Hujan turun keesokan harinya,
jadi aku pergi ke rumah sakit dengan membawa payung. Tempat payung sudah penuh
dengan payung pengunjung lain. Tumben sekali ada banyak pengunjung? Aku tidak
mau repot-repot, jadi aku memasukkannya ke tempat yang terdekat dan masuk ke
dalam. Saat ruangan Mamizu menjadi ruangan pribadi, dia pindah dari lantai
empat ke lantai enam. Tapi aku bahkan tidak bisa menunggu lift.Aku menjadi tak
sabaran. Ada bola salju di dalam
tasku. Aku menaiki tangga, satu demi satu. Aku mulai berkeringat sedikit.
Rasanya seperti semacam pelatihan ringan.
Aku akan mengatakannya dengan
jelas.
Hari ini, aku akan
mengatakannya sekali lagi.
Entah bagaimana aku berhasil
naik ke lantai enam dan tiba di depan kamar Mamizu.
Ada semacam tanda yang
tergantung di pintu.
Pengunjung
dilarang masuk
Itulah yang tertulis.
Pundakku bergetar. Rasanya ada
benda tumpul yang memukulku dari belakang kepala. Tulang belakangku membeku. Tidak mungkin, pikirku.
Karena tidak bisa berdiri dengan
tegak, aku jatuh terduduk. Napasku menjadi tersenggal-senggal seolah kehabisan
nafas. Dunia tampak berputar. Aku merasa ingin muntah. Aku berjongkok di sana
untuk sementara waktu.
Apa yang sedang terjadi di
dalam? Tapi kalaupun aku masuk ke dalam,
aku tidak bisa melakukan apapun. Jika itu menyebabkan kondisi Mamizu memburuk,
itu akan menghancurkan maksud tujuanku ke sini. Tapi aku ingin mengetahui
situasi Mamizu sekarang.
Aku pergi menuju ke pusat
perawat untuk menemui Okazaki-san. Baru kemarin aku berada di sini, tapi jarak
pusat perawat terasa berbeda sekali. Entah bagaimana rasanya sangat jauh.
Padahal tidak ada yang berubah, tapi begitulah yang aku rasakan.
"Permisi, aku ingin bertanya
tentang Watarase Mamizu. Bagaimana situasinya saat ini? "Tanyaku.
Tapi Okazaki-san tidak ada di
sana. Dia tidak bertugas atau sibuk di tempat lain.
"Maaf, anda siapa?"
Tanya perawat yang sedang berjaga.
Aku berhenti sejenak, bingung.
Apa hubunganku dengan Mamizu? Aku tidak bisa memikirkan kata yang tepat untuk
mendefinisikan hubungan kita.
Aku…
"Kenalannya," kataku.
"Kalau begitu,
Watarase-san tidak boleh menerima pengunjung sekarang. Silakan datang
berkunjung lain hari. "
Setelah mendengar jawaban yang
dangkal begitu, aku membalikkan badanku, lalu melangkah tidak berdaya.
Tapi aku tidak bisa pulang begitu
saja.
Aku duduk di bangku dan menatap
lantai di depan ruangan Mamizu.
Aku penasaran, apakah Okazaki-san akan datang dan memanggilku jika
aku duduk di sana seperti itu. Tapi akhirnya, dia tidak pernah muncul.
Aku sangat cemas serta tak
berdaya sampai-sampai kupikir aku akan mati.
Tanpa aku sadari, waktu sudah
menunjukkan jam delapan malam.
"Waktu berkunjung sudah
selesai, jadi ..." kata salah satu perawat lainnya, menyuruhku pulang.
Aku bahkan tidak memiliki
keinginan untuk meresponnya. Aku melangkah ke lift dengan langkah kaki yang
berat.
Dalam perjalanan pulang, aku
mengirim sekitar dua puluh pesan kepada Mamizu dari ponselku.
>
Apa ada yang salah?
>
Apa kau baik-baik saja?
