Hello, Hello, and Hello Chapter 06 Bahasa Indonesia



Pertemuan 213 - Pengakuan Cinta ke-214

“Kamu siapa?”
Aku didekati oleh seorang gadis yang belum pernah aku temui sebelumnya.
Ini terjadi setelah aku meninggalkan Yoshi-kun, dan pergi ke hotel depan stasiun.
Suara gadis itu dipenuhi dengan keberanian, bersamaan dengan sedikit kegelisahan.
Tiba-tiba, aku teringat dengan anak laki-laki yang bersamaku tadi.
Sebuah firasat tak enak membuat mulutku kering. Sebagian besar firasatku tentang sesuatu yang baik hampir tak menjadi kenyataan, sedangkan firasat yang buruk sering menjadi nyata. Ini konyol, kali ini, pasti–
“Kamu siapa?”
Aku menurunkan nada suaraku, berusaha memastikan bahwa dia takkan bisa menebak pikiranku. Sebagian besar dari lawan bicaraku takkan berbicara setiap kali aku melakukan ini. Sepertinya ada suatu tekanan dariku setiap kali aku melakukannya.
Dan tampaknya gadis di hadapanku terintimidasi oleh tekanan suaraku, karena dia membelalakkan matanya karena terkejut.
Aku ingin berbalik dan segera pergi, tapi siku tanganku dicengkram, tidak bisa lolos.
“Apa?”
“Erm.”
Suaranya tidak memiliki keberanian dari sebelumnya, tapi meski begitu, dia tidak mundur, dan malah menatap mataku dengan saksama. Mata itu tampak menyilaukan layaknya cahaya matahari musim panas; panas, tajam, namun mempesona.
Saat itulah aku sekali lagi menyadari kalau aku tidak bisa melarikan diri. Tak peduli bagaimana aku mencoba menghindarinya, dia takkan membiarkan aku pergi sampai aku memberikan jawaban yang tepat. Aku perempuan, dan dia juga sama. Yah, aku sangat memahami itu.
“Setidaknya, beritahu namamu.”
“Ahh, begitu. Maaf. Namaku Akane Rindou. Dan, erm, kamu?”
Aku punya ingatan yang samar tentang nama itu.
Yoshi-kun sering menyebutkannya berkali-kali.
Firasatku semakin menjadi nyata. Rasanya sama tidak nyamannya dengan sesuatu yang menjilati leher dan punggungku dengan kasar.
Namun meski begitu, aku mengekang berbagai hal yang muncul di hatiku, menghela napas, dan membawa rambutku yang menjuntai ke belakang. Aku tidak tahu apakah aku terlihat cukup sombong. Tapi setidaknya, akan baik jika aku bisa menahannya sebentar.
“Aku Yuki Shiina. Jadi kamu ya yang namanya Akane-chan? Aku sering mendengarmu dari Yoshi-kun.”
“Siapa itu Yoshi-kun?”
“Haruyoshi Segawa-kun. Begitulah caraku memanggilnya. Kamu dari angkatan yang sama dengannya, kan?”
Bahkan sebagai perempuan, Akane-chan adalah gadis yang cantik.
Badannya yang tinggi dan langsing tampak gesit. Di bawah bulu matanya yang panjang itu terdapat mata yang berapi-api dan penuh kebanggaan, namun ada beberapa kejujuran yang tersembunyi di dalamnya, dan kelemahan yang menyertainya. Rambut yang lembutnya sangat membuat iri.
Kurasa sebagian besar anak laki-laki tak bisa menolak gadis semacam dirinya.
Tenggorokanku semakin kering.
“Lalu, apa kamu punya urusan denganku, Akane-chan?”
“Ermm, ya. Sebenarnya, aku ingin bertanya, apa hubunganmu dengan Haru, Shiina-san? ”
Tiiinnnnn.
Klakson mobil terdengar dari suatu tempat. Kedengarannya dekat, dan jauh.
Ini terjadi di musim dinginku yang ke-19.
Begitulah pertemuanku dengan Rindou Akane.
Ini bukanlah sesuatu yang bisa diselesaikan dengan sepatah kata belaka, begitulah aku memberi tahu pada Akane-chan, dan tanpa membalas pertanyaannya, aku pergi ke kafe yang sering kukunjungi beberapa kali. Begitu aku melihat lampu-lampu interior kafe kosong yang tampak tidak mengesankan itu, aku menghela nafas lega. Aku mendorong pintu ke samping, dan bel berbunyi.
Selamat datang, ucap seorang Onee-san sambil tersenyum. Tolong untuk dua orang, ujarku padanya, dan pergi ke tempat dekat jendela, sama  seperti yang aku lakukan saat pertama kali mengunjungi tempat ini bersamanya.
“Erm, Shiina-san.”
Saat aku baru duduk, Akane-chan memanggil namaku.
Untungnya, suaranya cukup lembut sehingga aku bisa berpura-pura mengabaikannya. Aku memesan kopi hitam panas. Akane-chan tidak memesan apa-apa, dan menatapku dengan penuh perhatian.
Begitu pelayan Onee-san itu pergi, aku bertanya dengan suara yang lebih keras dari yang diniatkan.
“Apa kamu pernah ke toko ini sebelumnya?”
“Tidak pernah.”
“Begitu ya. Aku pernah mengunjungi tempat ini bersama Yoshi-kun sebelumnya. ”
Buat apa aku pamer? Akulah yang kalah jika mengatakan hal-hal seperti itu di sini. Kenyataan kalau aku datang ke toko ini bersamanya sudah tidak lagi ada di dunia ini.
Aku merasa menyedihkan dan tragis karena harus bergantung pada fakta-fakta semacam itu.
“Aku harap kamu akan menjawab pertanyaanku.”
Dia kembali ke topik, mungkin tidak senang dengan apa yang aku katakan.
Bagaimanapun juga, suaranya tetap terdengar lembut.
“…Tentang apa?”
“Hubunganmu dengan Haru.”
Aku tidak ingin memesan yang lain, tetapi aku perlahan membolak-balik halaman buku menu di tangan. Nasi kari, roti isi. Yoshi-kun menyukai pasta Napolitan. Hei, apa kamu tahu hal ini, Akane-chan?
“Meski kamu bertanya padaku tentang hubungan kami, aku tidak tahu harus berkata apa.”
Aku membalik ke halaman berikutnya. Ada kopi Blue Mountain, Kilimanjaro dan lain-lainnya. Berbagai nama kopi terdaftar dengan bagus. Di halaman yang berdekatan, ada nama-nama teh hitam. Aku ingat Yoshi-kun pernah mengatakan sesuatu seperti, siapa juga yang mau memesan minuman seperti ini, mungkin bos perusahaan.
“Seorang teman?”
“Entah?”
“Kenalan?”
“……...”
“... Kamu bukan pacarnya, ‘kan?”
Aku membanting menu secara naluriah. Uh oh. Tidak ada pilihan. Aku hanya bisa meletakkan kembali buku menu ke posisi semula. Akhirnya, aku melihat ke arah Akane-chan.
“Hei, katakan, memangnya itu ada hubungannya denganmu? Kamu cuma teman sekelasnya, ‘kan? ”
“Kami bukan hanya teman sekelas.”
“Terus apa? Kenalan? Teman?”
Aku membalas balik dengan kata-kata yang baru diucapkannya sepuluh detik yang lalu.
“Kamu bukan pacarnya, kan?”
“Tidak juga.”
Pada saat ini, mata Akane-chan menyala dengan emosi yang sangat berbeda. Kemarahan, atau lebih tepatnya, kebencian. Ahh, ini memudahkanku. Kita bisa berkelahi di sini.
Karena aku akan menemukan diriku sangat menyedihkan di hadapan kejujuran itu. Aku tak bisa lagi melihat siapa pun dengan mata seperti itu lagi.
“Kalau begitu, tidak masalah apa hubunganku dengan Yoshi-kun sekarang. Aku tidak punya sesuatu untuk dikatakan kepada teman sekelas belaka– ”
Sebelum aku menyelesaikan kalimatku, sebuah suara berbunyi.
Plak.
Aku menyadari kalau aku ditampar, karena pipiku terasa panas.
“Sudah kubilang kalau aku bukan teman sekelas biasa. Aku selalu menyukainya. “
“Tapi itu hanyalah apa yang kamu inginkan.”
Begitu aku menjawabnya dengan tenang, Akane-chan mengangkat tangannya lagi.
Kali ini, aku sudah siap secara mental, karena aku tahu amarahnya sudah di ambang batas.
Tapi tangannya yang terangkat perlahan jatuh, dengan lemas.
Dia menggigit bibirnya dengan keras, matanya dipenuhi air mata saat dia dengan ceroboh meraih tasnya. Maaf sudah menamparmu, katanya, dan lari meningkalkan kafe.
Fiuh, aku menghela nafas, dan bahuku menjadi lemas. Tanganku gemetaran. Untung dia tidak menyadarinya. Aku benar-benar tidak ingin melakukan itu. Tetapi karena dia takkan membiarkanku pergi, aku tak punya alasan untuk mundur.
Apalagi karena dia seorang gadis yang sangat mempesona, rasanya sungguh menjengkelkan.
Karena kami berdua takkan mundur, kami hanya akan menjadi musuh selamanya.
Segera setelah itu, pelayan Onee-san membawa kopi pesananku. Dia tidak mengatakan apa-apa, dan meletakkannya di atas meja dengan senyumnya yang biasa. Ahh, mengapa aku memesan ini lagi? Aku menyesap kopi panas, dan meringis.
“Ow.”
Lidahku kepanasan.
Kopi ini jauh lebih pahit dibandingkan dengan semua yang pernah aku rasakan.

❀❀❀❀

Pagi hari. Aku terbangun, dan menemukan fragmen-fragmen dari mimpiku perlahan menghilang.
Ini sering terjadi dari waktu ke waktu. Layaknya kepingan salju yang tergenggam di tanganku perlahan mencair, aku tidak bisa menahan kepingan-kepingan di dalam ingatanku.
Dalam mimpiku, aku berpegangan tangan dengan seseorang. Aku tersenyum.
Tetapi saat aku terbangun, aku tidak ingat siapa orang itu. Emosi di hatiku juga ikut lenyap. Akhirnya, aku juga lupa kalau aku memiliki mimpi seperti itu.
Ini mungkin sama seperti bagaimana diriku lenyap dari ingatannya.
Yoshi-kun, yang dulunya kelas 2 SMP, sekarang sudah duduk di kelas 3 SMA.
Sejak itu, Ia, yang dulunya lebih pendek dariku, sekarang tumbuh jauh lebih tinggi, dan aku tak punya pilihan selain agak mendongak untuk melihatnya. Melihat bagaimana wajahnya tidak lagi banci, kurasa tak ada lagi yang akan mengatakan bahwa Ia terlihat seperti seorang gadis sekarang.
Ini adalah bukti bahwa empat tahun telah berlalu, periode masa yang tidaklah singkat.
Tapi dalam empat tahun kehidupan Yoshi-kun ini, keberadaanku tak pernah ada.
Setiap Selasa malam, pukul 10.54 malam, dunia akan menghapus keberadaanku.
Benar-benar tanpa jejak, layaknya salju putih yang meleleh saat musim semi tiba. Keberadaanku takkan pernah ada di dunia ini.
Dan setiap hari, aku akan bertemu Yoshi-kun lagi dan lagi.
Semuanya demi satu tujuan, yaitu untuk membuat Yoshi-kun menyukaiku apa pun yang terjadi.
Aku selesai mandi, dan memulai persiapanku. Gaya rambut yang Yoshi-kun suka. Pakaian yang Yoshi-kun suka. Sepertinya Ia menyukai gadis yang mengenakan mantel yang agak besar. Tampaknya Ia menganggap itu imut saat aku meluarkan beberapa jari dari lengan bajuku. Ia bilang itu disebut Moe atau apalah. Aku lupa kapan ketika Ia menceritakan hal itu dengan penuh semangat.
Aku tidak bisa sepenuhnya mengerti. Tapi yah, karena Ia menyukainya, ya sudah. Aku akan menjadi gadis imut untuknya.
Setelah sekian lama, akhirnya aku mendandani diriku menjadi sesuai apa yang Yoshi-kun inginkan.
Dan dengan perasaan yang tulus, aku menyemprotkan aroma yang manis.
Ini adalah parfum sakura yang katanya takkan Ia lupakan.
Ketika aku meninggalkan hotel, langit benar-benar berwarna kelabu.
Sepertinya akan turun salju lagi.
Biarkan salju menumpuk, jadi aku berdoa.
Aku meninggalkan hotel, dan berputar balik lagi, melemparkan sarung tangan merah ke tempat tidur. Aku tidak tahu apa yang harus dilakukan dengan tangan pucatku sekarang seusai melepas sarung tanganku, jadi aku menekuk ujung jari yang memerah, sebelum pergi ke sekolah untuk bertemu Yoshi-kun lagi.
Hingga saat ini, aku sudah berbicara dengan Yoshi-kun sebanyak 213 kali.
Tetapi tak pernah sekalipun Yoshi-kun mengatakan kalau Ia menyukaiku.

❀❀❀❀

Aku mendengar pekikan tajam dari kursi yang berdecit di lantai, dan mengangkat kepalaku yang terbaring di atas meja.
Ruangan kelas anak kelas 3 punya banyak kursi kosong, karena sekarang adalah waktu dimana para murid bebas untuk bersekolah. Nijou, orang yang duduk di depanku, belum pernah masuk selama seminggu, jadi sudah lama aku tidak mendengar kabarnya.
Namun, orang yang duduk bukanlah teman sekelasku dengan rambut runcing ikoniknya. Orang yang duduk adalah seorang gadis dengan rambut pendek sebahu. Jika dia tidak berbicara, dia akan menjadi gadis yang imut, cantik, tapi dia tidak berniat menyembunyikan kepribadiannya yang kasar saat dia berseri-seri.
“Yo, Haru.”
“Apa, Akane?”
“Apa maksudmu, apa? Aku disini. Emangnya kamu punya masalah dengan itu? "
Dialah yang tampaknya memiliki masalah saat dia cemberut. Jika ini adalah rutinitas biasa, tindak lanjutnya akan menjadi pukulan ringan. Jujur, aku ingin menghindarinya.
Untungnya, ada hal lain untuk didiskusikan, jadi aku bisa memanfaatkannya.
“Tidak juga. Hanya sedikit kaget. Jarang-jarang melihat rambutmu tidak dikuncir, dan aku tidak tahu. Rasanya memberi kesan yang sangat berbeda. Kamu memanjangkannya sejak setengah tahun lalu, ‘kan? ”
“Ahh, ya. Kakak perempuanku memberitahu cara merawat rambut, dan aku bekerja keras untuk itu. Sangat menyenangkan, meski ada beberapa bagian yang menyusahkannya. ”
Sejak Akane pensiun dari aktivitas klub di musim panas, tindak-tanduknya berubah menjadi sangat feminim.
Dia memanjangkan rambutnya, dan sepertinya dia juga mulai merias wajahnya. Tidak terlalu jelas jika aku tidak memperhatikannya, tapi sedikit riasan tersebut meningkatkan daya tariknya secara dramatis. Yang aku tahu adalah bahwa selama setengah tahun terakhir, ada lima orang yang mencoba merayu Akane.
Dia memainkan ujung jarinya, mungkin karena aku menatapnya, dan dia bertanya,
“Apa menurutmu ini aneh?”
Dia bertanya dengan ragu-ragu. Kurasa daya tariknya adalah ekspresinya selalu berubah.
“Tidak, tidak sama sekali. Aku merasa malah itu manis.”
“Benarkah? Syukurlah. Eh, ya. Aku sampai lupa mengenai apa yang ingin aku bicarakan. Aku baru saja mengobrol dengan Takuma. Mau pergi ke kuil untuk berdoa hari ini?”
“Bukannya kita sudah ke sana?”
“Bagaimanapun, kita bisa pergi ke sana berkali-kali, mungkin ...”
Apakah begitu? Bukannya Tuhan akan merasa terganggu karena direcoki oleh doa yang tak terhitung jumlahnya? Atau akankah dia memenuhi keinginan orang-orang karena dia merasakan gairah dalam doa mereka?
Baiklah,
"Tidak, aku takkan pergi hari ini. Aku ada janji. ”
Aku harus menggelengkan kepala dan menolak.
Karena aku punya janji dengan seorang gadis yang baru saja aku temui.
Begitu aku mengatakan itu, Akane mengerutkan kening, dan suasana hatinya berubah 180 derajat. Yah, ini seperti hujan turun di musim panas. Beberapa sensasi badai petir gila datang. Wajahnya benar-benar tertutup awan kelabu.
“... Dengan Yuki Shiina-san? Dia cantik ya.”
“Hah? Bagaimana kau bisa tahu?”
“Ah. Jadi benar ya. Kamu terus bersamanya akhir-akhir ini, ‘kan Haru? Kurasa kamu punya banyak waktu luang sebelum ujian. Kita adalah peserta ujian. Sudah tidak ada waktu untuk keluar dan bermain dengan orang yang begitu konyol, tahu? ”
“Bukan itu ...”
“Pokoknya, itu janji.”
Aku ingin menolaknya, tapi kata-kata Akane menelanku. Semua orang di kelas menatap kami, karena suaranya yang keras. Beberapa dari mereka, semuanya perempuan, menonton dengan mata berkilauan. Mereka seakan-akan berharap melihat apa yang akan terjadi.
“Tidak, tunggu sebentar, Akane.”
Akane meninggalkan ruang kelas, seolah-olah dia tidak mendengarku. Meski begitu, aku harus berteriak.
“Aku sudah punya janji sama orang lain!”

❀❀❀❀

Bel jam 3.30 sore berbunyi, dan aku berdiri, bergerak dari tiang listrik ke gerbang sekolah. Kemarin, Aku berjanji dengan Yoshi-kun kalau kita akan bertemu di gerbang sekolah.
Aku merapikan rambutku dengan bantuan dari cermin tangan, menggulung syal-ku, dan menghirup udara ke ujung jari yang sakit dan beku. Rasanya dihangatkan sebentar, namun segera mendingin lagi. Setelah Yoshi-kun datang, ayo kita pergi dan makan sesuatu yang hangat. Aku akan mentraktirnya sebagai hadiah atas kerja kerasnya.
Tapi segera, jam 4 sore berlalu, dan mendekati 4:30 sore,  Yoshi-kun masih belum menampakkan diri.
Aku tidak terlalu khawatir. Aku mengerti Ia punya alasan tersendiri untuk belum hadir.
Misalnya, ada kemungkinan Ia bertanya kepada gurunya tentang pertanyaan yang Ia selesaikan.
Tapi kakiku mengabaikan semua logika tersebut ketika aku pergi ke dalam sekolah. Aku berpikir tentang gadis yang aku temui kemarin. Dia terlihat cantik. Begitu aku mengingat kembali matanya yang jujur, dadaku terasa sakit. Rasanya sungguh menyakitkan. Hei, Yoshi-kun. Aku sedang kesakitan. Kenapa ini?
Ketika aku semakin dekat ke sekolah, ada banyak siswa yang hendak pulang. Aku pun bergegas.
Ini pertama kalinya aku menjemputnya di sekolah.
Karena aku tidak pernah sekalipun memasuki kehidupan sekolah Yoshi-kun.
Karena kehadiranku, Yoshi-kun kehilangan banyak waktu.
Ia seharusnya menghabiskan waktu bersama keluarga dan teman-temannya, tetapi malah berakhir dengan kesepian. Dalam ingatannya, Ia selalu sendirian salam setiap kesempatan.
Jadi setidaknya, kupikir aku tidak mengambil ingatannya di sekolah.
Dan bagiku, pada saat ini, aku tidak berminat untuk mematuhi aturan yang aku tetapkan.
Aku memasuki gerbang sekolah. Aku tidak mengenakan seragam sekolah, dan tidak terlihat seperti seorang guru, jadi aku benar-benar menonjol. Berbagai tatapan menyengat kulitku. Aku sudah terbiasa dengan ini, tapi pada hari ini, aku sedikit terganggu.
Aku mulai berpikir, dengan cara yang tidak menguntungkan, bila aku jadi seorang siswa di sini, tidak ada yang akan menatapku seperti ini.

❀❀❀❀

Tak peduli berapa kali aku mencoba berbicara dengan Akane, semuanya sia-sia. Jarang-jarang melihatnya semarah ini. Tak diragukan lagi kalau aku menyakitinya, tapi aku tidak tahu apa penyebabnya. Segera setelah pelajaran selesai, aku pergi untuk berbicara dengannya lagi, tapi dia malah bersembunyi di toilet perempuan, dan aku tidak punya kesempatan untuk berbicara dengannya.
Setelah setidaknya mencoba 6 kali, sepulang sekolah.
“Sudah kubilang kalau aku sudah membuat janji. Dengarkan aku, Akane. ”
Aku pergi ke koridor yang menghubungkan gedung klub dan gedung sekolah. Lantai bambu bergetar sedikit karena bobot tubuh kami.
“Aku mendengarnya. Jadi maksudmu kamu lebih memilih kencan dengan gadis yang baru saja kamu temui ketimbang diriku? ”
“Tidak juga. Bagaimana kalau besok? Apa kau mau pergi ke kuil besok?”
Akane mungkin merasa kesal karena mendengar kata-kata yang sama berulang kali, dan akhirnya berbalik ke arahku.
Kemudian, sesuatu yang luar biasa terjadi. Aku pikir Akane akan benar-benar marah, dan sudah siap dipelototi. Namun, dia melihat ke arahku, pandangannya tampak tertegun, dan setelah beberapa saat, memelototiku. Apa-apaan dengan reaksinya itu?
“…Oke. Kalau begitu, aku minta waktumu. Sebentar saja. Sebelah sini.”
Kemudian, dia meraih ujung seragamku, dan menyeretku lebih jauh.
“Tunggu, Akane. Aku bisa berjalan sendiri. Jangan tarik aku seperti ini.”
Aku mencoba menenangkan diriku, memastikan supaya tidak jatuh ketika diseret olehnya.

❀❀❀❀

Aku sedang berada di dalam sekolah, mencari keberadaan Yoshi-kun. Aku melewati halaman, dan pergi ke koridor yang berlawanan, mendengar beberapa suara. Mereka dari belakangku. Beberapa orang yang berada di koridor beru saja aku lewati.
“Sudah kubilang kalau aku sudah membuat janji..”
Aku mencari sumber suara tersebut.
Tapi aku tak pernah bisa melihat ke belakang, dan bersembunyi di balik pilar. Apa? Mengapa? Aku tak perlu bersembunyi segala. Aku harus berbicara dengannya. Katakan sesuatu.
Tetapi tubuhku tidak mau menurut.
“Dengarkan aku, Akane.”
“Aku mendengarnya. Jadi maksudmu kamu lebih memilih kencan dengan gadis yang baru saja kamu temui ketimbang diriku? ”
“Tidak juga. Bagaimana kalau besok? Apa kau mau pergi ke kuil besok?”
Besok. Begitu aku mendengar kata tersebut, tubuhku langsung bergidik.
Besok, aku akan lenyap dari ingatannya. Hari  'Besok' tersebut akan diambil oleh orang lain. Aku tiba-tiba kehilangan keseimbangan, dan terjatuh. Aku tak bisa mengerahkan kekuatan di kakiku. Aku nyaris tak berhasil menopang diri dari dinding, dan memandang ke arah sumber suara, lalu bertukar pandang dengan seseorang.
Dia sedikit terkejut ketika dia melotot. Kemudian, katanya, memungkinku untuk mendengarnya.
“…Oke. Kalau begitu, aku minta waktumu. Sebentar saja. Sebelah sini.”
Dia kemudian menarik lengan Yoshi-kun, dan pergi begitu saja.
Mereka pergi, dan meninggalkan kekosongan yang kontras dengan keributan sebelumnya, menyebar seolah-olah tertinggal di sana.
Mengapa meski aku ingin menangis, aku tak bisa mengeluarkan suara sedikit pun?
Aku berdiri di sana sekitar dua menit, merasa terpana.
Meski begitu, aku mengumpulkan keberanianku, menggenggam sedotan ketika aku pergi ke suara yang menghilang.
Jika aku tidak melakukannya, aku akan kehilangan sesuatu.
Firasat itu memaksaku untuk bergerak.
Keduanya menghilang ke gedung sekolah yang sepi.
Tampaknya itu adalah bangunan ruang klub. Pada hari festival budaya, Yoshi-kun mengajakku keliling di sekitar sekolah, dan aku mengingat suaranya, “Aku terkadang bermain di kelas ini. Jangan bilang siapa-siapa ya. ” Ia meletakkan jari telunjuknya di bibirnya, menyuruhku diam.
Aku bahkan bukan murid di sini. Kepada siapa aku seharusnya mengatakan ini? Aku sedikit terkejut, tapi aku senang karena Ia bersedia berbagi rahasia denganku, ya, jadi aku mengangguk patuh. Jika aku ingat, kelas itu–
Aku berlari menaiki tangga, dan pada belokan, aku melangkah cepat lagi. Meraih pegangan, aku mengerahkan kekuatan ke pahaku saat aku bergerak ke lantai dua. Aku tak bertemu siapa pun di jalan. Aku pergi ke lantai tiga, persis seperti ini. Langkah kakiku sendiri bergema di koridor.
Akhirnya, aku tiba di depan ruangan paling barat di lantai tiga.
Ini adalah ruangan yang sudah tidak digunakan. Namun, ada hawa kehadiran manusia di dalamnya. Aku tak bisa mendengar dengan jelas, tapi aku tahu kalau ada orang yang berbicara. Yoshi-kun pasti ada di dalam. Ayo pergi. Jika aku pergi sekarang, aku masih sempat.
Aku melakukan yang terbaik untuk mempertahankan senyumku sambil meletakkan tanganku di daun pintu. Pada saat itu, suara nyaring terdengar.
“Aku menyukaimu, Haru. Tolong jadilah pacarku.”
Matanya yang selalu tulus pasti memikat Yoshi-kun.
Aku menjauhkan tanganku dari daun pintu, dan berlari menuruni tangga.
Harus kemana aku pergi? Di dunia ini, tidak ada tempat bagiku untuk pergi. Tempatku selalu diambil.
Namun, meski begitu, aku lebih mengutamakan melarikan diri, daripada tetap tinggal.

❀❀❀❀

Pintu ruangan kelas yang kosong ditutup, Hanya ada aku dan Akane yang ada di ruangan ini.
Pada saat itu, suasana di sekitar kami mendadak berubah.
Bahkan, diriku yang bodoh ini tahu apa yang akan terjadi mulai sekarang.
“Haru.”
Namaku dipanggil, ya, dan aku menjawab, tetap kaku. Hmmph, Akane mendengus.
“Kenapa kamu gugup begitu?”
“Yah….”
“Jangan khawatir. Aku takkan memakanmu. Dengarkan saja perkataanku, oke? ”
“Oke.”
Aku mengangguk, dan menghadap gadis yang ada di hadapanku. Mata kami bertemu. Sesuatu akan segera dimulai, atau lebih tepatnya–
“Ya. Makasih. Um, aku selalu tertarik padamu, Haru. Tapi aku baru menyadarinya saat liburan musim panas SMP. Ingat ketika kita bertemu sekali di halaman belakang sekolah?”
Apa itu ketika di mana Akane sedang bimbang mengenai apakah dia harus menyerah pada berenang?
“Dulu, kamu pernah bilang, setidaknya aku bisa mendengar keluhanmu. Kamu mungkin berpikir itu tidak seberapa, tetapi bagi diriku, itu sangat berarti.”
Pencahayaan di sekeliling kami sedikit redup, jadi aku tidak menyadarinya, tapi kaki Akane gemetaran. Mata jujurnya dipenuhi dengan cahaya yang berkelap-kelip. Namun, dia adalah tipe orang yang mampu mengatasi ketakutan atau kegugupannya.
“Aku sudah memikirkannya berkali-kali. Mengenai apa yang terjadi setelah aku lulus dari SMA, atau jika aku masuk universitas. Tapi kurasa ini adalah kesempatan terakhir. Aku akan mengatakannya sekarang ...”
Akane kemudian mengucapkan kata-kata itu, dengan suara keras khasnya,
“Aku menyukaimu, Haru. Tolong jadilah pacarku.”
Kata-katanya mirip seperti batu yang dilemparkan ke dalam hatiku. Itu masuk dengan celepuk, dan riak menyebar. Dalam riak yang menyebar tersebut, sekilas,  aku melihat masa depanku bersama Akane.
Kami berdua tampak sangat bahagia.
Aku tidak membenci Akane.
Yah, jujur ​​saja, aku memang menganggapnya imut.
Aku bisa membicarakan banyak hal dengannya, dan kami menyukai jenis makanan yang sama. Kami mempunyai teman yang sama, dan kami senang berolahraga di hari-hari libur.
Pasti ada saat di mana kami bertengkar. Atau malah bisa dibilang sering.
Tapi setelah bertengkar, kami selalu bisa baikan. Aku tak tahu sudah berapa kali kami berdebat, tapi kami selalu bisa tersenyum dan memperbaiki keadaan sampai sekarang. Aku benar-benar tidak bisa mengatakan kalau aku menyukai Akane sebagai seseorang dari lawan jenis, tetapi aku yakin kalau kami bisa terus perlahan-lahan menebus apa yang kurang.
Karena jelas, ada waktu yang kami habiskan bersama.
Meski begitu, kenapa?
Pada saat ini, aku dengan jelas mendengar seseorang memanggil namaku. Itu adalah nama yang seharusnya tidak bisa kudengar.
“Yoshi-kun.”
Hanya ada satu orang di seluruh dunia yang memanggilku begitu.
Aku tersadar, dan mendengar langkah kaki datang dari suatu tempat. Langkah kaki tersebut semakin jauh. Ini mustahil, tetapi hanya ada satu gadis yang ada di pikiranku.
Dan gadis itu bukanlah Akane.
“Maaf.”
Tanpa aku sadari, aku sudah menundukkan kepala.

❀❀❀❀

Dadaku terasa sakit. Mungkin karena aku berlari, dan paru-paruku menghirup banyak udara dingin. Iya. Pasti karena itu. Tidak ada alasan lain lagi.
Karena aku tidak menyukai Yoshi-kun.
Siapa pun bisa. Hanya saja Yoshi-kun sepertinya cocok dengan yang aku inginkan, dan kebetulan berada di depanku. Itu sebabnya aku memilihnya.
Dengan telapak tanganku yang membeku, aku melakukan yang terbaik untuk mengusap penglihatanku yang buram. Aku tak tahu apakah aku menggunakan terlalu banyak tenaga, tetapi mataku terasa agak panas, terbakar karena rasa sakit. Seharusnya aku mengenakan sarung tangan. Haah. Rasanya sulit sekali untuk bernafas. Tenggorokanku haus. Aku menggertakkan gigiku dengan keras, sama seperti malam ketika aku menjerit ke langit.
“Bodoh, bodoh bodoh bodoh bodoh bodoh bodoh bodoh bodoh — ”
Sebenarnya perasaan ini milik siapa? Kepada siapa kata-kata ini ditujukan?
Akane? Yoshi-kun?
Atau diriku sendiri?
Aku mengulangi kata-kata itu berulang kali, tidak tahu mengapa.
Kata yang menandakan orang bodoh disampaikan berkali-kali ke dunia, mencair ke dalam kegelapan malam.

❀❀❀❀

Pikiranku terlalu sibuk memikirkan Yuki.
Aku baru saja ditembak oleh gadis yang sudah lama aku kenal, namun diriku, karena begitu tidak berperasaan, malah memprioritaskan gadis lain.
Satu jam telah berlalu sejak waktu pertemuan, dan seperti yang kuduga, dia tidak ada di sana. Aku merasa hatiku sakit.
Jauh di dalam telingaku terdengar langkah kaki seseorang yang pergi, dan itu membuatku bergerak.
Itu adalah pertama kalinya dalam hidupku–
Pertama kalinya aku sangat ingin bertemu seseorang.
Aku ingin bertemu Yuki.
Jadi aku terus berlari.

❀❀❀❀

Pada akhirnya, aku tidak mengetahui apa rasa sakit yang tersisa ini. Aku terus berlari, berlari, sampai aku mencapai tanah kosong yang tidak terlalu jauh dari stasiun.
Belum lama ini papan iklan di tanah ini diubah. Di musim semi yang akan datang, sepertinya akan ada gedung pencakar langit yang dibangun di sini. Hal lain yang penting bagiku akan diambil sekali lagi.
Di sinilah Shiro berbaring dalam istirahat abadinya.
Dengan napas terengah-engah, aku mencoba mengatur napasku. Mulutku benar-benar kering, jadi aku terus menelan air liur. Mengapa? Karena penasaran, aku terus menggosok mataku, tetapi itu tidak hilang.
Ini pasti kenyataan.
Tanyaku dengan enggan. Aku bertanya kepada orang yang entah bagaimana tiba di tempat itu sebelum diriku, yang seharusnya tidak berada di ruang kosong ini.
“Kenapa kamu ada di sini?”
Ia menyatukan telapak tangannya, seolah-olah sedang berdoa. Begitu Ia mendengar suaraku, anak laki-laki tersebut mengangkat kepalanya.
Anak laki-laki tersebut adalah Yoshi-kun, dengan mengenakan mantel sekolah yang telah selalu Ia keluhkan. Tampaknya Ia takkan pulang ke rumah dalam waktu dekat. Di kakinya ada tas sekolah tua.
“Dulu, ada kucing cantik yang aku kubur di sini. Aku kebetulan memikirkannya ketika melewati jalan di sana, jadi aku memutuskan untuk datang ke sini untuk mendoakan rohnya. ”
Ujarnya sambil berdiri, lalu membersihkan lututnya.
“Akhirnya ketemu juga. Karena aku tidak dapat menemukanmu di tempat yang kita sepakati, aku datang untuk mencarimu. ”
“Aku akan kembali.”
Aku berbalik, dan bergegas pergi. Namun, baru dua meter berjalan, tanganku diraih. Tangannya sangat dingin, mungkin karena Ia berada di luar sepanjang waktu. Dan tanganku yang seharusnya lebih dingin, sedikit lebih hangat karena aku telah menggosok tanganku sendiri. Semuanya berbeda dari masa lalu, suhu tangan, percakapan, orang yang dikejar. Aku yang mengejarnya sampai sekarang.
“Apa yang sedang kamu lakukan?”
“Maaf karena sudah melanggar janji. Apa kau marah?”
“Tidak juga.”
“Aku minta maaf padamu. Aku sangat menyesalinya.”
“Maaf? maaf tentang apa?”
Secara naluriah aku memarahinya.
“Bukannya kamu selalu seperti ini? Bukannya kamu sudah melanggar janji kita berkali-kali? Mengapa kamu baru meminta maaf sekarang? Lepaskan aku. Tanganku sakit!”
Aku tahu aku hanya membuat ulah, tapi aku tidak punya pilihan lain. Aku belum menetapkan perasaanku. Kata-katanya hanya menambah bahan bakar untuk emosiku yang tegang.
Aku butuh waktu untuk mengembalikan sifat diriku yang biasa.
Jadi lepaskan aku.
“Tunggu. Maaf. Tolong jangan menangis. Aku tak pernah menyangka kau akan sesedih ini.”
Ah, kamu masih mengatakan hal seperti itu sekarang? Apa kamu perlu mengulangi kesalahpahaman ini lagi?
Aku tidak bisa menerimanya.
Aku tidak bahagia.
Aku terluka.
Aku merasakan panasnya air mata di pipiku.
“Karena tidak seperti ini. Karena kamu tidak tahu. Itu sebabnya aku tidak bahagia, itu sebabnya aku sedih!”
Aku menggebuk dada Yoshi-kun dengan keras. Setiap gebukan yang aku berikan, tanganku sakit. Aku berdarah di dalam. Meski begitu, aku tak bisa menahan diri untuk tidak menggebuknya.
“Aku kesepian karena kamu takkan menyukaiku. Aku menderita.”
Yoshi-kun tetap diam saat Ia membiarkanku memukulnya.
“Karena, kamu milik orang lain selain diriku, dan besok, kehidupan sehari-hari denganmu takkan ada lagi, Yoshi-kun. Aku merasa kedinginan, takut– ”
Aku terus menggebuk sampai akhir, brak, menyebabkan hantaman keras. Tanganku yang menyentuh Yoshi-kun terasa panas. Gedebuk. Aku menjatuhkan keningku di dadanya. Dahiku panas. Aku merasakan detak jantung Yoshi-kun. Inilah yang aku inginkan.
Inilah yang aku hilangkan.
“Jadi itu sebabnya kau menangis?”
Butuh waktu lama untuk menagmbil nafas, dan aku hanya bisa mengangguk.
Rasanya sangat aneh.
Yoshi-kun lah yang seharusnya menderita. Yoshi-kun lah yang harus menangis. Yoshi-kun lah yang seharusnya mengingat namaku.
Kenapa harus aku yang menderita?
Kenapa harus aku yang menanggung ingatan menyakitkan seperti ini?
Kenapa? Kenapa? Kenapa hanya aku yang mengingat Yoshi-kun? Ini tidak adil. Kenapa sesuatu tentangku terus menghilang?
“Dengar, aku mengerti apa yang kamu katakan. Memang benar kalau aku mungkin tidak tahu apa-apa tentang dirimu. Tidak, aku benar-benar tidak tahu tentang dirimu. Tapi…”
Sambil mengatakan itu, Yoshi-kun mengulurkan tangannya menyentuh pipiku. Dengan sentuhan yang lembut dan tak tertahankan, Ia mengangkat kepalaku. Ini adalah tangan kasar dari seorang cowok. Bulir Air mataku membasahi tangannya. Ia tersenyum, lalu mengerutkan kening.
“Aku tidak setuju dengan dua kalimat terakhir yang kau katakan, jadi aku akan menanggapi itu.”
“Heh?”
Yoshi-kun menekuk jari tengahnya, dan menahannya dengan ibu jarinya. Saat berikutnya, jari tengah dijentikkan ke dahiku. pletak. Itu tidak terdengar seperti keningku dipukul. Aku merasakan dahiku sakit, dan buru-buru menutupinya.
“Aduh. Apa yang sedang kamu lakukan?”
“Kaulah yang duluan memukuliku. Aku juga kesakitan tau.”
“Tapi kamu ‘kan cowok.”
“Itu tidak ada hubungannya. Siapa pun yang dipukuli pasti akan merasa sakit.”
Bagiku.
Aku akhirnya berteriak.
“Aku lebih terluka ketimbang dirimu, Yoshi-kun. Kamu pacaran dengan gadis yang bernama Akane-chan, kan? Dia menembakmu, ‘kan?”
Kamu meninggalkanku. Aku sendirian karena kamu, tahu?
“Bagaimana kau bisa tahu?”
Aku tidak bilang kalau aku menguping pembicaraan mereka. Sementara aku tetap diam, Yoshi-kun menghela nafas.
“Ya, dia emang menembakku. Tapi aku menolaknya.”
“Kenapa?”
Menghadapi pertanyaanku, Yoshi-kun, yang dipukuli dan dimarahi, sedikit goyah. Aku tak tahu apa yang menyebabkan dirinya membuat wajah seperti itu.
Setelah memikirkannya sejenak, Ia lalu menutup matanya, dan kemudian beberapa saat kemudian, membukanya, lantas berkata..
“Yah, karena aku menyukaimu.”
Aku merasa jantungku terhenti. Sangat mengejutkan. Aku tak mengerti apa yang Ia katakan. Apa, apa yang baru saja Yoshi-kun katakan?
“…Hah?”
“Sudah kubilang, ‘kan? Aku tak bisa setuju dengan dua kalimat terakhir. Aku menyukaimu, jadi aku tak berniat jadi milik orang lain selain dirimu.”
Sepertinya aku tidak salah dengar.
“Kapan itu terjadi?”
“Mungkin dari saat kita pertama kali bertemu. Tidak. Kurasa aku jatuh cinta padamu sejak kau pertama kali berbicara denganku. ”
Inilah kata-kata yang benar-benar ingin kudengar.
Akan tetapi, seseorang di dalam hatiku bersikeras kalau perasaan itu hanyalah rasa iba.
Jika memang demikian, aku tidak membutuhkannya. Pengakuan semacam ini tidak ada artinya. Aku marah dan menangis, lalu Ia yang lembut hanya mengatakan ini padaku.
“Cukup dengan kata-kata palsu itu!”
Jika Ia tidak mengatakan kalau Ia menyukaiku dari lubuk hatinya, aku tak bisa tetap di sana. Jika tidak ada panas yang membakar tubuh, tidak ada yang bisa membuatku jatuh. Suatu hari, aku akan lenyap.
“Aku serius.”
“Kamu bohong.”
“Aku tidak berbohong.”
Menurutnya, sudah berapa kali aku mencoba ini?
Aku melakukan berbagai hal untuk membuatnya menyukaiku. Tapi Ia tidak pernah sekalipun berkata, aku menyukaimu. Perasaan yang Ia miliki untukku tidaklah cukup untuk membuatnya mengaku.
Kali ini, kami hanya berjalan-jalan sepulang sekolah, tidak ada yang luar biasa, dan mana mungkin Ia akan menyukaiku karena ini. Pada kenyataannya, Ia bilang kalau Ia menyukaiku. Aku tidak bisa mempercayainya. Aku tidak mempercayai diriku sendiriku.
“Kamu pikir aku mempercayaimu ketika kamu tidak tahu apa-apa?”
“Lantas apa yang kau ingin aku lakukan supaya kau mempercayaiku?"
Setelah berpikir, kataku. Aku merasa seperti menyerah pada sesuatu.
“Aku akan memberitahumu sesuatu. Ini bukanlah sesuatu yang ada di mana saja di dunia ini, tapi itu pasti sesuatu yang melibatkan diriku dan dirimu. Jika kamu mendengar ini dan masih mengatakan sesuatu yang bodoh seperti 'Aku mempercayaimu'– ”
Aku tidak melanjutkan kalimatku.
Mana mungkin Yoshi-kun akan mempercayainya.
Bila Ia percaya padaku, itu berarti Ia meragukan dunia dan meragukan ingatannya sendiri. Dibandingkan dengan dunia yang aku bicarakan, sudah jelas yang mana yang lebih mungkin Yoshi-kun percayai.
Itu sebabnya aku tidak pernah menyebutkannya sekali pun.
Ia terus menatapku, tak mengalihkan pandangannya sedikit pun. Aku menganggapnya sebagai ya, dan perlahan mulai menceritakan kepadanya.
Aku menjelaskan banyak hal yang terjadi sejak kecelakaan pada hari ulang tahunku yang ke-7 .
Waktu terus berlalu ketika aku selesai berbicara.
Masih ada sepuluh menit tersisa sampai akhir dunia, atau lebih tepatnya, pengaturan ulang dunia.
“Jadi apa kamu masih ingin percaya dengan apa yang baru saja aku katakan?”
“Aku mempercayaimu. Tidak, aku ingin percaya.”
Ia menjawab tanpa ragu-ragu.
“Kenapa kamu masih bisa mengatakan hal itu?”
Mendengar apa yang aku katakan, Yoshi-kun mendongak ke atas.
Di belakang awan kelabu tersebut, pasti ada Sirius yang berpijar, begitu juga Betelgeuse dan Rigel. Dulu, kami pernah menghabiskan waktu mencari rasi bintang. Kami tak punya pengetahuan tentang mereka, jadi kami terus melihat buku-buku bergambar, mencari mereka.
Kamu juga tidak tahu tentang ini, ‘kan?
Segera setelah itu, Yoshi-kun bergumam. Ahh, serius, kau ini yang merepotkan.
“Ap-Apa? Kenapa merepotkan? ”
“Sangat merepotkan. Yah, kupikir kau lucu karena itu. Kurasa ini adalah permainan, siapa yang jatuh cinta duluan, dialah yang kalah. Hei.. Yuki.”
Dia menggaruk kepalanya, tersenyum, dan menatapku.
Persis seperti Malam Natal empat tahun lalu.
“Memang benar aku merasa apa yang semua kau katakan terasa aneh. Apa yang kau katakan berbeda dari ingatanku, dan biasanya, sulit bagiku untuk memercayaimu sepenuhnya. Sejujurnya, tak peduli apa yang kau katakan itu benar atau tidak, itu tidak masalah bagiku. Bagaimanapun, aku akan mengatakan sekali lagi, aku mempercayaimu. Aku tidak ingin kau salah paham, ini bukanlah rasa kasihan. Ketika aku melihatmu kesakitan, hatiku juga ikut merasa sakit, hatiku menderita. Jika kau bisa tersenyum, aku akan percaya pada apa pun. Diriku yang selalu bersamamu selalu seperti ini, ‘kan? ”
Aku tidak bisa membantahnya.
Karena seperti yang Yoshi-kun katakan.
Empat tahun perasaan di hatiku tak memungkinkan diriku untuk menyangkalnya.
Ah memang Yoshi-kun tak pernah menepati janjinya denganku, tapi Ia tidak pernah mengecewakanku. Ia melakukan segala upaya demi memenuhi apa yang aku harapkan. Setiap kali aku menyatakan frustrasiku, Ia akan membantuku, dan Ia akan menjangkauku tak peduli kapan waktunya.
“Kurasa aku selalu menyukaimu sepanjang waktu.”
Kata-kata ini mirip, tapi kali ini, ucapannya menyentuh hatiku.
Panas yang setara dengan telapak tangannya menyebar dalam diriku. Begitu ya. Kurasa aku tidak punya pilihan.
Orang-orang mungkin menyebut kehangatan ini dengan nama 'cinta'.
Kalau begitu, aku juga mungkin sama. Untuk waktu yang sangat-sangat lama.
Tanpa aku sadari, butiran salju melayang. Menutupi dunia dengan warna putih.
“Ngomong-ngomong, kamu ini aneh sejak pertemuan pertama kita, Yoshi-kun.”
Aku tersenyum, seperti yang Ia inginkan, dan mengulurkan tanganku. Ia juga tersenyum dan memegang tanganku.
Perjalanan panjangku harus berakhir di sini.
Aku terus hidup untuk saat ini, menginginkan Ia mengatakan kalau Ia menyukaiku. Saat ini, keberadaanku pasti terukir di dalam hatinya.
Tapi tiba-tiba, aku merasa menyesal.
Aku belum bisa menyampaikan perasaanku kepada Yoshi-kun dengan benar.
Itu sebabnya ini tak boleh berakhir sampai di sini. Bagi kami, yang terus bertemu meski kami tidak pernah mengucapkan selamat tinggal dengan benar, itu adalah garis yang harus kami tkaui.
“Hei, Yoshi-kun, aku–“
Tapi kata-kataku tidak pernah mencapai pada Yoshi-kun. Itu baru saja berakhir. Ah, begitu ya.
Begitu aku melihat ekspresi Yoshi-kun, aku langsung mengerti.
Sama seperti sebelumnya, Ia memberiku tatapan yang menatap orang tak dikenal. Dihadapanku sudah tidak ada lagi cowok yang berkata kepadaku, aku menyukaimu.
Hening, tanpa tanda apa pun, dunia ditulis ulang kembali.
Sebelum aku menyadarinya, tangan kami yang saling menggenggam telah berpisah.
Tentunya, kenyataan  bahwa Ia memegang tanganku telas terhapus. Meski begitu, masih ada kehangatan yang tersisa di tanganku.
Ini cukup.
Ini saja sudah cukup bagiku untuk terus bergerak.
Jantungku berdebar kencang.
Aku menghela nafas dalam-dalam.
Aku melakukannya puluhan kali, ratusan kali, tetapi bahkan sampai akhir, aku tak pernah terbiasa.
Setiap kali aku berbicara dengan Yoshi-kun ketika Ia tidak mengenalku, aku selalu tegang.
Dan kata-kata yang aku katakan padanya selalu berbeda. Ini panas, ini dingin ya, Kamu memang pekerja keras. Aku bahkan pernah mengatakan kepadanya, bawa aku ke bioskop. Tolong bantu aku ambilkan buku.
Persis seperti itu, aku mendekati Yoshi-kun sebanyak 213 kali.
Tak sekali pun Ia merasa kesal karenanya.
Sapaan 'halo' yang aku katakan adalah upaya diriku yang kikuk untuk mengaku.
Aku ingin Yoshi-kun menyukaiku, jadi aku terus mendekatinya. Untuk alasan ini, aku terus bertemu dengannya. Dalam hal ini, bukankah ada sesuatu yang lebih sederhana dan cocok?
Aku menguatkan tekadku.
Perlahan aku membuka mulutku. Angin yang berhembus terasa dingin.
Ayo, mari kita mulai dengan selamat tinggal pertama dan terakhir.
“Hei, Yoshi-kun. Aku menyukaimu.”


close

Posting Komentar

Budayakan berkomentar supaya yang ngerjain project-nya tambah semangat

Lebih baru Lebih lama