Hari
18: Panggilan Mary-san
“Ada apa, Mary? Tumben sekali
kau menelepon di jam segini.”
Usai selesai makan malam, ada
panggilan masuk saat aku tengah bermalas-malasan di ruang tengah. Saat aku
berbicara dengan gadis di sisi telepon, aku langsung duduk dengan benar di
kursi…..tidak, daripada dibilang langka, ini baru pertama kalinya si Mary
menelponku di jam segini. Maksudku, biasanya dia menelpon dari siang sampai
sore, dan kami berbicara sepanjang sore hari.
Itu sebabnya, aku pikir
hubunganku dengan Mary sudah sedikit lebih dekat.
“Apa mungkin kau merasa
kesepian dan butuh seseorang untuk diajak bicara?”
Intinya, bisa dibilang,
perkataanku tadi adalah sesuatu demi menyembunyikan rasa maluku. Aku senang karena
Mary menelponku di luar jam biasanya, dan demi memastikan kalau dia tidak
menyadari hal itu, kurasa aku akan menggodanya sedikit.
Itu sebabnya…..
“Selamat
malam, Akira ... itu benar. Apa kamu mau berbicara denganku?”
... usai mendengar
kata-katanya, aku merasa ada sesuatu yang aneh. Apa Mary selalu jujur begini?
Dia seharusnya lebih malu-malu, lebih keras kepala, lebih ...
... Tidak, jadi begitu ya. Bukan
bagian itu yang bikin aneh, tapi nada suaranya. Ketika suara Mary tidak jauh
berbeda dari biasanya, nada suaranya sekarang begitu manis nan indah. Suaranya
dengan lembut memasuki telingaku, mencair ke otakku. Walau dengan suara yang
lucu, namun berisi warna yang hampir menjijikkan, suara menjijikkan yang menyanjung.
... Jelas sekali ada sesuatu
yang salah pada Mary.
Mary yang aku kenal bukanlah seorang gadis yang bersuara lembut
dan membuat leleh mitra percakapan nya. Dipenuhi
dengat semangat, jenis suara yang hanya dengan mendengarnya saja sudah
membuatku ceria, dialah gadis yang bersuara terang layaknya matahari, gadis yang
bernama Mary.
Dan keraguanku semakin
bertambah kuat dengan apa yang dia katakan selanjutnya.
“...
Itu benar, aku seharusnya melakakukan ini dari awal. Akira, maukah kau
berbicara denganku selama-lamanya?”
“... Hah?”
“Pagi
dan sore, siang dan malam, tolong berbicaralah denganku selamanya. Jika Kau
melakukannya, aku yakin tak ada lagi yang kutakutkan. Selama aku memilikimu,
aku yakin aku bisa bahagia ... mengapa membutuhkan waktu yang lama bagiku untuk
menyadarinya? Jika aku menyadarinya lebih cepat, lalu, untuk waktu yang lebih
lama, aku bisa ...”
“Tunggu ... tunggu sebentar.”
Aku tidak tahan untuk
mendengarkan suara itu lagi, aku menyela kata-kata Mary.
“Kau ini siapa?”
“...
Kamu ini bicara apa? Ini aku, Mary. Mary yang selama bercakap-cakap denganmu,
dan orang yang akan berbicara denganmu di masa yang akan datang.”
“... Nah, itu justru aneh. Mary
yang aku kenal tidak semanis ini padaku, dia adalah seorang gadis tsundere tomboy lucu yang tidak tahu
kapan harus menyerah.”
... Ini membuatku jengkel. Untuk
beberapa alasan, ini sangat menjengkelkan.
Aku seharusnya bukan orang yang
mudah marah, tapi kenapa aku merasa begitu sangat jengkel kali ini? Aku tidak
tahu jelas apa yang membuatku jengkel, tapi, ini sangat menjengkelkan.
Seraya menahan rasa jengkelku, aku
bertanya Maria.
“... Oy, Mary.”
“Ya,
ada apa, Akira?”
“Aku tidak bisa mendengarnya,
suara dari langkah kakimu ... apa yang terjadi?”
“Ah
... aku tidak melakukan itu lagi.”
"… Ah?"
Demi argumen. cuma demi
argumen, pada saat ini, aku pasti masih memiliki waktu luang di hatiku untuk
mencoba dan membuat percakapan yang tenang dengan Mary.
Tapi ... kata-kata tersebut,
sangat menusuk hatiku.
Rasa jengkel yang sedari tadi
kutahan mulai meluap keluar.
“Oy, coba katakan itu sekali
lagi.”
“... aku tidak melakukan itu lagi. Maksudku, bukankah itu benar? Apa
yang harus aku lakukan hanyalah menyerah untuk berjalan. Menyerah untuk menjadi
Mary-san, dan berbicara denganmu selama-lamanya. Maksudku, aku yakin yang
begitu jauh lebih menyenangkan. Hei, Akira, kamu juga setuju ‘kan ...”
“Hah?”
Urat pembuluh darah muncul di
kepalaku.
“Jangan bercanda denganku!?.”
“Aku
tidak sedang bercanda. Aku sudah ... “
“Dan kubilang padamu, apa yang
sedang kau lakukan sekarang cuma main-main!?.”
“
... Ini tidak ada hubungannya denganmu. Entah aku berhenti menjadi Mary-san
atau menyerah, ini semua tidak ada hubungannya denganmu, Akira.”
“Tentu saja itu ada hubungannya
denganku ... Oy, apa kau mengira aku ini bodoh? Temanku, Temanku yang tersayang
Mary bukanlah seseorang yang mudah menyerah begitu saja …... Siapa kau? Menyerah?
Aku tidak tahu Mary yang mengoceh sesuatu seperti itu.”
“... Mengapa kamu mengatakan hal seperti itu?”
"Astaga! Kau tidak mengerti
jika aku tidak mengejanya dengan jelas ya!?”
Aku berteriak. Mary yang
setengah-setengah ini bukanlah Mary yang aku tahu.
... Bahkan aku tahu. Setidaknya,
aku bisa mengerti, rasanya tidak masuk akal untuk marah hanya karena seseorang
mengatakan sesuatu yang berbeda dari apa yang ada di pikiran mereka ... tapi,
kau tahu , entah itu masuk akal atau tidak, kekesalan yang melewati semua omong
kosong itu adalah 'kemarahan'.
Cukup mengikuti emosiku
sendiri, aku merasa marah.
“Seorang Mary yang menyerah
untuk menjadi Mary-san bukanlah temanku, itulah yang ingin aku coba katakan.”
“...
Itu ... tidak bisa.”
“Ini membuatku kesal. Jangan
coba-coba mengatakan sesuatu lagi. Jika kau ingin menangis, silahkan lakukan.
Dan jangan telpon aku lagi “.
“…...
-!”
Usai mengatakan itu, aku
mendengar suara tersendat dari sisi lain telepon.
Seolah-olah dia bahkan tidak
mencoba untuk berpura-pura tenang sebelumnya, seolah-olah dia telah kehilangan
semua penopang yang selama ini membantunya.
Seolah-olah hanya itu saja ang
dia punya, Mary mulai jatuh panik.
“…
Maksudku. Maksudku, maksudku, maksudku, maksudkumaksudku maksudkumaksudku! Lalu
apa yang harus aku lakukan! Aku tidak bisa melakukannya lagi, aku tidak bisa
menerimanya! Untuk berjalan, mustahil
bagiku untuk melakukannya! Itu karena aku telah belajar bahwa ...!”
“... Jika kau mau berbicara, katakan
yang lebih sederhana biar aku dapat mengerti.”
“...
Aku takut.”
Mary merubah nada suaranya,
yang tadinya tenang, sekarang ada rasa takut saat dia mengatakannya.
“…
Ada kecelakaan. Sebuah mobil hampir menabrakku. Aku takut, saat aku berpikir
tentang apa yang akan terjadi jika itu benar-benar menabrak, saat aku berpikir
tidak mampu untuk menyelamatkannya, saat aku memikirkan hanya aku yang
sattu-satunya selamat, dan malah melihat mayatnya ...! ...rasanya menakutkan,
begitu menakutkan, dan aku tidak bisa berjalan lagi.”
“...”
“...
Meski mereka berdua sama-sama meninggal, waktu kematian paman rasanya
menyedihkan, tapi tidak begitu menakutkan. Paman hanya menjalani hidupnya
sampai akhir, tersenyum di saat-saat terakhir. Karena ia menatapku, ia
tersenyum ...!”
“...”