>
Apa kau tidak baik-baik saja?
>
Kau hidup, ‘kan?
>
Kau baik-baik saja, bukan?
>
Tolong katakan padaku kalau kau baik-baik saja
>
Hei
>
Oi
>
Jangan mati
>
Kau tidak bisa mati
>
Kau masih punya beberapa hal yang kau ingin aku lakukan, bukan?
>
Masih ada banyak, ‘kan?
>
Mati itu membosankan, lo
>
Karena rasanya hampa [ç„¡]
>
Ini benar-benar membosankan
>
Ayo main
>
Aku sedang makan mie cup di minimarket sekarang
>
Aku merasa lapar bahkan saat aku sedih
>
Fakta itu sangat menyedihkan
>
Kapan-kapan, ayo menyelinap keluar dari rumah sakit dan pergi ke suatu tempat
>
Seharusnya kita melakukan itu lebih cepat
>
Iya, ‘kan?
>
Ayo kita nikmati hidup ini
>
Kau masih hidup, kan?
>
Tolong jangan mati
>
Tolong
>
Aku mohon padamu
>
Hiduplah
Tidak ada tanda kalau pesan
yang telah dibaca. Mamizu benar-benar diam.
Aku tidak bisa mengedipkan mata
sedikitpun, dan pagi pun menjelang. Aku merasa seolah-olah bisa hidup tanpa
pernah tidur lagi. Aku merasa mual, jadi aku muntah. Itu adalah mie cup yang aku makan tadi malam. Aku
ingin menjadi sakit untuk menggantikan Mamizu. Atau mati menggantikan dirinya. Aku
belum mempersiapkan diri untuk hidup di dunia ini tanpa Mamizu.
Aku merasa tidak bisa tidur
jika aku terus berada di rumah, dan aku juga tidak ingin pergi ke sekolah, jadi
aku pergi ke luar. Pikiranku terasa samar-samar karena aku kurang tidur, tapi
pada saat yang bersamaan, juga jernih.
Ketika dimasukkan ke dalam kata-kata seperti itu, keduanya terdengar
kontradiksi, namun kekaburan dan kejernihannya tersebut memang benar ada di
dalam diriku.
Tidak ada orang di sekitar area
perumahan. Itu membuatku merasa kesepian. Aku bahkan tidak tahu kapan aku
menjadi sangat lemah terhadap kesendirian. Meski aku pernah berpikir kalau orang
lain hanyalah menyebalkan. Manusia bisa
berubah dengan cepat ya, pikirku dengan tenang.
Aku naik kereta, pergi ke
distrik bisnis dan menembak zombie di pusat permainan. Tidak peduli berapa
banyak yang aku bunuh, para zombie terus menyerangku. Mereka memiliki begitu banyak HP,pikirku. Pada akhirnya, aku
dimakan oleh para zombie, jadi aku pindah ke game balapan. Meski hancur karena
tabrakan, aku masih hidup. Aku abadi. Tidak peduli apa yang aku lakukan, aku
tidak mati.
Setelah itu, aku mengambil purikura sendiri. Menatap wajahku
sendiri dan tertawa saat melihat mataku semakin lebar dan lebar. Aku pergi
keluar dan membakar semuanya. Aku mengisap tiga batang rokok pada saat
bersamaan. Asap rokoknya menyengat mataku. (TN:kalau di Indonesia photo box)
Ada sesuatu yang terbesit
dibenakku saat melintasi penyeberangan pejalan kaki, jadi aku naik taksi yang
terparkir di dekat jalan.
"Tolong bawa aku ke laut,"
kataku.
Aku tidak tahu apakah aku
memiliki cukup uang, tapi aku tidak terlalu peduli.
Semuanya akan menyenangkan jika
Mamizu bersamaku, tapi bila melakukan sesuatu ini sendiri, membuatku sedih.
