Mary-san Comes on Foot Chapter 07 Bahasa Indonesia




Hari 18: Panggilan Mary-san

“Ada apa, Mary? Tumben sekali kau menelepon di jam segini.”
Usai selesai makan malam, ada panggilan masuk saat aku tengah bermalas-malasan di ruang tengah. Saat aku berbicara dengan gadis di sisi telepon, aku langsung duduk dengan benar di kursi…..tidak, daripada dibilang langka, ini baru pertama kalinya si Mary menelponku di jam segini. Maksudku, biasanya dia menelpon dari siang sampai sore, dan kami berbicara sepanjang sore hari.
Itu sebabnya, aku pikir hubunganku dengan Mary sudah sedikit lebih dekat.
“Apa mungkin kau merasa kesepian dan butuh seseorang untuk diajak bicara?”
Intinya, bisa dibilang, perkataanku tadi adalah sesuatu demi menyembunyikan rasa maluku. Aku senang karena Mary menelponku di luar jam biasanya, dan demi memastikan kalau dia tidak menyadari hal itu, kurasa aku akan menggodanya sedikit.
Itu sebabnya…..
“Selamat malam, Akira ... itu benar. Apa kamu mau berbicara denganku?”
... usai mendengar kata-katanya, aku merasa ada sesuatu yang aneh. Apa Mary selalu jujur begini? Dia seharusnya lebih malu-malu, lebih keras kepala, lebih ...
... Tidak, jadi begitu ya. Bukan bagian itu yang bikin aneh, tapi nada suaranya. Ketika suara Mary tidak jauh berbeda dari biasanya, nada suaranya sekarang begitu manis nan indah. Suaranya dengan lembut memasuki telingaku, mencair ke otakku. Walau dengan suara yang lucu, namun berisi warna yang hampir menjijikkan, suara menjijikkan yang menyanjung.
... Jelas sekali ada sesuatu yang salah pada Mary.
Mary yang aku kenal  bukanlah seorang gadis yang bersuara lembut dan membuat leleh  mitra percakapan nya. Dipenuhi dengat semangat, jenis suara yang hanya dengan mendengarnya saja sudah membuatku ceria, dialah gadis yang bersuara terang layaknya matahari, gadis yang bernama Mary.
Dan keraguanku semakin bertambah kuat dengan apa yang dia katakan selanjutnya.
“... Itu benar, aku seharusnya melakakukan ini dari awal. Akira, maukah kau berbicara denganku selama-lamanya?”
“... Hah?”
“Pagi dan sore, siang dan malam, tolong berbicaralah denganku selamanya. Jika Kau melakukannya, aku yakin tak ada lagi yang kutakutkan. Selama aku memilikimu, aku yakin aku bisa bahagia ... mengapa membutuhkan waktu yang lama bagiku untuk menyadarinya? Jika aku menyadarinya lebih cepat, lalu, untuk waktu yang lebih lama, aku bisa ...”
“Tunggu ... tunggu sebentar.”
Aku tidak tahan untuk mendengarkan suara itu lagi, aku menyela kata-kata Mary.
“Kau ini siapa?”
“... Kamu ini bicara apa? Ini aku, Mary. Mary yang selama bercakap-cakap denganmu, dan orang yang akan berbicara denganmu di masa yang akan datang.”
“... Nah, itu justru aneh. Mary yang aku kenal tidak semanis ini padaku, dia adalah seorang gadis tsundere tomboy lucu yang tidak tahu kapan harus menyerah.”
... Ini membuatku jengkel. Untuk beberapa alasan, ini sangat menjengkelkan.
Aku seharusnya bukan orang yang mudah marah, tapi kenapa aku merasa begitu sangat jengkel kali ini? Aku tidak tahu jelas apa yang membuatku jengkel, tapi, ini sangat menjengkelkan.
Seraya menahan rasa jengkelku, aku bertanya Maria.
“... Oy, Mary.”
“Ya, ada apa, Akira?”
“Aku tidak bisa mendengarnya, suara dari langkah kakimu ... apa yang terjadi?”
“Ah ... aku tidak melakukan itu lagi.”
"… Ah?"
Demi argumen. cuma demi argumen, pada saat ini, aku pasti masih memiliki waktu luang di hatiku untuk mencoba dan membuat percakapan yang tenang dengan Mary.
Tapi ... kata-kata tersebut, sangat menusuk hatiku.
Rasa jengkel yang sedari tadi kutahan mulai meluap keluar.
“Oy, coba katakan itu sekali lagi.”
... aku tidak melakukan itu lagi. Maksudku, bukankah itu benar? Apa yang harus aku lakukan hanyalah menyerah untuk berjalan. Menyerah untuk menjadi Mary-san, dan berbicara denganmu selama-lamanya. Maksudku, aku yakin yang begitu jauh lebih menyenangkan. Hei, Akira, kamu juga setuju ‘kan ...
“Hah?”
Urat pembuluh darah muncul di kepalaku.
“Jangan bercanda denganku!?.”
“Aku tidak sedang bercanda. Aku sudah ... “
“Dan kubilang padamu, apa yang sedang kau lakukan sekarang cuma main-main!?.”
“ ... Ini tidak ada hubungannya denganmu. Entah aku berhenti menjadi Mary-san atau menyerah, ini semua tidak ada hubungannya denganmu, Akira.”
“Tentu saja itu ada hubungannya denganku ... Oy, apa kau mengira aku ini bodoh? Temanku, Temanku yang tersayang Mary bukanlah seseorang yang mudah menyerah begitu saja …... Siapa kau? Menyerah? Aku tidak tahu Mary yang mengoceh sesuatu seperti itu.”
... Mengapa kamu mengatakan hal seperti itu?
"Astaga! Kau tidak mengerti jika aku tidak mengejanya dengan jelas ya!?”
Aku berteriak. Mary yang setengah-setengah ini bukanlah Mary yang aku tahu.
... Bahkan aku tahu. Setidaknya, aku bisa mengerti, rasanya tidak masuk akal untuk marah hanya karena seseorang mengatakan sesuatu yang berbeda dari apa yang ada di pikiran mereka ... tapi, kau tahu , entah itu masuk akal atau tidak, kekesalan yang melewati semua omong kosong itu adalah 'kemarahan'.
Cukup mengikuti emosiku sendiri, aku merasa marah.
“Seorang Mary yang menyerah untuk menjadi Mary-san bukanlah temanku, itulah yang ingin aku coba katakan.”
“... Itu ... tidak bisa.”
“Ini membuatku kesal. Jangan coba-coba mengatakan sesuatu lagi. Jika kau ingin menangis, silahkan lakukan. Dan jangan telpon aku lagi “.
“…... -!”
Usai mengatakan itu, aku mendengar suara tersendat dari sisi lain telepon.
Seolah-olah dia bahkan tidak mencoba untuk berpura-pura tenang sebelumnya, seolah-olah dia telah kehilangan semua penopang yang selama ini membantunya.
Seolah-olah hanya itu saja ang dia punya, Mary mulai jatuh panik.
“… Maksudku. Maksudku, maksudku, maksudku, maksudkumaksudku maksudkumaksudku! Lalu apa yang harus aku lakukan! Aku tidak bisa melakukannya lagi, aku tidak bisa menerimanya!  Untuk berjalan, mustahil bagiku untuk melakukannya! Itu karena aku telah belajar bahwa ...!”
“... Jika kau mau berbicara, katakan yang lebih sederhana biar aku dapat mengerti.”
“... Aku takut.”
Mary merubah nada suaranya, yang tadinya tenang, sekarang ada rasa takut saat dia mengatakannya.
“… Ada kecelakaan. Sebuah mobil hampir menabrakku. Aku takut, saat aku berpikir tentang apa yang akan terjadi jika itu benar-benar menabrak, saat aku berpikir tidak mampu untuk menyelamatkannya, saat aku memikirkan hanya aku yang sattu-satunya selamat, dan malah melihat mayatnya ...! ...rasanya menakutkan, begitu menakutkan, dan aku tidak bisa berjalan lagi.”
“...”
“... Meski mereka berdua sama-sama meninggal, waktu kematian paman rasanya menyedihkan, tapi tidak begitu menakutkan. Paman hanya menjalani hidupnya sampai akhir, tersenyum di saat-saat terakhir. Karena ia menatapku, ia tersenyum ...!”
“...”
“Aku seharusnya tidak perlu tahu. Bahwa ada ketakutan yang tidak masuk akal di dunia ini, Aku seharusnya tidak perlu tahu. Bahwa ada kehidupan yang mungkin mati di depan mataku tanpa aku mampu melakukan sesuatu tentang hal itu, aku seharusnya jangan mengetahuinya. Jika aku tidak tahu, aku yakin kalau aku masih bisa terus berjalan ... tapi aku mengetahuinya, aku menemukan hal tersebut. Jadi ... Aku tidak bisa melakukannya lagi.”
"… Begitu ya."
Sementara mendengarkan kata-katanya, kepalaku mendingin.
... Aku tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi. Bahkan jika aku tahu, aku yakin itu adalah sesuatu yang takkan mampu kupahami. Tapi pada saat ini, gadis yang bernama Mary ini pasti sedang ketakutan. Mengetahui adanya keputusasaan yang mana membuatnya tidak berdaya, dia gemetar ketakutan.
... Seperti yang kuduga, aku tidak bisa membaca suasana atau isi hati orang.
Aku bahkan tidak mencoba untuk mencari tahu apa yang Mary pikirkan saat dia mengatakan hal seperti itu, aku hanya tidak bisa menerima apa yang dia katakan dan membentaknya.
Aku pikir itu sebuah kegagalan. Itu sebabnya aku ingin melakukan apa yang aku bisa. Saat aku hendak mencoba kemampuanku untuk memberi kata-kata penghibur pada Mary ...
... Aku yakin tak ada gunanya orang gagal seperti diriku untuk mencobanya.”
Kata penghibur yang hendak kuucapkan terhenti di kerongkonganku.
“Aku bahkan dari awal bukanlah legenda urban. Sebuah kegagalan yang alami. Tersapu oleh emosi sesaat. Aku membiarkan hatiku menari riang tanpa tahu batasan diri.”
“... Oy, diam….”
“Aku mencoba begitu keras seperti orang idiot, ‘kan.”
“Diam…...”
“... Jadi setidaknya, Kamu bisa menertawakanku.”
Aku mendengar suara benturan keras. Itu suara dari kursi yang jatuh karena aku berdiri.
Aku mendengar bentakan dalam kepalaku. Satu, dua, mungkin tiga urat pembuluh darah bermunculan.
Ah ............... terserah. Aku tak lagi peduli dengan apa yang dia katakan. Orang bodoh hanya mengucapakan beberapa omong kosong yang bodoh pula. Apa kau ini bodoh? Apa kau tidak punya pikiran sama sekali? Kenapa kau bisa membuatku begitu marah? ... Tidak, tidak, jika dia memang bertujuan untuk itu, maka dia pasti kujuluki ahli strategi. Dia benar-benar hanya pengecut tanpa harapan.
Aku mengambil napas dalam-dalam, mengisap udara dengan sekuat tenaga, menggunakan semua kekuatanku untuk berteriak.
“Dasar bodooooooohhhhhhh!!!!”
“Heh? Eh? ... Eh?”
“Bodoh! Idiooooooot! Aaah, buat aku kesal saja, Mary, Kau benar-benar seseorang yang sangat, sangat, sangat, sangat, sangat, bodohhhhhhhh!”
“Eh? ... Heh !?”
Aku meluapkan kekesalanku pada Mary yang kebingungan.
“Aku selalu berpikir kau ini sedikit bodoh, tapi aku tak pernah menyangka sampai segini parahnya! Demi dewa bumi, bagaimana mungkin kau mencapai kesimpulan itu? Mengapa kau berpikir seperti itu !? Ada hal yang disebut melihat sesuatu secara objektif, dan semilimeter saja sudah cukup, setidaknya coba menerapkan prinsip tersebut ,dasar Mary bodoh!”
“Ap ... apa !?”
“Kau lebih baik mengosongkan kepala bodohmu itu; bahkan, bila kau mendapatkan ide, kau hanya bisa mencapai kesimpulan tak berguna, bodoh! Ah, ini pasti yang begitu, tidak, tidak, tidak mungkin seperti itu, pasti otakmu itu lebih halus daripada cermin manapun jadi tak bisa memahami apa yang kukatakan, bukan !?”
“Apa. Apa yang ingin kamu katakan…!?"
Suara Mary penuh dengan kemarahan.
Siapa juga yang peduli, aku terus meluapkan kekesalanku padanya.
“Aku akan mengatakannya lagi, lagi, dan lagi, dasar bodoh! Kau! Adalah! Seorang! Idiot! Kepala kosong! Kebodohanmu sudah tersaring secara alami!”
“La-Lagi-lagi kau bilang aku ...!”
“Apa?! Kau bahkan tidak bisa marah seperti kebanyakan  masyarakat biasa!? Merasa terdesak oleh semua orang tanpa penilaian kritis untuk menyeberangi jalanan yang sibuk pada waktu lampu merah !? Nah, kau memang hebat, mulai lagi saja dari TK, bodoh!”
Balasan yang aku dengar adalah suara yang pernah aku dengar saat pertama kali dulu.
... Tolong jangan bercanda denganku!”
... Mary berteriak marah.
“Mengatakan sesuatu seenaknya saja seperti itu!? Mengapa kamu mengatakan sesuatu seperti itu?! Hey, bagaimana bisa kau setega itu !? ... Aku sudah mencoba yang terbaik! Aku berusaha dan terus berusaha, aku terus berjalan baik matahari terbit atau tenggelam,bahkan saat aku merasa kesepian, aku terus berjalan tanpa menitiikkan air mata sedikitpun! ... Tapi, meski begitu! Meski begitu, aku takut! Aku takut, sangat takut sampai-sampai tidak bisa menahannya, mengapa kamu tega mengatakan itu, Akira !?”
Hmph, aku hanya membalasnya dengan mendengus.
Jika kau sangat memahaminya, lantas, kenapa kau tidak bisa memahami bagian yang paling penting?
“Akira, apa kamu bisa memahami rasa sakitku!? Akira, apa kau memahami sesuatu tentang diriku !? ... Kamu tidak bisa memahaminya, ‘kan! Karena, Akira, Kamu tidak melakukan apa-apa! Bersembunyi di ruangan itu, Kau hanyalah mahasiswa yang tidak berguna yang suka bermalas-malasan!”
Aku kira-kira menggaruk kepalaku.
… Kau benar. Orang semacam begitulah diriku.
Tapi….kau tahu….
“Seseorang sepertimu! ... Seseorang yang tidak pernah berusaha takkan bisa memahamiku!?”
... Meski begitu, aku bisa mengetahui apa yang gagal kau pahami.
Usai Mary mengeluarkan kemarahannya dan kehabisan napas, aku berteriak.
“Itu sebabnya mengapa, kau itu bodoh, Mary!”
“……... !?”
“Sekarang dengarkan baik-baik ... persis seperti yang kau katakan, aku hanya seorang mahasiswa. Hidup sembarangan, menghabiskan waktuku seenaknya, menghadiri kuliah sesuka hati. Itu sebabnya aku tidak mengerti sedikit pun rasa sakitmu, dan juga tidak berusaha untuk memahaminya! Lagian dari awal, untuk seorang pria yang lupa kata kerja keras sebelum ia meninggalkan rahim, mana mungkin aku bisa bersimpati denganmu. Meski kau tak mengatakan itu, aku sendiri sudah memahaminya! ... Tapi kau tahu!”
Aku tahu. Bahkan jika Mary tidak memberitahuku, aku sudah tahu.
Aku hanya seorang pemuda yang setengah-setengah.
Melupakan mimpi, gairah dan tujuan yang tidak bisa aku ingat, seorang pemuda yang hanya menjalani hidup serampangan karena tubuhku tidak mati.
Tentu, aku tidak punya motivasi atau keyakinan. Aku menjalani kuliah supaya bisa menerima uang saku dari orang tuaku, seorang pemuda tanpa harapan.
Dan aku menyadari akan hal itu ... itu sebabnya…..
“Kau sudah bekerja keras, ‘kan ...!”
Aku hanya mengelurakan pendapatku yang jujur pada Mary.
“Demi tujuanmu, demi apa yang kau inginkan, kau berjalan melintasi Jepang ... !? Bodoh! Mana mungkin aku bisa melakukan sesuatu seperti itu! Apa kau ini bodoh !? Kau pasti orang bodoh yang sudah berusaha keras! Mustahil aku bisa menirumu, dan aku juga tidak pernah mau mencobanya!”
Mary benar-benar orang bodoh.
Mengapa dia tidak menyadarinya?
Itu fakta sederhana yang mana bahkan aku sendiri bisa memahaminya.
“- Itu sebabnya kau ini luar biasa!”
“…... Eh?”
“Jauh lebih baik daripada seseorang yang menghabiskan sepanjang waktunya melakukan hal yang sia-sia, menjalani kehidupannya seolah-olah Ia sudah meninggal, jauh lebih baik dari orang lain yang aku tahu, Mary adalah seseorang yang sudah berusaha sangat, sangat keras! Aku sendiri bisa memahami itu! ... tapi, tapi! Kenapa kau malah mengejek dirimu sendiri !? Itu gila, itu tidak masuk akal! Jangan terus mengumbar omong kosong, aku takkan membiarkanmu mengolok-olok Mary! Upaya Mary pasti bukanlah hal yang sia-sia! Jadi, ...!”
Mungkin rasanya kurang etis bagi seseorang yang kerjaannya cuma malas-malasan untuk mengatakan sesuatu seperti itu kepada seseorang yang sudah bekerja keras.
Ini mungkin sedikit aneh bagiku untuk mengatakan hal seperti itu kepada Mary.
... Tapi, meski begitu….
“Kau harusnya jangan menyerah! Jangan pernah menyerah, Mary ...!”
Kata-kataku tak dibantah oleh Mary.
Setelah beberapa detik kemudian, dia bergumam.
“... Terima kasih, Akira. Hanya mendengar hal itu saja sudah membuatku merasa dihargai. Apa yang aku lakukan sampai sekarang tidaklah sia-sia, aku pikir ... tapi….”
“... Tapi apa?”
“Aku bukan orang yang kuat. Aku sudah menyerah untuk menjadi Mary dari waktu dulu-dulu hari. Itu sebabnya, tidak ada gunanya kamu mengatakan hal seperti itu untukku ...”
Mendengar itu, aku mendesah.
“Kau memang tidak berbohong, tapi kau tidak mengatakan yang sebenarnya.”
“... Itu semua benar. Aku sudah  ... “
“Coba katakan lagi kalau kau tidak ingin menjadi Mary-san.”
“ Su-Sudah kubilang. Aku sudah menye-“
“Salah, bukan, 'aku sudah menyerah untuk menjadi Mary-san', tapi coba katakan, 'Aku tidak ingin menjadi Mary-san'. Ayo coba katakan lagi.”
“... Itu mudah. Aku ... tidak ingin ...”
Keheningan pun terjadi.
Mary tidak bisa melanjutkan perkataannya.
“Tuh ‘kan, aku benar.”
“... Ka-Kamu salah. Bukan berarti aku tidak bisa mengatakan itu.”
“Aku yang salah mengucapkannya. Dengar baik-baik, aku akan mengejanya dengan jelas.”
Mengapa Mary sendiri tidak memahami sesuatu yang aku sendiri bisa pahami?
... Seberapa canggungnya dia?
“Kau ingin menjadi Mary-san, bukan?.”
“……....”
“Maksudku, kau belum mengatakan satu pun kalau kau muak menjadi Mary-san. Ini bukan berarti  kalau kau tidak ingin menjadi Mary-san, kau hanya takut berjalan. Karena kau tak berdaya atau beberapa alasan konyol semacamnya, Kau mencoba untuk menyerah. Saat kau bilang kalau kau ingin membuat seseorang tersenyum, itu tidak bohong, dan kau tidak bisa berbohong... bukankah itu benar?”
“... Meski ini ...”
Respon suaranya hampir menangis.
“Apa yang namanya mustahil tetap saja mustahil.”
Mary berbicara seolah menyemburkan segala sesuatu yang mengganjal perasaannya.
“Aku tidak bisa melakukannya lagi. Sampai saat ini, tak peduli seberapa menyakitkan itu, aku bisa terus berjalan tanpa khawatir. Tapi itu tidak berguna lagi ... Akira, Kamu bilang kalau aku masih ingin menjadi Mary-san ... ya, Kamu tidak salah sama sekali. Aku sangat ingin menjadi Mary-san. kekaguman ini, keinginan ini masih belum hilang dari dalam diriku.”
Tapi…. Lanjut Mary.
'Tapi, meski begitu ... aku menyerah. Ada ketakutan yang melebihi keinginan ini. Sehingga, rasanya sangat mustahil bagiku.'
“... Jadi kau tidak mampu melakukan yang terbaik lagi?”
“... Iya.”
Suara itu begitu sunyi, namun disertai dengan berat yang pasti, yang mana hal itu membuatku menahan napas.
Sebuah keinginan ... keinginan untuk menjadi Mary-san.
Bukan yang palsu, bukan pula imitasi, sebuah keinginan untuk menjadi Mary-san yang asli. Aku yakin itulah penopang Mary, dan itu pula yang menjadi dasarnya. Tapi, bagian paling tersebut hampir runtuh.
Itu masih belum benar-benar rusak. Tapi kalau dilihat-lihat, hal tersebut takkan lama lagi akan rusak, dan tak ada cara lagi untuk mengembalikannya ...  meski itu hanya firasat. Hanya sebuah firasat dari sembarang manusia tanpa kekuatan spiritual. Tapi pada saat yang sama, anehnya aku merasa yakin kalau firasat itu benar.
Itu sebabnya, aku memberitahu Mary.
“... Dengar, Mary. Aku akan mengatakan sesuatu yang egois.”
Ini adalah keinginanku sendiri, aku tidak tahu apa Mary sendiri menginginkannya atau tidak. Tapi, meski begitu, aku ingin Mary tetap menjadi Mary yang kukenal.
Itu sebabnya ... Aku takkan membiarkan dia menyerah.
“Hanya untuk sekarang .......lakukanlah demi diriku.”
“... Eh?”
 Mary tampaknya tidak mengerti apa yang aku katakan. Jadi, aku mengatakan sesuatu yang jauh lebih jelas agar dia dapat memahaminya.
“Jika kau tidak bisa melakukannya demi dirimu lagi, kalau begitu, lakukanlah demi diriku. Lakukanlah demi pemuda yang terkesan karena kerja kerasmu, tolonglah…..jangan menyerah ... . Aku mohon padamu."
Ada keheningan sejenak, dan beberapa saat kemudian, Mary berbicara.
“Kamu menyuruhku untuk terus melakukannya ...? Ketika aku tidak ingin melakukan sesuatu yang menyakitkan lagi, saat tidak ada akhir yang terlihat, Kamu masih bilang kalau aku harus terus berjalan ...?”
“Ya. Teruslah berjalan demi diriku. Jadilah Mary-san demi diriku. Aku ingin kau menjadi Mary-san.”
“... I-Itu egois. Itu hanya keegoisanmu!”
“Itu benar ... Aku adalah seorang pemuda egois, aku sangat menyadari itu.”
“... Apa ... maksudmu?”
Aku melirik arloji di tanganku.
... hampir jam sepuluh malam.
Tanpa menjawab pertanyaan Mary, aku memberitahu keputusanku sendiri.
“Maaf, tapi panggilan harus berakhir di sini. Aku punya beberapa urusan yang harus kulakukan ... sampai jumpa lagi.”
“A-Akira? ... Akira !?”
Aku menekan tombol “Akhiri Panggilan”.
Ada telepon masuk dari Mary, tapi aku mengabaikannya.
Aku meraih jaket motor yang tergantung di dinding, mengambil beberapa catatan dari dompetku dan memasukkannya ke dalam saku. Aku mengambil kunci motorku di mejaku, dan membawa helm full face milikku sambil buru-buru ke tempat parkir.
Benda yang tergelat di sana –yang belakangan ini diabaikan - adalah sepeda motorku. Aku memasukkan kunci, menekan starter, dan menyalakan mesin.
“... Tunggu saja, Mary-san dalam pelatihan.”
Suara knalpot bergema digelapnya malam kota, aku langsung mengendarai motorku dengan cepat.
Tentu saja, tujuanku adalah tempat dimana legenda urban bodoh itu berada.
“Aku akan membuatmu menjadi Mary-san. Jika kau tidak bisa berjalan lagi, maka aku sendiri yang akan pergi dan menemuimu ... jadi janganlah menyerah. Kau sebaiknya tidak menyerah sebelum aku sampai di sana ... Mary.”




close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama