Hello, Hello, and Hello Chapter 07 Bahasa Indonesia



Pertemuan 214 - Ini adalah Kisah Cinta Paling Bahagia di Dunia.

“Hei, Yoshi-kun. Aku menyukaimu.”
Aku didekati oleh seorang gadis yang tidak pernah aku temui.
Ini terjadi saat aku sedang keluyuran di sekitar kota.
Suaranya sehangat mentari musim semi, dan selembut angin yang berhembus diantara bunga-bunga.
Bila kuingat-ingat kembali, aku merasa terpesona oleh suara itu.
Kami berada di lahan kosong yang biasa terlihat di kota. Tempat ini tak ada hubungannya denganku, selain kucing putih yang pernah aku kubur di sini.
Jadi tentu saja aku tak mengenal dirinya.
Kulitnya seputih porselen.
Rambutnya terlihat halus seperti awan.
Matanya yang besar jernih dan dalam.
Dan pengakuan dari gadis seperti itu membuat pikiranku benar-benar kosong pada saat itu.
Akhirnya, yang tersisa hanyalah emosi yang tak pernah kurasakan dalam hidupku. Rasanya panas serta menyakitkan, namun tidak terasa buruk. Aku membiarkan diriku terlena oleh panas itu, dan dengan tulus menyampaikan perasaanku.
Dan begitu aku menjawabnya, wajah gadis itu langsung berseri-seri.
Dia tampak sangat senang.
Namun pada saat yang sama, dia terlihat sedikit sedih.
Akhirnya, dia mengulurkan tangan kecilnya.
“Aku harap kamu mau memegang tanganku dengan sukarela.”
Aku melakukan apa yang dia katakan, dan memegang tangannya.
Tangannya sangat dingin, mungkin karena dia tak memakai sarung tangan. Namun, begitu kami berdua berpegangan tangan, kehangatan menyebar dari sana. Demi memastikan aku tidak melukai tangannya, aku memegangnya dengan hati-hati dan tegas.
“Terima kasih. Kalau begitu, aku akan memperkenalkan diri lagi. Namaku—”
Itu terjadi pada musim dingin, saat aku duduk di kelas 3 SMA.
Begitulah pertemuanku dengan Yuki Shiina.
Keesokan harinya, Yuki dan aku bertemu di depan gerbang sekolah.
Kamu besok pergi ke sekolah, ‘kan? Aku akan menunggumu di gerbang sekolah, jam 4 sore. Usulnya sambil memberiku tatapan yang tidak mau kompromi. Karena itu, aku hanya bisa menganggukkan kepala.
Aku meninggalkan sekolah sedikit lebih awal dari waktu yang disepakati, dan mendapati Yuki mengenakan mantel yang agak besar, tengah menungguku.
“Yuki.”
Aku memanggil namanya, dan dia melambaikan tangannya yang ramping. Rasanya seperti anak anjing melihat tuannya kembali, mengibas-ngibaskan ekornya. Setiap gerakannya dipenuhi kegembiraan.
“Kenapa kau terlihat sangat senang?”
“Karena kamu akhirnya memperhatikanku. Kamu memanggil namaku. Itulah yang membuatku senang. ”
“Begitu ya.”
Aku mengulurkan tangan, dan Yuki meraih tanganku.
“Woah, dingin banget.”
“Karena aku sudah menunggu sangat lama.”
“Eh? Apa aku salah waktu?”
Yuki menggelengkan kepalanya.
“Tidak. Hanya saja aku benar-benar menantikannya, jadi aku terus menunggu. Aku selalu seperti ini.”
Apa yang dia maksud dengan kata “selalu”?
“Omong-omong, pakailah sarung tangan.”
“Jika tanganku dingin, itu akan memberiku alasan, ‘kan?”
“Alasan apa?”                               
“Untuk berpegangan tangan?”
“Kau tidak perlu sampai bikin alasan begitu. Pasti ada yang lain. Ngomong-ngomong, Yuki, kau dan aku ... yah, berpacaran, jadi kau bisa memegang tanganku kapan pun yang kau mau ... eh, apa-apaan dengan ekspresi itu?
Mulut Yuki setengah terbuka saat dia mengedipkan mata. Beberapa detik kemudian, dia tertawa. Aku tidak mengatakan sesuatu yang lucu, bukan? Untuk beberapa alasan, wajahku jadi agak panas.
“Kamu luar biasa, Yoshi-kun. Yap, kita berpacaran sekarang. ”
“Apa kamu menganggapku sebagai orang idiot?”
“Itu tidak benar. Aku malah memujimu. “
“Benarkah?”
“Beneran kok. Sekarang, ayo pergi, darling. ”
Yuki tiba-tiba meraih tanganku, dan menyeloning saja. Aku panik, mengejarnya, dan berjalan di sampingnya. Tangan kami yang tergenggam kebetulan berakhir tepat di antara kami.
Yuki dan aku berpacaran.
Tapi itu hanya berlangsung selama seminggu.

❀❀❀❀

“Sebenarnya, waktu pacaran kita hanya berlangsung selama seminggu.”
Setelah Yuki menembakku, dan kami sepakat untuk menjalin hubungan, dia menetapkan batas waktu.
“Tidak, tidak, tunggu sebentar. Apa maksudmu bilang begitu?”
Aku bertanya, dan Yuki mulai menarik napas panjang. Setelah itu, dia mulai bernapas dalam-dalam dengan manis, payudaranya yang cukup melebar dan berkontraksi.
Setelah melakukan itu selama tiga kali, dia akhirnya tampak mengambil keputusan, matanya tampak bersinar. Namun, cahaya tersebut segera menghilang dari matanya lagi.
Meski demikian, dia tidak pernah menyerah.
Sekali lagi, dia menarik napas panjang, dan perlahan berbicara,
“Aku perlu memperjelas satu hal denganmu, Yoshi-kun.”
Ini adalah kisah seorang gadis yang keberadaannya akan lenyap layaknya kepingan salju dalam seminggu, dan dia bertemu dengan anak laki-laki biasa.
Mereka beberapa kali bertemu, menghabiskan waktu bersama, dan menciptakan kenangan bersama. Namun pada akhirnya, semuanya terhapus.
Tapi meski begitu, ketika Yuki membicarakan tentang kisah yang tidak bisa dipercaya itu, dia tersenyum sedih, namun penuh kebahagiaan, seperti ketika dia menembakku.
Kami melihat bunga di musim semi, kembang api di musim panas, menyantap makanan lezat di musim gugur, dan pergi ke pantai di musim dingin, Ujarnya.
“Kenapa mengunjungi laut di musim dingin?”
“Karena tiba-tiba aku ingin pergi ke pantai yang sepi. Kamu mengeluh, dan mengatakan, jika kau kepengen pergi, lebih baik pergi selama musim panas, tapi pada akhirnya kamu tetap mengikuti keinginanku. Kamu ingat, ‘kan? Kenanganmu mungkin sedikit berbeda dari ingatanku. ”
Aku mencoba mengingatnya, dan sepertinya itu memang terjadi.
Aku sendirian di pantai selama musim dingin.
Dengan tidak ada siapa-siapa di sebelahku.
Secara alami, hanya ada jejak langkah kakiku di pantai. Aku ingat betapa dinginnya makanan itu. Ah, tapi saat aku dalam perjalanan pulang, aku ingat membeli oden yang lezat di minimarket. Aku membeli banyak, dan memakannya.
Apa yang Yuki bicarakan berakhir seperti itu.
Bukan karena aku yang lupa segalanya.
Jadi gadis bernama Yuki, yang seharusnya ada, telah lenyap dari kata masa lalu, dan dunia baru mengubur kekosongan yang disebabkan oleh menghilangnya dia. Bagiku, aku hanya mengambil dunia yang terpahat ini, yang tampaknya tanpa cela. Jadi, aku tak pernah curiga. Atau lebih tepatnya, mungkin dunia yang Yuki bicarakan salah, atau begitulah akal sehat dalam diriku meronta. Namun-
“Jadi, apa kamu akan mempercayai ucapanku, Yoshi-kun?”
“Ya. Tidak, aku mau mempercayainya.”
Jawabku. Tanpa ragu-ragu.
“Karena aku menyukaimu.”
Aku benar-benar menyukai wajahnya yang mungil, rambutnya yang sedikit keriting, caranya mengenakan mantel yang agak kebesaran, dan ujung-ujung jarinya yang halus mencuat dari lengan ... dadanya juga besar, dan suaranya yang jernih juga. Aku suka segala sesuatu tentang Yuki, bahkan aura di sekitarnya.
Dia mengeluarkan aroma sakura yang aku suka.
Itulah yang aku pikirkan saat pertama kali bertemu dengannya.
Sepertinya Yuki adalah gadis ideal yang diciptakan Tuhan untukku.
Tapi ternyata bukan itu kenyataannya.
Yuki tidak seperti ini sejak awal. Dia menghabiskan banyak waktu untuk mencoba menjadi gadis idamanku.
Jadi, jawabannya sederhana.
Aku ingin percaya empat tahun yang dia ceritakan. Aku tidak bisa menyangkal kata-kata dan perasaan Yuki hanya dengan akal sehat. Bagiku, apa yang dia katakan dengan senyuman adalah kebenaran.
Kurasa itu saja sudah cukup.
“Kamu sama seperti biasanya, Yoshi-kun. Selalu jadi orang aneh. ”
“Kau membenci orang aneh?”
“Tidak, aku menyukainya.”
“Kalau begitu, kurasa tidak masalah untuk menjadi orang aneh. Jika Kau menyukai ku karena ini ... tidak, jika Kau bersedia tersenyum kepadaku karena ini, maka aku baik-baik saja dengan itu.”
Dan beginilah kami memulai periode cinta terbatas kami.

❀❀❀❀

Kami meninggalkan sekolah, dan sepanjang waktu, Yuki merasa senang. Dia bersenandung. Itu adalah lagu cinta yang biasanya diputar di radio selama musim dingin. Dia menyanyikan lagu cinta yang populer beberapa tahun sebelum aku lahir, dengan suara yang indah dan ritme yang agak fales.
Kami melewati pusat permainan di depan stasiun, dan kemudian melewati persimpangan. Kami melirik ke toko pachinko tua yang ditutup bulan lalu, tiba di kantor pos, dan berbelok ke sudut ketiga.
Tangan kiriku masih memegang tangan Yuki, dan tangan kanannya terus memegang tanganku.
Di tangan kami yang satunya memegang taiyaki. Beberapa saat yang lalu, Yuki melihat sebuah toko di jalan perbelanjaan.
Dia sedang menonton toko kecil itu dengan mulut berliuran, jadi aku bertanya, mau aku belikan yang itu? Dia terlihat senang, benarkah? Jawabnya dengan wajah berseri-seri seperti anak yang polos.
Selama lima menit berikutnya, Yuki kebingungan memillih antara rasa kacang merah atau krim custard.
Aku bermaksud membeli rasa taiyaki yang tidak dibeli Yuki, jadi jujur ​​saja, 5 menit tersebut tidak ada artinya. Ini sederhana. Hanya ada kami berdua di sini, masing-masing dari kami membeli satu rasa, dan bisa saling bertukar. Aku tidak mengatakannya, karena melihat wajah Yuki yang bermasalah seperti ini juga sangat lucu.
Jadi Yuki memilih rasa kacang merah, dan aku membeli rasa krim custard.
Kami berdua memiliki lidah kucing, jadi kami menunggu taiyaki sedikit dingin sebelum kami berani memakannya. Kulit renyah dan krim pudingnya bersatu padu, dan bagian dalamnya terasa lembut. Yap, enak. Aku menggigit dan menikmatinya perlahan, tapi Yuki melahapnya dalam beberapa detik.
“Erm, kau cukup cepat juga.”
Yuki mengunyah dalam beberapa kunyahan, dan dengan lahap menelan taiyaki. Dia kemudian tersenyum padaku, ahhh, membuka mulutnya. Yang pada dasarnya berarti, aku minta punyamu.
“Umm, itu.”
“…”
“Ini punyaku.”
Ya, aku tahu kok. Terus? Yuki terus memandangku saat dia memiringkan kepalanya.
“…”
“... Erm ...”
“…”
“…Ini.”
Aku benar-benar kalah total.
Mendengar apa yang aku katakan, Yuki menghabiskan 80% taiyaki yang tersisa ke dalam mulutnya. Dia menggembungkan pipi kecilnya, mengunyahnya dengan sepenuh hati.
“Tak disangk kamu ternyata rakus juga ya.”
Aku mengatakan apa yang aku pikirkan, dan Yuki tampak sedikit panik. Dia mengunyah lebih cepat dari sebelumnya, dan dengan cepat menghabiskan taiyaki.
“Rasanya manis. Jadi, aku tidak bisa menahan diri.”
Dia mengatakan itu sedikit lebih cepat dari biasanya.
“Meski kau bilang begitu, tapi kau sebenarnya khawatir dengan apa yang aku pikirkan, bukan?”
“Enggak juga, kok!!”
“Benarkah?”
“Beneran!”
Aku menikmati wajah panik Yuki sambil terus berjalan. Tiba-tiba, sesuatu yang merah muncul di pandanganku. Begitu aku melihat huruf di atasnya, aku berhenti.
Begitu ya. Rabu depan–
Yoshi-kun, yang terus menggodaku dengan lelucon yang benar-benar kejam, tiba-tiba terhenti. Ada apa? Pikirku, dan melihat ke arah yang Ia lihat. Aku melihat bendera merah berkibaran, bendera toko kue kecil.
Orang yang berbicara duluan adalah aku,
“Ngomong-ngomong, itu minggu depan, ya?”
“Ya.”
Rabu depan adalah tanggal 14 Februari. Dikatakan kalau hari tersebut adalah hari dimana anak cowok benar-benar ingin makan makanan manis. Setelah masa pacaran kita berakhir, itu akan menjadi hari Valentine.
“Jika mungkin, bisakah kau memberiku cokelat?”
“Kamu mau?”
“Tentu saja. Yah, karena itu pemberian dari pacarku.”
Yoshi-kun tampak malu-malu setiap kali Ia menyebut kata pacar, dan itu sangat lucu.
“Tentu.”
Kalau dipikir-pikir lagi, aku tidak pernah memberinya cokelat sebelumnya.
Juga, aku berutang budi padanya. Lebih baik membalas apa yang aku bisa.
“Aku pernah menerima coklat darimu sebelumnya, Yoshi-kun.”
“Memangnya hal itu pernah terjadi?”
“Ya. Sekali.”
Kamu mungkin tidak mengingatnya, tapi itulah awal hubungan di antara kita. Cokelat yang aku terima darimu benar-benar manis. Sangat manis sampai aku senang. Itu sebabnya aku terus ada.
“Begitu ya. Kalau begitu, tolong lakukan itu.”
“Ya ya. Nantikan itu oke. Kemudian, tarik kembali apa yang barusan kamu katakan.”
“Yang aku katakan?”
“Kalau aku ini orang yang rakus?”
“Apa? Kau mencemaskan tentang itu?”
Tentu saja. Lagipula aku ini seorang gadis.

❀❀❀❀

Pagi itu, aku bangun dari mimpiku, dan melihat hamparan dunia perak di luar jendela.
Sepertinya salju yang turun sejak kemarin menumpuk. Sinar matahari yang menyinari awan dibiaskan oleh salju putih, dan mataku yang baru saja terbuka terasa perih. Aku menggosok mataku yang mengantuk, meninggalkan ruangan, dan udara dingin yang menerpa membuatku menggigil dan sadar. Lantai kayunya sangat dingin. Telapak kakiku terasa sakit.
Seperti biasa, aku menuruni tangga dengan ragu-ragu, dan melihat ibu menyapu kamar dengan tenang.
“Pagi Haru. Sarapan sudah siap. "
“Eh? Bukannya ini terlalu pagi, ‘kan? Ibu biasanya menyiapkan sarapan setelah beres-beres.”
“Semua karena salju ini. Natsuna sangat kegirangan pas pagi tadi. Dia bilang dia ingin keluar untuk bermain, jadi dia membuatnya lebih awal.”
“Oh, kalau begitu aku beruntung.”
Usai menjawab begitu, aku membuka pintu depan, dan menuju ke kotak pos untuk mengambil koran hari ini.
Ayah lebih takut kedinginan daripada diriku, jadi di musim dingin, biasnya akulah yang mengambil koran. Natsuna tidak takut dingin, tapi dia tidak nurut.
Halaman kecil rumah ini ditutupi dengan warna putih, bersamaan dengan serangkaian jejak langkah kaki yang mengarah ke luar. Pastinya anak itu berlari keluar sambil berteriak yahoo atau semacamnya. Aku bisa membayangkan dengan jelas adik perempuanku bersenang-senang. Mengingat seberapa dalam jejak langkah kakinya, jelas-jelas dia berlari keluar dengan penuh semangat.
Uuu, tubuhku menggigil, dan nafas putih yang keluar dari mulut tertiup angin yang sangat dingin. Aku menarik lengan bajuku, dan membuka kotak pos, mengambil koran pagi yang disimpan dalam tas bening seperti biasanya.
Lalu, tiba-tiba, terdengar sebuah suara
“Jadi, kamu membaca koran ya, Yoshi-kun.”
“Tidak, aku hanya akan memeriksa saluran TV. Ayah yang menyuruhku untuk mengambilnya. Hm? Eh?”
Aku mendongakkan kepalaku dari kotak pos, dan Yuki tengah berdiri di sana. Ada aroma bunga, sedikit terlalu dini untuk cuaca dingin ini, datang dari halaman yang tertutup salju putih. Kenapa dia sudah ada di sini pagi-pagi begini?
“Salju menumpuk, jadi aku datang ke sini dengan bahagia. Yoshi-kun, apa kamu punya waktu sekarang? Ayo habiskan waktu bersamaku. ”
“... Apa kau sudah menunggu lama?”
“Nggak. Aku beneran baru sampai. Aku siap menunggu sekitar dua jam, tapi syukurlah kau keluar sepagi ini.”
Aku pikir dia bisa saja meneleponku, tetapi Yuki tidak punya ponsel.
“Apa kau bisa menunggu sebentar? Aku mau bersiap-siap dulu.”
“Kamu tidak perlu terburu-buru.”
“Tapi di luar ‘kan dingin. Ah, kenapa kau tidak menunggu di dalam saja?”
“Terima kasih, tapi tidak usah. Aku mau menunggu disini.”
“Oke. Aku akan bersiap-siap dengan cepat.”
Seperti yang aku katakan, aku bergegas kembali ke dalam rumah, dan bersiap-siap untuk pergi. Aku meninggalkan koran di depan ayahku, yang meringkuk sepenuhnya di kotatsu, melahap sarapan yang disiapkan Natsuna, berganti pakaian, menyisir rambutku, dan memberi tahu ayahku, yang tidak berniat meninggalkan kotatsu, kalau aku akan keluar. Ohh, Ia menjawab dengan lemah, dan aku tidak yakin apakah dia memahami perkataanku atau tidak.
Aku menggeser pintu ke samping, dan Yuki berkata dengan gembira,
“Itu cukup cepat. Mau pergi sekarang?”
“Ya. Ayo pergi.”
Permukaan salju yang baru ditinggalkan dengan jejak kaki kami sendiri.
Rumahku berada di pinggiran kota yang agak jauh dari pusat kota, dan ladang-ladang yang tak berujung di sana tertutup warna putih sepenuhnya. Ada banyak partikel cahaya kecil berkilauan di atas salju putih murni tersebut.
“Cantik, bukan?”
“Ya. Ini sangat cantik.”
Setelah berjalan beberapa saat, aku mendengar seseorang meneriaki namaku.
“Hei, Haru-nii.”
Aku menoleh ke arah suara itu, dan melihat siluet kecil. Ternyata Shouta yang memanggilku, bocah SD yang tinggal di lingkungan sini, dan sweter birunya tertutup salju.
Wajahnya benar-benar merah, keringat di dahinya bercucuran dengan deras.
Ia berlari ke arah kami, syukurlah, dan akhirnya menghela napas lega.
“Haa ... haa ... itu kau, Haru-nii. Aku melihatmu, haa, dari jauh, jadi aku berlari. Haa.”
“…Apa?”
“Tolong aku.”
“Hah?”
Aku tidak mengerti apa yang bocah ini katakan, dan bertanya-tanya apa Ia sedang dikejar, jadi aku melihat ke arah belakangnya, namun yang kulihat hanyalah beberapa siluet berlarian di ladang. Sepertinya mereka sedang melakukan perang bola salju. Saat aku masih di sekolah dasar, aku ingat bermain dengan beberapa temanku. Aku benar-benar menikmati masa-masa saat itu.
Begitu aku mengingat ini, aku berhenti berpikir. Aku seharusnya melakukannya, tapi sama seperti aku tidak bisa berhenti segera setelah berlari, aku tidak bisa berhenti berpikir secepat itu. Ya, aku langsung menyadarinya.
Memangnya ada orang yang pergi bermain pagi-pagi begini?
“Yuki, ayo pergi.”
“Jangan lari. Kamu tahu apa yang Ia ingin kamu minta bantu? ”
“Aku tidak tahu. Aku belum melihatnya.”
“Kalau begitu lihatlah dengan benar.”
“Tidak mau.”
Aku menolak dengan tegas.
Aku tidak ingin menjadi pengasuhnya pada hari yang begitu berharga.
Namun tekadku segera berubah. Tanpa melihat, aku bisa mendengar tawa gadis yang familiar dan jelas. Sangat jelas sekali.
“Nhahahaha.”
Lihat, kamu tidak bisa lari sekarang, Shouta sepertinya memarahiku saat dia memanggil namaku.
“Haru-nii!”
“Berhenti. Jangan katakan apa-apa lagi.”
Tapi Shouta mengabaikan permintaanku ketika dia menyebutkan penyebab tawa itu.
“Monster (bakemono) itu berasal dari rumahmu, Haru-nii. Tolong lakukan sesuatu!”
Ahh, Ia mengatakannya.
Sial. Baiklah, aku mengerti. Iya. Aku akan melakukannya. Jadi aku menghela nafas, dan menyerah melawan ketika aku melihat sumber suara tersebut. Tak diragukan lagi.
“Ya. Bocah idiot kita (bakamono).”
Itulah suara yang mulia adik perempuan kecil kami yang super duper lucu.
Yah, adik perempuanku, Natsuna Segawa, dia mirip seperti topan.
Dia lucu, dan cukup populer, tetapi dia selalu mengajak semua orang untuk menghabiskan banyak energi yang dia miliki. Anak-anak SD terdekat sering menjadi korbannya, dan mereka semua merasa takut padanya.
Kali ini, sepertinya hal ini juga sama.
Menurut Shouta, awalnya itu hanya pertarungan bola salju antar anak-anak, tapi saat Natsuna melihat mereka. Dia, yang dari awal berhati tomboy, mana mungkin bisa menahan keinginannya. Aku bisa membayangkan dia bergabung dengan senyum cerah, tanpa peduli pada dunia.
Shouta dan yang lainnya mungkin berpikir rasanya akan lebih menyenangkan jika ada banyak orang yang ikut bergabung, jadi mereka mengijinkannya bergabung ...
Masalahnya, begitu Natsuna ikut bergabung, dia menambahkan aturan bahwa pihak yang kalah harus menuruti perkataan pihak yang menang. Sekelompok anak SD melawan seseorang yang kemampuan atletiknya lebih unggul di antara anak SMP. Sekarang apa yang akan terjadi? Mudah dibayangkan.
Bocah-bocah itu harus bertarung mati-matian untuk menghindari masa depan menjadi antek Natsuna.
Ahh, itu sebabnya aku tidak ingin mendengarnya. Aku merasa sangat malu sebagai kakaknya, dan depresi ...
“Aku mengerti situasinya. Aku akan memikirkan sesuatu. Tapi aku akan mengalahkan Natsuna untuk menyelesaikan masalah. Aku tak peduli dengan yang lainnya. Apa begitu saja tak masalah?”
“Ya. Tidak masalah.”
“Kalau begitu, maaf Yuki. Tolong tunggu sebentar.”
“Heh? Kenapa?”
Aku menoleh, dan melihat Yuki sedang meregangkan tubuh dan melakukan pemanasan karena suatu alasan.
“Apa kau mau ikut bergabung dengan pertarungan bola salju ini?”
“Iya. Kelihatannya seru. Aku juga tidak pernah melakukannya sebelumnya.”
Shouta,yang memperhatikan senyumnya seperti malaikat, bertanya,
“Hei, Haru-nii. Aku ingin bertanya. Siapa kakak perempuan ini? Apa dia artis?”
Menghadapi pertanyaan polos Shouta, Yuki berlutut setinggi matanya, dan tersenyum padanya. Ia langsung tersipu.
“Maaf, kakak ini bukan aktris. Sebenarnya, kakak ini Pacar dari Haru-nii. ”
Mendengar balasan Yuki, mata Shouta berkilauan lebih dari yang pernah kulihat darinya.
“Kau hebat Haru-nii. Kau punya pacar yang cantik. ”
“Yah, begitulah. Ngomong-ngomong, Shouta. Kau tidak keberatan membiarkan kakak ini bergabung dengan tim, ‘kan? ”
“Tentu saja.”
“Terima kasih. Tolong jaga dia.”
“Iya. Senang bertemu denganmu.”
Yuki mengatakan itu, dan Shouta, yang berjabatan tangan dengannya, tiba-tiba mengerutkan kening. Ia menunduk ke bawah sambil meminta minta maaf.
“Ah maaf. Onee-chan. Sepertinya kau harus bergabung dengan tim Natsu-nee. ”
“Mengapa?”
“Yah, kau memiliki bau musuh.”
“Bau musuh?”
Yuki dan aku saling bertukar pandang.
Apa yang sedang terjadi?
Setelah Yuki bergabung, tim Natsuna memiliki sepuluh pemain.
Setelah aku bergabung, ada lima di tim.
Anggota tim lawan lebih banyak dua kali lipat dari timku, tapi dalam pertarungan bola salju ini, siapa pun akan disuruh keluar dari pertarungan ketika mereka jatuh terlebih dahulu, terjatuh, atau menyerah. Jika mereka tidak terlalu panik, mereka mungkin takkan kalah. Itulah yang aku pikirkan. Sebagai seorang pria, jika aku kalah dalam melawan pacarku dan adik perempuan dalam hal ini, rasanya akan sangat memalukan.
Kedua tim telah membuat benteng tumpukan salju di kamp masing-masing, dan meski tidak tinggi, kelihatannya masih mungkin untuk meringkuk dan menggunakan salju itu sebagai dinding. Aku bersembunyi di bawah salju yang paling dekat dengan musuh, diam-diam menunggu momen yang tepat.
Tiba-tiba, timku berhenti menyerang.
Natsuna suka membuat keributan, jadi setelah semuanya tenang, dia pasti akan keluar sendirian. Tujuanku adalah mengejar hal-hal yang tidak terduga dan melawan dengan geriliya.
Jadi aku menunggu sebentar. Seperti yang aku rencanakan, ada seorang gadis barbar yang menyerbu ke kamp musuh.
Dia adalah gadis yang mencolok dengan syal merah, mantel merah, dan sepatu boot  merah. Gadis energik ini sangat menyukai warna merah.
“Nhahahaha. Ayo serang aku!”
Teriaknya sambil berlari dengan kecepatan luar biasa. Ya, ada target yang bagus. Aku membidik mulutnya yang terbuka lebar, dan melemparkan bola salju dengan semua tenagaku.
"Hbuch!"
Mendarat sempurna.
Natsuna mengeluarkan suara aneh, dan berhenti berlari. Dia menyeka salju yang menempel di wajahnya, dan terus meludahkannya.
“Apanya yang serang aku? Apa yang akan Kkau lakukan, Natsuna?”
Gek. Haru-kun. Ke-kenapa kamu bisa ada di sini? ”
“Sekarang bukan waktunya untuk itu.”
Natsuna terkejut dengan kehadiranku, dan seperti yang diharapkan, dia kehilangan keseimbangan. Dia sering bertindak berdasarkan insting, dan payah dalam berurusan dengan sesuatu yang tidak terduga. Meski begitu, kemampuan atletik alami mencegahnya jatuh. Aku tahu itu dengan sangat baik, jadi secara alami,
Aku membuat strategi untuk tujuan ini.
Aku melempar bola salju ke wajah Natsuna saat dia masih goyah. Setiap lemparan ditujukan cukup tinggi baginya untuk menghindari jika dia menunduk. Natsuna bisa mengelak dengan melompat, tetapi pusat gravitasinya kembali sebagai hasilnya. Aku melempar bola salju yang berikutnya sedikit lebih rendah, dan dia juga menghindari itu. Pusat gravitasinya bergeser ke belakang.
Pada dasarnya, ini adalah tarian limbo.
Aku mengulangi tiga lemparan yang sama, dan Natsuna akhirnya kehilangan keseimbangan saat dia mendarat kembali dengan bunyi gedebuk.
“Menang!”
Aku mengangkat tangan, memberi tahu rekan setimku kalau aku mengalahkan Natsuna. Dia, jatuh terduduk, terus mengeluh.
“Curang! Kamu curang! Kamu cowok, Haru-kun. Anak SMA pula! Bagaimana bisa aku mengalahkanmu! "
Tampaknya dia tidak merenungkan tindakannya, jadi aku melemparkan bola salju lagi ke arah pecundang.
“Puk! Uuu. Ahh, salju masuk ke mulutku lagi!”
“Kau memanggilku curang? Kau sendiri anak SMP, dan kau malah ikut bergabung dengan pertarungan bola salju anak SD?”
Semuanya sudah direncanakan sampai titik ini. Tapi aku melupakan sesuatu. Aku lupa bahwa di antara tim musuh, ada orang yang sebaya denganku.
Ini pertama kalinya dia bermain bola salju.
Karena itu, dia tidak tahu taktik atau serangan balik.
Dan tanpa memikirkan apa pun, dia hanya melakukan apa yang disuruh saudariku.
Ya, dia sama sekali tidak tahu apa-apa.
Dia tidak tahu ini adalah cara terbaik bagi mereka untuk mengalahkan kami.
“Ayo! Semuanya. Ikuti Natsuna-chan dan serang! ”
“Ngh!”
Dengan teriakan yang menggema, semua sembilan anggota tim musuh yang tersisa datang menyerang dengan rentetan bola salju.
Jika jumlah timku sama, pihak timku akan diuntungkan. Timku bisa membalas dengan serangan yang kulakukan terhadap Natsuna. Namun, mereka hampir dua kali lipat dari jumlah timku. Jika mereka menyerang sekaligus, mana mungkin kita bisa menanganinya.
“Hbuch!”
Rentetan bola salju terlempar, dan salah satunya mendarat tepat di wajahku, menyebabkanku membuat suara aneh yang sama dengan Natsuna.
Hm? Apa yang sedang terjadi? Salju ini wanginya harum. Aroma ini–
“Hei, Natsuna. Bukannya salju ini punya aroma sakura?”
Natsuna, yang berpura-pura mati di atas salju, membuka matanya sedikit, dan melirik ke arahku, lalu berkata,
“Aku menyemprotkan beberapa parfum sakura untuk mengidentifikasi bola salju tim kami.”
Itu menjelaskan banyak segalanya.
Itu sebabnya Yuki, yang memiliki aroma sakura di tubuhnya, dimasukkan ke dalam tim lawan.
“Kenapa menyemprotkan parfum? Tidak, tunggu, dari mana asalnya? Mana mungkin bocah-bocah itu punya parfum. Apa itu darimu?”
Ah, sial. Ekspresi Natsuna mencerminkan seseorang yang tertangkap basah, dan dengan cepat menoleh ke samping. Dia tidak bisa bersiul, tapi dia masih cemberut, memonyongkan bibirnya ketika dia berpura-pura bersiul. Adik perempuanku benar-benar putus asa.
Omong-omong, ibu ingin Natsuna, untuk bertindak lebih seperti seorang gadis, dan memaksakan banyak hal padanya, tapi sepertinya dia tidak benar-benar menerimanya.
“Jangan menyia-nyiakannya hanya karena kau tidak menggunakannya.”
“Tidak, aku tidak menyia-nyiakannya sama sekali. Sudah kubilang ini untuk mengidentifikasi.”
“Tak perlu mengidentifikasi bola salju segala.”
“Rasanya seperti bakal terasa lezat jika ada aroma wangi.”
“Tolong, aku mohon padamu. Jangan memakannya. Kau akan melukai perutmu. Lagi pula, mengapa menyemprotkan parfum sakura di salju? Keduanya bukan dari musim yang sama.”
Sementara kami masih berdebat, tim musuh datang menyerang, dan aku dibombardir. Aku berniat untuk bersembunyi dibalik benteng, tapi mereka tidak membiarkanku.
“Tunggu ... berhenti! Stop, stop! Ow ow!”
“Rasakan ini! Semuanya, kalahkan kakak yang itu. ”
Orang yang memimpin penyerangan dan melempar bola salju ke arahku adalah seorang gadis yang beberapa menit yang lalu mengatakan kata-kata menggemaskan yang luar biasa, kakak ini adalah pacar Haru-nii. Ucapan Yuki terus bergema di pikiranku. Kakak ini adalah pacar Haru-nii, pacar, pacar. Itu hanya imajinasiku. Khayalanku
Akhirnya, aku terjatuh. Wajahku kehilangan akal sehat sesaat setelah dilempari bola salju habis-habisan. Aku tak tahu apa ini nyeri atau kedinginan, dan aku tidak bisa mencium.
“Target terbunuh.”
Yuki memandang diriku yang terjatuh, dan berpose layaknya pahlawan yang mengalahkan penjahat.
“Tidak, aku belum mati.”
“Mfufufu. Yoshi-kun, karena kamu kalah, kamu harus menuruti apa yang aku katakan.”
“Aturan itu berlaku untukku juga?”
“Bukannya itu sudah jelas?”
Benar, jadi yang kalah harus menuruti perkataan yang menang. Aku mengangkat tangan untuk mengakui kekalahan dengan pasrah, dan Yuki mengangguk dengan puas.
“Kalau begitu semuanya. Waktu untuk mengalahkan yang lainnya. Ayo serbuuu! ”
Jadi aku menyaksikan Yuki yang terus menyerang sisa timku. Di sebelahku, Natsuna bertanya,
“Hei, Haru-kun. Siapa gadis cantik itu? Kenalanmu?”
“... Mungkin dia peri salju dengan aroma sakura? ”
Aku hanya bergumam, karena terlalu malas untuk menjelaskan. Itu aneh, salju dan sakura ‘kan berada pada musim yang berbeda, gumam Natsuna, seperti yang dikatakan orang tertentu.
Hari Selasa, 13 Februari.
Ini hari ketujuh Yuki dan aku menjadi sepasang kekasih. Pada hari ini, kami memutuskan pergi ke taman hiburan yang berada di atap gedung swalayan.
Biang lala mini di sana berkarat karena terpaan angin dan hujan, dan dari lima mobil yang dirancang dengan karakter anime, tiga di antaranya diberi label 'tidak berfungsi'. Satu-satunya yang masih berfungsi adalah robot kucing biru dan tikus listrik berpipi merah. Ada anak laki-laki yang duduk di mainan tikus listrik, dan setelah bergerak sekitar 3 menit, ia berhenti tepat di tengah taman bermain.
Tumpukan salju tebal kemarin sudah mencair sepenuhnya, dengan beberapa masih meninggalkan genangan. Wajah-wajah manusia salju setengah meleleh.
Kami duduk di bangku plastik. Ini adalah satu-satunya tempat bagi kami untuk duduk dan beristirahat. Aku menatap langit yang kelabu, dan bergumam.
“Jadi, kenapa kita ada di sini?”
“Kamu kalah dariku dalam pertarungan bola salju, jadi kamu akan menuruti perkataanku sepanjang hari.”
Balasnya, seolah-olah itu adalah fakta.
Aku kalah dalam pertarungan bola salju kemarin, jadi aku harus menuruti keinginan Yuki. Awalnya, aturannya adalah yang kalah harus mematuhi satu hal yang diinginkan oleh pemenang, tapi sekarang karena suatu alasan, itu malah menjadi aku harus mematuhinya sepanjang hari. Serius, para gadis luar biasa dalam membuat orang lain menerima tuntutan mereka. Yah, aku tidak terlalu membencinya.
Yuki bilang, permintaan pertamaku adalah, kencan. Ada dua tempat yang ingin aku kunjungi bersamamu, Yoshi-kun.
Salah satunya adalah tempat ini.
“Aku mengerti apa yang kau katakan, tapi bukan itu. Kenapa taman hiburan di atap ini?”
“Karena aku menyukainya. Jadi aku ingin kamu datang ke sini, Yoshi-kun. ”
“Kalau begitu, ini adalah tempat yang salah. Kita harus pergi ke tempat yang lebih baik. ”
“Tidak. Ini cukup layak untuk disebut taman hiburan. ”
“Apa kau senang berada di sini, Yuki?”
“Iya.”
“Apa kau menikmatinya?”
“Ya.”
“Berarti tidak ada masalah.”
Ya. Semuanya akan baik-baik saja selama Yuki bahagia.
Aku menepuk lututku, berdiri, dan mengulurkan tanganku ke Yuki.
“Mumpung kita di sini, kita mungkin bisa naik biang lala.”
“Ehh, rasanya memalukan.”
“Tidak apa-apa. Tidak ada orang lain selain kita di sini. Pikirkan tentang itu. Kita sudah capek-capek ke sini, dan tidak mengendarai apa pun. Itu sulit dipercaya, bukan? ”
Yuki mencoba berbagai alasan untuk menolak ajakanku, sebelum akhirnya dia memegang tanganku. Ini adalah kemenanganku karena mengabaikan semua alasannya. Aku bertanya padanya wahana permainan mana yang ingin dia naiki, dan karena dia suka kucing, kami pun memilih robot kucing.
“100 yen masuk.”
“Kamu tidak ikut naik, Yoshi-kun?”
“Ini cuma muat satu orang. Aku akan menaikinya nanti.”
“Nanti?”
Sementara Yuki memiringkan kepalanya dengan manis, aku memasukkan koin.
“Aku sudah 18 tahun. Rasanya sangat memalukan untuk menunggangi ini."
“Ah, begitukah?”
Setelah mendengar alasanku, Yuki merajuk marah, tetapi aku berhasil melarikan diri dari robot kucing sebelum kepalan tangannya mencapai wajahku. Itu mulai bergerak perlahan, diiringi dengan musik yang aneh.
Bocah yang mengendarai tikus listrik menunjuk Yuki,
“Mama. Boleh aku mengendarainya sekarang? ”
“Tunggu giliran Onee-san selesai.”
Ahh Ini sangat memalukan. Aku melihat ke arah Yuki, dan melihat wajahnya yang memerah sampai ke bagian bawah lehernya, tangannya menutupi wajahnya. Dia benar-benar lucu ketika dia bertingkah seperti ini. Aku diam-diam memutuskan kalau aku akan membiarkan dia memukulku sekali atau dua kali.
Akhirnya, Yuki menyuruhku mentraktirnya dengan jus dari mesin penjual otomatis, bukannya memukuliku.
Aku memasukkan koin, dan lampu hijau muncul di tombol.
“Pilih yang kau suka.”
Dia menatap dengan muram, bingung mau pilih mana, sebelum memilih minuman kakao, dan aku juga membeli yang sama. Kami berdua tidak bisa minum kopi hitam. Meski kami bukan anak-anak, kami belum cukup umur untuk disebut orang dewasa. Pada titik ini, kita berada di antara batas dua kelompok umur ini.
Kami bersandar pada tembok pembatas, meminum cokelat secara serempak.
Kami berdua berdekatan satu sama lain, dan aku hanya perlu bergerak sedikit untuk menyentuh Yuki. Aku benar-benar bisa merasakan kehadirannya, kehangatannya, dan aromanya. Tangannya berada di kaleng, berusaha menghangatkannya, saat dia minum perlahan.
“Hei, Yoshi-kun. Terima kasih.”
Tiba-tiba, Yuki mengatakan itu.
“Kenapa kau berterima kasih? Aku tidak melakukan apa-apa.”
“Itu tidak benar. Kamu membelikan kakao, membawaku ke sini, dan dirimu yang lain membuat banyak, banyak kenangan bersamaku. Hei, kurasa ini seharusnya menjadi alasan yang cukup untuk berterima kasih, ‘kan? ”
Yuki memejamkan matanya, seakan mengingat sesuatu.
“Aku sangat suka melihatmu tersenyum, melihat wajahmu yang marah, wajahmu yang menangis, wajahmu yang malu-malu, wajahmu yang bermasalah, dan wajahmu yang cemas. Aku kira, sebelum aku mati, aku pasti akan mengingat setiap hari sejak saat aku bertemu denganmu. Suatu hari, ini akan seperti yang kamu katakan, Yoshi-kun. Walau aku terus berjuang, dan meski aku mencapai tempat itu, namun tidak menemukan apa yang aku inginkan, pasti ada sesuatu yang lebih berharga di sana ... “
Usai menngucapkan itu, Yuki berhenti sejenak. Dia mungkin ingin aku bertanya apa yang ingin dia katakan, karena dia menungguku untuk bertanya.
“Apa yang kau temukan di sana?”
“Aku menemukanmu di sana. Kamu ada di sana, Yoshi-kun, di hatiku yang kupikir itu kosong.”
Nn, gumamnya, dan membuka matanya perlahan dengan kepuasan.
“Setiap hari aku hidup, ada kamu di sampingku, Yoshi-kun.”
Kenapa?
Itu bukanlah kata-kata yang bisa menyebabkan air mata, namun aku merasa hidungku sedikit gatal. Aku menatap langit untuk menyembunyikan pemandangan ini, menatap awan yang memerah di ujung sana. Merah, menyengat menyinari mataku.
Tiba-tiba, Yuki mengulurkan tangannya, menepuk kepalaku. Dia tidak setinggiku, jadi dia berjinjit. Tempat yang disentuhnya sangat hangat, sangat nyaman.
“…Apa yang sedang kau lakukan?”
“Hm? Aku menghiburmu, Yoshi-kun. Kamu terlihat seperti akan menangis.”
“Aku bukan anak kecil.”
“Itu bukan hal yang buruk. Aku pikir tadi cukup memalukan, jadi kamu harus mengalaminya, Yoshi-kun. ”
Sekarang kita impas, ujarnya sambil membelai rambutnya.
Ahh, gatal. Apa yang sedang terjadi? Mengapa aku merasa sangat bahagia dengan karena hal kecil seperti ini? Aku bisa merasakan sentuhan lembut tangannya, dan akhirnya tersenyum.
Syukurlah, ucap Yuki setelah melihatku tersenyum.
“Kamu akhirnya tersenyum.”
Matahari terbenam, dan tempat yang kami tuju setelah taman hiburan adalah sekolah SMA-ku.
Itulah tempat lain yang ingin Yuki kunjungi.
Sekarang sudah lewat jam 7 malam, dan dalam gelap, lampu sekolah sudah mati. Satu-satunya tempat dengan lampu oranye menyala adalah kantor, ruang belajar mandiri, dua ruangan kelas dua dan satu ruangan kelas satu. Mereka yang mengikuti ujian masuk mungkin masih ada di ruang belajar mandiri. Semua ruangan kelas tiga benar-benar gelap, ini kesempatan yang bagus untuk kami.
Aku memegang tangan Yuki saat aku menyelinap dalam kegelapan malam, menyelinap ke sekolah.
Langkah kaki kami bergema di tangga yang gelap. Di perjalanan, kami melihat seorang guru, jadi aku menyembunyikan Yuki di belakangku, memberi tahu guru bahwa aku lupa sesuatu. Oh, jadi responsnya sebagai guru membuat kami pergi. Kurasa gurunya tidak bisa melihat wajah Yuki dengan jelas karena gelap.
Begitu guru menghilang dari pandangan, kami menghela nafas lega, sebelum kami pergi ke ruang kelasku.
Untungnya, ruangan kelas tidak dikunci. Aku menggeser pintu ke samping, dan dengan deritan yang akrab, ruang kelas dan koridor saling terkait.
Cahaya bulan suci yang bersinar melalui jendela mewarnai ruangan kelas menjadi setengah perak.
Ini adalah ruang kelas yang sangat akrab bagiku, tetapi bagi Yuki, ini adalah pemandangan baru saat dia melihat sekeliling dengan penuh semangat. Wow. Dia menjerit kegirangan, menyentuh meja seolah-olah itu adalah batu permata. Ahh, ada coretan, serunya sambil berkeliaran di ruang kelas, sebelum dia tiba-tiba melihat ke arahku.
“Hei, yang mana mejamu, Yoshi-kun?”
“Eh? Ahh, baris ketiga dari kanan, kursi keempat. ”
Aku terpesona saat melihatnya, dan responku agak lambat. Namun, entah bagaimana aku menjawabnya. 1, 2, 3, 4, Yuki menghitung ketika dia pergi menuju ke tempat dudukku.
“Yang ini?”
“Iya, yang itu.”
Aku pikir dia akan duduk di kursi di sebelah kursiku, tetapi untuk beberapa alasan, dia mengambil yang di sebelahnya, dan kemudian,
“Baiklah, Yoshi-kun, ini keinginan kedua. Kamu akan duduk di sini.”
Dia menepuk kursiku. Apa lagi yang harus aku lakukan? Tentu saja, aku akan duduk di tempat yang ditunjukkannya.
Aku seharusnya terbiasa dengan pemandangan ruang kelas ini dari tempat dudukku sendiri, tapi dengan Yuki yang duduk di sebelahku, semuanya tampak baru. Meja-meja tua, papan tulis dengan bekas goresan kapur, kertas-kertas dengan absen kelas yang membosankan semuanya dipenuhi cahaya.
“Rasanya akan lebih menyenangkan bila kau jadi teman sekelasku, Yuki.”
“Kamu memahaminya?”
Aku mengutarakan pikiranku, dan untuk beberapa alasan, Yuki menjawab dengan wajah yang tampak sangat gembira.
“Aku ingin tahu siapa tiga tahun lalu yang bilang Ia tidak tahu apa bagusnya tempat ini?”
“Memangnya ada orang sebodoh itu?”
“Ya, ada. Ah, meski kita berada di sekolah yang sama, kita mungkin tidak bisa masuk di kelas yang sama. Bagaimanapun juga, aku ini lebih tua satu tahun. Ya ya. Panggil aku Shiina-senpai. "
Suara Yuki sangat dekat. Untuk setiap gerakan yang dia lakukan, meja bergetar. Sesuatu dalam diriku terus terguncang.
“…Shiina-senpai.”                                                   
Setelah aku mengatakan itu, Yuki menyeringai.
Hei, ulangi lagiTidak mauKumohon.  Apa boleh buat, ya, Shiina-senpai? Bagus, sekarang sekali lagi. Shiina-senpaiSekali lagi, sedikit lebih intim. Yuki-senpai? Tidak buruk tidak buruk. Sekali lagiSeriusan deh,  Yuki. Kau seperti orang cabul tau. Matamu bersinarKamu memanggilku cabul? Kasar sekali.
Apa pun yang aku katakan, Yuki akan tertawa, marah, terlihat kecewa, atau cemberut.
Di dalam kelas ini, Yuki dan suaraku saling bergema satu sama lain.
Sementara kami mengobrol, jadi kenapa? tanyaku. Aku benar-benar ingin menanyakan hal ini sejak awal.
“Kenapa kau ingin datang ke kelasku.”
“.... Yah, aku sudah bilang pada Akane-chan.”
Begitu nama tersebut tiba-tiba disebutkan, aku terkejut.
“Kamu hanya teman sekelas biasa, ‘kan? Kalau begitu, tidak masalah apa hubunganku dengan Yoshi-kun sekarang. Setelah itu, aku tidak senang dengan hal itu. Meski dia hanya teman sekelas, aku iri padanya. Aku tidak tahu bagaimana dirimu di sekolah, Yoshi-kun. Ini yang terakhir.”
Dia berdiri dari kursi, dan membuat jarak dariku. Angin sepoi-sepoi mengangkat rok panjangnya.
Dia berada di kegelapan, berdiri di sana seperti jurang pemisah antara terang dan gelap.
“Terakhir.”
Aku mengulangi kata-kata ini, dan segera merasakan rasa sakit di seluruh tubuhku.
“Kamu akan lulus, Yoshi-kun. Aku ingin datang ke kelasmu sebelum itu. Ini adalah kesempatan yang sempurna. "
“Ahh, begitu.”
Sepertinya dia tidak merencanakan hal lain.
Yuki bilang kalau kami sudah bertemu ratusan kali. Tentunya di masa depan, kami akan bertemu berkali-kali lagi. Hei, bukankah begitu?
“Hey, Yuki-senpai.”
Aku memanggilnya untuk memohon padanya, dan dia menyipitkan matanya, menggaruk pipinya, dan akhirnya menggelengkan kepalanya.
“Kedengarannya bagus, tapi aku lebih suka yang biasa. Panggil aku Yuki.”
“Yuki.”
Namanya seperti preset karena berasal dari mulutku.
“Aku menyukaimu. Aku benar-benar sangat menyukaimu. ”
“Aku tahu. Kamu sudah mengatakannya berkali-kali. Aku juga menyukaimu, Yoshi-kun. ”
Tiba-tiba, dorongan tiba-tiba melandaku. Aku tidak bisa menolaknya. Aku bergegas menuju Yuki, dan memeluk tubuh mungilnya sedikit. Aroma sakura yang manis tercium. Tidak, bukan itu.
Bagiku, ini sudah menjadi aroma khas Yuki.
“Wawa, kenapa tiba-tiba sekali?”
“Ini salahmu, Yuki.”
“Salahku?”
“Ya, salahmu, Yuki. Semuanya salahmu. ”
“Begitu ya. Mau bagaimana  lagi. Ini salahku kamu sering terlibat denganku. ”
Ini semua salah Yuki karena membuatku seperti ini.
Aku mendekatkan wajahku ke wajah Yuki yang tertawa.
Sepertinya Yuki tahu apa yang ingin aku lakukan ketika dia menutup matanya dengan erat, pipinya memerah saat dia akhirnya siap menerimaku. Dia sangat imut; Aku benar-benar tidak tahu berapa kali aku memikirkan itu.
Di sudut dunia ini yang bahkan tidak bisa dijangkau oleh cahaya rembulan, kami berciuman tanpa diketahui orang lain.
Saat kami bersentuhan, bibirnya sangat dingin, bergetar. Rasanya kikuk, hanya ciuman lembut di antara bibir, tapi kami sangat yakin dengan perasaan satu sama lain, kehangatan satu sama lain, dibandingkan dengan pengakuan dan pegangan tangan yang tak terhitung jumlahnya.
Manusia sebagai spesies telah menggunakan tindakan ini untuk mengidentifikasi dengan jelas keberadaan satu sama lain.
Setelah melewati lima detik abadi, Yuki membenamkan wajahnya ke dadaku, tampaknya menutupi wajahnya sendiri saat dia merajuk. Tapi aku tahu dia menyembunyikan rasa malunya.
“Ini ciuman pertamaku.”
Dia benar-benar imut dalam keadaan itu, jadi aku tersenyum. Lihat, itu semua salah Yuki, kan? Mana ada anak laki-laki yang bisa menolaknya ketika ada seorang gadis imut di depannya.
“Tidak diragukan lagi itu ciuman pertamaku juga.”
“Hei.”
Yuki mengangkat kepalanya. Wajahnya, dan bahkan sampai telinganya, benar-benar semerah tomat.
“Permintaan ketigaku. Sekali lagi?"
Jadi bibir kami terus bersentuhan lagi dan lagi.
Yuki dan aku berpisah di gerbang depan, dan saat aku berjalan pulang, ringtone smartphone di kantongku berdering.
'Nomor publik' adalah nama pemanggilnya. Biasanya, aku takkan pernah menerima telepon ini, tetapi aku langsung mengangkatnya. Karena sebuah alasan.
Aku merasa aku tahu siapa yang menelepon.
“Hei Yuki?”
Sebelum dia menyebutkan namanya, aku memanggilnya. Kamu benar, jawabnya.
Suara dari telepon terdengar sangat lembut, namun sepertinya lebih dekat dari biasanya, dan aku bahkan bisa mendengarnya suara nafasnya. Itu adalah sesuatu tepat di sampingku, di dalam tanganku.
Aku pergi ke lampu jalan, yang masih berdengung menjauh, dan menyandakan punggungku di tiang, menatap langit. Di mana dia sekarang? Jadi aku berpikir sambil menajamkan telinga untuk mendengarkan.
“Aku ingin bicara sedikit lagi, jadi aku meneleponmu. Mau ngobrol sebentar lagi? ”
“Tentu saja. Tapi ada apa? Apa ada sesuatu yang terjadi?”
“…Kenapa kamu bertanya begitu?”
Yah, alasannya sederhana, tapi aku tidak bisa mengatakannya. Aku menelan ludah, dan mempersiapkan diriku. Karena. Kali ini, aku berhasil mengatakannya. Jadi aku harus melanjutkan,
“Suaramu terdengar bergetar.”
Bahkan diriku yang bodoh ini tahu bahwa suaranya karena dia merasa kedinginan.
“Suaraku bergetar?”
“Ya.”
“Begitu ya. Jadi suaraku bergetar. Aku rasa begitu. Hei, Yoshi-kun, aku akan menanyakan sesuatu. Kamu tidak ingin melupakanku, bukan? Kamu ingin terus mengingatku, bukan? ”
“Tentu saja.”
“Tidak peduli apapun bayarannya?”
“Iya.”
Aku menjawab tanpa banyak berpikir.
Aku tidak menyadari bahwa ini adalah persimpangan jalan terakhir.
“Ya kamu benar. Aku tahu kamu akan mengatakan itu, Yoshi-kun. Kalau begitu, aku punya satu permintaan. Ini permintaanku yang terakhir. Apa kamu mau mendengarnya?”
“Tentu saja. Aku menghabiskan sepanjang hari untuk memenuhi keinginanmu. ”
“Terima kasih. Lalu…”
Tolong bawa aku ke taman hiburan. Tolong bawa aku ke sekolah. Dengan kehangatan yang sama seperti ketika dia mengatakan keinginan ini, Yuki berkata,
“Tolong tersakiti demi diriku.”
“Eh?”
“Tolong sukai aku, cintai aku, benci aku. Tolong sesali diriku, menderita demi diriku. Tolong gunakan semua emosimu untuk mengikat hati kita bersama. Tolong jangan lupakan aku. ”
Ini adalah keinginan terakhir Yuki.
Aku segera melihat jam tanganku. Masih ada satu jam hingga pukul 10.54 malam. Keringat perlahan merembes dari punggungku. Cuacanya dingin, tapi entah kenapa, aku merasa panas yang tak tertahankan. Aku tidak ingin mendengar apa-apa lagi. Aku ingin menutupi telingaku, untuk meraih kebahagiaan yang ada di tanganku beberapa saat yang lalu, pulang ke rumah, dan tidur.
Ahh, andai saja ini bisa berakhir seperti yang aku inginkan? Tapi Yuki segera mengubahnya menjadi ilusi.
Dia dengan lembut menggumamkan kata-kata itu.
–Aku akan mati sekarang.
Suaranya terdengar dipenuhi sukacita, dan air mata.
“Kenapa?”
“Aku sudah menyita banyak dan banyak waktu darimu, Yoshi-kun. Aku mengambil waktu yang seharusnya ada di hatimu, ingatanmu, dan segalanya. Sampai detik ini, aku sudah melakukan banyak hal kejam.”
“Itu tidak benar.”
“Tidak. Itu benar, tetapi kamu mengatakan kepada aku kalau kamu menyukaiku. Aku senang. Sangat senang. Karena itu, aku benar-benar berdoa supaya keberadaanku bisa tetap berada di hatimu. Bahkan jika itu menyakitimu, Yoshi-kun, bahkan jika aku dibenci olehmu, aku tetap bertahan pada keinginanku. Bila ada tempat beristirahat di dunia ini untukku, itu pasti di hatimu.”
Itu bukan jawaban untuk pertanyaanku. Yuki sendiri mungkin mengerti ini, dan dengan sengaja mengucapkan kata-kata ini.
Meski begitu, aku menyadari bahwa tidak ada kepura-puraan dalam kata-katanya.
Sekali lagi, aku berlari menuju jalan yang kutempuh.
Aku melewati jembatan, dan berlari ke taman. Lampu toilet umum menyala remang-remang di jalan. Aku menapaki langkahku ke persimpangan, ragu-ragu ke mana aku harus pergi. Ahh, sial. Aku membuang-buang waktu yang berharga. Pada akhirnya, aku pergi ke stasiun.
“Hei, Yuki, tunggu di sana oke. Aku sedang dalam perjalanan menuju tempatmu, sekarang. Kita akan membahas masalah itu nanti, oke. ”
 “Bukannya kamu bilang kalau kamu akan mendengarkan keinginanku tak peduli apa isinya? Apa kamu akan mengingkari janji ini lagi?”
“Lagi?”
“Ya, lagi. Kamu selalu seperti ini, Yoshi-kun, selalu membuat janji yang tidak bisa kamu tepati.”
“Janji apa yang aku ingkari?”
“Kamu bilang kamu akan ingat.”
“Eh?”
“Kamu bilang kalau kamu akan mengingatku ketika mencium aroma sakura.”
“…….”
"Kamu bilang kamu takkan pernah melupakannya.”
“……”
“Kamu bilang akan mengajakku pergi ke bioskop.”
“……”
Yuki terus menyerukan janji-janji yang dibuat tidak ada di dunia ini, tapi di dalam hatinya. Aku bahkan tidak bisa meminta maaf padanya. Tidak, aku tidak punya hak untuk meminta maaf.
“Bukannya itu semua bohong!?"
Bentaknya, suara Yuki melemah, setidaknya penuhi janji ini!
“Itu harus kamu. Aku tidak bisa lagi mengatakan bahwa siapa pun bisa melakukannya. Aku tidak ingin melakukan ini jika bukan dirimu. Aku tak peduli apa bentuknya, aku ingin tetap berada di hatimu sepanjang waktu. Aku tak ingin dilupakan olehmu. Aku tidak ingin mengambil apapun dari dirimu. Sedikit saja tak masalah, apapun tak masalah, aku ingin tetap di hatimu. Hanya Ini satu-satunya cara untuk melakukan itu ... “
Aku tiba di stasiun.
Aku tidak melihat tanda-tanda keberadaan Yuki.
Aku melihat sekeliling, aku menabrak paman yang mengendarai sepeda, tersandung. Kalau jalan lihat-lhat! Jangan melepon sambil lari! Paman itu melotot dan meneriakiku dengan meradang. Aku sedikit menundukkan kepalaku meminta maaf, dan berlari ke balai kota. Aku bisa mendengar apa yang paman katakan, tapi aku tidak melihat ke belakang.
Aku terus berlari, semuanya demi mencari Yuki.
………………………………..
Sejak hari dimana aku kehilangan segalanya, aku berjalan sendirian sampai detik ini.
Kekosongan tanpa tujuan, kemarahan dan kebencian tanpa disadari menjadi alasanku untuk terus hidup. Tanpa ada hal itu, aku mungkin takkan sanggup berdiri lagi.
Sampai suatu hari Ia memanggilku.
Ini bukanlah metafora maupun lelucon. Dunia berubah sejak hari itu.
Ia membantu mengubahku.
Aku mendapat mimpi.
Itu menjadi alasanku untuk hidup.
Ia memenuhi banyak hal yang diriku lebih muda ingin lakukan.
Tanpa aku sadari, kekosongan, kemarahan, dan bahkan kebencian tersapu lenyap, dan sesuatu yang lebih hangat justru mengisi diriku. Aku tidak bisa lagi berpaling dari perasaan ini.
Ah, benar juga.
Aku jatuh cinta untuk pertama kalinya.
Apa yang harus aku sebut hari-hari yang lucu dan indah ini? Aku bertanya-tanya, dan menggelengkan kepala. Ini bukan sesuatu yang pantas disebut.
Kami ingin bersama, selamanya.
Menuju ke ujung dunia bersama.
Tapi itu tidak mungkin, ini mustahil.
Akhir dari keseharian ini, akhir cerita kita akan dipenuhi dengan kesedihan.
Kami terus bertemu satu sama lain, demi perpisahan yang satu ini.

❀❀❀❀

Jalan di depan balai kota cukup lengang, tidak ada orang di jalan, dan sepi di mana-mana. Lampu jalan yang bundar membuat prisma bulat. Melihat ke bawah, aku melihat tiga bayangan di kakiku, satu menghadap ke kanan, satu menghadap ke kiri, dan satu menghadap ke depan. Mungkin ada sumber cahaya dari setiap arah; kanan, kiri dan lurus.
Sisi mana yang harus aku ambil untuk sampai ke tempat Yuki?
Aku tidak tahu.
Dan tanpa sadar, aku melangkah ke depan. Aku tidak tahu persis kenapa, tapi aku diam-diam yakin akan sesuatu.
Yuki ada di depanku.
Jadi, ya, aku berlari ke depan.
Jarak terdekat, kecepatan tercepat yang mungkin, menuju Yuki.
…………………………
Cahaya oranye menyinari diriku yang bersembunyi di balik kaca bening. Angin menderu di luar, dan sebuah poster berkibar karena angin, mungkin karena paku yang memegangnya di atas papan iklan telah lama terjatuh.
Aku mencoba mengulurkan jariku ke depan, tetapi terhalang oleh kaca, tidak dapat menyentuhnya.
Aku menggerakkan jari-jariku, dan ada tanda sentuhanku di atasnya.
Saat ini, aku masih ada di dunia ini. Ya, aku masih ada di hatinya.
Tentunya, bagi Yoshi-kun, aku adalah gadis yang sangat imut.
Jika Ia menganggapku lucu, itu tidak masalah. Ahh, tapi Yoshi-kun bilang aku sangat keras kepala dan pelit padanya, selalu mengekor padanya, jadi mungkin tidak lucu. Aku menunjukkan kepadanya sisi jelekku. Ia bilang aku benar-benar rakus.
Dan pada akhirnya, semuanya akan terhapus. Kesedihan, penderitaan dan keputusasaan pasti akan mengambil wujudku, menggantikan tempatku di hati Yoshi-kun.
Jika aku bisa melakukan sampai segittunya, aku akhirnya bersemayam di hatinya.
Ini adalah satu-satunya cara untuk tetap di hatinya.
Awalnya, alasan mengapa semua jejakku lenyap adalah karena aku ingin pergi ke masa depan. Dunia harus terus menghapus keberadaanku karena aku hidup. Kalau begitu, jika aku mati, tidak ada alasan bagiku untuk dihapus. Tentu saja, jejak masa lalu yang terhapus takkan kembali, tapi masa kini yang belum diambil akan tetap ada.
Aku sudah menunggu saat ini.
Menjadi kekasihnya hanya selama satu minggu.
Pikiran kami benar-benar terjalin.
Selama periode berharga itu, aku mungkin telah mengukir diriku dengan kuat-kuat di dalam dirinya.
Lebih penting lagi, Yoshi-kun merindukanku. Ia mengulurkan tangannya, merangkak ke arahku. Dia terus berjuang untukku.
Tetapi, setelah semua itu, tidak bisa mendapatkan apa yang diinginkan seseorang pasti akan menyebabkan luka dalam yang tidak pernah bisa hilang. Ia akan menangis, menahan rasa sakit, dan mengingatku. Dengan demikian, aku bisa terus tetap berada di hatinya.
Aku bisa mendengar Yoshi-kun terengah-engah dari ujung telepon.
Aku bisa mendengarnya berlari kencang.
Semuanya berjalan sesuai rencana.
Maaf. Aku ingin mengatakan kata egois ini, tapi aku menahannya kembali.
Kata-kata itu terlalu tajam, sehingga aku, yang memaksa diriku untuk menahannya, hampir menangis.

❀❀❀❀

Tanganku sakit.
Kakiku sakit.
Hatiku sakit.
Butir-butir keringat mengalir di pipiku. Tubuhku terasa panas dan berat.
Tapi aku tidak boleh berhenti. Aku harus terus berlari.
Aku berbelok ke kanan di jalan raya yang panjang, menuruni lereng. Kemiringan yang sangat dalam. Aku diam-diam memperingati diriku untuk berhati-hati, namun perasaan cemasku takkan membiarkan diriku melambat. Setelah mengambil langkah pertama, langkah kedua berjalan maju tanpa kendali. Uh oh. Jantungku berdebar kencang. Meski begitu, aku tak bisa berhenti. Aku seperti lalat di langit, terus bergerak maju. Setiap kali kakiku mendarat, akan ada kejutan puluhan kali lebih besar.
Aku terus berlari, dan secara alami, aku mencapai batas kemampuanku. Kaki kanan menyerah untuk menopang berat badan saat membungkuk. Aku bisa dengan jelas mendengar suara bodoh itu.
“Ahh.”
Kemudian, aku terjatuh.

❀❀❀❀

Fuu. Aku menghela nafas panjang.
Hanya waktu satu-satunya hal yang berlalu.
Waktu sudah lama berlalu, aku ingin menutup telepon, tetapi aku tidak bisa. Apa yang salah denganku? Batas waktu semakin dekat. Ayo, tutup telepon. Mana mungkin Ia akan berhasil ke sini. Ini buang-buang waktu saja bila terus ragu. Jika aku tidak mati sekarang, aku takkan tinggal di hatinya.
Tetapi tubuhku tidak bisa bergerak.
Yuki.
Namaku yang Ia panggil berkali-kali mengelilingi lenganku.
Yuki.
Aku menutup mataku, melihat senyum lembutnya, dan kakiku terasa lebih berat.
Aku terus berpikir dan berpikir.
Aku terus merenung dan merenung.
Dan setelah itu, aku harus memilih keinginanku. Meski aku tahu itu akan menyakitinya. Meskipun aku tahu itu akan membuatnya sedih.
Meski begitu–
Tiba-tiba, aku mendengar sesuatu.
Itu dari ujung telepon, ini dari dirinya.
Itu adalah suara seseorang yang menabrak, seseorang mengerang. Tidak, aku bahkan tidak bisa mendengar suara itu.
Bagiku, satu-satunya kenangan yang tidak ingin aku ingat terbangun dalam diriku.
Lupakan segalanya, aku memanggil namanya.
“Yoshi-kun, apa kamu baik-baik saja? Apa yang terjadi? Hei! Yoshi-kun. Jawab aku!”

❀❀❀❀

Pada saat itu, aku meraih smartphone di tanganku dengan sekuat tenaga, meringkuk, dan membawanya ke depan dadaku.
Karena itu, aku jatuh ke tanah tanpa menggunakan teknik ukemi. Ada rasa sakit yang tajam menyerang bahu kiriku, membuatku mengerang. Setelah berguling sebentar, aku berhenti.
Aku kesulitan bernapas, dan melakukan yang terbaik untuk berbicara, menghirup udara musim dingin yang dingin ke paru-paruku dengan sekuat tenaga. Tak peduli berapa banyak oksigen yang aku ambil, aku tetap kesulitan bernapas.
Aku sudah tidak kuat berlari, dan seluruh tubuhku sakit. Ini mengerikan. Aku bahkan tidak bisa berdiri. Secara fisik, dan mental.
Aku punya keraguan aneh yang tersisa dalam diriku.
Mengapa aku melakukan ini?
Seseorang dalam diriku berkata begitu.
Bukannya ini sudah cukup?
Yuki pasti menderita. Dia selalu sendirian, bekerja keras sampai saat ini. Paling tidak, biarkan dia menjadi egois sampai akhir.
Aku terus memikirkan kata-kata yang menyuruhku untuk menyerah.
Dan bahkan jika aku menemukannya, apa yang ingin aku lakukan? Apa aku siap untuk mengubah tekad Yuki?
Aku memiliki berbagai alasan yang muncul di benakku.
Aku sudah bekerja keras. Aku memiliki banyak pengalaman yang tak tertahankan, dan membuatku blepotan dimana-mana. Ini sudah cukup, bukan?
Setelah ini berakhir, tak ada yang akan mengeluh. Tapi-
Ada satu hal. Suara Yuki datang dari smartphone di tanganku. Yoshi-kun, kamu baik-baik saja? Apa yang terjadi? Hei! Yoshi-kun. Jawab aku!
Aku hampir tidak bisa menggerakkan tubuhku, dan akhirnya berbaring di tanah, perlahan membuka mataku. Cahaya menyilaukan menyinari penglihatanku. Cahaya rembulan bersinar ke arahku.
Sirius bersinar.
Aku bisa melihat Aldebaran.
Pikiranku benar-benar terjaga. Suara di benakku memudar, dan aku hanya bisa mendengar suara seorang gadis.
Ahh, apa? Kau tidak perlu mengkhawatirkan aku. Tapi aku sangat senang tentang ini.
Aku memanggil namanya.
Saat dia memanggil namaku, aku pun memanggilnya.
“Yuki.”
“Apa?”
“Kau kejam.”
Dengan suara gemetar yang sama, Yuki mendengus. Dia sepertinya tidak menikmati ini.
“Aku pernah mengatakan ini sebelumnya, tahu? Ini sudah lama terjadi, dan meski itu menghilang, aku memang bilang kalau aku akan melakukan sesuatu yang kejam kepadamu. Aku memang bilang kalau kamu tidak bisa tidak percaya dengan apa yang aku katakan.”
“Jadi, apa yang aku jawab saat itu?”
“…Bisakah kita bertemu lagi besok. Kamu bilang begitu kepadaku.”
“Aku ini memang idiot.”
“Iya. Orang idiot Karena itulah kamu menjadi sasaran gadis nakal ini. ”
“Ya. Aku benar-benar idiot.”
Seharusnya ada lebih banyak hal yang ingin dikatakan.
Seharusnya ada lebih banyak hal yang harus aku katakan.
“Aku seharusnya mengatakan aku menyukaimu.”
“... Kamu ini memang aneh.”
Itu seharusnya baik-baik saja.
Kau suka orang aneh, bukan?
Maka, aku akan menjadi orang aneh.
“Ya, aku ini orang aneh yang menyukaimu. Aku mungkin sudah banyak berbohong, melanggar banyak janji, tapi hanya ini satu hal yang benar. ”
Setelah diam beberapa saat, ya, Yuki bergumam. Dia tahu.
“Jadi, aku akan mendatangimu sekarang. Aku tak tahu apa yang kau pikirkan, apa yang kau sangka, apa yang membuatmu frustrasi, apa yang membuatmu khawatir, apa yang membuatmu memutuskan itu. Di masa depan, aku ingin bertemu Kau berkali-kali, untuk mencintai, untuk hidup bersama.”
Masa lalu yang mengacu pada empat tahun lalu. Saat itu, ada seorang anak lelaki yang tidak bisa jujur ​​mengatakan apa yang Ia inginkan. Sebagian besar, ia hanya memilih untuk bertahan, untuk menyerah. Bocah itu tak lagi ada dimanapun di dunia ini.
Karena aku tak tahan untuk ini. Aku tidak dapat menerima bahwa Yuki menangis.
Selama aku bisa memastikan bahwa gadis yang paling aku sayangi takkan menangis, aku akan melakukan segalanya, bahkan jika aku harus mengorbankan segalanya.
Aku akhirnya mendapatkannya.
Sesuatu yang sangat aku inginkan dari lubuk hatiku.
Sesuatu yang aku takut kehilangan.
Sesuatu yang aku rela kukorbankan segalanya.
Karena aku bertemu Yuki.
Karena, aku bertemu Yuki?
Tiba-tiba, berbagai hal terhubung dalam pikiranku. Garis-garis terbentuk, seperti rasi bintang yang muncul di mataku. Aku melihat cahaya Orion.
Beberapa waktu yang lalu, aku memetakan bintang-bintang dengan buku bergambar, menghubungkan bintang-bintang menjadi rasi bintang. Apa aku benar-benar sendirian saat itu? Tentu saja tidak.
Ketemu!
Aku berseru. Iya. Aku akhirnya menemukan kaitannya.
“Yuki. Kau bilang semuanya tidak ada, tapi itu tidak benar. Kau bilang kau mengambil semuanya dariku, tapi bukan itu. ”
Akhirnya, aku bisa mengatakan dengan yakin kalau aku mempercayaimu.
“Kau tahu, karena aku ada di sini.”
“Apa yang ingin kamu coba katakan?”
Suara Yuki di telepon dipenuhi keraguan, tapi aku mengabaikannya, dan terus melanjutkan.
“Seminggu yang lalu, kita bertemu di tanah kosong itu. Itu bukanlah kebetulan. Karena Shiro tertidur di sana. Aku berhenti karena Shiro dimakamkan di sana. Jika kau tidak meminta bantuanku empat tahun lalu, mana mungkin kita akan bertemu di sana.”
Di ujung telepon yang lain, Yuki tersentak.
“Karena keberadaanmu, Shiro tidak menjalani saat-saat terakhirnya sendirian. Karena tekadmu, dia tidur di tempat yang penuh kehangatan. Dan karena kau terus mengumpulkan keberanian untuk berbicara denganku, aku di sini. Semuanya terhubung. Selama ini, kau sudah ada di hatiku. ”
Aku pergi ke berbagai tempat sendirian, dan melakukan banyak hal. Aku menikmati hal-hal ini dalam ingatanku, semua ini karena Yuki ada di sebelahku. Tidak apa-apa, Yuki. Tidak apa-apa. Kau tidak mengambil apa pun dariku. Bukan hanya itu, kau malah memberiku banyak hal.
Seorang gadis melakukan yang terbaik untuk mengubahku menjadi diriku saat ini.
Yuki bergumam.
“Aku sudah ada di hatimu, Yoshi-kun?”
“Ya itu benar. Kau sudah ada di sini, di dalam diriku.”
“ …..Begitu ya. Kurasa itu saja sudah cukup. Lalu hidupku sudah—”
“Tidak, bukan apa-apa. Lebih penting lagi, hei, Yoshi-kun. Bisakah aku mengubah sedikit permintaan terakhirku? Jika aku benar-benar ada di hatimu, buktikan padaku. Sebut aku. Tolong. Panggil namaku.”
Aku memejamkan mata erat-erat. Aku membukanya. Visiku sangat terang.
“Aku akan ke tempatmu sekarang. Secepat mungkin.”
“…Aku akan menunggu.”
Aku mengerahkan kekuatan ke tangan kananku. Aku merasakan panas. Mungkin karena aku menggunakan ponsel untuk waktu yang lama sehingga ponselku agak panas. Namun, itu tidak terbakar. Ini sehangat telapak tangan Yuki.
Aku memeganginya.
Aku harus terus meraihnya, sehingga aku takkan kehilangan itu, supaya aku takkan membiarkannya tergelincir.
Karena—
Kami menyebutnya panas itu dengan sebutan 'cinta'.
Aku berjongkok, dan berdiri.
Tsuu, haa. Aku merasakan rasa sakit di dalam tubuhku. Aku hampir menangis. Tapi aku mengambil langkah pertama. Aku mengambil langkah kedua. Aku mengertakkan gigi, dan mempercepat lariku.
Aku berlari melewati depan sekolah SMP-ku dulu. Sudah berapa kali aku mengejar bayangan seseorang di sini? -dia tidak ada di sini.
Aku berlari melewati toko, yang sering aku lewati dalam perjalanan pulang setelah aktivitas klub berakhir. Sudah berapa kali aku makan es krim sendirian di sini? -dia tidak disini.
Aku melewati toko buku yang sering aku kunjungi. Sudah berapa kali aku membeli publikasi novel baru? - dia tidak ada di sini.
Tanpa aku sadari, gedung perpustakaan sudah kulewati. Sudah berapa kali aku berjuang dengan tugas matematika sendirian? - dia tidak ada di sini.
Aku melewati pusat permainan, karaoke, arena bowling, arena baseball, bioskop. Dia tidak ada di antara tempat-tempat tersebut.
Kota ini dipenuhi dengan ingatanku yang kesepian.
Tak satu pun dari tempat tersebut memiliki kehadiran Yuki.
Aku sendirian.
Tapi pada titik ini, aku bisa melihat seseorang di sana. Setelah keberadaannya terhapus, sesuatu selalu digunakan untuk menutupi keberadaan seseorang, namun perlahan aku bisa mendengar tawa. Kedengarannya sangat bahagia, milik gadis yang aku suka.
Aku berbelok ke kanan di persimpangan T, dan berlari lurus ke depan. Sudah berapa kali aku berlari di jalan ini sendirian? Tapi saat itu, pasti ada Yuki di depanku. Haa, haa. Aku terus menggerakkan kakiku. Aku melihat ke depan. Itu jalan menuju Yuki, dari waktu yang hilang.
Jadi, aku percaya.
Aku melihat ke arah aula publik jauh.
Aku melihat papan iklan kecil.
Aku melihat seseorang di dalam bilik telepon umum yang bersinar redup dalam kegelapan. Meskip aku hanya bisa melihat siluet, orang itu sedang menelpon. Aku menemukannya. Aku menghela nafas lega.
Aku mengulurkan tanganku.
Tinggal sedikit….tinggal sedikit lagi.
Meski begitu, kenapa–
Jarum jam tidak berhenti.
Masih ada jarak di antara kami. Aku tidak bisa melihat wajah Yuki dengan jelas. Aku tak bisa mendengar suara Yuki. Suaraku tidak bisa menggapainya. Aku di sini, tetapi Yuki tak pernah menyadariku.
Berbagai emosi meluap dari dalam diriku.
Rasa cemas, sedih, marah. Dan yang terpenting, rasa takut.
Aku terengah-engah, kehabisan napas. Aku tak bisa mengeluarkan suara. Kata akhir terlintas dalam benakku. Tidak, tidak, tidak. Aku tidak ingin akhir yang seperti ini, tidak!
Yuki, yang diam sepanjang waktu, tiba-tiba berkata.
Suara itu datang dari telepon.
“Terima kasih banyak atas semuanya. Aku sangat senang. Aku sangat menikmati diriku sendiri. Sebenarnya, sejak aku bertemu denganmu, aku benar-benar bahagia. Rasanya sangat menyenangkan bisa hidup sampai sekarang. "
Mengapa kau mengatakannya seolah-olah ini adalah akhir? Ini bukanlah akhir! Ini masih belum selesai. Kau masih ada di sini, Yuki. Kau masih ada di sini.
“Sebenarnya, apapun yang terjadi, aku mungkin takkan bisa mendapatkan yang kuinginkan. Dulu aku hanyalah kerang yang kosong, namun kini, hatiku dipenuhi dengan begitu banyak kenangan. Kita pergi ke tepi laut musim dingin itu, tapi rasanya tidak dingin karena kita berdua bersama. Kita pergi ke bioskop bersama, tapi aku menikmati diriku sendiri, karena kita menonton film bersama. Ketika kita pertama kali berperang bola salju bersama, aku benar-benar bersemangat. Aku mencoba banyak hal lezat, tak diragukan lagi. Aku tidak membela diriku di sini, tapi aku bukan benar-benar rakus, tau? Rasanya terlalu enak saat bersamamu, Yoshi-kun, jadi aku makan terlalu banyak. Lagipula, makan adalah tanda seseorang itu hidup. ”
Itu masih belum cukup, bukan? Ayo kita ciptakan banyak kenangan bersama. Ayo pergi ke berbagai tempat. Ayo makan banyak dan banyak hidangan lezat lainnya. Jadi….
“Kita berpegangan tangan berkali-kali. Tanganmu selalu hangat, dan aku menyukainya. Jantungku berdegup kencang, kupikir itu akan meledak, tapi rasanya enak. ”
Tangan Yuki benar-benar dingin. Tapi segera menjadi hangat. Karena itu, aku senang.
“Sejujurnya, ini baru pertama kalinya dalam hidupku aku menyukai seseorang. Aku mengatakan kepadanya bahwa aku menyukainya, dan Ia bilang kepadaku kalau Ia menyukaiku. Aku mengatakan banyak hal yang keras kepala kepadanya, dan bermain-main denganku. Merayu seorang anak lelaki terasa nikmat. Hm Ya, rasanya benar-benar nikmat. ”
Jika aku bisa mengatakan, itu adalah cinta pertamaku, rasanya pasti akan hebat, tapi mungkin tidak. Kurasa aku jatuh cinta dengan orang tertentu yang sama 214 kali. Orang yang sama. Itu kau.
“Ciuman pertama sebenarnya setelah sekolah, di dalam kelas. Itu benar-benar pengalaman yang sangat dramatis. Omong-omong, di manga, orang bilang ciuman pertama rasanya seperti lemon, tapi kurasa itu tidak benar. Rasanya memalukan, hal yang menyenangkan untuk dicium, tak ada cara untuk membandingkannya. Atau kau tau apa itu, Yoshi-kun? Bagaimana rasanya ciuman pertama?”
Mana mungkin aku bisa tahu.
Hei, Yoshi-kun.
Yuki memanggilku.
“... Bila di lihat dari sudut pandang orang luar, kisah cinta kita cukup normal. Ini seperti anak laki-laki biasa berpacaran dengan seorang gadis biasa, hanya sekedar cerita biasa. Tapi. Tidak. Sebenarnya, karena inilah aku merasakan sesuatu yang layak untuk diberikan semua. Berkat dirimu, aku bisa mengucapkan kata-kata ini sekarang. Eheheh. Rasanya agak memalukan. Tapi aku akan mengatakannya sekarang. Dengarkan ini baik-baik. Ini adalah hidupku. Hari yang penuh kilauan yang kuhabiskan bersamamu, Yoshi-kun. ”
Tentunya, Yuki tetap hidup demi kata-kata ini.
–Ini adalah Kisah Cinta Paling Membahagiakan di Dunia ini.
Suaranya tidak lagi bergetar.
Akhirnya, Yuki-ku tersayang mengucapkan kata-kata perpisahan, dengan bangga seperti biasanya.
Dan pada saat yang sama, rasa sakit di dadaku menjadi panas saat meluncur di pipiku.
“Kenapa kau mengatakan ini? Aku masih ingin bersamamu. Jadi, aku mohon padamu. Hiduplah! Teruslah hidup!”
Apakah kata-kataku sam tersampaikan padanya?
Apa dia mendengarku?
apa kita masih terhubung?
Cuma sedikit lagi. Yuki bisa merubah pikirannya lagi jika ada peluang, suatu saat. Tetapi itu saja tidak cukup.
“Aku akan menunggu untukmu. Aku akan selalu menunggumu. Menunggu untuk memanggil namaku!”
Lututku terasa sakit. Aku menahannya, agar memastikan bahwa aku tidak mengerang. Lututku gemetaran, dan aku tidak bisa mengerahkan tenaga. Sepertinya tenagaku terkuras karena luka. Aku kehilangan keseimbangan. Aku menghabiskan semuanya hanya dengan mengertakkan gigi, memaksa diriku untuk tidak jatuh.
Kenapa!? Kenapa baru sekarang!? Ayo bergerak! Aku tak peduli kalau aku tidak bisa bergerak lagi! Bawa aku ke Yuki! Kumohon! Gadis yang aku cintai ada di sana!
“…Aku menyukaimu. Benar-benar menyukaimu! Aku menyukaimu lebih dari siapapun, atau apapun!”
Aku berteriak.
Aku memanggil nama yang paling aku sukai di dunia ini, ke arah cahaya kecil itu.
Aku berdoa agar suaraku dapat menghubunginya.
“Yu, -”
Hanya itu yang bisa aku lakukan.
Dan pada saat itu, dunia diam-diam berubah.
Pada saat itu, ketika keabadian tampak tertekan, aku bermimpi kalau aku melihat seorang gadis.
Yuki yang mengatakan dia menyukaiku.
Yuki yang mencari alasan untuk berpegangan tangan.
Dia yang bertarung dalam pertarungan bola salju.
Dia yang pergi ke taman hiburan.
Dia yang berciuman di ruangan kelas.
Dia yang bilang akan menunggu. Tetapi aku-
Ingatan kami bersama, peristiwa masa lalu, suara Yuki, tingkahnya, ekspresinya, masing-masing jatuh satu per satu, dan setelah kontak, tidak ada yang menumpuk. Sebaliknya, mereka terlepas dari tanganku. Ahh, tunggu. Tunggu sebentar.
Segera, kata-kata terakhir meleleh, dan jatuh.
“Sampai jumpa, Yoshi-kun. Kamu adalah satu-satunya orang yang ada di pikiranku. Yuki Shiina adalah orang yang paling mencintai Haruyoshi Segawa di dunia ini.”
Senyum Yuki muncul di pikiranku. Ini adalah fragmen terakhir milik Yuki dalam diriku.
Kecepatan kakiku melambat. Tak lama kemudian, aku berhenti.
Hanya ada satu suku kata dalam kalimatku.
Tapi aku tidak lagi tahu apa itu.
Aku tak pernah tahu apa yang dunia ambil dariku.

❀❀❀❀

Aku mengambil napas dalam-dalam untuk memulihkan diri.
Aku mau pergi kmana?
Tiba-tiba, aku merasakan sakit di lututku. Itu adalah luka yang menyerempet setelah aku terjatuh. Aku jatuh tersungkur, dan berakhir dengan luka di sekujur tubuh. Aku takut sakit, dan meneteskan air mata, tapi aku terus berlari ke suatu tempat. Meski begitu, aku akhirnya berhenti.
Serius, apa yang sudah aku lakukan?
“Ahh sial! Ini sakit sekali! Sungguh! Aku ingin menangis!”
Aku menangis, tetapi akhirnya aku pura-pura menahannya, dan suara itu akhirnya tidak pernah mencapai siapa pun karena perlahan-lahan menghilang.
Setengah rembulan menggantung di atas langit, dan sinarnya menyinari mataku, sementara aku tidak tahu apa-apa.
Saluran telepon diam-diam terputus.
Sama seperti dua ratus kali sebelumnya, dunia dengan kejam memutuskan kontakku dengannya.
Aku tak bisa berdiri sama sekali, dan tetap berlutut di bilik telepon. Tak perlu menanggung lagi. Aku mengerut, memeluk diriku sendiri. Napasku sendiri terdengar sangat berisik. Setelah ini memudar, aku mulai memperhatikan gema jauh di dalam telingaku. Ini halusinasi. Aku tahu. Tapi…
Suara itu sangatlah kecil, tapi itu seperti bintang-bintang yang menyilaukan di langit malam, berkilau di tengah hatiku.
Tunggu aku. Tetap hidup.
Kata-kata ini masih memanggilku.
Kata-kata tersebut seharusnya sudah menghilang.
Kata-kata tersebut seharusnya sudah tidak ada sama sekali.
Jadi, kenapa hal itu masih menggoncang hatiku?
Ia jahat. Ia orang yang menyebalkan. Ah, meski begitu,
Ia adalah orang paling aneh di dunia ini.
Sebelum aku menyadarinya, aku tersenyum. Aku bisa tersenyum.
Karena tanganku penuh dengan apa yang bisa kupegang.
Tempat yang akhirnya kutuju, tempat yang dipimpin Yoshi-kun, akhir yang lebih indah dari yang kuharapkan. Di masa depan, Ia pasti akan tersenyum. Ia akan tersenyum bersama dengan waktu yang lama Ia habiskan bersamaku. Itu sebabnya aku cukup senang.
Aku menyeka air mataku, dan berdiri.
Aku memasukkan tanganku ke saku, dan jariku menyentuh sesuatu yang keras. Apa ini? Aku mengeluarkannya, dan menemukan cokelat. Ini adalah tipe yang sangat umum dijual di mana-mana. Harganya bahkan tidak sampai 100 yen, dan itu diberikan oleh bocah lelaki yang namanya tidak aku kenal saat itu. Itu adalah awal kami.
“Jika mungkin, bisakah kau memberiku cokelat?”
Suaranya terdengar penuh harapan.
“Tentu saja. Yah, karena itu pemberian dari pacarku.”
Ekspresinya terlihat malu-malu.
Setidaknya, aku harus memberikan ini padanya. Karena kami sudah berjanji. Bukannya anak lelaki bohong itu akhirnya memenuhi janji ini untukku?
Dia memanggil namaku. Setengah dari itu.
Itu hanya satu suku kata, tapi aku memang mendengarnya. Ini bukan suara melalui saluran telepon, tapi suara jujurnya. Ayo kita memenuhi janji itu. Ayah, ibu, Umi. Kalian bisa menunggu sedikit lebih lama ... hanya sedikit?
Aku meninggalkan bilik telepon, dan di sudut mataku, aku melihat siluet yang namanya tidak aku kenal, tapi aku tidak memeriksanya, dan pergi ke arah yang berlawanan dengan orang itu.
Di ujung cakrawala nan jauh di sana, cahaya setengah bulan menyinari wajahku.
Ini bulan yang indah.
Pikirku dengan jujur.
Sudah lama sejak aku sangat jatuh cinta dengan dunia ini.
Dulu saat aku mencintai dunia ini, aku sangat ingin hidup.


close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama