Kimitsuki Chapter 3.4


Pada jam pelajaran siang, Yoshie-sensei mengenakan gaun berkabung. Salah satu gurunya di universitas telah meninggal dunia, dan rupanya akan ada diadakan pemakaman. Dia menjelaskan hal ini di awal pelajaran.

Saat aku sampai di rumah, aku duduk di depan butsudan Meiko dan membayangkan seperti apa pemakaman yang akan kumiliki saat aku meninggal.
(T/N: Sekedar mengingatkan Butsudan itu altar kecil untuk orang meninggal)

Aku memiliki gambaran yang jelas. Akan sangat bagus jika tidak ada yang datang ke pemakamanku. Karena aku membenci pemakaman.

Lalu aku ingat pemakaman Meiko. Itu mengerikan, pikirku.

Karena kematian yang mendadak, semua orang menjadi bingung. Aku adalah kerabat dekatnya, jadi aku hadir, tidak bisa melewatkannya. Semua orang membuat spekulasi sendiri tentang kematian kakak perempuanku. Aku tidak ingin mendengarnya. Semua orang menangis dan membuat berisik. Aku ingin mereka tutup mulut. Aku tidak menangis sama sekali saat pemakaman Meiko. Aku mendengar kerabat, paman, menatapku dan berbisik, "Aku tidak tahu apa yang Ia pikirkan," dan, "Orang yang dingin sekali." Mungkin itu benar, pikirku.

Ada banyak alkohol dan makanan saat pemakaman diadakan.

Aku tidak mengerti mengapa orang-orang minum saat Meiko meninggal, tapi semua orang minum. Aku bahkan melihat orang-orang yang terlihat seperti sedang bersenang-senang. Apa mereka sudah gila? Pikirku. Demi menghindari penglihatan kerabatku, aku meminjam salah satu gelas bir. Aku menutup diri di toilet dan meminumnya langsung dari botol. Ini adalah pertama kalinya aku minum alkohol. Rasanya pahit dan menjijikkan. Banyak orang mengetuk pintu. Aku mengabaikan semuanya dan terus minum bir di toilet.

Aku minta maaf karena menjadi orang yang dingin.

Aku diam-diam meminta maaf kepada Meiko di depan butsudan.

Meiko yang sekarang hanya sebuah foto, jadi dia selalu tersenyum.

Pada akhirnya, aku mencoba membayangkan pemakaman Mamizu. Tapi aku bahkan tidak bisa membayangkan seperti apa rasanya. Kapan Mamizu akan meninggal? Apakah aku akan pergi ke pemakamannya? Aku pasti takkan pergi, pikirku.


****

"Bukankah ada sesuatu yang aneh padamu belakangan ini, Okada-kun?" Riko-chan-san berkata begitu saat istirahat di tempat kerja.

Aku merasa bahwa aku sudah membuat banyak kesalahan saat bekerja. Aku merebus spaghetti terlalu lama dan mengubahnya menjadi bubur, dan secara tidak sengaja mengubah ayam bakar pada nasi menjadi ayam gosong dengan nasi. Apa aku ini menjadi orang yang kikuk?

"Maaf, aku akan lebih berhati-hati," kataku.

"Tidak, aku tidak membicarakan kesalahanmu. Nah, memang ada bagian itu juga. Hanya saja kau membuat wajah yang sepertinya dunia akan segera berakhir. "

Apa aku memang memiliki wajah depresi seperti itu? Aku sama sekali tidak menyadarinya.

"Apa ada sesuatu yang terjadi?" Tanya Riko-chan-san.

Merasa bahwa mencoba membodohi dia akan terlalu merepotkan, aku memberinya jawaban yang jujur. "Belum lama ini aku ditolak oleh seorang gadis."

"Eh, jadi kau punya seseorang yang kau suka," kata Riko-chan-san, seolah itu adalah hal yang lebih mengejutkan. Ini sedikit tak terduga.

"ya begitulah…"

Bisnis kafe maid berjalan dalam rutinitas yang tidak pernah berakhir. Layanannya umumnya standar, dan tidak banyak yang perlu diubah. Tidak banyak juga pelanggan yang mengulanginya.Meski begitu, seolah-olah bosan melakukan hal yang sama setiap hari, para maid sering beradaptasi dengan banyak hal.

"Okada-kun, tentang hidangan nasi omelet, tulis 'Selamat ulang tahun' di atasnya bukan tanda hati," kata salah satu pelayan.

Meskipun itu adalah instruksi yang diberikan padaku, ketika aku hendak menulis kata itu dengan saus tomat, tanganku berhenti. Bagaimana Kau bisa mengharapkanku untuk menulis kata 'tan!' pikirku. Tapi jika aku menulisnya di hiragana, akan ada terlalu banyak karakter dan tidak sesuai. Pada akhirnya, aku menulis 'Happy birsday' dalam bahasa Inggris dan menyelesaikannya.

(TLN: (tan) adalah kanji pertama di 誕生 (tanjoubi, yang berarti ulang tahun). Sebenarnya bukan kanji yang sulii, tapi memang punya banyak coretan, nampaknya Takuya lupa cara menulisnya. Menulis "selamat ulang tahun" di hiragana akan menjadi , yang berarti akan lebih banyak hurufnya.)

Pekerjaan berakhir seperti biasa, dan saat aku sedang berjalan pulang dengan Riko-chan-san, dia tiba-tiba menunjukkannya kepadaku.

"Okada-kun, kau membuat kesalahan ejaan tadi. Ini seharusnya “th” bukannya “s”. ' Ini bahasa Inggris tingkat SMP. Kau ini cukup pintar di SMA, ‘kan? Apa kau akan baik-baik saja seperti itu? "

Aku selalu tidak pintar dalam bahasa Inggris, tapi memang benar aku belum belajar sepanjang hari ini. Apa aku akan baik-baik saja? Aku merasa sedikit cemas.

"Kalau dipikir-pikir, Okada-kun, kau jarang masuk kerja akhir-akhir ini, kan?" Kata Riko-chan-san.

"Ah, karena liburan musim panas telah usai dan ada banyak hal yang harus dilakukan, seperti mempersiapkan festival budaya. Aku mungkin akan segera berhenti. "

Aku datang bekerja di kafe maid hanya seminggu sekali.

"Eh, rasanya akan sedikit sepi nanti, bukan? Kau tampak seperti tipe yang takkan berpartisipasi dalam hal seperti festival budaya, "kata Riko-chan-san.

"Aku memang tipe orang yang seperti itu ..." Hidupku sangat berubah drastis sejak bertemu dengan Mamizu.

"Jadi, apa yang kau lakukan?"

"Romeo dan Juliet. Aku berperan Juliet. "

Riko-chan-san menahan tawanya dan menatapku seolah bertanya apakah aku ini masih 
waras. Aku cukup terbiasa dengan reaksi seperti ini.

"Aku normal," kataku.

"... menghindar seperti itu lagi," kata Riko-chan-san.

"Apanya?"

"Caramu mengatakan itu."

"Ini normal."

"Ya, itulah yang aku bicarakan."

"Apa yang kau bicarakan?"

"Yah, bukan apa-apa."

Percakapan terhenti di sana. Kami diam-diam terus berjalan di sepanjang jalan setapak di jalan utama.

"Tentang apa yang kau katakan di lain waktu," kata Riko-chan-san, yang pertama berbicara lagi.

"Lain waktu?"

"Kau bilang, 'lain kali.'"

"Ah…"

"Lain kali, apakah kau ingin pergi ke suatu tempat, kami berdua?" Riko-chan-san berkata dengan berani.

Tiba-tiba aku berhenti berjalan. Riko-chan-san berjalan beberapa langkah di depanku.

"Jangan terlalu serius," tambahnya buru-buru.

"Aku minta maaf." Aku tidak ingin mengatakan lebih dari itu.

Ekspresi Riko-chan-san agak kaku. "Aku hanya bercanda. Ayo pulang, Okada-kun. "

Karena tidak bisa merespon apapun, aku mulai menggerakkan kakiku.


****

Setelah berpisah dengan Riko-chan-san, tiba-tiba aku ingin bertemu Mamizu. Kupikir rasanya aneh bagiku didorong oleh keinginan seperti itu. Kupikir aku sedang manja. Aku ingin tahu apakah aku harus pulang. Tapi kakiku langsung menuju rumah sakit Mamizu.