Aku sampai di tepi laut. Uangku
pas-pasan. Tapi masalahnya, aku tidak tahu bagaimana caraku bisa kembali. Nah,
semuanya mungkin akan berhasil. Palingan nanti aku akan menumpang. Bukan
berarti aku belum pernah melakukan itu.
Tanpa diduga, ada beberapa
orang di pantai. Aku mengubur diriku ke dalam pasir. Sesekali, ada orang yang
berjalan melewatiku, menatapku seakan-akan aku ini orang gila. Aku tidak peduli
sama sekali. Aku berguling-guling di atas pasir seolah-olah itu adalah karpet rumahku
sendiri. Perasaan waktuku mulai menjadi lumpuh. Mungkin aku tidur sebentar,
mungkin juga tidak. Bahkan jika aku melakukannya, itu hanya untuk beberapa
detik. Itu menjadi malam, dan malam hari.
Tanpa aku sadari, ada petugas polisi
yang datang untuk memeriksaku.
"Apa kau baik-baik saja?"
Tanyanya.
"Aku baik-baik saja ... aku
masih normal," jawabku dengan monoton.
Dan kemudian ponselku berdering.
Aku langsung menjawabnya tanpa melihat layar.
"Maaf. Aku tidur kemarin.
Apa-apaan dengan pesan itu? Apa kamu mengkhawatirkanku? "
Suara Mamizu bisa terdengar.
Walau kedengarannya lemah.
"Ya. Maaf. Aku hanya
merasa sedikit cemas, "kataku.
"Takuya-kun ?! Apa kamu
menangis? "kata Mamizu, terdengar terkejut.
"Berisik. Aku nggak
menangis, kok. "Hanya itu saja yang bisa aku katakan.
uuu
Keesokan paginya, saat aku
mengunjungi ruangan Mamizu di rumah sakit, lengannya dikelilingi tabung tabung
aneh. Meski begitu, Mamizu tampak sangat ceria. Saat aku memasuki ruangan, dia
bangkit dan langsung menyambutku.
"Belakangan ini aku selalu
mengantuk, jadi aku sering tidur," katanya.
Apa Mamizu tidak tahu kalau
kemarin aku datang ke sini?
Yah, aku tidak peduli tentang
itu.
"Aku senang kau
hidup." Begitulah perasaanku. Aku hampir merasa seperti tertawa.
Jika Mamizu sehat, mungkin aku
bisa memikirkan lebih banyak hal mengenai dirinya.
Misalnya, ingin bersamanya
seperti begini lagi.
Atau ingin disukai olehnya.
Atau ingin diperlakukan baik
olehnya.
Atau ingin dia tidak berbohong
padaku.
Tapi semua itu telah terkelupas
layaknya kulit buah, satu demi satu, dan satu-satunya yang tersisa hanyalah
sebuah perasaan bahwa semuanya baik-baik saja selama dia masih hidup.
Ya, semuanya baik-baik saja
selama dia masih hidup.
"Ada apa,
Takuya-kun?"
Aku menutup mataku sesaat untuk
menahan perasaan ini.
"Jangan diam saja,"
kata Mamizu.
"Aku tidak punya
uang," ucapku.
"Hah? Apa kamu meminta
uang dariku? "
"Bukan begitu. Kemarin, Aku
pergi ke pantai dengan taksi dan semua uangku sudah habis, jadi aku dalam
masalah. "
"Kenapa kamu pergi ke
pantai?"
"Kupikir aku akan pergi
berenang, tapi kelihatannya terlalu dingin, jadi aku menyerah. Setelah itu,
seorang polisi mengira kalau aku ini semacam orang yang mencurigakan, jadi aku
diinterogasi. "
"Apa kamu bodoh?"
Tanya Mamizu.
"Mungkin saja. Jadi, aku
meminjam uang di pos polisi untuk pulang, "balasku.
"Membuat perjalanan
kembali merepotkan, ya."
"Memang, jaraknya cukup
jauh juga."
"Takuya-kun, ayo sini dengarkan."
Mamizu tiba-tiba memanggilku.
"Baiklah." Aku
mendekati tempat tidur Mamizu.
Aku sedikit gugup.
Mamizu mengulurkan tangannya untuk
meraih lenganku dan menarikku kuat-kuat.
Aku jatuh ke dadanya.
Aku bisa merasakan sensasi
lembut.
"Apa yang sedang kau
lakukan?" Tanyaku. Aku dipegang erat-erat. "Bukannya tadi kau bilang,
'dengar?'"
"Ya. Dengarkan suara detak
jantungku. "
Aku mendengarkan dengan
saksama, dan aku bisa mendengarnya dengan jelas.
"Ini masih berdetak
kencang, bukan?" Kata Mamizu.
Aku perlahan memeluknya.
"Wah, hei, aku susah
bernafas, nih!" Mamizu tertawa, wajahnya tampak memerah. "Lepaskan
aku, dasar cabul, hentai!"
Aku tidak mau melepaskannya.
"Takuya-kun, hatiku
sakit," kata Mamizu, mendorongku pergi. Tangannya masih memiliki tenaga di
dalamnya. "Hei, coba bayangkan. Jika orang yang kamu cintai meninggal,
rasanya akan menyakitkan. Ini akan melelahkan. Kamu takkan bisa melupakan
mereka. Kamu tidak menginginkan itu, ‘kan? Aku mencoba membayangkannya. Aku
pikir itu mustahil untuk hidup terus.Jadi, ayo hentikan ini, oke? Ayo kita
berhenti di sini. "
"Diam," kataku sambil
menatap matanya. "Aku tidak peduli apakah itu menyakitkan atau melelahkan.
Aku takkan pernah melupakanmu."
"Itu menyusahkanku," kata
Mamizu sambil mengalihkan tatapannya dan menutupi wajahnya.
"Aku mencintaimu."
Aku
akan berhenti melarikan diri dari perasaanku, pikirku. Aku tidak bisa
melepaskan diri dari rasa ini.
Aku ... kita , tidak bisa lepas
dari perasaan ini.
"Justru itu yang
menyusahkanku," katanya sambil berpaling dan menarik diri dariku. Dia
meringkuk seakan-akan takut pada sesuatu, seolah-olah dia takut akan hal itu.
"Mengapa?” Aku bertanya.
Mamizu terdiam untuk beberapa
lama. Aku tidak menengok jam, jadi aku tidak tahu berapa detik atau menitnya,
tapi kami berdua tetap diam, seolah-olah dunia masih berjalan. Namun, kami
tidak bergerak.
Lalu Mamizu menatapku.
Dia terus menatapku dalam diam.
Aku tidak memalingkan muka.
Kami saling menatap untuk waktu
yang lama.
Aku
takkan berpaling, pikirku. Aku merasa, ada sesuatu yang akan rusak jika aku
berpaling pada saat ini.
Mamizu menatapku seolah dia
marah.
Matanya
begitu cantik, pikirku.
Air mata mengalir dari mata
itu.
Seperti bendungan yang meledak,
begitu air matanya mulai mengalir, mereka mulai mengalir tanpa henti.
Meski begitu, aku terus
menatapnya tanpa bergerak sedikit pun.
Lalu, dia akhirnya mengucapkan
sesuatu.
"Karena aku juga
mencintaimu, Takuya-kun."
Aku berharap, waktu akan
berhenti pada saat ini.
uuuu
Terkadang, saat aku merenungkan
fakta kalau Mamizu akan segera meninggal, membuatku merasa kalau sebaiknya aku juga mati.
Semua manusia akan meninggal
suatu hari nanti. Cepat atau lambat, mereka pasti mati.
Jika begitu, apakah aku meninggal
sekarang atau nanti, tidak masalah, bukan? Pemikiran seperti itu kadang
melintas di kepalaku.
Sepertinya aku tidak bisa
menghadapi kenyataan yang kejam, bahwa dunia ini akan terus berlanjut bahkan
setelah Mamizu pergi. Aku mungkin merasa baik-baik saja jika semua umat manusia
lahir pada saat bersamaan dan meninggal pada saat bersamaan, pikirku.
Aku pikir dunia ini sangat kejam.
Aku tidak tahu makna di balik kehidupan.
Ini bukan sesuatu yang baru saja dimulai; Aku sudah lama memikirkan hal ini.
"Akhir-akhir ini kau
terlihat mengerikan," ejek Kayama padaku pas waktu istirahat makan siang.
"Jangan sembarangan,"
kataku.
"Kau tidak sedang
memikirkan sesuatu yang aneh, kan?"
"Apa maksudmu, 'sesuatu yang aneh?'"
Kayama terdiam.
"Apa wajahku terlihat
seperti aku akan lari ke gedung DPR sambil membawa bom atau semacamnya?"
Tanyaku.
"Ya. Sepertinya Kau ingin
menyerbu sekolah khusus perempuan. "
"Apa kau mau melakukannya
bersamaku?"
"Aku akan bergabung
denganmu kapan saja."
Aku tertawa sedikit.
Kayama pun ikut tertawa.
"Terima kasih,
Kayama," kataku.
"Bagaimana dengan Watarase
Mamizu?" Tanya Kayama.
"Tidak ada yang akan terjadi."
Jawabku dengan jujur.
"Lalu lakukanlah sesuatu.
Kau ini cowok, ‘kan? "
Aku ingin menyanggah, "Ini
bukan masalah menjadi cowok atau cewek, bukan?" Tapi sepertinya ini hanya
akan menghasilkan percakapan tanpa tujuan, jadi aku tidak mengatakannya.
"Apa yang harus aku
lakukan?" Tanyaku, tidak mengharapkan jawaban.
"Kau hanya perlu berada di
sisinya dan mendengarkannya." Balasan Kayama adalah sesuatu yang sangat
jelas. Itu seperti kepingan nasihat yang biasa diberikan untuk pasangan normal.
"Kurasa begitu,"
jawabku singkat.
uuuu
Mamizu dan aku terus menghitung
hari saat kami menghabiskan waktu bersama. Kondisinya sering berubah-ubah,
kadang kala membaik dan terkadang juga semakin parah. Ada kalanya dia tidak
boleh dikunjungi, sama seperti sebelumnya. Meski begitu, saat keadaannya
membaik, kami bisa melakukan percakapan seperti biasa. Mamizu tidak memintaku
melakukan 'hal-hal yang ingin dia lakukan
sebelum dia meninggal' lagi.
"Apa kau tidak ingin melakukan
sesuatu?" kataku di hari tertentu.
"Kalau begitu ... aku
ingin mencoba berciuman," kata Mamizu.
"Itu berarti, seperti
biasa, aku harus pergi ke suatu tempat dan mencium seseorang untuk menggantikan
tempatmu, ‘kan, Mamizu?"
"Betul. Kamu hanya perlu
pergi ke luar dan mencium siapa pun yang ingin kamu cium, Takuya-kun! Hei,
tunggu, ah! "
Aku mencoba mendorong Mamizu ke
bawah dan menciumnya dengan paksa. Dia berjuang dan menolak.
"Tunggu! Ini terlalu
awal!"
Dia berjuang keras sampai
segitunya jadi aku berhenti.
"Aku mencintaimu,
Takuya-kun. Aku minta maaf atas segalanya sampai sekarang, "kata Mamizu,
seolah menghiburku karena tidak bisa menciumnya. "Hei, mungkin kita seharusnya
jujur seperti ini? Sekarang sudah agak terlambat, ya? "
"Yah ... tapi itu penting
buat kita. Jika hal seperti ini tidak terjadi, hubungan kita pasti berbeda. Kita
mungkin takkan saling mengenal. Jadi tidak apa-apa seperti ini, "kataku.
"Seperti bola salju yang
tidak menarik itu?" sindir Mamizu, menunjuk bola salju di samping tempat
tidurnya. Bola salju yang aku buat ulang dengan memakai botol kaca. Miniatur rumah
kayu yang sama ada di dalamnya.
"Apa kau tidak
menyukainya?"
"Bentuknya sedikit berbeda,
tapi ... kurasa aku bisa merasakan cinta di dalamnya."
uuu
Belakangan ini, aku merasa
sulit untuk tidur.
Jadi, sebagai gantinya aku tertidur
di kelas. Aku tidak melakukan apapun kecuali tidur di siang hari, jadi gaya
hidupku berubah menjadi nokturnal.
Aku terbangun di malam hari.
Aku melihat jam yang menunjukkan pukul 2 dinihari. Kurang dari satu jam telah
berlalu sejak aku tertidur. Aku mencoba tidur lagi, tapi sepertinya mustahil.
Aku tidak tahu harus melakukan
apa, jadi aku mulai bersih-bersih kamar.
Aslinya, kamarku tidak perlu
dibersihkan; Ini hanya pengalihan selama aku bisa membenamkan diri di dalamnya
dan berada dalam keadaan tidak berpikir.
Kamarku penuh dengan hal-hal
yang tidak aku butuhkan. Kurasa aku akan
membuang semuanya, pikirku.
Ada tali di dalam laci mejaku
saat aku ingin membersihkan meja.
Itu adalah sesuatu yang kuambil
dari kamar kakakku Meiko dan tersembunyi di kamarku sendiri.
rrr
Meiko sering melamun setelah
pacarnya meninggal dalam kecelakaan lalu lintas.
Meski begitu, aku pikir dia
mencoba bersikap ceria saat di hadapanku.
Saat itu aku baru masuk sekolah
SMP, dan mungkin dari sudut pandang Meiko, aku ini masih terlalu kecil untuk seseorang yang bisa di ajak curhat mengenai
masalahnya.
Begitulah sifat Meiko, tapi aku
mengkhawatirkannya.
Suatu hari, saat aku tak
sengaja masuk ke kamarnya, Meiko sedang melakukan sesuatu yang aneh.
Dia mengikat seutas tali yang
berbentuk lingkaran.
"Apa yang sedang kau
lakukan?" Tanyaku.
"Kamu harus belajar
mengetuk, Takuya," Ucap kakakku dengan marah.
"Apa yang akan kau lakukan
dengan itu?"
"Anggap apa yang sudah
kamu lihat hari ini tidak pernah terjadi. Pastikan kamu merahasiakannya, bahkan
dari ibu, oke? "
"Kenapa?"
"Karena, martabat
seseorang tergantung padanya."
Waktu itu, aku sama sekali
tidak mengerti arti di balik kata-kata Meiko.
Tapi, ekspresi Meiko sangat
serius sehingga aku tidak punya pilihan selain menjawab, "Baiklah."
Aku tidak tahu maksud perkataannya,
tapi bukan berarti aku tidak tahu arti di balik tali itu.
Keesokan harinya, sebuah mobil
menabrak Meiko saat dia sedang menyeberang jalan, dan dia meninggal.
Dikatakan bahwa dia mencoba
berlari melintasi jalan tanpa ada lampu lalu lintas atau semacamnya, di mana
mobil sering bolak-balik dengan kecepatan tinggi.
Tidak ada yang tahu mengapa dia
bertindak sembrono begitu.
Tapi sebelum diadakannya
pemakaman Meiko, aku teringat tali itu. Aku masuk ke dalam kamar Meiko,
mengambil tali itu dan menyembunyikannya di kamarku sendiri. Aku tidak pernah
memberitahu siapa pun tentang hal itu. Aku punya firasat kalau itu adalah
sesuatu yang seharusnya tidak kukatakan pada siapa pun.
Sekarang, aku merasa bisa
memahami arti 'martabat' yang telah disebutkan Meiko.
Setelah mengenang masa lalu, aku
mencoba melewati kepalaku melalui lingkaran yang dibuat Meiko dengan tali itu.
Aku memejamkan mata sedikit dan
berbaring.
Aku merasa bahwa aku mungkin
bisa bertemu dengan Meiko dalam mimpiku jika aku melakukan itu.
uuuu
Aku memutuskan untuk berhenti
dari pekerjaanku di maid kafe. Karena aku benar-benar tidak dapat
berkonsentrasi, aku selalu menyebabkan masalah bagi semua orang. Tapi, alasan
terbesarku adalah karena aku ingin menghargai waktu yang bisa aku habiskan
bersama Mamizu.
Tapi saat aku memberi tahu
Owner kalau aku akan berhenti, mendadak aku merasa sangat sedih. Hargailah hari-hari yang tersisa. Aku
merasa bila berhenti dari pekerjaan part-time karena alasan itu, sama saja
dengan aku sudah menerima kematian Mamizu. Aku merasa sedikit lelah saat
pemikiran itu terlintas di kepalaku.
Setelah shift terakhirku selesai, aku bersama Riko-chan-san dalam
perjalanan pulang seperti biasa.
"Apa kamu baik-baik saja?"
Riko-chan-san bertanya kepadaku. Ini sudah ke-30 kalinya dia bertanya sejak
kami mulai berjalan. Rasanya menjadi sedikit menjengkelkan.
Tapi menyadari kalau aku
mungkin membuat wajah yang tidak terlihat baik, aku tidak ingin menjawabnya.
Sebenarnya, perasaan bersalahku terjadi sebelum rasa jengkelku.
"Aku baik-baik saja,"
kataku.
Lampu berubah dari hijau menjadi
merah. Aku tidak memperhatikannya. Tanpa kusadari, aku sudah mengembangkan
kebiasaan berjalan dengan kepala menghadap ke bawah.
Riko-chan-san lebih dulu menyeberangi
persimpangan, lalu berbalik, dan memanggilku."Okada-kun, berbahaya kalau
kamu tidak berjalan cepat dan menyeberang."
Aku melihat ke sekeliling dan
melihat bahwa lalu lintasnya jarang. Hanya ada satu mobil yang mendekat.
"Aku baik-baik saja,"
kataku.
Tubuhku entah bagaimana
kehilangan kekuatannya, dan aku menatap mobil yang mendekat dengan linglung.
Aku perhatikan bahwa itu adalah
model mobil yang sama yang pernah menabarak kakakku, Meiko.
Pada saat itu, aku merasakan sebuah
sensasi aneh yang masuk ke dalam kesadaranku.
Aku merasa, jika aku berdiri di
sana sedikit lebih lama, aku akan mengerti perasaan Meiko.
Aku tidak bisa melangkah
sedikit pun.
Rasanya seperti berada dalam
keadaan sleep paralysis.
Riko-chan-san meneriakkan
sesuatu, menyeretku kembali ke akal sehatku. Saat aku sadar, dia ada di
depanku. Dia menempatkan dirinya di antara diriku dan mobil.
"BERHENTI!"
Mobil tersebut langsung menginjak
rem dan berhenti tepat pada waktunya sebelum menabrak Riko-chan-san.
Riko-chan-san menarikku dengan paksa ke jalan seberang.
Dia memelototiku dengan tatapan
mengerikannya. Kupikir dia akan mengatakan sesuatu padaku. Kupikir tidak
apa-apa kalau dia mengatakan sesuatu padaku. Tapi nyatanya dia hanya diam.Dia
mengangkat tangannya. Kupikir dia akan menamparku, tapi ternyata tidak. Sebagai
gantinya, tangannya menyentuh pipiku.
Riko-chan-san menangis.
Kenapa
kau menangis? Pikirku.
"Okada-kun, hatimu
hancur," kata Riko-chan-san, dan setelah itu, dia berbalik memunggungiku
dan berjalan pergi.
Aku berdiri dengan linglung di
jalan setapak untuk waktu yang lama.