Pertemuan 33
- Hari Terpanas di Musim Panas .
“Kamu benar-benar pekerja keras,
ya.”
Seorang gadis yang tak kukenal
berbicara denganku.
Kejadian ini terjadi setelah
aku melakukan lima putaran sprint 100m.
Suaranya begitu lembut nan
manis, mirip dengan malam dimana panas baru saja mereda.
Karena aku baru saja selesai
berlari, aku masih ngos-ngosan, tidak mampu menanggapi kata-katanya. Gadis itu
mendekatiku, dan memberiku handuk. Aku secara naluriah meraihnya, tapi, apa aku
boleh menggunakannya? Aku mencium aroma wangi pelembut, dan merasa ragu.
“Tidak mengelap keringatmu?”
Dia bertanya saat aku masih
tetap diam, memiringkan kepalanya dengan lucu. Rambut yang ada di wajahnya,
tampak mengganggu. Ujung jari telunjuknya yang cantik membelai wajah lembutnya,
meletakkan rambut halus tersebut ke belakang telinganya.
“Emang boleh?”
“Tentu saja. Aku memberikannya
kepadamu karena alasan tersebut. ”
Gadis itu tersenyum, tampak
bingung, dan itu membuatnya tampak jauh lebih tidak dewasa. Mungkin karena
suasana di sekelilingnya sedikit cerah.
Semua kekhawatiran di hatiku
segera lenyap, dan ketegangan di bahuku mereda.
Meski begitu, jantungku
berdetak lebih cepat dari biasanya.
Setiap kali aku selesai
berlari, aku selalu ngos-ngosan, merasa kehabisan napas, hatiku terasa sakit.
Aku mengalami perasaan ini ratusan, ribuan kali sejak aku bergabung dengan tim
berlari. Tapi, kenapa? Kenapa detak jantung ini tampak sedikit berbeda, terasa
aneh dari sebelumnya?
Tapi aku tidak tahu apa yang
sebenarnya berbeda.
Hal ini ….. sepertinya disebut
ambiguitas.
“Kalau begitu, dengan senang
hati aku akan menggunakannya. Terima kasih.”
“Silahkan,” Balas gadis itu.
“Aku Shiina Yuki. Senang
bertemu denganmu ”
“Hah? Senang bertemu denganmu
juga. Namaku Segawa Haruyoshi. "
Aku memberi namaku,"
Haruyoshi, Haruyoshi. "Dan Shiina-san menggumamkan namaku.
“Baiklah, aku akan memanggilmu
Yoshi-kun."
Ujarnya, mendadak.
“Bukan Haru atau
semacamnya?"
“Kamu tidak menyukainya?"
“Tidak juga, karena belum
pernah ada yang memanggilku seperti itu sebelumnya. Jadi, Aku merasa sedikit
terkejut mendengarnya. "
“Jika tidak ada yang
memanggilmu begitu, bukannya itu lebih baik? Ini adalah caraku untuk
memanggilmu. Oh ya, panggil saja aku Yuki. "
“Yuki-san?”
“Tak usah pakai '-san'. Panggil
saja aku 'Yuki'. "
“Baiklah kalau begitu, Yuki.
Aku punya sesuatu untuk ditanyakan.”
Begitu aku mengatakan itu, Yuki
memalingkan muka dariku, dan memusatkan pandangannya ke arah orang-orang dari
klub sepak bola. Sepertinya dia menyadari kalau mereka sedang meliriknya.
“Mau tanya apa?”
“Kamu bukan murid dari sekolah
ini, ‘kan?”
“... Ketahuan juga, ya?”
Anak cowok dari klub sepak bola
dilirik olehnya, dan merasa panik ketika mereka kembali berlatih. "Oper!
Iya! Lari! Iya! Minigame! Ya. ”Suara-suara keras bergema dari lapangan.
“Apa mereka temanmu,
Yoshi-kun?”
“Kurasa, lebih seperti junior.
Kami tidak pernah berinteraksi, sih. Aku dari klub lari, dan mereka yang ada di
klub sepak bola yang memiliki hubungan baik denganku sudah pensiun semua.
Bagaimanapun juga, aku sudah kelas tiga. ”
Mereka mungkin sedang berada di
ruangan ber-AC, berkutat dengan buku pelajaran, dan bukan sepak bola. Bagi
kami, siswa kelas tiga, istilah 'peserta ujian' benar-benar menjengkelkan.
Sekarang sedang liburan musim
panas.
Cahaya matahari yang menyengat
di hari musim panas membuat semuanya terlihat putih menyilau, dan aku tidak
bisa membuka mata.
Awan lembut yang terlihat
seperti krim itu melayang di atas dengan tenang.
Karena panas, lapangan tampak
mengambang, tidak stabil.
Suara jangkrik yang terdengar
entah dari mana membuatnya terdengar panas dan tak tertahankan.
“Jadi?”
“Apanya?”
“Bagaimana kamu bisa tahu kalau
aku bukan murid dari sekolah ini?”
“Ah, mudah saja. Aku tidak mempunyai
kesan tentang dirimu. ”
“ Yoshi-kun, apa kamu bisa
mengingat wajah semua orang di sekolah? ”
Yuki benar-benar terkejut.
Tentu saja, aku tidak mungkin mengingat semua wajah semua siswa di sekolah.
Ada banyak siswa yang tidak aku
kenal, apalagi seluruh sekolah. Namun, tanpa diragukan lagi kalau Yuki bukan murid sekolah ini.
Jawabannya mudah saja.
Dia memiliki kulit yang putih,
rambut bergelombang seperti permen kapas, alis yang menawan, serta mata hitam
yang besar dan tampak dalam. Dia cukup istimewa dibandingkan dengan semua gadis
yang aku temui.
Jika ada gadis seperti dirinya
di sekolah, pasti akan ada keributan besar saat dia pertama kali datang ke
sekolah.
Memilih gadis-gadis manis di
sekolah adalah hal yang wajib bagi semua anak cowok, termasuk juga diriku.
Tapi aku tidak bisa mengatakan
alasan ini dengan terang-terangan di depannya. "Yah, semacam itu"
Jawabku, menghindari subjek.
“Hm, aku gagal ya. Padahal. Aku
sudah berpakaian dengan seragam sekolah ini. ”
“Tidak usah khawatir, aku tidak
memberitahu guru, kok. ”
Yuki menendang ringan batu yang
ada di dekat kakinya, dan itu memantul, mendarat 2m jauhya dari kami. Dia tidak
serius menendang batu itu menjauh.
“Tidak, bukan itu maksudku.
Kurang lebih, kupikir aku akan sedikit lebih bahagia jika kamu menganggapku
sebagai teman sekelas, Yoshi-kun?”
“Apa maksudmu?”
“Begitu ya. Jadi kamu tidak
tahu. ”
Segera setelah itu, bel yang menunjukkan
jam 3 sore berbunyi.
“Sudah waktunya untuk mulai
berlari, ‘kan?”
Yuki memegang ujung handuk yang
melilit leherku, dan menariknya. Leherku agak dingin tanpa itu.
“Aku akan mencucinya dan
mengembalikannya padamu.”
“Tidak usah repot-repot. Jangan
khawatir. "
Yuki melambai, pada dasarnya
memberitahuku, “Silahkan latihan lagi”. Aku tidak bisa bertanya lagi, jadi aku
mengucapkan terima kasih, dan kembali ke garis start.
Aku berdiri di garis start, dan menarik napas dalam-dalam. Di
depan mataku ada bayangan yang terpotong dengan alat cukur, menempel di tanah.
Aku menatap pria itu. Tidak peduli seberapa keras aku mencoba berlari, orang
ini selalu mendahuluiku dengan mudah. Aku tidak pernah bisa mengejarnya.
Rasanya seperti mimpi buruk. Meski begitu, mengapa aku masih bersikeras untuk
berlari?
“Hei.”
Dan tanpa aku menyadarinya,
Yuki, yang dengan bijak pergi ke tempat teduh di bawah pohon, berkata….
“Anak-anak kelas tiga di klub
lari sudah pada pensiun. Lalu, kenapa kamu masih berlari, Yoshi-kun? ”
Pertanyaannya seakan-akan bisa membaca
pikiranku.
Aku tidak segera menjawab, dan
hanya tersenyum saat aku meletakkan tanganku dengan lembut di garis start,
berjongkok ketika aku bersiap untuk berlari. Permukaan tanah menyerap panas
dari matahari, dan hampir membakar kulitku, dan jari-jariku merasakan sensasi
terbakar. Bersiap. Ucapku dalam hati, membuat aba-aba sendiri. BAM. Aku mengerahkan
kekuatan di kakiku, dan mulai berlari.
Ini terjadi selama musim panas
saat aku kelas 3 SMP.
Begitulah, pertemuanku dengan
Shiina Yuki.
❀❀❀
Awalnya, aku tidak suka
berlari.
Aku bisa mendapatkan peringkat
kedua atau ketiga saat ada festival olahraga di SD. Kurasa aku bisa
membanggakan diri menjadi orang kedua di antara orang yang sangat cepat, tapi
yang berlari di festival olahraga semuanya hampir sama dalam hal kecepatan. Dan
hasilnya, itu semua hanya masalah kemampuan.
Dan alasan mengapa aku
bergabung dengan tim lari karena aku bertemu dengan teman sekelas bernama
Takeshita.
Tepat setelah aku memasuki SMP,
saat ada pergantian tempat duduk untuk pertama kalinya, dan Takeshita duduk di
sebelahku, mengenakan seragam yang sama.
“Seriusan nih, pakai seragam
ini tiap hari? Bukannya ini sama saja dengan penyiksaan? ”
Aku sangat mengerti perasaan
tak nyaman karena leherku menyentuh kerah baju, bersamaan dengan keinginan
untuk menghilangkan rasa gatal.
Bagi kami, yang sudah biasa
memakai pakaian yang nyaman dan memudahkan pergerakan selama beberapa minggu
terakhir, seragam ini terlalu berat dan tidak nyaman, dan juga memalukan.
“Ya. Benar-benar ingin
menyingkirkan ini sesegera mungkin ”
Aku setuju,“ Oh.” Takeshita
membelalakkan matanya, kemudian berseri-seri dengan senyum tulus.
Aku sudah bersekolah selama
enam tahun, dan sampai batas tertentu, aku merasa, "Yap, sepertinya aku
bisa berteman dengan orang ini."
"Senang berkenalan
denganmu". Ucapku pada Takeshita, dan memegang tangannya yang terulur.
Takeshita sudah menjadi bagian
dari klub lari sejak sekolah dasar. Ia biasanya pendiam, tapi saat melakukan
kegiatan klub, Ia menjadi sangat bersemangat.
Misalnya saja, Ia akan
berbicara tentang bagaimana dia mengalahkan lawan-lawannya di kompetisi
terakhir, atau kenangan dari kemah musim panas, atau pelatihan musim dingin
yang keras karena Ia membenci dingin, atau betapa kagetnya Ia karena banyak
senior yang Ia kenal.
Secara pribadi, aku tidak
tertarik pada olahraga, tapi aku pernah diajak oleh Takeshita untuk melihat
kegiatan klub lari.
Takeshita benar-benar sangat
cepat.
Dalam sprint 100m, anak kelas
tiga sekalipun tidak bisa mengalahkannya.
Jika dilihat dari cara Ia
berlari, tidak ada yang pernah menyangka kalau Ia adalah orang yang mendapat
nilai 13 dalam tes bahasa. Sosoknya yang berlari sangat berbanding terbalik
dari pria yang smenghabiskan satu jam untuk menemukan satu jawaban, bukan tipe
orang yang menyemburkan omong kosong seperti. "Rese banget, tinggal bakar
aja sekalian."
Ia benar-benar terlihat keren
saat berlari. Sangat keren.
Keesokan harinya, Takeshita
dengan senang hati mengambil formulir pendaftaran klub lari dariku.
"Rasanya lebih
menyenangkan dari yang kau bayangkan, bukan?" Takeshita tampak sedikit
bangga ketika Ia mengucapkan itu.
"Ya." Aku mengangguk.
Terlalu memalukan untuk mengatakan alasan sebenarnya. Yah, lagian kita berdua
sama-sama cowok. Jadi, tidak perlu mengatakan semuanya.
Dalam kontes untuk anggota
baru, aku melakukannya dengan sangat buruk, sementara Takeshita berhasil
menaiki podium pertama. Dia terus menang, dan lolos dalam tahap seleksi tingkat
local sebagai juara pertama, bahkan Ia berhasil mencapai final dalam kompetisi
tingkat prefektur.
Ada banyak pesaing seperti
Takeshita di final, dan Ia benar-benar memiliki sedikit peluang untuk menang,
hasilnya, banyak yang menantikan penampilannya pada tahun depan, atau tahun
berikutnya. "Yah, begitulah." Aku masih ingat dia mengatakan itu
dengan senyum bodohnya, dan para senior yang mendukungnya tampak kurang senang
dengan sikapnya.
Pada hari saat anak kelas tiga
pensiun, sebagian besar dari mereka memberi semangat pada Takeshita.
"Lakukan yang terbaik." "Kau pasti bisa mencapai tingkat
nasional." Sementara para senior bersorak dengan air mata, "Ya,
serahkan saja padaku." Takeshita
mengangguk dengan serius.
Namun, segera setelah semester
kedua dimulai, Takeshita keluar dari klub lari.
Dari awal, Takeshita tidak
terlalu tertarik pada klub lari.
Alasan Ia masuk klub lari
karena ada seorang gadis yang dua tahun lebih tua darinya, yang lulus dari SD
yang sama berada di klub lari.
Takeshita menyukai gadis
tersebut.
Tapi, cintanya tidak membuahkan
hasil.
Pada akhir upacara pensiun,
gadis yang disukai Takeshita mengumumkan kalau dia berpacaran dengan wakil
kapten.
Takeshita, orang yang tercepat
di tim kami, kalah dari seorang anak kelas tiga yang paling lambat. Ah ya, Ia
kalah. Meski begitu, Ia hanya tersenyum kaku. "Selamat." Ujarnya
dengan suara bergetar. Kalau dipikir-pikir kembali, Ia pernah gemetar dengan
suara seperti itu saat Ia kalah pada final tingkat prefektur.
Bahkan sampai sekarang, aku masih
belum paham mengapa aku sangat emosional. Namun aku tidak bisa memaafkannya.
“Hei, Takeshita. Apa kau
baik-baik saja dengan itu? Kau tidak mau berkelahi melawannya?”
Takeshita hanya tertawa dengan
cara yang konyol.
“Apa kau berniat terus kalah?”
Aku benar-benar cemas, dan
berteriak.
Teman-teman sekelas di sekitar
kami terkejut dan memandangku dengan tatapan aneh, membisikkan sesuatu. Saat
itu, aku mengabaikan semua yang biasanya aku dengarkan. Itu cuma suara berisik
belaka. Apa yang ingin kudengarkan bukanlah hal yang itu. Aku ingin mendengar
pikiran sebenarnya dari teman sekelasku, sohib di klub lari.
Tapi Takeshita hanya tersenyum
tak berdaya, dan pergi tanpa ragu.
Aku tak lagi menemukan sosok
Takeshita yang pernah aku kagumi. Kutatap punggung yang sama dengan cowok yang
mendapat nilai 13 dalam ujian. Itu bukanlah siluet seorang pemenang, tapi
seorang pecundang.
Sejak itu, dua tahun berlalu.
Aku terus bekerja keras di klub
lari. Kurasa aku sedang bekerja keras. Aku menghabiskan dua tahun penuh, dan
akhirnya tiba di tempat yang sama dengan Takeshita saat Ia berlari kelas satu
dulu. Seperti orang yang pernah aku kagumi, aku meletakkan jariku di garis
start. Ujung jari memerah saat mereka menahan berat tubuhku.
Pistol itu ditembakkan, aku
menginjak tanah dengan keras, dan berlari kencang.
Aku melakukan yang terbaik
untuk berlari.
Dan aku tidak menyesal dengan
kekalahanku.
Sebagai orang biasa, aku
berhasil mencapai babak final tingkat prefektur. Bukankah ini cukup? Ah ya
sangat cukup. Tapi, mengapa hatiku merasa begitu hampa?
Aku merasa seakan-akan kehabisan
napas. Keringat yang bercucuran meluncur di pipi dan leherku. Sinar matahari
yang kuat menyebabkanku tidak bisa membuka mata. Aku menghirup udara panas yang
dalam, dan melihat waktu.
Ini adalah usaha terbaik dalam
berlari.
Itu adalah waktu tersingkat
yang aku tempuh.
Namun, itu masih lambat 0,1
detik dibandingkan dengan waktu terbaik Takeshita.
❀❀❀
Esok harinya dan seterusnya,
Yuki terus mencariku. Dia sering memegang minuman olahraga atau es krim.
Aku seharusnya meminta juniorku
untuk memegang stopwatch, tapi tanpa kusadari, itu berakhir di tangan Yuki.
"Bersiap—"
Teriak Yuki.
Aku mengumpulkan kekuatanku di
kaki.
"Bang!"
Pada saat itu, aku segera
berlari.
Awal mulanya tampak bagus.
Tubuhku yang condong ke depan perlahan naik. Tubuhku terasa ringan, dan kakiku
bisa melangkah maju. Dampak dari kakiku yang terus berlari membuat tubuhku
maju, lenganku berayun. Sosok Yuki tampak semakin besar. Aku merasakan sensasi
yang menyakitkan dan membakar pada beberapa titik di tubuhku.
Aku terus mengambil nafas
pendek, menghirup oksigen ke paru-paruku.
Aku menggertakkan gigiku.
Menatap bayangan di hadapanku,
dan mengejarnya.
Saat aku berlari melewati Yuki,
aku mendengar bunyi 'bip' kecil.
Itu dari sisi lain dari garis
finish.
Apa aku berhasil sampai ke
tempat yang kuinginkan?
Aku melambat sedikit demi
sedikit, dan berhenti, kuletakkan tanganku di lutut seraya menopang tubuhku
yang kelelahan. Aku merasakan udara lembab yang merembes ke seluruh pori-poriku.
Ah sial, ini melelahkan.
“Haa, haa, haa. Ba-bagaimana?
"
“Tidak memecahkan rekor terbaikmu.
Tinggal sedikit lagi. ”
“ Ah — masih kurang ya. ”
Karena tak punya tenaga lagi
untuk berdiri, jadi aku jatuh terbaring ke tanah. Bau tanah, bau khas musim
panas, dengan terik matahari bisa tercium dari hidungku. Keringat membasahi
bajuku, dan akibatnya, kotoran menempel di punggungku.
Langit terlihat biru, dan terik
matahari yang panas serasa membakar kulitku.
Tubuhku mendambakan oksigen,
terengah-engah, dan jantungku berdetak kencang. Dadaku mengembang, mengempis,
dan mengembang lagi. Aku merasa lelah. Tubuh dan jiwaku seakan-akan terpisah.
"Fyuhh, panas
banget."
Saat aku mengucapkan kata-kata
tersebut, sesosok bayangan menutupi wajahku.
"Kerja bagus.
Beristirahatlah sebentar. ”
Ternyata, sosok itu adalah
Yuki.
Dia memegang dua botol minuman,
yang satu minuman isotonic dan satunya lagi teh dingin. Dia memintaku untuk
pilih yang mana, dan aku memilih minuman isotonic. Aku mengucapkan terima
kasih, duduk tegak, dan memegang botol minuman.
Untungnya, dia sudah membukakan
tutup botolnya, jadi aku bisa meminumnya segera. Aku meneguk hampir dari
setegah dari isi botol.
Yuki memastikan untuk tidak
duduk saat dia berlutut di tanah, membantuku menutup dan membuka tutup
botolnya. Dia menyipitkan matanya, seolah melihat matahari, dan berkata,
"Seperti bau anak
cowok."
Kudekatkan botol minuman ke
bibirku sekali lagi, dan kali ini, aku meminumnya secara perlahan.
Tenggorokanku berdenyut-denyut. Isi dari air minuman tersebut mengalir ke dalam
tubuhku.
“Mau tiduran di atas tanah?
Emang ngga takut kalau pakaian atau rambutmu jadi kotor. “
“Yah, tentu saja.”
“Hhhmmmm”
“Emangnya Kau merasa itu
kotor?”
“Tidak apa-apa, kan? Aku pikir
itu sangat keren. ”
Aku mulai mengingat laporan
cuaca pagi, ketika si wartawan itu melaporkan kalau hari ini akan lebih panas
daripada kemarin, atau semacamnya. Setelah selesai minum, aku pun berdiri.
“Aku mau cuci muka dulu.
Beristirahatlah di tempat teduh, Yuki. ”
Entah kenapa, tenggorokanku
terasa lebih haus daripada sebelumnya.
uuuu
Aku pergi ke wastafel di halaman,
di mana jarang ada orang.
Dengan menggunakan keran, aku
membasuh kepala untuk menenangkan diri. Kepalaku lebih berat setelah rambutku
basah, tapi aku merasa jauh lebih segar dibandingkan sebelumnya. Kemudian, kucuci mukaku, keringat yang bercampur air
masuk ke mulutku. Rasanya sedikit asin. Aku berkumur, meludahkan air, dan
meninggalkan tempat itu.
Aku mengangkat rambutku yang
basah dan dibundel, dan sedikit beristirahat di bawah bayangan gedung.
"Haa." Aku menghela nafas panjang.
Aku menyandarkan punggungku di
dinding, dan menutup mataku, pikiranku mengingat senyum Yuki. "Aku pikir
itu sangat keren." Suaranya bergema berkali-kali. Setiap kali hal itu terjadi,
hatiku merasa bahagia, dan sekaligus sedih.
Aku harus fokus pada berlari.
Apa ada yang salah denganku?
Ini adalah pertama kalinya aku
mengalami perasaan seperti ini. Bahkan sampai pada titik wajahku terasa panas.
Setelah beberapa saat, aku
membuka mataku lagi, dan melihat wajah yang akrab berlalu di depanku. Orang itu
memberikan tampilan yang sangat suram, sangat berkebalikan dengan penampilannya
yang biasa. Dia adalah orang paling terkenal di sekolah yang tampil selama
kompetisi musim panas.
Dia adalah Rindou Akane dari
tim renang.
