Kota Aimi, sebuah kota yang terletak di prefektur sebelah
dan memiliki populasi kurang dari setengah juta orang, serta tidak memiliki ciri
khas yang khusus.
Jalan- jalan di kota ini diaspal merata dengan beton dan pinggirannya
dikuasai oleh toko-toko yang berjejer di sepanjang jalan. Para siswa dari
SMA-ku takkan pernah datang ke sini untuk bersenang-senang. Karena kota ini
terlalu jauh, dan juga tidak ada yang menarik dari kota ini.
Tentu saja, ada alasan kenapa aku jauh-jauh datang
menggunakan kereta selama 3 jam penuh untuk sampai ke sini.
Itu karena, Ayah Mamizu tinggal di kota ini.
Alasan kenapa ayahnya tinggal di tempat yang jauh ini,
karena, seperti yang Kayama katakan, orang tua Mamizu sudah bercerai.
Ternyata, melalui diskusi antara ayah Mamizu, yang mengelola
sebuah perusahaan, dan ibunya, Ritsu-san, telah memutuskan bahwa Mamizu akan
hidup dengan Ritsu-san. Tapi Mamizu tidak pernah mendengar alasan langsung
perceraian dari Ritsu-san. Bahkan ketika dia bertanya, jawabannya selalu
menghindar.
“Aku ingin bertanya pada ayahku mengapa ia dan ibuku
bercerai.”
Kali ini adalah permintan Mamizu dari daftar “hal yang dia ingin lakukan sebelum dia
meninggal”.
Bukankah itu sedikit terlalu berat untuk meminta orang lain yang
melakukannya? Pikirku.
"Tolong. Aku benar-benar serius; Aku ingin mengetahuinya
sebelum aku meninggal,. Tapi aku tidak diberitahu nomor telepon atau alamat
e-mail ayahku. Jadi, Aku tidak tahu apa yang harus dilakukan.”
Memang, Mamizu meminta ini padaku dengan sangat serius.
Bersamaan dengan nada serius yang berbeda dari nada yang biasa dia digunakan sebelumnya.
“Mungkinkah ...?” Sebuah pemikiran terlintas dibenakku. “Apa
kau mengujiku sampai sekarang supaya kau bisa memintaku untuk melakukan hal
ini?”
Ketika aku memecahkan bola salju, Mamizu memberitahuku bahwa
dia ingin aku untuk melakukan “hal yang
dia ingin lakukan sebelum dia meninggal” menggantikan dirinya. Bola salju itu
adalah sebuah harta berharga yang diberikan kepadanya oleh ayahnya.
Bola salju itu mungkin adalan pemandangan di imajinasi Mamizu.
Sebuah dunia di dalam bola kaca di mana salju terus turun,
seakan waktu di dalamnya telah berhenti.
Mungkin bagi Mamizu, rumah yang ada di dalam bola itu telah
menjadi pengingat rumah tangga bahagia yang pernah dia miliki.
Itu berarti dia ingin berbicara dengan ayahnya? Tapi, dia
tidak bisa bertemu ayahnya. Jadi itu sebabnya dia mendapatkan ide untuk membuatku
melakukan itu untuk menggantikan tempatnya?
Bukankah semua hal yang sudah kulakukan sampai sekarang
menjadi tes untuk tugas ini? Karena dia tidak ragu-ragu untuk membuat suatu permintaan
yang berat ini. Itulah yang kupikirkan.
“... Mana mungkin itu benar. Aku
hanya bermain-main dengan membuatmu melakukan hal-hal gila, Takuya-kun.”
"Baiklah."
Pada akhirnya, aku mulai merasa seperti aku tidak bisa
menolak permintaan Mamizu sesudah aku mendengarnya.
“Aku akan melakukan apa yang aku
bisa,” kataku sambil meninggalkan kamar rumah
sakit.
****
Satu-satunya petunjuk yang aku punya hanyalah alamatnya.
Ayah Mamizu telah meninggalkan rumah tempat dimana mereka pernah tinggal,
dan nampaknya dia tinggal di rumahnya
sendiri. Rumah yang berada di kota Aimi. Mengandalkan aplikasi peta di
smartphone, aku menemukan rumah itu.
Papan kayu yang terletak di depan pintu tertulis, “Fukami.”
Aku sedikit gugup, tapi aku memberanikan diri membunyikan
interkom.
“Siapa itu?” Kata suara seorang pria melalui interkom.
Apa ia ayah Mamizu?
"Apa Fukami Makoto-san ada di sini?" Tanyaku.
“Tak ada orang yang memiliki nama itu di sini.”
Ada sesuatu yang sangat suram dalam suara pria itu. Dan ada
sesuatu seperti kecemasan di dalamnya juga. Tapi aku pasti mendengar bahwa ayah
Mamizu tinggal di sini. Apa maksud di balik mengatakan bahwa ia tidak di sini?
“Apa urusanmu?” Tanya pria itu.
“Umm, namaku Okada Takuya. Sebenarnya, aku kenalan dari
Mamizu..... Mamizu-san. Ada sesuatu yang ingin kubicarakan dengan anda, jika anda
boleh mengizinkan diriku.”
“Apa sesuatu terjadi
pada Mamizu?” Nada suaranya tiba-tiba berubah; terdengar seperti
terdesak.
Dan suara itu terputus. Beberapa saat kemudian, seorang pria
paruh baya buru-buru keluar dari rumah.
Dia memiliki rambut yang agak panjang, pria berotot dengan
kulit kecokelatan, dan pakaiannya hanya dapat digambarkan sebagai piyama. Aku
tidak benar-benar memiliki kesan yang jelas tentang dirinya.
"Aku Fukami Makoto. Aku ayah Mamizu," kata dia.
Jujur saja, ia jauh dari bayangan direktur yang mengelola
sebuah perusahaan. Itulah kesan pertamaku dari ayah Mamizu.
****
"Begitu ya. Aku mengerti."
Aku diizinkan masuk ke dalam rumah Makoto-san, dan
menjelaskan kepadanya mengapa aku datang ke sini di meja ruang tamunya.
Menceritakan padanya bahwa Mamizu ingin mengetahui mengapa ia dan Ritsu-san
bercerai.
“Mamizu-san ... bagaimana aku menjelaskannya ya? Tampaknya
dia berpikir kalau penyakitnya, fakta bahwa dia memiliki penyakit luminesensi,
adalah penyebab perceraian orang tuanya,”kataku. “Dia berpikir bahwa mungkin
dia dibuang karena muak.”
“Tidak ... Aku berpikir bahwa kesalahannya terletak pada
diriku karena tidak mengatakan yang sebenarnya,” kata Makoto-san, menatapku
langsung dengan matanya. “Omong-omong, apa kau pacar Mamizu, Takuya-kun?”
Tanpa sengaja aku hampir menyemburkan teh yang sedang
kuminum. “Ti-tidak! Aku, bagaimana bilangnya ... hanya kenalannya saja,” kataku.
“Tapi, terlihat bahwa setidaknya, Mamizu mempercayaimu. Dia
takkan meminta seorang kenalan untuk melakukan sesuatu seperti ini untuknya.”
Itu …... Aku juga penasaran, pikirku. Apa yang Mamizu
pikirkan tentang diriku? Ini seperti aku sudah mengerti, tapi ternyata tidak.
“Omong-omong, Takuya-kun, apa yang kau pikirkan tentang diriku?”
Tanya Makoto-san.
"Hah?"
Aku merasa bahwa ini adalah pertama kalinya aku bertemu orang
dewasa yang akan mengajukan pertanyaan ini. Untuk berpikir bahwa Makoto-san
akan mengkhawatirkan penampilannya di mata seorang siswa SMA – pertanyaannya terasa
sedikit tidak biasa bagiku.
“Kupikir kau benar-benar liar,” kataku dengan jujur.
Makoto-san tertawa hampa. Cara dia tertawa sedikit mirip
dengan Mamizu.
“Aku tidak terlihat seperti seorang direktur dari sebuah perusahaan,
bukan?” Kata Makoto-san, masih tertawa namun tatapan yang tajam tiba-tiba
muncul di matanya. Bagian dari dirinya itu juga sedikit mirip dengan Mamizu.
“Tidak, itu ...” Aku bingung harus berkata apa.
“Jadi, kau ini tipe yang tidak bisa berbohong ... kau akan
menderita saat berurusan dengan perempuan.” Dengan perkataan yang mirip
petunjuk, Makoto-san menenggak semua air teh di cangkir yang digenggam
tangannya. “Sejujurnya, aku bukan direktur perusahaan lagi.”
Dan kemudian Makoto-san mulai menceritakan kebenaran di
balik perceraiannya.
****
Makoto-san awalnya mengelola produksi komponen skala kecil
di kota kami.
Perusahaan itu, yang cukup mumpuni walau sebagai pabrik
kecil di kota, berhasil membuat sejumlah kesepakatan dengan
perusahaan-perusahaan besar dan tumbuh dengan cepat. Tapi saat investasi modal
besar-besaran dibuat, klien yang bermulut besar rupanya menjadi bangkrut, dan hasilnya,
bisnis tersebut gagal.
Makoto-san yang sudah terpojok karena hampir bangkrut, dan
setelah berpikir dalam-dalam, memutuskan untuk menceraikan Ritsu-san sebelum
dia menyatakan kebangkrutan. Setelah ia menyatakan kebangkrutannya, aset
pribadinya seperti rumah dan dana di rekening bank-nya akan disita.
Perawatan Mamizu, yang menderita penyakit luminesensi, membutuhkan
biaya yang cukup besar. Itu adalah penyakit yang menumpuk tagihan medis. Ini
takkan bisa disembuhkan, dan metode pengobatan masih belum ditetapkan.
Biasanya, pasien dengan penyakit itu akan dirawat di rumah sakit dan mendapat
perawatan terus menerus. Makoto-san berpikir bahwa melalui perceraian, dia bisa
meninggalkan uang untuk membayar perawatan Mamizu.
Akan menjadi bermasalah bagi Makoto-san jika ia bertemu
dengan Mamizu dan ibunya di depan kreditor dan kolektor utangnya. Karena itulah,
dia bahkan tidak memberitahu nomor kontaknya pada Mamizu. Sekarang, ia kembali
ke rumahnya sendiri dan tinggal dengan orang tuanya, kakek dan nenek Mamizu,
serta melakukan pekerjaan fisik yang berbahaya di lokasi konstruksi. Dan dia mengirim
uang ke Ritsu-san secara rahasia.
Mereka berdua memutuskan untuk merahasiakan ini dari Mamizu.
Mereka tidak ingin menimbulkan kekhawatiran yang tidak perlu untuk anak mereka
yang sakit dan dirawat di rumah sakit dimana dia hanya mengenal kehidupan yang kaya.
Mereka mengira bahwa jika mereka mengungkapkan semuanya,
Mamizu akan berhenti di SMA, di mana dia akan memiliki masa depan yang buruk.
Tapi Makoto-san tidak ingin dia berhenti SMA semisal ada keajaiban kalau
penyakitnya bisa sembuh.
“Bukan hanya itu, tapi mungkin saat itu, harga diriku
terlalu tinggi untuk mengungkapkan segalanya untuk putriku,” kata Makoto-san.
Itulah kebenaran di balik perceraian orang tua Mamizu.
Masalah ini begitu berat sampai aku tidak bisa memberikan
tanggapan apapun; Aku hanya duduk di sana dan mendengarkan.
“Apa kau akan memberitahu semua ini pada putriku?” Tanya
Makoto-san saat ia selesai bercerita.Tampaknya ia masih memiliki keraguan.
“Ini mungkin sikap yang kurang sopan dari diriku untuk
mengatakan ini, tapi ... Kupikir, itu sangat kejam untuk menyembunyikan
kebaikan atau perhatian. Rasanya tak tertahankan untuk satu hal yang terus
disembunyikan,”kataku.
“Kau cukup pintar dalam mengutarakan sesuatu, bukan?”
Makoto-san mendengarkanku berbicara dengan senyum pahit di wajahnya.
Meski begitu, aku terus melanjutkan. “Mamizu-san ingin tahu
kebenarannya sebelum dia meninggal.”
“Meninggal, ya. kau memiliki cara yang sangat jelas dalam berbicara,
Takuya-kun”
Kata Makoto-san, wajahnya tiba-tiba menjadi serius. Untuk sesaat, aku
pikir dia marah. Tapi aku salah. “Ini mungkin seperti yang kau katakan,
Takuya-kun. Mungkin aku harus memberitahu masalah ini dengan benar pada Mamizu.”
Dan kemudian Makoto-san memberikan senyum yang dipaksakan.
Aku menutupi wajahku, merasa sedikit malu karena sudah terlalu banyak berbicara.
“Sebenarnya, aku memiliki sesuatu untuk meminta maaf pada anda,
Makoto-san,” kataku, dan mengambil objek tertentu dari tasku. Itu adalah bola
salju yang dirusak olehku . “Aku menjatuhkannya dan pecah. Maafkan aku."
Isi dari bola salju, rumah kayu yang sekarang tanpa salju,
telah runtuh.
“Kau tidak berbohong, ‘kan?” Kata Makoto-san, tampak
terkejut. "Tidak apa-apa. Segala sesuatu yang memiliki bentuk akhirnya
akan rusak.” Dia mengucapkan kata-kata yang sama persis seperti Mamizu. “Tapi Mamizu
...” Dia tidak bisa melanjutkan kata-katanya.
“Aku yakin dia sangat sedih.” Aku berhasil menyelesaikan
kalimatnya.
"Baiklah, aku akan melakukan sesuatu tentang benda ini.
Jangan mengkhawatirkan tentang hal itu,” kata Makoto-san.
“Umm, paling tidak, apa anda bisa memberitahu Mamizu-san rincian kontak anda?”
Tanyaku pada Makoto-san saat aku hendak pergi.
Makoto-san merenung cukup lama. “Jika dia berjanji untuk
tidak memintaku untuk bertemu dengannya,” katanya, sambil menyerahkan memo
dengan alamat e-mail tertulis di atasnya. “Takuya-kun, pastikan kau berteman
baik dengan Mamizu,” katanya padaku di akhir.
Aku hanya menjawab, “Iya, pak.”
****
Saat aku pergi ke kamar rumah sakit, Watarase Mamizu tengah
menghabiskan waktunya dengan membaca buku juga. Kalau diperhatikan dengan
cermat, itu adalah buku kecil yang selalu dia baca. Aku terkejut karena dia
bisa terus membaca buku yang sama tanpa bosan.
“Bagaimana hasilnya?” Tanya Mamizu, tidak memalingkan
matanya dari halaman buku. “Apa Ayah setidaknya menemukan wanita baru?”
Aku samar-samar merasakan bahwa kata-kata ini bukan cerminan
dari perasaan dia yang sebenarnya. Dia merasa gugup mendengar laporanku. Dia
hanya mengatakan kalimat itu untuk menyembunyikan kegugupannya dan bertindak sok
kuat. Meski begitu, aku tidak ingin dia mendengarkan cerita Makoto-san saat dia
berbicara dengan sikap dan nada yang seperti itu.
“Makoto-san sudah menceritakan semuanya.” Aku duduk di kursi
bulat di samping tempat tidur Mamizu dan menatapnya dengan serius. Dan kemudian
aku menghentikan tangannya yang sedang membolik-balik halaman bukunya. “Jadi, kau
perlu mendengarkan dengan baik juga, Mamizu.”
“... Baiklah,” kata Mamizu
dengan patuh.
Dan begitu, aku menceritakan padanya kisah yang aku dengar
dari Makoto-san, dari awal sampai akhir.
Aku mengatakan kepadanya bahwa Makoto-san tidak
meninggalkannya, tapi malah kebalikannya, dan bahwa ia sekarang menempatkan
semua upaya ke dalam pekerjaan demi putrinya. Alasan kenapa ia terus
merahasiakan penyebab perceraiannya karena ia tidak ingin membuat putrinya
khawatir tentang gaya hidupnya sementara dia berada di rumah sakit. Bahwa ia
tidak ingin Mamizu mencemaskan apapun setelah mengetahui semua ini, dan bahwa dia
harus merasakan hal yang sama terhadap dirinya seperti yang dia lakukan sampai
sekarang.
Butuh beberapa waktu untuk menceritakan semua ini demi
menyampaikan perasaan Makoto-san seakurat mungkin. Dan pada akhirnya, aku
menyerahkan memo dengan rincian kontak yang telah diberikan oleh Makoto-san.
“Jadi, Ayah dan Ibu tidak bercerai karena hubungan mereka
menjadi buruk.” Itu adalah hal pertama yang Mamizu katakan setelah mendengarkan
apa yang aku ceritakan.
"Ya. Makoto-san bilang kalau ibumu masih pasangan yang
penting baginya,” kataku.
“Katakanlah Takuya-kun. Jika aku tidak menderita penyakit
ini, mereka berdua tidak akan terpisahkan, bukan?” kata Mamizu mengucapkan
kata-kata tersebut.
“Itu salah, Mamizu,” kataku.
“Ini lebih baik jika aku tidak pernah lahir, kan?” Kata
Mamizu dengan ekspresi kelam.
"Itu tidak benar. Makoto-san, ayahmu, sama sekali tidak
berpikiran seperti itu,”kataku dengan refleks, dengan hampir tidak ada
pemikiran di balik kata-kataku. Aku bahkan terkejut pada diriku sendiri karena
bisa mengatakan kata-kata ini seolah-olah mereka datang secara alami.
“Tapi itu benar, bukan? Aku
menjadi sakit dan semua yang aku lakukan hanya membuat orang-orang di sekitarku
menderita. Dan bila penyakitku bisa disembuhkan dan aku bisa hidup, itu sendiri
tidak menjadi masalah. Tapi aku pasti akan mati. Jadi ini sama sekali tidak ada
artinya, bukan?”
Suara Mamizu terdengar begitu
putus asa sampai membuatku bergidik. Apa yang harus kukatakan pada saat seperti
ini? Aku mencoba mengatakan sesuatu. Semua jenis kalimat melayang ke dalam
pikiranku, seperti “Bergembiralah,” atau “Tidak apa-apa,” namun tidak satupun
dari mereka yang sesuai dengan situasi ini.
“Ini bahkan mengganggumu,
bukan? Bertemu dengan gadis yang sakit-sakitan dan merepotkan seperti diriku. Melakukan
apa yang dikatakannya. Aku akan berhenti dimanjakan olehmu sekarang,
Takuya-kun.”
Pada saat itu, aku tidak bisa memberikan kata-kata yang positif.
Aku berpikir bahwa perasaan tulusnya tidak bisa disembuhkan dengan perkataan
dangkal. Aku pikir bahwa aku sebagai manusia, terlalu tak berarti untuk mengatakan
kalimat positif seperti itu padanya.
Dan yang paling penting, aku sendiri tidak bisa percaya pada
kata-kata semacam itu. Aku berpikir bahwa jika aku mengucapkan kalimat yang aku
sendiri tidak percaya, mereka akan terdengar hampa dan tidak jujur.
“Kau masih memiliki banyak hal pada 'hal yang ingin kau lakukan sebelum meninggal', ‘kan? Apa yang
harus aku lakukan selanjutnya?” Tanyaku.
Mamizu menatapku dengan ekspresi terkejut. “Tapi bukannya
kau tidak menyukainya?”
“Yah ... bukannya aku tidak suka sih,” kataku setelah sedikit
berpikir.
Itu agak sulit bagiku untuk menjadi lebih jujur dari itu.
“Takuya-kun, mungkinkah kau ini benar-benar seorang pria
yang baik?” Mamizu menatapku dengan penasaran.
“Ya mungkin begitu,” jawabku, merasa jengkel.