Pertemuan 214 - Ini adalah Kisah Cinta Paling Bahagia di Dunia.
“Hei, Yoshi-kun. Aku menyukaimu.”
Aku didekati oleh seorang gadis yang tidak pernah aku
temui.
Ini terjadi saat aku sedang keluyuran di sekitar kota.
Suaranya sehangat mentari musim semi, dan selembut angin
yang berhembus diantara bunga-bunga.
Bila kuingat-ingat kembali, aku merasa terpesona oleh
suara itu.
Kami berada di lahan kosong yang biasa terlihat di
kota. Tempat ini tak ada hubungannya denganku, selain kucing putih yang
pernah aku kubur di sini.
Jadi tentu saja aku tak mengenal dirinya.
Kulitnya seputih porselen.
Rambutnya terlihat halus seperti awan.
Matanya yang besar jernih dan dalam.
Dan pengakuan dari gadis seperti itu membuat pikiranku
benar-benar kosong pada saat itu.
Akhirnya, yang tersisa hanyalah emosi yang tak pernah
kurasakan dalam hidupku. Rasanya panas serta menyakitkan, namun tidak terasa
buruk. Aku membiarkan diriku terlena oleh panas itu, dan dengan tulus
menyampaikan perasaanku.
Dan begitu aku menjawabnya, wajah gadis itu langsung
berseri-seri.
Dia tampak sangat senang.
Namun pada saat yang sama, dia terlihat sedikit sedih.
Akhirnya, dia mengulurkan tangan kecilnya.
“Aku harap kamu mau memegang tanganku dengan sukarela.”
Aku melakukan apa yang dia katakan, dan memegang
tangannya.
Tangannya sangat dingin, mungkin karena dia tak memakai
sarung tangan. Namun, begitu kami berdua berpegangan tangan, kehangatan
menyebar dari sana. Demi memastikan aku tidak melukai tangannya, aku
memegangnya dengan hati-hati dan tegas.
“Terima kasih. Kalau begitu, aku akan memperkenalkan
diri lagi. Namaku—”
Itu terjadi pada musim dingin, saat aku duduk di kelas 3
SMA.
Begitulah pertemuanku dengan Yuki Shiina.
Keesokan harinya, Yuki dan aku bertemu di depan gerbang
sekolah.
Kamu besok
pergi ke sekolah, ‘kan? Aku akan menunggumu di gerbang sekolah, jam 4 sore. Usulnya sambil memberiku tatapan yang tidak mau
kompromi. Karena itu, aku hanya bisa menganggukkan kepala.
Aku meninggalkan sekolah sedikit lebih awal dari waktu
yang disepakati, dan mendapati Yuki mengenakan mantel yang agak besar, tengah menungguku.
“Yuki.”
Aku memanggil namanya, dan dia melambaikan tangannya yang
ramping. Rasanya seperti anak anjing melihat tuannya kembali,
mengibas-ngibaskan ekornya. Setiap gerakannya dipenuhi kegembiraan.
“Kenapa kau terlihat sangat senang?”
“Karena kamu akhirnya memperhatikanku. Kamu
memanggil namaku. Itulah yang membuatku senang. ”
“Begitu ya.”
Aku mengulurkan tangan, dan Yuki meraih tanganku.
“Woah, dingin banget.”
“Karena aku sudah menunggu sangat lama.”
“Eh? Apa aku salah waktu?”
Yuki menggelengkan kepalanya.
“Tidak. Hanya saja aku benar-benar menantikannya,
jadi aku terus menunggu. Aku selalu seperti ini.”
Apa yang dia maksud dengan kata “selalu”?
“Omong-omong, pakailah sarung tangan.”
“Jika tanganku dingin, itu akan memberiku alasan, ‘kan?”
“Alasan apa?”
“Untuk berpegangan tangan?”
“Kau tidak perlu sampai bikin alasan begitu. Pasti
ada yang lain. Ngomong-ngomong, Yuki, kau dan aku ... yah, berpacaran,
jadi kau bisa memegang tanganku kapan pun yang kau mau ... eh, apa-apaan dengan
ekspresi itu?
Mulut Yuki setengah terbuka saat dia mengedipkan
mata. Beberapa detik kemudian, dia tertawa. Aku tidak mengatakan
sesuatu yang lucu, bukan? Untuk beberapa alasan, wajahku jadi agak panas.
“Kamu luar biasa, Yoshi-kun. Yap, kita berpacaran
sekarang. ”
“Apa kamu menganggapku sebagai orang idiot?”
“Itu tidak benar. Aku malah memujimu. “
“Benarkah?”
“Beneran kok. Sekarang, ayo pergi, darling. ”
Yuki tiba-tiba meraih tanganku, dan menyeloning saja. Aku
panik, mengejarnya, dan berjalan di sampingnya. Tangan kami yang
tergenggam kebetulan berakhir tepat di antara kami.
Yuki dan aku berpacaran.
Tapi itu hanya berlangsung selama seminggu.
❀❀❀❀
“Sebenarnya, waktu pacaran kita hanya berlangsung selama
seminggu.”
Setelah Yuki menembakku, dan kami sepakat untuk menjalin
hubungan, dia menetapkan batas waktu.
“Tidak, tidak, tunggu sebentar. Apa maksudmu bilang
begitu?”
Aku bertanya, dan Yuki mulai menarik napas
panjang. Setelah itu, dia mulai bernapas dalam-dalam dengan manis,
payudaranya yang cukup melebar dan berkontraksi.
Setelah melakukan itu selama tiga kali, dia akhirnya
tampak mengambil keputusan, matanya tampak bersinar. Namun, cahaya
tersebut segera menghilang dari matanya lagi.
Meski demikian, dia tidak pernah menyerah.
Sekali lagi, dia menarik napas panjang, dan perlahan
berbicara,
“Aku perlu memperjelas satu hal denganmu, Yoshi-kun.”
Ini adalah kisah seorang gadis yang keberadaannya akan
lenyap layaknya kepingan salju dalam seminggu, dan dia bertemu dengan anak
laki-laki biasa.
Mereka beberapa kali bertemu, menghabiskan waktu bersama,
dan menciptakan kenangan bersama. Namun pada akhirnya, semuanya terhapus.
Tapi meski begitu, ketika Yuki membicarakan tentang kisah
yang tidak bisa dipercaya itu, dia tersenyum sedih, namun penuh kebahagiaan,
seperti ketika dia menembakku.
Kami
melihat bunga di musim semi, kembang api di musim panas, menyantap makanan
lezat di musim gugur, dan pergi ke pantai di musim dingin, Ujarnya.
“Kenapa mengunjungi laut di musim dingin?”
“Karena tiba-tiba aku ingin pergi ke pantai yang sepi. Kamu
mengeluh, dan mengatakan, jika kau kepengen
pergi, lebih baik pergi selama musim panas, tapi pada akhirnya kamu tetap
mengikuti keinginanku. Kamu ingat, ‘kan? Kenanganmu mungkin sedikit
berbeda dari ingatanku. ”
Aku mencoba mengingatnya, dan sepertinya itu memang
terjadi.
Aku sendirian di pantai selama musim dingin.
Dengan tidak ada siapa-siapa di sebelahku.
Secara alami, hanya ada jejak langkah kakiku di pantai. Aku
ingat betapa dinginnya makanan itu. Ah, tapi saat aku dalam perjalanan
pulang, aku ingat membeli oden yang lezat di minimarket. Aku membeli
banyak, dan memakannya.
Apa yang Yuki bicarakan berakhir seperti itu.
Bukan karena aku yang lupa segalanya.
Jadi gadis bernama Yuki, yang seharusnya ada, telah lenyap
dari kata masa lalu, dan dunia baru mengubur kekosongan yang disebabkan oleh
menghilangnya dia. Bagiku, aku hanya mengambil dunia yang terpahat ini,
yang tampaknya tanpa cela. Jadi, aku tak pernah curiga. Atau lebih
tepatnya, mungkin dunia yang Yuki bicarakan salah, atau begitulah akal sehat
dalam diriku meronta. Namun-
“Jadi, apa kamu akan mempercayai ucapanku, Yoshi-kun?”
“Ya. Tidak, aku mau mempercayainya.”
Jawabku. Tanpa ragu-ragu.
“Karena aku menyukaimu.”
Aku benar-benar menyukai wajahnya yang mungil, rambutnya
yang sedikit keriting, caranya mengenakan mantel yang agak kebesaran, dan
ujung-ujung jarinya yang halus mencuat dari lengan ... dadanya juga besar, dan
suaranya yang jernih juga. Aku suka segala sesuatu tentang Yuki, bahkan
aura di sekitarnya.
Dia mengeluarkan aroma sakura yang aku suka.
Itulah yang aku pikirkan saat pertama kali bertemu
dengannya.
Sepertinya Yuki adalah gadis ideal yang diciptakan Tuhan
untukku.
Tapi ternyata bukan itu kenyataannya.
Yuki tidak seperti ini sejak awal. Dia menghabiskan
banyak waktu untuk mencoba menjadi gadis idamanku.
Jadi, jawabannya sederhana.
Aku ingin percaya empat tahun yang dia
ceritakan. Aku tidak bisa menyangkal kata-kata dan perasaan Yuki hanya
dengan akal sehat. Bagiku, apa yang dia katakan dengan senyuman adalah
kebenaran.
Kurasa itu saja sudah cukup.
“Kamu sama seperti biasanya, Yoshi-kun. Selalu jadi
orang aneh. ”
“Kau membenci orang aneh?”
“Tidak, aku menyukainya.”
“Kalau begitu, kurasa tidak masalah untuk menjadi orang aneh. Jika
Kau menyukai ku karena ini ... tidak, jika Kau bersedia tersenyum kepadaku
karena ini, maka aku baik-baik saja dengan itu.”
Dan beginilah kami memulai periode cinta terbatas kami.
❀❀❀❀
Kami meninggalkan sekolah, dan sepanjang waktu, Yuki
merasa senang. Dia bersenandung. Itu adalah lagu cinta yang biasanya
diputar di radio selama musim dingin. Dia menyanyikan lagu cinta yang
populer beberapa tahun sebelum aku lahir, dengan suara yang indah dan ritme
yang agak fales.
Kami melewati pusat permainan di depan stasiun, dan kemudian
melewati persimpangan. Kami melirik ke toko pachinko tua yang ditutup
bulan lalu, tiba di kantor pos, dan berbelok ke sudut ketiga.
Tangan kiriku masih memegang tangan Yuki, dan tangan
kanannya terus memegang tanganku.
Di tangan kami yang satunya memegang taiyaki. Beberapa
saat yang lalu, Yuki melihat sebuah toko di jalan perbelanjaan.
Dia sedang menonton toko kecil itu dengan mulut
berliuran, jadi aku bertanya, mau aku
belikan yang itu? Dia terlihat senang, benarkah? Jawabnya dengan wajah berseri-seri seperti anak yang
polos.
Selama lima menit berikutnya, Yuki kebingungan memillih
antara rasa kacang merah atau krim custard.
Aku bermaksud membeli rasa taiyaki yang tidak dibeli Yuki,
jadi jujur saja, 5 menit tersebut tidak ada artinya. Ini sederhana. Hanya ada kami berdua di sini,
masing-masing dari kami membeli satu rasa, dan bisa saling bertukar. Aku
tidak mengatakannya, karena melihat wajah Yuki yang bermasalah seperti ini juga
sangat lucu.
Jadi Yuki memilih rasa kacang merah, dan aku membeli rasa
krim custard.
Kami berdua memiliki lidah kucing, jadi kami menunggu
taiyaki sedikit dingin sebelum kami berani memakannya. Kulit renyah dan
krim pudingnya bersatu padu, dan bagian dalamnya terasa lembut. Yap,
enak. Aku menggigit dan menikmatinya perlahan, tapi Yuki melahapnya dalam
beberapa detik.
“Erm, kau cukup cepat juga.”
Yuki mengunyah dalam beberapa kunyahan, dan dengan lahap
menelan taiyaki. Dia kemudian tersenyum padaku, ahhh, membuka
mulutnya. Yang pada dasarnya berarti, aku
minta punyamu.
“Umm, itu.”
“…”
“Ini punyaku.”
Ya,
aku tahu kok. Terus? Yuki terus
memandangku saat dia memiringkan kepalanya.
“…”
“... Erm ...”
“…”
“…Ini.”
Aku benar-benar kalah total.
Mendengar apa yang aku katakan, Yuki menghabiskan 80%
taiyaki yang tersisa ke dalam mulutnya. Dia menggembungkan pipi kecilnya,
mengunyahnya dengan sepenuh hati.
“Tak disangk kamu ternyata rakus juga ya.”
Aku mengatakan apa yang aku pikirkan, dan Yuki tampak sedikit
panik. Dia mengunyah lebih cepat dari sebelumnya, dan dengan cepat
menghabiskan taiyaki.
“Rasanya manis. Jadi, aku tidak bisa menahan diri.”
Dia mengatakan itu sedikit lebih cepat dari biasanya.
“Meski kau bilang begitu, tapi kau sebenarnya khawatir
dengan apa yang aku pikirkan, bukan?”
“Enggak juga, kok!!”
“Benarkah?”
“Beneran!”
Aku menikmati wajah panik Yuki sambil terus
berjalan. Tiba-tiba, sesuatu yang merah muncul di pandanganku. Begitu
aku melihat huruf di atasnya, aku berhenti.
Begitu ya. Rabu depan–
Yoshi-kun, yang terus menggodaku dengan lelucon yang
benar-benar kejam, tiba-tiba terhenti. Ada apa? Pikirku, dan melihat
ke arah yang Ia lihat. Aku melihat bendera merah berkibaran, bendera toko
kue kecil.
Orang yang berbicara duluan adalah aku,
“Ngomong-ngomong, itu minggu depan, ya?”
“Ya.”
Rabu depan adalah tanggal 14 Februari. Dikatakan kalau
hari tersebut adalah hari dimana anak cowok benar-benar ingin makan makanan
manis. Setelah masa pacaran kita berakhir, itu akan menjadi hari Valentine.
“Jika mungkin, bisakah kau memberiku cokelat?”
“Kamu mau?”
“Tentu saja. Yah, karena itu pemberian dari pacarku.”
Yoshi-kun tampak malu-malu setiap kali Ia menyebut kata
pacar, dan itu sangat lucu.
“Tentu.”
Kalau dipikir-pikir lagi, aku tidak pernah memberinya
cokelat sebelumnya.
Juga, aku berutang budi padanya. Lebih baik membalas
apa yang aku bisa.
“Aku pernah menerima coklat darimu sebelumnya,
Yoshi-kun.”
“Memangnya hal itu pernah terjadi?”
“Ya. Sekali.”
Kamu mungkin tidak mengingatnya, tapi itulah awal
hubungan di antara kita. Cokelat yang aku terima darimu benar-benar
manis. Sangat manis sampai aku senang. Itu sebabnya aku terus ada.
“Begitu ya. Kalau begitu, tolong lakukan itu.”
“Ya ya. Nantikan itu oke. Kemudian, tarik
kembali apa yang barusan kamu katakan.”
“Yang aku katakan?”
“Kalau aku ini orang yang rakus?”
“Apa? Kau mencemaskan tentang itu?”
Tentu saja. Lagipula aku ini seorang gadis.
❀❀❀❀
Pagi itu, aku bangun dari mimpiku, dan melihat hamparan dunia
perak di luar jendela.
Sepertinya salju yang turun sejak kemarin
menumpuk. Sinar matahari yang menyinari awan dibiaskan oleh salju putih,
dan mataku yang baru saja terbuka terasa perih. Aku menggosok mataku yang
mengantuk, meninggalkan ruangan, dan udara dingin yang menerpa membuatku
menggigil dan sadar. Lantai kayunya sangat dingin. Telapak kakiku terasa
sakit.
Seperti biasa, aku menuruni tangga dengan ragu-ragu, dan melihat
ibu menyapu kamar dengan tenang.
“Pagi Haru. Sarapan sudah siap. "
“Eh? Bukannya ini terlalu pagi, ‘kan? Ibu
biasanya menyiapkan sarapan setelah beres-beres.”
“Semua karena salju ini. Natsuna sangat kegirangan
pas pagi tadi. Dia bilang dia ingin keluar untuk bermain, jadi dia
membuatnya lebih awal.”
“Oh, kalau begitu aku beruntung.”
Usai menjawab begitu, aku membuka pintu depan, dan menuju
ke kotak pos untuk mengambil koran hari ini.
Ayah lebih takut kedinginan daripada diriku, jadi di
musim dingin, biasnya akulah yang mengambil koran. Natsuna tidak takut
dingin, tapi dia tidak nurut.
Halaman kecil rumah ini ditutupi dengan warna putih,
bersamaan dengan serangkaian jejak langkah kaki yang mengarah ke
luar. Pastinya anak itu berlari keluar sambil berteriak yahoo atau
semacamnya. Aku bisa membayangkan dengan jelas adik perempuanku bersenang-senang. Mengingat
seberapa dalam jejak langkah kakinya, jelas-jelas dia berlari keluar dengan
penuh semangat.
Uuu, tubuhku menggigil, dan nafas putih yang keluar dari
mulut tertiup angin yang sangat dingin. Aku menarik lengan bajuku, dan
membuka kotak pos, mengambil koran pagi yang disimpan dalam tas bening seperti
biasanya.
Lalu, tiba-tiba, terdengar sebuah suara
“Jadi, kamu membaca koran ya, Yoshi-kun.”
“Tidak, aku hanya akan memeriksa saluran TV. Ayah
yang menyuruhku untuk mengambilnya. Hm? Eh?”
Aku mendongakkan kepalaku dari kotak pos, dan Yuki tengah
berdiri di sana. Ada aroma bunga, sedikit terlalu dini untuk cuaca dingin
ini, datang dari halaman yang tertutup salju putih. Kenapa dia sudah ada di
sini pagi-pagi begini?
“Salju menumpuk, jadi aku datang ke sini dengan
bahagia. Yoshi-kun, apa kamu punya waktu sekarang? Ayo habiskan waktu
bersamaku. ”
“... Apa kau sudah menunggu lama?”
“Nggak. Aku beneran baru sampai. Aku siap
menunggu sekitar dua jam, tapi syukurlah kau keluar sepagi ini.”
Aku pikir dia bisa saja meneleponku, tetapi Yuki tidak
punya ponsel.
“Apa kau bisa menunggu sebentar? Aku mau
bersiap-siap dulu.”
“Kamu tidak perlu terburu-buru.”
“Tapi di luar ‘kan dingin. Ah, kenapa kau tidak
menunggu di dalam saja?”
“Terima kasih, tapi tidak usah. Aku mau menunggu
disini.”
“Oke. Aku akan bersiap-siap dengan cepat.”
Seperti yang aku katakan, aku bergegas kembali ke dalam rumah,
dan bersiap-siap untuk pergi. Aku meninggalkan koran di depan ayahku, yang
meringkuk sepenuhnya di kotatsu, melahap sarapan yang disiapkan Natsuna, berganti
pakaian, menyisir rambutku, dan memberi tahu ayahku, yang tidak berniat
meninggalkan kotatsu, kalau aku akan keluar. Ohh, Ia menjawab dengan
lemah, dan aku tidak yakin apakah dia memahami perkataanku atau tidak.
Aku menggeser pintu ke samping, dan Yuki berkata dengan
gembira,
“Itu cukup cepat. Mau pergi sekarang?”
“Ya. Ayo pergi.”
Permukaan salju yang baru ditinggalkan dengan jejak kaki
kami sendiri.
Rumahku berada di pinggiran kota yang agak jauh dari
pusat kota, dan ladang-ladang yang tak berujung di sana tertutup warna putih
sepenuhnya. Ada banyak partikel cahaya kecil berkilauan di atas salju
putih murni tersebut.
“Cantik, bukan?”
“Ya. Ini sangat cantik.”
Setelah berjalan beberapa saat, aku mendengar seseorang meneriaki
namaku.
“Hei, Haru-nii.”
Aku menoleh ke arah suara itu, dan melihat siluet kecil. Ternyata
Shouta yang memanggilku, bocah SD yang tinggal di lingkungan sini, dan sweter
birunya tertutup salju.
Wajahnya benar-benar merah, keringat di dahinya bercucuran
dengan deras.
Ia berlari ke arah kami, syukurlah, dan akhirnya menghela napas lega.
“Haa ... haa ... itu kau, Haru-nii. Aku melihatmu,
haa, dari jauh, jadi aku berlari. Haa.”
“…Apa?”
“Tolong aku.”
“Hah?”
Aku tidak mengerti apa yang bocah ini katakan, dan
bertanya-tanya apa Ia sedang dikejar, jadi aku melihat ke arah belakangnya, namun
yang kulihat hanyalah beberapa siluet berlarian di ladang. Sepertinya
mereka sedang melakukan perang bola salju. Saat aku masih di sekolah dasar, aku
ingat bermain dengan beberapa temanku. Aku benar-benar menikmati masa-masa
saat itu.
Begitu aku mengingat ini, aku berhenti berpikir. Aku
seharusnya melakukannya, tapi sama seperti aku tidak bisa berhenti segera
setelah berlari, aku tidak bisa berhenti berpikir secepat itu. Ya, aku
langsung menyadarinya.
Memangnya ada orang yang pergi bermain pagi-pagi begini?
“Yuki, ayo pergi.”
“Jangan lari. Kamu tahu apa yang Ia ingin kamu minta
bantu? ”
“Aku tidak tahu. Aku belum melihatnya.”
“Kalau begitu lihatlah dengan benar.”
“Tidak mau.”
Aku menolak dengan tegas.
Aku tidak ingin menjadi pengasuhnya pada hari yang begitu
berharga.
Namun tekadku segera berubah. Tanpa melihat, aku
bisa mendengar tawa gadis yang familiar dan jelas. Sangat jelas sekali.
“Nhahahaha.”
Lihat, kamu tidak bisa lari sekarang, Shouta sepertinya
memarahiku saat dia memanggil namaku.
“Haru-nii!”
“Berhenti. Jangan katakan apa-apa lagi.”
Tapi Shouta mengabaikan permintaanku ketika dia
menyebutkan penyebab tawa itu.
“Monster (bakemono)
itu berasal dari rumahmu, Haru-nii. Tolong lakukan sesuatu!”
Ahh, Ia mengatakannya.
Sial. Baiklah, aku mengerti. Iya. Aku akan
melakukannya. Jadi aku menghela nafas, dan menyerah melawan ketika aku
melihat sumber suara tersebut. Tak diragukan lagi.
“Ya. Bocah idiot kita (bakamono).”
Itulah suara yang mulia adik perempuan kecil kami yang
super duper lucu.
Yah, adik perempuanku, Natsuna Segawa, dia mirip seperti
topan.
Dia lucu, dan cukup populer, tetapi dia selalu mengajak
semua orang untuk menghabiskan banyak energi yang dia miliki. Anak-anak SD
terdekat sering menjadi korbannya, dan mereka semua merasa takut padanya.
Kali ini, sepertinya hal ini juga sama.
Menurut Shouta, awalnya itu hanya pertarungan bola salju
antar anak-anak, tapi saat Natsuna melihat mereka. Dia, yang dari awal
berhati tomboy, mana mungkin bisa menahan keinginannya. Aku bisa
membayangkan dia bergabung dengan senyum cerah, tanpa peduli pada dunia.
Shouta dan yang lainnya mungkin berpikir rasanya akan
lebih menyenangkan jika ada banyak orang yang ikut bergabung, jadi mereka
mengijinkannya bergabung ...
Masalahnya, begitu Natsuna ikut bergabung, dia
menambahkan aturan bahwa pihak yang kalah harus menuruti perkataan pihak yang
menang. Sekelompok anak SD melawan seseorang yang kemampuan atletiknya lebih
unggul di antara anak SMP. Sekarang apa yang akan terjadi? Mudah
dibayangkan.
Bocah-bocah itu harus bertarung mati-matian untuk
menghindari masa depan menjadi antek Natsuna.
Ahh, itu sebabnya aku tidak ingin mendengarnya. Aku
merasa sangat malu sebagai kakaknya, dan depresi ...
“Aku mengerti situasinya. Aku akan memikirkan
sesuatu. Tapi aku akan mengalahkan Natsuna untuk menyelesaikan
masalah. Aku tak peduli dengan yang lainnya. Apa begitu saja tak
masalah?”
“Ya. Tidak masalah.”
“Kalau begitu, maaf Yuki. Tolong tunggu sebentar.”
“Heh? Kenapa?”
Aku menoleh, dan melihat Yuki sedang meregangkan tubuh
dan melakukan pemanasan karena suatu alasan.
“Apa kau mau ikut bergabung dengan pertarungan bola salju
ini?”
“Iya. Kelihatannya seru. Aku juga tidak pernah
melakukannya sebelumnya.”
Shouta,yang memperhatikan senyumnya seperti malaikat, bertanya,
“Hei, Haru-nii. Aku ingin bertanya. Siapa kakak
perempuan ini? Apa dia artis?”
Menghadapi pertanyaan polos Shouta, Yuki berlutut
setinggi matanya, dan tersenyum padanya. Ia langsung tersipu.
“Maaf, kakak ini bukan aktris. Sebenarnya, kakak ini
Pacar dari Haru-nii. ”
Mendengar balasan Yuki, mata Shouta berkilauan lebih dari
yang pernah kulihat darinya.
“Kau hebat Haru-nii. Kau punya pacar yang cantik. ”
“Yah, begitulah. Ngomong-ngomong, Shouta. Kau tidak
keberatan membiarkan kakak ini bergabung dengan tim, ‘kan? ”
“Tentu saja.”
“Terima kasih. Tolong jaga dia.”
“Iya. Senang bertemu denganmu.”
Yuki mengatakan itu, dan Shouta, yang berjabatan tangan
dengannya, tiba-tiba mengerutkan kening. Ia menunduk ke bawah sambil
meminta minta maaf.
“Ah maaf. Onee-chan. Sepertinya kau harus
bergabung dengan tim Natsu-nee. ”
“Mengapa?”
“Yah, kau memiliki bau musuh.”
“Bau musuh?”
Yuki dan aku saling bertukar pandang.
Apa yang sedang terjadi?
Setelah Yuki bergabung, tim Natsuna memiliki sepuluh
pemain.
Setelah aku bergabung, ada lima di tim.
Anggota tim lawan lebih banyak dua kali lipat dari timku,
tapi dalam pertarungan bola salju ini, siapa pun akan disuruh keluar dari
pertarungan ketika mereka jatuh terlebih dahulu, terjatuh, atau
menyerah. Jika mereka tidak terlalu panik, mereka mungkin takkan
kalah. Itulah yang aku pikirkan. Sebagai seorang pria, jika aku kalah
dalam melawan pacarku dan adik perempuan dalam hal ini, rasanya akan sangat memalukan.
Kedua tim telah membuat benteng tumpukan salju di kamp
masing-masing, dan meski tidak tinggi, kelihatannya masih mungkin untuk
meringkuk dan menggunakan salju itu sebagai dinding. Aku bersembunyi di
bawah salju yang paling dekat dengan musuh, diam-diam menunggu momen yang tepat.
Tiba-tiba, timku berhenti menyerang.
Natsuna suka membuat keributan, jadi setelah semuanya
tenang, dia pasti akan keluar sendirian. Tujuanku adalah mengejar hal-hal
yang tidak terduga dan melawan dengan geriliya.
Jadi aku menunggu sebentar. Seperti yang aku
rencanakan, ada seorang gadis barbar yang menyerbu ke kamp musuh.
Dia adalah gadis yang mencolok dengan syal merah, mantel
merah, dan sepatu boot merah. Gadis
energik ini sangat menyukai warna merah.
“Nhahahaha. Ayo serang aku!”
Teriaknya sambil berlari dengan kecepatan luar
biasa. Ya, ada target yang bagus. Aku membidik mulutnya yang terbuka
lebar, dan melemparkan bola salju dengan semua tenagaku.
"Hbuch!"
Mendarat sempurna.
Natsuna mengeluarkan suara aneh, dan berhenti
berlari. Dia menyeka salju yang menempel di wajahnya, dan terus
meludahkannya.
“Apanya yang serang aku? Apa yang akan Kkau lakukan,
Natsuna?”
“Gek. Haru-kun. Ke-kenapa
kamu bisa ada di sini? ”
“Sekarang bukan waktunya untuk itu.”
Natsuna terkejut dengan kehadiranku, dan seperti yang
diharapkan, dia kehilangan keseimbangan. Dia sering bertindak berdasarkan
insting, dan payah dalam berurusan dengan sesuatu yang tidak
terduga. Meski begitu, kemampuan atletik alami mencegahnya jatuh. Aku
tahu itu dengan sangat baik, jadi secara alami,
Aku membuat strategi untuk tujuan ini.
Aku melempar bola salju ke wajah Natsuna saat dia masih
goyah. Setiap lemparan ditujukan cukup tinggi baginya untuk menghindari jika
dia menunduk. Natsuna bisa mengelak dengan melompat, tetapi pusat
gravitasinya kembali sebagai hasilnya. Aku melempar bola salju yang
berikutnya sedikit lebih rendah, dan dia juga menghindari itu. Pusat
gravitasinya bergeser ke belakang.
Pada dasarnya, ini adalah tarian limbo.
Aku mengulangi tiga lemparan yang sama, dan Natsuna
akhirnya kehilangan keseimbangan saat dia mendarat kembali dengan bunyi
gedebuk.
“Menang!”
Aku mengangkat tangan, memberi tahu rekan setimku kalau
aku mengalahkan Natsuna. Dia, jatuh terduduk, terus mengeluh.
“Curang! Kamu curang! Kamu cowok,
Haru-kun. Anak SMA pula! Bagaimana bisa aku mengalahkanmu! "
Tampaknya dia tidak merenungkan tindakannya, jadi aku melemparkan
bola salju lagi ke arah pecundang.
“Puk! Uuu. Ahh, salju masuk ke mulutku lagi!”
“Kau memanggilku curang? Kau sendiri anak SMP, dan kau
malah ikut bergabung dengan pertarungan bola salju anak SD?”
Semuanya sudah direncanakan sampai titik ini. Tapi
aku melupakan sesuatu. Aku lupa bahwa di antara tim musuh, ada orang yang
sebaya denganku.
Ini pertama kalinya dia bermain bola salju.
Karena itu, dia tidak tahu taktik atau serangan balik.
Dan tanpa memikirkan apa pun, dia hanya melakukan apa
yang disuruh saudariku.
Ya, dia sama sekali tidak tahu apa-apa.
Dia tidak tahu ini adalah cara terbaik bagi mereka untuk
mengalahkan kami.
“Ayo! Semuanya. Ikuti Natsuna-chan dan serang!
”
“Ngh!”
Dengan teriakan yang menggema, semua sembilan anggota tim
musuh yang tersisa datang menyerang dengan rentetan bola salju.
Jika jumlah timku sama, pihak timku akan
diuntungkan. Timku bisa membalas dengan serangan yang kulakukan terhadap
Natsuna. Namun, mereka hampir dua kali lipat dari jumlah timku. Jika
mereka menyerang sekaligus, mana mungkin kita bisa menanganinya.
“Hbuch!”
Rentetan bola salju terlempar, dan salah satunya mendarat
tepat di wajahku, menyebabkanku membuat suara aneh yang sama dengan Natsuna.
Hm? Apa yang sedang terjadi? Salju ini wanginya
harum. Aroma ini–
“Hei, Natsuna. Bukannya salju ini punya aroma
sakura?”
Natsuna, yang berpura-pura mati di atas salju, membuka
matanya sedikit, dan melirik ke arahku, lalu berkata,
“Aku menyemprotkan beberapa parfum sakura untuk mengidentifikasi
bola salju tim kami.”
Itu menjelaskan banyak segalanya.
Itu sebabnya Yuki, yang memiliki aroma sakura di
tubuhnya, dimasukkan ke dalam tim lawan.
“Kenapa menyemprotkan parfum? Tidak, tunggu, dari
mana asalnya? Mana mungkin bocah-bocah itu punya parfum. Apa itu
darimu?”
Ah, sial. Ekspresi Natsuna mencerminkan seseorang
yang tertangkap basah, dan dengan cepat menoleh ke samping. Dia tidak bisa
bersiul, tapi dia masih cemberut, memonyongkan bibirnya ketika dia berpura-pura
bersiul. Adik perempuanku benar-benar putus asa.
Omong-omong, ibu ingin Natsuna, untuk bertindak lebih
seperti seorang gadis, dan memaksakan banyak hal padanya, tapi sepertinya dia
tidak benar-benar menerimanya.
“Jangan menyia-nyiakannya hanya karena kau tidak
menggunakannya.”
“Tidak, aku tidak menyia-nyiakannya sama sekali. Sudah
kubilang ini untuk mengidentifikasi.”
“Tak perlu mengidentifikasi bola salju segala.”
“Rasanya seperti bakal terasa lezat jika ada aroma
wangi.”
“Tolong, aku mohon padamu. Jangan
memakannya. Kau akan melukai perutmu. Lagi pula, mengapa
menyemprotkan parfum sakura di salju? Keduanya bukan dari musim yang
sama.”
Sementara kami masih berdebat, tim musuh datang
menyerang, dan aku dibombardir. Aku berniat untuk bersembunyi dibalik
benteng, tapi mereka tidak membiarkanku.
“Tunggu ... berhenti! Stop, stop! Ow ow!”
“Rasakan ini! Semuanya, kalahkan kakak yang itu. ”
Orang yang memimpin penyerangan dan melempar bola salju
ke arahku adalah seorang gadis yang beberapa menit yang lalu mengatakan
kata-kata menggemaskan yang luar biasa, kakak ini adalah pacar
Haru-nii. Ucapan Yuki terus bergema di pikiranku. Kakak ini adalah
pacar Haru-nii, pacar, pacar. Itu hanya imajinasiku. Khayalanku
Akhirnya, aku terjatuh. Wajahku kehilangan akal
sehat sesaat setelah dilempari bola salju habis-habisan. Aku tak tahu apa
ini nyeri atau kedinginan, dan aku tidak bisa mencium.
“Target terbunuh.”
Yuki memandang diriku yang terjatuh, dan berpose layaknya
pahlawan yang mengalahkan penjahat.
“Tidak, aku belum mati.”
“Mfufufu. Yoshi-kun, karena kamu kalah, kamu harus menuruti
apa yang aku katakan.”
“Aturan itu berlaku untukku juga?”
“Bukannya itu sudah jelas?”
Benar, jadi yang kalah harus menuruti perkataan yang
menang. Aku mengangkat tangan untuk mengakui kekalahan dengan pasrah, dan
Yuki mengangguk dengan puas.
“Kalau begitu semuanya. Waktu untuk mengalahkan yang
lainnya. Ayo serbuuu! ”
Jadi aku menyaksikan Yuki yang terus menyerang sisa
timku. Di sebelahku, Natsuna bertanya,
“Hei, Haru-kun. Siapa gadis cantik
itu? Kenalanmu?”
“... Mungkin dia peri salju dengan aroma sakura? ”
Aku hanya bergumam, karena terlalu malas untuk
menjelaskan. Itu aneh, salju dan
sakura ‘kan berada pada musim yang berbeda, gumam Natsuna, seperti yang
dikatakan orang tertentu.
Hari Selasa, 13 Februari.
Ini hari ketujuh Yuki dan aku menjadi sepasang
kekasih. Pada hari ini, kami memutuskan pergi ke taman hiburan yang berada
di atap gedung swalayan.
Biang lala mini di sana berkarat karena terpaan angin dan
hujan, dan dari lima mobil yang dirancang dengan karakter anime, tiga di
antaranya diberi label 'tidak berfungsi'. Satu-satunya yang masih
berfungsi adalah robot kucing biru dan tikus listrik berpipi merah. Ada
anak laki-laki yang duduk di mainan tikus listrik, dan setelah bergerak sekitar
3 menit, ia berhenti tepat di tengah taman bermain.
Tumpukan salju tebal kemarin sudah mencair sepenuhnya, dengan
beberapa masih meninggalkan genangan. Wajah-wajah manusia salju setengah
meleleh.
Kami duduk di bangku plastik. Ini adalah
satu-satunya tempat bagi kami untuk duduk dan beristirahat. Aku menatap
langit yang kelabu, dan bergumam.
“Jadi, kenapa kita ada di sini?”
“Kamu kalah dariku dalam pertarungan bola salju, jadi
kamu akan menuruti perkataanku sepanjang hari.”
Balasnya, seolah-olah itu adalah fakta.
Aku kalah dalam pertarungan bola salju kemarin, jadi aku
harus menuruti keinginan Yuki. Awalnya, aturannya adalah yang kalah harus
mematuhi satu hal yang diinginkan oleh pemenang, tapi sekarang karena suatu
alasan, itu malah menjadi aku harus mematuhinya sepanjang hari. Serius,
para gadis luar biasa dalam membuat orang lain menerima tuntutan
mereka. Yah, aku tidak terlalu membencinya.
Yuki bilang, permintaan
pertamaku adalah, kencan. Ada dua tempat yang ingin aku kunjungi
bersamamu, Yoshi-kun.
Salah satunya adalah tempat ini.
“Aku mengerti apa yang kau katakan, tapi bukan
itu. Kenapa taman hiburan di atap ini?”
“Karena aku menyukainya. Jadi aku ingin kamu datang
ke sini, Yoshi-kun. ”
“Kalau begitu, ini adalah tempat yang salah. Kita
harus pergi ke tempat yang lebih baik. ”
“Tidak. Ini cukup layak untuk disebut taman hiburan.
”
“Apa kau senang berada di sini, Yuki?”
“Iya.”
“Apa kau menikmatinya?”
“Ya.”
“Berarti tidak ada masalah.”
Ya. Semuanya akan baik-baik saja selama Yuki
bahagia.
Aku menepuk lututku, berdiri, dan mengulurkan tanganku ke
Yuki.
“Mumpung kita di sini, kita mungkin bisa naik biang
lala.”
“Ehh, rasanya memalukan.”
“Tidak apa-apa. Tidak ada orang lain selain kita di
sini. Pikirkan tentang itu. Kita sudah capek-capek ke sini, dan tidak
mengendarai apa pun. Itu sulit dipercaya, bukan? ”
Yuki mencoba berbagai alasan untuk menolak ajakanku,
sebelum akhirnya dia memegang tanganku. Ini adalah kemenanganku karena
mengabaikan semua alasannya. Aku bertanya padanya wahana permainan mana
yang ingin dia naiki, dan karena dia suka kucing, kami pun memilih robot
kucing.
“100 yen masuk.”
“Kamu tidak ikut naik, Yoshi-kun?”
“Ini cuma muat satu orang. Aku akan menaikinya
nanti.”
“Nanti?”
Sementara Yuki memiringkan kepalanya dengan manis, aku
memasukkan koin.
“Aku sudah 18 tahun. Rasanya sangat memalukan untuk
menunggangi ini."
“Ah, begitukah?”
Setelah mendengar alasanku, Yuki merajuk marah, tetapi
aku berhasil melarikan diri dari robot kucing sebelum kepalan tangannya
mencapai wajahku. Itu mulai bergerak perlahan, diiringi dengan musik yang
aneh.
Bocah yang mengendarai tikus listrik menunjuk Yuki,
“Mama. Boleh aku mengendarainya sekarang? ”
“Tunggu giliran Onee-san selesai.”
Ahh Ini sangat memalukan. Aku melihat ke arah
Yuki, dan melihat wajahnya yang memerah sampai ke bagian bawah lehernya,
tangannya menutupi wajahnya. Dia benar-benar lucu ketika dia bertingkah
seperti ini. Aku diam-diam memutuskan kalau aku akan membiarkan dia
memukulku sekali atau dua kali.
Akhirnya, Yuki menyuruhku mentraktirnya dengan jus dari
mesin penjual otomatis, bukannya memukuliku.
Aku memasukkan koin, dan lampu hijau muncul di tombol.
“Pilih yang kau suka.”
Dia menatap dengan muram, bingung mau pilih mana, sebelum
memilih minuman kakao, dan aku juga membeli yang sama. Kami berdua tidak
bisa minum kopi hitam. Meski kami bukan anak-anak, kami belum cukup umur
untuk disebut orang dewasa. Pada titik ini, kita berada di antara batas dua
kelompok umur ini.
Kami bersandar pada tembok pembatas, meminum cokelat
secara serempak.
Kami berdua berdekatan satu sama lain, dan aku hanya
perlu bergerak sedikit untuk menyentuh Yuki. Aku benar-benar bisa
merasakan kehadirannya, kehangatannya, dan aromanya. Tangannya berada di
kaleng, berusaha menghangatkannya, saat dia minum perlahan.
“Hei, Yoshi-kun. Terima kasih.”
Tiba-tiba, Yuki mengatakan itu.
“Kenapa kau berterima kasih? Aku tidak melakukan
apa-apa.”
“Itu tidak benar. Kamu membelikan kakao, membawaku
ke sini, dan dirimu yang lain membuat banyak, banyak kenangan
bersamaku. Hei, kurasa ini seharusnya menjadi alasan yang cukup untuk
berterima kasih, ‘kan? ”
Yuki memejamkan matanya, seakan mengingat sesuatu.
“Aku sangat suka melihatmu tersenyum, melihat wajahmu
yang marah, wajahmu yang menangis, wajahmu yang malu-malu, wajahmu yang
bermasalah, dan wajahmu yang cemas. Aku kira, sebelum aku mati, aku pasti
akan mengingat setiap hari sejak saat aku bertemu denganmu. Suatu hari,
ini akan seperti yang kamu katakan, Yoshi-kun. Walau aku terus berjuang,
dan meski aku mencapai tempat itu, namun tidak menemukan apa yang aku inginkan,
pasti ada sesuatu yang lebih berharga di sana ... “
Usai menngucapkan itu, Yuki berhenti sejenak. Dia
mungkin ingin aku bertanya apa yang ingin dia katakan, karena dia menungguku
untuk bertanya.
“Apa yang kau temukan di sana?”
“Aku menemukanmu di sana. Kamu ada di sana,
Yoshi-kun, di hatiku yang kupikir itu kosong.”
Nn, gumamnya, dan membuka matanya perlahan dengan
kepuasan.
“Setiap hari aku hidup, ada kamu di sampingku,
Yoshi-kun.”
Kenapa?
Itu bukanlah kata-kata yang bisa menyebabkan air mata,
namun aku merasa hidungku sedikit gatal. Aku menatap langit untuk
menyembunyikan pemandangan ini, menatap awan yang memerah di ujung sana. Merah,
menyengat menyinari mataku.
Tiba-tiba, Yuki mengulurkan tangannya, menepuk
kepalaku. Dia tidak setinggiku, jadi dia berjinjit. Tempat yang
disentuhnya sangat hangat, sangat nyaman.
“…Apa yang sedang kau lakukan?”
“Hm? Aku menghiburmu, Yoshi-kun. Kamu terlihat
seperti akan menangis.”
“Aku bukan anak kecil.”
“Itu bukan hal yang buruk. Aku pikir tadi cukup
memalukan, jadi kamu harus mengalaminya, Yoshi-kun. ”
Sekarang
kita impas, ujarnya sambil membelai rambutnya.
Ahh, gatal. Apa yang sedang terjadi? Mengapa
aku merasa sangat bahagia dengan karena hal kecil seperti ini? Aku bisa
merasakan sentuhan lembut tangannya, dan akhirnya tersenyum.
Syukurlah, ucap Yuki setelah melihatku tersenyum.
“Kamu akhirnya tersenyum.”
Matahari terbenam, dan tempat yang kami tuju setelah
taman hiburan adalah sekolah SMA-ku.
Itulah tempat lain yang ingin Yuki kunjungi.
Sekarang sudah lewat jam 7 malam, dan dalam gelap, lampu
sekolah sudah mati. Satu-satunya tempat dengan lampu oranye menyala adalah
kantor, ruang belajar mandiri, dua ruangan kelas dua dan satu ruangan kelas
satu. Mereka yang mengikuti ujian masuk mungkin masih ada di ruang belajar
mandiri. Semua ruangan kelas tiga benar-benar gelap, ini kesempatan yang
bagus untuk kami.
Aku memegang tangan Yuki saat aku menyelinap dalam
kegelapan malam, menyelinap ke sekolah.
Langkah kaki kami bergema di tangga yang gelap. Di
perjalanan, kami melihat seorang guru, jadi aku menyembunyikan Yuki di belakangku,
memberi tahu guru bahwa aku lupa sesuatu. Oh, jadi responsnya sebagai guru
membuat kami pergi. Kurasa gurunya tidak bisa melihat wajah Yuki dengan
jelas karena gelap.
Begitu guru menghilang dari pandangan, kami menghela
nafas lega, sebelum kami pergi ke ruang kelasku.
Untungnya, ruangan kelas tidak dikunci. Aku
menggeser pintu ke samping, dan dengan deritan yang akrab, ruang kelas dan
koridor saling terkait.
Cahaya bulan suci yang bersinar melalui jendela mewarnai ruangan
kelas menjadi setengah perak.
Ini adalah ruang kelas yang sangat akrab bagiku, tetapi
bagi Yuki, ini adalah pemandangan baru saat dia melihat sekeliling dengan penuh
semangat. Wow. Dia menjerit kegirangan, menyentuh meja seolah-olah itu
adalah batu permata. Ahh, ada coretan, serunya sambil berkeliaran di ruang
kelas, sebelum dia tiba-tiba melihat ke arahku.
“Hei, yang mana mejamu, Yoshi-kun?”
“Eh? Ahh, baris ketiga dari kanan, kursi keempat. ”
Aku terpesona saat melihatnya, dan responku agak lambat. Namun,
entah bagaimana aku menjawabnya. 1, 2, 3, 4, Yuki menghitung ketika dia
pergi menuju ke tempat dudukku.
“Yang ini?”
“Iya, yang itu.”
Aku pikir dia akan duduk di kursi di sebelah kursiku,
tetapi untuk beberapa alasan, dia mengambil yang di sebelahnya, dan kemudian,
“Baiklah, Yoshi-kun, ini keinginan kedua. Kamu akan
duduk di sini.”
Dia menepuk kursiku. Apa lagi yang harus aku
lakukan? Tentu saja, aku akan duduk di tempat yang ditunjukkannya.
Aku seharusnya terbiasa dengan pemandangan ruang kelas ini
dari tempat dudukku sendiri, tapi dengan Yuki yang duduk di sebelahku, semuanya
tampak baru. Meja-meja tua, papan tulis dengan bekas goresan kapur,
kertas-kertas dengan absen kelas yang membosankan semuanya dipenuhi cahaya.
“Rasanya akan lebih menyenangkan bila kau jadi teman
sekelasku, Yuki.”
“Kamu memahaminya?”
Aku mengutarakan pikiranku, dan untuk beberapa alasan,
Yuki menjawab dengan wajah yang tampak sangat gembira.
“Aku ingin tahu siapa tiga tahun lalu yang bilang Ia tidak
tahu apa bagusnya tempat ini?”
“Memangnya ada orang sebodoh itu?”
“Ya, ada. Ah, meski kita berada di sekolah yang
sama, kita mungkin tidak bisa masuk di kelas yang sama. Bagaimanapun juga,
aku ini lebih tua satu tahun. Ya ya. Panggil aku Shiina-senpai.
"
Suara Yuki sangat dekat. Untuk setiap gerakan yang
dia lakukan, meja bergetar. Sesuatu dalam diriku terus terguncang.
“…Shiina-senpai.”
Setelah aku mengatakan itu, Yuki menyeringai.
Hei, ulangi lagi. Tidak mau. Kumohon. Apa boleh buat, ya, Shiina-senpai? Bagus, sekarang sekali lagi. Shiina-senpai. Sekali lagi, sedikit lebih intim. Yuki-senpai? Tidak buruk tidak buruk. Sekali lagi. Seriusan deh, Yuki. Kau seperti orang cabul tau. Matamu
bersinar. Kamu
memanggilku cabul? Kasar sekali.
Apa pun yang aku katakan, Yuki akan tertawa, marah,
terlihat kecewa, atau cemberut.
Di dalam kelas ini, Yuki dan suaraku saling bergema satu
sama lain.
Sementara kami mengobrol, jadi kenapa? tanyaku. Aku benar-benar ingin menanyakan
hal ini sejak awal.
“Kenapa kau ingin datang ke kelasku.”
“.... Yah, aku sudah bilang pada Akane-chan.”
Begitu nama tersebut tiba-tiba disebutkan, aku terkejut.
“Kamu hanya teman sekelas biasa, ‘kan? Kalau begitu, tidak
masalah apa hubunganku dengan Yoshi-kun sekarang. Setelah itu, aku tidak
senang dengan hal itu. Meski dia hanya teman sekelas, aku iri padanya. Aku
tidak tahu bagaimana dirimu di sekolah, Yoshi-kun. Ini yang terakhir.”
Dia berdiri dari kursi, dan membuat jarak
dariku. Angin sepoi-sepoi mengangkat rok panjangnya.
Dia berada di kegelapan, berdiri di sana seperti jurang
pemisah antara terang dan gelap.
“Terakhir.”
Aku mengulangi kata-kata ini, dan segera merasakan rasa
sakit di seluruh tubuhku.
“Kamu akan lulus, Yoshi-kun. Aku ingin datang ke
kelasmu sebelum itu. Ini adalah kesempatan yang sempurna. "
“Ahh, begitu.”
Sepertinya dia tidak merencanakan hal lain.
Yuki bilang kalau kami sudah bertemu ratusan kali. Tentunya
di masa depan, kami akan bertemu berkali-kali lagi. Hei, bukankah begitu?
“Hey, Yuki-senpai.”
Aku memanggilnya untuk memohon padanya, dan dia menyipitkan
matanya, menggaruk pipinya, dan akhirnya menggelengkan kepalanya.
“Kedengarannya bagus, tapi aku lebih suka yang
biasa. Panggil aku Yuki.”
“Yuki.”
Namanya seperti preset karena berasal dari mulutku.
“Aku menyukaimu. Aku benar-benar sangat menyukaimu.
”
“Aku tahu. Kamu sudah mengatakannya
berkali-kali. Aku juga menyukaimu, Yoshi-kun. ”
Tiba-tiba, dorongan tiba-tiba melandaku. Aku tidak
bisa menolaknya. Aku bergegas menuju Yuki, dan memeluk tubuh mungilnya
sedikit. Aroma sakura yang manis tercium. Tidak, bukan itu.
Bagiku, ini sudah menjadi aroma khas Yuki.
“Wawa, kenapa tiba-tiba sekali?”
“Ini salahmu, Yuki.”
“Salahku?”
“Ya, salahmu, Yuki. Semuanya salahmu. ”
“Begitu ya. Mau bagaimana lagi. Ini salahku kamu sering terlibat
denganku. ”
Ini semua salah Yuki karena membuatku seperti ini.
Aku mendekatkan wajahku ke wajah Yuki yang tertawa.
Sepertinya Yuki tahu apa yang ingin aku lakukan ketika
dia menutup matanya dengan erat, pipinya memerah saat dia akhirnya siap
menerimaku. Dia sangat imut; Aku benar-benar tidak tahu berapa kali
aku memikirkan itu.
Di sudut dunia ini yang bahkan tidak bisa dijangkau oleh
cahaya rembulan, kami berciuman tanpa diketahui orang lain.
Saat kami bersentuhan, bibirnya sangat dingin,
bergetar. Rasanya kikuk, hanya ciuman lembut di antara bibir, tapi kami
sangat yakin dengan perasaan satu sama lain, kehangatan satu sama lain,
dibandingkan dengan pengakuan dan pegangan tangan yang tak terhitung jumlahnya.
Manusia sebagai spesies telah menggunakan tindakan ini
untuk mengidentifikasi dengan jelas keberadaan satu sama lain.
Setelah melewati lima detik abadi, Yuki membenamkan
wajahnya ke dadaku, tampaknya menutupi wajahnya sendiri saat dia
merajuk. Tapi aku tahu dia menyembunyikan rasa malunya.
“Ini ciuman pertamaku.”
Dia benar-benar imut dalam keadaan itu, jadi aku
tersenyum. Lihat, itu semua salah Yuki, kan? Mana ada anak laki-laki
yang bisa menolaknya ketika ada seorang gadis imut di depannya.
“Tidak diragukan lagi itu ciuman pertamaku juga.”
“Hei.”
Yuki mengangkat kepalanya. Wajahnya, dan bahkan
sampai telinganya, benar-benar semerah tomat.
“Permintaan ketigaku. Sekali lagi?"
Jadi bibir kami terus bersentuhan lagi dan lagi.
Yuki dan aku berpisah di gerbang depan, dan saat aku
berjalan pulang, ringtone smartphone
di kantongku berdering.
'Nomor publik' adalah nama pemanggilnya. Biasanya,
aku takkan pernah menerima telepon ini, tetapi aku langsung
mengangkatnya. Karena sebuah alasan.
Aku merasa aku tahu siapa yang menelepon.
“Hei Yuki?”
Sebelum dia menyebutkan namanya, aku memanggilnya. Kamu benar, jawabnya.
Suara dari telepon terdengar sangat lembut, namun
sepertinya lebih dekat dari biasanya, dan aku bahkan bisa mendengarnya suara nafasnya. Itu
adalah sesuatu tepat di sampingku, di dalam tanganku.
Aku pergi ke lampu jalan, yang masih berdengung menjauh,
dan menyandakan punggungku di tiang, menatap langit. Di mana dia
sekarang? Jadi aku berpikir sambil menajamkan telinga untuk mendengarkan.
“Aku ingin bicara sedikit lagi, jadi aku meneleponmu. Mau
ngobrol sebentar lagi? ”
“Tentu saja. Tapi ada apa? Apa ada sesuatu yang
terjadi?”
“…Kenapa kamu bertanya begitu?”
Yah, alasannya sederhana, tapi aku tidak bisa
mengatakannya. Aku menelan ludah, dan mempersiapkan
diriku. Karena. Kali ini, aku berhasil mengatakannya. Jadi aku
harus melanjutkan,
“Suaramu terdengar bergetar.”
Bahkan diriku yang bodoh ini tahu bahwa suaranya karena
dia merasa kedinginan.
“Suaraku bergetar?”
“Ya.”
“Begitu ya. Jadi suaraku bergetar. Aku rasa
begitu. Hei, Yoshi-kun, aku akan menanyakan sesuatu. Kamu tidak ingin
melupakanku, bukan? Kamu ingin terus mengingatku, bukan? ”
“Tentu saja.”
“Tidak peduli apapun bayarannya?”
“Iya.”
Aku menjawab tanpa banyak berpikir.
Aku tidak menyadari bahwa ini adalah persimpangan jalan
terakhir.
“Ya kamu benar. Aku tahu kamu akan mengatakan itu,
Yoshi-kun. Kalau begitu, aku punya satu permintaan. Ini permintaanku
yang terakhir. Apa kamu mau mendengarnya?”
“Tentu saja. Aku menghabiskan sepanjang hari untuk
memenuhi keinginanmu. ”
“Terima kasih. Lalu…”
Tolong bawa aku ke taman hiburan. Tolong bawa aku ke
sekolah. Dengan kehangatan yang sama seperti ketika dia mengatakan
keinginan ini, Yuki berkata,
“Tolong tersakiti demi diriku.”
“Eh?”
“Tolong sukai aku, cintai aku, benci aku. Tolong
sesali diriku, menderita demi diriku. Tolong gunakan semua emosimu untuk
mengikat hati kita bersama. Tolong jangan lupakan aku. ”
Ini adalah keinginan terakhir Yuki.
Aku segera melihat jam tanganku. Masih ada satu jam
hingga pukul 10.54 malam. Keringat perlahan merembes dari
punggungku. Cuacanya dingin, tapi entah kenapa, aku merasa panas yang tak
tertahankan. Aku tidak ingin mendengar apa-apa lagi. Aku ingin
menutupi telingaku, untuk meraih kebahagiaan yang ada di tanganku beberapa saat
yang lalu, pulang ke rumah, dan tidur.
Ahh, andai saja ini bisa berakhir seperti yang aku
inginkan? Tapi Yuki segera mengubahnya menjadi ilusi.
Dia dengan lembut menggumamkan kata-kata itu.
–Aku
akan mati sekarang.
Suaranya terdengar dipenuhi sukacita, dan air mata.
“Kenapa?”
“Aku sudah menyita banyak dan banyak waktu darimu,
Yoshi-kun. Aku mengambil waktu yang seharusnya ada di hatimu, ingatanmu,
dan segalanya. Sampai detik ini, aku sudah melakukan banyak hal kejam.”
“Itu tidak benar.”
“Tidak. Itu benar, tetapi kamu mengatakan kepada aku
kalau kamu menyukaiku. Aku senang. Sangat senang. Karena itu,
aku benar-benar berdoa supaya keberadaanku bisa tetap berada di
hatimu. Bahkan jika itu menyakitimu, Yoshi-kun, bahkan jika aku dibenci olehmu,
aku tetap bertahan pada keinginanku. Bila ada tempat beristirahat di dunia
ini untukku, itu pasti di hatimu.”
Itu bukan jawaban untuk pertanyaanku. Yuki sendiri
mungkin mengerti ini, dan dengan sengaja mengucapkan kata-kata ini.
Meski begitu, aku menyadari bahwa tidak ada kepura-puraan
dalam kata-katanya.
Sekali lagi, aku berlari menuju jalan yang kutempuh.
Aku melewati jembatan, dan berlari ke taman. Lampu
toilet umum menyala remang-remang di jalan. Aku menapaki langkahku ke
persimpangan, ragu-ragu ke mana aku harus pergi. Ahh, sial. Aku
membuang-buang waktu yang berharga. Pada akhirnya, aku pergi ke stasiun.
“Hei, Yuki, tunggu di sana oke. Aku sedang dalam
perjalanan menuju tempatmu, sekarang. Kita akan membahas masalah itu nanti,
oke. ”
“Bukannya kamu
bilang kalau kamu akan mendengarkan keinginanku tak peduli apa isinya? Apa
kamu akan mengingkari janji ini lagi?”
“Lagi?”
“Ya, lagi. Kamu selalu seperti ini, Yoshi-kun,
selalu membuat janji yang tidak bisa kamu tepati.”
“Janji apa yang aku ingkari?”
“Kamu bilang kamu akan ingat.”
“Eh?”
“Kamu bilang kalau kamu akan mengingatku ketika mencium aroma
sakura.”
“…….”
"Kamu bilang kamu takkan pernah melupakannya.”
“……”
“Kamu bilang akan mengajakku pergi ke bioskop.”
“……”
Yuki terus menyerukan janji-janji yang dibuat tidak ada
di dunia ini, tapi di dalam hatinya. Aku bahkan tidak bisa meminta maaf
padanya. Tidak, aku tidak punya hak untuk meminta maaf.
“Bukannya itu semua bohong!?"
Bentaknya, suara Yuki melemah, setidaknya penuhi janji ini!
“Itu harus kamu. Aku tidak bisa lagi mengatakan
bahwa siapa pun bisa melakukannya. Aku tidak ingin melakukan ini jika
bukan dirimu. Aku tak peduli apa bentuknya, aku ingin tetap berada di
hatimu sepanjang waktu. Aku tak ingin dilupakan olehmu. Aku tidak
ingin mengambil apapun dari dirimu. Sedikit saja tak masalah, apapun tak
masalah, aku ingin tetap di hatimu. Hanya Ini satu-satunya cara untuk
melakukan itu ... “
Aku tiba di stasiun.
Aku tidak melihat tanda-tanda keberadaan Yuki.
Aku melihat sekeliling, aku menabrak paman yang
mengendarai sepeda, tersandung. Kalau
jalan lihat-lhat! Jangan melepon sambil lari! Paman itu melotot
dan meneriakiku dengan meradang. Aku sedikit menundukkan kepalaku meminta
maaf, dan berlari ke balai kota. Aku bisa mendengar apa yang paman
katakan, tapi aku tidak melihat ke belakang.
Aku terus berlari, semuanya demi mencari Yuki.
………………………………..
Sejak hari dimana aku kehilangan segalanya, aku berjalan
sendirian sampai detik ini.
Kekosongan tanpa tujuan, kemarahan dan kebencian tanpa disadari
menjadi alasanku untuk terus hidup. Tanpa ada hal itu, aku mungkin takkan
sanggup berdiri lagi.
Sampai suatu hari Ia memanggilku.
Ini bukanlah metafora maupun lelucon. Dunia berubah
sejak hari itu.
Ia membantu mengubahku.
Aku mendapat mimpi.
Itu menjadi alasanku untuk hidup.
Ia memenuhi banyak hal yang diriku lebih muda ingin
lakukan.
Tanpa aku sadari, kekosongan, kemarahan, dan bahkan
kebencian tersapu lenyap, dan sesuatu yang lebih hangat justru mengisi diriku. Aku
tidak bisa lagi berpaling dari perasaan ini.
Ah, benar juga.
Aku jatuh cinta untuk pertama kalinya.
Apa yang harus aku sebut hari-hari yang lucu dan indah
ini? Aku bertanya-tanya, dan menggelengkan kepala. Ini bukan sesuatu
yang pantas disebut.
Kami ingin bersama, selamanya.
Menuju ke ujung dunia bersama.
Tapi itu tidak mungkin, ini mustahil.
Akhir dari keseharian ini, akhir cerita kita akan
dipenuhi dengan kesedihan.
Kami terus bertemu satu sama lain, demi perpisahan yang
satu ini.
❀❀❀❀
Jalan di depan balai kota cukup lengang, tidak ada orang
di jalan, dan sepi di mana-mana. Lampu jalan yang bundar membuat prisma
bulat. Melihat ke bawah, aku melihat tiga bayangan di kakiku, satu
menghadap ke kanan, satu menghadap ke kiri, dan satu menghadap ke
depan. Mungkin ada sumber cahaya dari setiap arah; kanan, kiri dan
lurus.
Sisi mana yang harus aku ambil untuk sampai ke tempat
Yuki?
Aku tidak tahu.
Dan tanpa sadar, aku melangkah ke depan. Aku tidak
tahu persis kenapa, tapi aku diam-diam yakin akan sesuatu.
Yuki ada di depanku.
Jadi, ya, aku berlari ke depan.
Jarak terdekat, kecepatan tercepat yang mungkin, menuju
Yuki.
…………………………
Cahaya oranye menyinari diriku yang bersembunyi di balik
kaca bening. Angin menderu di luar, dan sebuah poster berkibar karena
angin, mungkin karena paku yang memegangnya di atas papan iklan telah lama
terjatuh.
Aku mencoba mengulurkan jariku ke depan, tetapi terhalang
oleh kaca, tidak dapat menyentuhnya.
Aku menggerakkan jari-jariku, dan ada tanda sentuhanku di
atasnya.
Saat ini, aku masih ada di dunia ini. Ya, aku masih
ada di hatinya.
Tentunya, bagi Yoshi-kun, aku adalah gadis yang sangat
imut.
Jika Ia menganggapku lucu, itu tidak masalah. Ahh,
tapi Yoshi-kun bilang aku sangat keras kepala dan pelit padanya, selalu
mengekor padanya, jadi mungkin tidak lucu. Aku menunjukkan kepadanya sisi
jelekku. Ia bilang aku benar-benar rakus.
Dan pada akhirnya, semuanya akan
terhapus. Kesedihan, penderitaan dan keputusasaan pasti akan mengambil
wujudku, menggantikan tempatku di hati Yoshi-kun.
Jika aku bisa melakukan sampai segittunya, aku akhirnya bersemayam
di hatinya.
Ini adalah satu-satunya cara untuk tetap di hatinya.
Awalnya, alasan mengapa semua jejakku lenyap adalah
karena aku ingin pergi ke masa depan. Dunia harus terus menghapus
keberadaanku karena aku hidup. Kalau begitu, jika aku mati, tidak ada
alasan bagiku untuk dihapus. Tentu saja, jejak masa lalu yang terhapus
takkan kembali, tapi masa kini yang belum diambil akan tetap ada.
Aku sudah menunggu saat ini.
Menjadi kekasihnya hanya selama satu minggu.
Pikiran kami benar-benar terjalin.
Selama periode berharga itu, aku mungkin telah mengukir
diriku dengan kuat-kuat di dalam dirinya.
Lebih penting lagi, Yoshi-kun merindukanku. Ia
mengulurkan tangannya, merangkak ke arahku. Dia terus berjuang untukku.
Tetapi, setelah semua itu, tidak bisa mendapatkan apa
yang diinginkan seseorang pasti akan menyebabkan luka dalam yang tidak pernah
bisa hilang. Ia akan menangis, menahan rasa sakit, dan mengingatku. Dengan
demikian, aku bisa terus tetap berada di hatinya.
Aku bisa mendengar Yoshi-kun terengah-engah dari ujung
telepon.
Aku bisa mendengarnya berlari kencang.
Semuanya berjalan sesuai rencana.
Maaf. Aku ingin mengatakan kata egois ini, tapi aku menahannya
kembali.
Kata-kata itu terlalu tajam, sehingga aku, yang memaksa
diriku untuk menahannya, hampir menangis.
❀❀❀❀
Tanganku sakit.
Kakiku sakit.
Hatiku sakit.
Butir-butir keringat mengalir di pipiku. Tubuhku
terasa panas dan berat.
Tapi aku tidak boleh berhenti. Aku harus terus
berlari.
Aku berbelok ke kanan di jalan raya yang panjang,
menuruni lereng. Kemiringan yang sangat dalam. Aku diam-diam
memperingati diriku untuk berhati-hati, namun perasaan cemasku takkan
membiarkan diriku melambat. Setelah mengambil langkah pertama, langkah
kedua berjalan maju tanpa kendali. Uh oh. Jantungku berdebar
kencang. Meski begitu, aku tak bisa berhenti. Aku seperti lalat di
langit, terus bergerak maju. Setiap kali kakiku mendarat, akan ada kejutan
puluhan kali lebih besar.
Aku terus berlari, dan secara alami, aku mencapai batas
kemampuanku. Kaki kanan menyerah untuk menopang berat badan saat
membungkuk. Aku bisa dengan jelas mendengar suara bodoh itu.
“Ahh.”
Kemudian, aku terjatuh.
❀❀❀❀
Fuu. Aku menghela nafas panjang.
Hanya waktu satu-satunya hal yang berlalu.
Waktu sudah lama berlalu, aku ingin menutup telepon,
tetapi aku tidak bisa. Apa yang salah denganku? Batas waktu semakin
dekat. Ayo, tutup telepon. Mana mungkin Ia akan berhasil ke
sini. Ini buang-buang waktu saja bila terus ragu. Jika aku tidak mati
sekarang, aku takkan tinggal di hatinya.
Tetapi tubuhku tidak bisa bergerak.
Yuki.
Namaku yang Ia panggil berkali-kali mengelilingi
lenganku.
Yuki.
Aku menutup mataku, melihat senyum lembutnya, dan kakiku
terasa lebih berat.
Aku terus berpikir dan berpikir.
Aku terus merenung dan merenung.
Dan setelah itu, aku harus memilih keinginanku. Meski
aku tahu itu akan menyakitinya. Meskipun aku tahu itu akan membuatnya
sedih.
Meski begitu–
Tiba-tiba, aku mendengar sesuatu.
Itu dari ujung telepon, ini dari dirinya.
Itu adalah suara seseorang yang menabrak, seseorang
mengerang. Tidak, aku bahkan tidak bisa mendengar suara itu.
Bagiku, satu-satunya kenangan yang tidak ingin aku ingat
terbangun dalam diriku.
Lupakan segalanya, aku memanggil namanya.
“Yoshi-kun, apa kamu baik-baik saja? Apa yang terjadi? Hei! Yoshi-kun. Jawab
aku!”
❀❀❀❀
Pada saat itu, aku meraih smartphone di tanganku dengan
sekuat tenaga, meringkuk, dan membawanya ke depan dadaku.
Karena itu, aku jatuh ke tanah tanpa menggunakan teknik
ukemi. Ada rasa sakit yang tajam menyerang bahu kiriku, membuatku
mengerang. Setelah berguling sebentar, aku berhenti.
Aku kesulitan bernapas, dan melakukan yang terbaik untuk
berbicara, menghirup udara musim dingin yang dingin ke paru-paruku dengan
sekuat tenaga. Tak peduli berapa banyak oksigen yang aku ambil, aku tetap
kesulitan bernapas.
Aku sudah tidak kuat berlari, dan seluruh tubuhku
sakit. Ini mengerikan. Aku bahkan tidak bisa berdiri. Secara
fisik, dan mental.
Aku punya keraguan aneh yang tersisa dalam diriku.
Mengapa aku melakukan ini?
Seseorang dalam diriku berkata begitu.
Bukannya ini sudah cukup?
Yuki pasti menderita. Dia selalu sendirian, bekerja
keras sampai saat ini. Paling tidak, biarkan dia menjadi egois sampai
akhir.
Aku terus memikirkan kata-kata yang menyuruhku untuk
menyerah.
Dan bahkan jika aku menemukannya, apa yang ingin aku
lakukan? Apa aku siap untuk mengubah tekad Yuki?
Aku memiliki berbagai alasan yang muncul di benakku.
Aku sudah bekerja keras. Aku memiliki banyak
pengalaman yang tak tertahankan, dan membuatku blepotan dimana-mana. Ini
sudah cukup, bukan?
Setelah ini berakhir, tak ada yang akan mengeluh. Tapi-
Ada satu hal. Suara Yuki datang dari smartphone di
tanganku. Yoshi-kun, kamu baik-baik
saja? Apa yang terjadi? Hei! Yoshi-kun. Jawab aku!
Aku hampir tidak bisa menggerakkan tubuhku, dan akhirnya
berbaring di tanah, perlahan membuka mataku. Cahaya menyilaukan menyinari
penglihatanku. Cahaya rembulan bersinar ke arahku.
Sirius bersinar.
Aku bisa melihat Aldebaran.
Pikiranku benar-benar terjaga. Suara di benakku
memudar, dan aku hanya bisa mendengar suara seorang gadis.
Ahh, apa? Kau tidak perlu mengkhawatirkan aku. Tapi
aku sangat senang tentang ini.
Aku memanggil namanya.
Saat dia memanggil namaku, aku pun memanggilnya.
“Yuki.”
“Apa?”
“Kau kejam.”
Dengan suara gemetar yang sama, Yuki mendengus. Dia
sepertinya tidak menikmati ini.
“Aku pernah mengatakan ini sebelumnya, tahu? Ini sudah
lama terjadi, dan meski itu menghilang, aku memang bilang kalau aku akan melakukan
sesuatu yang kejam kepadamu. Aku memang bilang kalau kamu tidak bisa tidak
percaya dengan apa yang aku katakan.”
“Jadi, apa yang aku jawab saat itu?”
“…Bisakah kita bertemu lagi besok. Kamu bilang
begitu kepadaku.”
“Aku ini memang idiot.”
“Iya. Orang idiot Karena itulah kamu menjadi
sasaran gadis nakal ini. ”
“Ya. Aku benar-benar idiot.”
Seharusnya ada lebih banyak hal yang ingin dikatakan.
Seharusnya ada lebih banyak hal yang harus aku katakan.
“Aku seharusnya mengatakan aku menyukaimu.”
“... Kamu ini memang aneh.”
Itu seharusnya baik-baik saja.
Kau suka orang aneh, bukan?
Maka, aku akan menjadi orang aneh.
“Ya, aku ini orang aneh yang menyukaimu. Aku mungkin
sudah banyak berbohong, melanggar banyak janji, tapi hanya ini satu hal yang
benar. ”
Setelah diam beberapa saat, ya, Yuki bergumam. Dia
tahu.
“Jadi, aku akan mendatangimu sekarang. Aku tak tahu
apa yang kau pikirkan, apa yang kau sangka, apa yang membuatmu frustrasi, apa
yang membuatmu khawatir, apa yang membuatmu memutuskan itu. Di masa depan,
aku ingin bertemu Kau berkali-kali, untuk mencintai, untuk hidup bersama.”
Masa lalu yang mengacu pada empat tahun lalu. Saat
itu, ada seorang anak lelaki yang tidak bisa jujur mengatakan apa yang Ia inginkan. Sebagian besar, ia hanya memilih untuk bertahan, untuk
menyerah. Bocah itu tak lagi ada dimanapun di dunia ini.
Karena aku tak tahan untuk ini. Aku tidak dapat
menerima bahwa Yuki menangis.
Selama aku bisa memastikan bahwa gadis yang paling aku sayangi
takkan menangis, aku akan melakukan segalanya, bahkan jika aku harus
mengorbankan segalanya.
Aku akhirnya mendapatkannya.
Sesuatu yang sangat aku inginkan dari lubuk hatiku.
Sesuatu yang aku takut kehilangan.
Sesuatu yang aku rela kukorbankan segalanya.
Karena aku bertemu Yuki.
Karena, aku bertemu Yuki?
Tiba-tiba, berbagai hal terhubung dalam pikiranku. Garis-garis
terbentuk, seperti rasi bintang yang muncul di mataku. Aku melihat cahaya
Orion.
Beberapa waktu yang lalu, aku memetakan bintang-bintang
dengan buku bergambar, menghubungkan bintang-bintang menjadi rasi
bintang. Apa aku benar-benar sendirian saat itu? Tentu saja tidak.
Ketemu!
Aku berseru. Iya. Aku akhirnya menemukan kaitannya.
“Yuki. Kau bilang semuanya tidak ada, tapi itu tidak
benar. Kau bilang kau mengambil semuanya dariku, tapi bukan itu. ”
Akhirnya, aku bisa mengatakan dengan yakin kalau aku mempercayaimu.
“Kau tahu, karena aku ada di sini.”
“Apa yang ingin kamu coba katakan?”
Suara Yuki di telepon dipenuhi keraguan, tapi aku
mengabaikannya, dan terus melanjutkan.
“Seminggu yang lalu, kita bertemu di tanah kosong
itu. Itu bukanlah kebetulan. Karena Shiro tertidur di sana. Aku
berhenti karena Shiro dimakamkan di sana. Jika kau tidak meminta bantuanku
empat tahun lalu, mana mungkin kita akan bertemu di sana.”
Di ujung telepon yang lain, Yuki tersentak.
“Karena keberadaanmu, Shiro tidak menjalani saat-saat
terakhirnya sendirian. Karena tekadmu, dia tidur di tempat yang penuh
kehangatan. Dan karena kau terus mengumpulkan keberanian untuk berbicara
denganku, aku di sini. Semuanya terhubung. Selama ini, kau sudah ada
di hatiku. ”
Aku pergi ke berbagai tempat sendirian, dan melakukan
banyak hal. Aku menikmati hal-hal ini dalam ingatanku, semua ini karena
Yuki ada di sebelahku. Tidak apa-apa, Yuki. Tidak apa-apa. Kau tidak
mengambil apa pun dariku. Bukan hanya itu, kau malah memberiku banyak hal.
Seorang gadis melakukan yang terbaik untuk mengubahku
menjadi diriku saat ini.
Yuki bergumam.
“Aku sudah ada di hatimu, Yoshi-kun?”
“Ya itu benar. Kau sudah ada di sini, di dalam diriku.”
“ …..Begitu ya. Kurasa itu saja sudah
cukup. Lalu hidupku sudah—”
“Tidak, bukan apa-apa. Lebih penting lagi, hei,
Yoshi-kun. Bisakah aku mengubah sedikit permintaan terakhirku? Jika
aku benar-benar ada di hatimu, buktikan padaku. Sebut aku. Tolong. Panggil
namaku.”
Aku memejamkan mata erat-erat. Aku
membukanya. Visiku sangat terang.
“Aku akan ke tempatmu sekarang. Secepat mungkin.”
“…Aku akan menunggu.”
Aku mengerahkan kekuatan ke tangan kananku. Aku
merasakan panas. Mungkin karena aku menggunakan ponsel untuk waktu yang
lama sehingga ponselku agak panas. Namun, itu tidak terbakar. Ini
sehangat telapak tangan Yuki.
Aku memeganginya.
Aku harus terus meraihnya, sehingga aku takkan kehilangan
itu, supaya aku takkan membiarkannya tergelincir.
Karena—
Kami menyebutnya panas itu dengan sebutan 'cinta'.
Aku berjongkok, dan berdiri.
Tsuu,
haa. Aku merasakan rasa sakit di dalam
tubuhku. Aku hampir menangis. Tapi aku mengambil langkah
pertama. Aku mengambil langkah kedua. Aku mengertakkan gigi, dan
mempercepat lariku.
Aku berlari melewati depan sekolah SMP-ku dulu. Sudah
berapa kali aku mengejar bayangan seseorang di sini? -dia tidak ada di sini.
Aku berlari melewati toko, yang sering aku lewati dalam
perjalanan pulang setelah aktivitas klub berakhir. Sudah berapa kali aku
makan es krim sendirian di sini? -dia tidak disini.
Aku melewati toko buku yang sering aku kunjungi. Sudah
berapa kali aku membeli publikasi novel baru? - dia tidak ada di sini.
Tanpa aku sadari, gedung perpustakaan sudah kulewati. Sudah
berapa kali aku berjuang dengan tugas matematika sendirian? - dia tidak ada
di sini.
Aku melewati pusat permainan, karaoke, arena bowling,
arena baseball, bioskop. Dia tidak ada di antara tempat-tempat tersebut.
Kota ini dipenuhi dengan ingatanku yang kesepian.
Tak satu pun dari tempat tersebut memiliki kehadiran
Yuki.
Aku sendirian.
Tapi pada titik ini, aku bisa melihat seseorang di
sana. Setelah keberadaannya terhapus, sesuatu selalu digunakan untuk
menutupi keberadaan seseorang, namun perlahan aku bisa mendengar
tawa. Kedengarannya sangat bahagia, milik gadis yang aku suka.
Aku berbelok ke kanan di persimpangan T, dan berlari
lurus ke depan. Sudah berapa kali aku berlari di jalan ini
sendirian? Tapi saat itu, pasti ada Yuki di depanku. Haa,
haa. Aku terus menggerakkan kakiku. Aku melihat ke depan. Itu
jalan menuju Yuki, dari waktu yang hilang.
Jadi, aku percaya.
Aku melihat ke arah aula publik jauh.
Aku melihat papan iklan kecil.
Aku melihat seseorang di dalam bilik telepon umum yang
bersinar redup dalam kegelapan. Meskip aku hanya bisa melihat siluet,
orang itu sedang menelpon. Aku menemukannya. Aku menghela nafas lega.
Aku mengulurkan tanganku.
Tinggal sedikit….tinggal sedikit lagi.
Meski begitu, kenapa–
Jarum jam tidak berhenti.
Masih ada jarak di antara kami. Aku tidak bisa
melihat wajah Yuki dengan jelas. Aku tak bisa mendengar suara
Yuki. Suaraku tidak bisa menggapainya. Aku di sini, tetapi Yuki tak
pernah menyadariku.
Berbagai emosi meluap dari dalam diriku.
Rasa cemas, sedih, marah. Dan yang terpenting, rasa
takut.
Aku terengah-engah, kehabisan napas. Aku tak bisa
mengeluarkan suara. Kata akhir terlintas dalam benakku. Tidak, tidak,
tidak. Aku tidak ingin akhir yang seperti ini, tidak!
Yuki, yang diam sepanjang waktu, tiba-tiba berkata.
Suara itu datang dari telepon.
“Terima kasih banyak atas semuanya. Aku sangat
senang. Aku sangat menikmati diriku sendiri. Sebenarnya, sejak aku
bertemu denganmu, aku benar-benar bahagia. Rasanya sangat menyenangkan
bisa hidup sampai sekarang. "
Mengapa kau mengatakannya seolah-olah ini adalah akhir? Ini
bukanlah akhir! Ini masih belum selesai. Kau masih ada di sini,
Yuki. Kau masih ada di sini.
“Sebenarnya, apapun yang terjadi, aku mungkin takkan bisa
mendapatkan yang kuinginkan. Dulu aku hanyalah kerang yang kosong, namun
kini, hatiku dipenuhi dengan begitu banyak kenangan. Kita pergi ke tepi
laut musim dingin itu, tapi rasanya tidak dingin karena kita berdua
bersama. Kita pergi ke bioskop bersama, tapi aku menikmati diriku sendiri,
karena kita menonton film bersama. Ketika kita pertama kali berperang bola
salju bersama, aku benar-benar bersemangat. Aku mencoba banyak hal lezat,
tak diragukan lagi. Aku tidak membela diriku di sini, tapi aku bukan
benar-benar rakus, tau? Rasanya terlalu enak saat bersamamu, Yoshi-kun,
jadi aku makan terlalu banyak. Lagipula, makan adalah tanda seseorang itu
hidup. ”
Itu masih belum cukup, bukan? Ayo kita ciptakan
banyak kenangan bersama. Ayo pergi ke berbagai tempat. Ayo makan
banyak dan banyak hidangan lezat lainnya. Jadi….
“Kita berpegangan tangan berkali-kali. Tanganmu
selalu hangat, dan aku menyukainya. Jantungku berdegup kencang, kupikir
itu akan meledak, tapi rasanya enak. ”
Tangan Yuki benar-benar dingin. Tapi segera menjadi
hangat. Karena itu, aku senang.
“Sejujurnya, ini baru pertama kalinya dalam hidupku aku
menyukai seseorang. Aku mengatakan kepadanya bahwa aku menyukainya, dan Ia
bilang kepadaku kalau Ia menyukaiku. Aku mengatakan banyak hal yang keras
kepala kepadanya, dan bermain-main denganku. Merayu seorang anak lelaki
terasa nikmat. Hm Ya, rasanya benar-benar nikmat. ”
Jika aku bisa mengatakan, itu adalah cinta pertamaku,
rasanya pasti akan hebat, tapi mungkin tidak. Kurasa aku jatuh cinta
dengan orang tertentu yang sama 214 kali. Orang yang sama. Itu kau.
“Ciuman pertama sebenarnya setelah sekolah, di dalam kelas. Itu
benar-benar pengalaman yang sangat dramatis. Omong-omong, di manga, orang
bilang ciuman pertama rasanya seperti lemon, tapi kurasa itu tidak benar. Rasanya
memalukan, hal yang menyenangkan untuk dicium, tak ada cara untuk
membandingkannya. Atau kau tau apa itu, Yoshi-kun? Bagaimana rasanya
ciuman pertama?”
Mana mungkin aku bisa tahu.
Hei,
Yoshi-kun.
Yuki memanggilku.
“... Bila di lihat dari sudut pandang orang luar, kisah
cinta kita cukup normal. Ini seperti anak laki-laki biasa berpacaran
dengan seorang gadis biasa, hanya sekedar cerita biasa. Tapi. Tidak.
Sebenarnya, karena inilah aku merasakan sesuatu yang layak untuk diberikan
semua. Berkat dirimu, aku bisa mengucapkan kata-kata ini sekarang. Eheheh. Rasanya
agak memalukan. Tapi aku akan mengatakannya sekarang. Dengarkan ini
baik-baik. Ini adalah hidupku. Hari yang penuh kilauan yang kuhabiskan
bersamamu, Yoshi-kun. ”
Tentunya, Yuki tetap hidup demi kata-kata ini.
–Ini
adalah Kisah Cinta Paling Membahagiakan di Dunia ini.
Suaranya tidak lagi bergetar.
Akhirnya, Yuki-ku tersayang mengucapkan kata-kata
perpisahan, dengan bangga seperti biasanya.
Dan pada saat yang sama, rasa sakit di dadaku menjadi
panas saat meluncur di pipiku.
“Kenapa kau mengatakan ini? Aku masih ingin
bersamamu. Jadi, aku mohon padamu. Hiduplah! Teruslah hidup!”
Apakah kata-kataku sam tersampaikan padanya?
Apa dia mendengarku?
apa kita masih terhubung?
Cuma sedikit lagi. Yuki bisa merubah pikirannya lagi
jika ada peluang, suatu saat. Tetapi itu saja tidak cukup.
“Aku akan menunggu untukmu. Aku akan selalu
menunggumu. Menunggu untuk memanggil namaku!”
Lututku terasa sakit. Aku menahannya, agar memastikan
bahwa aku tidak mengerang. Lututku gemetaran, dan aku tidak bisa
mengerahkan tenaga. Sepertinya tenagaku terkuras karena luka. Aku
kehilangan keseimbangan. Aku menghabiskan semuanya hanya dengan mengertakkan
gigi, memaksa diriku untuk tidak jatuh.
Kenapa!? Kenapa baru sekarang!? Ayo
bergerak! Aku tak peduli kalau aku tidak bisa bergerak lagi! Bawa aku
ke Yuki! Kumohon! Gadis yang aku cintai ada di sana!
“…Aku menyukaimu. Benar-benar menyukaimu! Aku
menyukaimu lebih dari siapapun, atau apapun!”
Aku berteriak.
Aku memanggil nama yang paling aku sukai di dunia ini, ke
arah cahaya kecil itu.
Aku berdoa agar suaraku dapat menghubunginya.
“Yu, -”
Hanya itu yang bisa aku lakukan.
Dan pada saat itu, dunia diam-diam berubah.
Pada saat itu, ketika keabadian tampak tertekan, aku
bermimpi kalau aku melihat seorang gadis.
Yuki yang mengatakan dia menyukaiku.
Yuki yang mencari alasan untuk berpegangan tangan.
Dia yang bertarung dalam pertarungan bola salju.
Dia yang pergi ke taman hiburan.
Dia yang berciuman di ruangan kelas.
Dia yang bilang akan menunggu. Tetapi aku-
Ingatan kami bersama, peristiwa masa lalu, suara Yuki,
tingkahnya, ekspresinya, masing-masing jatuh satu per satu, dan setelah kontak,
tidak ada yang menumpuk. Sebaliknya, mereka terlepas dari tanganku. Ahh,
tunggu. Tunggu sebentar.
Segera, kata-kata terakhir meleleh, dan jatuh.
“Sampai jumpa, Yoshi-kun. Kamu adalah satu-satunya
orang yang ada di pikiranku. Yuki Shiina adalah orang yang paling mencintai
Haruyoshi Segawa di dunia ini.”
Senyum Yuki muncul di pikiranku. Ini adalah fragmen
terakhir milik Yuki dalam diriku.
Kecepatan kakiku melambat. Tak lama kemudian, aku
berhenti.
Hanya ada satu suku kata dalam kalimatku.
Tapi aku tidak lagi tahu apa itu.
Aku tak pernah tahu apa yang dunia ambil dariku.
❀❀❀❀
Aku mengambil napas dalam-dalam untuk memulihkan diri.
Aku mau pergi kmana?
Tiba-tiba, aku merasakan sakit di lututku. Itu
adalah luka yang menyerempet setelah aku terjatuh. Aku jatuh tersungkur,
dan berakhir dengan luka di sekujur tubuh. Aku takut sakit, dan meneteskan
air mata, tapi aku terus berlari ke suatu tempat. Meski begitu, aku
akhirnya berhenti.
Serius, apa yang sudah aku lakukan?
“Ahh sial! Ini sakit sekali! Sungguh! Aku
ingin menangis!”
Aku menangis, tetapi akhirnya aku pura-pura menahannya,
dan suara itu akhirnya tidak pernah mencapai siapa pun karena perlahan-lahan
menghilang.
Setengah rembulan menggantung di atas langit, dan
sinarnya menyinari mataku, sementara aku tidak tahu apa-apa.
Saluran telepon diam-diam terputus.
Sama seperti dua ratus kali sebelumnya, dunia dengan
kejam memutuskan kontakku dengannya.
Aku tak bisa berdiri sama sekali, dan tetap berlutut di
bilik telepon. Tak perlu menanggung lagi. Aku mengerut, memeluk
diriku sendiri. Napasku sendiri terdengar sangat berisik. Setelah ini
memudar, aku mulai memperhatikan gema jauh di dalam telingaku. Ini
halusinasi. Aku tahu. Tapi…
Suara itu sangatlah kecil, tapi itu seperti
bintang-bintang yang menyilaukan di langit malam, berkilau di tengah hatiku.
Tunggu
aku. Tetap hidup.
Kata-kata ini masih memanggilku.
Kata-kata tersebut seharusnya sudah menghilang.
Kata-kata tersebut seharusnya sudah tidak ada sama
sekali.
Jadi, kenapa hal itu masih menggoncang hatiku?
Ia jahat. Ia orang yang menyebalkan. Ah, meski
begitu,
Ia adalah orang paling aneh di dunia ini.
Sebelum aku menyadarinya, aku tersenyum. Aku bisa
tersenyum.
Karena tanganku penuh dengan apa yang bisa kupegang.
Tempat yang akhirnya kutuju, tempat yang dipimpin
Yoshi-kun, akhir yang lebih indah dari yang kuharapkan. Di masa depan, Ia
pasti akan tersenyum. Ia akan tersenyum bersama dengan waktu yang lama Ia
habiskan bersamaku. Itu sebabnya aku cukup senang.
Aku menyeka air mataku, dan berdiri.
Aku memasukkan tanganku ke saku, dan jariku menyentuh
sesuatu yang keras. Apa ini? Aku mengeluarkannya, dan menemukan
cokelat. Ini adalah tipe yang sangat umum dijual di
mana-mana. Harganya bahkan tidak sampai 100 yen, dan itu diberikan oleh
bocah lelaki yang namanya tidak aku kenal saat itu. Itu adalah awal kami.
“Jika
mungkin, bisakah kau memberiku cokelat?”
Suaranya terdengar penuh harapan.
“Tentu
saja. Yah, karena itu pemberian dari pacarku.”
Ekspresinya terlihat malu-malu.
Setidaknya, aku harus memberikan ini padanya. Karena
kami sudah berjanji. Bukannya anak lelaki bohong itu akhirnya memenuhi janji
ini untukku?
Dia memanggil namaku. Setengah dari itu.
Itu hanya satu suku kata, tapi aku memang
mendengarnya. Ini bukan suara melalui saluran telepon, tapi suara
jujurnya. Ayo kita memenuhi janji itu. Ayah, ibu, Umi. Kalian
bisa menunggu sedikit lebih lama ... hanya sedikit?
Aku meninggalkan bilik telepon, dan di sudut mataku, aku
melihat siluet yang namanya tidak aku kenal, tapi aku tidak memeriksanya, dan
pergi ke arah yang berlawanan dengan orang itu.
Di ujung cakrawala nan jauh di sana, cahaya setengah bulan
menyinari wajahku.
Ini bulan yang indah.
Pikirku dengan jujur.
Sudah lama sejak aku sangat jatuh cinta dengan dunia ini.
Dulu saat aku mencintai dunia ini, aku sangat ingin
hidup.