Tak
butuh waktu lama untuk sampai ke bioskop, yang tampak lebih ramai dari
biasanya.
Mungkin
itu karena film Men Over Flours
sedang populer.
Menurut
jadwal yang ada, tinggal 10 menit lagi sebelum pemutaran film dimulai.
“Sepertinya
kita datang tepat waktu.”
“Oh,
bagus. Aku benar-benar menantikannya. Ini pertama kalinya aku pergi
ke bioskop.”
“Kau
pasti akan kaget. Suasana di sini sangat berbeda dibandingkan dengan menonoton
sendiri di rumah. Aku yakin kau akan menikmatinya. "
“Aku
tidak pernah tahu ...”
Melihat
matanya yang berbinar-binar membuat Tooru merasa hangat dan senang.
Tooru
jauh lebih suka senyum cerahnya daripada ekspresi suramnya.
Setelah
pemeriksaan tiket dari karyawan bioskop, mereka lalu menuju ke dalam.
Kau bisa mengetahui seberapa populernya Men Over Flour hanya dengan melihat gerombolan orang di mesin penjual otomatis.
Kau bisa mengetahui seberapa populernya Men Over Flour hanya dengan melihat gerombolan orang di mesin penjual otomatis.
Mereka
berdua juga terjepit karena keramaian. Menjadi begitu dekat dengan Satsuki
dan mencium aroma wanginya membuat jantung Tooru berdetak kencang.
Untungnya,
Tooru benar-benar menonjol karena tingginya, sehingga mereka mungkin takkan
terlepas satu sama lain di tengah orang banyak. Tapi jika mereka beneran
terlepas, rasanya mereka akan dipisahkan selamanya. Jadi, Tooru dengan
lembut meletakkan tangannya di pundak Satsuki, yang mana hal itu membuat wajah
Satsuki memerah.
“Umm
...”
“Maaf. Bersabarlah
sebentar, oke? Aku tidak ingin kita terpisah di tengah-tengah kerumunan
orang ini.”
“
... Baiklah.”
Satsuki
terlihat lega setelah mendengarnya. Tooru takut dia akan membencinya
karena itu, tapi Ia senang bukan itu masalahnya. Bahkan, sepertinya itu
mungkin menenangkannya.
Dan
dengan posisi berdekapan begitu, mereka tiba di depan mesin penjual yang
menjual minuman dan popcorn dalam berbagai ukuran.
“Apa
ini?”
“Yah,
kalau di bioskop biasanya menonton dengan popcorn dan cola, ‘kan? Karena kita
baru saja makan, bagaimana kalau beli yang kecil saja?”
“Aku
akan membiarkanmu memilih ... maaf.”
“Oh,
iya, kau baru pertama kali ke sini ya. Ayo beli yang kecil saja. ”
Tooru
memasukkan uang ke dalam mesin untuk membeli cola dan teh.
Kemudian,
mereka menunggu film dimulai sambil memegang camilan dan minuman di tangan.
“Aku
sangat menantikan film ini.”
“Sama
bagiku. Dan film romantis juga. Meski sedikit memalukan karena
beberapa alasan.”
“Hahaha. Aku
tahu apa yang kamu maksud. Tapi aku bisa menontonnya bersamamu, jadi aku
yakin itu akan bagus. ”
Satsuki
menatap Tooru lalu tersenyum dan berkata, "Aku juga," dengan suara yang sangat-samar, hampir tidak
terdengar.
Bel
berbunyi, menandakan kalau sudah waktunya untuk masuk ruang bioskop.
“Sepertinya
mau dimulai, ayo masuk?”
“Ayo!”
Tiket
yang didapatkan menempati posisi yang lumayan bagus — barisan tengah dan tepat
di tengah layar.
Setelah
mereka duduk bersama, Tooru menaruh minumannya di cupholder-nya, memegang popcorn di pangkuannya.
Melihat
hal tersebut, Satsuki melakukan hal yang sama dan memakan popcornnya.
Saat
penonton lainnya memenuhi ruang bioskop, bel lainnya berbunyi menandakan kalau
filmnya akan dimulai.
Ini
film yang cukup klise. Dimana ceritanya mengenai seorang gadis cantik berpakaian
sebagai cowok (Crossdress), masuk ke
sekolah khusus cowok, dan jatuh cinta dengan teman sekelasnya. Dan walau secara
teknis itu adalah reverse harem, si heroine bisa bersama seorang cowok
setelah melewati beberapa lika-liku.
Tooru
bisa menebak hal tersebut hanya dengan melihat poster nya.
Tapi,
saat film mencapai klimaksnya, Tooru melirik Satsuki ...
Air
mata. Sama seperti yang pernah Ia lihat sebelumnya. Satsuki memegang
saputangan ke pipinya saat dia diam-diam menangis.
Tooru
menatap wajah Satsuki — sebuah adegan yang lebih memukau dari yang ada di layar
lebar.
Bagaimana
jika Ia membuatnya menangis?
Tidak
peduli apa, itu akan menyakitinya juga. Melukai seorang gadis yang sangat
mengaguminya akan sangat memalukan.
Tooru
berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak membuatnya menangis seperti
ini. Dan kemudian, Ia melihat kembali ke layar.
Adegan
terakhir dari film tersebut memperlihatkan dua insan yang saling berciuman.
vvvv
“Itu
tadi film yang hebat.”
“Ya,
itu bagus.”
Satsuki
masih terisak-isak tak terkendali, duduk di bangku dan Tooru duduk di
sampingnya.
Dia
membasahi saputangannya dan mengelap pada matanya yang merah dan
bengkak. Air matanya terus bergulir, tumpah ke roknya.
“Aku
tak pernah tahu film percintaan bisa begitu indah.”
“Kau
sangat menyukainya?”
“Yeah. Dua
orang yang saling jatuh cinta dan bisa bersama — rasanya seperti fantasi, tapi
masih memungkinkan. Ini seperti mimpi.”
Kaulah
yang seperti mimpi , Tooru hampir mengucapkan
itu. Tapi, bukan hanya itu akan menghina perasaannya, mengatakan kalimat
itu juga sama saja dengan menembaknya.
Satsuki
terus menenun kata-katanya.
“Terkadang,
aku berharap kalau aku adalah heroine dalam dongeng seperti itu. Itu akan
jadi ... bukan apa-apa. Maaf karena sudah mengatakan sesuatu yang aneh.”
“Tidak,itu
tidak aneh. Sejak aku masih kecil,
aku selalu ingin menjadi karakter dari manga.”
“Kamu
juga?”
“Ya.”
Nada
suara Tooru yang lembut dan menenangkan memberikan kepastian padanya.
“Syukurlah. Kupikir
cuma aku akan terdengar seperti orang aneh . Kita ini rasanya seperti dua
kacang polong saja.”
“Memang
benar.”
Mereka
tertawa bersama. Sepertinya Satsuki akhirnya berhenti menangis juga.
“Aku
baik-baik saja sekarang. Terima kasih.”
“Hmm,
lebih baik kita duduk sedikit lebih lama; matamu masih sangat merah. ”
Satsuki
mengoleskan sapu tangan basah ke matanya lagi. Dia terlihat lebih santai
sekarang, seolah-olah air dingin sangat menenangkan.
“Tooru
...”
“Hmm?”
“Apa
kamu juga bersikap baik pada teman sekelasmu?”
Sungguh
pertanyaan yang mengejutkan.
Ia
tidak berencana memperlakukan gadis-gadis di kelasnya dalam kategori baik atau
jahat. Bukan berarti Ia juga bisa mendapatkan pacar yang baik dengan
adanya Satsuki di sisinya.
Belum
lagi, Tooru tidak mengerti motif di balik pertanyaan itu. Bagaimana
seharusnya Ia menjawab? Apa jawaban yang Satsuki cari? Terus terang,
pertanyaan itu saja udah membuat Tooru merasa sedikit canggung.
“Aku
... tidak tahu. Yah, aku tidak bersikap jahat pada mereka, tapi aku juga
takkan bilang kalau aku bersikap baik ...”
“Begitukah? Aku
membayangkan kalau kamu selalu sangat baik. Teman sekelasmu benar-benar
beruntung ... ”
Kau
terlalu berlebihan, pikir Tooru.
“Bagaimana
dengan kelasmu? Apa kau sudah punya teman?”
Tooru
merasa penasaran mengenai hal ini sebelumnya juga. Sudah seminggu sejak
semester baru dimulai, jadi dia pasti sudah punya satu atau dua teman, ‘kan? begitu
pikir Tooru pada saat ini.
Satsuki
memasang wajah sedih sebagai tanggapan dari pertanyaan Tooru. Semuanya sudah
terlambat pada saat Tooru menyadari kalau Ia menginjak ranjau darat.
“Ayah
dan kakakku sangat ketat tentang orang-orang yang aku temui. Anak-anak
cowok di kelas datang berbicara kepadaku sesekali, tapi aku tidak terlalu
tertarik.”
Ia
benar-benar lupa tentang keberadaan Amane.
Tapi,
bila dilihat dari kepribadian Amane, Tooru tidak terlalu terkejut mendengar hal
tersebut. Bahkan bisa dibilang kalau Amane secara tidak langsung menyerang
adik perempuannya lagi.
Adapun
anak cowok yang berbicara dengannya, mereka pasti memiliki motif tersembunyi.
“...
Hei, Satsuki?”
Satsuki
mendongak, merasa tersipu karena Tooru tiba-tiba memanggil dengan nama depannya.
“Umm,
ya?”
“Satsuki,
apa aku boleh jadi temanmu?”
“Hah? Tapi
... “
“Jangan
ragu untuk mengatakan tidak. Hanya saja ... tidak memiliki teman satu pun
rasanya terlalu kesepian.”
Dia
memegang saputangannya dengan sekuat tenaga. Hanya itu saja yang bisa dilakukan
Tooru untuknya.
Satsuki
sedikit tenang, lalu berbicara.
“…
dengan senang hati.”
Air
mata mengalir di pipinya lagi. Namun kali ini sedikit berbeda - itu adalah
air mata sukacita. Buktinya ialah ada senyum manis di bibirnya.
Tooru
merasa Ia akhirnya bisa membalas sesuatu padanya, walau itu benar-benar
sepele. Asalkan itu bisa membuatnya bahagia.
Masih
sangat sulit untuk mengalihkan pikirannya dari Amane. Tapi tak disangka
ada seseorang di luar sana sedang menyakiti gadis semanis dan sepemberani ini
...
Itu
tidak bisa dimaafkan.
“Aku
takkan bisa datang mengunjungi kelasmu atau apa ... jika kau baik-baik saja dengan
itu.”
“Ya. Aku
juga tidak ingin menjadi beban bagimu.”
Satsuki
mengangguk. Tooru balas mengangguk. Ia merasa seolah-olah sudah punya
ikatan dengan Satsuki, meski hanya sedikit.
“Gimana
kalau kita pulang? Perutku sudah keroncongan hanya dengan memikirkan
masakanmu saja.”
“Ya
ampun, kamu benar-benar tidak ada harapan. Aku akan mengerahkan seluruh
kemampuanku malam ini. ”
Gadis
itu bangkit dari tempat duduknya dengan wajah yang penuh rasa lega.