“Eh, Akane? Apa yang sedang kau
lakukan di sini? ”
Saat Akane mendengar suaraku
dan menyadari keberadaanku, ekspresinya berubah lebih cepat daripada membalik
halaman. Wajah suram dari sebelumnya terkubur jauh di dalam hatinya, dan dia
menunjukkan wajahnya yang ceria.
“Hm? Ah, ternyata kamu, Haru.
Aku sedang beristirahat, nih. Aku meninggalkan sesuatu di ruang kelas. Jadi aku
pergi untuk mengambilnya sekarang. ”
“Nyahahaha.
”Ucapnya
sambil tertawa, tapi yah, itu jelas bohong.
Mana mungkin dia bisa menuju ke ruang kelas dengan penampilan seperti
itu.
Karena kenyataannya, dia hanya
mengenakan baju renang sekolah.
Desain bijaksana dan
mengedepankan fungsionalitas, itu adalah desain terburuk yang pernah ada. Tidak
peduli jenis kelaminnya, tidak ada yang menyukai pakaian renang ini. Baju
renang berwarna biru gelap akan menjadi hitam setelah menyerap air. Dia basah
kuyup di seluruh rambut dan tubuhnya, dan jelas dia tidak mengeringkan dirinya
dengan handuk. Rambut pendeknya mengumpulkan sedikit air, dan meneteskan air,
meluncur turun di kulitnya, lalu mendarat di tanah.
“Apa ada sesuatu yang
terjadi?"
“... Tidak. Bukan apa-apa.
"
“Begitu ya. Yah, jika ada
sesuatu terjadi, jangan malu-malu buat curhat. Setidaknya aku bisa mendengar
keluhanmu. Ngomong-ngomong, apa-apaan dengan wajah itu? ”
“Aku sedikit terkejut. ”Kata
Akane.
“Tak kusangka aku akan
mendengar kata-kata seperti itu darimu, Haru.” lanjutnya
Memang, rasanya sedikit aneh
dari apa yang biasanya aku katakan.
“Mungkin karena musim panas.
Aku sendiri merasa agak aneh. Tidak, maaf, lebih baik lupakan saja.”
“Tidak perlu malu. Tapi
baiklah, tebakanmu ada benarnya. Aku akan mengatakan apa yang kuinginkan.”
Akane mengubah arahnya, dan
menuju ke sampingku.
Itu adalah jarak yang tidak
bisa dijelaskan yang mana kurasa mampu untuk kugenggam, namun tak bisa kucapai
hanya dengan mengulurkan tanganku. Pada saat yang sama, aku bisa mencium bau
garam dari Akane, tidak, bau kolam renang.
Akane, yang sedang bersandar di
dinding dalam posisi yang sama denganku, menghela nafas juga. Ah, dingin
banget. Dia bergumam pada dirinya sendiri, dan mengambil napas dalam-dalam. Aku
pikir dia akan mengatakan sesuatu, tapi kesunyian berlanjut untuk sementara
waktu.
Suara dari beberapa instrumen
yang terbawa angin, datang dari suatu tempat. Aku melihat sekeliling, dan
menemukan ada dua gadis di jendela di koridor lantai dua, tengah meniup
terompet. Suara-suara dari terompet bernada tinggi melayang ke arah kehijauan
musim panas.
Setelah pertunjukan berakhir,
Akane angkat bicara.
“Yah, sebenarnya, aku tidak
bisa bilang kalau ada sesuatu yang terjadi. Hanya saja, Aku tidak bisa
memunculkan motivasi yang aku miliki sebelumnya. Saat aku mencapai tingkat
nasional pada turnamen terakhir, aku membuat rekor terbaik diriku, dan cuma
merasa sedikit lelah. Baru hari ini, guru pembimbing klub memintaku untuk
membimbing junior, tapi aku ... ”
Tidak bisa berenang seperti
sebelumnya.
Suaranya hampir menghilang pada
kata terakhir, nyaris tak terdengar.
Akane mengekspresikan dirinya.
"Tidak apa-apa." Dan aku bergumam. Aku tahu Akane sedang menatapku,
tapi aku malah melihat dua gadis yang meniup terompet tadi.
“Tapi yah, bukannya kau masih
berenang, Akane?”
“Berenang adalah kebiasaanku,
sama seperti menyikat gigi. Aku merasa sedikit kurang nyaman jika tidak
berenang.”
“Benar. Jadi masih ada harapan.
Ini mungkin menjadi lebih kecil, dan lebih sulit untuk dilihat, tapi tidak
padam. Aku akan mengatakan ini sebanyak mungkin. Tak diragukan lagi kamu bisa
pergi ke tempat yang lebih jauh, Akane. ”
Akane berbeda dari Takeshita
dan diriku.
Niatnya untuk berenang
benar-benar nyata.
Meski aku tidak mengatakan
kalimat terakhir.
“... Rasanya kamu sedikit
berubah, Haru.”
“Benarkah?” Tanyaku.
"Dulu, kamu tidak akan mengatakan hal seperti itu." Jawabnya.
“Jika itu kamu yang dulu, Haru,
kamu mungkin takkan menyapaku jika aku tidak menyadari keberadaanmu. Aku tidak
tahu berapa kali aku diabaikan olehmu. Bahkan jika ada banyak orang, kamu hanya
berdiri di pinggiran dan melihat semua orang. Kemudian kamu akan mengatakan
kalimat- kalimat ambigu dengan senyum yang benar-benar palsu. Tapi itu berbeda.
Aku tahu. Ini adalah pikiranmu yang sebenarnya, Haru. Ini mungkin pertama
kalinya Kamu mengatakan apa yang sebenarnya Kamu rasakan. Jadi, hm hmm ... Aku
sedikit senang.”
“Ini salah musim panas. Rasanya
sangat panas di sini jadi aku tidak bisa berpikir jernih dan mengatakan hal-hal
aneh. Maaf.”
“Sudah kubilang, kamu tidak
perlu malu. Hm Tapi, yay! Berkat kamu bilang begitu, Haru, aku akan mencobanya.
Ah ya. Boleh aku meminta sesuatu darimu kali ini?”
“Jika itu ada dalam
kemampuanku.”
“Apa kamu tak keberatan untuk
bilang 'berjuanglah'? Aku sebenarnya orang yang sederhana. Jika aku
disemangati, aku mungkin bisa bekerja sedikit lebih keras.”
“Cuma itu saja? Bukannya semua
orang mengatakan itu kepadamu berkali-kali? "
“Tidak, itu berbeda. Katakan
itu padaku. kumohon! "
“Oke. Berjuanglah. ”
Akane menutup matanya,
tampaknya berusaha fokus saat dia mendengarkan.
“Ya.”
“Berjuanglah.”
“Ya.”
“Berjuanglah, Akane.”
“Ya, aku akan berjuang.”
Akane perlahan membuka matanya,
aura disekitarnya mendadak berubah. Dia memiliki aura orang-orang yang populer.
Dengan sifatnya yang ceria, baik hati, sedikit ceroboh, dan sangat jujur. Dia
terlihat menyilaukan layaknya matahari musim panas.
Melihat dirinya, aku hanya bisa
menyipitkan mataku.
Lalu, Akane, yang ada di
sebelah kiriku, berbalik dan kembali ke tempat asalnya.
Saat bayangannya semakin kecil,
entah kenapa, dia berbalik ke arahku lagi. Dia berjalan keluar dari tempat
teduh, dan berdiri di bawah pancaran cahaya yang kuat. Tetesan air di seluruh
tubuhnya memantulkan sinar matahari, dan dia tampak sangat mempesona.
"Ya, aku akan berjuang
juga."
Kemudian, dia mengepalkan tinju
ke arahku.
"Jadi, kau juga
berjuanglah, Haru."
"Ah, hhmm ya."
Gumamku.
Kurasa aku memang harus
berjuang.
Ada perasaan gatal di hatiku,
tapi terasa sangat nyaman.
“Ada apa?”
“Tidak ada apa-apa. Hanya saja
kurasa aku harus benar-benar berjuang sekuat tenaga. ”
Usai mendengar jawabanku, pipi
Akane sedikit memerah saat dia bicara dengan gembira,
“Bukannya itu hebat?"
❀❀❀
Pembicaraan yang aku lakukan
dengan Akane akhirnya membuatku tenang kembali. Aku kembali ke lapangan, dan
ketenangan itu lenyap dalam sekejap.
Yuki sedang menunggu di bawah
pohon di dekat lapangan.
Dia sedang berbicara dengan
seseorang.
Laki-laki itu berambut agak
panjang, dan terlihat keren. Ia memakai seragam tim sepak bola, dan jika aku
ingat benar, namanya Sawachika. Tiga bulan lalu, teman sekelasku, Satake,
dengan bangga membual bahwa pemain sayap yang lincah bergabung dengan mereka.
Sedikit jauh dari mereka berdua
ada beberapa orang dari tim sepak bola yang sedang memata-matai. Begitu salah
satu dari mereka melihatku mendekat, gerombolan itu langsung berhamburan panik.
Aku mendapat gambaran kasar
tentang apa yang terjadi. Kelihatannya Yuki sedang dirayu. Yah, tidak aneh
baginya untuk dirayu, karena hanya dengan berdiri di sana saja, dia terlihat
cantik.
Jika memang begitu, apa yang
harus aku lakukan? Apa hal yang benar untuk dilakukan?
Tiba-tiba, aku sadar.
Apa yang aku sedang coba
lakukan?
Bahkan aku sendiri merasa bodoh
untuk memikirkan pertanyaan seperti itu.
Kurasa aku bertingkah aneh
karena cuaca panas. Ini benar-benar bukan seperti diriku, tapi yah, itu bukan
hal yang buruk. Bukan hal yang buruk sama sekali.
Aku mendekat saat mereka masih
berbicara. Yuki memperhatikanku, dan bergegas ke arahku?
“Ada apa?”
“Cuma sedikit masalah.”
Ketika kami berbicara,
Sawachika mendekat. Yuki melihatnya, dan langsung bersembunyi di belakangku.
Aku pun mengambil langkah maju.
Saat aku melakukannya,
Sawachika tampak ragu-ragu, dan menelan kata-katanya. Tidak, hanya itu yang
bisa dia lakukan.
Bagi kami anggota klub
olahraga, para senior dihormati layaknya Dewa. Sebenarnya Sawachika mendekati
Yuki selagi aku tidak ada. Dia mungkin menunggu kesempatan tersebut.
Dengan senyum ramah di wajahku,
aku berkata pada Sawachika.
“Aku ingat kau dipanggil
Sawachika, ‘kan? Aku kira kegiatan klub tidak mudah setelah anak kelas 3
pensiun? Satake masih mampir dari waktu ke waktu, bukan? ”
Aku tidak begitu peduli tentang
apa pembicaraannya. Aku hanya ingin memberi tahunya tentang hubunganku dengan
mantan kapten tim sepak bola Satake.
Sawachika mengerti apa yang aku
maksudkan, dan sementara merasa tidak senang tentang hal itu, dia membungkuk ke
arahku dengan sopan, dan kembali ke teman-temannya.
❀❀❀
Hari itu, setelah latihan.
Yuki, yang sampai kemarin
biasanya langsung menghilang saat aku berada di ruang ganti klub, tengah
berdiri di depan pintu, menatap ke langit. Matahari akan segera terbenam, dan
awan membiaskan cahaya oranye, langit mengubah tanah menjadi merah menyala.
Matahari diagonal memanjangkan bayangan Yuki, dan dibandingkan dengan siang
hari, siluetnya yang samar-samar seakan-akan memberi kesan bahwa dia akan
menghilang begitu saja bila aku memalingkan muka darinya.
“Hm, ada apa?”
Ucapku pada Yuki, yang berbalik
ke arahku. Rambut kastanyenya yang jernih berkilau, dan senyumnya terlihat
sangat cantik. Ini adalah pertama kalinya dalam hidupku melihat senyum
seseorang yang begitu cantik.
“Aku ingin mengucapkan terima
kasih karena sudah menyelamatkanku dari masalah tadi. Ayo pergi ke minimarket.
Aku akan mentraktirmu es krim atau sejenisnya.”
“ Tidak usah. Lagipula aku
tidak berbuat banyak. "
“Aku merasa senang, jadi aku
ingin mengucapkan terima kasih. Emangnya tidak boleh? ”
“ Bukannya tidak boleh sih…. ”
“ Kalau begitu, ayo pergi. ”
Sebelum aku sempat membalasnya,
Yuki sudah berbalik ke gerbang sekolah. Aku mengejarnya, dan berjalan di
sampingnya.
Dua bayangan bergoyang
berdampingan, tapi bukan sekali saja mereka bertemu. Ada celah seukuran
seseorang di antara kami. Aku merasa seperti sedang berbisik ketika aku
berbicara. Mengapa?
“Beneran, deh, Yuki, kau ini
cukup populer.”
“Itu tidak benar.”
“Tapi kau didekati oleh
Sawachika hari ini.”
“Ohh, jadi yang tadi itu
dipanggil Sawachika-kun?”
“Kau tidak menanyakan namanya?
"
“ ... Aku lupa buat nanya.
Kurasa dia datang merayuku karena dirimu, Yoshi-kun. ”
“Mana mungkin, bukannya dia
mendekatimu saat aku tidak ada?”
“Kurasa tidak. Saat aku
benar-benar sendirian, tidak ada yang mau berbicara denganku. Aku tahu kalau
aku sedang dilihat, tapi yah, Cuma itu saja. Yap, kukira aku bukan manusia saat
itu. ”
“Sendiri. ” Gumam Yuki.
Suaranya terdengar agak sedih.
Kesendirian miliknya membuatku
merasa kesepian juga.
“Jadi, maksudnya, kau ini akan
menjadi monster saat aku tidak ada?”
Aku membuat candaan. Aku tak
peduli apakah dia marah, kaget, atau menganggapku orang bodoh.
Aku hanya ingin dia tidak
sedih. Ya, emosi apa saja tak masalah, asal jangan sedih saja.
Aku ingin dia melupakan
kesedihan dan kesepiannya. Pada saat ini, dia tidak lagi sendirian, karena aku
berjalan di sebelahnya.
Sejenak, Yuki terperangah.
"Ahahaha." Dan kemudian dia tertawa terbahak-bahak.
Kesedihannya lenyap dalam sekejap,
seperti yang aku harapkan.
"Ya. Aku ini adalah
monster yang menyemburkan api! ”
Yuki dengan sengaja melebarkan
mulutnya, dan mengangkat alisnya, lalu berteriak “ Gyaaa !!!!.” Berpose
layaknya kaiju dalam film-film yang pernah tayang di TV.
“Kau akan menghancurkan kota?”
“Tentu saja.”
“Kau akan bertarung melawan
pahlawan?”
“Tentu saja!”
“Jadi, kau hanya akan menjadi
manusia lagi saat ada aku saja?”
“ Ya ...”
“Kenapa?”
Yuki tidak menjawab. Aku tidak
menyerah dan terus bertanya.
"Kenapa kau menjadi
manusia lagi saat kau bersamaku?"
Jawab Yuki dengan nada yang
bercanda pula.
“Karena kamu orang aneh,
Yoshi-kun.”
“Hah?”
“Karena cuma kamu satu-satunya
yang akan berbicara dengan orang aneh seperti diriku.”
“Begitu ya." Aku
mengangguk tanppa sadar, tapi kalau dipikir-pikir lagi, aku tidak ingat kalo
aku dulu yang berbicara dengannya. Malahan Yuki sendiri yang berbicara lebih
dulu.
“Tunggu sebentar, bukannya kau
orang yang pertama kali berbicara kepadaku, Yuki?”
“Masa sih?”
“Coba kau ingat-ingat lagi. Aku
sedang berlatih saat itu. Kaulah yang mengatakan kepadaku "Kau benar-benar bekerja keras."…. "
“Ah, kita sudah sampai di
minimarket. Ayo masuk, ayo masuk. "
Sebelum aku menyelesaikan
kalimatku, Yuki sudah meraih lenganku, dan menarikku ke dalam minimarket.
Bayangan kami digabung menjadi satu. Entah kenapa, tangan Yuki sedikit dingin,
begitu dingin hingga aku khawatir kalau tangannya bisa meleleh karena tanganku
yang lebih panas dari biasanya.
Kami membeli es krim di
minimarket, dan duduk di tempat teduh di tempat parkir. Aku buru-buru
mengeluarkannya dari bungkusnya, dan mengunyah lapisan gula. Gigiku memecahkan
lapisan gula tersebut, dan es manis mengalir keluar. Sangat lezat. Aku
mengunyah es, dan ada suara yang menyertai perasaan menyenangkan dan kenyal.
“Apa tidak mau yang lain? Ada
beberapa yang lebih mahal, loh. " ujar Yuki
“Aku suka yang ini.”
“Yah, lagipula yang ini juga
enak. "
Menjelang waktu malam, ada
banyak orang yang lewat di depan minimarket. Ada seorang Onee-san yang membawa
anjingnya berjalan-jalan, anak SMA yang mengenakan headphone. Paman berjas yang
tengah bergegas kembali ke perusahaannya. Dua orang pemuda mengayuh sepeda
mereka menuju jalan pulang.
“Beneran, deh, Yoshi-kun."
Ucap Yuki sambil berdiri di
sampingku, menjilati es krim yang meleleh di tangannya.
Dia sadar kalau aku
mengawasinya, dan berkomentar bahwa dia benar-benar tidak bisa memakan es krim
lagi.
Aku tahu kalau Yuki tidak
benar-benar bermaksud begitu, jadi aku sabar menunggu. Segera setelah itu, dia
menggigit tongkat kayu es krim, sama seperti yang aku lakukan.
“Apa kamu pernah berkompetisi
melawan seseorang?”
“Eh?”
"Apa kamu pernah ingin
mengalahkan seseorang?"
Dia tidak terlalu yakin,
“Kau tahu?"
“Yah, aku bisa merasakannya.
Aku selalu mengawasimu sepanjang waktu. ”
“Sepanjang waktu? ”
“Ya, Sepanjang waktu. ”
“Ahahaha. ”Aku mulai tertawa
untuk mengabaikan pernyataan yang kabur itu. "Apa yang kamu bilang?"
Tapi Yuki tidak ikut tertawa. Dia menatapku dengan penuh perhatian.
Tawa canggungku meleleh ke
dalam udara musim panas, perlahan-lahan menghilang, dan akhirnya lenyap. Aku
menatap ujung sepatuku yang compang-camping. Tiba-tiba, ujungnya membungkuk
lembut. Aku sedikit terkejut. Semua yang ada dalam pandanganku, dunia yang aku
lihat menjadi kabur dan goyah.
Sejenak, untuk beberapa alasan,
aku mulai berbicara tentang masalah yang ingin aku sembunyikan di hatiku
selamanya.
Ini adalah sesuatu yang telah
aku selesaikan dalam pikiranku yang tak terhitung jumlahnya, dan telah menerima
persetujuan.
Akhirnya, keluar dari
tenggorokanku, melalui mulutku, kata demi kata terucap, menjalin
istilah-istilah yang tidak berhubungan –
Aku punya teman yang bernama
Takeshita.
Mengenai bagaimana cepatnya Ia,
Dan Ia memiliki senior yang Ia
kagumi,
Serta percintaannya yang
berakhir sangat cepat,
Dan bagaimana Ia menyerah
begitu saja.
Suaraku terputus-putus, tubuhku
gemetaran, penglihatanku kabur. Aku hanya mengatakan semua emosi dari mulutku.
Tempat parkir menjadi semakin gelap. Emosi yang panas dan tajam mengambil
bentuk kata-kata, dan terus menerus menyentuh bagian paling lembut dari hatiku.
Berapa lama waktu berlalu
setelah aku menyelesaikan apa yang ingin aku katakan? Dua menit? Tiga menit?
“Jadi itu sebabnya kamu mulai
berlari.”
Gumam Yuki.
“Apa maksudmu?”
“Kamu selalu berlari kencang,
Yoshi-kun, tapi tidak sepenuhnya siap. Itu mungkin karena kamu terlalu
mengagumi Takeshita-kun, dan itu sebabnya kamu hanya selangkah jauh darinya.
Ya, aku mengerti. Aku akhirnya tahu apa yang bisa aku lakukan. ”
Aku menggosok wajahku dengan
telapak tangan, dan mengangkat kepala. Dunia sudah ternodai warna malam hari
tanpa aku sadari, dan ada banyak lampu kecil yang berkedip di belakang Yuki
yanag sedang berdiri. Dia sangat cantik, baik di siang hari, sore, maupun malam
hari.
“Hei, sekedar ingin tahu aja,
Yoshi-kun, apa kamu benar-benar ingin melampaui rekor Takeshita-kun?”
“Aku mulai berlari karena orang
itu.”
“Kamu sama sekali tidak jujur.
Jika kamu memiliki sesuatu yang kamu inginkan, katakan saja. Jika ingin menang,
katakan kalau kamu ingin menang. "
" ... "
“ Ayo. Katakan.”
“Aku ingin menang. Aku ingin
mengalahkan Takeshita.”
“ Baik. Semangat yang bagus.
Aku akan membuatmu mengalahkannya. ”
Yuki mengambil stik kayu dari
tanganku, dan menggantinya dengan miliknya. Tulisan 'Kamu menang' ada di sana.
Kurasa mungkin menang untuk undian es krim. Ini pertama kalinya aku melihatnya,
dan kupikir itu Cuma mitos belaka.
“Kamu benar-benar beruntung, Yoshi-kun.
Tampaknya kamu punya Dewi keberuntungan dipihakmu.”
Walau Yuki sendiri yang
mengatakan itu, dia malah tersenyum malu-malu. Dia segera memalingkan mukanya
di depanku, tapi saat aku melihatnya dari belakang, aku bisa melihat telinganya
sedikit memerah.
❀❀❀
Keesokan harinya, hujan yang
mendadak membuatku tidak bisa sekolah.
Sehari setelahnya pun sama, dan
lintasannya menjadi becek; Aku tidak bisa lari. Tiga hari setelah aku makan es
krim itu, aku bertemu kembali dengan Yuki saat sore hari.
Aku menyelesaikan pemanasanku,
dan berlari-lari kecil ketika Yuki muncul seperti biasa. Aku melihat sosoknya,
dan membeku. Dia mengangkat tangannya, "Hai" sapanya, bertingkah
seolah-olah tidak ada yang terjadi.
“Sepertinya hari ini adalah
hari terpanas di musim panas." Ucapnya.
“Tidak juga. Lagipula,
Apa-apaan dengan pakaianmu itu? ”
Aku menunjuk ke baju yang Yuki
kenakan. Untuk beberapa alasan, dia memakai baju olahraga sekolah kami. Pakaian
putihnya tembus cahaya, dan aku bisa melihat garis tubuh dan warna pakaian
dalamnya. Kupikir, aku harusnya tidak melihat, tapi aku tidak bisa berpaling
dari pemandangan itu.
"Aku membelinya."
"Kali ini apa lagi?"
“Aku mungkin mengotori
pakaianku hari ini.”
“Tidak, bukan itu yang ingin
aku tanyakan. Aku ingin tanya, mengapa kau membeli pakaian olahraga sekolahku?
"
“Jika aku memakai ini, tidak
ada yang akan mencurigai identitasku jika aku terlihat. Lagipula, apa kamu
sudah siap?”
Aku merasa, yah, jika sudah
sejauh ini , dan Yuki terlihat sedikit senang, aku tidak repot-repot membalas.
Aku mengangguk. Berkat hujan yang mendadak dari sebelumnya, aku cukup
istirahat, dan merasa baik-baik saja. Ini adalah perasaan yang aku miliki saat
aku memecahkan rekorku di Prefektur.
“Tapi apa aku bisa benar-benar
mengalahkan Takeshita?”
“Ya. Tidak masalah. Larilah
dengan kecepatan penuh seperti yang biasa kamu lakukan, Yoshi-kun, dan
percayalah. Hanya lihat diriku. Sederhana, bukan? ”
Aku menyodorkan kepalan
tanganku ke arahnya, yang mana hal itu entah kenapa bisa membuatku menjadi percaya
diri. Setelah itu, Yuki pergi ke garis finish, sementara aku pergi ke garis
start.
Seperti biasa, aku menenangkan
pikiranku, dan di dalam pikiranku, aku terus mengulangi metode start terbaik
seraya memperpanjang tendon kakiku. Aku meletakkan tanganku di jantung yang
berdetak kencang. Aku menarik napas lambat, dan menghirup udara musim panas ke
paru-paruku.
Aku membuka mataku.
Langit biru dan sinar matahari
memasuki mataku, bersama dengan Yuki yang berdiri di garis finis.
Tanpa aku sadari, jantungku
menjadi tenang kembali.
Aku memposisikan diri di garis
start. Aku bersiap untuk berlari. Yuki mengangkat tangannya. Aku melihat ke
depan.
"Bersiap——"
Dunia menjadi sunyi.
"Mulai!"
Itulah satu-satunya suara yang
bisa aku dengar.
Aku mulai berlari. Ini adalah
awal yang sempurna. Aku mempertahankan postur ke depan saat aku berlari , terus
mempercepat seraya perlahan mengangkat tubuh bagian atasku. Angin bertiup
kencang, dan pemandangan berubah. Aku terus berlari maju dengan kecepatan yang
tidak pernah kurasakan sebelumnya.
10 m terlewati. 20 m terlewati.
Hah. Hah. Kaki depanku menempel ke tanah saat aku melompat maju.
30 m terlewati. 40m terlewati.
Aku mungkin benar-benar berhasil.
Dan saat aku berlari melewati
jarak 50m, seperti biasa, aku melihat ke arah bayangan yang berlari di depanku.
Bayangan yang tak pernah bisa
aku lampaui.
Aku selalu melihatnya sebagai
Takeshita. Tapi,
“Yoooooossssssshhhhhhiiiiiikkkkkkkkuuuuunnnn.
Angkat kepalaaaaaaaaaaaaaaamu! ”
Yuki berteriak padaku.
Dunia menjadi sunyi.
"Mulai!"
Itulah satu-satunya suara yang
bisa kudengar.
Aku mulai berlari. Ini adalah
awal yang sempurna. Aku mempertahankan postur ke depan saat aku berlari , terus
mempercepat seraya perlahan mengangkat tubuh bagian atasku. Angin bertiup
kencang, dan pemandangan berubah. Aku terus berlari maju dengan kecepatan yang
tidak pernah kurasakan sebelumnya.
10 m terlewati. 20 m terlewati.
Hah. Hah. Kaki depanku menempel ke tanah saat aku melompat maju.
30 m terlewati. 40m terlewati.
Aku mungkin benar-benar berhasil.
Dan saat aku berlari melewati
jarak 50m, seperti biasa, aku melihat ke arah bayangan yang berlari di depanku.
Bayangan yang tak pernah bisa
aku lampaui.
Aku selalu melihatnya sebagai
Takeshita. Tapi,
“Yoooooossssssshhhhhhiiiiiikkkkkkkkuuuuunnnn.
Angkat kepalaaaaaaaaaaaaaaamu! ”
Yuki berteriak padaku.
Dia mungkin tidak terbiasa
berteriak. Suaranya seakan-akan hampir pecah.
Aku mengangkat kepalaku, tepat
saat dia memanggilku. Aku melihat garis finish. Wajahnya memerah ketika dia
berteriak padaku.
“Lihatlah ke
depaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaannnnnnnnnn”
Serius, erm, apa yang sedang
kau lakukan, Yuki?
Aku akhirnya menyeringai.
"Aku di sini!"
Dia melambaikan tangannya,
berteriak.
“Terbang kesini !!!”
Kemudian Yuki berseru,
“Percayalah padaku, lihatlah diriku.”
Jadi, aku memercayai Yuki.
Dan hanya melihatp dirinya.
Ah ya, ini sederhana saja.
Karena-
Setiap langkah yang aku ambil,
Yuki menjadi lebih dekat denganku. Aku ingin menjadi lebih cepat ... Aku ingin
pergi ke samping Yuki lebih cepat lagi. Sekalipun itu hanya satu detik lebih
cepat, aku ingin menjadi lebih cepat.
Yuki ada di pusat dunia.
Tidak ada yang lain.
Selangkah, dua langkah, tiga
langkah. Aku pasti tidak boleh melambat. Lebih penting lagi, aku harus lebih
cepat.
Pada langkah terakhir, aku
mendepak keras ke tanah, dan saat Yuki berkata, aku melompat ke lengannya yang
terbuka. Sekarang adalah musim panas, tapi aku bisa mencium aroma harum musim
semi. Ini adalah aroma dari bunga sakura.
Pada saat itu, aku mendengar
bunyi 'bip', dan pada saat yang sama, dunia berputar. Eh? Semua yang tersisa
hanyalah suara terkejut yang menggema di dalam kepalaku.
Dan tanpa aku sadari, aku sudah
berbaring di tanah. Tangan Yuki ada di leherku, dirinya berada di atas tubuhku.
Kemungkinan saat aku akan menabraknya, dia menindihku ke bawah.
"Sakit tau—"
Seharusnya, dampaknya hanya
mengenai punggungku saja, tapi seluruh tubuhku terasa nyeri dan sakit. Aku
batuk, dan sulit bernapas. Rasa sakitnya tak tertahankan, dan Yuki melepaskan
tangannya dari leherku, sama sekali tidak mengkhawatirkanku. Yang dia pedulikan
hanyalah telapak tangannya. Kukira dia akan merangkulku dengan kuat, dan
berseru,
“Apa yang kamu lakukan?
Pura-pura sakit segala. ”
Tapi Yuki sama sekali tidak
peduli dengan apa yang aku katakan, wajahnya berseri-seri ketika dia
memperlihatkan telapak tangannya ke hadapan wajahku.
“Ini, coba lihatlah
sendiri."
Aku tidak tahu apa yang dia
katakan. Apa yang kupikirkan hanya rasa sakit dipunggungku, dan sensasi lembut
di atas perutku karena merasakan pantat Yuki. Melihat reaksiku yang sedikit
aneh, Yuki cemberut dan mengerutkan bibirnya.
“Tidak bisakah kamu sedikit
lebih senang?”
“Eh. Erm, senang dengan apa?
"
“Waktunya. Lihat, buka matamu
lebar-lebar ”
Aku menghabiskan sekitar 10
detik untuk memahami apa yang dia katakan. 5 detik kemudian, aku menerima
kenyataan yang ada di depanku. Awalku dikumpulkan pada waktu yang ditunjukkan
pada stopwatch di tangan Yuki.
Itu adalah rekor 100m baru.
Aku mengalahkan rekor
Takeshita.
“Kenapa?"
Tiba-tiba, air mataku mulai
mengalir. Jauh di dalam mataku muncul senyum Yuki. Stopwatch ada di mataku. Ah,
aku tidak bisa melihat lagi.
“Hhm, Yoshi-kun, aku pikir kamu
sudah lama melampaui Takeshita-kun, tapi kamu sangat mengaguminya sehingga kamu
entah bagaimana akhirnya berlari dengan cara menghemat tenagamu. Saat kamu
mencapai 50m terakhir, kamu selalu melihat ke bawah. Itulah yang menyebabkanmu
sedikit lambat. Kau bisa saja melihat ke depan, tapi kau tidak melakukannya.
Kurasa kurang benar, lebih tepatnya, kamu tidak bisa melakukan itu, ‘kan?
Takeshita-kun yang berlari di depanmu sepanjang waktu, sekarang sudah tidak ada
lagi, dan Kamu merasa takut. Kamu benar-benar mengagumi Takeshita-kun. ”
Aku menutupi mataku dengan
tanganku, menggertakkan gigiku. Jika tidak, banyak hal akan mengalir keluar.
Lebih penting lagi, aku tidak ingin Yuki melihat ekspresiku saat ini.
“Ia memang cowok yang luar
biasa. Jika orang itu masih berlari, kecepatanku tak sebanding dengan dirinya.
Itulah yang ingin aku lihat. Ah ya, Aku ingin melihat Takeshita yang lebih
cepat daripada Ia. ”
Tetapi orang seperti itu tidak
ada.
Aku tahu itu. Aku tahu seberapa
keras usahaku, berdoa untuk itu, dan meminta Yuki membantuku mencapai tempat
itu, tapi yang aku harapkan tak pernah ada. Meski begitu—
Yuki menggerakkan lenganku ke
samping, dan menggunakan jempolnya yang panjang dan kurus untuk menghapus air
mata yang mengalir di pipiku. Di sebelah Kanan dan kiri. Setiap air mata yang
kutumpahkan, dia menyeka semuanya untukku.
Pandanganku menjadi jelas lagi.
Aku akhirnya mengerti apa yang ada di tempat dimana aku berusaha keras untuk
menggapainya.
"Selamat. Kamu sudah
bekerja keras, Yoshi-kun. ”
Di hadapanku ada senyum Yuki.
Serta kata-katanya.
Aku kira semua kerja kerasku
telah terbayar penuh.
❀❀❀
Dalam perjalanan pulang, kami
mampir ke minimarket lagi.
Sebagai rasa terima kasih kali
ini, aku menawarkan traktiran dengan es krim, dan dia membeli es krim seharga
300 yen. Tidak, yah, itu tidak terlalu penting. Setelah ragu-ragu, aku juga memilih
merek es krim yang sama. Yuki memilih rasa stroberi, sementara aku memilih rum
dan kismis. Kurasa tidak apa-apa boros sedikit, karena kita sedang
merayakannya.
Kami duduk berdampingan, di
tempat yang sama, dan menemukan bangkai tonggeret di sana.
Musim panas akan segera
berakhir.
Yuki menatap kulit tonggeret
tanpa jiwa di tanah, dan bergumam.
“Tonggeret menghabiskan sekitar
6 tahun menunggu di dalam tanah."
“Aburazemi* pun sama. Kalau tak
salah, aku pernah membaca di suatu tempat bahwa seperti Aburazemi, ada
tonggeret yang menunggu 17 tahun di tanah. " (TN: Sejenis serangga)
“Ya. Dan dalam seminggu di atas
tanah, mereka akan mati. Apa artinya itu? "
“ ... Setidaknya, ada misi
untuk melanjutkan ke generasi berikutnya.”
“ Itu mungkin bagi yang betina,
tapi yang jantan berbeda. Tonggeret jantan bisa kawin dengan banyak, jadi ada
jantan yang tidak bisa membuat anak. Jadi, apa kamu pikir kalau yang jantan
punya tujuan untuk hidup?”
Kata-kata Yuki tampak pedih,
jadi aku berpikir sedikit serius, dan menjawab,
“Makna hidup memliki arti yang berbeda
menurut persepsi masing-masing, dan kupikir ini bukanlah sesuatu yang bisa aku setujui
atau menolak dengan mudah. Tapi, yang pasti, mereka berusaha keras untuk hidup.”
“Meski begitu, itu tak ada
gunanya sama sekali.”
“Kurasa tidak. Itulah yang kau
ajarkan padaku, Yuki. Jika aku bekerja keras dan mencapai tujuan tertentu,
meski tidak ada yang aku inginkan, akan ada hal lain untuk ditemukan. Dan Aku
menemukannya. Bahkan, sepertinya tonggeret bisa bertahan selama sebulan.”
“Kamu bohong.”
“Aku tidak bohong, kok . Sulit
untuk membesarkan mereka, dan itulah sebabnya mereka tidak bisa bertahan lebih
dari seminggu. Itu sebabnya banyak yang salah. Faktanya, tonggeret liar bisa
hidup selama sebulan. Itulah yang dikatakan TV, dan itu sebabnya mereka pasti
akan menemukan sesuatu ”
Bagian terakhir hanyalah
penghiburan.
Ini hanyalah kebohongan murah
yang kubuat untuk membuat Yuki tersenyum.
Sejujurnya, aku tidak peduli
dengan apa yang terjadi pada tonggeret. Walau begitu, jika Yuki
menginginkannya, aku akan berdoa, berharap hidupnya akan bermakna.
Yuki akhirnya mengambil sendok,
dan membawa es krim yang agak meleleh ke dalam mulutnya. "Enak,
enak." Ucapnya, dan aku terus mengawasinya ketika aku membuka tutupnya.
“Hm? Ngomong-ngomong, apa kamu
menemukan sesuatu, Yoshi-kun? ”
“ Rahasia, dong. ”
Dalam situasi apa pun aku tidak
boleh mengatakan ini. Jadi, itulah yang aku jawab sebagai gantinya.
"Tapi aku merasa kalau
hari musim panas ini adalah waktu yang pasti takkan kulupakan saat aku tumbuh
dewasa."
Walau hari ini akan menjadi
masa lalu, meski aku bertambah tua, sekalipun waktu berlalu dan memudar.
Aku takkan pernah melupakan
panas musim panas ini,
Air mata dan keringat yang
tercurah,
Manisnya es krim yang kumakan,
Keharuman bunga sakura.,
Dan sesuatu yang penting yang aku
dapatkan.
Yuki menatap sendok plastik, lalu
bergumam.
Hari mulai gelap, dan aku tidak
bisa melihat ekspresinya.
Yang kudengar hanyalah dia
tampak cemberut—
“Dasar pembohong.”