Malam ini rasanya hening, dan bulan terlihat sangat indah. Saat masuk rumah sakit, tiba-tiba terpikir olehku. Seperti kejadian sehari-hari, seperti biasa-biasa saja, orang mati di sini. Aku hanya tidak tahu tentang mereka.

Saat aku menyelinap ke kamar Mamizu, dia berdiri di dekat jendela yang terbuka, memandang ke dunia luar. Tirainya bergoyang-goyang.

"Cepat tidurlah," kataku.

Mamizu berbalik kaget. "Wow, ada apa sih?" Suaranya sedikit menyakitkan perasaanku.

"Maaf. Aku sedikit luang hari ini, jadi aku datang untuk bermain. "Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku bahkan tidak bisa menjelaskannya pada diriku sendiri, jadi hanya itu yang bisa kukatakan.

"Apa kau  ini idiot? Coba liat-liat waktu dong, "kata Mamizu.

Memang, sekarang sudah jam 11 malam. Mungkin ini sedikit lancang.

"Baiklah, terserah. Hei, Takuya-kun, kemarilah sebentar. "Suara Mamizu kembali dengan nada lembut yang biasa dan dia memberi isyarat kepadaku ke arah jendela. "Lihat INI," katanya sambil menunjuk ke udara malam di luar.

"Apa yang harus aku lihat?" Tanyaku.

Seakan menjawab pertanyaanku, Mamizu mengulurkan lengannya ke luar jendela.

Malam ini, bulan terlihat sangat indah.

Di bawah cahaya rembulan, lengan Mamizu berangsur-angsur mulai bersinar.

Tidak peduli berapa kali aku melihatnya, aku masih belum terbiasa dengannya. Rasanya sedikit mistis di mataku. Meski, Mamizu mungkin tidak suka terlihat seperti itu.

"Hei, apa menurutmu cahayanya menjadi lebih kuat dari sebelumnya?" Kata Mamizu.

Aku mengonsentrasikan mataku dan melihat dari dekat. Memang, seperti yang dia katakan, cahayanya tampak lebih kuat dibandingan saat kita melihat bintang di atap.

"Fakta bahwa cahaya menjadi lebih kuat, itu berarti ... kondisiku semakin parah," kata Mamizu dengan nada seolah-olah dia sedang membicarakan orang lain.

"Yeah." Aku tidak tahu bagaimana harus menanggapinya. Aku merasa, aku tidak bisa mengatakan apapun.

"Hei, Takuya-kun, kau pernah kehilangan seseorang yang berharga sebelumnya, bukan?" 
Mamizu berkata mendadak, seolah ingin mengatakannya sebelumnya tapi baru saja ingat.

"Itu tidak benar," aku berbohong.

"Benarkah? Sepertinya kau sudah terbiasa dengan itu. "

"Terbiasa dengan apa?"

"Orang-orang yang sekarat."

Aku tidak ingin menjadi orang seperti itu, pikirku.

"Apa maksudnya itu?" Aku sedikit menyesal datang ke kamar Mamizu hari ini. "Aku akan pulang."

Saat aku membelakangi Mamizu dan mencoba menuju pintu, dia meraih ujung bajuku.

"Maafkan aku, Takuya-kun. Apa kau marah? "Tanyanya.

"Tidak juga," jawabku dingin.

"Hei." Suara Mamizu sedikit gemetar. "Jika aku bilang bahwa aku terlalu takut untuk tidur, apa kau mau terus bersamaku sampai pagi?"

Ini pertama kalinya Mamizu mengucapkan kata-kata yang lemah seperti itu.

Aku tidak segera menjawabnya, Tapi bagian dalam kepalaku kacau balau.

Apa maksud Mamizu mengatakan hal seperti itu?

Mamizu menutup tirai dan berbaring di tempat tidurnya. Aku duduk di kursi.

"Kemarilah," katanya pelan.

Pada akhirnya, aku menyelinap masuk ke tempat tidurnya.

"Akan aku beritahu dulu, bahwa ini bukan hal yang “seperti itu”, jadi jangan melakukan sesuatu yang aneh, oke?"

"Aku tidak akan melakukan hal seperti itu."

Tapi aku tidak merasa senang bisa melakukannya. Karena itu, aku juga tidak bisa tidur nyenyak.

"Dokter bilang akan mengambil cairan serebrospinal-ku untuk tes besok," kata Mamizu, seolah-olah memeriksa apakah aku masih terjaga. Sepertinya dia juga tidak bisa tidur. (TN: cairan seresbropinal, merupakan cairan yang berada di otak dan tulang belakang manusia Sumber: alodokter.com)

Tapi aku tetap diam dan tidak menjawab.

"Ada dua macam tes. Penyebab penyakitku masih belum teridentifikasi. Itu sebabnya cara untuk menyembuhkannya masih belum ditemukan. Pengobatan utamanya hanya sebagai tindakan sementara. Jadi,  jenis tes ini adalah untuk meneliti mengapa orang mendapatkan penyakit ini dan mencari tahu penyebabnya. Dengan kata lain, aku ini adalah kelinci percobaan. Mereka sedang menguji obat baru, dan mereka melakukan eksperimen dengan tubuhku setiap hari. "

Meski aku tetap diam, Mamizu terus berbicara, tidak peduli apakah aku sedang mendengarkan atau tidak.

"Bahkan jika penyebabnya teridentifikasi, penelitian akan memakan waktu bertahun-tahun atau puluhan tahun, jadi aku takkan terselamatkan. Tapi suatu hari nanti, obat untuk penyakit ini bisa ditemukan dan orang lain mungkin diselamatkan, bukan? Aku orang yang sangat baik, jadi aku bekerja sama untuk masa depan umat manusia. "
Aku berbaring dengan mata tertutup serta punggungku menghadap Mamizu, jadi aku tidak tahu ekspresi seperti apa yang dibuat Mamizu saat dia mengatakan ini.

"Aku hebat, bukan? Jadi, kau harus memujiku, Takuya-kun. "

Aku tidak tahu apa yang harus aku katakan. Aku terus berpura-pura tertidur. Setelah beberapa lama, aku bisa mendengar napas lembut Mamizu saat dia tertidur. Aku diam-diam bangun dari tempat tidur dan pergi keluar. Aku menyadari bahwa akan sangat merepotkan jika aku benar-benar tinggal sampai pagi dan kemudian seseorang akan menemukanku di sana.

Saat ini masih jam tiga pagi, jadi aku menghabiskan waktut di sebuah restoran makanan cepat saji 24 jam dan kemudian naik bus untuk pulang ke rumah.

Aku kaget saat sampai di rumah.

Ibuku sedang duduk di meja. Dia sedang duduk di ruang redup dengan lampu yang mati, tidak melakukan apapun, hanya duduk terdiam di sana. Aku sangat terkejut. Siapapun akan terkejut jika melihat seseorang seperti itu.

"Apa yang ibu lakukan?" Tanyaku.

"Akhir-akhir ini kau aneh sekali," kata ibuku.

Sepertinya dia sudah menunggu dari malam sampai pagi supaya anaknya pulang.

"Aku mohon padamu, tolong, jangan bunuh diri." Ibuku menatapku dengan mata kosong. Suaranya terdengar seperti mengelilingiku.

"Ibu sangat menjengkelkan. Terserah padaku apa aku hidup atau mati, bukan? "Aku biasanya akan mengabaikannya, tapi kali ini aku mengucapkan kata-kata itu tanpa berpikir.

"Kau tidak mengerti perasaan orang tua yang telah kehilangan anaknya, Takuya."

Aku tidak ingin berdebat lagi. Aku merasa lelah, dan ingin cepat-cepat pergi tidur. "Ibu ini orang dewasa, jadi kuatkan dirimu sendiri."

Bahkan setelah aku berkata begitu, ibuku terus memarahiku berulang kali dengan kata-kata yang serupa, tapi aku mengabaikan itu dan memutuskan untuk pergi ke kamarku sendiri. Aku langsung tidur tanpa mandi atau mengganti pakaianku.


****


Beberapa hari kemudian, latihan untuk drama festival akhirnya selesai dan aku pergi ke kamar rumah sakit Mamizu dan melihatnya memegang syal merah. Sepertinya itu adalah hasil dari rajutannya.

"Kau terlambat, Takuya-kun," kata Mamizu.

"Maaf," kataku. Aku tidak berjanji akan datang hari ini, jadi tidak ada yang namanya awal atau akhir, tapi aku tetap meminta maaf.

"Apa kau juga berlatih untuk Romeo dan Juliet hari ini?"

"Peran Juliet tidak mudah dilakukan."

Setelah itu, aku berbicara tentang banyak hal yang telah terjadi selama latihan. Aku tidak membicarakan percakapanku dengan Kayama.

"Bagaimana rasanya merokok?" Tanya Mamizu.

"Rasanya pahit dan tidak enak. Aku tidak bisa mengatakan bahwa aku merekomendasikannya, "kataku.

"Apa kau merasa puas? Merasa segar? "

"Tidak ... aku tidak terlalu merasakan apapun."

"Oh. Itu membosankan sekali, "kata Mamizu,  terdengar sangat bosan. "Hei, hei, Romeo sedang diperankan oleh Akira-kun, ‘kan?"

"Apa kau mendengarnya dari Kayama tempo hari?"

"Yeah. Apa nanti kau akan menciumnya? Kyah! Menarik sekali."

"Siapa yang akan mencium siapa!"

"Membosankan sekali."

Aku merasa agak jengkel, jadi aku mencubit pipi Mamizu.

"Hentttiiiikaaaannnn!"

Respon Mamizu sangat lucu saat dia mencoba mengusirku, jadi aku terus melakukannya lebih gigih.

"Aku takkan berhenti."

"Heeeey!"

Lalu aku mengatakannya, sambil menirukan cara bicara barunya yang aneh. "Siiaaapaaa yaaanggg kaaauuu suukaaa?"

Mamizu mendorong tanganku menjauh dan tiba-tiba membuat ekspresi serius. "Aku berusaha untuk tidak menyukai orang lain."

"Apa maksudnya itu?"

"Akan menjadi bermasalah jika kau mencampuri hal itu."

Kata-kata Mamizu menjadi lebih dan lebih misterius. Urusan apa yang sudah aku campuri?

"Dan juga, tolong berikan syal ini pada ayahku. Tanpa diketahui ibuku, "kata Mamizu.

"Hah? Baiklah, … “

Walaupun, tempat tinggal Makoto-san agak jauh. Aku tetap akan pergi

***

Aku mencari rincian kontak yang aku dapatkan dari Makoto-san sebelumnya. Aku langsung menghubunginya, dan dia mengatakan bahwa dia tidak bisa datang ke kota ini, tapi dia akan datang ke salah satu stasiun terdekat.

Kami bertemu di McDonald's. Aku datang lebih dulu dan menunggunya. Saat Makoto-san masuk ke toko, dia sering menengok ke kanan dan ke kiri untuk beberapa alasan. Dia seperti penjahat dalam drama TV, berhati-hati terhadap orang yang membuntutinya.

"Sepertinya kau merawat putriku." Makoto-san terlihat sedikit kurus. "Ini hadiah untukmu, Okada-kun."

Saat aku penasaran apa maksudnya, Makoto-san memberiku sebuah buku. Buku itu masih terbungkus, jadi aku tidak tahu buku apa itu, tapi aku tidak ingin memeriksanya.

"... Jadi, apakah kondisi Mamizu memburuk?" Makoto-san bertanya.

"Sudah hampir sebulan sejak dia dipindahkan ke kamar pribadi," kataku, hanya mengatakan kebenaran obyektif tanpa menyertakan opini pribadiku.

"Sejak aku bercerai, secara hukum, tidak ada masalah. Masalah kebangkrutanku takkan mempengaruhi Mamizu dan Ritsu. Tapi ... ada saja orang yang menggunakan cara ilegal, "kata Makoto-san.

"Aku diberi ini oleh Mamizu." Aku menaruh sebuah tas kertas di atas meja di depan Makoto-san.

Syal yang diberikan Mamizu ada di dalamnya. Tapi Makoto-san masih terus berbicara, dan tidak menunjukkan minat pada isi tas itu.

"Jika ketahuan bahwa ini adalah perceraian palsu, bahwa aku diam-diam mengirim uang ke Mamizu dan Ritsu ... itu akan menimbulkan masalah bagi mereka berdua."

Karena tidak tahan lagi, aku mengeluarkan syal dari kantong kertas dan menyerahkannya pada Makoto-san.

"Ini…?"

"Mamizu merajutnya untukmu, Makoto-san."

"Begitu ya."

Makoto-san tampak tersentuh setelah melihat apa yang ada di dalam kantong kertas tersebut.

"Ini sedikit lebih awal, tapi dia bilang bahwa dia mungkin tidak bisa bertahan sampai musim dingin tiba," kataku. Aku bisa melihat teresan air mata mengalir di mata Makoto-san. Tapi aku juga tidak tenang. "Omong-omong, ayo dan lihat dia. Kumohon, "kataku, lalu aku meninggalkan toko.

"Takuya-kun!" Makoto-san meneriakiku dari belakang saat aku berjalan di jalan.

Aku tidak ingin berbalik, tapi aku tidak punya pilihan, jadi aku membalikkan badanku.

"Apa kau mencintai Mamizu?" Ekspresi Makoto-san terlihat sedikit menyedihkan menyedihkan dan kurang bermartabat.

"Jadi bagaimana kalau aku mencintainya?" Teriakku marah. Lalu aku melintasi persimpangan pejalan kaki tanpa melihat ke belakang lagi.

Setelah itu, aku mulai berlari.

Berlari di antara orang-orang yang berlalu-lalang di jalan, aku berlari secepat mungkin.
Rasanya seperti adegan drama picisan, pikirku. Rasanya seperti aku ini orang yang bodoh. Aku memang orang yang bodoh.

Watarase Mamizu akan segera meninggal.

Fakta kematiannya yang selama ini kucoba tidak sadari, bahwa aku mengalihkan mataku pada kenyataan, telah membutakan diriku.

Seusai itu, aku merenungkan hari-hari yang sudah berlalu.

Sebagian besar permintaan Mamizu sangatlah membosankan.

Kenyataan bahwa dia ingin melakukan hal yang membosankan semacam itu sebelum meninggal, menyoroti kenyataan situasinya dengan cara sendiri.

Tapi itu tidak benar, bukan? Pikirku.

Apakah semua itu benar-benar hal yang ingin kau lakukan sebelum meninggal?

Apakah kau benar-benar tidak menyesal?

Bisakah Watarase Mamizu meninggal tanpa menyesali apapun?

Apa yang bisa aku lakukan?

Aku mulai membenci betapa tak berdayanya diriku.

Aku terus berpikir dalam berputar-putar tentang pertanyaan-pertanyaan ini yang sepertinya tidak memiliki jawaban.


****


Aku sampai di rumah, tapi aku tidak mengantuk, jadi aku tidak bisa tidur. Tiba-tiba aku mengingat buku yang aku dapatkan dari Makoto-san, aku mengeluarkannya dari tasku. 
Aku melepas kemasannya dan melihat judul buku itu.

Cara membuat bola salju

Itulah judul yang tertulis di sampulnya. Bola salju bisa dibuat? Itu cukup mengejutkanku.

Sebenarnya, bukankah aku bisa memperbaikinya? Pikirku sambil membolak-balikkan halaman.

Mungkin Makoto-san mencoba mengirimiku pesan seperti ini saat dia memberiku buku ini.

Aku menatap reruntuhan bola salju yang masih ada di kamarku. Rumah kayu mini yang sudah kehilangan dunia bersalju di sekitarnya, dan sekarang terbaring tak beraturan di kamar kecilku. Merasa bersalah meninggalkannya dalam keadaan seperti itu, aku sudah beberapa kali mencoba memasangnya dengan benar, tapi tidak berjalan dengan baik. 

Rasanya seperti rumah yang telah hanyut oleh tsunami. Sementara berada di dalam bola kaca, tampak seperti seseorang tinggal di dalamnya, tapi sekarang, itu hanya tampak seperti sampah. Itu adalah rumah yang telah kehilangan sesuatu yang penting.

Rumah yang tidak berfungsi dengan normal.

Sekilas, aku melihat ilusi optik yang aneh. Rasanya seperti sedang melihat rumahku sendiri dari beranda apartemen di tempat lain melalui teropong. Tentu saja, rumahku bukan rumah kayu. Tapi aku merasa seperti mereka serupa. Itu adalah sensasi misterius. Selanjutnya, aku membayangkan rumah Mamizu.
Sepertinya aku bisa mendapatkan bahan yang aku butuhkan di toko peralatan.

****

Setelah semester kedua dimulai, aku mulai jarang mengunjungi rumah sakit Mamizu daripada saat liburan musim panas. Dua atau tiga kali seminggu. Wajah Mamizu semakin pucat setiap kali aku pergi mengunjunginya.

Kematian Watarase Mamizu sudah dekat.

Baru-baru ini aku mulai merasakannya, saat aku berada di sampingnya di ruangan itu.
Mamizu dengan cepat kehilangan berat badannya.

"Mamizu. Apa tidak ada yang ingin kau lakukan selanjutnya? "Tanyaku.

"… Aku ingin tidur."

Awalnya, kupikir Mamizu sedang bercanda. Tapi ternyata tidak. Dia berbaring di tempat tidurnya dengan ekspresi melankolis di wajahnya. Dia bahkan tidak mencoba melakukan kontak mata denganku.

"Kau tidak perlu datang lagi, Takuya-kun," katanya.

"Mengapa kau mengatakan sesuatu seperti itu?"

"Lupakanku sepenuhnya."

"Apa maksudmu…"

"Karena itu menyakitkan. Aku tidak ingin melihat wajahmu lagi. "Suara Mamizu terdengar histeris. "Tinggalkan aku sendiri. Aku sangat membencimu. kau ini sangatmenjengkelkan. "

"... Apa kau mengatakan hal semacam itu untuk mencoba membuatku membencimu?" 
Suaraku terdengar gemetar, meski tak ada gunanya aku menjadi emosional. Tapi aku tidak bisa tetap tenang.

"Benar," kata Mamizu dengan suara lelah dan putus asa. "Itu permintaan terakhirku. "Jangan pernah temui aku lagi." Apa kau mengerti?"

"… Aku mengerti."

Kenapa aku bilang aku mengerti? Aku sendiri tidak tahu.

Aku meninggalkan ruangan Mamizu. Mungkin inilah saat terakhirku bertemu dengan Mamizu. Apa akhirnya seperti ini? Kupikir saat aku menyadari ini. Apa arti waktu yang kita habiskan bersama-sama selama ini?

Tapi tidak ada gunanya memikirkan hal semacam itu. Aku menutup pintu dan menyenderkan punggungku di pintu. Semuanya sudah berakhir, aku mencoba mengatakan pada diriku sendiri.

Semua ini hanya mimpi buruk.

Aku mencoba melupakannya dengan segera.

Sebenarnya, setelah aku bertemu dengan Mamizu, ini tidak lain hanyalah merepotkan.

Dia membuatku melakukan semua hal yang tidak masuk akal, dan sejak awal benar, dia benar-benar bersenang-senang karena membuatku bermasalah.

Dia orang yang tidak menyenangkan.

Bukankah dia memiliki kepribadian yang nyeleneh?

Dan dia juga cukup narsis.

Dan dia egois.

Dan dia mencoba menyembunyikan apa yang ada dipikirkannya daripada mengatakannya.

Dengan kata lain, dia tidak jujur.

Dan dia berkemauan keras.

Meski begitu, dia juga terkadang memiliki hati yang lemah.

Dia mudah menangis.

Emosinya sangat kuat.

Dia memikirkan keluarganya.

Dia benar-benar baik hati.

Dia sangat peka.

Dia mudah sakit hati.

Aku selalu berakhir menyakitinya.

...

Apakah aku bisa melupakan Mamizu?

Kurasa, Itu mustahil, pikirku.




Sebelumnya   |   Selanjutnya


Catatan :
Baiklah, sampai di sini bagian dari saya, sisanya nanti kalian bisa kunjungi ke curim, untuk para pembaca yang setia project ini, saya ucapkan terima kasih, sampai jumpa di project selanjutnya, Ciao >_<


close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama