Musim silih berganti, dan musim gugur dimana Meiko meninggal pun tiba.
Aku sering teringat pada Meiko
selama musim ini. Jadi, saat musim gugur semakin dekat, aku menjadi lebih
melankolis. Apalagi, Tahun ini adalah yang terburuk. Aku sedikit tidak suka
pada diriku sendiri yang menjalani musim gugur tahun pertamaku di SMA,
masa-masa dimana kakak perempuanku tak hidup lagi.
Dua minggu telah berlalu sejak aku
berhenti mengunjungi Mamizu, dan festival sekolah akan diadakan keesokan harinya.
Murid-murid yang biasanya tidak
ikut latihan, sekarang ikut latihan dengan penuh keseriusan karena
pertunjukannya hanya tinggal satu hari lagi. Ada juga keinginan untuk ikut
serta dalam acara masa muda begini. Semua orang cukup sibuk, tapi pekerjaan
yang relatif sedikit telah dialokasikan kepada kami sebagai anggota pemeran
utama, jadi kami sebenarnya sangat bebas. Aku juga tidak ingin membantu.
"Akhirnya, besok,
ya," kata Kayama.
Aku bersandar pada mimbar guru,
dan Kayama melempar sekaleng minuman bersoda yang dibelinya dari mesin penjual
otomatis di lantai satu.
"Okada, kenapa kau
memainkan peran Juliet?" Baru sekarang Kayama bertanya blak-blakan begini.
"Baiklah ... Sebenarnya,
Mamizu ingin bermain Juliet," kataku.
"Hah? Apa maksudnya?"
"Mamizu selalu menyuruhku untuk
melakukan 'hal yang ingin dia lakukan
sebelum dia meninggal' demi dirinya, lalu memberitahu kesanku padanya."
"Jadi besok, apa aku harus
berpura-pura kalau kau adalah Watarase Mamizu saat aku berakting nanti?"
"Ya, ironis sekali."
Minuman soda yang kuminum
mendesis di dalam mulutku.
"Dua bulan lagi, ‘kan?"
Kata Kayama, dengan nada yang terdengar seperti Ia menduga kalau aku sudah tahu.
Aku menatap wajahnya dengan terkejut.
"Apa Mamizu bilang begitu?"
Aku ingat kalau Mamizu sudah
diberitahu berapa lama lagi dia hidup saat awal liburan musim panas dulu. Pada
saat itu, aku terlalu takut untuk bertanya persis berapa lama waktu yang masih
dia punya.
"Yeah, saat aku pergi
mengunjunginya. Kau tidak tahu, Okada? "
Itu mengejutkanku. Sebuah
kejutan bahwa Kayama tahu tapi aku sendiri tidak tahu, tapi kata 'dua bulan'
juga menjadi pukulan bagiku. Aku merasa seperti terlempar ke dalam kolam air
dingin.
"Hei, Okada. Mengapa orang
yang berparas rupawan harus mati sementara bajingan seperti diriku masih hidup?
Itu gila, ‘kan? Kau juga setuju, ‘kan? "Kata Kayama.
Aku ingin tahu siapa yang Ia
bicarakan. Apa itu Mamizu, kakak laki-lakinya, atau keduanya? Aku ingin
bertanya, tapi aku urungkan niatku.
Aku mencoba memikirkan hal lain
untuk dikatakan sebagai gantinya.
"Aku juga ditolak. Oleh
Watarase Mamizu. "Akhirnya aku memberi tahu Kayama tentang ini.
Tapi Kayama sama sekali tidak
terkejut. "Seseorang yang selalu berada di sampingku, tapi seseorang yang
tak pernah bisa aku sentuh."
"Hah?"
"Itulah yang dikatakan
Watarase Mamizu tentang pria yang dia sukai."
Pertama kalinya aku mendengar
ini.
"Dia bilang begitu?"
Tanyaku.
"Betul. Jadi, dia mungkin
sedang membicarakanmu. "
"Tidak, itu tidak benar. Mamizu
dan aku bertengkar tempo hari, dan aku tidak mengunjunginya lagi. "
"Bertengkar …... apa kau ini
anak kecil?"
"Memang."
Memang, aku ini anak kecil,
pikirku.
“Hei,
jika aku bilang jangan pernah datang ke
sini lagi,apa kamu masih tetap datang ke sini dan melihatku?”
Mendadak, aku mengingat
perkataan Mamizu.
Malam hari pun tiba. Kami terus
melakukan latihan drama dengan sungguh-sungguh.
Pertama, Juliet meminum ramuan
palsu dan memasuki keadaan sekarat.
Selanjutnya, Romeo bunuh diri, salah
mengira kalau Juliet sudah meninggal.
Akhirnya, Juliet merasa putus
asa atas kematian Romeo.
Ketiadaan. [ç„¡ ]
Bila
orang yang kita cintai meninggal, kita harus bunuh diri.
Ungkapan yang Meiko garis
bawahi dengan tinta merah melayang di dalam pikiranku.
uuu
Dibutuhkan keberanian atau
semacam kekuatan untuk menyelinap ke rumah sakit pada malam hari. Aku sudah
melakukannya berkali-kali, dan barangkali aku bisa mendapatkan keberanian
sesaat setelah bertemu dengan Mamizu.
Meski aku bilang begitu,
terlalu bagus untuk menjadi kenyataan agar bisa berjalan dengan baik setiap
saat.
Begitulah yang terjadi di sini.
Karena pertunjukkan drama akan
di gelar esok hari, aku sangat ingin melihat wajah Mamizu, jadi aku menyelinap
ke rumah sakit saat larut malam dalam perjalanan pulang dari sekolah. Lalu aku
kepergok oleh seorang perawat. Perawat bernama Okazaki, yang pernah aku ajak
bicara saat Mamizu ambruk di toko.
"Cepat Duduk."
Dia mendesah dan memberi
isyarat agar aku duduk di kursi di pusat perawat.
"Namamu? Katakan yang
sebenarnya."
"Okada."
"Nama lengkap!" Kata
Okazaki-san dengan nada yang sangat keras.
"Okada ... Takuya."
"Seperti yang kuduga."
Aku tidak tahu apa yang dia
pikirkan, tapi itulah yang dia ucapkan.
"Setelah jam berkunjung
selesai, orang luar dilarang memasuki ruangan," lanjutnya.
"Ya ... maafkan aku."
Sekarang kalau sudah begini, aku tidak punya pilihan selain meminta maaf. Aku
menundukkan kepalaku dan menatap lantai.
“Yah, itu tidak masalah,
bukan?" Kata Okazaki-san sambil menjaga ekspresi serius di wajahnya.
Aku mendongak terkejut.
"Yang lebih penting lagi,
Kenapa kamu tiba-tiba berhenti mengunjungi Watarase-san? Kalian berdua
berpacaran, ‘kan? "
Aku kaget. Tampaknya
Okazaki-san salah paham dengan sesuatu. Kupikir dia terlalu sibuk untuk melacak
siapa yang mengunjungi siapa. Tak pernah terpikir olehku bahwa dia tahu kalau aku
sering mengunjungi Mamizu.
"Apa kamu bertengkar
dengannya? Atau apa kamu membencinya sekarang? Apa sangat menyakitkan untuk
melihatnya menjadi semakin lemah? "
"Bukan begitu. Hanya saja
... Dia membenciku, "kataku. "Dia bilang dia tidak mau melihat
wajahku."
"Jadi, itu sebabnya kamu
tidak mengunjunginya lagi. Hmm. "Okazaki-san menjulurkan kakinya dan
menendangku lembut dengan sandal di kakinya. "Jangan setengah-setengah
dalam banyak hal."
"... Tapi mau gimana lagi?
Dia bilang dia tidak mau melihatku. Aku tidak punya pilihan selain menurutinya,
‘kan? Atau apa Anda ini tipe orang yang merasa tergerak dengan cara yang
menyesatkan, cinta ala penguntit, Okazaki-san? "Untuk beberapa alasan, aku
membuat sebuah lelucon yang tidak pantas mengingat situasinya. Bahkan aku tahu
bahwa ini bukan hal yang harus dikatakan.
"Kamu sama sekali tidak mengetahui
apa-apa. Kamu tidak menyalahkan dirimu
karena tidak tahu. Kamu berpikir kalau kamu benar, Kamu hanya mabuk
karena merasa benar. Ini biasa, tapi menjijikkan.” Ucap Okazaki-san, melemparkan kalimat-kalimat
mendalam satu demi satu saat dia berdiri. "Sudah waktunya untuk mengerjakan
tugasku, jadi aku akan pergi. Kamu harus pulang juga. Jangan sampai membuat
pasien lain bangun. "
Aku perlahan berdiri juga.
"Saat aku bertugas, aku
berkeliling ke tempat tidur pasien di malam hari. Akhir-akhir ini, Watarase-san
selalu menangis dalam tidurnya. Sejak Kamu berhenti datang untuk berkunjung,
tanpa henti. Kurasa, dia sendiri tidak menyadarinya. Aku juga tidak bisa
mengatakan apapun tentang hal itu. Aku tidak bisa mengganggu perasaan
masing-masing pasien seperti itu.Dia selalu berkata, 'Takuya-kun, maafkan aku.” Itu namamu, bukan? Dia meminta maaf
kepadamu setiap malam. Apa yang membuatnya seperti itu? Aku tidak tahu
jawabannya, " kata Okazaki-san.
Dia mengatakan semua itu dengan
cepat. Aku penasaran apakah dia lebih cocok menjadi komedian atau politisi.
"Satu-satunya yang aku
tahu hanyalah orang yang bernama begitu hanya dirimu." Dengan itu,
Okazaki-san pergi meninggalkan pusat perawat.
"Tunggu!" Teriakku,
tanpa berpikir.
"Jangan berisik. Ini sudah
malam. "
"Maafkan aku. Umm, besok,
kelasku mengadakan pertunjukkan drama. Itu sebabnya, aku ingin melihat wajah
Mamizu. Kupikir aku akan melakukan yang terbaik untuk Mamizu. Apa Anda bisa
mengatakan kepadanya untukku? "
"Jika aku merasa seperti
itu," kata Okazaki-san, lalu dia pun pergi.
Pada akhirnya, aku pulang dengan
patuh tanpa melihat Mamizu.
uuuu
Sebelum pertunjukan festival
budaya, aku mengalami pengalaman yang sangat menyakitkan.
"Jangan bergerak,
Takuya-kun."
Karena aku memainkan peran Juliet,
aku diculik oleh gadis-gadis di kelas dan dipaksa untuk memakai make-up serta mengenakan
gaun besar juga. Aku memang diberitahu kalau aku akan mengenakan gaun, tapi aku
tidak pernah menduga kalau aku juga akan mengenakan make-up.
"Kalian tidak perlu
melakukannya sejauh ini, tahu ..." kataku, merasa muak.
Tapi mereka sudah terbawa suasana
dan tidak mendengarkanku. Aku bisa mendengar murid-murid cowok tertawa
terbahak-bahak. Aku bisa mendengar suara-suara yang mengatakan seperti,
"Okada-kun terlihat lebih baik dengan riasan, bukan?" "Dia
mungkin lebih cantik dariku," dan, "Sebenarnya, kamu terlihat cantik,
Okada," yang sama sekali tidak menghiburku. Ketika aku melihat diriku di
cermin, penampilanku hanya bisa digambarkan sebagai sesuatu yang menggelikan. Aku
ingin berteriak dan melarikan diri.
"Okada, kau merasa gugup,
ya?" Kata Kayama sambil mendekatiku, dengan berpakaian seperti bangsawan.
Dia melihat riasanku dengan ekspresi yang penuh penasaran.
"Tidak sama sekali,"
kataku.
Aku ingin mengucapkan,
"Bukannya kau yang merasa gugup?" Saat Aku bisa melihat ekspresi kaku di wajah
Kayama.
"Aku harap ini berjalan
lancar, Okada," kata Kayama.
Begitu aku melangkah keluar
dengan mengenakan pakaian wanita, tak terhindarkan lagi kisah tragedi Shakespeare
berubah menjadi sebuah komedi.
"Seharusnya kau berpakaian
seperti wanita juga. Romeo adalah wanita juga, permainan yuri baru yang
sensasional, "kataku.
Itu nanti malah berubah menjadi
komedi tragis.
"Jadi, aktornya dua cowok,
ya?"
"Itu lucu." Meski aku
bilang begitu, sebenarnya itu tidak lucu sama sekali.
Tapi .,,,,.. Meski aku sudah
muak dengan ini, aku berniat melakukan ini dengan serius.
Karena ini bukanlah sesuatu
yang aku lakukan demi diriku sendiri.
Aku juga sangat serius dalam
latihan. Jadi, tidak apa-apa.
"Ngga apa-apa, ‘kan?"
Tanyaku pada Kayama, tiba-tiba merasa cemas.
"Ya, kau terlihat
bagus." Ucap Kayama, memberi kesan pada pakaian wanita untuk beberapa
alasan.
Riasanku sudah selesai, jadi aku
mendorongnya dan berdiri.
Pada saat itu, ponsel di saku
seragamku yang aku lempar ke sudut kelas mulai bergetar. Aku buru-buru pergi ke
sana dan melihat layarnya.
Nama 'Watarase Mamizu' ditampilkan di layar.
Dan itu adalah video call.
"Oi, Okada,
pertunjukkannya akan segera dimulai," kata seseorang.
Aku mengabaikan mereka dan
menjawab teleponnya.
Wajah Mamizu memenuhi seluruh
layar.
Aku melihat wajahnya dan aku …....
tertawa.
"Kudengar kau ingin
melihat wajahku?" Katanya.
Ada kantong mata mengerikan
yang menggantung di bawah matanya yang merah terang. Wajahnya tampak
menyedihkan, seolah-olah dia tidak berniat menyembunyikan fakta bahwa dia baru
saja menangis. Aku belum pernah melihat wajah Mamizu dalam keadaan seperti ini.
"Bagaimana
menurutmu?" kata Mamizu dengan bangga karena alasan tertentu, dengan
ekspresi puas diri.
"Tidak peduli apa yang
orang bilang, Kau adalah orang tercantik di dunia ini," kataku dengan
sungguh-sungguh. Aku merasa seperti sedang mengucapkan sebuah mantra, dan
kata-kata ini akan sampai padanya sekarang.
Mamizu tertawa. "Tapi
wajahmu juga menakjubkan, Takuya-kun. Kamu seperti seorang putri. "
Diamlah,
pikirku.
"Aku akan pergi,
Mamizu."
Dengan video call yang masih
berjalan, aku keluar ke koridor. Semua murid di koridor berpaling untuk
menatapku dengan gaun dan riasan yang mencolok. Aku tidak tahu apakah keributan
yang mereka buat adalah jeritan atau sorak sorai.
Ini sudah menjadi kebiasaan di
sekolah kami agar para pemerannya berparade sambil mengenakan kostum mereka
dari kelas yang berfungsi sebagai ruang tunggu menuju aula yang juga sebagai
tempat pertunjukkan.
Para siswa yang sedang
berlalu-lalang berhenti dan menyemangati kami.
Teman sekelasku mengikuti
dibelakangku. Berdiri di posisi depan, aku berjalan dengan berani menyusuri
koridor, selangkah demi selangkah. Aku berjalan sambil melanjutkan video call
dengan Mamizu. Aku bermaksud membawa Mamizu bersamaku.
"Kamu luar biasa,
Takuya-kun," kata Mamizu, terdengar terkesan.
"Hal yang sebenarnya baru dimulai
sekarang," kataku. Yah, rasanya aku tidak gugup.
"Lakukan yang
terbaik!" Kata Mamizu.
"Yeah," jawabku
singkat, lalu aku menghadap ke depan dan terus berjalan.
Aku memasuki aula.
Aku menemukan Yoshie-sensei di
dalam dan mendekatinya.
"Apa yang kamu pakai? Wow,
Takuya-kun, kamu terlihat luar biasa, "katanya sambil menahan tawa.
"Tidak, aku tidak perlu
pujian Sensei. Ini ada video call
yang tersambung dengan Mamizu sekarang. "kataku.
"Hah? Mengapa?"
"Bukan apa-apa, jadi apa
anda bisa mengarahkan ponselnya menghadap ke arah panggung? Mamizu adalah
anggota kelas kita juga. Aku pikir dia ingin melihat ini. "Aku menyerahkan
ponselku ke Yoshie-sensei.
Setelah diberi tahu begitu, dia
tidak menolaknya. Dia mengangguk dan mengambil ponselku. Aku berbalik dan
berjalan dari kursi penonton ke pinggir panggung.
"Kayama, Mamizu sedang
menonton," kataku, memanggil Kayama yang sedang menunggu dengan ekspresi
lemah lembut di wajahnya.
"Aku tahu. Kau tadi berbicara
dengannya ‘kan, Okada. "
"Yeah…….., ayo kita
lakukan ini dengan benar."
"Ya."
Jadi, pertunjukkan Romeo dan
Juliet kami pun dimulai.
uuuu
Seperti yang kuduga, sebagian
besar reaksi penonton terhadap pertunjukkan kami adalah gelak tawa. Yah, karena
peran Juliet dimainkan oleh diriku, yang jelas-jelas seorang cowok, jadi mereka
tidak bisa menahan tawa. Kurasa hal seperti itu pun tak masalah.
Tapi Kayama tampak aneh.
Mungkin karena Ia gugup, atau
mungkin karena ada hal lain, Ia sama sekali tidak memiliki energi setelah
pertunjukan dimulai, meski tadi terlihat cukup bersemangat sebelum pertunjukkan
dimulai. Mungkinkah Kayama tipe orang yang lebih lemah saat hal yang penting
terjadi? Pikirku dengan curiga. Karena sudah sejauh ini, aku berusaha sebaik
mungkin untuk bertindak sebagai Juliet.
Drama tersebut mendekati adegan
klimaks, dan akhirnya, yang tersisa adalah adegan Romeo dan Juliet meninggal.
Pertama, saat Juliet, aku meminum
apa yang disebut 'ramuan kematian palsu'
dan tertidur di tengah panggung seolah-olah aku sudah meninggal.
Kayama, yang bertindak sebagai
Romeo menemukan ini, lalu meneriakkan kalimat yang sudah Ia latih puluhan kali.
"Oh, Juliet, mengapa
dirimu meninggal?"
Ada sesuatu yang janggal
tentang Kayama. Ia sepertinya sedang mengingat kalimat setelah itu. Aku harus
terus tidur seolah-olah aku sudah mati, tapi aku membuka mataku sedikit untuk
memeriksanya.
Ada seorang idiot, yang berdiri
di hadapanku.
Kayama menangis.
Ia menangis tersedu-sedu.
Kayama, orang yang tidak
menangis bahkan setelah jatuh dari lantai dua sebuah bangunan, tengah menangis.
Dia menangis sampai-sampai tidak
bisa mengatakan kalimat berikutnya.
Para penonton banyak yang
kebingungan setelah melihat ini. "Hei, apa yang terjadi?" "Ia
menangis." "Apa itu, itu tidak terlihat bagus." "Apa ada
yang salah?" Kayama terdengar begitu tidak termotivasi selama latihan, tapi
sekarang Ia benar-benar mendalami kalimatnya sekarang.
“Jadi
besok, apa aku harus berpura-pura kalau kau adalah Watarase Mamizu saat aku
berakting?'
Aku mengingat kata-kata Kayama
kemarin.
Keheningan yang sesaat pun
berlalu. Rasanya seperti kesalahan penyiaran.
Hei, hei, apa yang akan kau
lakukan, Kayama? Aku menatap Kayama dengan gugup.
Air matanya masih belum
berhenti.
Meski begitu, Ia berhasil
menenangkan nafasnya dan mengatakan dialognya dengan sekaligus. "Aku akan
mati juga, Juliet, dan mengikutimu." Dan kemudian Ia meminum racunnya.
Aku refleks mengangkat tanganku.
"Tunggu," kataku sambil berdiri dan meraih lengan Romeo.
Setiap orang di sana tercengang
kecuali diriku.
Itu sudah bisa diduga. Juliet,
yang seharusnya tidur, tiba-tiba terbangun dan menghentikan bunuh diri Romeo.
Dengan itu, mereka berdua tidak akan meninggal. Itu sama sekali bukan cerita
yang menyakitkan.
"Jangan mati, Romeo!"
Teriakku, berdiri tegak dengan mata yang terbuka lebar. "Karena aku belum
mati!"
Pada saat itu, aula pertunjukkan
meledak dengan gelak tawa.
"Aku hanya berpura-pura,
Romeo. Kau tidak harus mati, Karena aku masih hidup! "
"Ke-Ke-Ke..." Kayama
menatapku, terlihat sangat tercengang.
"Ini konyol ..."
salah satu teman sekelasku bergumam di pinggir panggung, memegangi kepalanya.
"Wow, beruntungnya diriku!"
Kata Kayama.
Penonton sekali lagi tertawa
terbahak-bahak.
uuu
Kupikir semua orang di kelas
pasti membenciku, tapi anehnya, ternyata tidak. Semua orang muak dengan kisah Romeo
dan Juliet yang biasa, dan akting mengerikanku diterima dengan baik, jadi tidak
ada yang mengeluh. Bahkan, ada beberapa yang memujiku, seperti, "Itu
berjalan baik!" apapun itu, ini sudah berakhir, jadi tidak ada yang
membicarakannya.
Satu-satunya keluhan yang ada
hanya dari wali kelas kami, Yoshie-sensei.
"Okada-kun, itu sedikit
..."
Tanpa memedulikannya, aku
mengambil ponselku darinya. Video call
itu masih berlangsung, dan Mamizu tersenyum di sisi lain layar.
"Apa kau melihat
itu?" Tanyaku.
"Ya. Itu yang paling menarik
dari semua pertunjukan Romeo dan Juliet yang pernah kulihat! "
"Terima kasih."
Aku menuju ke luar aula, masih
mengenakan gaun juliet dan memegang ponsel di tanganku. Aku merasa seperti
sedang memegang miniatur Mamizu di telapak tanganku.
Langit malam terbentang dengan
ribuan bintang yg bersinar saat aku berada di luar aula. Tanpa aku sadari,
sekarang sudah memasuki musim gugur, dan hari semakin gelap akhir-akhir ini.
"Oi, Juliet!" ada
suara yang berteriak.
Aku berbalik dan melihat Kayama
mengejarku. Dia masih mengenakan pakaian Romeo-nya dan mengacungkan pedang
kardusnya. Dia melemparkan sesuatu padaku, dan aku menangkapnya. Ternyata, itu
adalah tisu untuk menghapus riasan.
"Akira-kun, kamu juga luar
biasa," kata Mamizu, menyadari kalau Kayama ada di sana.
"Itu adalah pertunjukan
yang hebat, bukan?" balas Kayama.
Jangan
buat aku tertawa, pikirku.
"Okada, apa kau akan pergi
ke pesta perayaan setelah ini?" Tanya Kayama, terdengar seperti dia tidak
peduli.
"Aku tidak tertarik,"
kataku seraya mengusap wajahku dengan tisu penghapus riasan.
Lebih penting lagi, sekarang
... aku ingin bertemu dengan Mamizu secepat mungkin. Itulah yang saat ini
kurasakan.
"Aku ingin pergi!"
Kata Mamizu.
"… Jadi itu berarti…"
"Pergilah, Takuya-kun.
Beri aku rincian laporannya nanti. "
"Tuh…"
"Kamu pahlawan hari ini,
Takuya-kun. Ah, maksudku heroine.
Jadi, Kamu harus pergi. "
Lalu, Mamizu tiba-tiba
mengakhiri teleponnya.
... Mungkinkah dia berusaha
bersikap penuh perhatian?
Jika itu benar, ini tidak
seperti dirinya. Aku tidak ingin dia melakukan hal seperti itu. Aku ingin
menemuinya.
"Kau tahu, Okada,"
kata Kayama.
"Apa?"
"Apa kau masih takut ?"
"Apa yang ingin coba kau katakan?"
"Dia menyukaimu,
bukan?"
"Diam."
Pada akhirnya, aku memutuskan
untuk pergi ke pesta perayaan hari itu. Di pesta karaoke, seseorang menyanyikan
lirik yang bermaknasangat dalamt, "Masa muda hanya berlalu dalam sekejap
mata." Kelihatannya mereka
bersenang-senang, pikirku. Akhirnya, aku memutuskan untuk menemukan waktu
yang pas untuk keluar dan pulang ke rumah. Saat aku melihat jam, waktu sudah
menunjukkan sebelas malam. Aku bingung apakah aku harus mengunjungi rumah sakit
atau tidak. Tapi aku baru saja dimarahi oleh perawat Okazaki-san kemarin. Aku
ingin Mamizu beristirahat juga. Aku memutuskan untuk pergi ke rumah sakit
besok.
Ketika sampai di rumah, aku
teringat dengan bola salju. Setelah dipikir-pikir, aku sudah membeli
bahan-bahannya dan hanya tergeletak di sudut ruangan. Aku punya waktu luag,
jadi kuputuskan untuk mencoba memperbaiki bola salju yang sambil membaca buku yang aku terima dari
Makoto-san.
Pertama, aku memasang botol
kaca yang sudah aku beli ke atas miniature rumah kayu dengan perekat sebagai
penutup. Selanjutnya, aku menuangkan banyak lem cair ke dalam botol kaca.
Setelah itu, aku memasukkan salju buatan yang disebut bubuk salju. Inilah yang
kupikirkan sebagai taburan kecil.
Akhirnya, aku menutup tutupnya,
membalik semuanya, dan selesai. ini selesai hanya dalam sepuluh menit. Ternyata mudah juga, pikirku, sedikit
terkejut.
Namun, itu bukan desain bola
salju bulat yang sama seperti aslinya; Aku hanya bisa menggunakan kembali botol
kaca, jadi itu adalah produk yang cacat.