Kimitsuki Chapter 3.5 Bahasa Indonesia





Musim silih berganti, dan musim gugur dimana Meiko meninggal pun tiba.
Aku sering teringat pada Meiko selama musim ini. Jadi, saat musim gugur semakin dekat, aku menjadi lebih melankolis. Apalagi, Tahun ini adalah yang terburuk. Aku sedikit tidak suka pada diriku sendiri yang menjalani musim gugur tahun pertamaku di SMA, masa-masa dimana kakak perempuanku tak hidup lagi.
Dua minggu telah berlalu sejak aku berhenti mengunjungi Mamizu, dan festival sekolah akan diadakan keesokan harinya.
Murid-murid yang biasanya tidak ikut latihan, sekarang ikut latihan dengan penuh keseriusan karena pertunjukannya hanya tinggal satu hari lagi. Ada juga keinginan untuk ikut serta dalam acara masa muda begini. Semua orang cukup sibuk, tapi pekerjaan yang relatif sedikit telah dialokasikan kepada kami sebagai anggota pemeran utama, jadi kami sebenarnya sangat bebas. Aku juga tidak ingin membantu.
"Akhirnya, besok, ya," kata Kayama.
Aku bersandar pada mimbar guru, dan Kayama melempar sekaleng minuman bersoda yang dibelinya dari mesin penjual otomatis di lantai satu.
"Okada, kenapa kau memainkan peran Juliet?" Baru sekarang Kayama bertanya blak-blakan begini.
"Baiklah ... Sebenarnya, Mamizu ingin bermain Juliet," kataku.
"Hah? Apa maksudnya?"
"Mamizu selalu menyuruhku untuk melakukan 'hal yang ingin dia lakukan sebelum dia meninggal' demi dirinya, lalu memberitahu kesanku padanya."
"Jadi besok, apa aku harus berpura-pura kalau kau adalah Watarase Mamizu saat aku berakting nanti?"
"Ya, ironis sekali."
Minuman soda yang kuminum mendesis di dalam mulutku.
"Dua bulan lagi, ‘kan?" Kata Kayama, dengan nada yang terdengar seperti Ia menduga kalau aku sudah tahu.
Aku menatap wajahnya dengan terkejut. "Apa Mamizu bilang begitu?"
Aku ingat kalau Mamizu sudah diberitahu berapa lama lagi dia hidup saat awal liburan musim panas dulu. Pada saat itu, aku terlalu takut untuk bertanya persis berapa lama waktu yang masih dia punya.
"Yeah, saat aku pergi mengunjunginya. Kau tidak tahu, Okada? "
Itu mengejutkanku. Sebuah kejutan bahwa Kayama tahu tapi aku sendiri tidak tahu, tapi kata 'dua bulan' juga menjadi pukulan bagiku. Aku merasa seperti terlempar ke dalam kolam air dingin.
"Hei, Okada. Mengapa orang yang berparas rupawan harus mati sementara bajingan seperti diriku masih hidup? Itu gila, ‘kan? Kau juga setuju, ‘kan? "Kata Kayama.
Aku ingin tahu siapa yang Ia bicarakan. Apa itu Mamizu, kakak laki-lakinya, atau keduanya? Aku ingin bertanya, tapi aku urungkan niatku.
Aku mencoba memikirkan hal lain untuk dikatakan sebagai gantinya.
"Aku juga ditolak. Oleh Watarase Mamizu. "Akhirnya aku memberi tahu Kayama tentang ini.
Tapi Kayama sama sekali tidak terkejut. "Seseorang yang selalu berada di sampingku, tapi seseorang yang tak pernah bisa aku sentuh."
"Hah?"
"Itulah yang dikatakan Watarase Mamizu tentang pria yang dia sukai."
Pertama kalinya aku mendengar ini.
"Dia bilang begitu?" Tanyaku.
"Betul. Jadi, dia mungkin sedang membicarakanmu. "
"Tidak, itu tidak benar. Mamizu dan aku bertengkar tempo hari, dan aku tidak mengunjunginya lagi. "
"Bertengkar …... apa kau ini anak kecil?"
"Memang."
Memang, aku ini anak kecil, pikirku.
“Hei, jika  aku bilang jangan pernah datang ke sini lagi,apa kamu masih tetap datang ke sini dan melihatku?”
Mendadak, aku mengingat perkataan Mamizu.
Malam hari pun tiba. Kami terus melakukan latihan drama dengan sungguh-sungguh.
Pertama, Juliet meminum ramuan palsu dan memasuki keadaan sekarat.
Selanjutnya, Romeo bunuh diri, salah mengira kalau Juliet sudah meninggal.
Akhirnya, Juliet merasa putus asa atas kematian Romeo.
Ketiadaan. [ç„¡ ]


Bila orang yang kita cintai meninggal, kita harus bunuh diri.
Ungkapan yang Meiko garis bawahi dengan tinta merah melayang di dalam pikiranku.

uuu

Dibutuhkan keberanian atau semacam kekuatan untuk menyelinap ke rumah sakit pada malam hari. Aku sudah melakukannya berkali-kali, dan barangkali aku bisa mendapatkan keberanian sesaat setelah bertemu dengan Mamizu.
Meski aku bilang begitu, terlalu bagus untuk menjadi kenyataan agar bisa berjalan dengan baik setiap saat.
Begitulah yang terjadi di sini.
Karena pertunjukkan drama akan di gelar esok hari, aku sangat ingin melihat wajah Mamizu, jadi aku menyelinap ke rumah sakit saat larut malam dalam perjalanan pulang dari sekolah. Lalu aku kepergok oleh seorang perawat. Perawat bernama Okazaki, yang pernah aku ajak bicara saat Mamizu ambruk di toko.
"Cepat Duduk."
Dia mendesah dan memberi isyarat agar aku duduk di kursi di pusat perawat.
"Namamu? Katakan yang sebenarnya."
"Okada."
"Nama lengkap!" Kata Okazaki-san dengan nada yang sangat keras.
"Okada ... Takuya."
"Seperti yang kuduga."
Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan, tapi itulah yang dia ucapkan.
"Setelah jam berkunjung selesai, orang luar dilarang memasuki ruangan," lanjutnya.
"Ya ... maafkan aku." Sekarang kalau sudah begini, aku tidak punya pilihan selain meminta maaf. Aku menundukkan kepalaku dan menatap lantai.
“Yah, itu tidak masalah, bukan?" Kata Okazaki-san sambil menjaga ekspresi serius di wajahnya.
Aku mendongak terkejut.
"Yang lebih penting lagi, Kenapa kamu tiba-tiba berhenti mengunjungi Watarase-san? Kalian berdua berpacaran, ‘kan? "
Aku kaget. Tampaknya Okazaki-san salah paham dengan sesuatu. Kupikir dia terlalu sibuk untuk melacak siapa yang mengunjungi siapa. Tak pernah terpikir olehku bahwa dia tahu kalau aku sering mengunjungi Mamizu.
"Apa kamu bertengkar dengannya? Atau apa kamu membencinya sekarang? Apa sangat menyakitkan untuk melihatnya menjadi semakin lemah? "
"Bukan begitu. Hanya saja ... Dia membenciku, "kataku. "Dia bilang dia tidak mau melihat wajahku."
"Jadi, itu sebabnya kamu tidak mengunjunginya lagi. Hmm. "Okazaki-san menjulurkan kakinya dan menendangku lembut dengan sandal di kakinya. "Jangan setengah-setengah dalam banyak hal."
"... Tapi mau gimana lagi? Dia bilang dia tidak mau melihatku. Aku tidak punya pilihan selain menurutinya, ‘kan? Atau apa Anda ini tipe orang yang merasa tergerak dengan cara yang menyesatkan, cinta ala penguntit, Okazaki-san? "Untuk beberapa alasan, aku membuat sebuah lelucon yang tidak pantas mengingat situasinya. Bahkan aku tahu bahwa ini bukan hal yang harus dikatakan.
"Kamu sama sekali tidak mengetahui apa-apa. Kamu tidak menyalahkan dirimu  karena tidak tahu. Kamu berpikir kalau kamu benar, Kamu hanya mabuk karena merasa benar. Ini biasa, tapi menjijikkan.”  Ucap Okazaki-san, melemparkan kalimat-kalimat mendalam satu demi satu saat dia berdiri. "Sudah waktunya untuk mengerjakan tugasku, jadi aku akan pergi. Kamu harus pulang juga. Jangan sampai membuat pasien lain bangun. "
Aku perlahan berdiri juga.
"Saat aku bertugas, aku berkeliling ke tempat tidur pasien di malam hari. Akhir-akhir ini, Watarase-san selalu menangis dalam tidurnya. Sejak Kamu berhenti datang untuk berkunjung, tanpa henti. Kurasa, dia sendiri tidak menyadarinya. Aku juga tidak bisa mengatakan apapun tentang hal itu. Aku tidak bisa mengganggu perasaan masing-masing pasien seperti itu.Dia selalu berkata, 'Takuya-kun, maafkan aku.” Itu namamu, bukan? Dia meminta maaf kepadamu setiap malam. Apa yang membuatnya seperti itu? Aku tidak tahu jawabannya, " kata Okazaki-san.
Dia mengatakan semua itu dengan cepat. Aku penasaran apakah dia lebih cocok menjadi komedian atau politisi.
"Satu-satunya yang aku tahu hanyalah orang yang bernama begitu hanya dirimu." Dengan itu, Okazaki-san pergi meninggalkan pusat perawat.
"Tunggu!" Teriakku, tanpa berpikir.
"Jangan berisik. Ini sudah malam. "
"Maafkan aku. Umm, besok, kelasku mengadakan pertunjukkan drama. Itu sebabnya, aku ingin melihat wajah Mamizu. Kupikir aku akan melakukan yang terbaik untuk Mamizu. Apa Anda bisa mengatakan kepadanya untukku? "
"Jika aku merasa seperti itu," kata Okazaki-san, lalu dia pun pergi.
Pada akhirnya, aku pulang dengan patuh tanpa melihat Mamizu.

uuuu

Sebelum pertunjukan festival budaya, aku mengalami pengalaman yang sangat menyakitkan.
"Jangan bergerak, Takuya-kun."
Karena aku memainkan peran Juliet, aku diculik oleh gadis-gadis di kelas dan dipaksa untuk memakai make-up serta mengenakan gaun besar juga. Aku memang diberitahu kalau aku akan mengenakan gaun, tapi aku tidak pernah menduga kalau aku juga akan mengenakan make-up.
"Kalian tidak perlu melakukannya sejauh ini, tahu ..." kataku, merasa muak.
Tapi mereka sudah terbawa suasana dan tidak mendengarkanku. Aku bisa mendengar murid-murid cowok tertawa terbahak-bahak. Aku bisa mendengar suara-suara yang mengatakan seperti, "Okada-kun terlihat lebih baik dengan riasan, bukan?" "Dia mungkin lebih cantik dariku," dan, "Sebenarnya, kamu terlihat cantik, Okada," yang sama sekali tidak menghiburku. Ketika aku melihat diriku di cermin, penampilanku hanya bisa digambarkan sebagai sesuatu yang menggelikan. Aku ingin berteriak dan melarikan diri.
"Okada, kau merasa gugup, ya?" Kata Kayama sambil mendekatiku, dengan berpakaian seperti bangsawan. Dia melihat riasanku dengan ekspresi yang penuh penasaran.
"Tidak sama sekali," kataku.
Aku ingin mengucapkan, "Bukannya kau yang merasa gugup?"  Saat Aku bisa melihat ekspresi kaku di wajah Kayama.
"Aku harap ini berjalan lancar, Okada," kata Kayama.
Begitu aku melangkah keluar dengan mengenakan pakaian wanita, tak terhindarkan lagi kisah tragedi Shakespeare berubah menjadi sebuah komedi.
"Seharusnya kau berpakaian seperti wanita juga. Romeo adalah wanita juga, permainan yuri baru yang sensasional, "kataku.
Itu nanti malah berubah menjadi komedi tragis.
"Jadi, aktornya dua cowok, ya?"
"Itu lucu." Meski aku bilang begitu, sebenarnya itu tidak lucu sama sekali.
Tapi .,,,,.. Meski aku sudah muak dengan ini, aku berniat melakukan ini dengan serius.
Karena ini bukanlah sesuatu yang aku lakukan demi diriku sendiri.
Aku juga sangat serius dalam latihan. Jadi, tidak apa-apa.
"Ngga apa-apa, ‘kan?" Tanyaku pada Kayama, tiba-tiba merasa cemas.
"Ya, kau terlihat bagus." Ucap Kayama, memberi kesan pada pakaian wanita untuk beberapa alasan.
Riasanku sudah selesai, jadi aku mendorongnya dan berdiri.
Pada saat itu, ponsel di saku seragamku yang aku lempar ke sudut kelas mulai bergetar. Aku buru-buru pergi ke sana dan melihat layarnya.
Nama 'Watarase Mamizu' ditampilkan di layar.
Dan itu adalah video call.
"Oi, Okada, pertunjukkannya akan segera dimulai," kata seseorang.
Aku mengabaikan mereka dan menjawab teleponnya.
Wajah Mamizu memenuhi seluruh layar.
Aku melihat wajahnya dan aku ….... tertawa.
"Kudengar kau ingin melihat wajahku?" Katanya.
Ada kantong mata mengerikan yang menggantung di bawah matanya yang merah terang. Wajahnya tampak menyedihkan, seolah-olah dia tidak berniat menyembunyikan fakta bahwa dia baru saja menangis. Aku belum pernah melihat wajah Mamizu dalam keadaan seperti ini.
"Bagaimana menurutmu?" kata Mamizu dengan bangga karena alasan tertentu, dengan ekspresi puas diri.
"Tidak peduli apa yang orang bilang, Kau adalah orang tercantik di dunia ini," kataku dengan sungguh-sungguh. Aku merasa seperti sedang mengucapkan sebuah mantra, dan kata-kata ini akan sampai padanya sekarang.
Mamizu tertawa. "Tapi wajahmu juga menakjubkan, Takuya-kun. Kamu seperti seorang putri. "
Diamlah, pikirku.
"Aku akan pergi, Mamizu."
Dengan video call yang masih berjalan, aku keluar ke koridor. Semua murid di koridor berpaling untuk menatapku dengan gaun dan riasan yang mencolok. Aku tidak tahu apakah keributan yang mereka buat adalah jeritan atau sorak sorai.
Ini sudah menjadi kebiasaan di sekolah kami agar para pemerannya berparade sambil mengenakan kostum mereka dari kelas yang berfungsi sebagai ruang tunggu menuju aula yang juga sebagai tempat pertunjukkan.
Para siswa yang sedang berlalu-lalang berhenti dan menyemangati kami.
Teman sekelasku mengikuti dibelakangku. Berdiri di posisi depan, aku berjalan dengan berani menyusuri koridor, selangkah demi selangkah. Aku berjalan sambil melanjutkan video call dengan Mamizu. Aku bermaksud membawa Mamizu bersamaku.
"Kamu luar biasa, Takuya-kun," kata Mamizu, terdengar terkesan.
"Hal yang sebenarnya baru dimulai sekarang," kataku. Yah, rasanya aku tidak gugup.
"Lakukan yang terbaik!" Kata Mamizu.
"Yeah," jawabku singkat, lalu aku menghadap ke depan dan terus berjalan.
Aku memasuki aula.
Aku menemukan Yoshie-sensei di dalam dan mendekatinya.
"Apa yang kamu pakai? Wow, Takuya-kun, kamu terlihat luar biasa, "katanya sambil menahan tawa.
"Tidak, aku tidak perlu pujian Sensei. Ini ada video call yang tersambung dengan Mamizu sekarang. "kataku.
"Hah? Mengapa?"
"Bukan apa-apa, jadi apa anda bisa mengarahkan ponselnya menghadap ke arah panggung? Mamizu adalah anggota kelas kita juga. Aku pikir dia ingin melihat ini. "Aku menyerahkan ponselku ke Yoshie-sensei.
Setelah diberi tahu begitu, dia tidak menolaknya. Dia mengangguk dan mengambil ponselku. Aku berbalik dan berjalan dari kursi penonton ke pinggir panggung.
"Kayama, Mamizu sedang menonton," kataku, memanggil Kayama yang sedang menunggu dengan ekspresi lemah lembut di wajahnya.
"Aku tahu. Kau tadi berbicara dengannya ‘kan, Okada. "
"Yeah…….., ayo kita lakukan ini dengan benar."
"Ya."
Jadi, pertunjukkan Romeo dan Juliet kami pun dimulai.
                                  
uuuu

Seperti yang kuduga, sebagian besar reaksi penonton terhadap pertunjukkan kami adalah gelak tawa. Yah, karena peran Juliet dimainkan oleh diriku, yang jelas-jelas seorang cowok, jadi mereka tidak bisa menahan tawa. Kurasa hal seperti itu pun tak masalah.
Tapi Kayama tampak aneh.
Mungkin karena Ia gugup, atau mungkin karena ada hal lain, Ia sama sekali tidak memiliki energi setelah pertunjukan dimulai, meski tadi terlihat cukup bersemangat sebelum pertunjukkan dimulai. Mungkinkah Kayama tipe orang yang lebih lemah saat hal yang penting terjadi? Pikirku dengan curiga. Karena sudah sejauh ini, aku berusaha sebaik mungkin untuk bertindak sebagai Juliet.
Drama tersebut mendekati adegan klimaks, dan akhirnya, yang tersisa adalah adegan Romeo dan Juliet meninggal.
Pertama, saat Juliet, aku meminum apa yang disebut 'ramuan kematian palsu' dan tertidur di tengah panggung seolah-olah aku sudah meninggal.
Kayama, yang bertindak sebagai Romeo menemukan ini, lalu meneriakkan kalimat yang sudah Ia latih puluhan kali.
"Oh, Juliet, mengapa dirimu meninggal?"
Ada sesuatu yang janggal tentang Kayama. Ia sepertinya sedang mengingat kalimat setelah itu. Aku harus terus tidur seolah-olah aku sudah mati, tapi aku membuka mataku sedikit untuk memeriksanya.
Ada seorang idiot, yang berdiri di hadapanku.
Kayama menangis.
Ia menangis tersedu-sedu.
Kayama, orang yang tidak menangis bahkan setelah jatuh dari lantai dua sebuah bangunan, tengah menangis.
Dia menangis sampai-sampai tidak bisa mengatakan kalimat berikutnya.
Para penonton banyak yang kebingungan setelah melihat ini. "Hei, apa yang terjadi?" "Ia menangis." "Apa itu, itu tidak terlihat bagus." "Apa ada yang salah?" Kayama terdengar begitu tidak termotivasi selama latihan, tapi sekarang Ia benar-benar mendalami kalimatnya sekarang.
“Jadi besok, apa aku harus berpura-pura kalau kau adalah Watarase Mamizu saat aku berakting?'
Aku mengingat kata-kata Kayama kemarin.
Keheningan yang sesaat pun berlalu. Rasanya seperti kesalahan penyiaran.
Hei, hei, apa yang akan kau lakukan, Kayama? Aku menatap Kayama dengan gugup.
Air matanya masih belum berhenti.
Meski begitu, Ia berhasil menenangkan nafasnya dan mengatakan dialognya dengan sekaligus. "Aku akan mati juga, Juliet, dan mengikutimu." Dan kemudian Ia meminum racunnya.
Aku refleks mengangkat tanganku. "Tunggu," kataku sambil berdiri dan meraih lengan Romeo.
Setiap orang di sana tercengang kecuali diriku.
Itu sudah bisa diduga. Juliet, yang seharusnya tidur, tiba-tiba terbangun dan menghentikan bunuh diri Romeo. Dengan itu, mereka berdua tidak akan meninggal. Itu sama sekali bukan cerita yang menyakitkan.
"Jangan mati, Romeo!" Teriakku, berdiri tegak dengan mata yang terbuka lebar. "Karena aku belum mati!"
Pada saat itu, aula pertunjukkan meledak dengan gelak tawa.
"Aku hanya berpura-pura, Romeo. Kau tidak harus mati, Karena aku masih hidup! "
"Ke-Ke-Ke..." Kayama menatapku, terlihat sangat tercengang.
"Ini konyol ..." salah satu teman sekelasku bergumam di pinggir panggung, memegangi kepalanya.
"Wow, beruntungnya diriku!" Kata Kayama.
Penonton sekali lagi tertawa terbahak-bahak.

uuu

Kupikir semua orang di kelas pasti membenciku, tapi anehnya, ternyata tidak. Semua orang muak dengan kisah Romeo dan Juliet yang biasa, dan akting mengerikanku diterima dengan baik, jadi tidak ada yang mengeluh. Bahkan, ada beberapa yang memujiku, seperti, "Itu berjalan baik!" apapun itu, ini sudah berakhir, jadi tidak ada yang membicarakannya.
Satu-satunya keluhan yang ada hanya dari wali kelas kami, Yoshie-sensei.
"Okada-kun, itu sedikit ..."
Tanpa memedulikannya, aku mengambil ponselku darinya. Video call itu masih berlangsung, dan Mamizu tersenyum di sisi lain layar.
"Apa kau melihat itu?" Tanyaku.
"Ya. Itu yang paling menarik dari semua pertunjukan Romeo dan Juliet yang pernah kulihat! "
"Terima kasih."
Aku menuju ke luar aula, masih mengenakan gaun juliet dan memegang ponsel di tanganku. Aku merasa seperti sedang memegang miniatur Mamizu di telapak tanganku.
Langit malam terbentang dengan ribuan bintang yg bersinar saat aku berada di luar aula. Tanpa aku sadari, sekarang sudah memasuki musim gugur, dan hari semakin gelap akhir-akhir ini.
"Oi, Juliet!" ada suara yang berteriak.
Aku berbalik dan melihat Kayama mengejarku. Dia masih mengenakan pakaian Romeo-nya dan mengacungkan pedang kardusnya. Dia melemparkan sesuatu padaku, dan aku menangkapnya. Ternyata, itu adalah tisu untuk menghapus riasan.
"Akira-kun, kamu juga luar biasa," kata Mamizu, menyadari kalau Kayama ada di sana.
"Itu adalah pertunjukan yang hebat, bukan?" balas Kayama.
Jangan buat aku tertawa, pikirku.
"Okada, apa kau akan pergi ke pesta perayaan setelah ini?" Tanya Kayama, terdengar seperti dia tidak peduli.
"Aku tidak tertarik," kataku seraya mengusap wajahku dengan tisu penghapus riasan.
Lebih penting lagi, sekarang ... aku ingin bertemu dengan Mamizu secepat mungkin. Itulah yang saat ini kurasakan.
"Aku ingin pergi!" Kata Mamizu.
"… Jadi itu berarti…"
"Pergilah, Takuya-kun. Beri aku rincian laporannya nanti. "
"Tuh…"
"Kamu pahlawan hari ini, Takuya-kun. Ah, maksudku heroine. Jadi, Kamu harus pergi. "
Lalu, Mamizu tiba-tiba mengakhiri teleponnya.
... Mungkinkah dia berusaha bersikap penuh perhatian?
Jika itu benar, ini tidak seperti dirinya. Aku tidak ingin dia melakukan hal seperti itu. Aku ingin menemuinya.
"Kau tahu, Okada," kata Kayama.
"Apa?"
"Apa kau masih takut ?"
"Apa yang ingin coba kau katakan?"
"Dia menyukaimu, bukan?"
"Diam."
Pada akhirnya, aku memutuskan untuk pergi ke pesta perayaan hari itu. Di pesta karaoke, seseorang menyanyikan lirik yang bermaknasangat dalamt, "Masa muda hanya berlalu dalam sekejap mata." Kelihatannya mereka bersenang-senang, pikirku. Akhirnya, aku memutuskan untuk menemukan waktu yang pas untuk keluar dan pulang ke rumah. Saat aku melihat jam, waktu sudah menunjukkan sebelas malam. Aku bingung apakah aku harus mengunjungi rumah sakit atau tidak. Tapi aku baru saja dimarahi oleh perawat Okazaki-san kemarin. Aku ingin Mamizu beristirahat juga. Aku memutuskan untuk pergi ke rumah sakit besok.
Ketika sampai di rumah, aku teringat dengan bola salju. Setelah dipikir-pikir, aku sudah membeli bahan-bahannya dan hanya tergeletak di sudut ruangan. Aku punya waktu luag, jadi kuputuskan untuk mencoba memperbaiki bola salju yang  sambil membaca buku yang aku terima dari Makoto-san.
Pertama, aku memasang botol kaca yang sudah aku beli ke atas miniature rumah kayu dengan perekat sebagai penutup. Selanjutnya, aku menuangkan banyak lem cair ke dalam botol kaca. Setelah itu, aku memasukkan salju buatan yang disebut bubuk salju. Inilah yang kupikirkan sebagai taburan kecil.
Akhirnya, aku menutup tutupnya, membalik semuanya, dan selesai. ini selesai hanya dalam sepuluh menit. Ternyata mudah juga, pikirku, sedikit terkejut.
Namun, itu bukan desain bola salju bulat yang sama seperti aslinya; Aku hanya bisa menggunakan kembali botol kaca, jadi itu adalah produk yang cacat.






close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama