Penerjemah : Kaito
Editor : -
Chapter
07 - Hujan atau Cerah
Ini bukan langit biru yang sempurna dan tak
pernah berakhir, melainkan langit yang menyenangkan dengan awan
putih tipis yang melayang di langit.
Keesokan
paginya, aku menuju ke tempat mana untuk mengantar kepergiannya.
“Hei,
aku menunggumu,” katanya.
Dia
melambai padaku, dan aku berlari menghampirinya dengan payung di tanganku.
Pekerja
dari perusahaan distribusi menumpuk kardus ke dalam truk. Mana dan aku duduk
berdampingan di tempat teduh di balok-balok batu dari area parkir sepeda.
“Kuharap
ada yang bisa kuberikan padamu,” kataku sambil mengeluarkan gantungan kunci
dari tas kecilku. “Tapi bagaimana kalau kita bertukar gantungan kunci?”
Dia
meraih gantungan kunci dari tanganku dengan cepat sambil menyeringai lebar.
“Kau
tahu, aku juga memikirkan hal yang sama,” jawabnya.
Dia
juga mengeluarkan gantungan kunci dari saku jaket hoodie-nya. Dia mendorongnya
ke tanganku. Ketika kita membandingkan beruang di telapak tangan kita, wajah
mereka sedikit berbeda satu sama lain, meski seharusnya juga dibuat dengan cara
yang sama.
“Mana!”
ibunya memanggilnya.
“Aku
datang!” teriaknya kembali.
“Aku
berjanji untuk mengirim pesan saat aku kembali berkunjung,” katanya.
“Jangan
menunggu sampai kau kembali untuk mengirim pesan, Kau selalu bisa melakukannya
setiap saat,” kataku padanya.
“Baik!”
Katanya dengan mengangkat jempol padaku.
Dia
berdiri, suara kakinya menyentuh tanah dengan nyaring, dan membersihkan celana pendeknya
dengan tangan. “Sayang sekali aku tidak bisa pergi ke festival musim panas
tahun ini,” katanya. “Apa kau akan pergi ke festival bersama seseorang tahun
ini, Itsuko?”
Aku
memberinya anggukan kecil, meletakkan tangan di mulutku, dan merendahkan
suaraku.
“Ini hanya
antara kau dan aku …”
“Tunggu,
apa? Mustahil, kenapa kau pergi ke festival bersama Miyano?”
Aku
tertawa dan hanya mengatakan, “Ceritanya panjang.”
Ibu
Mana memanggilnya lagi.
“Kau
bisa memberitahuku rinciannya nanti!” Dia menyenggolku, melambaikan tangannya.
“Sampai
jumpa,” aku mengangkat tanganku untuk membalasnya dengan paksa.
Suara
teriakan perpisahan meleleh ke langit biru yang dalam.
Musim
panas baru saja dimulai.
****
Aku
memakai yukata untuk pertama kalinya dalam tiga tahun.
Yukata
yang aku kenakan saat aku masih kecil sudah terlalu pendek untuk diriku yang
sekarang, jadi aku meminjam milik ibuku. Ini memiliki warna biru tua, seperti
langit malam di musim panas. Ada bunga besar yang meledak seperti kembang api
di atasnya. Saat ibuku mengikatnya dengan obi kuning muda, aku merasa sedikit
lebih dewasa.
"Kenapa
kau tidak keluar setelah malam tiba?" Tanya Ibuku.
Aku
memakai getaku di pintu masuk dan menjawabnya, "Tak apa-apa, sebentar lagi
juga mau malam kok." (TN: geta itu sandal kayu tradisonal khas
jepang, biasa di pakai saat ada perayaan)
Aku
mengambil tas kecil berwarna merah dengan motif kelopak bunga putih. Bel kecil
yang melekat padanya berdenting saat aku menggerakkannya.
"Ini
berawan, dan matahari tidak begitu kuat. Plus,
aku punya payungku sampai jumpa lagi." Kataku sembari berjalan keluar.
Suara
hentakan geta yang tidak biasa aku kenakan mulai memacuku. Aku melihat
bayanganku sendiri di aspal, memakai yukata dan memegang payung. Matahari masih
tinggi, dan bayanganku yang sedang memakai yukata dan memegang payung, terbentang
dan terlihat seperti orang dewasa. Yukata-ku yang berwarna biru gelap dan
payung hitam terlihat cukup bagus. Memutar payungku, aku merasa seperti Mary
Poppins ala jepang. Aku hampir mulai bersenandung, sebelum aku menyadari apa
yang sedang aku lakukan dan menghentikan diriku melakukan itu. (TN: Mary Poppins tokoh wanita dalam film
dengan judul yang sama)
Sepanjang
jalan, aku bergabung dengan arus keluarga dan pasangan yang menuju ke festival.
Saat aku mendekati kuil, kerumunan orang semakin banyak. Aku menikmati suasana
yang menyenangkan ini daripada melawannya. Suara bel festival bisa terdengar di
telingaku, orang-orang yang bekerja di kedai memanggil pelanggan untuk
mengunjungi kedai mereka, dan suara seruling dan drum taiko. (TN: Taiko, drum besar yang biasa di pakai
saat ada festival musim panas dan perayaan lainnya)
Tempat
pertemuan kami, jalan layang, berada di antara rumahku dan kuil. Aku bergerak
ke bawah naungan salah satu pilar yang memikul jembatan layang, dan menutup
payungku dengan desahan panjang. aku melihat ke sekitar dengan pelan karena aku
tidak ingin terlihat menonjol. Miyano masih belum sampai. Aku melihat waktu di
ponselku yang berada di tas tanganku. Ini sudah pukul 05.29 sore.
Aku
memegang dompetku dengan kedua tangan, dan berdiri dengan jari-jari kakiku. Aku
merasa lebih seperti wanita dari biasanya. Apa yang harus aku lakukan jika dia
bilang bahwa aku berusaha terlalu keras? Pemikiran itu tiba-tiba membuatku
khawatir dan tidak nyaman. Aku mencoba untuk tetap tenang dengan semua saraf mengencang
di wajahku. Kudengar suara darahku mengalir deras di sekujur tubuhku. Kebingungan
dengan apa yang aku lakukan, wajahku mulai memerah padam, dan aku mengangkat
tangan untuk menutupi mulutku.
Suara
mobil di jembatan layang dan suara orang-orang yang berjalan ke kuil
melewatiku. Panas di wajahku yang membuat rasa cemasku turun sedikit demi
sedikit, dan aku mulai merasa sakit di perutku.
Dia
terlambat.
Aku
melihat jam di ponselku lagi dan lagi, dan sudah hampir jam enam. Dia hampir
terlambat 30 menit, dan masih belum ada tanda-tanda bahwa dia akan muncul.
Aku sudah
melewati puncak kecemasanku, dan aku mulai merasa lebih buruk dan lebih buruk
lagi. Mungkin dia benar-benar hanya mengejekku. Itu membuatku sedih sejenak,
tapi aku ingat wajah yang dia buat kemarin dan merubah pemikiranku. Seharusnya
aku berhenti bersikap pesimistis. Ini kebiasaan burukku.
Kemarin,
Miyano meminta nomor teleponku saat dia pergi. Dia mencoba mengingatnya dengan
mengulanginya lagi dan lagi, karena dia meninggalkan ponselnya di rumah.
Mungkin sesuatu telah terjadi padanya, dan dia tidak bisa menghubungiku karena
dia ingat nomor yang salah.
Aku
ingat apa yang dia katakan kemarin.
""
Aku benar-benar ingin pergi ke
festival bersamamu, baik hujan atau pun cerah. ""
Ada
yang salah dalam perkataannya. Aku mengulangi dua kali kalimat itu pada diriku
sendiri, dan menyadari apa yang salah. ""Ingin? "" Kenapa dia menggunakan bentuk lampau? (TN: Versi ingrisnya ditulis wanted yang
mana merupakan bentuk lampau, CMIIW)
Rasa
cemas yang tidak bisa aku jelaskan dengan kata-kata muncul secara perlahan dari
dalam perutku. Aku merasa tersedak, seperti tenggorokanku terasa sedang
diperas. Pembuluh darahku berdebar, alarm meledak di kepalaku.
Aku
berjalan kembali sambil memegang payungku, dan berbelok di tikungan.
Rumah
Miyano terlihat persis sama seperti kemarin. Tidak ada mobil, dan sepeda gunung
berwarna biru gelap masih terparkir di garasi. Aku mendongak, dan ada tirai
tertutup rapat di jendela lantai dua. Ketika aku bergeser sedikit dari sisi
depan rumah dan mencoba mengintip ke dalam kebun, tidak ada orang di sana dan
tirai jendela ditutup.
Aku
kembali ke gerbang, menempelkan jariku dengan lembut dan mencoba menekan
interkom, saat seseorang memanggilku dari belakang.
"Apa
kau teman Takeshi?"
Seorang
wanita yang berpenampilan mirip ibu rumah tangga berdiri dengan sekantong
wortel dan daun bawang di lengannya. Dia terlihat memiliki usia yang hampir
sama dengan ibuku. Setelah menatapnya dengan keras, aku mengangguk cepat.
"Aku
tidak berpikir ada orang di rumah," katanya.
Mata
wanita itu melirik dan dia bergumam, "Apa mereka tidak memberi tahu
sekolahnya? Kalau Takeshi memilki….."
*****
Suara geta-ku
sangat keras saat aku berlari. Mereka hampir terlepas dari kakiku dengan
langkah kecil ke atas dan ke bawah. Aku memaki-maki setiap waktu, dan merasa
tidak sabar dengan diriku sendiri. Mereka membuat penglihatanku kabur, jadi aku
mencoba menghentikan air mataku yang hampir keluar. Dompetku bergetar di
pinggangku; Bel kecilnya berdenting kencang, mendesakku untuk melaju lebih
cepat. Keputusasaanku bergolak di dalam diriku, berkembang sedemikian rupa
sampai akan meledak.
"Takeshi mengalami serangan alergi
beberapa hari yang lalu dan mereka membawanya ke rumah sakit, aku dengar
gejalanya sangat buruk, aku pikir mereka memeriksanya di malam itu."
Kata-kata
yang baru saja aku dengar, menerobos penglihatanku lagi dan lagi. "Alergi,"
"Serangan," "Rumah Sakit". Tapi yang terpenting ...
Apa
yang dia maksud dengan, "beberapa
hari yang lalu?"
Rumah
sakit umum yang besar hanya berjarak lima menit dengan berjalan kaki dari
stasiun. Aku tidak sabar menunggu pintu kaca otomatis terbuka, dan masuk ke
rumah sakit putih yang penuh dengan bau antiseptik. Aku merasakan AC sejuk
seketika, dan getaku berdentang di dalan lobi.
Begitu aku
berpikir, aku berhasil sampai tepat waktu, aku menyantaikan tubuhku, meletakkan
tanganku di dinding terdekat, dan bernapas dengan keras. Saat aku melihat ke
bawah ke kakiku, aku melihat lecet merah di mana bagian atas geta bergesekan
dengan jari kakiku yang besar.
Ini
agak terlambat untuk merasakan sakit sekarang. Ketika aku mengangkat kepala,
keringat menetes di wajahku, dan aku melihat semua pasien dan perawat di lobi
menatapku.
Dengan
sesak nafas, aku melihat ke sekeliling. Aku melihat sebuah tanda yang bertuliskan, "Bagian Umum" dan mulai berlari lagi. Ketika aku
mencapainya, aku meraih meja dengan tanganku sehingga aku tidak jatuh.
"Bisakah
anda memberitahuku nomor kamar Takeshi Miyano?"
****
'Takeshi Miyano”
Aku
berhenti di depan ruangan dengan nama Miyano yang tertulis di papan nama yang
bisa diganti di pintunya.
Ini
adalah kamar single di ruangan medis.
Aku mengetuk pintu geser.
"Iya?"
jawab wanita muda.
Aku
menarik napas dalam-dalam dan berkata, "Halo," membuka pintunya
dengan lembut.
Tirai
putih bergetar. Ada rak cokelat tanpa barang satu pun di atasnya, dan kursi
lipat yang masih tertutup. Tempat tidur berada di tengah ruangan dengan tombol
panggil perawat berada disana. Seseorang terbaring di tempat tidur, ditutupi
oleh selimut putih. Walaupun aku tidak bisa melihat wajahnya dari pintu masuk,
aku mengenali lengan kecokelatan yang mencuat dari selimut.
Seorang
wanita berusia sekitar dua puluh tahun duduk di bangku dekat tempat tidur. Dia
memegang ponsel di tangannya.
"Mungkinkah
kau itu Itsuko?"
Wanita
yang memegang ponsel memiliki mata bulat yang menunjukkan sifatnya yang cerah.
Ekspresi wajahnya dengan matanya yang berkedip mengingatkanku pada Miyano.
"Aku
senang kau datang sekarang, jadi aku tak perlu mengirim pesan ini!"
Dia
berdiri tegak, dan melambai ke arahku dengan gembira, "Tolong, kemari.
Takeshi baru saja sadar pagi ini, dan dia terus meneriakiku, 'Kirimkan pesan ke Itsuko!' Sekarang
bahkan keadannya lebih parah lagi, karena dia banyak berteriak. "
Aku
mendekati tempat tidur dengan hati-hati. Tabung infus membentang dari tempat
tidur. Miyano, tertidur di tempat tidur dengan selimut tipis sampai ke dagunya,
memiliki wajah seputih kertas yang
berlum pernah kuliat. Pipinya merah dan bengkak seperti dia terkena gondok, dan
bibirnya kering dan pucat.
Karena
tidak tahu harus berkata apa, kulihat dia membuka matanya perlahan, menunjukkan
senyuman di bibirnya. Ini adalah senyum lembut yang sama seperti kemarin.
Kakak
perempuannya memberiku kursinya, meletakkan ponselnya dan meninggalkan ruangan
sambil berkata, "Aku tidak akan mengganggu kalian." Isi pesan yang
akan dia kirim masih terpampang di layar ponselnya.
'Maaf,
aku tak bisa datang ke festival hari ini. Apa yang aku katakan itu bukan
bohong.’
"Hei,"
aku mendengar suara serak dan berpaling. Miyano, matanya yang berkedip pelan,
melihat langit-langit yang berwarna
putih.
"Aku
memiliki alergi ... hujan, dan itu
sangat parah, jika aku menyentuh hal
yang disebut hujan asam, aku mendapatkan serangan alergi." Aku
ingat dia berlari dalam hujan mendadak, yang membuat bajunya basah kuyup.
"Apa karena hujan beberapa hari yang lalu?" Aku bertanya.
Itu
karena dia meminjamiku payungnya agar dia terjebak dalam hujan, tapi aku bahkan
tidak menggunakannya.
"Aku
tak berpikir bahwa itu akan menjadi seburuk ini," katanya.
Orang-orang
memanggil Takeshi Miyano, "si pertanda matahari." Tapi bukan itu
masalahnya. Hanya saja dia hanya datang ke sekolah saat cuaca cerah. Sama
seperti nama panggilanku, "Natsuko," kecuali dia tidak memberi tahu
siapa pun tentang hal itu. Itu sebabnya semua rumor tentang dia dimulai.
"Kau
mungkin takkan percaya jika aku mengatakan ini, tapi ... ketika aku bangun
kemarin pagi, tak ada yang menyadariku bahkan jika aku mencoba bernyanyi dan
menari di depan mereka, semua orang hanya mengabaikanku, aku bahkan melihat
diriku terbaring di atas tempat tidurku Jadi kupikir aku sudah mati. Aku tak
tahu harus berbuat apa, dan aku berpikir untuk pergi ke sekolah, dan kemudian
... "
Dia
berhenti sementara, dan menatapku.
"Kaulah
satu-satunya yang menyadariku."
Saat
aku mengambil gantungan itu? Itu sebabnya dia sangat terkejut?
"Aku
pikir Tuhan memberiku waktu tambahan, dan aku ingin melakukan apa yang aku bisa
untukmu. Setidaknya, itulah sisi ceritaku. Bagaimana kalau semua ini hanya
mimpi?"
Dengan
lembut aku menyentuh tangannya yang mencuat dari selimut. Tangannya hangat dan
cukup berat sehingga aku tahu bahwa itu nyata.
"Ini
bukan mimpi." Mengatakannya sekali saja tampak tidak cukup, jadi aku mengulanginya lagi, "Ini
bukan mimpi."
"Terima
kasih, Mana dan aku bisa berteman lagi," kataku padanya.
Aku
juga menambahkan apa yang tidak bisa aku katakan kemarin.
"Terima
kasih banyak."
Miyano,
tampak terkejut dan melebarkan matanya, menutup mereka, terlihat lebih rileks.
"Aku
merasa seperti baru saja meninggal dengan damai," katanya.
"Bahkan
jika kita tidak bisa pergi ke festival musim panas?" Tanyaku.
"Benar,
festivalnya," dia membuka matanya
dengan pelan dan menatapku. Tatapannya turun perlahan dari atas
kepalaku, sama seperti tempo hari.
"Tapi
aku senang bisa melihatmu dalam pakaian yukata."
Dia
menyeringai lemah di wajahnya, yang mana hal itu terasa asing bagiku.
Tepat
pada saat itu, kami mendengar sebuah dentuman pendek dan keras yang mengguncang
kaca jendela dan tubuh kami, sampai ke perut kami.
Kembang
api!
Kami
mendengar dentuman lagi, lalu yang ketiga kalinya, berturut-turut. Kami juga
mendengar suara kecil percikan api.
"Jika
kau mendekat ke jendela, Kau bisa melihat kembang api," katanya dari
tempat tidur. Aku menggelengkan kepala.
"Aku
tidak perlu melihat mereka tahun ini. Dan juga, ini takkan adil untukmu,"
kataku, dan dia menutup matanya dengan lembut untuk mendengarkan kembang api dengan
saksama.
Suara
kembang api yang meroket, bergema dengan nyaman di gendang telingaku. Setelah
beberapa saat, aku mulai mendengar dengkuran tenang yang bercampur dengan itu.
Kurasa
musim panas tidak seburuk yang kukira.
"Ayo
pergi ke festival musim panas bersama, di musim panas mendatang."
Entah itu hujan atau cerah di hari itu,
pada tahun depan.
Suara
yang Miyano buat dalam tidurnya berubah sedikit, dan aku tersenyum.
xXTamatXx