{XxxxX}
Saat aku pergi mengunjungi
kamar Mamizu beberapa hari kemudian, dia sedang mengerjakan kain rajutan dari
sebelumnya.
"Aku membawa satu orang lagi denganku hari ini," kataku.
Tangan Mamizu berhenti merajut dan dia membuat ekspresi bingung. "Siapa?"
Kayama memasuki ruangan dari belakangku. Bahkan dari sini, aku bisa melihat bahwa Ia merasa gugup.
"Apa kau ingat aku?" Tanyanya.
"Umm ... Ah, aku ingat! Jika aku tidak salah, kau adalah orang yang aku temui di ujian masuk, bukan? " kata Mamizu, terdengar terkejut.
"Aku senang kau masih mengingatku. Namaku Kayama Akira. "
"Kalau begitu, aku bisa memanggilmu Akira-kun."
Kayama berbalik menghadapku. "Hei, Okada. Apa kau bisa meninggalkan kami berdua sebentar? "Katanya ragu-ragu.
"Yeah ... baiklah."
Aku perlahan meninggalkan kamar Mamizu. Aku duduk di bangku koridor dan menatap langit-langit, merasa bosan. Pada siang hari, para perawat berjalan mondar-mandir dengan sibuk di koridor.
Kayama mungkin akan mengakui perasaannya pada Mamizu sekarang, pikirku.
Tentu saja, aku tidak punya hak untuk menghentikannya.
Meski begitu, ada semacam perasaan suram yang tersisa dalam pikiranku.
Apa ini? Kecemburuan? Aku tersenyum getir pada emosi menyedihkan yang ada di dalam diriku.
Dan kemudian aku memikirkan makna dibalik perkataan “Maafkan aku” yang Mamizu katakan. Aku sudah ditolak. Meski aku sudah ditolak, aku tetap mencintai Mamizu, jadi apa boleh buat, pikirku.
Aku melihat jam dan melihat bahwa waktu hanya berlalu lima menit.
Aku merasa waktu yang dihabiskan untuk menunggu terasa sangat lama. Waktu tidak mengalir secara merata; Berbagai periode lima menit bisa terasa panjang atau pendek. Aku merasa waktu yang aku habiskan dengan Mamizu sangatlah pendek. Waktu yang berharga itu singkat, sementara waktu yang tidak aku pedulikan terasa lama. Mengapa tidak sebaliknya? Aku terheran.
Aku memejamkan mata dan menghadap ke langit-langit. Entah kenapa, jantungku berdegup kencang. Apa gunanya aku merasa gugup? pikirku.
Kudengar suara pintu kamar terbuka dengan keras. Aku berbalik untuk melihat Kayama.
"Hei, Kayama ..." aku hendak berbicara. Begitu aku menindaklanjuti dengan ucapan "kamu bodoh" seperti biasanya, aku menyesali hal itu.
Kayama tidak dalam keadaan dimana aku harus memanggilnya.
Ia menatapku kembali, wajahnya pucat, hampa dan tanpa ekspresi. Kata 'tercengang' terbesit di dalam pikiranku. Rasanya seperti aku sedang melihat orang lain yang bukan Kayama. Aku merasa belum pernah melihat ekspresi tak berdaya di wajahnya sebelumnya.
Ia tetap diam.
Bingung, aku hanya menoleh ke arahnya.
"Ini sangat membuatku frustrasi," kata Kayama, seolah-olah dia baru saja meremas kata-kata itu keluar. Ia tetap tanpa ekspresi, tapi kata-katanya terdengar emosional.
Dengan begitu, Kayama
berjalan menyusuri koridor, seolah-olah mencoba menjauh dari kamar rumah sakit.
Aku tidak tahu harus berbuat apa.
Aku bingung apakah aku harus mengejar Kayama, tapi kemudian memutuskan bahwa aku harus meninggalkannya sendirian.
Lalu aku memasuki kamar Mamizu.
Mamizu menutupi wajahnya dengan canggung dan mendesah. Keheningan sejenak berlalu.
"Akhir-akhir ini semakin panas, bukan," kataku secara acak saat aku mendekatinya.
"Akira-kun bilang kalau dia menyukaiku," kata Mamizu, terdengar terkejut.
"Begitu," kataku.
Apakah Mamizu hanya menjawab, "Aku minta maaf," seperti yang dia lakukan padaku?
"Apa yang kau bilang padanya?" Tanyaku.
"Maaf."
Seperti yang kuduga , pikirku.
Tapi Mamizu melanjutkan. "Aku mengatakan kepadanya bahwa ada orang lain yang aku suka." Dia menatapku dengan ekspresi yang tidak berdaya dan tidak mengenakkan.
"O-oh. begitu."
Itu agak mengejutkan. Itu adalah kejutan mendadak. Ini adalah pertama kalinya aku mendengar ini.
Siapa orang itu?
Kapan dan di mana?
Aku merasa bingung.
Tapi aku tidak bertanya padanya.
"Hei, aku pergi mengunjungi makam Shizusawa Sou beberapa hari yang lalu," kataku, mencoba mengubah topik pembicaraan. Aku membuka foto yang aku ambil beberapa hari yang lalu di ponselku dan menunjukkan pada Mamizu.
"Wow, itu benar-benar ditulis 'ç„¡ .'" Mamizu kembali ke dirinya yang biasa dan menatap layar ponselku dengan penuh perhatian. "Mungkin seharusnya aku juga menulis kata ‘ç„¡’di kuburanku juga."
"Aku ingin sesuatu yang lain."
"Misalnya?"
"Neurosis, mungkin?"
"Itu mengerikan," kata Mamizu sambil cekikikan.
Aku tertawa bersamanya.
"Apa selanjutnya?" Tanyaku.
"Apanya?"
"Kau tahu, hal yang ingin kau lakukan."
"Hhmmm... Kalau begitu, aku ingin mencoba merokok. Biasanya kau akan merokok pada waktu seperti ini, ‘kan? "
Waktu yang seperti apa? Pikirku, merasa terkejut.
"Tidak, tidak, Kau tidak bisa," kataku. "Mamizu, kau sedang sakit. kau tidak boleh merokok ... "
"Karena itulah, mengapa aku tidak melakukannya. Orang yang merokok adalah kamu, Takuya-kun. Apa kau sudah lupa dengan peraturannya? " kata Mamizu tersenyum nakal.
****
Akhir-akhir ini, aku cukup
sibuk.
Misalnya, Ada latihan untuk festival budaya. Kami berkumpul tiga kali dalam seminggu di sekolah atau terkadang di taman, dan berlatih ini dan itu. Aku mengambil libur dari pekerjaanku di maid kafe juga. Semuanya berubah menjadi lelucon begitu diputuskan bahwa heroine-nya akan dipernakan oleh lelaki, jadi mengapa kita harus berlatih begitu serius? Pertanyaan ini terlintas di pikiranku, tapi aku mengikuti latihan itu dengan serius. Semua ini agar aku bisa memberi tahu Mamizu tentang pemandangan yang bisa kulihat saat aku melakukan ini.
Pada hari itu, ruang kelas di sekolah tidak bisa digunakan karena berbagai alasan, jadi kami berlatih di taman terdekat. Meski sekarang bulan September, hari itu masih panas, dan aku tampil di taman tepat di bawah terik matahari, berharap bisa terhindar dari hal ini.
Apa yang kami latih adalah kisah cinta yang sudah dikenal oleh semua orang. Romeo dan Juliet saling mencintai, tapi karena konflik di antara keluarga mereka dan berbagai hal lainnya, mereka tidak bisa menikah. Juliet akan dipaksa untuk menikahi pria lain, yang tidak dia inginkan, jadi dia meminum 'ramuan kematian palsu'. Dia meminum ramuan yang membuat dia tidur seolah-olah dia sudah meninggal, berniat untuk menipu semua orang dengan berpikir bahwa dia sudah meninggal dan membuat mereka menyerah dalam pernikahan. Dan kemudian dia akan kembali hidup dan diam-diam melarikan diri dengan Romeo. Tapi kabar tentang rencana tersebut tidak disampaikan pada Romeo, dan si Romeo pun bunuh diri, mempercayai bahwa Juliet benar-benar sudah meninggal.Setelah itu, saat Juliet terbangun, dia merasa putus asa pada kematian Romeo dan melakukan bunuh diri juga. Tamat. Ah, sungguh kesalahpahaman yang bodoh.
"Oh, Juliet, mengapa engkau meninggal?" Kata Kayama, yang berperan sebagai Romeo, dengan nada suara yang tidak termotivasi.
Memang cukup sulit untuk menempatkan emosi ke dalam kalimat semacam ini.
Setelah kejadian itu,
suasana di antara aku dan Kayama menjadi canggung, dan kami sama sekali tidak
berbicara.
"Diriku juga akan mati, Juliet, dan mengikutimu."
Dan Romeo meminum racun itu dan mati.
"Romeo! Ah, mengapa engkau meninggal? "
Setelah itu, Juliet, karakter yang aku mainkan, menusuk dirinya sendiri dengan belati. Dan kemudian mereka berdua mati. Akhir yang tragis dan buruk. Itulah naskah yang sudah direncanakan.
"Tidak ada keseriusan," kata seorang gadis dari klub teater yang bertindak sebagai sutradara drama tersebut, dengan ekspresi masam.
Bagaimana bisa ada keseriusan dalam hal seperti ini? Pikirku. "Beri kami istirahat!" Teriakku.
"Kita akan beristirahat tiga puluh menit!" Kata Sutradara tersebut mengumumkan.
Kami berlatih dalam suasana
yang santai. Orang-orang yang datang hari ini hanya enam pemeran utama termasuk
diriku, sutradara, dan dua lainnya - total sembilan orang. Murid-murid lain
mungkin belajar keras untuk mendapatkan ujian masuk universitas mereka atau
sedang bersenang-senang di suatu tempat.
Apapun itu, pasti sebagian besar dari mereka mungkin akan berada di ruangan ber-AC. Berpikir tentang hal itu membuatku agak jengkel.
Setelah itu, aku diam-diam menyelinap pergi dari taman dan menuju ke area merokok terdekat. Aku mengeluarkan rokok di sakuku dan menyalakannya.
"Kau ini terlalu ceroboh, tahu?" Kata Kayama dengan nada jengkel.
Aku berbalik dan melihatnya berada di belakangku.
"Apa? Jangan ikuti aku, "kataku.
"Merokok di bawah umur, itu akan membuatmu diskors."
"Aku tidak peduli meski kau melaporkanku."
Aku mengisap rokok dan kemudian mengembuskan napas perlahan. Sejujurnya, aku masih belum terbiasa dengan ini. Aku hanya mengisapnya lalu membiarkannya keluar tanpa menghirupnya ke paru-paruku.
"Biar aku coba," kata Kayama sambil menarik rokok dari mulutku, dan kemudian Ia menghirupnya. "Begini cara melakukannya."
Tidak ada banyak orang di area merokok outdoor ini. Itu bisa diduga, karena panasanya terik matahari. Ada seorang karyawan yang sedikit gemuk, mengisap rokok saat ia menyeka keringatnya dengan saputangan.
"Kayama, apa kau merokok?"
"Dulu. Meski, sekarang sudah berhenti ... Kau tahu, Shizusawa Sou adalah perokok berat. Saat di sekolah menengah, saat aku mengetahuinya. "
Ah, begitu ya, jadi itu sebabnya Mamizu juga tertarik dengan merokok. Memang, pria di 'One Ray of Light' merokok seperti cerobong asap dan menikmati dirinya sendiri, meski tidak bisa hidup lama karena penyakit luminesensi-nya.
"Mengenai Kayama Masataka," kata Kayama.
Masataka adalah kakak Kayama. Alasan aku masih ingat namanya, tentu saja karena ia sudah meninggal. Karena ia sudah meninggal dan menjadi signifikan.
"Tentang kakakku, Ia cukup pintar. Ia juga ahli dalam olahraga. Aku agak muak padanya. Itu sebabnya ... aku membencinya. Jujur saja, sampai Ia meninggal.”
"Tapi kenanganku tentang dirinya menjadi lebih indah setelah Ia meninggal. terkadang aku hampir berpikir bahwa Ia sebenarnya orang yang sangat baik. apa kau mengerti itu? "
Aku merasa ini adalah pertama kalinya aku mendengar Kayama berbicara tentang kakaknya sendiri secara langsung.
"Menurutmu apa yang kakakku dan kakakmu bicarakan saat mereka berkencan?" Tanyanya.
"Aku bahkan tidak bisa membayangkannya," kataku. Aku merasa bahwa aku belum pernah mendengar Meiko membicarakan pacarnya.
"Aku ingin tahu apakah mereka membicarakan kita."
"Siapa yang tahu. Apa yang biasanya kau bicarakan dengan gadis lain? "
"Ah, terkadang kita membicarakan tentangmu dan sebagainya."
Itu terdengar sedikit menyeramkan bagiku.
"Aku yakin kau pasti mengejek di belakangku," kataku.
“Memang. Aku memberitahu mereka bahwa ada orang aneh di kelasku. "Kayama tidak menyangkalnya, dan menertawakannya. "Hei, pria yang disukai Mamizu, apa itu kau?" Tanyanya mendadak, terdengar seperti sedang mengeluh.
Karyawan gendut berbalik melihat kami. Apa yang ia inginkan? Apakah ia sedang memikirkan sesuatu seperti, orang-orang ini menikmati masa muda mereka, bukan?
"Mungkin bukan?" Kataku.
"Kau cukup berkulit tebal, bukan?"
"Jangan katakan sesuatu seperti kau tahu segalanya."
"Itu membuatku kesal." Kayama berkata dengan nada kasar yang tidak biasa baginya.
"Katakan dengan jelas, Okada."
Meski dia mengatakan itu, aku tidak tahu apa yang ia ingin aku katakan dengan jelas.
"Kau hanya bisa mengatakan hal yang mendalam, ya? Apa kau tidak bisa berbicara dengan normal? "Aku menjawab dengan serius tanpa berpikir.
"Jadi, Watarase Mamizu tidak mencintaimu?"
Aku semakin marah pada Kayama karena mengatakan hal-hal yang salah arah saat ia tidak tahu apa-apa.
Aku mengambil rokok itu darinya, mengambil satu hisapan dan mengeluarkannya. Dengan kosong aku menatap awan asap yang aku hirup saat naik ke langit. Tiba-tiba aku teringat akhir cerita 'One Ray of Light'.
Tokoh protagonis menderita penyakit luminesensi. Dia tahu bahwa dia akan mati. Suatu hari, temannya yang ditemuinya di sanatorium, yang juga menderita penyakit luminesensi, meninggal dunia. Pada malam hari, saat temannya dikremasi, asap yang keluar dari cerobong asap sedikit berpijar. Ketika tubuh pasien dengan penyakit luminesensi dikremasi, asap tersebut memancarkan cahaya di bawah sinar rembulan. Dan kemudian asap itu menjadi sinar cahaya saat naik ke langit. Saat protagonis melihat temannya menjadi sinar cahaya, dan merasakan kematiannya sendiri mendekat, dia merasa bahwa kematian seseorang adalah hal yang indah.