“Aku
seharusnya tidak perlu tahu. Bahwa ada ketakutan yang tidak masuk akal di dunia
ini, Aku seharusnya tidak perlu tahu. Bahwa ada kehidupan yang mungkin mati di
depan mataku tanpa aku mampu melakukan sesuatu tentang hal itu, aku seharusnya
jangan mengetahuinya. Jika aku tidak tahu, aku yakin kalau aku masih bisa terus
berjalan ... tapi aku mengetahuinya, aku menemukan hal tersebut. Jadi ... Aku
tidak bisa melakukannya lagi.”
"… Begitu ya."
Sementara mendengarkan kata-katanya,
kepalaku mendingin.
... Aku tidak tahu apa yang sebenarnya
terjadi. Bahkan jika aku tahu, aku yakin itu adalah sesuatu yang takkan mampu
kupahami. Tapi pada saat ini, gadis yang bernama Mary ini pasti sedang ketakutan.
Mengetahui adanya keputusasaan yang mana membuatnya tidak berdaya, dia gemetar
ketakutan.
... Seperti yang kuduga, aku
tidak bisa membaca suasana atau isi hati orang.
Aku bahkan tidak mencoba untuk
mencari tahu apa yang Mary pikirkan saat dia mengatakan hal seperti itu, aku
hanya tidak bisa menerima apa yang dia katakan dan membentaknya.
Aku pikir itu sebuah kegagalan.
Itu sebabnya aku ingin melakukan apa yang aku bisa. Saat aku hendak mencoba
kemampuanku untuk memberi kata-kata penghibur pada Mary ...
“... Aku yakin tak ada gunanya orang gagal seperti diriku untuk
mencobanya.”
Kata penghibur yang hendak
kuucapkan terhenti di kerongkonganku.
“Aku
bahkan dari awal bukanlah legenda urban. Sebuah kegagalan yang alami. Tersapu
oleh emosi sesaat. Aku membiarkan hatiku menari riang tanpa tahu batasan diri.”
“... Oy, diam….”
“Aku
mencoba begitu keras seperti orang idiot, ‘kan.”
“Diam…...”
“...
Jadi setidaknya, Kamu bisa menertawakanku.”
Aku mendengar suara benturan
keras. Itu suara dari kursi yang jatuh karena aku berdiri.
Aku mendengar bentakan dalam
kepalaku. Satu, dua, mungkin tiga urat pembuluh darah bermunculan.
Ah ............... terserah.
Aku tak lagi peduli dengan apa yang dia katakan. Orang bodoh hanya mengucapakan
beberapa omong kosong yang bodoh pula. Apa kau ini bodoh? Apa kau tidak punya
pikiran sama sekali? Kenapa kau bisa membuatku begitu marah? ... Tidak, tidak, jika
dia memang bertujuan untuk itu, maka dia pasti kujuluki ahli strategi. Dia
benar-benar hanya pengecut tanpa harapan.
Aku mengambil napas dalam-dalam,
mengisap udara dengan sekuat tenaga, menggunakan semua kekuatanku untuk
berteriak.
“Dasar bodooooooohhhhhhh!!!!”
“Heh?
Eh? ... Eh?”
“Bodoh! Idiooooooot! Aaah, buat
aku kesal saja, Mary, Kau benar-benar seseorang yang sangat, sangat, sangat,
sangat, sangat, bodohhhhhhhh!”
“Eh?
... Heh !?”
Aku meluapkan kekesalanku pada
Mary yang kebingungan.
“Aku selalu berpikir kau ini
sedikit bodoh, tapi aku tak pernah menyangka sampai segini parahnya! Demi dewa bumi,
bagaimana mungkin kau mencapai kesimpulan itu? Mengapa kau berpikir seperti itu
!? Ada hal yang disebut melihat sesuatu secara objektif, dan semilimeter saja
sudah cukup, setidaknya coba menerapkan prinsip tersebut ,dasar Mary bodoh!”
“Ap
... apa !?”
“Kau lebih baik mengosongkan
kepala bodohmu itu; bahkan, bila kau mendapatkan ide, kau hanya bisa mencapai
kesimpulan tak berguna, bodoh! Ah, ini pasti yang begitu, tidak, tidak, tidak
mungkin seperti itu, pasti otakmu itu lebih halus daripada cermin manapun jadi
tak bisa memahami apa yang kukatakan, bukan !?”
“Apa.
Apa yang ingin kamu katakan…!?"
Suara Mary penuh dengan
kemarahan.
Siapa juga yang peduli, aku
terus meluapkan kekesalanku padanya.
“Aku akan mengatakannya lagi,
lagi, dan lagi, dasar bodoh! Kau! Adalah! Seorang! Idiot! Kepala kosong!
Kebodohanmu sudah tersaring secara alami!”
“La-Lagi-lagi
kau bilang aku ...!”
“Apa?! Kau bahkan tidak bisa
marah seperti kebanyakan masyarakat biasa!?
Merasa terdesak oleh semua orang tanpa penilaian kritis untuk menyeberangi
jalanan yang sibuk pada waktu lampu merah !? Nah, kau memang hebat, mulai lagi saja
dari TK, bodoh!”
Balasan yang aku dengar adalah
suara yang pernah aku dengar saat pertama kali dulu.
“... Tolong jangan bercanda denganku!”
... Mary berteriak marah.
“Mengatakan
sesuatu seenaknya saja seperti itu!? Mengapa kamu mengatakan sesuatu seperti
itu?! Hey, bagaimana bisa kau setega itu !? ... Aku sudah mencoba yang terbaik!
Aku berusaha dan terus berusaha, aku terus berjalan baik matahari terbit atau
tenggelam,bahkan saat aku merasa kesepian, aku terus berjalan tanpa menitiikkan
air mata sedikitpun! ... Tapi, meski begitu! Meski begitu, aku takut! Aku
takut, sangat takut sampai-sampai tidak bisa menahannya, mengapa kamu tega
mengatakan itu, Akira !?”
Hmph, aku hanya
membalasnya dengan mendengus.
Jika kau sangat memahaminya,
lantas, kenapa kau tidak bisa memahami bagian yang paling penting?
“Akira,
apa kamu bisa memahami rasa sakitku!? Akira, apa kau memahami sesuatu tentang
diriku !? ... Kamu tidak bisa memahaminya, ‘kan! Karena, Akira, Kamu tidak
melakukan apa-apa! Bersembunyi di ruangan itu, Kau hanyalah mahasiswa yang
tidak berguna yang suka bermalas-malasan!”
Aku kira-kira menggaruk
kepalaku.
… Kau benar. Orang semacam
begitulah diriku.
Tapi….kau tahu….
“Seseorang
sepertimu! ... Seseorang yang tidak pernah berusaha takkan bisa memahamiku!?”
... Meski begitu, aku bisa
mengetahui apa yang gagal kau pahami.
Usai Mary mengeluarkan
kemarahannya dan kehabisan napas, aku berteriak.
“Itu sebabnya mengapa, kau itu
bodoh, Mary!”
“……...
!?”
“Sekarang dengarkan baik-baik
... persis seperti yang kau katakan, aku hanya seorang mahasiswa. Hidup
sembarangan, menghabiskan waktuku seenaknya, menghadiri kuliah sesuka hati. Itu
sebabnya aku tidak mengerti sedikit pun rasa sakitmu, dan juga tidak berusaha
untuk memahaminya! Lagian dari awal, untuk seorang pria yang lupa kata kerja
keras sebelum ia meninggalkan rahim, mana mungkin aku bisa bersimpati denganmu.
Meski kau tak mengatakan itu, aku sendiri sudah memahaminya! ... Tapi kau tahu!”
Aku tahu. Bahkan jika Mary
tidak memberitahuku, aku sudah tahu.
Aku hanya seorang pemuda yang
setengah-setengah.
Melupakan mimpi, gairah dan
tujuan yang tidak bisa aku ingat, seorang pemuda yang hanya menjalani hidup
serampangan karena tubuhku tidak mati.
Tentu, aku tidak punya motivasi
atau keyakinan. Aku menjalani kuliah supaya bisa menerima uang saku dari orang
tuaku, seorang pemuda tanpa harapan.
Dan aku menyadari akan hal itu
... itu sebabnya…..
“Kau sudah bekerja keras, ‘kan
...!”
Aku hanya mengelurakan
pendapatku yang jujur pada Mary.
“Demi tujuanmu, demi apa yang
kau inginkan, kau berjalan melintasi Jepang ... !? Bodoh! Mana mungkin aku bisa
melakukan sesuatu seperti itu! Apa kau ini bodoh !? Kau pasti orang bodoh yang
sudah berusaha keras! Mustahil aku bisa menirumu, dan aku juga tidak pernah mau
mencobanya!”
Mary benar-benar orang bodoh.
Mengapa dia tidak menyadarinya?
Itu fakta sederhana yang mana
bahkan aku sendiri bisa memahaminya.
“- Itu sebabnya kau ini luar
biasa!”
“…...
Eh?”
“Jauh lebih baik daripada
seseorang yang menghabiskan sepanjang waktunya melakukan hal yang sia-sia,
menjalani kehidupannya seolah-olah Ia sudah meninggal, jauh lebih baik dari
orang lain yang aku tahu, Mary adalah seseorang yang sudah berusaha sangat,
sangat keras! Aku sendiri bisa memahami itu! ... tapi, tapi! Kenapa kau malah
mengejek dirimu sendiri !? Itu gila, itu tidak masuk akal! Jangan terus
mengumbar omong kosong, aku takkan membiarkanmu mengolok-olok Mary! Upaya Mary
pasti bukanlah hal yang sia-sia! Jadi, ...!”
Mungkin rasanya kurang etis
bagi seseorang yang kerjaannya cuma malas-malasan untuk mengatakan sesuatu
seperti itu kepada seseorang yang sudah bekerja keras.
Ini mungkin sedikit aneh bagiku
untuk mengatakan hal seperti itu kepada Mary.
... Tapi, meski begitu….
“Kau harusnya jangan menyerah!
Jangan pernah menyerah, Mary ...!”
Kata-kataku tak dibantah oleh
Mary.
Setelah beberapa detik
kemudian, dia bergumam.
“...
Terima kasih, Akira. Hanya mendengar hal itu saja sudah membuatku merasa
dihargai. Apa yang aku lakukan sampai sekarang tidaklah sia-sia, aku pikir ...
tapi….”
“... Tapi apa?”
“Aku
bukan orang yang kuat. Aku sudah menyerah untuk menjadi Mary dari waktu
dulu-dulu hari. Itu sebabnya, tidak ada gunanya kamu mengatakan hal seperti itu
untukku ...”
Mendengar itu, aku mendesah.
“Kau memang tidak berbohong,
tapi kau tidak mengatakan yang sebenarnya.”
“...
Itu semua benar. Aku sudah ... “
“Coba katakan lagi kalau kau
tidak ingin menjadi Mary-san.”
“
Su-Sudah kubilang. Aku sudah menye-“
“Salah, bukan, 'aku sudah menyerah untuk menjadi Mary-san',
tapi coba katakan, 'Aku tidak ingin
menjadi Mary-san'. Ayo coba katakan lagi.”
“...
Itu mudah. Aku ... tidak ingin ...”
Keheningan pun terjadi.
Mary tidak bisa melanjutkan
perkataannya.
“Tuh ‘kan, aku benar.”
“...
Ka-Kamu salah. Bukan berarti aku tidak bisa mengatakan itu.”
“Aku yang salah mengucapkannya.
Dengar baik-baik, aku akan mengejanya dengan jelas.”
Mengapa Mary sendiri tidak
memahami sesuatu yang aku sendiri bisa pahami?
... Seberapa canggungnya dia?
“Kau ingin menjadi Mary-san,
bukan?.”
“……....”
“Maksudku, kau belum mengatakan
satu pun kalau kau muak menjadi Mary-san. Ini bukan berarti kalau kau tidak ingin menjadi Mary-san, kau
hanya takut berjalan. Karena kau tak berdaya atau beberapa alasan konyol
semacamnya, Kau mencoba untuk menyerah. Saat kau bilang kalau kau ingin membuat
seseorang tersenyum, itu tidak bohong, dan kau tidak bisa berbohong... bukankah
itu benar?”
“...
Meski ini ...”
Respon suaranya hampir menangis.
“Apa
yang namanya mustahil tetap saja mustahil.”
Mary berbicara seolah
menyemburkan segala sesuatu yang mengganjal perasaannya.
“Aku
tidak bisa melakukannya lagi. Sampai saat ini, tak peduli seberapa menyakitkan
itu, aku bisa terus berjalan tanpa khawatir. Tapi itu tidak berguna lagi ...
Akira, Kamu bilang kalau aku masih ingin menjadi Mary-san ... ya, Kamu tidak
salah sama sekali. Aku sangat ingin menjadi Mary-san. kekaguman ini, keinginan
ini masih belum hilang dari dalam diriku.”
Tapi….
Lanjut Mary.
'Tapi,
meski begitu ... aku menyerah. Ada ketakutan yang melebihi keinginan ini. Sehingga,
rasanya sangat mustahil bagiku.'
“... Jadi kau tidak mampu
melakukan yang terbaik lagi?”
“...
Iya.”
Suara itu begitu sunyi, namun
disertai dengan berat yang pasti, yang mana hal itu membuatku menahan napas.
Sebuah keinginan ... keinginan
untuk menjadi Mary-san.
Bukan yang palsu, bukan pula
imitasi, sebuah keinginan untuk menjadi Mary-san yang asli. Aku yakin itulah
penopang Mary, dan itu pula yang menjadi dasarnya. Tapi, bagian paling tersebut
hampir runtuh.
Itu masih belum benar-benar
rusak. Tapi kalau dilihat-lihat, hal tersebut takkan lama lagi akan rusak, dan
tak ada cara lagi untuk mengembalikannya ... meski itu hanya firasat. Hanya sebuah firasat
dari sembarang manusia tanpa kekuatan spiritual. Tapi pada saat yang sama, anehnya
aku merasa yakin kalau firasat itu benar.
Itu sebabnya, aku memberitahu
Mary.
“... Dengar, Mary. Aku akan
mengatakan sesuatu yang egois.”
Ini adalah keinginanku sendiri,
aku tidak tahu apa Mary sendiri menginginkannya atau tidak. Tapi, meski begitu,
aku ingin Mary tetap menjadi Mary yang kukenal.
Itu sebabnya ... Aku takkan
membiarkan dia menyerah.
“Hanya untuk sekarang
.......lakukanlah demi diriku.”
“...
Eh?”
Mary tampaknya tidak mengerti apa yang aku katakan.
Jadi, aku mengatakan sesuatu yang jauh lebih jelas agar dia dapat memahaminya.
“Jika kau tidak bisa
melakukannya demi dirimu lagi, kalau begitu, lakukanlah demi diriku. Lakukanlah
demi pemuda yang terkesan karena kerja kerasmu, tolonglah…..jangan menyerah ...
. Aku mohon padamu."
Ada keheningan sejenak, dan
beberapa saat kemudian, Mary berbicara.
“Kamu
menyuruhku untuk terus melakukannya ...? Ketika aku tidak ingin melakukan
sesuatu yang menyakitkan lagi, saat tidak ada akhir yang terlihat, Kamu masih
bilang kalau aku harus terus berjalan ...?”
“Ya. Teruslah berjalan demi diriku.
Jadilah Mary-san demi diriku. Aku ingin kau menjadi Mary-san.”
“...
I-Itu egois. Itu hanya keegoisanmu!”
“Itu benar ... Aku adalah
seorang pemuda egois, aku sangat menyadari itu.”
“...
Apa ... maksudmu?”
Aku melirik arloji di tanganku.
... hampir jam sepuluh malam.
Tanpa menjawab pertanyaan Mary,
aku memberitahu keputusanku sendiri.
“Maaf, tapi panggilan harus
berakhir di sini. Aku punya beberapa urusan yang harus kulakukan ... sampai
jumpa lagi.”
“A-Akira?
... Akira !?”
Aku menekan tombol “Akhiri
Panggilan”.
Ada telepon masuk dari Mary,
tapi aku mengabaikannya.
Aku meraih jaket motor yang tergantung
di dinding, mengambil beberapa catatan dari dompetku dan memasukkannya ke dalam
saku. Aku mengambil kunci motorku di mejaku, dan membawa helm full face milikku sambil buru-buru ke
tempat parkir.
Benda yang tergelat di sana –yang belakangan ini diabaikan - adalah
sepeda motorku. Aku memasukkan kunci, menekan starter, dan menyalakan mesin.
“... Tunggu saja, Mary-san
dalam pelatihan.”
Suara knalpot bergema
digelapnya malam kota, aku langsung mengendarai motorku dengan cepat.
Tentu saja, tujuanku adalah
tempat dimana legenda urban bodoh itu berada.
“Aku akan membuatmu menjadi
Mary-san. Jika kau tidak bisa berjalan lagi, maka aku sendiri yang akan pergi
dan menemuimu ... jadi janganlah menyerah. Kau sebaiknya tidak menyerah sebelum
aku sampai di sana ... Mary.”
Tags:
Short Story