Hello, Hello, and Hello Chapter 01 Bahasa Indonesia


Pertemuan 92 - Janji yang Tak Pernah ada

“Mungkin rasanya mendadak, tapi apa aku boleh meminta sesuatu darimu?"
Aku didekati oleh gadis yang tidak pernah aku temui.
Ini terjadi saat aku pulang dari sekolah.
Aku mendengar suara yang indah, sebuah suara yang tak bisa dilupakan setelah mendengar pertama kalinya.
"Hhhmm, aku ingin kamu membawaku ke bioskop."
Aku berada di halte bus tua yang sudah sering aku pakai dari dulu; dengan atap seng yang berkarat serta bangku kayu yang terus terkena cuaca.
Ada seorang gadis yang tidak kukenal tengah berdiri disamping halte tersebut.
Lampu jalanan tidak terlihat berwarna oranye atau kuning, menyelimuti tubuh ideal sang gadis dengan warna yang tampak seolah-olah warna emas, membawanya keluar dari kegelapan. Bahkan lampu model lama membuatnya menjadi semacam makhluk suci saat menyinarinya.
Dia memiringkan kepalanya dengan manis, mungkin karena aku tidak menjawab ucapannya.
"Apa kamu tidak mendengarku?"
Tanpa aku sadari, diriku yang terpantul di mata gadis yang terlihat lebih besar dari sebelumnya. Dia terlalu dekat, sangat dekat. Kenapa dia bisa mendekatiku begitu mudahnya. Karena merasa terganggu, aku menelan ludah, demi membasahi kerongkonganku.
"Tidak, aku mendengarmu, kok."
Suaraku jauh lebih lembut daripada yang kuinginkan, bahkan terdengar sedikit serak.
Kali ini, aku sendiri yang merasa khawatir jika dia tidak mendengarkan suaraku.
Benarkah? Syukurlah. Ucap si gadis dengan menepuk-nepuk dadanya, tampak lega. Kelihatannya pesanku tersampaikan padanya.
“Aku Shiina Yuki. Senang bertemu denganmu, Haruyoshi-kun. ”
“Hah? Halo. Erm, Shiina-san? ”
“Panggil aku Yuki."
Wajah Shiina Yuki berseri-seri. Dia benar-benar gadis yang sangat imut.
Rambut yang mencapai bahunya tampak halus, dan sedikit keriting. Kulitnya putih seperti salju. Karena itu, bibir merahnya yang halus dan merah merona tampak memikat meski dia tidak memakai aksesoris.
Saat hembusan angin menerpanya, rambutnya sedikit bekibar. Tanpa sadar aku mencium aroma. Aroma apa ini? Setelah berpikir sejenak, aku punya jawaban. Ya, ini adalah aroma bunga sakura.
Usai menemukan jawaban ini, tiba-tiba hatiku meluapkan beberapa emosi: rasa sakit, penderitaan, panas yang membakar. Hatiku serasa menegang.
Aku meletakkan tanganku di dada kiri seragamku, dan pada saat yang sama, memanggil namanya seperti yang dia inginkan. Ya, aku benar-benar berusaha mencoba sesuatu yang tidak biasanya aku lakukan.
"Yuki, kau bilang kalau kau ingin aku membawamu ke bioskop. Apa maksudmu?"
"Kamu akan menonton film besok, ‘kan?"
“…… Besok adalah hari kerja.”
"Ya, aku tahu. Tapi sekolahmu libur untuk merayakan ulang tahun sekolah, ‘kan? ”
Dia, tidak, Yuki berbicara soal fakta. Paket makan siang besok adalah kari, itu tertulis di menu. Itulah sikap yang diperlihatkannya dari cara dia menjawabnya.
“Kamu akan menggunakan hari libur itu untuk menonton film, ‘kan? Kamu punya dua tiket. Atau apa kamu sudah mengajak seseorang? ”
"Bagaimana kamu tahu, Yuki? Aku tidak pernah mengatakannya pada siapapun. "
Aku mengingat beberapa hari yang lalu, ketika teman-temanku mengundangku untuk bermain keluar. Aku menolak mereka, mengatakan bahwa aku memiliki sesuatu yang penting. Terutama Akane yang mempertanyakan mengapakarena kamu akan pergi sendirian, ajak aku juga. Meski begitu, aku tidak pernah menyebutkan alasannya.
Aku tidak ingin seseorang yang aku kenal melihat kami bersama, dan menonton film dengannya, yang mana hal tersebut akan mengundang interogasi dari teman sekelas. Bisa-bisa nanti aku akan digoda tentang masalah ini bertahun-tahun kemudian.
Gadis di hadapanku ini tampaknya gagal memahami emosiku ketika dia tersenyum.
“Uu, hmm. Kalau begitu aku akan merahasiakannya. ”
“Mengapa?"
“Karena, seorang gadis dengan rahasia pasti lebih menarik, kan?"
Tampaknya dia tidak punya niat untuk menjawabku secara langsung.
Aku mencoba menunggu, tapi aku tidak mendapatkan jawaban yang layak. Yuki hanya berdiri di sana, tersenyum, dia tahu kalau aku sedang menunggu jawabannya, tetapi dia memilih untuk tetap diam.
Dalam pertempuran kesabaran ini, aku kalah.
“Aku tidak mengajak siapa pun. Aku memang punya dua tiket. "
“Kalau begitu, bawa aku juga."
“Kenapa kamu sangat ingin melihat film?"
“...... Karena aku sudah berjanji untuk menontonnya."
“Dengan siapa?"
Yuki terus tersenyum. Aku tidak tahu apa ini hanya imajinasiku saja, tapi senyumnya terlihat lebih sedih dari sebelumnya.
Aku menatap ke langit, dan Yuki pun melakukan hal yang sama.
Tanpa sadar, kegelapan di langit menjadi sangat dalam.
Awan di langit malam sangat sedikit dan tipis, dipenuhi bintang-bintang yang bersinar. Rasanya akan sangat keren jika aku bisa menemukan satu rasi bintang di sini. Sayangnya, aku tidak memiliki pengetahuan semacam itu.
Aku tidak menemukan apa pun di langit malam yang luas dan tak berujung.
“Begitu ya. Jadi kamu sudah berjanji ya. "
"Iya."
"Yah, kalau memang begitu, apa boleh buat, aku hanya bisa setuju."
Aku mencoba mengatakan ini daripada membicarakan rasi bintang. Rasanya sangat memalukan, tapi aku hanya mampu mengatakan kalimat tersebut.
"Oke. Ayo kita pergi bersama-sama. ”
"Benarkah? Terima kasih."
“Aku ingat jadwal kereta pada pukul 10.10. bagaimana kalau kita ketemuan di depan gerbang stasiun? "
“Mn, tidak ada masalah. Aku sangat menantikan hari esok! ”
Kami melambaikan tangan, saling mengucapkan selamat tinggal.
Yuki pergi ke arah yang berlawanan dari jalan. Segera, bayangannya yang mungil mulai lenyap.
Aku terus melihatnya sampai dia menghilang, sebelum melangkahkan kaki.
Pikiranku dipenuhi dengan gadis yang baru saja kutemui, dan itu bertahan sangat lama.
Aroma dari musim semi, tubuh yang langsing, serta jari-jari halus yang menyisir rambut berkibar-kibar akibat tertiup angin, menyerupai sebuah karya seni. Alisnya yang panjang, mata yang hitam pekat, bibir merah yang berbentuk bagus. Aku mengingat semuanya, dan kemudian——
Saat suara Yuki menggema di pikiranku, aku berhenti.
Sebuah pertanyaan mendadak muncul dipikiranku.
Hm? Apa aku pernah menyebutkan namaku?
Tentu saja, tidak ada yang menjawab. Senyum senang Yuki saat dia menghindari masalah itu tetap ada di pikiranku.
Itu terjadi di Musim Gugur, saat aku kelas 1 SMA.
Ini adalah bagaimana aku bertemu Shiina Yuki.

❀❀❀

Aku tiba di stasiun 30 menit lebih awal, tapi ternyata, Yuki sendiri yang tiba lebih awal. Kita mungkin bisa naik kereta lebih cepat dari yang dijadwalkan.
Tapi kakiku, yang hendak berlari ke arah Yuki, merasa ragu apakah aku harus mendekatinya atau tidak.
Punggungnya sedang bersandar pada pilar, melihat ke area yang kosong. Wajah sampingnya memiliki disposisi karya artistik, memberi getaran yang tak dapat didekati.
Jika dilihat lebih dekat, banyak yang mencuri pandang ke arahnya, tapi tidak ada yang berani berbicara dengannya. Dibutuhkan banyak keberanian untuk mendekat dan berbicara dengannya.
Aku menelan ludah, mengusap telapak tanganku yang berkeringat, memaksa kakiku untuk bergerak ke arahnya, perlahan-lahan mengangkat tanganku, dan akhirnya berhasil berbicara dengannya.
"Selamat pagi. Ternyata kau cepat juga sampainya. ”
Yuki menyadari keberadaanku. Telapak tangannya mendorong pilar, dan dia bergegas ke arahku.
"Apa kamu sudah menunggu lama?"
"Tidak. Aku baru sampai."
Ehehe, Yuki terkekeh.
Aura duri di sekitarnya menghilang tanpa aku sadari. Aku menghela nafas lega, dan panas yang naik dari dasar paru-paruku seolah menyatu ke udara yang jernih.
“Maaf, aku akan mengingatnya lain kali. Tidak bagus juga membiarkan seorang gadis lama menunggu. ”
“Kamu tidak perlu khawatir. Kamu terlalu berlebihan, Yoshi-kun. ”
"Yoshi-kun?"
"Iya. Namamu ‘kan Haruyoshi, jadi disingkat Yoshi-kun. Apa aku tidak boleh memanggilmu begitu? "
"Bukannya tidak boleh, tetapi aku belum pernah ada yang memanggilku seperti itu sebelumnya."
Aku biasanya dipanggil Segawa atau Haru.
Adikku Natsuna dan orang tuaku memanggilku Haru. Aku sedikit tidak nyaman  dipanggil dengan sesuatu yang berbeda untuk pertama kalinya.
"Kalau begitu, ini adalah cara khusus aku memanggilmu."
Yuki tersenyum, nyaris memperlihatkan gigi putihnya, dan menarik lenganku ke arahnya.
Aku berhasil menjaga keseimbanganku, dan menghindari jatuh ke depan. Jarak antara kami menurun satu langkah atau lebih.
Tangan Yuki yang kecil dan dingin seakan-akan merampas kehangatanku saat dia memegang pergelangan tanganku. Aku merasa panas hanya karena dipegang tangannya saja. Aku tidak mampu menegakkan wajahku, dan hanya terus menatap ujung sepatuku yang kotor ..
"Oke, ayo pergi, Yoshi-kun."
Saat dia mengatakan itu, aku memikirkan sesuatu yang aku lupa tanyakan kemarin.
“Ngomong-ngomong, apa kamu tahu kita akan pergi kemana hari ini?
Film yang akan aku tonton hari ini sedikit berbeda. Lebih gamblangnya sih, yah, itu berbeda dari film-film yang banyak ditampilkan di iklan TV, dan juga tidak ditayangkan di bioskop.
Tapi Yuki mengabaikan semua kekhawatiranku.
“Pertanyaanmu aneh sekali. Kita akan pergi ke Universitas Yasaka, ‘kan? ”
Ada sebuah kota yang berjarak dua stasiun dari tempat tinggalku, dengan daerah banyak lereng. Universitas Yasaka terletak di lereng terpanjang di kota itu.
Bahkan, kami harus naik bus setelah turun dari stasiun.
“Ah, sebelah situ, ‘kan, Yoshi-kun? Itu dia, lihat? "
Ucap Yuki. Sudah sepuluh menit kami berdua menaiki bus.
Ada gerbang besar di tempat dia menunjuk, dan juga sebuah tanda besar.
Tanda itu berisi kata-kata yang berwarna-warni “Festival Aksho ke-60”.
Universitas Yasaka ini mulai mengadakan festival selama satu minggu terhitung sejak hari Minggu. Tiket yang aku miliki adalah untuk 'klub film produksi sendiri' yang ditayangkan selama festival budaya di tempat ini.
Aku lupa jika itu terjadi setahun yang lalu, atau setidaknya setengah, tapi karena insiden tertentu, aku kebetulan mendapatkan dua tiket ini.
Saat aku memasuki gerbang universitas, tiba-tiba aku merasakan perubahan suasana di sekitarku.
Ada pemandangan yang menarik dari daun-daun berwarna di Musim Gugur, dan di bawahnya, Ada banyak kios yang berjejer di sepanjang jalan sekolah, bersamaan dengan suara petikan gitar dari jauh. Untuk YOSAKOI, orang-orang yang bertepuk tangan terdengar menyenangkan. Rasanya benar-benar seperti festival sungguhan.
Aku menerima pamflet dari seorang mahasiswi setempat, dan segera membukanya, bermaksud untuk memeriksa jadwal film. Film yang ingin kutonton adalah film pendek berdurasi 30 menit, dan termasuk waktu istirahat, ditayangkan sekali setiap satu setengah jam.
Masih ada waktu sepuluh menit sampai penayangan berikutnya. Jika kita bergegas, kita masih sempat melihatnya. Aku memeriksa lokasi di peta, terus membolak-balik, ingin memeriksa lokasi di peta, tapi pamflet yang kupegang tiba-tiba disambar.
Aku mengangkat tanganku, dan melihat Yuki memegang pamflet di masing-masing tangan.
"Apa yang sedang kau lakukan?"
“Aku yang seharusnya bertanya padamu, Yoshi-kun. Apa yang sedang kamu lakukan?"
"Apa yang kulakukan ... tentu saja mencari lokasi di mana tempat pemutaran film berada, terus apa lagi memangnya?"
Haaaaaaa. Yuki mendesah, menggelengkan kepalanya saat dia menatapku dengan ekspresi seolah-olah ingin mengatakan  'kamu sama sekali tidak mengerti'.
“Kamu bisa menemukannya sambil berjalan-jalan. Lebih penting lagi, sekarang waktunya festival. Ada Kios, pertunjukan band, dan rumah berhantu. Jika kamu mengabaikan semuanya dan langsung menuju tujuanmu, rasanya akan sia-sia. Karma akan menyerangmu, loh? ”
"Aku tidak ingin terkena karma."
"Kalau begitu, tunggu apa lagi, ayo kita jelajahi festival ini. Ayo pergi!"
Dan begitulah awal dari perjalanan kami menikmati festival ini.
Yuki mulai mengendus-endus di sudut-sudut kios dengan hidung kecilnya, dan akhirnya tergoda oleh aroma makanan saat dia langsung ikut mengantri di toko crepes. Dia ragu apakah dia harus menambahkan stroberi atau pisang cokelat, tapi dia malah memilih keduanya. Aku sendiri memilih rasa kastanye agar sesuai dengan tema musim gugur.
"Bisa-bisanya kau memakan keduanya sekaligus."
"Mwakwanan mwanhis mhwask kwe bwaghian pwerwut lwain."
Mulut Yuki dipenuhi dengan crepes, pipinya mengembung. Apa yang dia katakan terdengar seperti alien, yah, meski aku sendiri tidak pernah bertemu alien, sih.
"Apa yang kamu bilang?"
Kali ini, dia mulai menutup mulut, dan mengunyah dengan hati-hati. Namun, dia tampak enggan saat dia perlahan menelan crepes, dan dengan krim yang masih tersisa di sisi bibirnya, dia mengatakannya sekali lagi,
"Makanan manis masuk ke bagian perut lain."
“Yuki, ada krim di bibirmu.”
"Ah maaf. Sebelah ini? "
"Salah, sebelah yang satunya."
"Yang sebelah sini, ya?"
Yuki berusaha menyeka dengan telapak tangannya, tapi krim tersebut masih tersisa di bibirnya.
"Tahan, jangan bergerak dulu."
Aku mengambil selembar tisu saku, dan menyeka mulutnya. Dia membiarkanku melakukannya tanpa perlawanan, tetapi dia selalu mengincar kesempatan untuk memakan crepes lagi. Aku mengingatkannya, “Ini belum bersih. Tunggu dulu, napa. ” Astaga, cewek memang makhluk seperti itu. Aku sendiri menyukai makanan manis, tapi hasrat mereka melebihi dari milikku.
"Baiklah, selesai .."
"Terima kasih, Yoshi-kun. Ternyata kamu sudah bawa persiapan ya .. ”
“Jangan terlalu dipikirkan, ini cuma tisu, kok. Aku pikir siswa SMA biasanya sering membawanya. ”
"Aku hampir 17 tahun, tapi aku belum pernah membawanya sebelumnya."
"Jadi kau setahun lebih tua dariku ya, Yuki?"
"Iya. Aku ini seniormu, jadi kamu harus lebih menghormatiku. "
"Gimana mau meghormatimu kalau di mulutmu masih ada krim sisa crepes tadi."
"Kamu bohong! Memangnya masih ada? ”
Kulihat Yuki menggosok mulutnya dengan bingung, dan terkekeh. Kulit putihnya sedikit memerah, mungkin karena dia panik dan menggosok terlalu keras. Bahkan pipinya, yang tidak digosok, sedikit memerah.
"Kuku, sekarang sudah hilang .."
"Uuuuu. Kamu jahat, Yoshi-kun. Sangat jahat.."
Yuki cemberut saat dia berjalan di depanku.
Dia memiliki punggung yang ramping, rambut halus, dan kaki mulus yang menjulur dari roknya. Aku membuntuti Yuki dari kejauhan, ingin melihat semua sosoknya sedikit lebih lama lagi.
Tapi Yuki langsung pergi ke perpustakaan, dan mulai mengagumi pameran klub fotografi, dan aku harus mengejarnya dalam sekejap.
Kami merasa takjub pada foto-foto monokrom yang berjejer — berbicara tentang foto yang kami sukai.
Aku memilih foto seorang pria yang melompat di pantai, sementara Yuki memilih foto seorang gadis yang sedang sendirian di jalan perbelanjaan.
Gadis yang kesepian itu terpisah dari dunia yang luas, tampak begitu tak berdaya. Jelas ini adalah gambar bagus yang ingin menyampaikan sesuatu, namun hal itu tidak sesuai dengan kesanku tentang Yuki. Aku pikir dia akan sepertiku, memilih foto yang penuh dengan kehidupan.
"Benarkah?"
Suara lembut Yuki bergema di perpustakaan yang jarang dipenuhi orang.
"Tapi ini jelas diriku."
Lalu kami pergi ke toko klub seni, membeli beberapa doujin, dan membacanya berdampingan satu sama lain. Selera kami dalam novel serupa, dan kami menyukai karya yang sama.
Kemudian, Yuki memperhatikan sesuatu, dan mendekatinya tanpa ragu. Tanpa aku sadari, kita berada di ujung terjauh universitas, jauh dari kebisingan. Ada sebuah bangunan tua di sana, dan Yuki menatap bangunan yang tampaknya dibangun diam-diam, bergumam, "Bangunan itu untuk apa?"
Bangunan yang semula putih telah berubah warna karena terkena cuaca bertahun-tahun, dan di dinding, ada tanaman yang namanya tidak aku kenal. Benda hijau itu mungkin lumut. Pokoknya, bangunan seperti itu sepertinya tidak bisa didekati.
Aku ingin memanggil Yuki untuk kembali, tetapi pada saat yang sama,
“Ah, nak. Tunggu sebentar. "
Aku dipanggil oleh suara yang sedikit akrab, dengan kalimat yang terdengar tidak asing ini.
Bahkan setelah sekian lama, aku bisa mengenali tubuh berotot itu.Ia memiliki tubuh yang cukup tinggi, rambutnya diikat di belakang kepalanya, dan Ia menunjukkan mata kekanak-kanakan yang menyilaukan di antara poni panjangnya.
Kurang lebih sudah setahun sejak kita bertemu, tapi Ia masih sama seperti biasanya.
Ia adalah sutradaranya.
Sutradara film yang akan kita tonton hari ini.
Dan orang yang memberiku dua tiket ini.

❀❀❀

Aku pertama kali bertemu dengan sutradara pada liburan musim dingin, saat aku masih SMP.
Karena kegiatan klub ditunda, dan aku sendirian, tanpa ada kegiatan yang harus dilakukan, aku pergi berjalan-jalan di taman terdekat.
Biasanya, ada banyak pengunjung di taman selama akhir pekan dan malam hari, tapi karena sekarang masih siang hari, jadi rasanya sepi. Itu membuatku sedikit kesepian.
Dan pada saat itulah, pemecah keheningan ini adalah suara yang sangat kasar.
“Ah, nak. Tunggu sebentar. "
"Eh?"
Aku dipanggil, dan berbalik ke arah suara itu. Aku melihat seorang paman berotot berlari ke arahku. Aku bisa mendengar efek suara panik dari seseorang yang berlari. Aku tahu dia sedang dalam keadaan kesulitan, jadi aku berhenti tanpa berpikir — itu adalah pilihan yang salah.
Pria itu terengah-engah, hampir sekarat karena kehabisan napas. Ia muncul di belakangku, dan tiba-tiba meraih sikuku.
"Ahh —— Aku terselamatkan. Tolong ikut dengan kami. "
“Ap-Apa maksud anda?
“Kami sedang melakukan syuting film, tapi kami tidak punya banyak aktor untuk adegan terakhir. Hal itu menyebabkan kami banyak masalah. ”
“Tidak, tidak, tidak, tunggu dulu. Aku tidak mengerti maksud Anda. ”
"Tidak mengerti, maksudku?"
Paman tersebut menoleh ke arahku dengan bingung. Aku melihat dirinya dari dekat, dan kaget kalau Ia masih agak muda. Ia mungkin berusia dua puluhan, usia pada tingkat dimana aku masih bisa memanggilnya kakak.
"Ya, sama sekali tidak mengerti."
"Sudah kubilang, Kau akan menjadi aktor sementara untuk sebuah film."
“Bukan yang itu yang aku maksud. Aku tidak tahu mengapa aku harus ikut dengan anda. "
"Bukannya aku sudah mengatakannya? Jika kau tidak ikut, aku akan berada dalam masalah besar .. "
"…Hah?"
"Begitulah keadaanya. Ayo pergi."
"Kubilang, tidak,"
Dan begitulah, aku diseret olehnya.
Semua yang aku katakan padanya merupakan usaha yang sia-sia. Ada perbedaan kekuatan, dan tak peduli bagaimana aku melawan, aku tidak bisa melarikan diri. Setelah tiga menit melakukan perlawanan, aku menyerah.
Tampaknya pria yang memanggilku adalah ketua dari film ini, atau biasa dipanggil sutradara. Ia menunjukkan ekspresi yang berbeda dari apa yang aku lihat, aura di sekitarnya berubah secara drastis. Aku sangat kesal karena berpikir kalau Ia sedikit keren.
Adegan syuting berada di bangku di taman.
Aku ditugaskan sebagai orang lewat A.
Yang perlu aku lakukan hanyalah berjalan di belakang protagonis. Aku tidak punya kalimat atau tindakan tertentu. Meski begitu, aku diperintahkan untuk melakukan serangkaian tindakan, di mana aku harus memperhatikan waktu, atau seberapa cepat aku harus berjalan.
Kami sedang syuting satu adegan, jadi aku dengan ceroboh berpikir kalau aku bisa pulang begitu selesai, tapi kenyataannya adalah aku terjebak dalam kebuntuan selama empat jam, karena banyaknya pengulangan.
Langit sudah berwarna oranye ketika mereka mulai mengumpulkan peralatan. Sekitar 10 menit kemudian, dunia akan jatuh ke dalam kegelapan, bahkan dalam sekejap mata. nah, malam akan segera tiba.
"Jadi kamu ada di sini. Kerja bagus .. ”
Aku menengok ke arah suara itu dan melihat Sutradara sedang berjalan ke arahku. Sepertinya Ia mencariku dari tadi.
"Ini membutuhkan banyak waktu."
“Kamu benar-benar membantuku. Yah, Kau hanya muncul sekitar 10 detik atau lebih, tapi aku benar-benar tidak ingin ada kekurangan pada kualitas, jadi aku mengerahkan semua yang aku bisa. Oh ya, ini untukmu. Sebagai hadiah terima kasih. "
Usai mengatakan itu, Sutradara mengeluarkan sekaleng sup jagung. Cuaca menjadi dingin setelah matahari terbenam, jadi aku menerimanya dengan rasa terima kasih. Supnya masih hangat. Saat aku memegang kaleng dengan kedua tangan, aku merasakan kehangatan menyebar di telapak tanganku.
"Terima kasih banyak."
“Dan juga, tiket ini untukmu. Akan ada pemutaran film publik selama festival budaya musim gugur mendatang, jadi datanglah untuk menonton ”
"Tahun depan? bukan tahun ini?"
“Waktu produksinya mungkin takkan selesai tahun ini. Setelah ini selesai tahun depan, aku akan lulus. "
Kertas berwarna persegi panjang bertuliskan " Tiket Penayangan Film Festival Akiho ke-60 ". Bagian ke-59 nya dicoret, dan diganti dengan ke-60  yang mana ditulis lebih besar daripada kata lain, seolah-olah menyampaikan tekad direktur.
Di samping tulisan itu, ada nama universitas dan lambang. Tulisan merah persegi panjang 'Universitas Yasaka' agak kabur. Aku memang mendengar desas-desus tentang Universitas yang dibangun di atas lereng setan atau semacamnya.
"Tapi anda memberiku dua tiket .."
“Ini film tema percintaan. Jika kau punya gadis yang kau suka, ajaklah dia juga .. ”
Dan begitulah, aku punya dua tiket dan sekaleng sup jagung. Ini pembayaran murah dibandingkan dengan empat jam kerja. Tapi yah, itu pengalaman yang berharga, jadi aku tak terlalu keberatan.
Aku melihat sosok sutradara ketika Ia pergi dengan punggung menghadapku. Bagiku yang berlidah kucing ini, hangatnya sup ini sudah pas. rasanya mengalir melewati tenggorokanku, dan  setelah itu, aku merasakan kehangatan lembut menyebar melalui perutku.
Bintang paling terang bersinar di atas langit.
Tampaknya menjadi bintang pembimbing.
Jadi, aku mulai berjalan menuju cahaya kecil Venus.

❀❀❀

"Rupanya kau ada di sini, Nak."
Direktur memanggil kami, tubuh berototnya mengambil sekitar dua pertiga dari luas bangku. Ada selusin tiket yang diletakkan di atas meja, bersamaan dengan pamflet promosi untuk Festival Akiho, dan sebagainya. Ada majalah film, yang mungkin disebabkan  karena dibalik berkali-kali ketika wajah aktris di sampulnya rusak.
“Lama tak berjumpa. Apa filmnya tayang di sini? "
"Yeah. Ruang terdalam dari bangunan ruang klub ini adalah ruang klub kami. letaknya di lantai dua. Hm? "
Pada saat ini, sutradara akhirnya menyadari keberadaan Yuki. Layaknya orang yang kesurupan, Ia berkedip dan melihat sosok Yuki dari atas sampai bawah beberapa kali. Kemudian, Ia mengalihkan pandangannya, dan memanggilku.
"Nak, coba kesini dulu."
"Hah?"
Aku menanggapi panggilannya, dan Ia menyeretku ke ujung gedung.
Kami berada agak jauh dari Yuki, jadi meski dengan volume normal, suara kami mungkin takkan bisa didengar olehnya. Namun, “Apa-apaan dengan gadis itu? Bukannya dia super imut? ”Bisik sang sutradara dengan lebih lembut layaknyan dengungan nyamuk.
"Apa hubungannya dia denganmu?"
“Kurasa, Teman. Dia sepertinya ingin melihat film ini. Aku tidak tahu kapan dia tahu aku memiliki dua tiket, jadi aku membawanya. ”
"Penggemarku?"
Direktur menoleh ke samping menatap Yuki, menyeringai.
"Kurasa tidak. Aku dengar kalau dia sudah berjanji kepada seseorang bahwa dia akan melihat film ini. "
Aku sudah muak dengan wajah direktur yang penuh kecurigaan, jadi aku harus terus-menerus menyangkal.
"Dengan siapa?"
"Entah?"
Kami berdua memandang ke arah Yuki bersamaan.
Yuki sedang membalik-balik majalah di bangku. Dia mungkin tidak membaca, hanya membolak-balik halaman. Mungkin menikmati perasaan kertas dan suara.
"Dia seperti lukisan."
Direktur terkagum saat Ia memujinya,
“Gadis yang seperti itu sangatlah jarang. Dia tidak hanya lucu atau cantik, dia memiliki pesona tersendiri yang menarik perhatian. Jadi nak, apa kau bisa bernegosiasi dengannya untuk tampil di film? "
"Aku tidak mau. Kenapa bukan anda sendiri saja yang bertanya padanya ? ”
"Yah, mungkin nanti,"
“Apa maksudmu? ”
"... Aku akan sakit hati jika seorang gadis imut seperti dia menolakku."
"Hah?"
Aku benar-benar serius menunjukkan tampang kesal.
Tunggu sebentar. Apa yang orang ini katakan? Dan apa yang terjadi pada pria gila yang menyeretku seenaknya saja saat tahun lalu?
"Bukannya pria merupakan makhluk seperti itu? Kita menjadi lemah di hadapan wanita-wanita cantik. ”
"Kenapa anda tiba-tiba sok berfilosofis?"
Aku tidak bisa menahan diri untuk tidak membalas, dan mata sutradara yang besar menatapku dengan penuh perhatian.
"Kau sudah berubah, Nak."
"Eh? Benarkah?"
"Ya, kau memang berubah. Dirimu yang dulu, bagaimana aku harus mengatakannya? Mudah ditangani. Jika aku memohon kepadamu, Kau akan setuju untuk melakukan apa saja. Kau sedikit berbeda sekarang. Kau bisa mengekspresikan dirimu .. ”
"Apa itu hal yang baik?"
“Tentu saja. Seseorang yang selalu mengikuti arus takkan bisa mendapatkan apapun. Jika Kau menginginkan sesuatu, Kau harus memegangnya dengan tanganmu, walau dengan cara paksa. Dan begitulah, jadi tolong. Aku akan berlutut dan memohon jika Kau terus menolak. Tapi Kau baru saja menolakku lagi. "
Mengapa terlalu maksa begitu? Apa kau tidak bisa melakukan itu pada Yuki?
Yah, aku ini seorang cowok. Bohong kalau aku tidak mengerti perasaan sutradara.
“Yah, akan kuusahakan. Aku akan memperkenalkannya pada anda, tapi Anda harus bertanya padanya sendiri. "
"Cih, baiklah."
"Yuki."
Aku memanggil nama Yuki, dan dia menutup majalah itu, tubuhnya melenggak-lenggok saat dia mendekati kami.
"Sudah selesai bisik-bisiknya?"
“Ya, pada dasarnya, Ia memberiku tiket, dan Ia sendiri adalah sutradara dari film yang akan kita tonton nanti. Sepertinya Ia ingin meminta sesuatu darimu. ”
"Meminta sesuatu?"
"Bicaralah, sutradara."
"Oh ya."
Aku menepak punggungnya yang besar.
Rasanya seperti batu yang keras, kokoh, dan tidak bergerak. Meski begitu, dorongan kecilku mungkin telah memotivasi dirinya untuk bergerak maju.
"Te-terima kasih banyak sudah datang untuk menonton filmku hari ini!"
"Iya. Aku menantikan film hari ini."
Yuki tersenyum, dan Sutradara tersipu, tubuhnya gemetaran. Ia sudah dalam batas mentalnya, ya? Aku tak pernah menduga bisa secepat ini.
Merasa kalau Ia sudah tak bisa diharapkan lagi, aku hendak berbicara demi sutradara, saat dirinya terus melanjutkan….,
"Dan erm, erm, jika kau tak keberatan,  apa kau mau berakting di filmku lain kali?"
Dia mengulurkan tangan besarnya ke arah Yuki.
"Kumohon?"
"Uh huh."
"Tidak bisa?"
"Uh huh."
"Jadi, apa jawabanmu, ‘ya’ ?"
Yuki tersenyum nakal.
"Ngomong-ngomong, aku boleh memutuskannya setelah menonton film, ‘kan?"
Itu adalah senyum iblis kecil.
Ada dua belas kursi di ruangan yang cukup besar untuk dua puluh orang. Empat banjar, tiga baris. Kami duduk di baris kedua, dan kursi-kursi itu terasa goyah, mungkin karena lantainya sudah tua. Selain kami, ada tiga orang lagi yang menonton film ini. Ketika film mulai diputar, lampu di dalam ruangan dimatikan.
Kemudian, Film tersebut mulai ditayangkan di layar yang biasa digunakan selama pelajaran.
Film ini menggambarkan kehidupan sehari-hari yang khas, perjumpaan antara laki-laki dan perempuan, perpisahan mereka, dan pertemuan kembali mereka. Sebuah cerita biasa yang sederhana.
Tidak ada invasi alien, tidak ada monster yang menghancurkan dunia. Dunia tidak dalam krisis apa pun, namun, jelas ada sesuatu dalam film itu.
Adegan dimana aku muncul adalah adegan yang penting, Saat keduanya, setelah bertengkar hebat, menyesali tindakan mereka, dan bersatu kembali di bangku taman. Aku sendiri jauh di belakang kedua pemeran utama, tapi aku langsung tahu kalau itu adalah aku, orang yang sekadar lewat.
Yuki mungkin menyadari penampilanku, dan dia menyolek sisi tubuhku.
Aku meraih jarinya yang nakal, dan melirik ke arahnya dengan diam-diam.
Yuki, yang masih di sebelahku,  matanya memandang ke arah layar, tampak sangat serius.
Mungkin rasanya cukup kasar, tapi ini hanyalah film amatir untuk festival budaya, bukanlah sesuatu yang harus ditonton secara serius. Kenapa dia menontonnya serius sekali?
Dalam kegelapan, wajah sampingnya yang disinari oleh lampu-lampu film tampak sangat indah. Selama lima menit terakhir, aku hanya menatap wajahnya, merasa terpesona.
Kami sampai di halte bus di pintu masuk utama, melihat benda besar tersebut berbelok di tikungan. Lampu belakang merahnya perlahan menjadi lebih kecil, dan akhirnya menghilang.
Tampaknya perjalanan berikutnya akan tiba 10 menit kemudian.
Aku duduk bersama Yuki, di kursi plastik. Hanya ada kami berdua di sini.
"Yoshi-kun, film tadi benar-benar membuatku gugup."
Yuki berseri-seri, “Tapi filmnya sangat menarik.”, Ujarnya.
"Bagian di mana si Protagonis mengakui cintanya sangatlah bagus. Aku ingin mendapat pengakuan cinta yang penuh semangat seperti itu ... ”
Yuki dengan gembira memberitahuku apa yang dia pikirkan, tapi aku tidak pernah memperhatikannya. Ada satu hal yang lebih menarik daripada kesan film yang kita tonton, dan aku terus memikirkannya. Haruskah aku bertanya? Atau tidak? Setelah banyak pertimbangan, aku memutuskan untuk bertanya.
"Kalau begitu, kenapa kau menolak tawaran Sutradara?"

❀❀❀

Ini terjadi setidaknya sepuluh menit yang lalu.
Sutradara sudah berada di luar ruangan, sedang menunggu kami keluar.
"Bagaimana filmnya?"
"Ya, rasanya sangat bagus."
"Benarkah?"
Ia mungkin merasa gugup sebelum mendapatkan jawaban ini, dan menghela nafas lega. Kurasa ia mengepalkan tangan kanannya dalam kemenangan, senyum yang terpapar di wajahnya terlihat menyilaukan.
Yuki juga mengangguk sambil tersenyum.
"Kurasa keajaiban tak pernah terjadi sama sekali." Ucapnya, dan melanjutkan...
"Jadi seperti yang dijanjikan, kupikir aku akan menolak tawaran anda."
"Eh?"
Baik diriku, yang berada di sebelahnya, dan Sutradara yang tersenyum tidak mengerti apa yang dikatakan Yuki, dan kami juga tidak mengingat alasan dia mengatakan hal itu.
Dari wajah kami, dia mungkin mengerti apa yang kami pikirkan.
Yuki mengulangi lagi, menekankan kalau bukan karena salah siapa-siapa,
"Maaf, aku tidak bisa tampil di film anda."
Dia membungkuk, dan buru-buru meninggalkan gedung klub.
Aku tertegun sembari melihat bolak-balik di antara punggung Yuki dan sutradara yang tercengang, dan akhirnya membungkuk ke arah sutradara, lalu mengejar Yuki.

❀❀❀

"Karena aku sudah janji." Begitulah balasan dari Yuki.
"Hei, Yoshi-kun, apa menurutmu ada adegan yang terlihat aneh?" Lanjutnya.
"…Tidak."
“Kalau begitu, aku seharusnya tidak muncul di film. Lagipula itu janji. ”
"Aku sama sekali tidak mengerti apa yang kamu maksud. Dengan siapa kamu membuat janji, dan apa janjinya? ”
Mata Yuki memandang ke arah ujung sepatu merahnya yang sedikit usang. Mereka menyentuh dan memisahkan diri berulang-ulang, seperti ciuman.
“Ngomong-ngomong, mumpung kita sedang membicarakan topik ini, aku akan bertanya sekali lagi, Yuki? Dengan siapa kau berjanji untuk menonton film ini? "
Yuki mengambil napas dalam-dalam, dan menghembuskan napas ke arah langit. Dia menghentikan kakinya yang gemetaran, dan berdiri.
Aku segera melihat ke arahnya tanpa berpikir. Punggungnya menghadap ke matahari terbenam, jadi aku tidak tahu ekspresi apa yang dia buat.
“Kami membuat janji yang tak pernah ada. Baik di masa lalu, sekarang maupun masa depan. "
"Apa maksudmu? Bukannya kau punya janji, Yuki? ”
"Memang, tapi sekarang sudah tidak ada lagi. Bahkan bagian tentang kita yang membuat janji itu tidak pernah ada. ”
"Aku sama sekali tidak paham, tapi kalau memang begitu, bukannya tak masalah bagimu untuk tidak menepati janji tersebut, ‘kan?"
"Tidak. karena janji itu masih sangat penting bagiku. "
Jelas ada sesuatu dalam suara Yuki, sesuatu yang keras kepala. Itu bukan sesuatu yang bisa aku selesaikan dengan mudah, dan hanya itu satu-satunya yang kuketahui.
Akhirnya, bus tiba.
Nn, Yuki mengulurkan tangannya ke arahku, dan aku melakukan yang terbaik untuk memegangnya selembut mungkin, berdiri dari kursi. Tangannya yang lembut, dingin, dan lemah. Rasanya sangat lemah sekali sampai-sampai jika aku mengerahkan terlalu banyak kekuatan, aku mungkin akan mematahkannya.
"Jika mungkin, bisakah aku bertemu denganmu besok?"
"Mungkin setelah sekolah, jika kamu tak masalah dengan itu."
"Tentu saja."
"Sampai jumpa besok."
Jadi, kami berjanji.
Kami membuat janji yang benar-benar ada di dunia ini.
Kami bersama pada hari berikutnya, dan berikutnya pula.
Kami mengunjungi toko buku, dan belajar di perpustakaan.
Yuki pandai dalam pelajaran, dan dengan sabar menjelaskan jawaban untuk pertanyaan yang tidak bisa aku pecahkan.
Tanpa aku sadari, seminggu berlalu sejak aku bertemu Yuki.
"Kamu anak yang baik, Yoshi-kun."
"Dengar, meski kau bilang begitu, aku tidak mentraktirmu untuk minum teh .."
Sebagai rasa terima kasih karena telah memeriksa PR-ku, aku membelikan roti daging untuknya di minimarket.
"Cih, kau tidak mau mentraktirku?"
Yuki dengan kikuk bernyanyi, "rasanya dingin, rasanya dingin." Kami berdua berjalan menyusuri kota dengan kilauan lampu yang menghiasi malam. "Aku takut kedinginan." Ujarnya sembari menggosok tangan kecilnya, bernapas di ujung jari. Musim dingin akan datang, dan tentunya hari esok akan lebih dingin dari hari ini.
Kami melewati kantor pos, dan tiba di tempat yang agak jauh dari stasiun. Dengan nada yang lembut, Yuki berkata.
“Hei, Yoshi-kun. Kamu seharusnya jangan terlalu percaya padaku. ”
“Kenapa?"
“Karena aku ingin melakukan sesuatu yang kejam kepadamu."
Usai mengatakan itu, Yuki menggelengkan kepalanya. Dia memejamkan matanya beberapa saat. Dia lalu membuka matanya lagi, dan ada kilatan misterius didalamnya. Cahaya apa itu? Kebingungan? Takut? Kemarahan? Tekad yang kuat? Akhirnya, cahaya itu juga lenyap.
"Tidak. Bukan apa-apa. Lupakan saja."
Yuki berbalik dan berlari menjauh, langkah demi langkah, seolah-olah berusaha menyembunyikan wajahnya.
"Apa besok kita bisa bertemu lagi?"
Rasanya seperti Yuki akan lenyap, jadi aku berteriak ke punggungnya.
Pada saat itu, Yuki dengan cepat berbalik ke arahku. Roknya berkibar sedikit, rambutnya sedikit terangkat, dan dia terlihat sedang menari. Sama seperti di hari ketika kami pertama kali bertemu, jantungku berdebar kencang, sangat kencang sampai membuatku sakit.
"Ehehe. Ini pertama kalinya kamu membuat janji denganku, Yoshi-kun. ”
"Jika itu akan membuatmu bahagia, aku akan terus mengajakmu."
"Benarkah?"
"Aku berjanji kepadamu."
"Aku senang sekali."
Sama seperti sebelumnya, aku berpamitan dengan Yuki di depan stasiun kereta.
Dia melambaikan tangannya dengan penuh semangat, terlalu bersemangat sampai-sampai aku khawatir jika lengannya akan robek. Aku membalas melambai padanya. Jarak antara kami berdua semakin menjauh, sedikit demi sedikit.
Setelah agak jauh, Yuki meletakkan tangannya ke bawah, dan meneriakkan namaku,
"Yoshi-kun."
Pada saat itu, tubuhku membeku.
Ekspresi Yuki langsung berubah, dan aku memiliki kesan bahwa senyumnya terlihat bohong. Pada saat yang sama, dia menggumamkan sesuatu.
Suara menyenangkan itu segera terkubur dalam kebisingan, dan tidak mencapai ke telingaku.
Tapi melalui gerakan bibirnya, aku mengerti apa yang dia katakan.
Pada saat terakhir, Yuki mengucapkannya dengan tatapan sedih.





"—Dasar pembohong.”


close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama