anak lain
terasa seperti saat kami, sebagai pasangan, berhenti bertengkar.
Namun,
ini jelas-jelas
merupakan hal yang 'baik', dan tidak ada alasan untuk merasa cemas.
Bahkan, aku seharusnya memeluk Kei dan memujinya, bukan?
Aku
merasa mungkin aku adalah ibu yang gagal. Semuanya
terjadi karena aku tidak bisa sepenuhnya menerima keunggulan Kei.
Ketika
aku berpikir bahwa Kei mungkin anak yang berbakat,
aku mencari kasus serupa di internet. Banyak contoh muncul tentang ibu yang
merasa tertekan dan bingung karena anak mereka terlahir
pintar, meskipun mereka sendiri biasa-biasa saja.
“Aku
tidak tahu apa aku bisa berinteraksi dengan anakku dengan baik.”
“Aku
tidak bisa berkomunikasi dengan anakku, dan tidak bisa menganggapnya sebagai
anak.”
“Aku
merasa diremehkan dan tidak bisa menyayanginya.”
Usai melihat
semua postingan itu, aku merasa terhubung dan
juga merasa tenang bahwa aku tidak sampai pada titik itu seperti mereka.
Ada kalanya
aku merasa cemas atau ngeri karena Kei terlalu pintar, atau aku khawatir tidak
bisa membesarkannya dengan baik, tapi aku pasti mencintai Kei. Aku benar-benar
menganggapnya lucu. Aku bahkan merasa bahwa lahirnya anak sepertinya adalah
sebuah keajaiban.
Ibu-ibu
lain mungkin merasa bingung karena tidak bisa menyayangi
anak mereka, tetapi aku tidak. Ini membuatku merasa tenang.
Jadi,
tidak apa-apa—.
Kei
adalah anak yang pintar, kooperatif, dan baik. Tidak ada lagi yang bisa kuharapkan atau
katakan.
Aku berpikir
demikian seolah-olah meyakinkan diriku
sendiri. Aku tidak tahu mengapa aku harus meyakinkan diriku sendiri.
Ada
pertemuan orang tua dan guru sebelum acara pertunjukan seni. Pertunjukan ini diadakan di
aula besar yang terkenal di provinsi, jadi akan ada penjelasan rinci mengenai
pengantaran dan penjemputan. Pada pertemuan orang tua-guru yang rutin diadakan
ini, biasanya juga ada laporan tentang suasana terkini dari phak TK dan sesi tanya jawab dengan
orang tua.
Aku tidak
menyukai pertemuan orang tua ini. Rasanya
berat harus meninggalkan pekerjaan lebih awal, dan aku tidak suka suasana yang
tegang itu. Dan yang paling penting—.
Ketika
aku memasuki ruang pertemuan orang tua dan guru dengan jas formal yang tidak
biasa, beberapa ibu dari kelompok yang sama langsung melihatku. Lalu, mereka
mulai membicarakan sesuatu dengan berbisik-bisik.
(Ah...
mereka mulai lagi.)
Aku
bergumam kecil dalam hati.
Berbanding
terbalik dengan Kei yang bisa
bergaul dengan siapa, aku sebagai ibunya
justru memiliki sifat pemalu. Aku merasa lebih
nyaman sendirian daripada menjalin hubungan dengan orang lain, dan sejak masa
sekolah, aku tidak punya banyak teman.
Jadi,
setelah Kei mulai bersekolah di TK,
aku tidak memiliki teman akrab di antara para ibu. Meskipun aku berbicara
dengan orang tua di kelompok yang sama, itu jauh dari kata berteman.
Di tambah
lagi, ada beberapa
ibu yang jelas-jelas tidak menyukaiku. Terutama Mamahnya Tachibana-kun, yang pertama kali menatapku saat
aku memasuki ruangan.
Sambil
berdoa semoga bisa melewati pertemuan
ini dengan lancar, aku duduk di kursi
pinggir, dan perlahan-lahan Mama Tachibana-kun
mendekatiku. Aku kembali menyesali keputusan
untuk duduk. Begitu sudah duduk, aku tidak bisa melarikan diri.
“Ah, Mama
Kei-chan. Hari ini kamu datangnya
cepat ya. Biasanya kamu selalu datang
terlambat, jadi aku terkejut.”
Aku hanya
pernah terlambat ikut pertemuan orang tua sekali pada bulan Mei. Namun, Mama
Tachibana-kun selalu
menyebutkan hal itu setiap kali kami bertemu, seolah-olah aku selalu datang
terlambat.
“Hari ini
aku bisa pulang kerja lebih awal.”
“Hee, kalau tidak salah pekerjaanmu apaan ya?
Perawat?”
“Aku
apoteker.”
“Ah,
begitu. Kamu dibayar mahal hanya dengan menjual obat sakit kepala di apotek,
kan? Setiap kali aku melihat tanda upah per jam, rasanya seperti
penipuan.”
Perkataan
Mama Tachibana-kun membuat
para mama di sekitarnya tertawa serentak. Meskipun seharusnya tidak ada yang
memalukan, aku bisa merasakan wajahku memerah. Jika aku bereaksi seperti ini, aku justru menjadi objek permainan mereka.
“Menjadi
apoteker tidak sesulit yang dipikirkan orang, siapa saja bisa mendapatkannya
jika mereka kuliah, bahkan yang putus kuliah
sekalipun.”
Aku
mendapati diriku melontarkan kata-kata yang merendahkan diri. Aku benar-benar
tidak ingin mengatakan hal seperti itu. Tapi kalau aku tidak bersikap sedikit
rendah hati, aku tidak tahu apa yang akan mereka katakan selanjutnya. Mama
Tachibana-kun menatapku
dengan tajam, lalu mengeluarkan suara seperti desahan yang campur aduk dengan
anggukan.
“Meski
begitu, kamu lulusan universitas, ‘kan? Hebat banget ya. Orang-orang elit. Suamimu juga bekerja, ‘kan? Sepertinya rumahmu cukup nyaman. Kei-chan juga
selalu mengenakan pakaian yang cantik.”
“Semua bajunya itu bermerek, ‘kan? Aku penasaran apa mereka benar-benar menghabiskan uang
sebanyak itu cuma untuk anak
kecil?”
“Memang
bikin iri, ya. Mama Kei-chan.”
“Itu…
Neneknya yang membelikannya karena beliau sangat senang
menyambut cucu pertamanya. Kei-chan juga menyukainya, jadi aku
biarkan dia memakainya…”
Mengapa aku
harus memberikan banyak alasan seperti ini? Apa yang sebenarnya sudah dilakukan aku dan
Kei?
“Sebelum
pertemuan orang tua dimulai, aku mau ke toilet sebentar.”
Saat aku
berkata begitu, Mama Tachibana-kun kembali mendengus. Dengan
pernyataan kekalahan yang sebenarnya, aku buru-buru keluar dari ruangan. Begitu
aku meletakkan tangan di pintu, aku mendengar tawa kecil lagi. Hal sepele ini
membuat tanganku bergetar hebat karena
malu.
Begitu aku
masuk ke toilet untuk orang tua, aku tidak masuk ke dalam bilik, melainkan
berdiri di wastafel dan menatap cermin. Di sana aku melihat wajah seorang
pecundang yang
semangatnya benar-benar terkuras.
Kei
begitu luar biasa, sementara aku hanyalah anjing yang kalah dan tidak berdaya.
Aku tahu
alasan mengapa Mama Tachibana-kun
begitu memusuhiku. Itu karena Kei.
Sejak
masih di taman kanak-kanak, Tachibana-kun
selalu menyukai Kei dan selalu mengikutinya. Tachibana-kun yang aktif dan Kei yang sosial
tampaknya kelihatan serasi, sehingga
para orang tua di sekitar sering menyebut mereka sebagai pasangan kecil.
Namun,
mungkin itulah yang membuat Mama Tachibana-kun merasa tidak nyaman.
Mama
Tachibana-kun adalah
tipe ibu yang sangat menyayangi anaknya, dan ketika menjemputnya, ia seperti
seorang ibu yang gembira dan memeluk putranya tanpa peduli siapa yang
melihatnya. Ibu-ibu seperti itu tidak jarang di dunia maya. Bahkan ada yang menulis bahwa dia menganggap putranya sebagai
kekasih kecilnya.
Mungkin
dia merasa tidak senang melihat putranya terpesona oleh Kei yang begitu
menggemaskan.
Aku pikir
itu konyol. Cemburu pada seorang
gadis kecil berusia lima tahun… Namun, bagi Mama Tachibana-kun, itu tampaknya merupakan masalah
serius, dan sejak saat itu aku jelas-jelas
menjadi musuhnya.
Karena
dia tidak menyukai Kei, dia tidak menyukai segalanya tentang dirinya. Entah itu tentang pekerjaanku, pekerjaan
suamiku, pakaian yang dikenakan Kei. Semuanya menjadi sasaran sindiran bagi
Mama Tachibana-kun.
Seolah-olah dia adalah ibu mertua dalam sebuah drama, dia terus-menerus
mengeluh tentang segala hal. Hari ini juga tidak jauh
berbeda.
Namun,
semua ini adalah tanggung jawabku. Jika aku adalah orang yang lebih baik, jika aku
bisa melakukannya dengan baik, aku pasti bisa menjaga perasaan Mama Tachibana-kun. Seharusnya aku bisa mengabaikan
kecemburuan itu dan berteman dengan baik sambil melindungi Kei.
Rasa malu
karena tidak bisa melakukannya membuatku tersiksa. Kei bisa bersosialisasi
dengan baik dengan teman-temannya. Aku hanya menghambat langkah Kei.
Melihat
Kei yang tampak bahagia bermain dengan teman-temannya membuat hatiku terassa sesak. Seandainya aku memiliki
kemampuan seperti Kei untuk bergaul dengan siapa saja, seberapa baiknya itu.
Sekarang, Kei tampaknya menjadi anak populer di taman kanak-kanak, tetapi jika aku
menjadi penyebab dia dirundung—.
Aku
menggoyangkan kepalaku dengan cepat untuk mengusir pikiran buruk itu.
Aku akan
menjadi ibu yang pantas untuk Kei.
Aku akan
menjadi ibu yang tidak memalukan bagi Kei di mana pun dia berada.
Demi
mencapai itu, aku harus berusaha sekuat mungkin.
Namun,
tekadku terasa sia-sia, karena pertemuan orang tua berjalan sangat buruk.
Yang
mendominasi pembicaraan adalah Mama Tachibana-kun
yang berjiwa pemimpin, sementara aku hanya bisa diam dan melihat pertemuan
orang tua berlangsung tanpa bisa menanyakan apa yang ingin aku tanyakan.
Lebih
parahnya lagi, aku ditugaskan untuk menjadi panitia kamera
untuk acara olahraga yang akan datang di musim gugur. Meskipun sudah musim
gugur, mengambil foto anak-anak di bawah sinar matahari yang kuat adalah
pekerjaan berat, dan biasanya orang tua lain berusaha menghindari tugas seperti
itu.
“Karena
Anda mendapatkan bayaran tinggi, Anda pasti bisa
lebih fleksibel dalam waktu dibandingkan dengan ibu-ibu yang bekerja lainnya, ‘kan?”
Ketika
dia mengatakan itu di depan semua orang, aku gemetar karena rasa malu yang tak
terlukiskan. Kenapa dia harus mengatakan hal-hal yang begitu menghinaku? Aku
ingin berteriak balik, tapi tak bisa. Aku hanya menyeringai dan setuju menjadi
juru kamera.
Satu-satunya
hal yang membuatku senang adalah Kei diperkenalkan sebagai pemeran Cinderella
di depan semua orang. Kei-ku yang manis memainkan peran utama di panggung
besar. Tak peduli seberapa menyedihkan
dan tak bergunanya diriku, Kei
tetap menjadi pusat perhatian di dunia ini. Itulah penghiburan terbesarku.
Kemudian,
akhirnya guru baru diperkenalkan.
“Namaku
Namikawa Youko.”
Namikawa-sensei baru saja kembali dari cuti
melahirkan, tetapi dia masih terlihat relatif muda. Sebagai ibu yang memiliki
anak, aku merasa ada kedekatan tertentu dengannya.
Mungkin dia juga mengalami kesulitan dalam pengasuhan, karena wajahnya yang
serius tampak sedikit lelah, dan rambutnya yang dikuncir tampak pudar.
“Mulai
sekarang, aku akan melihat kelompok kelinci senior bersama Ishikawa-sensei. Aku tidak memiliki pengalaman
yang terlalu lama di lapangan, tetapi mohon kerjasamanya.”
Apa guru
ini juga akan menyukai Kei? Tidak, mungkin tipe guru seperti ini tidak terlalu
menyukai anak-anak yang ceria dan sedikit menonjol seperti Kei?
Saat aku
memikirkan hal itu, pertemuan orang tua pun berakhir.
Ketika aku
bersiap untuk segera pulang, aku kembali ditangkap oleh Mama Tachibana-kun. Kali ini, dia dikelilingi oleh
lebih banyak orang.
“Terima
kasih atas pertemuan orang tua ini.”
Ketika aku
mengucapkannya lebih dulu, Mama Tachibana-kun
memiringkan kepalanya,
“Selamat
ya. Menjadi pemeran utama itu luar biasa!”
“Tidak,
tidak seperti itu…”
“Bukankah
agak tidak sopan bersikap rendah hati saat dipuji? Putra kami Masaki adalah
pangeran, jadi sampaikan salamku
untuk Kei-chan
ya.”
“Ya,
terima kasih atas dukungannya pada hari itu.”
Aku
mengucapkannya seperti mesin dan menundukkan kepala. Dari atas kepala yang
menunduk itu, aku mendengar suara merendahkan dari Mama Tachibana-kun.
“Kei-chan tidak mirip dengan ibunya sama
sekali, ya? Mungkin dia adalah anak hasil perselingkuhan?”
Dengan sensasi getir di
mulutku, aku berusaha pulang ke rumah. Aku
tidak memiliki semangat untuk memasak makan malam, jadi aku memesan kari untuk
diantar. Kei dengan polosnya merasa
senang dan melahap kari dengan lahap. Melihatnya
seperti itu, aku merasa ingin menangis lagi.
Hajime
pulang tepat saat aku sedang menidurkan Kei, jadi aku mulai mengeluh tentang
pertemuan orang tua dan guru
sambil memanaskan kari. Hajime mengerutkan kening dan berkata,
“Ketimbang dibilang berkemauan lemah,
aku tidak menyangka bahwa kamu sampai
diintimidasi di pertemuan orang tua. Rui, kamu harus lebih tegas dalam hal
ini.”
“Aku
tidak diintimidasi… aku hanya tidak disukai. Itu
bukan masalah besar karena aku tidak memusingkannya. Sejak dulu perempuan memang
sering seperti itu, kan? Mereka bergerombol… hanya itu saja.”
Sambil
berbicara cepat, aku merasa seolah sedang memberi alasan untuk diriku sendiri. Padahal sebenarnya, itu jelas-jelas perundungan,
dan aku hanya tidak mampu menanggapi dengan tegas.
Sambil
mengunyah kari, Hajime mengangguk dengan wajah yang tampak tidak bersemangat.
Suaranya mirip dengan cara Mama Tachibana-kun
berbicara, dan itu membuat aku merasa tidak nyaman.
“Tapi
memang, kalian kelihatan tidak mirip.”
“Apa?”
“Rui dan
Kei. Meskipun kalian ibu dan
anak, kalian berdua sama sekali tidak mirip.
Tentu wajah kalian mirip, oke? Kalian
berdua sama-sama cantik. Tapi Kei itu ceria dan pintar. Dia
tidak terlalu mirip dengan Rui yang pemalu.”
Mengapa
kamu juga harus mengatakan hal seperti itu
padaku?
Jika itu
yang dikatakannya, Hajime
juga tidak mirip dengan Kei. Anak itu jelas-jelas anak kami, tetapi dia adalah anak yang
istimewa yang tidak mirip dengan kami
berdua.
Ketika aku
terdiam dengan cemberut, Hajime yang salah justru terlihat sedikit panik dan
berkata,
“Itu
hanya pendapat umum, pendapat umum.”
“Kamu
juga tidak mirip dengan Kei.”
“Lagipula, aku adalah ayahnya, jadi…”
“Banyak
juga anak perempuan yang mirip dengan ayahnya. Jadi intinya, aku ditugaskan sebagai panitia
kamera, jadi kurasa aku akan fokus pada acara olahraga di bulan Oktober. Mohon
atur jadwal untuk bulan Oktober.”
“Hah? Kamu cuma bertugas
menjadi fotografer untuk
acara olahraga saja, ‘kan?”
“Panitia
kamera juga bertanggung jawab untuk publikasi. Kami harus membuat buletin, jadi
tidak peduli seberapa keras aku berusaha, aku tidak akan bisa menyelesaikannya.”
“Itu
keterlaluan. Apa pun yang diminta mereka,
kamu seharusnya tinggal menolaknya
saja. Itu mengganggu rumah tangga kita.”
“Kalau
begitu, kamu saja yang
pergi ke pertemuan orang tua! Ada anak-anak lain yang ayahnya juga hadir!
Kenapa aku yang harus disalahkan?”
Ketika aku
meninggikan suara, Hajime yang licik tidak
membalas dan hanya diam sambil makan. Sangat licik. Seandainya aku bisa menutup
diri seperti itu dan mengabaikan semuanya.
Seandainya
aku bisa menghadapi Mama Tachibana-kun
dengan tegas, aku tidak akan bertengkar dengan Hajime seperti ini. Semuanya
karena aku tidak berdaya. Memikirkan itu membuat aku ingin menangis.
“Ibu…”
Pada saat
itulah aku mendengar suara Kei.
“Kei? Ada
apa?”
Kei yang
mengantuk berkata pelan, “Toilet,” dan berjalan perlahan. Melihatnya, aku
merasakan darahku mengalir deras. Apa dia
mendengarnya? Mungkin
dia masih kecil dan tidak mengerti, tetapi Kei anak yang pintar—.
Jika
dibiarkan seperti ini, rumah ini mungkin tidak akan menjadi tempat yang aman
bagi Kei. Aku harus melindungi Kei dengan baik. Aku tidak boleh merasa tertekan
hanya karena sedikit perlakuan dingin dari Mama Tachibana-kun dan yang lainnya.
Meskipun aku
berpikir demikian, aku yang lemah ini merasa berat saat memikirkan pertemuan
orang tua dan masa depan. Seandainya aku sekuat Kei. Seandainya aku mirip
dengan Kei, seberapa baiknya
itu.
Ternyata,
Namikawa-sensei sangat menyukai Kei. Mungkin
bisa dibilang, seperti yang diharapkan dari Kei.
Buku
komunikasi kelompok kelinci kini ditulis bergantian oleh Ishikawa-sensei dan Namikawa-sensei, tetapi tulisan Namikawa-sensei tidak kalah panjangnya dengan
Ishikawa-sensei. Dengan tulisan yang rapi dan
serius, Namikawa-sensei
melaporkan bagaimana Kei bermain dengan anak-anak lain dan kata-kata apa yang
dia sampaikan kepada guru.
“Kei-chan hari ini menggambar bunga
azalea. Dari semua anak yang pernah kulihat, menurutku Kei-chan yang paling jago
menggambar. Mungkin dia akan menjadi seniman di masa depan. Menurutku,
keterampilan menggambar yang baik mencerminkan kekayaan hati seseorang. Kei-chan adalah anak yang sangat
baik.”
Melihat
gambar bunga azale yang dibawa Kei dan buku
komunikasi yang ditulis oleh Namikawa-sensei, hatiku
merasa hangat. Gambar Kei memang terlihat sangat bagus dan bisa
memenangkan suatu lomba. Aku sangat senang karena Namikawa-sensei tidak hanya melihat aspek teknis
tetapi juga menemukan kekayaan hati dalam gambar tersebut.
“Kei, apa
Namikawa-sensei guru yang hebat? Apa dia
memperlakukanmu dengan baik?”
“Aku
sangat menyukai Namikawa-sensei!
Dia tahu banyak tentang nama-nama tanaman dan mengajarkan banyak hal. Dia juga
suka membuat bunga tekan. Senang sekali rasanya
Namikawa-sensei datang!”
Mendengar
kata-kata Kei, aku semakin merasa bahagia. Ternyata, taman kanak-kanak itu
cocok untuk Kei dan berkualitas baik. Itu
adalah tempat yang sempurna untuk pendidikan Kei.
“Apa kamu
juga bisa melakukan peran Cinderella dengan baik di acara pertunjukan?”
“Ya!
Cinderella-ku, semua orang memujinya! Bahkan Tachibana-kun juga bilang aku terlihat seperti putri sungguhan!”
Mendengar
nama Tachibana-kun dari mulut Kei membuat hatiku sedikit sakit. Namun, di sisi
lain, aku merasa lega. Kei tidak memahami cerita malam itu—tentang aku yang
diintimidasi oleh Mama Tachibana-kun.
Jika hal itu membuat Kei tidak bisa berteman
dengan Tachibana-kun, aku pasti akan menyalahkan diriku sendiri.
Aku
sangat bersyukur Kei bisa menjalani kehidupan taman kanak-kanak dengan
bahagia.
“Ibu juga
akan berusaha keras untuk membuat gaunmu, ya.”
“Ya, aku menantikannya!”
Kostum
untuk acara pertunjukan disiapkan oleh masing-masing keluarga. Karena aku
merasa tidak akan bisa melakukannya hanya dengan pola yang diberikan, aku
menyerahkan pola itu kepada pihak luar untuk dikerjakan. Karena ini adalah gaun
yang akan dikenakan Kei, lebih baik jika dibuat dengan baik oleh
profesional.
Apa Kei
akan menyadari bahwa ini bukan buatan tanganku?
Meskipun
dia menyadarinya, kupikir Kei mungkin akan
diam-diam senang. Perasaan bahwa aku tidak seharusnya mengharapkan perhatian
dari anak berusia lima tahun, dan keyakinan bahwa kebaikan Kei bisa sampai
sejauh itu, bercampur aduk dalam pikiranku.
• 🦋 ──────✧ 🦋 ✦ 🦋✧────── 🦋•
“Memar?”
Aku
memanggil Kei dan memintanya
menunjukkan kakinya. Benar saja,
ada memar baru di kakinya.
“Kei, ini
bagaimana?”
“Aku terjatuh saat sedang latihan
pertunjukan.”
Kei
berkata sambil tersenyum. Jika dia bersekolah di taman kanak-kanak, cedera
seperti ini bukanlah hal yang langka. Apalagi anak-anak yang aktif bermain di
luar seperti Kei. Meskipun aku khawatir, aku mengangguk setuju dengan kata-kata
Hajime bahwa ini akan membuatnya menjadi anak yang lebih kuat.
“Apa
Namikawa-sensei juga ada saat latihan
pertunjukan?”
“Ada!
Namikawa-sensei memujiku
dengan bilang kalau Cinderella-ku sangat cantik!”
Itu
adalah jawaban yang sudah kuduga. Jika Namikawa-sensei
hadir saat latihan, jadi mana
mungkin tidak mengetahui penyebab memar di kaki Kei. Mungkin dia sedang keluar
sebentar karena urusan lain saat itu...
Namun,
ada perasaan tidak nyaman yang tidak bisa aku
ungkapkan bergerumul di dalam
hatiku.
“Kei, apa
kamu benar-benar hanya terjatuh?”
“Ya,
benar.”
Kei
menatapku dengan wajah kebingungan sebelum tersenyum lebar.
Senyumnya yang polos membuatku merasa bahagia.
Jika
memar ini bukan karena terjatuh saat latihan pertunjukan...
Apa yang
sebenarnya kupikirkan sih? Aku
berusaha mengusir pikiran buruk itu dengan perlahan menggelengkan kepala.
“Bagaimana
keadaan Kei-chan
di rumah? Belakangan ini, sepertinya Kei-chan
menyembunyikan sesuatu yang tidak dia katakan kepada guru-guru. Kami
memperhatikannya, tetapi jika Kei-chan
tidak mau bercerita, kami tidak bisa berbuat banyak. Tolong jangan abaikan
sinyal SOS atau perubahan dari Kei-chan.”
Seminggu
kemudian. Aku membaca kembali buku komunikasi yang ditulis oleh Namikawa-sensei berkali-kali.
Apa Kei
menyimpan rahasia? Kecemasan yang kurasakan sebelumnya kini muncul dalam bentuk
yang lebih jelas di hadapanku.
Setelah
menemukan memar di tubuh Kei, ada banyak
hal yang mulai mengganggu pikiranku.
Pertama,
ketika aku bertanya kepada Kei tentang latihan pertunjukan, dia tidak lagi
memberikan rincian.
Kei hanya
mengatakan “menyenangkan” dan tidak melaporkan seperti sebelumnya
tentang bagaimana teman-temannya atau pujian dari guru. Itu belum semuanya.
Sikap Kei juga terasa agak dingin. Keceriaan yang biasanya ada padanya tampak
hilang, dan dia terlihat seperti sedang murung. Tentu saja, saat berbicara
denganku, dia masih tersenyum cerah, tetapi di luar itu, dia kelihatan berbeda.
Ini
bukanlah sikap Kei yang biasanya.
Apa
perubahan pada anak-anak bisa sejelas ini? Aku terkejut dan mendekati Kei yang
sedang bermain balok seperti biasa.
“Kei-chan, Ibu
mau bertanya sesuatu padamu.”
“Ada apa, Bu?”
“Apa
Tachibana-kun melakukan sesuatu padamu?”
Wajah
Kei tiba-tiba berubah menjadi
muram. Sudah kuduga, aku
membatin.
Perilaku
Kei yang tidak wajar dan memar di tubuhnya mungkin disebabkan oleh perundungan
di taman kanak-kanak.
Dan...
jika aku mencurigainya, pelakunya yang paling mungkin adalah Tachibana-kun.
Mama Tachibana-kun yang
merasa jengkel padaku di pertemuan orang tua
pasti telah membisikkan hal buruk tentang Kei kepada anaknya. Jika tidak ada
yang dikatakan oleh orang tua, mana
mungkin mereka akan mengganggu anak baik seperti Kei.
Seperti
yang kuduga, saat nama Tachibana-kun disebut, ekspresi wajah Kei berubah. Kei
sedang diintimidasi oleh Tachibana-kun.
“Tidak
ada yang seperti itu. Kenapa, Ibu?”
“Apa
menurutmu Tachibana-kun akan marah kalau kau mengatakan yang sebenarnya? Tapi
kalau dia melakukan sesuatu yang mengganggumu, kau harus mengatakannya dengan
benar. Tolong, apa kamu tidak bisa
memberitahu kepada Ibu?”
“Ia tidak melakukan sesuatu yang menggangguku, kok.
Aku baik-baik saja.”
Ucapan
yang terdengar kekanak-kanakan seolah mengeluarkan SOS bahwa dia tidak
baik-baik saja. Jika ketidakpuasan Mama Tachibana-kun
menjadi penyebab perundungan terhadap Kei, aku merasa sangat menyesal atas apa
yang telah kulakukan. Penyesalan ini tidak akan pernah bisa terhapus.
“Kei-chan, pokoknya,
jika ada sesuatu yang
tidak menyenangkan atau kamu terluka, pasti katakan kepada Ibu, ya? Sekecil
apapun, ceritakan kepada Ibu, oke?”
“Ya, aku
akan melakukannya.”
Kei mengatakannya dengan jujur, tetapi
kecemasanku tidak kunjung menghilang.
Apa
sebaiknya aku tidak mengirimnya ke taman kanak-kanak lagi? Namun, jika aku
mengatakan itu, Kei yang sangat menyukai taman kanak-kanak pasti akan menolak.
Dia mungkin akan berusaha lebih keras untuk menyembunyikan hal tentang
Tachibana-kun.
Setelah
berpikir panjang, aku menyisipkan surat ini di buku komunikasi.
‘Kepada
Namikawa-sensei.
Belakangan ini, aku merasa ada yang aneh dengan Kei. Namun, ketika aku bertanya padanya, dia tidak memberikan jawaban
yang jelas. Mungkin itu bukan apa-apa bagi
Kei. Namun, sebagai orang tuanya, aku sedikit khawatir. Aku
berharap Anda dapat terus memperhatikan Kei agar dia bisa menjalani
hari-harinya dengan tenang.’
‘Pertama-tama,
izinkan aku mengucapkan terima kasih karena telah mempercayakan anak Anda
kepada kami. Terima kasih banyak. Hari-hari bersama Kei-chan sangat menyenangkan, dan aku
merasa bahagia di luar pekerjaan. Aku akan terus memperhatikan keadaan Kei-chan. Aku percaya Kei-chan adalah anak yang baik dan
cerdas, tetapi kadang-kadang dia cenderung menahan perasaannya. Kita harus
melindunginya.’
Sejak
saat itu, memar di tubuh Kei tidak bertambah, dan sikapnya tidak lagi tampak
aneh.
“Namikawa-sensei sering bermain bersamaku.”
“Begitu?
Bagus sekali.”
“Aku menyukai Namikawa-sensei.”
Kei
mengatakannya dengan penuh perasaan, dan aku tidak bisa menahan senyum. Aku
kemudian bertanya.
“Bagaimana
dengan Tachibana-kun? Apa kalian berdua
akrab? Kalian berlatih untuk pertunjukan bersama, kan?”
Kemudian,
Kei terlihat sedikit bingung dan menjawab.
“Aku
tidak tahu.”
“Tidak
tahu? Maksudnya bagaimana?”
“Tachibana-kun
tidak datang ke taman kanak-kanak.”
Kei
menatap lurus ke arahku tanpa berbohong.
Aku
sedang melihat foto-foto Kei yang dipajang di dinding aula tempat pertemuan
orang tua diadakan untuk ketiga kalinya tahun ini. Ekspresi Kei dalam foto-foto
itu sangat beragam dan sangat menarik.
Foto-foto
ini diambil oleh Namikawa-sensei menggunakan kamera miliknya
sendiri saat anak-anak berlatih pertunjukan. Dia mencetak puluhan foto dan
memajangnya di aula yang digunakan untuk pertemuan orang tua.
“Untungnya,
aku baru saja membeli kamera DSLR, jadi aku ingin mengambil foto. Ini adalah
bagian dari hobiku. Kei-chan bahkan bilang dia ingin melihat foto-foto yang
kuambil.”
Namikawa-sensei menjawab dengan malu-malu saat
dipuji oleh orang tua.
ntuk
seseorang yang menyebutnya hobi, semua foto Namikawa-sensei sangat mengesankan.
Aku benar-benar bisa merasakan
kecintaannya pada anak-anak dalam foto-foto itu, dan setiap foto terekam dengan
begitu jelas. Di antara foto tersebut,
Kei terlihat paling cantik. Mungkin karena dia berperan sebagai Cinderella,
jumlah foto yang diambilnya juga sangat banyak.
Sepertinya
Kei sudah terbiasa difoto, karena dia bahkan
terlihat seperti seorang model. Ketika aku berjalan bersamanya, sering kali ada
yang menawarkan untuk menjadikannya model anak. Aku tidak pernah menerima
tawaran itu karena kesibukanku dan Kei yang tidak menunjukkan ketertarikan,
tetapi aku berpikir mungkin dunia hiburan juga cocok untuknya.
Di sisi
lain, foto Tachibana-kun yang berperan sebagai pangeran sangat sedikit dan
ekspresinya tampak kaku. Mungkin ini masalah bagi Tachibana-kun yang berada di
depan kamera, tetapi ketidaktenangannya terlihat jelas dari foto-foto tersebut.
Melihatnya seperti ini, mungkin hari itu Tachibana-kun tidak dalam kondisi yang
baik.
Tachibana-kun
yang tampak akrab dan bahagia bersama Kei terasa seperti kenangan yang jauh.
Dengan masalah yang terjadi antara aku dan Mama Tachibana-kun, itu menjadi kenangan yang agak
pahit.
Kalau
dipikir-pikir, ada kejutan yang menyenangkan berkat Namikawa-sensei. Saat aku
sedang melihat-lihat foto-foto itu, Namikawa-sensei menghampiriku dan berkata
begini.
“Benar.
Aku juga ingin mengambil foto di hari olahraga. Mama
Kei-chan yang mengurus kamera, kan? Kalau Anda
tidak keberatan, bolehkah aku yang melakukannya?”
“Hah?
Anda yakin?”
“Ya.
ayang sekali kalau kita sampai menyia-nyiakan
kameranya.”
Dan
dengan itu, Namikawa-sensei tertawa riang.
Dengan
begitu, aku dengan mudah dibebaskan dari tugas sebagai petugas kamera yang sudah lama kukhawatirkan. Namikawa-sensei bahkan mengambil alih pembuatan
buletin dengan alasan data kamera, jadi aku benar-benar terbebas dari semua
pekerjaan. Meskipun aku merasa sedikit bersalah, tetapi dengan kamera digital
lama yang kumiliki, aku tidak akan bisa mengambil foto sebaik itu, jadi aku
memutuskan untuk menyerahkannya dengan senang hati.
ni
mungkin karena Namikawa-sensei menyukai Kei.
Kalau dipikir-pikir,
Kei sudah menolongku berkali-kali.
Sambil
melihat senyum Kei di dalam
foto tersebut, aku teringat pada putriku yang manis.
Mungkin
ini terdengar agak lancang,
tetapi aku berpikir untuk meminta Namikawa-sensei
mencetak foto Kei. Jika aku menanggung biaya cetak, atau bahkan jika tidak, kurasa
Namikawa-sensei akan dengan senang hati
setuju...
Lamunanku
terhenti oleh suara pintu geser tempat acara dibuka.
Suaranya
begitu keras hingga kupikir pintunya akan pecah, dan tanpa sadar aku menoleh ke
arah itu.
Mama
Tachibana-kun berdiri
dengan ekspresi yang sangat mengerikan.
Awalnya, aku
tidak mengenalinya sebagai Mama Tachibana-kun.
Biasanya, Mama Tachibana-kun selalu
rapi, tetapi kali ini penampilannya acak-acakan dan hampir tidak mengenakan riasan. Wajahnya yang terlihat lelah
hanya menyisakan mata yang bersinar tajam, sampai-sampai membuatku berpikir apa yang
sebenarnya dilihatnya.
Namun,
tidak ada siapa-siapa di belakangku,
dan Mama Tachibana berlari dengan penuh perhatian menuju arahku.
“Kamu pasti
sudah melakukan sesuatu pada anakku, kan?”
“Eh?”
“Apa yang
kamu lakukan pada anakku! Pada anak seperti itu... karena tidak
bisa membalas, kamu justru
membalas kepada anak? Sungguh tak bisa dipercaya,
betapa liciknya kamu!”
Aku sama
sekali tidak mengerti apa yang dikatakan Mama Tachibana-kun. Yang aku pahami hanya satu
kalimat, yaitu karena tidak bisa membalas. — Jadi, aku hanya bisa menyimpulkan
bahwa orang ini memang mengintimidasiku. Membalas? Pada anak seperti itu? Aku
tidak paham apa yang sedang dia bicarakan.
“Bukannya kamu salah paham? Aku tidak
mengerti apa yang kamu maksud. Memangnya ada sesuatu yang terjadi pada
Tachibana-kun?”
“Jangan
berpura-pura tidak tahu. Kamu yang
melakukannya, kan? Anak itu, dia bahkan tidak bisa berbicara dengan baik. Apa kamu yang menyuruhnya diam? Ia bilang kalau ia berbicara, dirinya akan mengalami hal yang
mengerikan. Itu membuatnya tidak bisa berkata apa-apa. Anak itu juga tidak memberitahuku
apa-apa... dasar pengecut! Apa yang
sebenarnya dilakukan anak itu!?”
Dalam
keadaan setengah panik, pembicaraan Mama Tachibana-kun menjadi tidak jelas. Tidak bisa
berbicara dengan baik? Menyuruh diam? Tidak diberi tahu apa-apa? — Lalu,
mengapa dia menyerangku? Apa yang sebenarnya terjadi pada Tachibana-kun?
Mungkin
karena tidak tahan dengan kebisuanku, Mama
Tachibana-kun semakin
marah dan akhirnya mencoba menyerangku. Aku berteriak dan menggunakan tasku
sebagai perisai untuk melindungi diri dari Mama Tachibana-kun. Namun, Mama Tachibana-kun tidak menyerah dan berusaha
menjatuhkanku ke tanah. Ini buruk, jika dibiarkan seperti ini, aku tidak tahu
apa yang akan terjadi.
“Tachibana-san!”
Dengan
suara tajam, Namikawa-sensei
masuk ke dalam ruangan.
Namikawa-sensei menghentikan Mama Tachibana
dengan kuat dan secara paksa menariknya keluar dari ruangan. Aku bahkan
berpikir, dari mana kekuatan Namikawa-sensei
yang kecil itu untuk melakukan semua ini, dia menarik Mama Tachiban-kun dengan sangat kuat.
Aku dan
para ibu lainnya hanya bisa menatap ke arah mereka yang pergi dengan wajah
terkejut.
“Umm...”
Aku
dengan ragu bertanya kepada salah satu pengikut Mama Tachibana-kun — Mama Saeki-kun. Mama Saeki-kun terkejut dan tubuhnya bergetar,
tetapi dia tidak melarikan diri.
“Apa yang
sebenarnya terjadi? Aku sama sekali tidak mengerti...”
“Sejak
beberapa waktu lalu, Mama Tachibana-kun
mulai mengatakan bahwa Tachibana-kun diintimidasi. Ia tidak ingin pergi ke taman
kanak-kanak, dan tidak mau berbicara apapun... Kami berpikir mungkin ia tidak
enak badan atau bertengkar dengan teman-temannya, tetapi Mama Tachibana-kun bilang... bahwa itu pasti ulah Mama Kei-chan.”
Aku
terdiam dengan mulut terbuka, tidak bisa berkata apa-apa. Cerita ini terlalu
jauh dari kenyataan bagiku.
“Aku...
tidak melakukan hal seperti itu. Aku... siang hari bahkan bekerja paruh
waktu... Jika aku masuk ke taman kanak-kanak, pasti akan segera
diketahui...”
“Memang
benar.”
Mama
Saeki-kun tertawa kecil. Baru pertama kalinya dia tersenyum
kepadaku.
“Mama
Tachibana-kun memang sangat
berdedikasi dalam mendidik anak, tetapi kadang-kadang dia bisa kehilangan
pandangan terhadap sekeliling... Sepertinya dia sangat menganggap Mama Kei
sebagai saingan, jadi mungkin itulah yang membuatnya berpikir seperti itu.”
Persaingan,
meskipun bukan kata yang indah, tapi itu
tidak bisa diabaikan begitu saja, tetapi aku tetap mengangguk. Orang ini juga
hanya salah satu dari pengikut dan mungkin hanya berusaha agar anaknya tidak
terlibat masalah.
Namun,
bagaimana dia bisa terjebak dalam khayalan seperti itu? Tachibana-kun
diintimidasi? Jika itu yang dia maksud, bukankah sebenarnya Kei yang
diintimidasi? Saat latihan pertunjukan, dia sangat dingin terhadap Kei, bahkan
mungkin membuatnya terluka — tetapi, itu juga sama saja tidak ada
buktinya.
“Apa yang
sebenarnya terjadi pada Tachibana-kun?”
“Aku
tidak tahu. Karena tidak ada
yang tahu.”
Aku
merasa cemas. Sepertinya ada sesuatu yang terjadi. Tapi aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.
“Pertunjukan...”
Tiba-tiba,
sebuah pertanyaan meluncur dari mulutku.
“Apa
Tachibana-kun tetap menjadi pangeran di
pertunjukkan nanti...?”
Sebenarnya,
ini bukan saatnya untuk memikirkan hal itu. Namun, melihat foto-foto
berwarna-warni yang dipajang di dinding dan gaun Kei yang dipesan khusus, aku
tidak bisa menahan diri untuk bertanya.
Mama
Saeki-kun menatapku dengan khawatir ketika
aku mulai mengatakan sesuatu yang mungkin terdengar aneh. Namun, dia menjawab
meskipun ragu.
“Mama
Tachibana-kun sudah sejak lama
sangat menantikan peran pangeran Tachibana-kun, jadi dia bilang tidak akan membiarkan
orang lain menggantikannya... tetapi aku tidak tahu apa dirinya bisa melakukannya. Anak yang
tidak bisa datang ke taman kanak-kanak, apakah
masih bisa menjadi pemeran utama di pertunjukan?”
“Tapi,
jika itu Mama Tachibana-kun,
sepertinya dia akan memaksakannya.”
Aku
terkejut dengan kata-kata yang keluar dari mulutku sendiri, terasa lebih
sarkastis daripada yang kubayangkan.
Jika itu yang terjadi, mungkin bakalan ada keributan lagi antara diriku dan Mama Tachibana-kun
di pertunjukan. Aku sudah merasa sedikit putus
asa.
Walaupun ada
sesuatu yang janggal
terjadi, tapi aku yang lamban ini tidak bisa memahami
garis besarnya. Tolong, semoga tidak ada yang terjadi pada Kei
yang kusayangi. Aku hanya bisa berdoa.
Akhirnya,
hari pertunjukan pun tiba.
Kei yang
mengenakan gaun yang dibuat oleh profesional terlihat sangat cantik dan menggemaskan bak karakter dari negri dongeng.
Meskipun sepertinya agak sulit untuk mengenakan dan melepasnya, Namikawa-sensei berkata dia akan membantu saat
mengganti gaun dari pakaian biasanya
sebelum transformasi.
“Ibu!
Gaunnya luar biasa, cantik! Cantik sekali!”
“Benar
sekali. Kei, itu sangat cocok untukmu.”
Kei
tersenyum dengan bangga. Aku yang hanya memesan gaun itu juga merasa senang
seperti anak kecil. Hajime juga mengambil cuti dari pekerjaannya untuk menonton
pertunjukan dengan baik.
“Eh, gawat. Sepertinya pemeriksaan terakhir
sudah cukup. Kei, ayo kita
menuju lokasi!”
Aku
cepat-cepat melepas gaunnya dan menggantinya dengan seragam taman kanak-kanak
sebelum kami bertiga naik mobil. Pada saat itu, semua kekhawatiranku hilang
berkat penampilan Kei yang cantik.
Setibanya
di lokasi, aku menyerahkan Kei kepada para guru bersama dengan kostum yang
sudah aku siapkan. Kostum ini akan dibawa ke ruang kostum untuk disimpan.
Ketika
menerima gaun, Ishikawa-sensei
bersorak, “Wow, luar biasa! Gaun Kei-chan
sangat cantik! Sangat detail dan benar-benar imut!”
“Tapi,
pada akhirnya aku meminta bantuan profesional.”
“Mengeluarkan
uang untuk hal ini juga merupakan bentuk kasih sayang!”
Usai mendengar
itu, aku merasa lebih tenang.
“Jadi,
para orang tua silakan menunggu di tempat kursi
penonton. Anda bisa bersantai sampai acara dimulai.”
“Kursi penonton...”
Aku tanpa
sadar mencari sosok Mama Tachibana-kun.
Namun, saat ini aku tidak melihatnya.
“Anda sedang mencari Mama
Tachibana-kun?”
Seolah-olah
bisa merasakan sesuatu, Ishikawa-sensei berkata pelan.
“Tachibana-kun
sudah kami jaga. Sepertinya Mama Tachibana-kun
belum ada di lokasi, tetapi mungkin dia akan kembali sebelum acara
dimulai.”
“Ah,
iya... itu benar...”
“Pertemuan
orang tua kemarin cukup sulit, ya. Tetapi, orang tua dengan anak usia segini
cenderung menjadi cemas.”
Aku tidak
tahu harus menjawab apa, jadi aku hanya tersenyum ringan. Sementara itu, Kei
menatap kosong ke kejauhan.
“Kamu, apa kamu lagi membuat masalah?”
“Bukan,
bukan. Itu hanya sedikit
kesalahpahaman.”
Aku
menghindari tatapan curiga Hajime dan fokus pada pertunjukan Cinderella Kei
yang akan segera dimulai.
Setelah
berkonsultasi dengan Namikawa0senseu,
memar di tubuh Kei sudah menghilang.
Kei tidak lagi berperilaku aneh, dan dia kembali ceria seperti sebelumnya.
Namikawa-sensei pasti telah melindungi Kei
dengan cara tertentu, tetapi tidak ada laporan lebih lanjut di buku catatan.
Jika Kei dan Tachibana-kun sudah berdamai, seharusnya itu tercatat di situ...
Atau mungkin, keputusan untuk tidak menuliskan hal-hal negatif. Jika mereka
sudah berdamai, tidak perlu lagi menulis tentang masalah mereka.
Namun,
jika itu Namikawa-sensei, sepertinya dia akan
memprioritaskan laporan.
Meskipun aku
ingin membicarakan hal ini dengan Hajime, dirinya pasti
akan menganggapku terlalu berpikir atau terlalu khawatir. Itu sangat
menjengkelkan. Hajime pun memiliki tanggung jawab untuk melindungi Kei.
Saat aku
semakin merasa tidak nyaman, bel berbunyi dua puluh menit sebelum pertunjukan
dimulai. Para orang tua yang berada di luar juga mulai berkumpul di tempat
penonton. Kei pasti sudah mengenakan gaun yang lebih sederhana dan bersiap
untuk transformasi.
Kami
berdua menunggu pertunjukan dimulai.
Namun,
setelah dua puluh menit, tiga puluh menit berlalu, acara tetap tidak
dimulai.
“Kira-kira ada apaan ya?”
“Mungkin ada masalah dengan peralatannya? Bukankah pertunjukan pertama
adalah untuk anak-anak yang lebih kecil?
Semoga bisa diperbaiki sebelum gilirannya
Kei.”
Hajime
berkata sambil menguap. Masalah peralatan. Apa
benar begitu? Aku menatap panggung dengan cemas. Jika bukan masalah peralatan,
lalu apa yang terjadi?
“Orang
tua Tachibana Masaki-kun dan
orang tua Yosuga Kei-chan, jika ada di sini, silakan
datang ke ruang tunggu melalui pintu belakang nomor lima.”
Setelah
pengumuman yang diulang untuk ketiga kalinya, aku dan Hajime akhirnya saling
memandang dan berdiri. Dadaku terasa sesak, dan aku berkeringat dingin.
“Ada
sesuatu yang terjadi pada Kei-chan.”
Aku
mengatakannya dengan nada tegas, lalu melangkah keluar dari aula seperti
terlempar. Dalam pengumuman tadi, tidak hanya kami, tetapi orang tua Tachibana
juga dipanggil. Itu berarti, ada sesuatu yang terjadi di antara mereka.
Ketika
akhirnya sampai di ruang tunggu, aku terkejut.
Aku
mendapati Tachibana-kun yang
terjatuh, dan Kei yang
menangis. Di samping mereka, Namikawa-sensei
tampak tertegun sambil dikelilingi
oleh guru-guru lainnya. Anak-anak yang lain sepertinya diungsikan ke ruangan
lain demi keselamatan.
Gaun
Kei tergeletak di lantai ruang tunggu.
Meskipun kotor, tapi tidak robek.
Aku segera berlari ke arah Kei yang sedang menangis dan memeluknya dengan
lembut. Kei membalas pelukanku dengan lebih erat.
“Maaf,
maaf... aku tidak menyangka akan terjadi seperti ini.”
Kepala
sekolah berkata sambil mengeluarkan keringat dari seluruh tubuhnya. Aku
menatapnya dengan ekspresi serius.
“Apa yang sebenarnya terjadi?”
“Namikawa-sensei mendorong Tachibana-kun. Sekarang kami sedang memanggil
ambulans. Sepertinya tidak ada pendarahan, tetapi dia tampaknya pingsan karena
terkejut...”
“Lalu,
mengapa Kei menangis? Bukankah Namikawa-sensei
yang mendorong Tachibana-kun...?”
“Kei-chan lah yang menghentikanku.”
Namikawa-sensei berkata dengan pelan.
“Ketika aku
berusaha melakukan hal buruk kepada Tachibana-kun,
Kei-chan menghentikanku. Aku sangat
berterima kasih padanya.”
Cuma itu
saja yang dikatakan Namikawa-sensei.
Kei-chan hanya terus menangis tersedu-sedu.
Jika
dirangkum, beginilah
kronologinya.
Namikawa-sensei melihat Tachibana-kun berkeliaran di ruang tunggu, dan sebelum mendengar penjelasannya, dia sudah memarahi Tachibana-kun. Ketika Tachibana yang panik
mencoba melarikan diri, Namikawa-sensei
berusaha menangkapnya dan secara tidak sengaja mendorongnya.
“Aku
tidak berniat melakukan hal ini. Aku tidak bermaksud melakukannya, tetapi
tiba-tiba...”
Nyawa Tachibana-kun tidak dalam keadaan berbahaya,
dan tidak ditemukan masalah pada kepalanya. Namun, Tachibana-kun tidak ingin menceritakan apa
yang terjadi, dan aku juga tidak tahu mengapa gaun Kei terjatuh di lantai ruang
tunggu. Menurut Namikawa-sensei,
gaun itu sudah terjatuh di ruangan.
Kei yang
mendengar suara Tachibana-kun dimarahi
menyaksikan seluruh kejadian dan menangis sambil menghentikan Namikawa-sensei. Memikirkan bahwa dia lebih
khawatir tentang Tachibana-kun
daripada gaunnya sendiri yang
tergeletak di lantai membuatku merasa kalau
itu memang sifat Kei.
Semuanya dijelaskan dalam rapat orang tua
yang diadakan secara mendesak, tetapi di sana terungkap hal yang lebih tidak
bisa dipercaya.
Ternyata, Namikawa-sensei telah mengintimidasi Tachibana-kun selama ini.
“Aku sudah lama memiliki perasaan tidak
suka terhadap Tachibana Masaki. Dia bersikap sok dan tidak mendengarkan, serta
tidak sopan kepada orang dewasa... Mungkin aku menjadi sensitif karena baru
kembali bekerja...”
Kemudian,
Namikawa-sensei mengatakan bahwa dia mendorong
Tachibana dan menjatuhkannya saat tidak ada anak-anak lain yang melihat, serta
melontarkan kata-kata kasar kepadanya. Selain itu, jika hal ini diceritakan
kepada ibunya, dia juga akan melaporkan semua kesalahan Tachibana-kun secara rinci kepada ibunya.
Aku tidak
bisa mempercayainya. Padahal Namikawa-sensei selama ini terlihat baik.
Meskipun Tachibana-kun mungkin
membuatnya jengkel, dia masih anak berusia
lima tahun. Jika demikian, tidak mengherankan jika Tachibana-kun tidak bisa pergi ke taman
kanak-kanak. Betapa menakutkannya itu.
“Jangan
bercanda! Dasar penjahat!
Apa kamu tahu betapa takutnya anakku? Mati saja dan
minta maaf padaku!”
Mama
Tachibana-kun mulai
berteriak di tengah rapat orang tua. Melihat apa yang terjadi pada anaknya,
reaksinya bisa dipahami. Mama Tachibana-kun sudah berubah total dan terlihat
hampir hancur.
Jeritan Mama Tachibana-kun semakin tidak jelas, dan pada
akhirnya dia dibawa keluar oleh seorang pengasuh pria. Semua orang mulai
berbisik membicarakan Mama
Tachibana-kun.
Aku
berpikir, tampaknya Mama
Tachibana-kun tidak
akan kembali ke taman kanak-kanak ini lagi.
“Kami
akan berusaha mencegah kejadian seperti ini terjadi lagi di masa depan. Kami
bertujuan untuk menjadi taman kanak-kanak di mana Anda semua dapat merasa aman
untuk menitipkan anak-anak Anda...”
Aku
mendengarkan kata-kata kepala sekolah sambil menatap Namikawa-sensei dengan saksama.
Ekspresi
Namikawa-sensei terlihat serius dan
khidmat. Namun, di wajahnya lebih
terlihat perasaan pencapaian yang tenang daripada penyesalan.
Setelah
penjelasan selesai, para orang tua mulai beranjak pergi. Ketika aku juga hendak
keluar, aku dipanggil oleh suara yang penuh harap dari belakang.
“Mama Kei-chan—Yosuga-san!”
Ini
pertama kalinya seseorang memanggilku dengan nama belakangku. Ketika aku
terkejut dan menoleh, suara itu berasal dari—Namikawa-sensei.
Namikawa-sensei berusaha mendekatiku, tetapi
kali ini kepala sekolah menghentikannya. Meskipun seharusnya ada masalah besar,
Namikawa-sensei benar-benar—benar-benar terlihat
bahagia saat memandangku.
“Yosuga-san! Tolong... jagalah Kei-chan dengan baik! Kei-chan adalah anak yang luar biasa...
anak yang hebat! Berkat Kei-chan,
aku mendapatkan semangat hidup lagi! Aku
tidak akan menyia-nyiakan apa pun demi
Kei-chan!”
Aku
merasakan bulu kudukku berdiri.
Mengapa
nama Kei disebut di sini?
Aku tahu kalau Namikawa-sensei sangat menyukai Kei—dia
memperhatikan Kei, jadi sebelum dia harus meninggalkan taman kanak-kanak ini,
dia ingin berbicara denganku—apa benar begitu?
“Sampaikan
terima kasih kepada Kei-chan! Dan
juga, minta maaf! Katakan bahwa aku berdoa sepenuh hati agar Kei-chan bisa bahagia...”
“Yosuga-san! Silakan pergi! Cepat!”
Sekitar
kami kembali gaduh, dan aku pergi meninggalkan tempat itu dengan cepat. Suara
tawa bahagia Namikawa-sensei
terus terngiang di telingaku.
Sudah
tiga bulan berlalu sejak kejadian itu,
dan hari festival olahraga sudah
tiba.
Kei dijadwalkan akan tampil dengan parasut
besar, mengikuti estafet antar kelompok, dan menari dengan pom-pom. Di setiap
program, Kei tampak sangat senang dan bersinar lebih dari anak-anak
lainnya.
Kei yang
gelisah menunggu gilirannya dalam estafet terlihat sangat imut. Ketika dia
melihatku dan Hajime, wajahnya langsung tersenyum dan melambai ke arah
kami.
Yang
mengambil foto adalah fotografer yang dipekerjakan oleh taman kanak-kanak.
Awalnya, peran itu seharusnya dilakukan oleh Namikawa-sensei, jadi aku pikir dia akan
kembali—tapi itu tidak terjadi. Mungkin ada rasa bersalah karena sekali sudah
dikecualikan dari tugas, dan permohonan maaf atas kesalahan kali ini.
Sepertinya, taman kanak-kanak juga akan membuat buletin. Aku sangat bersyukur
karena beban itu sudah hilang.
“Mama Kei-chan.”
Orang yang
menyapaku adalah Mama Saeki-kun. Aku pun membalasnya dengan
senyum yang lebih alami dibanding sebelumnya.
“Mama Saeki-kun, kamu datang tepat waktu!”
“Aku
berusaha untuk melihat tarian pom-pom terakhir. Beruntung bisa melihat estafet
antar kelompok juga.”
“Aku senang mendengarnya, Mama Saeki-kun.”
“Saeki-kun juga belum berlari.”
Ibu-ibu
yang berada di sekitarku, seperti Mama
Mika-chan dan Mama Nomura-kun, juga memberikan
kata-kata hangat kepada Mama Saeki-kun. Mama
Saeki-kun terlihat senang dan mengalihkan
perhatiannya ke arah barisan
estafet.
Namikawa-sensei dan Tachibana-kun sama-sama
meninggalkan taman kanak-kanak. Berkat itu, aku tidak lagi diintimidasi oleh Mama Tachibana-kun, dan sebagai gantinya, aku bisa
berbicara dengan orang lain di taman kanak-kanak. Meskipun kami belum bisa
disebut teman, berbagi kabar sehari-hari di taman kanak-kanak terasa
menyenangkan.
Rupanya,
semua orang hanya menjauhkan diri dariku karena Mama
Tachibana-kun, dan
setelah kepergiannya, mereka mulai berbicara denganku
seperti biasa. Meskipun aku merasa ada sesuatu yang aneh dengan perubahan sikap
ini, aku tetap merasa senang. Sikapku yang tidak mengganggu dan tidak
merepotkan Kei sebagai seorang ibu adalah hal yang paling penting bagiku.
Segalanya
dalam kehidupanku sekarang terasa seimbang. Kei juga tampak
bahagia hari ini, dan aku tidak lagi merasa terbebani oleh pertemuan orang tua.
Karena tidak ada lagi peran yang merepotkan, beban kepada Hajime juga menghilang.
Itulah sebabnya,
tiba-tiba aku berpikir.
Bukankah
semua ini terlalu menguntungkan bagiku?
Mari kita
urutkan apa yang terjadi. Pertama-tama,
kedatangan Namikawa-sensei setelah cuti
kehamilan. Dia menyukai Kei dan memperhatikannya. Namikawa-sensei melihat Kei dengan penuh
perhatian. Di tengah semua itu, aku menyadari bahwa Kei mengalami cedera yang
tidak wajar dan perilaku aneh. Aku mencurigainya
akibat ulah dari Tachibana-kun ──.
Namun,
lama-kelamaan, Tachibana-kun tidak berangkat ke taman kanak-kanak lagi. Kemudian
aku tahu bahwa ia tidak berangkat
karena ada perundungan yang
dilakukan oleh Namikawa-sensei.
Perundungan itu terungkap saat acara
pertunjukan, dan Namikawa-sensei
memutuskan untuk bertanggung jawab dan meninggalkan taman kanak-kanak.
Tachibana-kun tidak
bisa datang karena trauma yang diberikan oleh Namikawa-sensei, dan akhirnya dirinya juga
pergi...
Dan pada
akhirnya, aku berhasil
menyelesaikan semua masalah yang kuhadapi.
Inilah
yang membuatku merasa tidak nyaman.
Selain
itu, ada juga reaksi terakhir dari Namikawa-sensei. Pesan terakhir yang
berlebihan tentang harapannya agar Kei bahagia dan dijaga dengan baik. Apa-apaan sebenarnya maksudnya itu? Emosi yang terlalu ekstrem
dari seorang pengasuh kepada seorang anak.
Mungkin, Namikawa-sensei
mulai mengintimidasi Tachibana-kun
demi Kei?
Jika kita
anggap bahwa memar dan sikap aneh Kei merupakan
hasil dari perlakuan buruk yang diberikan oleh Tachibana-kun, apa Namikawa-sensei tidak
melihatnya?
Biasanya,
dalam situasi seperti itu, seharusnya dia memperingatkan agar perlakuan buruk terhadap Kei dihentikan
atau melaporkannya kepada pengasuh lain,
tetapi karena kasih sayangnya
yang berlebihan terhadap Kei, Namikawa-sensei tidak melakukan salah satu dari pilihan itu. Mungkin dia mencoba
menghukum Tachibana-kun dengan
melukai langsung dan membalas dendam untuk Kei.
Aku tahu kalau ini hanyalah
imajinasi yang aneh. Namun, dengan catatan yang berulang kali meminta agar Kei
dilindungi dan reaksi terakhir itu—ditambah dengan kebencian yang abnormal
terhadap Tachibana-kun—aku
hanya bisa membayangkan hal-hal seperti itu.
Makanya,
Namikawa-sensei menjadi tidak terkendali. Dia bereaksi berlebihan ketika
melihat Tachibana-kun yang
mendekati gaun Kei di ruang ganti saat acara pertunjukan. Tachibana-kun mungkin hanya tersesat atau
tertarik dengan gaun Kei. Namun, bagi Namikawa-sensei, hal itu mungkin terlihat seperti
Tachibana berniat mengganggu gaun tersebut.
Kemudian,
serangkaian tragedi pun terjadi.
Ada
perasaan campur aduk dalam diriku; mengapa Namikawa-sensei begitu terobsesi
dengan Kei, dan di sisi lain, mungkin karena Kei lah dia bisa terobsesi sampai
seperti itu. Aku bisa memahaminya. Kei adalah anak yang sangat menawan.
Kepala
taman kanak-kanak juga menjelaskan bahwa Namikawa-sensei kehilangan anak yang
dia kandung. Hal itu membuatnya tidak stabil secara mental, dan ada kemungkinan
untuk memahami perasaannya.
Aku tidak
tahu apa itu benar-benar bisa menjadi alasan untuk berempati, tetapi entah
bagaimana, itu juga membantuku untuk memahami situasi. Mungkin itulah sebabnya
aku tidak bisa menerima bahwa Kei terluka.
Dengan
demikian, serangkaian peristiwa itu terjadi.
Namun,
aku masih memiliki pertanyaan.
Mengapa
Tachibana-kun
tiba-tiba mulai mengintimidasi Kei?
Tentu
saja, Mama Tachibana-kun membenci Kei dan juga
membenciku, dan mungkin dia telah mengisi kepala Tachibana-kun dengan kebencian terhadap Kei di
rumahnya. Namun, aku sudah dibenci oleh Mama Tachibana-kun sejak lama, tetapi Tachibana-kun baru-baru ini mulai membenci
Kei. Meskipun orang tuanya berpikir
seperti itu, Tachibana-kun
seharusnya menyukai Kei dan berteman dengannya.
Selain
itu, sikapnya.
Wajar
saja kalau ia ingin menjauhkan diri dari Kei, karena menindasnya menarik
perhatian Namikawa-sensei. Namun, dalam foto latihan pertunjukan, ia terlihat
seolah-olah benar-benar ketakutan terhadap Kei.
Mengapa
Tachibana-kun, yang
seharusnya mengintimidasi Kei, justru merasa takut padanya? Apa dirinya baru saja menyadari rasa
bersalahnya? Rasanya tidak masuk
akal.
Namun, ada
satu penjelasan yang bisa menyelesaikan semua keraguanku.
Sejak
awal, Kei tidak pernah diintimidasi oleh Tachibana-kun.
Jika
dipikir-pikir seperti itu, hal itu bisa menjelaskan
sikap Tachibana-kun dan
mengapa ia tiba-tiba membenci Kei. Tachibana-kun
tidak pernah mengintimidasi Kei, tetapi ia dianggap telah melakukannya, dan
karena itulah, Namikawa-sensei
memperlakukannya dengan dingin. Tidak mengherankan jika dirinya merasa aneh terhadap Kei.
Seperti
yang dikatakan Kei, Tachibana-kun
tidak ada kaitannya dengan peristiwa tersebut,
dan Namikawa-sensei hanya salah paham. Atau mungkin, Namikawa-sensei hanya
ditipu untuk salah paham.
Selain
itu, ada juga masalah gaun di ruang ganti.
Siapa
sebenarnya yang membuat gaun itu jatuh ke lantai?
Jika
dipikir secara logis, sepertinya Tachibana-kun
yang penasaran dan menyentuhnya, lalu menjatuhkannya ke lantai. Namun,
bagaimana jika yang menjatuhkan gaun itu justru
Kei sendiri?
Bagaimana
jika Kei pergi lebih awal ke ruang ganti, menjatuhkan gaun itu, dan menunggu
Tachibana-kun datang
ke ruang ganti?
Di dalam
ruang ganti di mana gaun itu terjatuh, Tachibana-kun
berdiri di sana. Usai melihat
itu, Namikawa-sensei mungkin mengira bahwa Tachibana-kun lah yang melakukannya.
Aku
merasakan sensasi dingin
yang menjalar di sekujur punggungku,
meskipun udara di luar masih panas.
Aku tak
bisa menahan diri untuk membayangkan sesuatu yang keterlaluan: bagaimana jika
semuanya sesuai rencana Kei? Bagaimana seandainya kalau itu semua
telah diatur oleh Kei dan itu
bagian dari rencananya?
Lagipula,
semua ini dimulai setelah malam itu. Malam ketika aku dan Hajime berdebat, dan
Kei mungkin mendengarnya saat dia pergi ke toilet.
Kei
mungkin mengetahui bahwa aku diintimidasi oleh Mama
Tachibana-kun dan diam-diam
merencanakan untuk menghilangkan Mama
Tachibana-kun? Dengan
begitu, dia mempengaruhi Namikawa-sensei
agar dia mengintimidasi Tachibana-kun
atas kehendaknya sendiri...
Jika aku
ingat-ingat kembali, bukannya Namikawa-sensei juga membicarakan tentang Kei ketika dirinya
mulai mengambil foto anak-anak?
Dia mungkin meminta Kei untuk melihat foto-foto yang diambilnya...
Tentu
saja, ini hanyalah
imajinasi yang tidak mungkin terjadi. Meskipun Kei cerdas, dia masih anak
berusia lima tahun. Mana mungkin dia
bisa mengendalikan segalanya dan membuat semuanya berjalan sesuai keinginannya.
Semua ini mungkin hanya kebetulan yang sangat beruntung.
Namun,
jika Kei benar-benar merencanakan semuanya.
Kei telah
melakukan yang terbaik untuk melindungiku sebagai ibunya.
Aku
merasa terharu. Kei mungkin telah melakukan sesuatu untuk diriku yang tidak berguna ini. Kei
melakukan yang terbaik demi diriku.
Aku
sangat senang karenanya.
Sampai
sekarang, aku merasa rendah diri dibandingkan Kei yang
luar biasa, tetapi Kei mencintaiku dan berusaha melindungiku. Dia membantuku.
Aku sangat bahagia. Kei adalah harta karunku yang berharga.
Aku tidak
akan memikirkan sesuatu yang tidak perlu lagi.
Aku akan mencintai Kei yang lahir ke dalam kehidupanku
dengan sepenuh hati dan menjaganya. Demi kebahagiaan
Kei, aku akan melakukan apa pun.
Giliran
perlombaan Kei telah tiba. Sebagai orang tua, aku merasa
semakin kecil. Sebaliknya, Kei terlihat percaya diri dan sangat bangga. Aku
mengulang dalam hati. Semangat, Kei. Semangat.
Kei
menoleh lagi ke arahku. Senyuman riang dan polos
muncul di wajahnya.
Aku juga tersenyum bahagia agar tidak
kalah dengan senyumnya.
